Akhir-akhir ini terjadi
perdebatan yang cukup seru dalam “Pembaruan Islam”, sebuah kritik terhadap
proyek modernisasi dan liberalisasi Islam yang terdengar cukup segar. Dan
tampaknya masyarakat Islam sangat haus akan kritik semacam ini, karena
memang kritik, dalam arti kata sebenarnya sangat diperlukan guna menciptakan
sebuah iklim intelektual dialogis. Perdebatan ini bermula dari sebuah orasi
ilmiah yang disampaikan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi di Gedung Gema Insani,
Depok, Jawa Barat, dalam acara tasyakur dan pidato ilmiah atas kelulusan
doktornya dalam bidang pemikiran Islam di International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malasyia. Yang kemudian disusul
dengan dimuatnya artikel beliau – Menyoal Pembaruan Islam - pada (Republika 28/12/2006). yang didukung
oleh “Ismail Fajrie Alatas” (Republika 5/1/2007). Dan mendapat tanggapan
dari “Ahmad Sahidah” (Republika 12/1/2007), “Al-Makin” (Republika
19/01/2007) dan yang terakhir “Ulil Abshar Abdalla” (Republika 25/01/2007).
Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi salah satu dari dua kubu, akan tetapi
lebih kepada menguak dan melacak akar-akar pembaruan yang tumbuh kembang
dalam Islam. <span class="fullpost">
Karena seringkali kita
menjutifikasi seseorang dengan tuduhan sekuler dan liberal tanpa memahami
terlebih dahulu pemikiran mereka dan terlalu cepat untuk menutup mata.
Contohnya, dalam kehidupan keseharian kita, seringkali terlontar dari mulut
kita bahwa, cak nur itu sekuler, Amin Abdullah itu liberal, sedangkan tidak
satupun dari buku mereka pernah kita baca, artinya kita hanya mentaqlid"
dari orang-orang kepercayaan kita, walaupun toh tuduhan itu benar, tapi
Islam tidak pernah mengajarkan umat Islam untuk itu. Islam mengajarkan kita
untuk manjadi muttabi' atau kalau bisa mujtahid. Dengan terlebih dahulu
melacak akar-akar pembaruan dalam Islam, diharapkan kita dapat menjadi
muttabi' atau mujtahid ke arah yang benar bukan taqlid walaupun arahnya
benar.
Ini semua (pembaruan
Islam) bermula Setelah dua sampai tiga setengah abad setelah wafatnya
Rasulullah, terjadilah apa yang disebut dengan kristalisasi otodoxi Islam,
terutama di kalangan Sunni. Kristalisasi tersebut sebagai akibat dari
respon kelompok Sunni atas pergulatan pemikiran keagamaan yang terjadi saat
itu antara kelompok Sunni dengan kelompok Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij.
Selain itu, dominasi kelompok Sunni dalam panggung politik Islam juga
mempengaruhi kecenderungan tersebut. Dan kemenangan kelompok sunni di
panggung politik ummat Islam menumbuhkan kecenderungan untuk saling
memanfaatkan antara kelompok ulama dengan kelompok elite politik saat itu.
Ulama, tidak dapat dipungkiri, merupakan salah satu alat melegitimasi rezim
politik sebuah dinasti pada masa khilafah Sunni, begitu juga kekuatan
politik para elite dimanfaatkan untuk menekan kelompok keagamaan yang tidak
sefaham, sehingga faham tersebut tidak dapat berkembang, atau sulit untuk
memperoleh pengikut. Pertikaian antar madzhab keagamaan Islam pada abad
ketiga/sembilan hampir seluruhnya melibatkan kekuatan politik pada masanya.
Inti permasahannya adalah upaya pemapanan ajaran dan aqidah sunni, dan
bidang politik adalah pembelaan kelompok Sunni terhadap khilafah Sunni[1].
Ketergantungan saling menguntungkan antara rezim politik dan kelompok ulama
ini berlangsung hingga abad ketiga belas, saat Baghdad ditaklukkan tentara
Mongol tahun 1258. Apalagi kristalisasi ortodoksi semakin menguat dengan
ditambah menguatnya kehidupan sufistik di kalangan kelompok keagamaan yang
banyak menekan aspek esoterisme ajaran Islam[2]. Kemapanan ajaran Sunni
membawa dampak munculnya anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dan,
selebihnya, ummat Islam tinggal memanfaatkan warisan intelektual abad-abad
sebelumnya.
Akar pembaruan dalam
Islam sebelum abad modern dapat ditarik dari apa yang dipelopori Ibn Taymia
(1263/1328) di Siria dan Mesir dalam memurnikan ajaran Islam. Upaya
pembaruan tersebut ditindak lanjuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada
abad kedua belas/delapan belas di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah
(1702-1762) di India pada masa yang sama. Pada abad modern, Muhammad Abduh
(1849-1905) beserta muridnya.
M. Rashid Ridha
(1865-1935) di Mesir, Nemik Kemal, Zia Gokalp di Turki, Sayyid Ahmad Khan,
Sayyid Amir Ali, Muhammad lqbal di India, dan di indonesia ada Ahmad
Dahlan, Haji Agus Salim, Imam Zarkasyi. Mereka dapat dimasukkan sebagai
tokoh pembaruan di dunia Islam abad modern.
Pembaruan yang mereka
lakukan merupakan aktifitas untuk merubah kondisi umat Islam yang sedang
berlangsung menuju kondisi masa depan yang dicita-citakan. Pembaruan Islam,
dalam pandangan mereka adalah penemuan kembali ajaran dasar yang berlaku
abadi dan dapat melampaui batasan ruang dan waktu[3]. Mereka meyakini bahwa
apa yang mereka upayakan adalah untuk kemaslahatan hidup ummat Islam
seperti yang dicita-citakan ajaran Islam, atau tidak bertentangan dengan
kaidah agama Islam. Pembaruan mereka memperoleh justifikasi keagamaan,
yaitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi dari
Abu Hurairah yang mengatakan bahwa “Allah Ta'ala akan mengutus seorang
kepada ummat Islam untuk memperbarui (yujaddidu) ajaran keagaman
mereka”[4].
Meskipun demikian
terdapat perbedaan arah pembaruan para pembaharu pra modern dan pembaruan
modern. Para pembaharu sebelum periode modern melancarkan pembaruan untuk
memurnikan kehidupan keagamaan ummat Islam dari bentuk penyelewengan-penyelewengan
agar sesuai dengan corak kehidupan sederhana seperti yang dipraktekkan
zaman Rasulullah dan ahl as-salaf. Akan tetapi tujan pembaharu modern,
adalah memberikan tafsiran baru dari ajaran Islam agar di masa modern ummat
Islam tetap tidak tertinggal dari bangsa lainnya sekaligus tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Akan tetapi sebagian
dari pembaharu modern salah dalam memahami arti dalam “Pembaruan” itu
sendiri. Pembaruan pemikiran keagamaan dalam Islam atau tajdid seringkali
diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi.
Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara
epistemologis maupun konseptual. Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori
oleh Nurcholis Madjid adalah contohnya, yang kini bergulir menjadi proyek
liberalisasi Islam di Indonesia. Ini semua terjadi karena pengaruh Barat
serta hegemoni Barat dan mereka cenderung mengadopsi paham-paham dari
mereka.
Di pihak lain (Ulil
Abshar) menganggap sikap semacam – kritik terhadap epistemologi barat dan
proyeknya - ini hanya “menghabiskan
energi dan kurang bermanfaat”. Lebih baik energi sarjana Islam di kerahkan
untuk memproduksi karya-karya cemerlang dalam bidang kajian Islam. “Metode
bisa dipinjam dari manapun”. Kajian Islam akan hidup dan sehat dengan
segar-bugar justru jika sarjana Islam berani terus melakukan eksperimetasi
kajian dengan memakai perlabagai ragam metodologi.
Pada akhirnya kita
dapat melihat secara umum pendapat dari dua kubu, dengan terlebih dahulu
melihat akar historis perkembangan pembaruan dalam Islam. Sekali lagi tidak
ada justifikasi dalam tulisan ini, akan tetapi lebih kepada melacak
akar-akar pembaruan dalam Islam dan mendorong pembaca untuk belajar agar bisa menjadi
orang ketiga.
Maksudnya bukan seperti
yang di ajarkan dalam ilmu bahasa saja. Tapi begini : sebagai orang
pertama, kita berpikir, merancang, memberi komando. Sebagai orang kedua,
kita penimbang, pembangkang, penolak sebaliknya bisa juga jadi pembenar,
penyambut orang yang pertama. Dan orang yang ketiga – siapa dia? – dia
sebagai pelaksana, sebagai orang lain yang kita lihat pada cermin. Nah,
kita memposisikan diri kita sebagai orang ketiga yang dilihat oleh orang
pertama dan orang kedua pada cermin itu. Dengan terlebih dahulu mengerti
duduk persolannya.
Tim Penyusun Teks Book
Dirasat Islamiyah, sejarah dan pembaruan Islam IAIN Sunan Ampel. Surabaya.
Penerbit : CV Anika Bahagia.
[1] DR Syafiq A. Mughni. Hanbali Movement in Baghdad from Abu Muhammad al-Barbahari (w.
3921941) to Abu Ja'far al-Hashimt (w. 470/1077). Disertasi tidak
diterbitkan. Los Angeles : University of California, 1990.
[2] Untuk kasus di Minangkabau, Tafiq Abdullah
mencatat bahwa Tuanku dari Ulakan merupakan khalifa Tarekat Syatariyah dan
menjadi sumber otoritas keagamaan saat itu. Hingga kemunculan gerakan
Padri, mempertanyakan otoritas keagamaan ulama Ylakan adalah harab bagi
para guru agama di Minangkabau. Lihat Taufiq abdullah, "Adat dan Islam
: Telaah mengenai Konflik di Minangkabau, "Anwar Ibrahim et. al (ed):
Reading On Islam in Southest Asia. diterjemahkan A Setiawan Abadi, Islam di
Asia Tenggara. Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3E5, hal. 194
[3] Deliar Noer, Perkembangan dan sifat Gerakan
Modem Islam di Indonesia, dalam Anwar Ibrahim. hal. 249-253.
[4] Jalaluddin As-Suyuthi Jami As-Shaghir jilid
ke-2 Beirut, Darul Fikri. Hal.282
|