MELACAK
PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
Oleh: M. Arfan Mu’ammar





Akhir-akhir ini terjadi perdebatan yang cukup seru dalam “Pembaruan Islam”, sebuah kritik terhadap proyek modernisasi dan liberalisasi Islam yang terdengar cukup segar. Dan tampaknya masyarakat Islam sangat haus akan kritik semacam ini, karena memang kritik, dalam arti kata sebenarnya sangat diperlukan guna menciptakan sebuah iklim intelektual dialogis. Perdebatan ini bermula dari sebuah orasi ilmiah yang disampaikan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi di Gedung Gema Insani, Depok, Jawa Barat, dalam acara tasyakur dan pidato ilmiah atas kelulusan doktornya dalam bidang pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malasyia. Yang kemudian disusul dengan dimuatnya artikel beliau – Menyoal Pembaruan Islam -  pada (Republika 28/12/2006). yang didukung oleh “Ismail Fajrie Alatas” (Republika 5/1/2007). Dan mendapat tanggapan dari “Ahmad Sahidah” (Republika 12/1/2007), “Al-Makin” (Republika 19/01/2007) dan yang terakhir “Ulil Abshar Abdalla” (Republika 25/01/2007). Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi salah satu dari dua kubu, akan tetapi lebih kepada menguak dan melacak akar-akar pembaruan yang tumbuh kembang dalam Islam. <span class="fullpost">

Karena seringkali kita menjutifikasi seseorang dengan tuduhan sekuler dan liberal tanpa memahami terlebih dahulu pemikiran mereka dan terlalu cepat untuk menutup mata. Contohnya, dalam kehidupan keseharian kita, seringkali terlontar dari mulut kita bahwa, cak nur itu sekuler, Amin Abdullah itu liberal, sedangkan tidak satupun dari buku mereka pernah kita baca, artinya kita hanya mentaqlid" dari orang-orang kepercayaan kita, walaupun toh tuduhan itu benar, tapi Islam tidak pernah mengajarkan umat Islam untuk itu. Islam mengajarkan kita untuk manjadi muttabi' atau kalau bisa mujtahid. Dengan terlebih dahulu melacak akar-akar pembaruan dalam Islam, diharapkan kita dapat menjadi muttabi' atau mujtahid ke arah yang benar bukan taqlid walaupun arahnya benar.

Ini semua (pembaruan Islam) bermula Setelah dua sampai tiga setengah abad setelah wafatnya Rasulullah, terjadilah apa yang disebut dengan kristalisasi otodoxi Islam, terutama di kalangan Sunni. Kristalisasi tersebut sebagai akibat dari respon kelompok Sunni atas pergulatan pemikiran keagamaan yang terjadi saat itu antara kelompok Sunni dengan kelompok Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij. Selain itu, dominasi kelompok Sunni dalam panggung politik Islam juga mempengaruhi kecenderungan tersebut. Dan kemenangan kelompok sunni di panggung politik ummat Islam menumbuhkan kecenderungan untuk saling memanfaatkan antara kelompok ulama dengan kelompok elite politik saat itu. Ulama, tidak dapat dipungkiri, merupakan salah satu alat melegitimasi rezim politik sebuah dinasti pada masa khilafah Sunni, begitu juga kekuatan politik para elite dimanfaatkan untuk menekan kelompok keagamaan yang tidak sefaham, sehingga faham tersebut tidak dapat berkembang, atau sulit untuk memperoleh pengikut. Pertikaian antar madzhab keagamaan Islam pada abad ketiga/sembilan hampir seluruhnya melibatkan kekuatan politik pada masanya. Inti permasahannya adalah upaya pemapanan ajaran dan aqidah sunni, dan bidang politik adalah pembelaan kelompok Sunni terhadap khilafah Sunni[1]. Ketergantungan saling menguntungkan antara rezim politik dan kelompok ulama ini berlangsung hingga abad ketiga belas, saat Baghdad ditaklukkan tentara Mongol tahun 1258. Apalagi kristalisasi ortodoksi semakin menguat dengan ditambah menguatnya kehidupan sufistik di kalangan kelompok keagamaan yang banyak menekan aspek esoterisme ajaran Islam[2]. Kemapanan ajaran Sunni membawa dampak munculnya anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dan, selebihnya, ummat Islam tinggal memanfaatkan warisan intelektual abad-abad sebelumnya.

Akar pembaruan dalam Islam sebelum abad modern dapat ditarik dari apa yang dipelopori Ibn Taymia (1263/1328) di Siria dan Mesir dalam memurnikan ajaran Islam. Upaya pembaruan tersebut ditindak lanjuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad kedua belas/delapan belas di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah (1702-1762) di India pada masa yang sama. Pada abad modern, Muhammad Abduh (1849-1905) beserta muridnya.

M. Rashid Ridha (1865-1935) di Mesir, Nemik Kemal, Zia Gokalp di Turki, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad lqbal di India, dan di indonesia ada Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, Imam Zarkasyi. Mereka dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaruan di dunia Islam abad modern.

Pembaruan yang mereka lakukan merupakan aktifitas untuk merubah kondisi umat Islam yang sedang berlangsung menuju kondisi masa depan yang dicita-citakan. Pembaruan Islam, dalam pandangan mereka adalah penemuan kembali ajaran dasar yang berlaku abadi dan dapat melampaui batasan ruang dan waktu[3]. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka upayakan adalah untuk kemaslahatan hidup ummat Islam seperti yang dicita-citakan ajaran Islam, atau tidak bertentangan dengan kaidah agama Islam. Pembaruan mereka memperoleh justifikasi keagamaan, yaitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa “Allah Ta'ala akan mengutus seorang kepada ummat Islam untuk memperbarui (yujaddidu) ajaran keagaman mereka”[4].

Meskipun demikian terdapat perbedaan arah pembaruan para pembaharu pra modern dan pembaruan modern. Para pembaharu sebelum periode modern melancarkan pembaruan untuk memurnikan kehidupan keagamaan ummat Islam dari bentuk penyelewengan-­penyelewengan agar sesuai dengan corak kehidupan sederhana seperti yang dipraktekkan zaman Rasulullah dan ahl as-salaf. Akan tetapi tujan pembaharu modern, adalah memberikan tafsiran baru dari ajaran Islam agar di masa modern ummat Islam tetap tidak tertinggal dari bangsa lainnya sekaligus tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Akan tetapi sebagian dari pembaharu modern salah dalam memahami arti dalam “Pembaruan” itu sendiri. Pembaruan pemikiran keagamaan dalam Islam atau tajdid seringkali diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara epistemologis maupun konseptual. Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori oleh Nurcholis Madjid adalah contohnya, yang kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Ini semua terjadi karena pengaruh Barat serta hegemoni Barat dan mereka cenderung mengadopsi paham-paham dari mereka.

Di pihak lain (Ulil Abshar) menganggap sikap semacam – kritik terhadap epistemologi barat dan proyeknya -  ini hanya “menghabiskan energi dan kurang bermanfaat”. Lebih baik energi sarjana Islam di kerahkan untuk memproduksi karya-karya cemerlang dalam bidang kajian Islam. “Metode bisa dipinjam dari manapun”. Kajian Islam akan hidup dan sehat dengan segar-bugar justru jika sarjana Islam berani terus melakukan eksperimetasi kajian dengan memakai perlabagai ragam metodologi.

Pada akhirnya kita dapat melihat secara umum pendapat dari dua kubu, dengan terlebih dahulu melihat akar historis perkembangan pembaruan dalam Islam. Sekali lagi tidak ada justifikasi dalam tulisan ini, akan tetapi lebih kepada melacak akar-akar pembaruan dalam Islam dan mendorong  pembaca untuk belajar agar bisa menjadi orang ketiga.

Maksudnya bukan seperti yang di ajarkan dalam ilmu bahasa saja. Tapi begini : sebagai orang pertama, kita berpikir, merancang, memberi komando. Sebagai orang kedua, kita penimbang, pembangkang, penolak sebaliknya bisa juga jadi pembenar, penyambut orang yang pertama. Dan orang yang ketiga – siapa dia? – dia sebagai pelaksana, sebagai orang lain yang kita lihat pada cermin. Nah, kita memposisikan diri kita sebagai orang ketiga yang dilihat oleh orang pertama dan orang kedua pada cermin itu. Dengan terlebih dahulu mengerti duduk persolannya.

Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah, sejarah dan pembaruan Islam IAIN Sunan Ampel. Surabaya. Penerbit : CV Anika Bahagia.


[1]  DR Syafiq A. Mughni. Hanbali Movement in Baghdad from Abu Muhammad al-Barbahari (w. 3921941) to Abu Ja'far al-Hashimt (w. 470/1077). Disertasi tidak diterbitkan. Los Angeles : University of California, 1990.
[2] Untuk kasus di Minangkabau, Tafiq Abdullah mencatat bahwa Tuanku dari Ulakan merupakan khalifa Tarekat Syatariyah dan menjadi sumber otoritas keagamaan saat itu. Hingga kemunculan gerakan Padri, mempertanyakan otoritas keagamaan ulama Ylakan adalah harab bagi para guru agama di Minangkabau. Lihat Taufiq abdullah, "Adat dan Islam : Telaah mengenai Konflik di Minangkabau, "Anwar Ibrahim et. al (ed): Reading On Islam in Southest Asia. diterjemahkan A Setiawan Abadi, Islam di Asia Tenggara. Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3E5, hal. 194
[3] Deliar Noer, Perkembangan dan sifat Gerakan Modem Islam di Indonesia, dalam Anwar Ibrahim. hal. 249-253.
[4] Jalaluddin As-Suyuthi Jami As-Shaghir jilid ke-2 Beirut, Darul Fikri. Hal.282











RIFFAT HASAN DAN PARADIGMA
PEMIKIRAN MODERN




PEMIKIRAN MODERN RIFFAT HASAN
(BIOGRAFI DAN ISU PEMIKIRAN RIFFAT HASAN TENTANG
ASAL USUL KEJADIAN MANUSIA)
Oleh Khambali, S.Pd.I., M.Pd.I.


ABSTRAK

Berbagai penindasan, penyiksaan dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan atas patriarkhi dengan mengatasnamakan Tuhan, menjadikan perempuan Muslim seperti Riffat Hassan, seorang feminis Muslim, membuat upaya untuk merekonstruksi pemahaman dan interpretasi dari tradisi Islam, dengan harapan perempuan mendapatkan kebebasan dan keadilan yang setara dengan laki-laki.

PENDAHULUAN

Akhir abad kedua puluh muncul kesadaran yang tinggi bahwa selama ini telah banyak terjadi dan berlangsung diskriminasi dan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang menimpa kaum perempuan. Fenomena ketidakadilan gender itu paling tidak meliputi : (1) marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan; (2) subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting; (3) stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi bahwa mereka suka dandan dan itu untuk menarik perhatian lawan jenis sehingga menimbulkan kekerasan seksual; (4) berbagai bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah; (5) pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Akibatnya perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit (Fakih, 1996: 11-20 dalam Agus Himmawan Utomo, Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, hal. 279).

Berdasarkan permaslahan tersebut di atas, maka muncullah para feminis, yaitu mereka yang sadar akan adanya gender inequalities yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat dan melakukan tindakan yang sadar untuk mengubahnya. Beberapa dantaranya melacak munculnya ketidakadilan itu dari konstruksi teologis yang dibangun dan dibentuk selama ini atas status ontologis dari perempuan. Salah satu feminis dari ranah teologi Islam adalah Riffat Hassan dari Pakistan. Pada makalah ini, penulis akan mencoba memaparkan gugatan Riffat Hasan atas konstruksi teologis yang ada, yang membelenggu perempuan. Riffat Hasan feminis Muslim kelahiran Lahore, Pakistan. Mendapatkan gelar Ph.D. bidang filsafat Islam dari university of Durham, Inggris. Sejak tahun 1976, tinggal di Amerika Serikat, menjabat sebagai ketua Jurusan Religious Study Program di University of Louisville, Kentucky. Tahun 1986-1987 menjadi dosen tamu di Divinity School Harvard University, dimana Ia menulis bukunya yang berjudul “Equal Before Allah”. Sejak tahun 1974 Ia mempelajari teks Al-Qur’an secara seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an khususnya yang berhubungan dengan persoalan perempuan. Ia memberikan sumbangan besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.

PEMIKIRAN MODERN RIFFAT HASAN               

Biografi Riffat Hasan

Latar belakang geneologi seseorang, akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Demikian menurut para ahli jiwa perkembangan, atas dasar ini, penulis merasa perlu untuk memaparkan latar belakang geneologi Riffat Hassan untuk mengungkap gambaran kehidupan yang akan mengantarkannya sebagai seorang pemikir feminism yang sangat berpangaruh pada akhir abad kedua puluh dan kedua puluh satu ini.

Riffat Hassan adalah seorang feminis Muslimah kelahiran Lahore, Pakistan. pada tahun 1943. Mesti tanggalnya tak diketahui secara pasti, Riffat dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas, bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Ayahnya seorang patriarkhi yang sangat dihormati dan sangat disukai karena rasa sosialisnya. Ibunya adalah anak Hakim Ahmad Shuba, seorang penyair, dermawan dan ilmuwan yang terkemuka serta kreatif. Ayah dan ibu Riffat Hassan berasal dari kalangan keluarga paling tua dan paling terkemuka di kota itu, keduanya merupakan orang tua “yang baik” karena telah memberi jaminan hidup yang baik. Mereka tinggal di sebuah kothee (bungalow) yang luas dengan sebuah mobil mewah (ketika itu hanya orang kaya saja yang memilikinya), dan sebuah rumah dengan para pembantu yang melakukan semua tugas-tugas domestik. Disinilah Riffat Hassan menghabiskan 17 tahun pertama (masa kanak-kanak) dan hidupnya.

17 tahun pertamanya selalu dibayang-bayangi kegelapan laksana mimpi buruk yang menakutkan karena merasa kesepian dan tiada kebahagiaan. Ketakutan dan kebingungan selalu melingkupinya di dalam sebuah rumah tangga dengan masyarakat yang sangat menghormati keluarganya. Alasan utamanya adalah konflik yang mendalam antara keluarga kedua orang tuanya, yaitu dalam persoalan pandangan hidup dan tempramen serta karakter.

Ayahnya adalah seorang tradisionalis dan patriarchal sejati, yang mempunyai keyakinan mengenai peranan seks, bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin diusia 16 tahun dengan seorang pilihan orang tuanya. Sebaliknya ibunya mempunyai pandangan dan cara hidup yang bertolak belakang dengan ayahnya. Ibunya tidak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional, Ia menolak kultur yang meneguhkan inferioritas dan ketundukkan perempuan kepada laki-laki. Dalam kehidupan rumah tangga orang tuanya, ibunya tidak tunduk pada ayahnya. Ibunya lebih memperhatikan anak perempuannya daripada anak laki-lakinya. Dalam pandangan ibunya mendidik perempuan lebih penting daripada anak laki-laki, karena anak perempuan yang lahir dalam masyarakat Muslim akan menghadapi rintangan (partiarkhis) yang sangat hebat.

Pandangan dan cara hidup ayahnya yang demikianlah, membuat Riffat tak pernah berhubungan baik dengan ayahnya. Pada masa anak-anak Riffat menolak mentah-mentah terhadap ayahnya yang memindahkan sekolah ke khusus sekolah perempuan. Pada masa remaja Riffat menjadi pemberontak yang bandel terhadap pandangan dan sikap tradisional yang memiliki pandangan sebagaimana budaya partiarkhi ayahnya. Riffat juga berhasil menolak keinginan dan tradisi ayahnya yang tidak dapat dielakkan oleh saudara-saudara perempuannya untuk menikah di usia 16 tahun. Keberhasilan itu tak lepas dari dukungan dan perlindungan ibunya yang Ia kategorikan sebagai feminis radikal.
Dalam pertumbuhannya, banyak diwarnai oleh pendidikan ibu daripada ayahnya. Riffat tidak pernah menjadi superwoman yang bengis sebagaimana diinginkan oleh ibunya, yang menginginkan Riffat agar berhasil, tapi tidak pernah mendorong untuk berbuat baik. Sebagai seorang anak, yang membuatnya merasa kesepian dan bersedih lagi adalah kenyataan bahwa ibunya hanya mencintai kualitasnya, tidak pada pribadinya.

Perbedaan prinsip kedua orang tuanya, menyebabkan Riffat kecil tumbuh sebagi anak yang terlalu peka, sangat pemalu, dan sangat kesepian. Ia lebih suka manarik diri dari dunia luar menuju relaitas batin. Dalam dunia ini, ia menemukan tiga hal yang telah memungkinkannya untuk melepaskan diri dari kehancuran hati dan kesulitan hidup, yaitu: keyakinan yang kokoh terhadap Tuhan yang Adil dan Penyayang, seni menulis puisi dan kecintaannya yang mendalam terhadap buku. Keyakinan kepada Tuhan telah membentuk pendangnnya di masa kanak-kanak, bahwa hidup adalah jihad fii sabiilillah.

Riffat Hassan menempuh pendidikan dasar di sekolah campuran di kotanya. Menulis dan membaca adalah hobi Riffat sejak masa kanak-kanak. Sejak umur belasan tahun Ia sudah sering menuangkan pikiran-pikirannya lewat puisi dan sonata yang berisi kritik terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat partiarkhi saat itu. Pada usia 17 tahun Riffat mengaku memulai perjuangannya sebagai seorang feminis. Salah satu puisinya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu:

Karyaku yang sederhana ini sungguh karunia Tuhan
Pesanku yang kuat terhadap dunia menyatakan
Aku tidak mendambakan kekayaan, kekuasaan, tidak pula kemasyhuran
Aku hanya ingin kepuasan akan pahala
Aku merasa karena kehendakmulah aku harus menulis
Tentang keindahan, cinta, kegembiraan, dan perdamaian abadi
Tentang suka cita, perjuangan agar kematian berhenti
Tentang harapan, cahayanya menerangi dengan manis
Aku telah melakukan tugasku dengan penuh keyakinan
Aku berusaha melakukan kehendak-Mu tanpa istirahat
Aku memohon kesuksesan dalam ujian ini
Andai aku berhasil, aku hampir tidak bisa menyatakan kegembiraanku
Ketulusanku bisa Kau lihat Tuhan
Aku akan melakukan kehendak-Mu, bagaimanapun sulitnya

Pada pendidikan tinggi ditempuh di Inggris di St mary’s College University of Durham, selama tiga tahun lulus dengan predikat kehormatan dalam bidang sastra Inggris dan filsafat. Dalam usia 24 tahun, Riffat Hassan sudah berhasil mengantongi gelar Doktor.

Selama tujuh tahun di Inggris, akhirnya pulang ke Pakistan. di rumah sendiri, Ia merasa kesepian yang tak tertahankan. Dalam keadaan seperti itu, Riffat memutuskan menikah dengan Dawar seoang laki-laki yang belum mapan. Memasuki dunia perkawinan, Ia menyadari problem-problem suaminya, yang memiliki pendidikan dan prospek penghasilan lebih rndah dari pendidikan dan penghasilannya.

Impian akan cinta, sesuatu yang Ia kira menjadi dasar perkawinannya memang sangat indah, tapi Ia kembali bermimpi. Dawar adalah korban keluarga patriarkhi dan memiliki kebutuhan yang memaksa untuk menjadi kepala keluarga. Dawar menganggap dirinya orang yang kalah, yang hanya tertarik pada kekuatan Riffat, tapi sekaligus marah. Ia ingin memanfaatkan bakat Riffat, tapi menolaknya. Riffat hanya ingin menjadi isteri yang baik, menunjukkan keinginan tersembunyi sebagai pemberontak dan berkompromi dengan tradisi. Problem ini membuat Riffat memutuskan pindah dan menetap di Amerika Serikat, di mana tidak ada kehidupan yang membatasi ruang gerak dirinya. Namun kehidupan tersebut tidak dapat merubah pola hidup rumah tangganya, yang telah terbentuk sejak awal. Perkawinan berakhir di saat dikaruniai seorang anak perempuan, bernama Mehrunnisa.

Dalam perjalanan hidupnya, Riffat selalu mengalami kekecewaan. Satu-satunya alasan untuk tetap tegar, karena Mona panggilan gadis gecilnya, dalam sepuluh tahun terakhir dan separuh kehidupannya, terjadi persitiwa lain, dan kecelakaan yang sangat mempengaruhinya, yaitu pernikahannya yang singkat dengan Mahmoud seorang Muslim Arab Mesir dan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang ternyata seoarang patriarkhi fanatik, yang selalu mendasarkan keinginannya atas nama Tuhan dan dengan wewenang Tuhan. Sehingga Riffat tidak punya hak untuk menolak, karena menolak apa yang menyenangkan hati suami dalam kultur Islam, sama halnya menolak melakukan apa yang menyenangkan Tuhan. Perkawinan ini hanya bertahan tiga bulan dan memakan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan penceraiannya.

Riffat bersyukur pada Tuhan, dengan adanya penglaman yang membakar jiwa inilah, yang membuat Riffat menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa mengeksploitasi perempuan Muslimah atas nama Tuhan.

Karya-karya Riffat Hassan

Riffat Hassan termasuk salah seorang feminis Muslimah Pakistan yang kreatif dan produktif dalam menghasilkan karya-karyanya. Semua karya Riffat Hassan berbentuk artikel. Dari hasil karya-karya itulah Riffat Hassan diakui oleh banyak kalangan, sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan feminism di Pakistan. Di antara karya-karyanya, yaitu:

1.
The Role and Responsibility of Women in legal and Ritual Tradition of Islam
2.
Equal Before Allah Woman-man Equality in Islamic Tradition
3.
Feminist Theology and Women in The Muslim Word
4.
Jihad Fi Sabil Allah: A Muslim Woman’s faith Journey from Struggle to Struggle to Struggle
5.
The Issue of Woman-man Equality in The Islamic Tradition
6.
Muslim Woman and Post-Patriarchal Islam


Dari semua judul artikel di atas, ada tiga yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu: Jihad Fi Sabil Allah: A Muslim Woman’s faith Journey from Struggle to Struggle to Struggle, The Issue of Woman-man Equality in The Islamic Tradition, Muslim Woman and Post-Patriarchal Islam. Ketiga artikel di atas sudah dijadikan buku dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh LSPPA Jakarta dengan judul Setara di Hadapan Allah: Relasi laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi.

Karya-karya Riffat Hassan ini kental dengan gagasan penafsiran kembali terhadap landasan teologis Islam. Karena menurutnya, deskriminasi terhadap perempuan karena dapat dukungan dan tafsir teologi Islam. Cita-cita Woman-man Equality hanya dapat diwujudkan dengan cara melakukan dekonstruksi terhadap penafsiran sumber teologi Islam.

Pemikiran Riffat Hassan Tentang Feminisme

Latar Belakang Pemikiran Riffat Hassan

Riffat Hassan mengembangkan spesialisannya sebagai seorang teolog feminis Muslimah secara kebetulan, itu semua dilakukannya dengan rasa enggan, yaitu pada waktu menjelang musim gugur pada tahun 1974, saat itu menjabat sebagai guru besar Perhimpunan Mahasiswa Islam (Muslim Student Association, MSA) cabang Universitas Negeri Oklahoma di Stillwater, Oklahoma. Pada waktu itu dimintai berbicara tentang perempuan dalam Islam. Para pengurus Muslim Student Assocation cabang Stillwater mempunyai suatu tradisi yaitu mengadakan seminar tahunan di mana salah satu pidatonya disampaikan oleh penasehat guru besar.

Riffat Hassan tidak begitu tertarik berbicara tentang persoalan perempuan dalam Islam. Namun Ia menerima undangan tersebut dengan dua alasan. Pertama, Ia diundang untuk berpidato di depan majelis yang semuanya laki-laki, sebagian besar dan mereka adalah kelompok Muslim Arab yang memiliki kebanggaan patriarchal. Kedua, Ia bosan mendengar laki-laki Muslim bicara tentang posisi, status atau peranan perempuan dalam Islam. Sementara sama-sekali tidak memahami bahwa perempuan pun bisa berbicara tentang posisi, status atau peranan-peranan laki-laki dalam Islam.

Menerima undangan dan berpidato di depan laki-laki Muslim itu telah mengantarkannya melakukan riset dan kajian serius yaitu dalam hal kajian Islam. Sejak itu Riffat melakukan pengulangan kembali terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah perempuan, dan saat itu juga menelorkan tulisan-tulisan tentang perempuan dalam Islam. Dari sini, Ia mengaku memulai karirnya sebagai teolog feminis.

Riffat tidak mengetahui secara pasti mulai kapan mengkaji tentang perempuan dalam Islam, dan untuk mencari kebenaran dan keadilan atas nama perempuan Muslim. Sekarang ini, sebagian besar disebabkan karena tekanan undang-undang anti perempuan yang disebarluaskan di balik kedok “Islamisasi” di beberapa bagian dunia Islam. Perempuan dengan berbagai tingkat pendidikan dan kesadaran mulai menyadari bahwa agama telah digunakan lebih sebagai alat penindasan ketimbang sebagai sarana pembebasan. Untuk memahami desakan kuat dalam mengislamkan masyarakat Muslim, khususnya yang berkaitan dengan perempuan, yang menghadang dunia Islam yang paling besar adalah tantang modernitas.

Pengembang tradisi Islam menyadari bahwa kenyataan yang berlangsung di zaman teknologi modern ini memerlukan pandangan yang masuk akal, untuk membawa perubahan-perubahan penting dalam cara berpikir dan bertindak. Perempuan yang terdidik, ikut berpartisipasi dalam bursa kerja nasional, dan memberi sumbangan dalam pembangunan nasional, berpikir dan berperilaku berbeda dengan perempuan yang sebenarnya, karena menganggap dirinya sudah dirancang atau ditakdirkan untuk melayani dan memperkuat sistem patriarchal yang mereka yakini sudah melembaga secara ilahiah.
Banyak perempuan di Pakistan yang sadar, karena undang-undang (seperti undang-undang mengenai perkosaan terhadap perempuan atau kesaksian perempuan dalam masalah-masalah keuangan dan masalah-masalah lainnya) telah digunakan untuk mengurangi perempuan secara sistematis dan matematis, sehingga jumlah mereka menjadi lebih sedikit daripada laki-laki. Tidak lama sebelum mereka menyadari bahwa kekuatan-kekuatan keagamaan yang tertutup itu telah menurunkan populasi perempuan menjadi separuh atau lebih sedikit daripada laki-laki, dan sikap ini bersumber dari keinginan yang berakar untuk menjaga agar perempuan tetap berada di tempat mereka. Dengan demikian, posisi perempuan menjadi sekunder, subordinatif dan inferior terhadap laki-laki.

Berhadapan dengan kediktatoran militer maupun otokrasi keagamaan, upaya-upaya berani telah dilakukan oleh kelompok-kelompok perempuan di Pakistan untuk memprotes pelembagaan undang-undang yang secara nyata anti perempuan dan menyorot kasus-kasus ketidakadilan dan kebrutalan terhadap perempuan yang menyolok. Semua ini, masih belum jelas dan belum dipahami sepenuhnya oleh banyak aktivis perempuan di Pakistan dan negeri Islam lainnya. Ide-ide dan sikap-sikap negatif terhadap perempuan yang ada di masyarakat Muslim pada umumnya berakar pada teologi. Meskipun ada perbaikan-perbaikan secara statistik seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial serta politik, perempuan kan terus-menerus diperlakukan dengan kasar dan didiskriminasi. Apabila landasan teologis yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat misoginis dalam tradisi Islam tidak dibongkar. Banyaknya jaminan hak-hak sosial-politik perempuan tidak akan berarti apa-apa, jika mereka berhasil dikondisikan untuk menerima mitos-mitos yang digunakan oleh para teolog atau pemimpin-pemimpin keagamaan masih membelenggu tubuh, hati, pikiran dan jiwa.

Perempuan tidak akan pernah berkembang sepenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia yang bebas dari ketakutan dan rasa bersalah, bisa berdiri sejajar untuk mengembangkan apa yang disebut orang Barat sebagai “teologi feminis” dalam konteks Islam, yang bertujuan untuk membebaskan bukan hanya perempuan Muslim tapi juga laki-laki Muslim dari struktur-struktur dan undang-undang yang tidak adil yang tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara laki-laki dan perempuan.

Untuk mengembangkan teologi feminis dalam konteks agama Islam, yang pertama kali perlu dilakukan adalah memeriksa landasan teologis di mana semua argument anti perempuan tersebut berakar, ini semua sangat penting untuk melihat apakah suatu kasus benar-benar bisa dibuat untuk menegaskan bahwa dari sudut pandang Islam normatif, laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara, sekalipun ada perbedaan biologis dan perbedaan-perbedaan lainnya. Kerangka inilah yang mendorong Riffat Hassan meneliti ulang berbagai ayat Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan langsung dengan teologi perempuan, yaitu tentang penciptaan perempuan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Riffat Hassan mengakui bahwa bahasa Al-Qur’an sangat beragam, ada yang langsung bisa dipahami maknanya sehingga langsung bisa dijadikan pedoman aturan dan hukum. Namun ada juga ayat-ayat Al-Qur’an yang lebih bersifat simbolik dan perlambang, dan inilah yang lebih banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an juga memuat tentang cerita-cerita dan mitologi-mitologi yang penuturannya juga dikemas dalam perlambang.

Bagi Riffat, kenyataan bahwa perempuan berada dalam posisi subordina, seperti ini berpangkal pada teologi. Ada tiga asumsi teologis yang mendasari superstruktur anggapan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Pertama, bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini tercipta dari tulang rusuk laki-laki, maka secara ontologis perempuan derivative  dan sekunder. Kedua, bahwa perempuan bukan laki-laki yang merupakan penyebab utama dan apa yang biasanya dianggap sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari taman Firdaus, oleh karena itu anak perempuan Hawa harus diperlakukan dengan rasa benci, curiga dan hina. Ketiga, bahwa perempan diciptakan tidak hanya dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki, sehingga keberadaannya hanyalah sekunder, pelengkap dan tidak memiliki arti yang pokok.

Riffat mengaku, semua ini didorong oleh perempuan yang bersemangat mendukung dan memimpin protes-protes para perempuan di jalan-jalan untk membantu dan menyangkal argumen-argumen yang membuat kemanusiaan mereka kurang sempurna. Riffat tergoda untuk bergabung dengan mereka, untuk membantu membela saudara-saudara yang tersingkir dari hak-hak kemanusiaan atas nama Islam. Bagi Riffat, Perjuangan membela nasib perempuan adalah bagian dari jihad fi sabil Allah yang mutlak harus ditegakkan. Kepada anaknya yang masih kecil saat itu Mona, Ia selalu mengatakan jihad fi sabil Allah adalah hakikat menjadi seorang Muslim dan mengabdikan dirinya hanya untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Konsep Penciptaan Perempuan Menurut Riffat Hassan

Sebagai seorang Muslimah, pemikiran Riffat Hassan tentang penciptaan perempuan tentu berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadits. Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan adalah isu yang sangat penting dan mendasar dibicarakan lebih dahulu, baik ditinjau secara filosofis maupun teologis. Dibanding dengan isu-isu feminism yang lain, karena konsep kesetaraan dan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan. Menurut Riffat Hassan, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah, maka di kemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara. Begitu juga sebaliknya, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan tidak setara oleh Allah, maka secara hakiki di kemudian hari mereka tidak bisa menjadi setara.

Menurut Yunahar Ilyas (1997, dalam Agus Himmawan Utomo, Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3) menyebutkan bahwa, dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini, ada empat macam cara penciptaan manusia, yaitu: Pertama, diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam As.) terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Fathir: 11, Ash-Shaff: 11 dan Al-Hijr: 26. Kedua, diciptakan dari tulang rusuk adam (penciptaan hawa) terdapat dalam Qs. An-Nisa: 1, Al-A’raf: 189, dan Qs. Az-Zumar: 6. Ketiga, diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah, baik secara hukum maupun secara biologis (penciptaan Nabi Isa As.) terdapat dalam Qs. Maryam: 19-22. Keempat, diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan Isa di atas) terdapat pada Qs. Al-Mukminun: 12-14.

Adanya diskriminasi dari segala macam bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan di lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman yang keliru terhadap sumber ajaran Islam, yaitu kitab suci Al-Qur’an. Salah satunya adalah tentang konsep penciptaan hawa sebagai perempuan pertama, atau sebagai manusia kedua yang diciptakan setalah dan dari tulang rusuk Adam. Padahal Al-Qur’an sama sekali tidak membedakan antara penciptaan laki-laki dan perempuan.

Dalam kenyataannya status laki-laki dan perempuan, berubah menjadi tidak setara. Hal ini dalam pandangan Riffat Hassan berarti menyalahi desain yang telah direncanakaan dan ditetapkan oleh Allah. Berangkat dari asumsi ini, konsep mengenai penciptaan perempuan perlu dikaji ulang, apakah betul perempuan diciptakan dari laki-laki (Adam) sehingga perempuan (Hawa) hanya merupakan derivasi saja dan dari hanya menjadi pelengkap bagi laki-laki. Berakar dan keyakinan inilah yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Jika ditelaah secara cermat, ayat-ayat tentang penciptaan Adam sebenarnya tidak menjelaskan secara rinci bagaimana Ia diciptakan. Adam, yang dalam teologi Islam sering disebut sebagai manusia pertama, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 25 kali, namun hanya satu kali yang mengacu pada penciptaan Adam seperti dalam Qs. Ali-Imran: 59. Istilah Adam lebih digunakan sebagai nama diri, atau mungkin seorang Nabi yaitu pada Qs. Ali-Imran: 35, Qs. Maryam: 58 dan Qs. Al-Ma’idah: 30. Selain itu, kata Adam mengacu pada kata benda kolektif dan umat manusia yaitu pada Qs. Al-A’raf: 26, 27, 31, 35 dan 172, Qs. Bani Israil: 70 san Qs. Yaasin: 60. Mengutip Muhammad Iqbal, Riffat mengatakan bahwa Al-Qur’an menggunakan istilah Adam untuk mengacu pada manusia hanya apabila mereka menjadi gambaran manusia yang sadar diri, berpengetahuan dan otonom secara moral. Ketika menggambarkan proses penciptaan manusia secara fisik, istilah yang digunakan adalah al-bayar, al-insan, dan an-nas.

Berangkat dari asumsi tersebut, Riffat berpandangan bahwa menganggap Adam sebagai manusia berjenis kelamin laki-laki tidaklah memiliki kebenaran. Benar. Kata Adam adalah kata benda maskulin, Namun itu hanya secara bahasa, bukan berarti jenis kelamin. Istilah Hawa (yang disebut sebagai istri Adam) juga tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, kata Hawa menggunakan kata zawj untuk menunjuk pada pasangan Adam. Kalau Adam belum tentu laki-laki, maka zawj Adam belum tentu perempuan. Maka kenapa harus diartikan sebagai isteri dan Adam yang laki-laki, mestinya kata yang digunakan adalah zaujah yang berbentuk feminism.

Dengan demikian, tidak ada kejelasan mengenai apakah Adam itu laki-laki atau perempuan, begitu juga dengan zawj itu laki-laki atau perempuan. Menurut Riffat Hassan, mengapa Al-Qur’an membiarkan istilah Adam dan zawj tidak jelas. Itu semua tujuannya tidak untuk menceritakan peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan seorang laki-laki dan perempuan, tapi untuk mengacu pada beberapa pengalaman hidup semua manusia yaitu laki-laki dan perempuan secara bersamaan.

Al-Qur’an melukiskan tentang penciptaan manusia sebanyak 30 juz. Secara umum, mengacu pada dua cara dalam penciptaan manusia yaitu sebagai proses perkembangan yang bertahap kadang-kadang dinyatakan secara bersama, kadang secara terpisah dan sebagai suatu kenyataan yang lengkap. Di mana penciptaan manusia diceritakan secara konkrit atau analitis. Tidak ada ayat yang menunjukkan penciptaan laki-laki dan perempuan secara terisah. Apabila laki-laki diciptakan secara terpisah, namun tidak ada perbedaan bahwa laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Dalam hal ini, penulis memilih untuk membahas satu ayat saja yaitu Qs. An-Nisa ayat 1 yang artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Nafs = Adam),  dan dari padanya Allah menciptakan istrinya (zawj), dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan (di bumi) laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

Riffat Hassan menolak pandangan Mufassir dan keyakinan umat Islam awam bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi juga mempertanyakan kenapa kata nafs wahidah dipastikan sebagai Adam dan zawjaha itu Hawa, isterinya. Padahal kata nafs dalam bahasa Arab itu bersifat netral, bisa menunjuk pada laki-laki atau perempuan. Begitu pula kata zawj, tidak dapat secara otomatis diartikan isteri atau perempuan, tetapi juga netral, artinya yaitu pasangan yang bisa laki-laki. Dengan mengutip kamus taj al ‘arus yang dipandang otoritatif Riffat Hassan menyatakan bahwa hanya masyarakat Hijaz yang menggunakan kata zawj untuk menunjuk kepada perempuan.

Melalui penelitiannya terhadap teks-teks Injil Genesis 2, Riffat menegaskan bahwa kata Adam adalah istilah Ibrani dari kata adamah yang artinnya tanah, yang berfungsi sebagai istilah generik untuk menusia,. Riffat juga cerita bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada rujukan bahwa Adam adalah manusia pertama dan tidak pula menyatakan bahwa Adam itu laki-laki. Adam hanya yang khusus tentang penciptaan Adam dan Hawa. Kisah penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam termuat dalam tiga agama, Yahudi, Nasrani dan Islam.

Cerita tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak lebih dongeng-dongeng genesis yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya ke dalam kepustakaan hadits, dengan berbagai cara telah menjadi lensa untuk menafsirkan Al-Qur’an. Cerita itu masuk dalam tradisi Islam secara langsung, karena waktu itu hanya sedikit sekali kaum Muslimin yang membaca Injil. Di sini Riffat menegaskan kembali bahwa Adam dan hawa diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya. Yakni bukan Adam diciptakan dulu dari tanah, baru kemudian hawa dari tulang rusuk Adam seperti yang diyakini oleh kebanyakan para Mufassir, tetapi kedua-duanya sama diciptakan dari (nafs wahidah) jenis yang sama yaitu tanah.

Dalam pandangan teologi feminism, tidak ada jaminan suatu hadits itu shahih, kecuali secara internal dan eksternal terbukti shahih. Begitu pula hadits tentang penciptaan perempuan. Meski terdapat dalam Hadits Bukhari dan Muslim, kaum feminis tetap menilai hadits itu penuh dengan kejanggalan. Untuk menguatkan pandangannya di atas, Riffat mengemukakan setelah meneliti kepustakaan Hadits Bukhari dan Muslim, tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam perlu ditolak. Di bawah ini arti dari hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam.

“Telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa. Keduanya berkata: telah bercerita kepada kami Husain Ibn Ali dari Zaidah dari maisarah al-Asja’i dari Abu Hazim dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Berwasiatlah kalian kepada perempuan. Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk, dan sesunguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Apabila kamu bermaksud untuk meluruskannya, maka kamu mematahkannya. Dan jika kamu biarkan, maka ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah kepada perempuan” (HR. Bukhari).

Dalam pandangan teologi feminism, tidak ada jaminan suatu hadits itu shahih kecuali secara internal dan eksternal terbukti shahih. Begitu pula tentang hadits tentang penciptaan perempuan di atas. Meski terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, kaum feminis tetap menilai hadits ini penuh kejanggalan yang diskriminatif terhadap perempuan. Kandungan ini bertantangan dengan pandangan teologi feminism yang anti segala bentuk diskriminasi gender.

Dari segi sanad, hadits-hadits itu memiliki sejumlah perawi yang tidak dapat dipercaya, dan dari segi matan, bahwa hadits itu mengandung beberapa pemahaman. Pertama, perempuan diciptakan dari tulang rusuk atau seperti tulang rusuk. Kedua, bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Ketiga, kebengkokan tulang rusuk pada perempuan tidak dapat diperbaiki, upaya apapun untuk memperbaiki akan mengakibatkan kerusakan. Keempat, pandangan di atas merekomendasikan sikap berbaik hati dan sering-sering memberi nasihat kepada perempuan karena jiwanya yang cenederung bengkok.

Riffat Hassan mengkritisi kandungan matan ini karena mengandung kelemahan. Pertama, kisah Adan dan Hawa berasal dari kitab genesis 2 dan tidak dijelaskan secara tegas dalam hadits. Kedua, kandangan misogini dalam hadits ini bertantangan dengan kandungan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa semua makhluk diciptakan dengan fi ahsan at-taqwim (sebaik-baik bentuk). Ketiga, tidak ada relevansi apapun bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Keempat, anjuran untuk berbuat baik terhadap perempuan dapat menimbulkan pengertian bahwa secara kodrati perempuan memiliki kelemahan yang bersifat abadi. dari segi matan, hadits-hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an karena mengandung elemen misoginik yang bertentangan dengan fi ahsan at-taqwim. Melalui kritik matan ini sudah cukup menolak hadits misogini tentang penciptaan laki-laki dan perempuan.

Konsep Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan Menurut Riffat Hassan

Sebagai pandangannya terhadap penciptaan perempuan, Riffat dalam membicarakan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan mengkritisi dengan sumber Al-Qur’an. Di hadapan Allah laki-laki dan perempuan adalah sama. Dalam ibadah keduanya mempunyai pahala yang sama. Kepemimpinan perempuan dalam shalat juga sama pahalanya dengan kepemimpinan laki-laki. Islam bukan agama yang mengutamakan hubungan dengan Allah, tapi juga dengan manusia. Gaya hidup patriarkhi, telah menimbulkan penderitaan bagi kaum perempuan. Banyak keadilan dan kasih sayang Tuhan yang tercermin dalam Al-Qur’an tentang perempuan, tetapi itu semua bertolak belakang ketika melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan perempuan Muslim yang lazim terjadi dalam kehidupan nyata.

Dalam sejarah Islam telah mencatat adanya para perempuan yang mejadi tokoh terkemuka, diantaranya adalah Sayyidah Khadijah, ‘Aisyah (isteri Nabi Saw.) dan Rabiah al-Bashri (seorang sufi perempuan terkenal). Namun tradisi Islam bahkan saat ini masih cenderung bersifat kaku dan patriarchal, yang menghalangi tumbuhnya kesarjanaan di kalangan perempuan. Al-Qur’an, sunnah, kepustakaan hadits dan fiqh hanya ditafsirkan oleh laki-laki Muslim yang rata-rata tidak bersedia melakukan tugas-tugas mendefinisikan status ontologis, teologis, sosiologis dan eskatologis perempuan Muslim. Kenyataan seperti inilah yang dalam pandangan Riffat, membuat perempuan menjadi sekunder, subordinatif dan inferior terhadap laki-laki.

Sampai saat ini mayoritas perempuan Muslim menerima keadaan ini secara pasif. Mereka hampir tidak menyadari tingkat pelanggaran terhadap perikemanusiaan (juga terhadap Islam, dalam pengertian yang ideal) dalam masyarakat yang berpusat pada, dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan mencari legitimasi agama dan menegaskan bahwa Islam telah memberikan kepada perempuan hak yang lebih banyak ketimbang tradisi agama lain. Banyak sekali perempuan yang terjerumus dalam perbudakan fisik, mental dan emosi serta tersingkir dari kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaan mereka. Seorang feminis telah melakukan analisa terhadap pengalaman-pengalaman personal mereka sebagai perempuan Muslim.

Dalam konteks isu penciptaan Adam dan Hawa, Al-Qur’an yang dipegang oleh banyak orang Islam, Nasrani dan Yahudi bahwa perempuan diciptakan tidak dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki. Dengan kata lain, bahwa Al-Qur’an tidak membuat perbedaan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, semuanya setara di hadapan Allah. Allah menciptakan semua itu untuk suatu tujuan tidak untuk bermain-main. Manusia yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk untuk mengabdi kepada Allah, karena pengabdian kepada Allah tidak bisa dilepaskan dengan pengabdian kepada manusia.

Dalam Al-Qur’an, tidak hanya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar setara dalam pandangan Allah, tapi juga merupakan anggota dan pelindung satu sama lain. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak hanya menciptakan urutan yang menempatkan laki-laki di atas perempuan (sebagaimana dilakukan oleh banyak perumus Nasrani). Al-Qur’an juga tidak menempatkan laki-laki dan perempuan dalam suatu hubungan yang bermusuhan. Mereka diciptakan sebagai makhluk-makhluk yang setara dari penciptaan alam semesta yang Maha Adil dan Maha Pengasih, yang menginginkan hidup dalam keharmonisan dan kesalehan bersama-sama.

Meskipun Al-Qur’an menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan, tetapi pada umumnya masyarakat Muslim tidak pernah menganggap laki-laki dan perempuan setara terutama dalam konteks perkawinan. Di sini Riffat Hassan menolak dan meminjam pengamatan Fatima Mernisi, seorang feminis Muslimah asal Maroko, terhadap posisi perempuan Muslim dalam hubungan dengan keluarga di Maroko, menurutnya mewakili apa yang berlaku dalam umat Islam secara umum, yaitu:

Salah satu ciri khas masyarakat Muslim dalam masalah seksualitas adalah adanya pembatasan wilayah yang mencerminkan pembagian kerja yang khas dan konsepsi tentang masyarakat dan kekuasaan yang khas. Pembatasan wilayah antar jenis kelamin itu membangun tingkatan tugas-tugas, dan pola-pola kewenangan. Karena ruang geraknya dibatasi, perempuan dipenuhi secara material oleh laki-laki yang memilikinya, sebagai imbalan, atas ketaatan total dalam pelayanan seksual dan pelayanan reproduktif keseluruhan sistem diorganisasikan seperti itu sehingga umat Islam secara nyata merupakan sebuah masyarakat yang terdiri dari laki-laki yang memiliki, perempuan yang jumlahnya mencapai separuh populasi. Laki-laki Muslim selalu memiliki hak-hak istimewa yang lebih dari perempuan Muslim, termasuk hak untuk membunuh perempuan-perempuan yang menjadi milik mereka. Laki-laki memaksakan kepada perempuan suatu ruang gerak yang sempit, baik secara fisik maupun spiritual.

Menurut Riffat Hassan, dasar penolakan masayarakt Muslim terhadap gagasan kesetaraan, laki-laki dan perempuan ini berakar pada kayakinan bahwa perempuan yang lebih rendah dalam asal-usul penciptaan, kerana diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan kesalahan, karena telah membantu Iblis menggagalkan rencana Tuhan terhadap Adam. Atas dasar inilah perempuan diciptakan untuk dimanfaatkan oleh laki-laki yang lebih tinggi dan mereka. Superioritas laki-laki terhadap perempuan yang meresap dalam tradisi Islam (juga dalam tradisi Yahudi dan Nashrani) tidak saja didasarkan pada kepustakaan hadits, tapi juga pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masyhur, yaitu dalam Qs. An-Nisa: 34. Surat itu lazim dikutip untuk mendukung pendirian bahwa laki-laki memiliki kelebihan di atas perempuan. Di sini Riffat Hassan mengambil contoh penafsiran A. Maududi terhadap ayat tersebut, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu:

Laki-laki adalah pengatur urusan-urusan perempuan karena Allah telah menjadikan yang satu lebih tinggi dari yang lain, dan karena laki-laki telah membelanjakan hartanya untuk perempuan. Oleh karena itu perempuan yang saleh adalah perempuan yang taat, akan hati-hati menjaga hal-hak suami mereka ketika suaminya pergi di bawah pemeliharaan dan pengamatan Allah. Kalau penyelewengan mereka menyebabkan kamu khawatir, peringatkan mereka dan tidurlah berpisah dengan mereka, serta pukul-lah. Lalu, kalau mereka tunduk padamu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. Ingatlah bahwa ada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar di atas kamu.

Ketika membaca Al-Qur’an surat an-Nisa: 34, yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada di rumah…”. Para aktivis feminis akan berasumsi bahwa ayat tersebut ditujukkan kepada suami. Padahal pokok persoalan pertama yang harus dicatat menurut Riffat, yakni ayat tersebut ditujukan kepada al-Rijal (laki-laki) dan an-Nisa (perempuan), tapi ayat itu ditujukan untuk semua laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam. Kata kunci dalam kalimat pertama ayat ini adalah qawwamun. Qawwamun ini telah diartikan secara bervariasi yaitu sebagai pelindung dan pemelihara perempuan, atau bisa dikatakan sebagai penguasa perempuan. Menurut bahasa kata qawwamun berarti pencari nafkah.

Menurut Riffat, bahwa inti dari kalimat pertama itu bukan pernyataan yang menggambarkan bahwa semua laki-laki dalam kenyataannya adalah pemberi nafkah perempuan, tetapi masih ada juga laki-laki tidak bisa memberi nafkah pada isterinya. Dengan kata lain, pengumuman ini merupakan  pernyataan umum menyangkut konsep Islam tentang pembagian kerja dalam sebuah keluarga atau masyarakat. Kenyataan bahwa laki-laki adalah qawwamun lantas perempuan tidak boleh bekerja atau menafkahi diri sendiri, karena alasan apa pun dianggap bukan tempatnya atau alamnya, mengingat beban berat yang harus dipikul yaitu harus melahirkan dan membesarkan anak, maka mereka tidak harus memiliki kewajiban tambahan mencar nafkah pada waktu yang bersamaan.

Ketika sampai pada gagasan dalam ayat tersebut, bahwa Allah telah memberikan kepada yang satu kekuatan lebih daripada yang lain. Kebanyakan Mufassir menyatakan bahwa yang memiliki kekuatan, kemuliaan atau kelebihan itu adalah laki-laki, namun pernyataan Al-Qur’an tidak memberi kelebihan terhadap laki-laki. Riffat menjelaskan bahwa pernyataan tersebut secara literatur berarti sebagian kamu atas sebagian yang lain, maksudnya pernyataan tersebut bisa berarti sebagian laki-laki memiliki kelebihan atas sebagian yang lain, yaitu bisa laki-laki atau perempuan. Bahwasanya penafsiran yang paling tepat secara tersusun, adalah sebagian laki-laki mendapat rezeki yang lebih banyak, maka menjadi pemberi nafkah yang lebih baik ketimbang laki-laki lainnya.

Bagian berikut ayat tersebut dimulai dengan oleh karena itu, Riffat menunjukkan bahwa bagian ini bersifat kondisional bagi yang pertama, yaitu jika laki-laki memenuhi tugasnya sebagai pemberi nafkah, maka perempuan juga harus memenuhi tugas-tugas mereka. Tugas-tugas itu oleh kebanyakan Mufassir digambarkan sebagai “ketaatan” isteri terhadap suaminya. Padahal kata shalihat yang diterangkan sebagai “kepatuhan yang selayaknya” berkaitan dengan kata-kata shalihat yang berarti kemampuan bukan kepatuhan. Kemampuan khusus perempuan adalah melahirkan. Kata qanitat setelah shalihat juga diterjemahkan sebagai kepatuhan, padahal berarti kantong air tempat membawa air tanpa tumpah hingga ke tempat tujuan, yang artinya bahwa perempuan itu membawa dan melindungi janin yang ada di dalam kandungannya sampai bisa melahirkan dengan selamat.

Apa yang ingin dikatakan oleh ayat ini adalah, pembagian kerja yang fungsional yang perlu untuk mempertahankan keseimbangan dalam masyarakat. Laki-laki yang tidak diberi kelebihan untuk memenuhi kewajiban mengandung dan melahirkan diberi tugas menafkahi. Perempuan dibebaskan dari tugas menafkahi agar mereka memenuhi tugas mengandung dan melahirkan. Kedua fungsi itu terpisah namun saling melengkapi agar tidak ada superioritas, untuk menunjukkan dan menjamin terjadinya keadilan dalam masyarakat secara keseluruhan. Bukanlah dalam Al-Qur’an sudah digambarkan tentang laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dalam surat Al-Baqarah ayat 187, bahwa meraka (perempuan) adalah pakaian bagimu dan kamu (laki-laki) adalah pakaian bagi mereka (perempuan). Itu semua sudah menyatakan kedekatan, kebersamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
 
Tanggapan Terhadap Pemikiran Riffat Hassan

Pada dasarnya Riffat Hasan telah berusaha mengkritisi terhadap penafsiran yang disebutnya bias laki-laki lewat argumen kebahasaan dan juga pengkajian pada hadits-hadits misogini baik sanad maupun matannya. Di samping itu ajaran tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam yang dianggapnya berasal dari Genesis 2 menurutnya harus ditolak. Secara kebahasaan penafsiran terhadap kalimat minha (dari jenis yang sama/ bayan al-jins, bukan untuk menyatakan sebagian/tab’idhiyah) dapat dibenarkan, namun dari segi makna akan bertentangan dengan lafal nafs wahidah yaitu Adam. Sebab andaikata Hawa diciptakan sama-sama dari tanah seperti Adam tentu kenyataan itu akan membawa kepada pengertian bahwa asal-usul manusia bukan satu, tapi dua. Adapun mengenai hadits yang berkenaan dengan tulang rusuk, secara normative tidak mengandung unsur anti perempuan. Sekalipun diciptakan secara berbeda, esensi kemanusiaan masing-masing tetap sama. Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk, Isa yang dicipta hanya lewat seorang Ibu, dan manusia lain yang dicipta dengan proses reproduksi semuanya berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Dengan demikian secara esensi semua manusia berasal dari sesuatu yang sama. Penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam bukanlah suatu bentuk inferioritas perempuan. Asal-usul penciptaan tidak menentukan nilai manusia Realitas ketidaksetaraan dan ketidakadilan kaum perempuan dan kaum laki-laki pakah memang disebabkan oleh asumsi-asumsi ontologis dan teologis tertentu seperti tesisnya Riffat Hasan atau jangan-jangan karena faktor-faktor lain di luar teologi seperti faktor pendidikan, sosiokultural, yang kemudian diangkat ke wilayah keagamaan (teologis) supaya lebih kokoh dan tidak tergoyahkan. Mengenai keberadaan ajaran yang diterima umat Islam yang sama dengan Genesis 2 tidak secara otomatis harus ditolak. Yang ditolak kaum muslimin tentulah yang bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah. Dalam kasus di atas mungkin diperlukan pemahaman dan penafsiran yang baru dengan pelibatan semua aspek terutama lewat kajian kritis historis terhadap teks Genesis 2 sendiri, maupun kondisi sosiokultural yang melingkupi turunnya ajaran tersebut (Agus Himmawan Utomo. Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, hal. 286).


KESIMPULAN

Riffat Hassan adalah seorang feminis Muslimah Lahore, Pakistan. Menurut Riffat, laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah, maka dikemudian hari tidak bisa menjadi tidak setara. Riffat berpendapat bahwa perempuan itu tercipta dari tukang rusuk Adam harus ditolak, karena itu semua tidak ada dalam Al-Qur’an, tapi ada dalam genesis 2. Riffat Hassan memahami dalam Al-Qur’an surat an-Nisa: 1 bahwa perempuan diciptakan dari gen yang sama dengan laki-laki. Pemahaman Riffat Hassan selanjutnya merujuk pada surat an-Nisa: 34, bahwa laki-laki sebagai pemimpin, menurut Riffat qawwamun di situ diartikan sebagai pemimpin, pemberi nafkah, tetapi dalam kenyataannya sekarang ini masih ada laki-laki yang tidak bisa dijadikan pemimpin dan pemberi nafkah untuk isterinya. Oleh karena itu, Riffat tidak setuju kalau qawwamun itu sebagai laki-laki, karena perempuan juga bisa sebagai qawwamun. Laki-laki dan perempuan itu setara di hadapan Allah, oleh karena itu laki-laki dan perempuan itu harus saling tolong-menolong, karena perempuan sebagai subordinate, inferior itu tidak selamanya benar.

Pemikiran Riffat Hassan tentang kesetaraan gender dilatarbelakangi oleh lingkungan disekitarnya, karena Ia melihat perempuan tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan hidupnya. Oleh karena itu, Riffat ingin menjungjung tinggi perempuan dari keterkungkungan kaum laki-laki atau dominasi laki-laki, atas perempuan. Kekuasaan yang cenderung mempertahankan sistem patriarkhi. Menurut Riffat Hassan semua itu berakar dari pemahaman yang keliru tentang penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Riffat Hassan ingin mendobrak dengan memulai penelitiannya dan mencari sumber yang berakar tentang asal mula ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan tentang ayat tersebut. Karena semua itu ada dalam genesis 2. Perempuan dan laki-laki diciptakan oleh Allah setara, oleh karena itu di kemudan hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara, hanya taqwa yang membedakan ketidaksetaraan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Riffat Hasan. 1996. Isu Kesetaraan Laki-laki Perempuan, dalam Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah. Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Perkasa.

Agus Himmawan Utomo. Desember 2003.  Jurnal Filsafat, Jilid 35, Nomor 3. Yogyakarta.





Pasted From :