TOKOH-TOKOH SUFI



TOKOH-TOKOH SUFISME






Syaikh Fariduddin Attar
Penyair Sufi Yang Melegenda

Bait demi bait puisi sufistik yang dirangkainya begitu melegenda. Sosok dan karya sastra yang ditorehkannya telah menjadi inspirasi bagi para pujangga di tanah Persia, salah satunya penyair termashur sekelas Mawlana Jalaluddin Rumi. Penyair sufi legendaris yang masih berpengaruh hingga abad ke-21 itu dikenal dengan nama pena Fariduddin Attar, si penyebar wangi yang dalam bahasa Persia disebut Attar.

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Abu Bakar Ibrahim. Jejak hidupnya tak terlalu banyak terungkap. Syahdan, Attar terlahir di Nishapur, sebelah barat laut Persia. Ia dijuluki dengan nama Attar lantaran profesinya sebagai seorang ahli farmasi. Attar adalah seorang anak ahli farmasi di kota Nishapur yang terbilang cukup kaya.

Attar muda menimba ilmu kedokteran, bahasa Arab dan teosofi di sebuah madrasah (perguruan tinggi) yang terletak di sekitar tempat suci Imam Reza di Mashhad. Menurut catatan yang tertera pada buku yang ditulisnya Mosibat Nameh (Buku Penderitaan), pada saat remaja dia bekerja di toko obat atau apotek milik sang ayah. Attar bertugas untuk meracik obat dan mengurus pasien.

Ia lalu mewarisi toko obat itu, setelah sang ayah wafat. Setiap hari Attar harus berhadapan dan melayani pasien yang berasal dari kaum tak berpunya. Suatu hari seorang fakir berpakaian jubah singgah ke apoteknya. Konon, si fakir itu lalu menangis begitu menghirup aroma wewangian yang menebar di apotek milik Attar.

Menduga si fakir akan meminta-minta, Attar pun mencoba mengusirnya. Namun, si fakir berkukuh tak mau pergi dari tempat usaha Attar. Lalu si fakir berkata pada Attar, ''Tak sulit bagiku untuk meninggalkan apotekmu ini dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Yang melekat di badanku hanyalah jubah yang lusuh ini. Aku justru merasa kasihan kepadamu, bagaimana kamu meninggalkan dunia ini dengan harta yang kamu miliki.''

Sesaat setelah melontarkan kata-kata yang menghunjam di hati Attar, si fakir itu lalu meninggal dunia di depan kios obat. Pertemuannya dengan si fakir kemudian mengubah garis kehidupannya. Ia memutuskan menutup kios obatnya dan memilih berkelana mencari guru sufi. Yang dicarinya hanya satu, yakni hakikat kehidupan.

Layaknya si fakir yang singgah di toko obatnya, Attar berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya untuk bertemu dengan syaikh - pemimpin tarekat sufi. Beberapa negeri yang disinggahinya antara lain, Ray, Kufah, Makkah, Damaskus, Turkistan, hingga India. Di setiap syaikh yang ditemuinya, Attar mempelajari tarekat dan menjalani kehidupan di khaniqah (tempat berkumpul untuk latihan dan praktek spiritual).

Setelah menemukan hakikat hidup yang dicarinya melalui sebuah perjalanan panjang, Attar memutuskan kembali ke kota kelahirannya Nishapur dan membuka kembali toko obat yang sempat ditutupnya. Pengalaman pencarian makna dan hakikat hidup yang dilakoninya itu dituangkan dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung). Sebuah karya yang fenomenal.

Di kota kelahirannya, Attar berupaya untuk menyebarkan ajaran sufi. Ia pun memberi sumbangan yang amat besar pada dunia sufi dengan menuliskan kumpulan kisah para sufi sebelumnya dalam kitab Tadzkiratul Awliya. Karya yang ditulisnya itu sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran Attar. Ia pun getol menulis puisi-puisi sufi. Begitu banyak puisi yang berhasil dituliskan sang penyair sufi legendaris itu. Namun, ada beragam versi mengenai jumlah pasti puisi yang dibuat sang penyair. Reza Gholikan Hedayat, misalnya, menyebutkan jumlah buku puisi yang dihasilkan Attar mencapai 190 dan berisi 100 ribu sajak dua baris (distich). Sedangkan Firdowsi Shahname menyebutkan jumlah puisi yang ditulis Attar mencapai 60 ribu bait.

Ada pula sumber yang menyebutkan jumlah buku puisi yang ditulis Attar mencapai 114 atau sama dengan jumlah surat dalam Al Qur'an. Namun, studi yang lebih realistis memperkirakan puisi yang ditulis Attar mencapai sembilan sampai 12 volume. Secara umum, karya-karya Attar dapat dibagi ke dalam tiga kategori.

Pertama, puisi yang ditulisnya lebih bernuansa tasawuf atau sufistik yang menggambarkan keseimbangan yang sempurna. Kategori pertama ini dikemas dengan seni cerita bertutur. Kedua, puisi-puisi yang ditulisnya bertujuan untuk menyangkal kegiatan pantheisme. Ketiga, puisi-puisi yang berisi sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib kw.

Salah satu karya yang utama dari Attar berjudul Asrar Nameh (Kitab Rahasia). Karya lainnya yang terkenal dari Attar adalah Elahi Nameh tentang zuhud dan pertapaan. Kitab Asrar Nameh itu konon dihadiahkan kepada Mawlana Jalaluddin Rumi ketika keluarganya tinggal di Nishapur dalam sebuah perjalanan menuju Konya.

Dalam pertemuan dengan Rumi yang saat itu masih kecil, Attar meramalkan bahwa Rumi akan menjadi seorang tokoh besar dan terkenal. Ramalan itu ternyata benar-benar terbukti. Attar meninggal dunia di usianya yang ke-70 tahun. Ia ditawan dan kemudian di eksekusi oleh pasukan Tentara Mongol yang melakukan invasi ke wilayah Nishapur pada 1221 M. Kisah kematian seorang Attar bercampur antara legenda dan spekulasi.

Menurut sebuah cerita, Attar dipenjara oleh tentara Mongol. Lalu seseorang datang dan mencoba menebusnya dengan ribuan batang perak. Namun, Attar menyarankan agar Mongol tak melepaskannya. Tentara Mongol mengira penolakan itu dilakukan agar tebusan yang diberikan lebih besar. Setelah itu datang lagi orang lain yang membawa sekarung jerami untuk menebus Attar. Kali ini Attar meminta agar Mongol melepaskannya. Tentara Mongol pun marah besar dan lalu memotong kepala Attar.

Attar dimakamkan di Shadyakh. Makamnya yang megah dibangun Ali-Shir Nava'i pada abad ke-16. Sosok Attar hingga kini masih tenar dan populer di Iran. Tak heran, bila makamnya banyak dikunjungi para peziarah.
                              
                                    


Syaikh Abu Abbas al-Mursi
Khalifah Besar Syadziliyah

Wali Qutb kita ini adalah al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas, Ahmad bin Umar al-Anshori, al-Mursi ra. sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa nasab beliau sampai pada sahabat Sa'ad bin Ubadah ra, pemimpin suku Khazraj. Al-Mursi dilahirkan tahun 616 H (1219 M) di kota Marsiyyah, salah satu kota di Andalus Spanyol. Al-Mursi melewatkan masa kecilnya yang penuh berkah di tanah kelahirannya itu. Lazimnya seorang alim dan pendidik, ayahnya mengirim al-Mursi kecil kepada salah satu waliyullah untuk membimbing menghafal Al Qur'an dan mengajarinya ilmu-ilmu agama. Secepat kilat terlihat kehebatan dan kecerdasannya.

Lebih dari itu ia yang masih sekecil itu telah memperoleh anugrah Allah berupa cahaya ilahi yang merasuk dalam kalbunya. Suatu ketika al-Mursi bercerita: "Ketika aku masih usia kanak-kanak aku mengaji pada seorang guru. Aku menorehkan coretan pada papan. Lalu guru tadi mengatakan: "Seorang Sufi tidak pantas menghitamkan yang putih." Seketika aku menjawab: "permasalahannya bukan seperti yang Tuan sangka. Tapi yang benar adalah seorang Sufi tidak pantas menghitamkan putihnya lembaran hidup dengan noda dan dosa."

Al-Mursi kecil juga mengatakan: "Ketika aku masih kanak-kanak, di sebelah rumahku ada tukang penguak rahasia (peramal) lalu aku mendekatinya. Besoknya aku datang ke guruku yang termasuk waliyullah. Maka guruku itu mengatakan padaku satu syair: "Wahai orang yang melihat peramal sembari terkesima. Dia sendiri sebetulnya peramal, kalau dia merasa.

Al-Mursi meneruskan hidupnya pada jalan cahaya ilahi sampai menginjak dewasa. Semakin hari semakin tambah ketakwaan dan keimanannya. Ayahnya melihatnya sebagai kebanggaan tersendiri. Maka dia dipercaya oleh ayahnya untuk mengelola perdagangannya bersama saudaranya Muhammad Jalaluddin. Dengan begitu, ia telah mengikuti jejak orang-orang saleh dalam hal menggabungkan antara ibadah dan mencari rizqi. Demi menjaga amanat ini ia rela berpindah-pindah tempat dari kota Marsiyah ke kota lainnya untuk berniaga, sambil hatinya berdetak mengingat Allah SWT.

Pada tahun 640 H kedua orang tuanya bersama seluruh keluarga berkeinginan menunaikan ibadah haji. Tapi sayang, takdir berbicara lain. Sesampainya di pesisir Barnih, kapal mereka terkena gelombang. Banyak penumpang kapal yang meninggal termasuk kedua orang tuanya. Singkat cerita al-Mursi muda dan saudaranya melanjutkan perjalanannya ke Tunis untuk berdagang, meneruskan usaha ayahnya.

Al-Mursi menceritakan perjumpaannya dengan Syaikh Abu Hasan as-Syadzili sebagai berikut: "Ketika aku tiba di Tunis, waktu itu aku masih muda, aku mendengar akan kebesaran Syaikh Abu Hasan. Lalu ada seseorang yang mengajakku menghadap beliau. Maka aku jawab: "Aku mau beristikharah dulu!" Setelah itu aku tertidur dan bermimpi melihat seorang lelaki yang mengenakan jubah (Burnus) hijau sambil duduk bersila. Di samping kanannya ada seorang laki-laki begitu juga di samping kirinya. Aku memandangi lelaki nan berwibawa itu. Sejurus kemudian lelaki itu berkata: "Aku telah menemukan penggantiku sekarang"! Di saat itulah aku terbangun.

Selesai menunaikan sholat subuh, seseorang yang mengajakku mengunjungi Syaikh Abu Hasan datang lagi. Maka kami berdua pergi ke kediaman Syaikh Abu Hasan as-Syadzili. Aku heran begitu melihatnya. Syaikh yang ada di hadapanku inilah yang aku lihat dalam mimpi. Dan keherananku semakin menjadi ketika Syaikh Abu Hasan berkata padaku: "Telah aku temukan penggantiku sekarang." Persis seperti dalam mimpiku. Selanjutnya beliau bilang: "Siapa namamu?" Lalu aku sebutkan namaku. Dengan tenang dan penuh kewibawaan beliau berujar: "Engkau telah ditunjukkan padaku semenjak 20 tahun yang lalu!".

Semenjak kejadian itu al-Mursi terus mendapatkan wejangan-wejangan dari gurunya Syaikh Abu Hasan ini. Mereka berdua membangun pondok (zawiyah) Zaghwan di daerah Tunis, di mana as-Syadzili menyebarkan ilmu kepada murid-muridnya yang beraneka ragam latar belakang dan profesinya. Ada dari kalangan ulama', pedagang juga orang awam.

Syaikh as-Syadzili sebetulnya sudah lama meninggalkan Tunis. Ia pergi ke Iskandariyah kemudian ke Mekkah. Kembalinya ke Tunis lagi ini membuat orang bertanya-tanya. Dalam hal ini dia menjawab: "Yang membuatku kembali lagi ke Tunis tidak lain adalah laki-laki muda ini (maksudnya Abu 'Abbas al-Mursi)". Setelah itu Syaikh as-Syadzili kembali lagi ke Iskandariyah, karena ada perintah dari Nabi Muhammad Saw dalam mimpinya.

Ada cerita dari al-Mursi tentang perjalanan ke Iskandariyah ini: "Ketika aku menemani Syaikh dalam perjalanan menuju ke Iskandariyah, aku merasa sangat susah sehingga aku tidak mampu menanggungnya. Lalu aku menghadap Syaikh. Ketika beliau melihat penderitaanku ini, beliau berkata: "Hai Ahmad...!", aku menjawab: "Iya Tuanku", Beliau berkata: "Allah telah menciptakan Adam as dengan tangan-Nya, dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud padanya. Allah kemudian menempatkannya di dalam surga, lalu menurunkannya ke bumi. Demi Allah... Allah tidak menurunkannya ke bumi untuk mengurangi derajatnya, tapi justru untuk menyempurnakannya. Allah telah menggariskan penurunannya ke bumi sebelum Dia menciptakannya, sebagaimana firmannya: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".. (QS. 2:30). Allah tidak mengatakan di langit atau di surga. Maka turunnya Adam ke bumi adalah untuk memuliakannya bukan untuk merendahkannya, karena Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu (Ta'rif) lalu diturunkan ke bumi supaya beribadah pada Allah dengan kewajiban (Taklif), ketika dia telah mendapatkan kedua ibadah tadi, maka pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga pemberitahuan (Ta'rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti (Khalifah)".

Begitulah Syaikh As-Syadzili mengantarkan Al-Mursi menuju ke jalan Allah demi memenuhi hatinya dengan rahasia ilahiyah supaya kelak bisa menggantikannya, bahkan bisa dikatakan supaya dia jadi Syaikh Abu Hasan itu sendiri. Sebagaimana Syaikh as-Syadzili sendiri pernah mengatakan: "Wahai Abu Abbas... demi Allah, aku tidak mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah aku, dan aku adalah kamu. Wahai Abu Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam diri para wali lainnya."

Persatuan antara keduanya ini di jelaskan oleh Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari: "Suatu ketika Syaikh as-Syadzili ada di rumah Zaki as-Sarroj, sedang mengajar kitab al-Mawaqif karangan al-Nafari, lalu beliau bertanya: "Kemana Abu Abbas?" Ketika Syaikh al-Mursi datang, beliau berkata: "Wahai anakku... bicaralah! Semoga Allah memberkahimu... bicaralah! jangan diam", maka Syaikh Abu Abbas mengatakan: "Lalu aku di beri lidah Syaikh mulai saat itu."

Pada banyak kesempatan Syaikh as-Syadzili memuji ketinggian kedudukan Syaikh al-Mursi, beliau mengatakan: "Inilah Abu Abbas, semenjak dia sampai pada makrifatullah tidak ada halangan antara dirinya dan Allah SWT. Kalau saja dia meminta untuk ditutupi, pasti permintaan itu tidak akan dikabulkan.

Ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Syaikh Zakiyyuddin al-Aswani, Syaikh as-Syadzili bekata: "Wahai Zaki... berpeganglah pada Abu Abbas, karena demi Allah, semua wali telah ditunjukkan oleh Allah akan diri Abu Abbas ini. Hai Zaki... Abu Abbas itu seorang laki-laki yang sempurna."

Hal yang sama juga terjadi ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Nadli bin Sulton. Syaikh as-Syadzili mengatakan: "Wahai Nadli... tetaplah bersopan santun pada Abu Abbas! Demi Allah, dia itu lebih tahu lorong-lorong langit, dibanding pengetahuanmu akan lorong-lorong kota Iskandariyah!" Syaikh as-Syadzili juga mengatakan: "Kalau aku mati, maka ambillah al-Mursi, karena dia adalah penggantiku, dia akan mempunyai kedudukan tinggi di hadapan kalian, dan dia adalah salah satu pintu Allah."

Imam Sya'rani menceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengingkari keilmuan Syaikh al-Mursi. Orang tersebut mengatakan: "Berbicara tentang ilmu yang ada itu hanya ilmu lahir, tetapi mereka, orang-orang sufi itu mengaku mengetahui hal-hal yang diingkari oleh syara'". Di kesempatan yang lain orang ini menghadiri majlis Syaikh al-Mursi. Tiba-tiba dia jadi bingung hilang kepintarannya. Seketika itu juga ia tidak mengingkari adanya ilmu batin. Dengan sadar dan penuh sesal ia berkata: "Laki-laki ini sungguh telah mengambil lautan ilmu Tuhan dan tangan Tuhan." Akhirnya dia menjadi salah satu murid dekat al-Mursi. Syaikh Abu Abbas mengatakan : "Kami orang-orang sufi mengkaji dan mendalami bersama ulama' fiqih bidang spesialisasi mereka, tapi mereka tidak pernah masuk dalam bidang spesialisasi kami."

Rupanya kealiman al-Mursi tidak terbatas pada ilmu fiqih dan tasawuf. Syaikh Ibnu Atha'illah menceritakan dari Syaikh Najmuddin al-Asfahani: "Syaikh Abu Abbas berkata padaku: "Apa namanya ini dan itu dalam bahasa asing?" Tersirat dalam hatiku bahwa Syaikh ingin mengetahui bahasa ajam maka aku ambilkan kamus terjemah. Beliau bertanya: " Kitab apa ini?", Aku jawab: "Ini kitab kamusnya." Lalu Syaikh tersenyum dan berkata: "Tanyakan padaku apa saja, terserah kamu, nanti aku jawab dengan bahasa arab, atau sebaliknya." Lalu aku bertanya dengan bahasa asing dan beliau menjawab dengan memakai bahasa Arab. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Arab, beliau menjawab dengan bahasa asing. Beliau berkata: " Wahai Abdullah... ketika aku bertanya seperti itu tidak lain adalah sekedar basa-basi bukan bertanya sesungguhnya. Bagi wali tidak ada yang sulit, bahasa apapun itu."

Dalam penafsiran ayat "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan." (QS. 1:5), al-Mursi menafsiri sebagai berikut, "Hanya Engkaulah yang kami sembah maksudnya adalah Syari'ah, dan hanya kepada-Mulah kami memohon adalah Haqiqah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Islam, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Ihsan. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Ibadah, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Ubudiyyah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Farq, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Jam'.

Kedekatannya dengan Allah menyebabkan ia banyak mempunyai karomah, di antaranya:

Al-Mursi telah mengabarkan siapa penggantinya setelah ia meninggal. Orang itu adalah Syaikh Yaqut al-Arsyi yang lahir di negeri Habasyah. Suatu ketika ia meminta murid-muridnya agar membuat A'sidah (sejenis makanan). Iskandariyah pada saat itu tengah musim panas. Karena heran ada seseorang yang bertanya: "Bukankah A'sidah itu untuk musim dingin?". Dengan tenang al-Mursi menjawab: "A'sidah ini untuk saudara kalian Yaqut orang Habasyah. Dia akan datang kesini."

Ada seseorang yang datang menghadap al-Mursi dengan membawa makanan syubhah (tidak jelas halal-haramnya) untuk mengujinya. Begitu melihat makanan itu al-Mursi langsung mengembalikannya pada orang tersebut sambil berkata: "Kalau al-Muhasibi hendak mengambil makanan syubhah, otot tangannya bergetar, maka 60 otot tanganku akan bergetar."

Pada suatu masa perang, penduduk Iskandariyah semua mengangkat senjata untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh. Demi melihat hal ini, Syaikh al-Mursi mengatakan: " Selama aku ada di tengah-tengah kalian, maka musuh tidak akan masuk." Dan memang musuh tidak masuk ke Iskandariyah sampai Syaikh Abu Abbas al-Mursi meninggal dunia.


Mawlana Jalaluddin ar-Rumi
Guru Kaum Darwis

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Tarekat Maulawiyah, sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiyah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syari'at dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”

Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.

PENGARUH SYAIKH TABRIZ

Syaikh Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Syaikh Fariduddin Attar itu tidak meleset. Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Baha'uddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Baha'uddin ke penguasa. Celakanya, sang penguasa terpengaruh hingga Baha'uddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun.

Sejak itu Baha'uddin bersama keluarganya hidup berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya - Ala'uddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.

Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.

Tiba-tiba seorang lelaki asing - yakni Syaikh Syamsi Tabriz - ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”

Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad.

Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.

Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa Fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwis yang berputar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

WAFATNYA MAWLANA RUMI

Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit.”

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Tarekat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.


Dzun Nun al-Mishri

Beliau adalah seorang sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan Sang Pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzun Nun al-Mishri. Kendati demikian, besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.

Waliyullah yang dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmin (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajahi bumi mensyi'arkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatullah yang hakiki.

Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak di iringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya: "Ada apa ini?" Orang tersebut menjawab: "Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik." Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini?" begitu pikir sang wali. Ia pun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab: "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga." Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu: "Ya Allah.. aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar." Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).

Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasih-Nya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzun Nun al-Mishri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya. Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghribi menghadap Dzun Nun al-Mishri dan bertanya: "Wahai Abu al-Faidl!" begitu ia memanggil demi menghormatinya. "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT?". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu." Begitu jawab Dzun Nun al-Mishri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghribi semakin penasaran: "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku." Lalu Dzun Nun al-Mishri berkata: "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkuk berisi biji-bijian simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad: "Cukup... aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Aku pun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku."

Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufi pun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama. Maka demikianlah, Dzun Nun al-Mishri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah. Suatu malam, tatkala Dzun Nun bersiap-siap menuju tempat untuk bermunajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa: "Ya Allah.. Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmat-Mu. Tuhanku... Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Dzat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa."

Dengan khusyu' Dzun Nun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini. Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. "Aku harus menemuinya." begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan ia pun bisa menemukan kediaman lelaki misterius itu. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzun Nun bertanya: "Apakah keselamatan itu?" Orang tersebut menjawab: "Keselamatan ada dalam ketakwaan dan Muraqabah (mengevaluasi diri)." "Selain itu ?" pinta Dzun Nun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!" "Selain itu?" pinta Dzun Nun lagi. "Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus." Lalu orang tersebut meninggalkan Dzun Nun al-Mishri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.

Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzun Nun al-Mishri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membantah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan Ahwal dan Maqamat para wali Allah. Maslamah bin Qasim mengatakan: "Dzun Nun al-Mishri adalah seorang yang alim, zuhud wara', mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits." Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzun Nun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibnu Luha'iah, Fudail ibnu Iyadl, Ibnu Uyainah, Muslim al-Khawwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah Hasan bin Mus'ab an-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, at-Tha'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman as-Sulami menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzun Nun telah meriwayatkan hadits Rasulullah Saw dari Ibnu Umar yang berbunyi: "Dunia adalah penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir."

Di samping mahir dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja. Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dzahir' timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzun Nun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzun Nun mempunyai kelebihan ilmu Rabbani yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang zindiq yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?" Tanya khalifah kemudian. "Begitulah mereka mengatakan." ujar beliau. Salah satu pegawai raja menyela: "Amir al-Mu'minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud.. ayo bicaralah."

Dzun Nun menundukkan muka sebentar lalu berkata: "Wahai amiirul mukminin.... Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembah-Nya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati mereka adalah samawi......." Dzun Nun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah dipenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzun Nun. Dengan wibawa Khalifah berkata pada orang-orang yang datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini orang-orang Zindiq, maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini." Sejak saat itu Khalifah al-Mutawakkil ketika disebutkan padanya orang yang Wara' maka dia akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang Wara' maka marilah kita menyebut Dzun Nun."

Imam Qusyairi dalam kitab Risalah-nya mengatakan: "Dzun Nun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Hal, dan adab." Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan: "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzun Nun al-Mishri, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basri." Seperti berlomba memujinya, sufi terbesar dan ternama Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam hal ini mengatakan: "Dzun Nun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita." Pujian dan penghormatan pada Dzun Nun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita: "Sahl at-Tustari (salah satu Imam tasawuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan isyarat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab: "Dulu waktu Dzun Nun al-Mishri masih hidup, aku tidak berani berbicara, tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku: Berbicaralah!! Engkau telah diberi izin."

Suatu ketika Dzun Nun ditanya seseorang: "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?" "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku", jawab Dzun Nun. "Kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku." Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan: "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya." "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluk, bagaimana Allah menjadikannya." Tentang cinta ia berkata: "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah." "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah, Nabi Muhammad Saw dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya." "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: "cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Al Qur'an yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)."

Imam an-Nabhani dalam kitabnya "Jami' al-Karamat" mengatakan: "Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad as-Sulami: "Suatu ketika aku menghadap pada Dzun Nun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak ambar. Lalu beliau berkata padaku: "Engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira." Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).

Suatu hari Abu Ja'far ada di samping Dzun Nun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzun Nun mengatakan: "Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya." Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.

Imam Abdul Wahhab as-Sya'roni mengatakan: "Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzun Nun lalu berkata: "Anakku telah dimangsa buaya." Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzun Nun datang ke sungai Nil sambil berkata: "Ya Allah... keluarkan buaya itu." Lalu keluarlah buaya tersebut, Dzun Nun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata: "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu, aku selalu merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT."

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Mishri yang wafat pada tahun 245 H. semoga Allah meridlainya.


Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari
Pengarang Al-Hikam

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho' al-Sakandari al-Judzami al-Maliki as-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya'rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa'ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu Hasan as-Syadzili - pendiri Tarekat Syadziliyyah - sebagaimana diceritakan Ibnu Atho' dalam kitabnya "Lathoiful Minan": "Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu Hasan as-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: "Demi Allah... kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding." Keluarga Ibnu Atho' adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariyah, seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariyah pada masa Ibnu Atho' memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariyah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawuf dan para Auliya' Sholihin.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho'illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho' menceritakan dalam kitabnya "Latho'iful Minan": "Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho' yaitu Syaikh Abul Abbas al-Mursi mengatakan: "Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariyah (Ibnu Atho'illah) datang ke sini, tolong beritahu aku", dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: "Malaikat Jibril telah datang kepada Nabi Saw bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi Saw. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi Saw dan mengatakan: "Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka." Dengan bijak Nabi Saw mengatakan: "Tidak... aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka." Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho'illah) demi orang yang alim fiqih ini."

Pada akhirnya Ibnu Atho' memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqih sampai bisa memadukan fiqih dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Ibnu Atho'illah menjadi tiga masa :

Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariyah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, ushul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariyah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho'illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau." Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syari'at menentangnya."

Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Syaikh Abu Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya terhadap ulama' tasawuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil tarekat langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "Apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abu Abbas al-Mursi? Setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatinya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majelisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku."

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf, hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meninggalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru. Dalam hal ini Ibnu Atho'illah menceritakan: "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan: "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi'. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tarekat kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku... apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?" Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tarekat kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga."

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: "Beginilah keadaan orang-orang Shiddiqin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka." Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah."

Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho' dari Iskandariyah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho'illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ia membedakan antara uzlah dan khalwat. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwat. Dan khalwat dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, khalwat adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT. Menurut Ibnu Atho'illah, ruangan yang bagus untuk berkhalwat adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Atho'illah sepeninggal gurunya Syaikh Abu Abbas al-Mursi tahun 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tarekat Syadziliyah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariyah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Atho'illah berceramah di al-Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus shalih, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan." Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : "Ibnu Atho'illah adalah orang yang shalih, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakikat dan orang-orang ahli tarekat." Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriyah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawuf, seperti Imam Taqiyyuddin as-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab "Tobaqoh al-Syafi'iyyah al-Kubro". Sebagai seorang sufi yang alim, Ibn Atho' meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqih, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Karomah Ibnu Atho'illah

Al-Munawi dalam kitabnya "Al-Kawakib ad-Durriyyah mengatakan: "Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: "Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia..." Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibnu Atho'illah dengan keras: "Wahai Kamal... tidak ada diantara kita yang celaka." Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho'illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibnu Atho'illah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim as, di Mas'aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya: "Siapa saja yang kamu temui?" lalu si murid menjawab: "Tuanku... saya melihat tuanku di sana." Dengan tersenyum al-Arif Billah ini menerangkan: "Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya."

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.



Syaikh Muhammad Ali as-Sanusi

Pada awal abad ke-20 M muncul gerakan revolusi di Libya, yang dimotori oleh Tarekat Sanusiyah. Tarekat itu didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Ali al-Sanusi (1787-1859 M). Ia belajar ilmu agama, termasuk ilmu tasawuf di Fas.

Syaikh Ali As-Sanusi dilahirkan di Mostaganem, Aljazair, pada tahun 1787. Syaikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Oleh karena itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan keruhanian. Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Tersebar luas hingga ke Selatan Afrika, Sudan, Somalia dan sebahagian negara Arab. Gerakan ini terpengaruh oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, dan Abu Hamid al-Ghazali. Dalam berdakwah kepada Allah, gerakan ini menggunakan cara lembut dan berhikmah. Mereka menekankan dalam kerja-kerja tangan dan senantiasa berjihad Fi Sabilillah menentang penjajah, Salibi dan sebagainya.

Penulis Thabaqat al-Malikiyah wa al-Kittani menuturkan : “Muhammad bin Ali as-Sanusi adalah seorang imam yang telah mencapai ma’rifat (‘Arif billah), selalu mengajak untuk kembali kepada sunnah Nabi, karena ia adalah seorang ahli hadits, Hujjah Allah bagi generasi belakangan dan wali Allah. Bermukim di Mekkah dan dimakamkan di Jaghbub (Libya). Ia mempelajari Tarekat Syadziliyah di Maroko dari Mawlaya al-’Arabi al-Darqawi, kemudian pergi ke masyriq untuk mempelajari tarekat mereka.”

Selanjutnya ia kembali ke Libya dan tinggal di daerah Jaghbub. Ia hidup wara’, zuhud dan selalu berkhalwat. Dalam kitabnya al-Salsabil al-Mu’in fi al-tara'iq al-Arba’in beliau bercerita :

“Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan kami dengan para ulama besar dan orang yang telah mencapai “mukasyafah”. Kami juga telah mempelajari tarekat mereka dan mengambil ijazah sebagian besar dari tarekat itu. Kemudian aku mencoba untuk mengikuti salah satu dari tarekat yang berjumlah 40 itu dan akhirnya aku mendapatkan satu tarekat yang memiliki sanad yang tinggi : Tarekat Sanusiyah”

Syaikh Muhammad bin Ali as-Sanusi memiliki beberapa kelebihan : kecerdasan tinggi, kepribadian mulia dan dicintai oleh murid-muridnya. Di Libya ia berperan cukup besar dalam kemiliteran. Ia membangun pertahanan dan kekuatan bukan hanya dengan berceramah dan nasihat saja, melainkan terjun langsung melatih kaum muslimin dalam menggunakan senjata, panah dan strategi perang untuk menghadapi pasukan Italia di Libya.

Sufi Pejuang Penghadang Penjajah Italia di Libya Syaikh Ahmad Syarif As-Sanusi (Sufi Pejuang Penghadang Penjajah Italia di Libya)

Syaikh Ahmad Syarif as-Sanusi menguasai berbagai bidang ilmu. Ahli hadits, Sufi, dan termasuk salah seorang mujahid besar pengikut Tarekat Sanusiyah dalam menghadapi pasukan Italia di Libya. Diantara karya beliau: Anwar al-Qudsiyah dan Fayudhat al-Rabbaniyah (Tasawuf), dan kitab Baghiyah al-Musa’id fi Ahkaam al-Mujaahid (kitab jihad yang mengatakan bahwa selalu siap berjihad menjadi kewajiban setiap pengikut Tarekat)

Sayyid Ahmad Syarif memiliki postur tubuh yang sedang, mukanya panjang dan tebal, dan andaikata matanya tidak cekung ke dalam maka dia tampak seperti orang Cina. Matanya sayu dan hampir-hampir tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, dan dia jarang sekali tersenyum. Dia berpakaian jubah putih dan memakai serban lebar berwarna putih juga.

Syaikh Ahmad Syarif dilahirkan pada tahun 1873 di Jaghbub, di mana dia mendapat bimbingan pamannya, Sayyid al-Mahdi, ayahnya (Muhammad Syarif), ar-Rifi dan al-Biskiri. Selain itu dia diperkenalkan dengan semua masalah yang dihadapi oleh Tarekat Sanusiyah pada saat itu karena pamannya memberitahukan hal-hal ini kepadanya, dan sering mengeluarkan perintah melalui dirinya. Ketika Sayyid al-Mahdi pindah ke Qiru di Sudan, Sayyid Ahmad as-Syarif menemaninya, dan di sanalah dia dinyatakan sebagai calon penggantinya, pada saat pamannya meninggal.

Syaikh Ahmad Syarif mengarang sebuah kitab yang bernama Al-Anwarul Qudsiyyah fi Ma’alimith Thariqis Sanusiyyah. Di dalam kitab tersebut Beliau bertanya kepada kakak dari ayahnya Syaikh Muhammad al-Mahdi, kepada siapakah Tarekat Sanusiyah disandarkan sehingga disebut sebagai Thariqah As-Sanusiyyah Al-Idrisiyyah Al-Qadiriyyah An-Nasiriyyah As-Sadziliyyah. Maka dijawab, bahwa semuanya kembali kepada nama ‘Al-Muhammadiyyah’, yang berarti mengikuti Sunnah baik sedikit maupun banyak. Pada awalnya Tarekat ini merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah. Menurut Syaikh Ahmad Syarif As-Sanusi, Tarekat ini dibangun atas dasar mengikuti Sunnah dalam perkataan, perbuatan, keadaan, serta membiasakan menyebut Shalawat Nabi di berbagai waktu.

Dalam kitab itu pula diterangkan sumber pengambilan amalan-amalan utama Tarekat Sanusiyah. Seperti Shalawat Ummiyyah, memiliki sanad dari Syaikh Muhammad bin Ali as-Sanusi yang menerima dari Syaikh Ahmad bin Idris, beliau dari Syaikh Abul Mawahib at-Taziy, beliau dari Syaikh Muhammad bin Zayyan, beliau dari Syaikh Muhammad bin Nashir ad-Dar’i. Selain itu Syaikh Muhammad bin Ali as-Sanusi mendapatkan pula dari Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Abdus Salam al-Banani, beliau dari Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Nashir ad-Dar’i, dan beliau dari Syaikh Muhammad bin Nashir ad-Dar’i.

Sesungguhnya amal Sufi itu diukur dengan timbangan syari’ah. As-Sanusiyyah mengumpulkan 2 jalan, Burhaniyyah dan Isyraqiyyah, semacam metode dalam mencapai kematangan spiritual (jalan menuju kepada Allah).

Syaikh Ahmad Syarif berkata bahwa seseungguhnya Isyraqiyyah adalah kebiasaan seorang murid dalam membersihkan jiwa dari kekotoran sehingga mencapai kebenaran dalam meraih pengetahuan (makrifat) dan rahasia-rahasia tanpa dengan belajar. Dan tiadalah proses pembelajarannya melainkan dengan melalui pintu ‘Wattaqullaah wayu’allimukumullaah’ (Bertaqwalah, dan [niscaya] Allah akan mengajarkan kalian akan pengetahuan). Adapun Burhaniyyah merupakan kebiasaan seorang murid mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan agama, serta mempelajari ilmu yang 4, yaitu: ilmu Zat dan Sifat, Fiqh, Hadits dan Dalil-dalil. Maka Tarekat Sanusiyah menggabungkan keduanya (Isyraqiyyah dan Burhaniyyah). Barang siapa menginginkan Isyraqiyyah maka ikutilah jalannya, dan barang siapa menginginkan Burhaniyyah maka tempuhlah jalannya pula.

Dan jalan Burhaniyyah adalah mendiami lahir dengan adab mengikuti perkataan Nabi, dan mendiami batin dengan muraqabah (mendekatkan diri) kepada Allah di segala gerak diamnya atas Sunnah Nabi dan jalan orang pilihan.

Syaikh Ahmad Syarif juga mengarang sebuah kitab tentang jihad, yaitu: Bughyatul Musa’id fi Ahkamil Mujahid’. Menurut pengamat Tasawuf belakangan, Tarekat Sanusiyah tasawufnya memiliki corak ajaran yang khas, yaitu: Imamah (kepemimpinan), Hijrah dan Jihad. Taat kepada seorang Imam adalah wajib, Hijrah adalah untuk mencapai kemapanan, dan Jihad adalah untuk menegakkan Kalimat Haq (kebenaran) dan Dien.

Pada saat Syaikh Ahmad dilantik menjadi pemimpin Zawiyah Tarekat Sanusiyah tahun 1900 M, beliau langsung menyatakan perang melawan musuh Allah penjajah tanah air mereka. Gerakan ini membuat pasukan Prancis kewalahan menghadapi serangan pasukan Sanusiyah, ketika itu juga pasukan Italia telah menguasai Barqah, tetapi mendapat perlawanan dari Syaikh Ahmad Syarif as-Sanusi, perjalanan hidupnya penuh dengan perjuangan sehingga beliau meninggal dengan tenang di kota Madinah setelah datang dari Syam.


Syaikh Abu Yazid al-Busthami
Raja Mistikus

Syaikh Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Sarusyan al-Busthami lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Beliau adalah salah seorang Sulthanul Awliya, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada dalam silsilah tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Sadziliyah, dan beberapa tarekat lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb:" ...bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiyah."

Kakek Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Syaikh Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. "Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya", ibunya sering berkata pada Abu Yazid, "Engkau yang masih berada di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali." Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.

Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur'an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi, "Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu." Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, "Ijinkanlah aku untuk pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku."

Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata, "Thoifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?"

"Tidak", jawab Abu Yazid, "Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata."

"Anakku", jawab ibunya, "Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah."

Di kemudian hari Abu Yazid berkata, "Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah.

"Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tangaku kaku."

"Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?" ibuku bertanya. "Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena", jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, "Biarkan saja pintu itu setengah terbuka." "Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali."

Setelah si ibu memasrahkan anaknya pada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama 30 tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya, "Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu."

"Jendela? Jendela yang mana?", tanya Abu Yazid. "Telah sekian lama engkau belajar disini dan tidak pernah melihat jendela itu?" "Tidak", jawab Abu Yazid, "Apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini." "Jika demikian", kata sang guru," kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai."

Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah (diartikan menghina kota Mekkah), karena itu segera ia memutar langkahnya.

Abu Yazid berkata mengenai guru tadi, "Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah, niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya." Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah mesjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu.

Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.
"Mengapa engkau selalu berlaku demikian?" tanya salah seseorang kepadanya. "Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid", jawabnya.

Perjalanan Abu Yazid menuju Ka'bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu, Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan sholat sunnah dua raka'at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan: "Ka'bah bukanlah serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat."

Akhirnya sampailah ia ke Ka'bah, tetapi ia tidak pergi ke Madinah pada tahun itu juga. Abu Yazid menjelaskan, "Tidaklah pantas berkunjung ke Madinah hanya sebagai pelengkap saja, saya akan mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah."

Tahun berikutnya ia kembali menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya.

"Siapakah orang-orang ini?", ia bertanya sambil melihat kebelakang.
"Mereka ingin berjalan bersamamu", terdengar sebuah jawaban. "Ya Allah!", Abu Yazid memohon, "Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku."

Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan sholat shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka, "Ana Allah ,Laa ilaha illa ana, Fa'budni." Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka Sembahlah Aku."

"Abu Yazid sudah gila!", seru mereka kemudian meninggalkannya.

Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan "Tuli, bisu, buta.. mereka tidak memahami." Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya. "Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi", gumamnya, "Yang menjadi tauhid di dalam Allah... ia tidak lagi mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenung secuil pengetahuan Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya."

Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya. "Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!", seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, "Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban." Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung onta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut.

"Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!", seru si pemuda. "Jika kusembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku", kata Abu Yazid kepadanya. "Tetapi jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?"

MI'RAJ

Abu Yazid mengisahkan, "Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluq-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku."

Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar.

Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya. Aku bertanya, "Ya Allah, apakah ini?"

Dia menjawab, "Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud-Ku." Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikianlah Allah, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitasNya."

Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya. Kututup telinga dari derap perjuangan. lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.

Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata kepada Allah, dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya.

Allah berkata kepadaku, "Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan."

"Ya Alloh.. Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau."

Allah berkata, "Oleh karena itu perhatikanlah hukum-Ku dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu."

"Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya."

"Dari siapakah engkau belajar?", tanya Allah.
"Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya", jawabku, "Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya."

Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasan-Nya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia lah aku hidup dan karena kelimpahan-Nya lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.

"Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki", kata Alloh. "Engkaulah yang kuinginkan", jawabku, "Karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau."

Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia, "Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitaslah yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran." "Jika aku telah melihat", kataku pula, "Melalui Engkau-lah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar."

Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepadaNya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat melayang-layang memandangi alam kebesaranNya dan hal-hal menakjubkan dari ciptaanNya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan perhiasan-perhiasanNya sendiri.

Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana ketauhidan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku tauhid ke dalam sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku sebuah nama dari hadirat-Nya sendiri dan berkata-kata kepadaku dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah Tauhid Dzat dan punahlah perpisahan.

"Kepuasan Kami adalah kepuasanmu", kata-Nya, "Dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan tak seorang pun akan menghukummu karena ke-aku-anmu."

Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu, dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya, "Siapakah yang memiliki kerajaan ini."
"Engkau", jawabku.
"Siapakah yang memiliki kekuasaan?"
"Engkau", jawabku.
"Siapakah yang memiliki kehendak?"
"Engkau", jawabku.

Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukkan-Nya kepadaku betapa jika bukan karena belas kasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah dibinasakan oleh ke-Maha Perkasaan-Nya. Dia memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.

Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada kepapaan dan tidak ada yang lebih baik dari ketidakberdayaan (fana, red). Tiada pelita yang lebih terang daripada keheningan dan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Dan tiada pula gerak yang lebih sempurna daripada diam. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia melihat betapa jasmani dan ruhaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan.

Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur ilahi, dan mata yang ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, karena Dia lah Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi, maka aku tidak akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan, ruh Islam. Aku tidak berbicara mengenai diriku sendiri sebagai seorang pemberi peringatan. Dia lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya, sedang aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.

Setelah memuliakan diriku Dia berkata, "Hamba-hamba-Ku ingin bertemu denganmu." "Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka", jawabku. "Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendak-Mu. Hiaslah diriku dengan ke-esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini."

Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku.

Setelah itu Dia berkata, "temuilah hamba-hamba-Ku itu." Akupun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya. Tetapi pada langkah yang kedua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah seruan, "Bawalah kembali kekasih-Ku kemari. Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalanpun yang diketahuinya kecuali jalan yang menuju Aku."

Setelah aku mencapai taraf tauhid Dzat - itulah saat pertama aku menatap Yang Esa - bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari ke-esa-an dan dengan sayap keabadian. Terus menerus aku melayang-layang di angkasa kemutlakan. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata, "Aku telah sampai kepada Sang Pencipta. Aku telah kembali kepada-Nya."

Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam sifat-Nya yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan perbuatan-Nya, dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan Dzat-Nya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun, terlihat olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri.

Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai di akhir penjelajahan itu terlihat olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, "Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini."

Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan.

Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad Saw, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad.

Kemudian Abu Yazid berkata, "Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?"

Maka terdengarlah perintah, "Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad, si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.

Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku ke dalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata, "Aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak Muhammad.

PERANG TANDING ANTARA ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU'ADZ

Yahya bin Mu'adz - salah seorang tokoh sufi, waliyullah jaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid, "Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?"
"Aku tidak tahu. Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga.", jawab Abu Yazid.

Yahya bin Mu'adz menyurati lagi, "Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu."

Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan, "Syaikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zam-zam."

Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya itu, "Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba, tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang telah mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan."

Maka Yahya bin Mu'adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu sholat Isya'. Yahya berkisah sebagai berikut, "Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang sholat Isya'. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berkata di dalam do'anya, "Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini."

Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab, "Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satupun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata."

"Guru, mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja diantara raja yang pernah berkata, "Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?", Yahya bertanya. "Diamlah!", sela Abu Yazid, "Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.

Yahya bermohon, "Demi keagungan Allah.. Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi."

"Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu. Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu", jawab Abu Yazid.

Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu.

Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata, "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah "Raja diantara kaum mistik", tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?"

Abu Yazid menjawab, "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, 'Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?'. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi jalan kepadanya."

Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan menuju Ka'bah di Makkah, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi. "Di waktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?", tanya seseorang kepada Abu Yazid.

"Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan, terlihat olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata, 'Jika engkau kembali, selamat dan sejahteralah engkau. Jika tidak, akan kutebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumah-Nya'", jawab Abu Yazid.

Hatim Tuli - salah seorang waliyullah masa itu - berkata kepada murid-muridnya, "Barangsiapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari berbangkit nanti, ia bukan muridku."

Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid, kemudian Abu Yazid menambahkan, "Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarnya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, ia adalah muridku."

ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA
Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau.

Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, "Pada hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do'a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu."

"Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramah-ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati." "Mengapa demikian?", tanya si murid.
"Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri", jawab Abu Yazid. "Apakah yang harus kulakukan?", tanya si murid pula. "Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya", jawab Abu Yazid. "Akan kuterima!. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan." "Baiklah!", jawab Abu Yazid. "Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka, "Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku." Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan."

"Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah", cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
"Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim", kata Abu Yazid. "Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah."
"Mengapa begitu?", tanya si murid.
"Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah?".

"Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain", si murid keberatan. "Hanya itu yang dapat kusarankan", Abu Yazid menegaskan. "Aku tak sanggup melaksanakannya", si murid mengulangi kata-katanya. "Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku", kata Abu Yazid.

"Engkau dapat berjalan di atas air", orang-orang berkata kepada Abu Yazid. "Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu", jawab Abu Yazid.

"Engkau dapat terbang di angkasa". "Seekor burung pun dapat melakukan itu."

"Engkau dapat pergi ke Ka'bah dalam satu malam." "Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam."

"Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?", mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, "Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapapun dan apapun kecuali kepada Allah."

Abu Yazid ditanya orang, "Bagaimanakah engkau mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?"
"Pada suatu malam ketika aku masih kecil, aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba kulihat suatu kehadiran. Di sisinya ada delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku bergetar kencang lalu aku hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku berseru "Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikian kosongnya. Hasil karya yang sedemikian agung tapi begitu sepi?" Lalu terdengar olehku sebuah jawaban dari langit, "Istana ini kosong bukan karena tak seorang pun memasukinya tetapi Kami tidak memperkenankan setiap orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka-pun yang pantas menghuni istana ini.", jawab Abu Yazid.

"Maka aku lalu bertekat untuk mendo'akan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi penengah manusia adalah Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu aku hanya memperhatikan tingkah lakuku sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang menyeruku, "Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka Aku muliakan namamu sampai hari berbangkit nanti dan umat manusia akan menyebutmu.

RAJA PARA MISTIK

Abu Yazid menyatakan, "Sewaktu pertama kali memasuki Rumah Suci (Ka'bah), yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu. Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk ketiga kalinya memasuki Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku."

Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya, "Anakku, siapakah namamu?" Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid, "Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku."

"Anakku.. Aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku", Abu Yazid menjawab.

Abu Yazid mengisahkan: Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan diriku.

Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku.

"Sejauh ini engkau memanggilku", katanya,"Hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?"

"Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu, "Dari manakah engkau datang?"

"Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh", kemudian ia menambahkan, "Berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!"

Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu.

MASA AKHIR

Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Allah ke hadhirat-Nya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Allah itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula.

Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Allah: "Ya Allah, aku tidak membanggakan disiplin diri yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku menamatkan Al Qur'an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual khususku yang telah kualami, do'a- do'a yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu.

Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini kukatakan kepada-Mu karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah itu tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan.

Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru, 'Tangri-Tangri' Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakkan lidahku untuk mengucapkan syahadat. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima umat manusia karena kepatuhan mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu.

Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.


Syaikh Ahmad At-Tijani
Pendiri Tarekat Tijaniyah

Syaikh Ahmad At-TijaniTarekat Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani. Ia dilahirkan pada tahun 1150 H (1737 M) di 'Ain Madi, sebuah desa di Aljazair. Syaikh Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah Saw., yakni dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah Saw.

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi Al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad Al-'Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad Al-Nafs Al-Zakiyyah Ibn Abdullah Al-Kamil Ibn Hasan Al-Musana Ibn Hasan Al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib.

Ia meninggal dunia pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H, dan dimakamkan di Kota Fez, Maroko. Sejak kecil, Syaikh Ahmad At-Tijani telah mempelajari berbagai cabang ilmu, seperti ilmu ushul, fikih, dan sastra. Menginjak usia tujuh tahun, ia sudah hafal Al Qur'an. Dikisahkan, saat usianya masih remaja, Syaikh Ahmad At-Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam sehingga pada usia di bawah 20 tahun, ia sudah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.

Pada usia 21 tahun, tepatnya di tahun 1171 H, Syaikh Ahmad At-Tijani pindah ke Kota Fez, Maroko, untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di kota ini, ia menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat Al-Makkiyyah di bawah bimbingan Al-Tayyib Ibn Muhammad Al-Yamhali dan Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Wanjali. Al-Wanjali berkata kepada Syaikh Tijani, ''Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam Abu Hasan As-Syadzili (pendiri tarekat Syadziliyah)."

Selanjutnya, Syaikh At-Tijani berguru pada Syaikh Abdullah Ibn Arabi Al-Andalusia. Syaikh Abdullah berkata padanya, ''Semoga Allah membimbingmu.'' Kata-kata ini diulang sampai tiga kali. Tak cukup sampai di sini, Syaikh At-Tijani juga berguru kepada Syaikh Ahmad At-Tawwasi dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut dalam bidang tasawuf. Ia menyarankan kepada Syaikh Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berdzikir, sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). ''Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam 'azim),'' kata Syaikh Tawwasi.

Ketika memasuki usia 31 tahun, Syaikh Ahmad At-Tijani mulai mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah SWT melalui amalan beberapa tarekat. Tarekat pertama yang diamalkannya adalah Tarekat Qadiriyah, kemudian Tarekat Nasiriyah dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah. Selanjutnya, ia mengamalkan ajaran tarekat Ahmad Al-Habib Ibn Muhammadan, Tarekat Tawwasiyah. Setelah itu, ia pindah ke zawiyah (pesantren sufi) Syaikh Abdul Qadir Ibn Muhammad Al-Abyadh.

Pada tahun 1186 H, ia pergi menunaikan ibadah haji. Ketika tiba di Aljazair, saat berjumpa dengan Sayyid Ahmad Ibn Abdul Rahman Al-Azhari, seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah, ia lalu mendalami ajaran tarekat ini. Kemudian, Syaikh Tijani berangkat ke Tunisia dan menjumpai seorang wali bernama Syaikh Abdul Samad Al-Rahawi. Di kota ini, ia belajar tarekat secara lebih intens sambil mengajar tasawuf.



Syaikh Samman
Pendiri Tarekat Sammaniyah

Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Samani Al-Hasani Al-Madani Al-Qadiri Al-Quraisyi. Ia adalah seorang fakih, ahli hadits, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya berasal dari suku Quraisy.

Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri kepada Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Tarekat Khalwatiyyah. Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxania (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal adalah kitab Al-Insab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mu'jamul Mashayekh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.

Syaikh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy Al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syaikh Muhammad Saman, keduanya mengungkapkan sosok Syaikh Samman. Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syaikh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. ''Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syaikh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus,'' kata Abdullah Al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, Syaikh Samman berada di kediamannya sendiri.

Adapun perihal awal kegiatan Syaikh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib, diperolehnya sejak bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Suatu ketika, Syaikh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu, datang Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang membawakan pakaian jubah putih. ''Ini pakaian yang cocok untukmu.'' Syaikh Abdul Qadir al-Jilani kemudian memerintahkan Syaikh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syaikh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah Muhammad Saw. untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah. Wallahua’lam.

Hubungan Tari Saman Aceh dengan Sammaniyah

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah provinsi paling barat di bumi nusantara. Daerah ini dikenal sebagai 'Serambi Makkah'-nya nusantara. Agama Islam yang masuk ke Indonesia dipercaya juga berawal dari wilayah ini. Tak heran bila nuansa keislaman sangat kental di provinsi paling barat di Indonesia tersebut. Sebagaimana disebutkan, Tarekat Sammaniyah pertama kali masuk ke Indonesia melalui Aceh dan dibawa oleh Syaikh Abdussamad Al-Falimbani sekitar abad ke-18, salah seorang murid Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Hasani Al-Madani, pendiri Tarekat Sammaniyah.

Tarekat Sammaniyah mengajarkan dzikir dan wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah kepada murid-muridnya. Wirid dan dzikir itu biasanya diamalkan seusai melaksanakan shalat lima waktu dan dengan cara duduk bersila. Seiring dengan perkembangannya, dzikir dan wirid Sammaniyah terus berkembang. Di Sudan dan Nigeria (Afrika Utara), dzikir dan wirid Sammaniyah ini dilaksanakan dengan cara berdiri sambil memuji kebesaran Allah SWT. Tak hanya wirid seusai shalat lima waktu, zikir dan wirid Sammaniyah biasanya dilaksanakan pada peringatan hari besar Islam, seperti maulid Nabi Saw, Isra Mikraj, dan sebagainya.

Adakah hubungan antara dzikir Sammaniyah dan tari Saman di Aceh? Belum ada penjelasan yang paling sahih mengenai keberadaan masalah ini. Dalam beberapa literatur disebutkan, tarian Saman di Aceh didirikan dan dikembangkan oleh Syaikh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara. Siapakah Syaikh Saman Aceh ini? Hingga kini, penulis belum menemukannya. Tercatat, ia adalah seorang ulama yang menyebarkan Islam di Aceh.

Pengamat sejarah Gayo, Ir Wahab Daud, menjelaskan, tari Saman sangat identik dengan agama Islam karena tarian ini dikembangkan sebagai alat untuk mengembangkan agama Islam, khususnya di dataran tinggi Gayo Lues. Liriknya bermakna nasihat, petuah agama, petunjuk hidup, dan sebagainya. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan. Tari Saman biasanya diawali dengan salam pembuka dari syaikh (pemuka adat atau pimpinan dari tari Saman). Selanjutnya, disampaikan petuah-petuah tentang menjalani kehidupan umat manusia. Tarian ini dilakukan oleh sedikitnya delapan orang. Terkadang, dilakukan oleh 17 orang. Orang yang duduk pada posisi nomor sembilan (tengah) bertindak sebagai pimpinan (syaikh).

Pada mulanya, tarian ini hanya merupakan permainan rakyat biasa yang disebut Pok Ane. Melihat minat yang besar masyarakat Aceh pada kesenian ini, Syaikh Saman pun menyisipkan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT. Sehingga, tari Saman menjadi media dakwah saat itu. Dahulu, latihan Saman dilakukan di bawah kolong meunasah (sejenis surau pada saat itu yang berbentuk panggung). Sehingga, mereka tidak akan ketinggalan untuk shalat berjamaah. Sejalan dengan kondisi Aceh yang berada dalam peperangan, syaikh pun menambahkan syair-syair yang menambah semangat juang rakyat Aceh. Tari ini terus berkembang sesuai kebutuhannya. Sampai sekarang, tari ini lebih sering ditampilkan dalam perayaan-perayaan keagamaan dan kenegaraan.

Tak ditemukan penjelasan lain dari Wahab Daud mengenai asal mula tari Saman. Pun, demikian dengan Mudha Farsyah, peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. Ia hanya menyebutkan, tari Saman berasal dari Aceh Gayo yang diciptakan oleh Syaikh Saman, seorang ulama yang menyebarkan Islam di Aceh, khususnya Gayo. Penulis belum menemukan biografi Syaikh Saman, pendiri atau pencipta tari Saman ini.Tentu, akan sangat menarik dan semakin jelas bila ada riwayat hidup Syaikh Saman ini, kemudian asal mula diciptakannya tarian ini. Benarkah tarian ini memiliki hubungan dengan Tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Hasani al-Madani? Apakah tari Saman memang merupakan budaya asli Aceh yang dikembangkan dari dzikir dan wirid? Wallahua’lam.


Sejarah Tarekat Sammaniyah

Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah
Di samping Naqsyabandiyah, Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya Tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan Ali Asy-Syazili (wafat 1258) di Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Samani Al-Hasani Al-Madani (1718-1775 M).

Tarekat ini berhasil membentuk jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan utara Afrika, yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di Suriah dan Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana tarekat ini berkembang luas. Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan atas jasa Syaikh Ahmad At-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di Makkah sekitar tahun 1800-an.

Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang terkenal ialah Syaikh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang pernah memproklamasikan dirinya sebagai Imam Mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota Tarekat Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat Sudan.

Syaikh Muhammad Ahmad menghendaki adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan sesuai dengan agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang bermacam-macam aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi. Ini semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran syariat.

Syaikh Muhammad Ahmad juga menentang pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita pada upacara pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan ziarah ke kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi Muhammad Saw., ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan, lalu menyebut diri mereka sebagai Anshar (penolong) Nabi Muhammad Saw. Lebih jauh, kelompok ini berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi militer yang sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan yang teratur serta administrasi yang baik.

Amalan Tarekat Sammaniyah
Ciri-ciri Tarekat Sammaniyah adalah berdzikir La Ilaha Illa Allah dengan suara yang keras oleh para pengikutnya.

Dalam mewiridkan bacaan dzikir, para murid Tarekat Sammaniyah biasa melakukannya secara bersama-sama pada malam Jumat di masjid-masjid atau mushala sampai tengah malam.

Selain itu, ibadah yang diamalkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani adalah shalat sunah Asyraq (setelah Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat, memperbanyak riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT), dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.

Berikut adalah beberapa ajarannya yang terkenal;
Pertama, memperbanyak shalat dan dzikir.
Kedua, bersikap lemah lembut kepada fakir miskin.
Ketiga, tidak mencintai dunia.
Keempat, menukarkan akal basyariyah (kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah (ketuhanan).
Kelima, menauhidkan Allah SWT, baik dalam Dzat, Sifat, maupun Af'al-Nya.



Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi

Syaikh al-Akbar (Guru Teragung), demikian Ibnu Arabi sering disapa. Ada pula yang menyapanya Muhyiddin (Penghidup Agama), atau al-Kabrit Al-Ahmar (Belerang Merah). Sang pengusung ajaran wahdat al-wujud ini merupakan sosok yang kontroversial. Syair-syair mistisnya disenandungkan dengan bahasa erotis sehingga mengundang reaksi dari kalangan fuqaha. Nama Muhyidin Ibnu Arabi, mengingatkan pada tokoh sufi seperti Al-Hallaj (Baghdad), Syaikh Siti Jenar, dan Syaikh Hamzah Fansuri. Syair-syair maupun ungkapan-ungkapannya banyak mengandung kontroversi. Namun demikian, bila dicermati secara saksama, apa yang diucapkan atau tertulis dalam syairnya, menggambarkan kecintaan dan kedekatan sang tokoh dengan Tuhannya.

Ibnu Arabi sudah menulis tiga kumpulan puisi dan ribuan syair yang tersebar di seluruh tulisan-tulisan prosanya. Sebagai seorang teoretisi imajinasi Muslim terbesar, ia mampu menggambarkan perasaan cinta, keagungan Tuhan, kesempurnaan Muhammad, dan keindahan alam dalam puisi imajinatif yang sempurna. Dalam karyanya berjudul Dakha'ir al-A'laq, Ibnu Arabi mengatakan, ''Aku menyinggung tentang ilmu makrifat yang mulia, cahaya ketuhanan, misteri spiritual, ilmu pengetahuan, intelektual, dan berbagai peringatan syari'ah. Akan tetapi, kuekspresikan semuanya itu dengan gaya bahasa cinta erotis dan gelora asmara, karena jiwa akan terpikat dengan ekspresi-ekspresi seperti itu.''

Ibnu Arabi sering kali menggunakan sebuah perumpamaan untuk menggambarkan realitas keagungan dan keindahan Tuhan. Terkadang, ia menggunakan tamsil bulan purnama (badr), dan tidak jarang pula menggambarkan-Nya dengan perempuan cantik. Syair mistiknya dalam Tarjaman al-Asywaq, melukiskan keindahan Tuhan. ''Seorang perempuan ramping, langsing, cantik nan segar, untuk siapa hati pecinta yang dirundung kerinduan. Racikan terjadi dengan harum wangi pada saat menyebutnya, dan setiap gerak lidah tidak lain kecuali namanya.''

Syair tersebut seakan diucapkan oleh seorang pemuda yang sedang dimabuk cinta kepada seorang wanita cantik yang dicintainya. Kobaran cintanya menyala untuk selama-lamanya. Kapan pun lelaki itu menyebut nama yang dicintanya itu, keluar aroma harum wangi, karena kegandrungan itu sendiri adalah aroma. Karena tamsil yang terlalu menonjolkan keindahan-keindahan fisik itu, Syaikh al-Akbar dituduh oleh para fuqaha (ahli ilmu fiqih) tengah mengumbar syair-syair erotis dengan menyamarkannya sebagai syair-syair mistis. Penilaian yang dilontarkan oleh para fuqaha tidak sepenuhnya salah. Di dalam Kitab Tarjuman, Sang Guru Teragung sendiri menceritakan pertemuannya dengan seorang gadis jelita yang mengilhaminya menulis syair-syair indah.

Ia mengatakan, ''Yang kurasakan adalah seberkas cahaya yang menerpa bahuku, yang dipantulkan oleh tangan-tangan lembut. Aku berbalik dan kulihat seorang wanita, salah seorang putri Rum. Tak pernah kulihat wajah yang secerah dia, atau kata-kata yang begitu indah, cerdas, halus, dan suci.'' Ibnu Arabi kemudian menanyakan nama gadis itu. ''Kejernihan Mata,'' jawabnya. Ia lantas mengatakan, ''Setelah itu, aku mengucapkan salam kepadanya dan pergi.'' Untuk menyanjung kesempurnaan gadis itu, ia terkadang menyebutnya ''Pelipur Lara'' atau ''Sumber Matahari''.

Rasa takjub Si Belerang Merah terhadap sang gadis Persia tampaknya membekas di hatinya begitu dalam. Di pengantar Tarjuman ia mengatakan, ''Setiap kali aku menyebut sebuah nama, nama dialah yang kusebut. Setiap kali aku menyebut rumah, rumah dialah yang kusebut.'' Setelah mengakui kekagumannya terhadap sang gadis, ia segera mengingatkan para pembaca bahwa apa yang ditulisnya adalah ilham ilahi dan wahyu spiritual. Akan tetapi, peringatannya tampak sia-sia, karena kelompok fuqaha tidak mengendorkan tuduhan kepadanya sebagai pengumbar hawa nafsu. Ibnu Arabi kemudian merasa perlu menulis sebuah ulasan atas Kitab Tarjuman yang diberi nama Dakha'ir al-A'laq. Di dalamnya dijelaskan dengan tegas dan lugas makna spiritual di balik ungkapan yang biasa ia gunakan dalam bahasa cinta.

Keberanian Ibn Arabi tidak hanya dalam memilih kata-kata erotis untuk menyanjung Dzat Yang Maha Kuasa. Ketajaman spiritualitasnya mendorongnya untuk berani mengakui dirinya sebagai orang yang tidak terikat oleh suatu agama formal. Tak heran jika ia kemudian dituduh sesat dan menyesatkan, murtad, atau seorang Nasrani oleh kelompok yang tidak suka dengannya. Dalam sebuah syair yang masyhur ia berkata, ''Hatiku telah berganti rupa jadi semua bentuk: padang rumput bagi rusa-rusa, biara bagi para rahib, kuil bagi arca-arca, Ka'bah bagi peziarah. Lembaran Taurat, Kitab Suci Al Qur'an. Aku memeluk agama cinta, dan ke arah mana pun unta-unta menuju, cinta adalah agama dan keyakinanku.''

Gelora cinta yang ia ungkapkan itu tampak melintasi batas-batas fisik dan keterikatan dengan agama formal. Ia menyebut dirinya laksana biara, kuil, Ka'bah, yang merupakan tempat ibadah umat yang berlainan agama. Namun, sesungguhnya Ibnu Arabi memiliki hubungan spesial dengan benda fisik yang membuatnya mabuk asmara. Benda itu adalah Ka'bah. Ka'bah menempati kedudukan istiwewa dalam diri Ibnu Arabi. Ketika berada di Makkah pada 598 H, ikatannya dengan Ka'bah melampaui ikatan-ikatan peziarah biasa. Dalam pandangannya, Ka'bah adalah mahkluk hidup yang dapat berbicara dan mendengar.

Dikisahkan dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah, ia tidak terkejut ketika suatu hari Ka'bah memanggil dan memintanya bertawaf. Sementara itu, mata air Zamzam mengharapkan untuk meminumnya. ''Kedua permintaan itu jelas sekali terdengar,'' katanya. Oleh karena itu, kecintaan Ibnu Arabi kepada Ka'bah, laksana cintanya kepada makhluk hidup. Dalam Tarjuman ia bersenandung untuk Ka'bah, ''Kasih Allah bagi orang-orang yang taat. Allah telah memilihmu di antara bebatuan. Engkaulah rumah Allah. Cahaya hatiku. Kesegaran mataku. Hatiku. Secara hakiki engkau adalah rahasia wujud. Altarku. Kemurnian cintaku. Duhai Ka'bah Allah, hidupku.''

Pengakuan Syaikh al-Akbar tentang pengalaman-pengalaman spiritualnya yang begitu hebat tidak hanya terjadi ketika di Makkah. Sebelumnya, ketika masih berada di Fez, Maroko, tahun 595 H, ia mengaku telah dianugerahi gelar oleh Allah sebagai Penutup Kewalian Muhammad. Pengakuannya itu ia tuangkan dalam al-Futuhat al-Makkiyah.

''Di antara hamba-hamba Allah, aku adalah ruh suci, sebagaimana malam penentuan adalah ruh segala malam. Aku menyucikan diriku dari ketidakseimbangan dengan keseimbangan. Karena kebaikan yang ada pada diriku, aku asing terhadap keseimbangan maupun ketidakseimbangan. Dan, manakala pada suatu malam Tuhan datang dan menyatakan kepadaku bahwa akulah sang penutup, pada awal bulan itu. Dia berfirman kepada orang yang kala itu berada di cakrawala tertinggi dan alam perintah.''

Meski demikian, ia berseru kepada Allah, berlindung kepada-Nya untuk tidak dipuja oleh para pengikutnya. Pada suatu malam yang sunyi ia memanjatkan doa, ''Rabb, aku pernah meminta-Mu untuk mengizinkan hamba-Mu agar tetap tersembunyi hingga akhir zaman. Rabb, aku meminta-Mu untuk melindungiku dari segala pemujaan terhadapku.''

Karisma Sang Penutup Kewalian Muhammad
''Akulah anggrek yang merekah dan panen yang melimpah. Kini, angkatlah tabirku dan bacalah apa yang tertera dalam tulisanku. Apa pun yang engkau lihat pada diriku, tuliskan dalam bukumu dan ajarkan kepada semua sahabatmu.''

Pernyataan Ibnu Arabi di atas adalah sebuah ajakan kepada siapa pun untuk menerima ajaran-ajarannya, kemudian menularkannya kepada orang-orang yang membuka diri. Apa yang ia cita-citakan itu menjadi nyata. Karya-karya agungnya telah menyebar ke hampir seluruh dunia Islam dan Barat sampai saat ini.

Ibnu Arabi lahir di Murcia, Spanyol Islam, pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165, dengan nama Abu Bakar Muhammad ibnu al-'Arabi al-Hatimi at-Ta'i. Sejak kecil tanda-tanda keistimewaan sang Muhyiddin (Penghidup Agama) telah tampak. Karena itu pula, ia sering dipanggil dengan nama Muhyidin Ibnu Arabi. Pada satu ketika di kota Sevilla, ia sedang bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba Ibnu Arabi kecil mendengar suara yang memanggilnya, ''Hai Muhammad, bukan untuk ini kamu diciptakan.'' Karena suara itu, ia menjadi gelisah.

Ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah ia mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritualnya. Konon, Ibnu Arabi telah bertemu Nabi Isa as, Musa as, dan Muhammad Saw, yang mengasah kualitas spiritualnya. Karena pengalaman dan kedalaman spiritualnya itu, Guru Teragung ini meyakini dirinya sebagai Penutup Kewalian Muhammad. Dalam karyanya, al-Futuhat al-Makkiyyah, ia menuturkan memperoleh pengetahuan dari Tuhan dengan cara begitu saja, karena pintu-pintu ilmu pengetahuan telah terbuka baginya. Ketika pintu telah terbuka, ia menemukan dirinya telah mewarisi seluruh ilmu pengetahuan Muhammad.

Ibnu Arabi mengatakan, ''Kekasih Tuhan akan meneruskan warisan Muhammad. Di antara wali-wali Tuhan adalah pewaris Ibrahim, Musa, dan Isa. Hal itu terus berlangsung hingga ada Penutup Muhammad.''

Dalam salah satu syair pendeknya, Ibnu Arabi mengungkapkan masalah ini. ''Kuwarisi Muhammad dan kuwarisilah segalanya.''

William C. Chittick dalam bukunya, Dunia Imajinal Ibnu Arabi, menyatakan, pengakuan Ibnu Arabi sebagai Penutup Kewalian Muhammad agak berlebihan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa tak seorang pun setelahnya yang punya visi begitu terbuka, segar, dan terperinci. ''Terlepas dari kita setuju atau tidak terhadap pengakuannya, sulit untuk kita menolak gelarnya sebagai Guru Teragung,'' katanya.

Ibnu Arabi mewariskan sekitar 500 karya kepada generasi setelahnya. Karya teragungnya adalah al-Futuhat al-Makkiyyah (Pembukaan Wahyu Makkah) setebal 15 ribu halaman di edisi terbarunya. Kilauan cahaya ilmu di dalamnya ia ringkas dalam karyanya, Fushush al-Hikam (Cincin Pengikat Hikmah). Tak mengherankan jika sosok Ibnu Arabi menarik perhatian sarjana-sarjana modern. Banyak nama sarjana Barat yang dikenal menggeluti karya-karya Ibnu Arabi. Di antaranya HS Nyberg, Miguel Asin Palacois, Titus Burckhardt, Henry Cobin, Toshihiko Izutsu, dan RA Nicholson. Ibnu Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 M bertepatan dengan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 H pada usia 70 tahun.



Sulthanul Awliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Syaikh Abdur Qadir al-Jilani adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan mendirikan tarekat Qadiriyah. Diantara tulisan Beliau antara lain kitab Al-Fath Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib. Tahun wafat Beliau tercatat tahun 561 H, bertepatan dengan 1166 M. Beliau adalah seorang yang shalih. Bila dirunut ke atas dari nasabnya, Beliau masih keturunan dari Sayyidina Ali bin Abi Talib ra. Nama lengkap Beliau adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.

Jumlah karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani banyak sekali:

Dari Syaikh Abil Abbas Ahmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jili:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majelis Syaikh Abdul Qadir al-Jilani beserta murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majelis itu pun berlari tunggang langgang ketakutan. Tetapi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular itu naik ke lehernya. Namun, Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan Syaikh dan ia seperti bicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada Syaikh tentang apa yang telah dikatakan oleh ular itu. Menurut Beliau, ular itu berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan seorang pun yang setenang dan sehebat Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Pada suatu hari, ketika Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majelis, seekor burung terbang di atas majelis sambil mengeluarkan satu bunyi yang mengganggu majelis itu. Maka Syaikhpun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu jatuh dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya. Setelah melihat keadaan burung itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian Syaikh berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Dengan serta merta burung itu hidup kembali dan kemudian terbang dari tangan Syaikh. Maka takjublah para hadirin di majelis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkan-Nya melalui tangan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, pada tahun 537 H,seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahwa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan berkata bahwa dia mempunyai seorang anak gadis cantik berumur 16 tahun bernama Fatimah. Anak gadisnya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas atap rumahnya oleh seorang jin. Maka Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.

“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Ketika engkau membuat garis, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat Syaikh Abdul Qadir al-Jilani” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin, dengan berbagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya bahwa aku menyuruh engkau datang menemuinya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak perempuanmu itu.”

Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang coba menakut-nakuti lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak kuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu datang silih berganti. Dan akhirnya, datanglah raja jin dengan menunggang seekor kuda dan disertai oleh satu pasukan yang besar dan hebat rupanya.

Raja jin itu memberhentikan kudanya di luar garis bulatan dan bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”Lelaki itu menjawab, “Aku disuruh oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani untuk bertemu denganmu.”

Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu turun dari kudanya. Kemudian raja jin itu duduk, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu menanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak gadisnya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, dibawa ke hadapan raja jin, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama dengan anak gadis manusia yang diculiknya.Raja jin bertanya, “Kenapa engkau culik anak gadis ini? Tidakkah engkau tahu bahwa dia ini berada di bawah naungan al-Quthb?”

Jin lelaki dari negara Cina itu mengatakan bahwa dia jatuh hati kepada anak gadis tersebut. Raja jin itu pun memerintahkan agar anak gadis itu dikembalikan kepada bapaknya, dan jin dari Cina itu juga dikenai hukuman pancung. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dapat melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat. Dan mereka semua berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga bagi seluruh bangsa jin.”

Telah bercerita Syaikh Abi Umar Usman dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqq al-Huraimi:
Pada tanggal 3 bulan Safar, kami berada di sisi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pada waktu itu, Syaikh sedang mengambil wudhu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan shalat dua raka'at, Beliau berteriak dengan tiba-tiba, dan melemparkan salah satu dari terompahnya dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Setelah itu, Beliau berteriak sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, melihat dengan keheranan, tetapi tidak ada seorang pun yang berani menanyakan maksud semua itu. Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah datang untuk menziarahi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Mereka membawa banyak hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Ketika kami amati, kami lihat terompah itu adalah terompah yang pernah dipakai oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Kami pun bertanya kepada rombongan kafilah itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu.

Inilah cerita mereka:
Pada tanggal 3 bulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami diserang oleh perompak. Mereka merampas semua barang-barang kami dan membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagikan di antara mereka. Kami pun berbincang di antara kami dan telah mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru Syaikh Abdul Qadir al-Jilani agar menolong kami. Kami juga bernazar apabila kami selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami mendengar satu jeritan yang amat kuat, sehingga menggemparkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang melayang dengan cepat sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama, dan kami lihat satu lagi benda seperti tadi yang melayang ke arah yang sama. Setelah itu, kami melihat para perompak itu lari tunggang langgang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu, dan mereka meminta kami mengambil kembali harta kami, karena mereka ditimpa satu musibah. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka, ada sepasang terompah. Inilah terompah itu.

Telah bercerita Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam: Pada mulanya aku memang tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Walaupun aku adalah saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tentram ataupun berpuas hati. Pada suatu hari, aku pergi menunaikan shalat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati Beliau dikerumuni oleh jama'ah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan aku mendapat tempat di depan mimbar. Di kala itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jum'at. Ada beberapa perkara yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, aku khawatir buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun bertambah dan memuncak.

Pada saat itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani turun dari atas mimbar dan berdiri di hadapanku. Sambil terus memberikan khutbah, Beliau menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku seperti berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia, dan aku pun pergi buang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Ketika aku sedang berniat untuk shalat, tiba-tiba diriku berada di tempat semula di bawah jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Beliau mengangkat jubahnya dan menaiki kembali tangga mimbar itu.

Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang. Setelah shalat Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak kutemukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat kunci yang baru. Pada keesokan harinya, aku meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami melewati satu lembah yang sangat indah.

Seolah-olah ada suatu kuasa ajaib yang menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ. Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan menjadi anak muridnya.

Telah bercerita Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar: Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang berkumpul untuk mendengar pengajian Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Ketika Beliau sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat Beliau mendongak ke langit dan mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karena-Mu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”

Setelah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik pun hujan yang jatuh ke kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.

Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada suatu hari, istri-istri Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bertemu dengannya dan berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kakanda dan tidak pula kakanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kakanda menyimpan rasa belas kasihan kepada anak lelaki kita, yang merupakan darah daging kakanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan, namun kakanda masih juga meneruskan pekerjaan kakanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang terjadi. Kakanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi jika hati kakanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kakanda di Hari Pembalasan kelak?”

Maka berkatalah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani: “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu berhenti menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melempar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian alam?”

Maka wanita-wanita itu berkata pula, “Kalau benar kakanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kakanda, kenapa kakanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun menjawab, “Wahai istri-istriku yang sedang berduka, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah dari anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku senantiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa lalu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”

Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada suatu hari, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berjalan-jalan dengan muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Mereka pun merasa letih dan dahaga. Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, muncul dari celah awan di hadapan mereka dan terdengarlah satu suara dari dalamnya yang berkata, “Wahai Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.” Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.” Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.

Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?” Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjawab, “Syari'at itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (wali-Nya).” Maka iblis pun berkata lagi untuk menguji Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, “Aku mampu menipu 70 kaum dari golongan salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan keruhanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjawab, “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku selamat, tetapi karena rahmat dari Allah, Pengatur sekalian alam.”

Syeikh Abdul Qadir Jilani (Futuhal Ghaib 1)

Ada tiga perkara yang wajib diperhatikan oleh setiap Mu’min di dalam seluruh keadaan, yaitu: (1) melaksanakan segala perintah Allah; (2) menjauhkan diri dan segala yang haram; (3) ridha dengan hukum-hukum atau ketentuan Allah.

Ketiga perkara ini jangan sampai tidak ada pada seorang Mu’min. Oleh karena itu, seorang Mu’min harus memikirkan perkara ini. Bertanya kepada dirinya tentang perkara ini dan anggota tubuhnya melakukan perkara ini.

Ikutilah dengan ikhlas jalan yang telah ditempuh oleh Nabi besar Muhammad saw. dan janganlah merubah jalan itu. Patuhlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan sekali-kali berbuat durhaka. Ber-Tauhid-lah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya. Allah itu Maha Suci dan tidak mempunyai sifat-sifat tercela atau kekurangan. Janganlah ragu-ragu terhadap kebenaran Allah. Bersabarlah dan berpegang-teguhlah kepada-Nya. Bermohonlah kepada-Nya dan tunggulah dengan sabar. Bersatu-padulah di dalam menta’ati Allah dan janganlah berpecah-belah. Saling mencintailah di antara sesama dan janganlah saling mendengki. Hindarkanlah dari dari segala noda dan dosa. Hiasilah dirimu dengan keta’atan kepada Allah.

Janganlah menjauhkan diri dari Allah dan janganlah lupa kepada-Nya. Janganlah lalai untuk bertobat kepada-Nya dan kembali kepada-Nya. Janganlah jemu untuk memohon ampun kepada Allah pada siang dan malam hari. Mudah-mudahan diberi rahmat dan dilindungi oleh-Nya dari marabahaya dan azab neraka, diberi kehidupan yang berbahagia di dalam surga, bersatu dengan Tuhan dan diberi nikmat-nikmat oleh-Nya. Anda akan menikmati kebahagiaan dan

kesentosaan yang abadi di surga beserta para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shaleh. Anda akan hidup kekal di dalam surga itu untuk selama-lamanya.

Apabila kamu ‘mati’ dari makhiuk, maka akan dikatakan kepada kamu, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu.” Kemudian Allah akan mematikan kamu dari nafsu-nafsu badaniyyah. Apabila kamu telah ‘mati’ dari nafsu badaniyyah, maka akan dikatakan kepada kamu, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu”. Kemudian Allah akan mematikan kamu dan kehendak-kehendak dan nafsu. Dan apabila kamu telah ‘mati’ dari kehendak dan nafsu, maka akan dikatakan kepada kamu, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu.” Kemudian Allah akan menghidupkan kamu di dalam suatu ‘kehidupan’ yang baru.

Setelah itu, kamu akan diberi ‘hidup’ yang tidak ada ‘mati’ lagi. Kamu akan dikayakan dan tidak akan pernah papa lagi. Kamu akan diberkati dan tidak akan dimurkai. Kamu akan diberi ilmu, sehingga kamu tidak akan pernah bodoh lagi. Kamu akan diberi kesentosaan dan kamu tidak akan merasa ketakutan lagi. Kamu akan maju dan tidak akan peroah mundur lagi. Nasib kamu akan baik, tidak akan pemah buruk. Kamu akan dimuliakan dan tidak akan dihinakan. Kamu akan didekati oleh Allah dan tidak akan dijauhi oleh-Nya.

Martabat kamu akan menjadi tinggi dan tidak akan pernah rendah lagi. Kamu akan dibersihkan, sehingga tidak lagi kamu merasa kotor. Ringkasnya, jadilah kamu seorang yang tinggi dan memiliki kepribadian yang mandiri. Dengan demikian, maka kamu boleh dikatakan sebagai orang yang luar biasa.

Jadilah kamu ahli waris para Rasul, para Nabi dan orang-orang yang shiddiq. Dengan demikian, kamu akan menjadi titik akhir bagi segala kewalian, dan wali-wali yang masih hidup akan datang menemuimu. Melalui kamu, segala kesulitan dapat diselesaikan, dan melalui shalatmu, tanaman-tanaman dapat ditumbuhkan, hujan dapat diturunkan dan malapetaka yang hendak menimpa umat manusia dan seluruh tingkatan dan lapisan dapat dihindarkan. Boleh dikatakan kamu adalah polisi yang menjaga kota dan rakyat.

Orang-orang akan berdatangan menemuimu dari tempat-tempat yang dekat dan jauh dengan membawa hadiah dan oleh-oleh dan memberikan khidmat mereka kepadamu. Semua ini hanyalah karena idzin Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa jua. Lisan manusia tak henti-hentinya menghormati dan memuji kamu. Tidak ada dua orang yang beriman yang bertingkah kepadamu. Wahai mereka yang baik-baik, yang tinggal di tempat-tempat ramai dan mereka yang mengembara, inilah karunia Allah. Dan Allah mempunyai kekuasaan yang tiada terbatas.

Apabila kamu melihat dunia dikuasai oleh ahli-ahli dunia dengan perhiasan dan kekosongannya, dengan penipuan dan perangkapnya dan dengan racunnya yang membunuh yang di luarnya tampak lembut tetapi di dalamnya sangat niembahayakan, cepat merusak dan membunuh siapa saja yang memegangnya, yang menipu mereka dan yang menyebabkan mereka lengah terhadap dosa dan maksiat; apabila kamu lihat semua itu, maka hendaklah kamu bersikap sebagai seorang yang melihat orang lain yang membuang air besar yang membuka auratnya dan mengeluarkan bau busuk. Dalam keadaan seperti itu, hendaklah kamu memalingkan pandanganmu dari ketelanjangannya dan menutup hidungmu supaya tidak mencium baunya yang busuk. Demikian pulalah hendaknya kamu bersikap terhadap dunia. Apabila kamu melihatnya, maka hendaklah kamu memalingkan pandanganmu dari pakaiannya dan tutuplah hidungmu supaya tidak mencium bau busuk kegemerlapannya yang tidak kekal. Semoga dengan demikian kamu dapat selamat dari bahaya dan cobaannya. Apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, pasti akan kamu rasakan. Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad saw.:

‘Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.’ (QS,20:131)

Syeikh Abdul Qadir Jilani (Futuhal Ghaib 2)

Akan kami paparkan bagimu sebuah misal tentang kelimpahan, dan kami berkata, “Tidakkah kau lihat seorang raja yang menjadikan seorang biasa sebagai gubernur kota tertentu, memberinya busana kehormatan, bendera, panji-panji dan tentara, sehingga ia merasa aman mulai yakin bahwa hal itu akan kekal, bangga dengannya, dan lupa akan keadaan sebelumnya. Ia terseret oleh kebanggaan, kesombongan, dan kesia-siaan. Maka, datanglah perintah pemecatan dari raja. Dan sang raja meminta penjelasan atas kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya dan pelanggarannya atas perintah dan larangannya. Lalu sang raja memenjarakannya di dalam sebuah penjara yang sempit dan gelap serta memperlama pemenjaraannya, dan orang itu terus menderita, terhinakan dan sengsara, akibat ketakaburan dan kesia-siaannya, dirinya hancur, api kehendaknya padam, dan semua ini terjadi di depan mata sang raja dan diketahuinya. Setelah itu ia menjadi kasihan terhadap orang itu, dan memerintahkan agar ia dibebaskan dari penjara, disertai kelembutan terhadapnya, dianugerahkan kembali busana kehormatan, dan dijadikannya kembali ia sebagai gubernur. Ia menganugerahkan semua ini kepada orang itu sebagai karunia cuma-cuma. Kemudian ia menjadi teguh, bersih, berkecukupan dan terahmati. Beginilah keadaan seorang beriman yang didekatkan dan dipilih-Nya.

Syeikh Abdul Qadir Jilani (Futuhal Ghaib 3)

“Apabila Allah memperkenankan permohonan dan doa seorang hamba, maka ini tidak berarti bahwa simpanan Allah itu akan berkurang, karena Allah itu Maha Kaya; dan juga tidak semestinya Allah merasa terpaksa menerima permohonan hamba itu, seakan-akan Dia takluk kepada permohonan hamba itu. Sebenarnya, permohonan atau doa hamba itusesuai dengan kehendak Allah dan juga sesuai dengan masanya. Sebenarnya, penerimaan doa itu telah tertulis dalam azalinya, dan hanya tinggal menunggu masa dikabulkan doa itu oleh Allah. Inilah apa yang dikatakan oleh orang-orang ‘arif di dalam menerangkan kalam Allah, “Setiap saat Dia dalam keadaan baru”.

Ini berarti bahwa Allah menerima permohonan hamba itu pada masa yang telah ditentukan-Nya. Allah telah menentukan masa dikabulkannya doa itu. Allah tidak akan memberi sesuatu kepada seseorang dalam dunia ini, kecuali dengan doa yang datang dari hamba itu sendiri. Begitu juga Allah tidak menolak sesuatu dari hamba itu, kecuali dengan doanya. Ada sabda Nabi yang menyatakan bahwa ketentuan takdir Ilahi itu tidak akan terelakkan, kecuali dengan doa yang ditakdirkan Allah dapat menolak ketentuan takdir itu. Begitu juga, tidak ada orang yang akan masuk kedalam surga hanya melalui perbuatan baiknya saja, melainkan dengan rahmat Allah juga. Walaupun demikian, hamba-hamba Allah itu akan diberi derajat di surga sesuai dengan amal perbuatannya.

Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Nabi, “Dapatkah seseorang itu memasuki surga hanya dengan melalui perbuatan baiknya saja?” Nabi menjawab, “Tidak, kecuali dengan rahmat Allah”. Aisyah bertanya lagi, “Sekalipun engkau sendiri?” Beliau menjawab, “Ya, sekalipun aku kecuali jika Allah meliputi aku dengan rahmat-Nya”. Setelah bersabda demikian, beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya.

Beliau berbuat demikian itu untuk menunjukkan bahwa tidak ada seseorangpun yang berhak untuk melanggar ketentuan takdir Ilahi, dan Allah itu tidak harus memperkenankan doa-doa hamba-hamba-Nya. Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia menghukum siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia memiliki kekuasaan yang mutlak. Segala ketentuan kembali kepada-Nya.

Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi hamba itulah yang ditanya. Allah memberikan karunia-Nya, kepada orang yang dikehendaki-Nya dan tidak memberikannya kepada orang yang tidak dikehendaki-Nya juga. Segala apa yang berada di langit dan di bumi serta di antara keduanya adalah kepunyaan Allah belaka dan berada dalam kontrol-Nya. Tidak ada tuan-tuan yang memiliki semua itu, melainkan Allah saja. Dan tidak ada pencipta, melainkan Dia juga.

Firman Allah: “Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah keapadamu. Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?”. (QS, 35:3)
Firman-Nya lagi: “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS, 19:65)

Selanjutnya Allah berfirman: “Kerajaan yang haq pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. (QS, 25:26)

Syeikh Abdul Qadir Jilani (Futuhal Ghaib 4)

Yang dimaksud dengan dekat dan bersatu dengan Tuhan itu ialah, kamu mengosongkan hati kamu dari makhluk, hawa nafsu dan lain-lain selain Allah, sehingga hati kamu hanya di penuhi oleh Allah dan perbuatann-Nya saja. Kamu tidak bergerak, kecuali dengan kehendak Allah saja. Kamu akan bergerak jika Allah menggerakkan kamu. Keadaan

seperti ini dinamakan ‘fana’. Fana inilah yang dimaksud dengan ‘bersatu dengan Tuhan’. Tetapi harus diingat, bahwa bersatu dengan Tuhan itu tidak seperti bersatu dengan makhluk atau dengan yang selain Tuhan.

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Al-Khaliq itu tidak sama dengan apa saja yang kamu duga. Hanya orang yang telah mengalami dan menyadari bersatu dengan Tuhan itu sajalah yang dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksudkan dengan ‘bersatu dengan Tuhan’ itu. Orang yang belum pernah merasakan atau mengalaminya tidak akan dapat mengerti apa yang

dimaksud dengannya. Setiap orang yang pernah merasakan pengalaman tersebut mempunyai perasaan dan pengalaman tersendiri.

Pada setiap Nabi, Rasul dan Wali Allah terdapat rahasia. Masing-masing mempunyai rahasianya tersendiri. Seseorang tidak akan dapat mengetahui rahasia seorang lainnya. Kadang-kadang seorang murid mempunyai rahasia yang tidak diketahui oleh gurunya. Ada kalanya pula,rahasia yang dimiliki oleh guru itu tidak diketahui oleh muridnya,meskipun murid itu sudah hampir sederajat dengan gurunya. Apabila seorang murid dapat mencapai keadaan kerohanian yang ada pada gurunya, maka murid itu diperintahkan untuk memisahkan dari guru itu. Dengan kata lain, dia sekarang telah setarap dengan gurunya. Murid itupun berpisahlah dari gurunya dan Allah sajalah yang menjadi penjaganya.Kemudian Allah akan memisahkannya dari seluruh makluk.

Bolehlah diibaratkan bahwa, guru itu laksana ibu dan murid itu laksana bayinya yang masih menyusu. Apabila si bayi telah mencapai usia dua tahun,maka berhentilah dia menyusu dari ibunya. Tidak lagi kebergantungan kepada makhluk, setelah hawa nafsu amarah dan kehendak-khendak kemanusiaan hapus. Guru atau syaikh itu hanya diperlukan selagi murid masih memiliki hawa nafsu angkara murka dan kehendak-kehendak badaniah yang perlu dihancurkan. Setelah semua itu hilang dari hati si murid tadi, maka guru itu tidak lagi diperlukan,karena si murid sekarang sudah tidak lagi memiliki kekurangan atau dia telah sempurna.

Oleh karena itu, apabila kamu telah bersatu dengan Tuhan, maka kamu akan merasa aman dan selamat dari apa saja selain Dia. Kamu akan mengetahui bahwa tidak ada yang wujud melainkan Dia saja. Kamu akan mengetahui bahwa untung, rugi, harapan, takut dan bahkan apa saja adalah dari dan karena Dia jua. Dia-lah yang patut ditakuti dan kepada Dia sajalah meminta perlindungan dan pertolongan. Karenanya, lihatlah

selalu perbuatan-Nya, nantikanlah selalu perintah-Nya dan patuhlah selalu kepada-Nya. Putuskanlah hubunganmu dengan apa saja yang bersangkutan dengan dunia ini dan juga dengan akhirat. Janganlah kamu melekatkan hatimu kepada apa saja selain Allah.

Anggaplah seluruh yang dijadikan Allah ini sebagai seorang manusia yang telah ditangkap oleh seorang raja yang agung dan gagah;raja itu telah memotong kaki dan tangan orang tadi dan menyalibnya pada sebatang pohon yang terletak di tepi sebuah sungai yang besar lagi dalam, raja itu bersemayam di atas singgasana yang tinggi dengan dikawal oleh hulu-balang yang gagah berani yang diperlengkapi persenjataan yang lengkap dan raja itu melempar orang tadi dengan seluruh senjata yang ada padanya. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melihat keadaan ini, lalu memalingkan pandangannya dari raja itu dan takut kepadanya, sebaliknya ia berharap dan meminta kepada orang itu dan bukannya kepada raja yang agung itu? Jika ada orang yang gentar dan takut kepada orang yang tersalib itu, dan bukannya kepada raja, maka orang ini adalah orang, gila dan tidak sadar.

Oleh karena itu, mintalah perlindungan kepada Allah dari menjadi buta setelah Dia memberikan penglihatan, dari berpisah setelah disatukan-Nya, dari berjauhan setelah didekatkan-Nya, dari tersesat setelah Dia memberikan petunjuk dan dari kekufuran setelah Dia memberikan petunjuk dan dari kekufuran setelah Dia memberikan keimanan.

Dunia ini bagaikan sebuah sungai yang lebar, airnya senantiasa mengalir dan selalu bertambah setiap hari. Begitu juga halnya dengan nafsu kebinatangan, manusia itu selalu merasa tidak puas, semakin tampak dan semakin tak sadarkan diri. Hidup manusia di dunia ini senantiasa penuh dengan ujian dan cobaan. Di samping mendapatkan

kebahagiaan, kadangkala manusia juga dikelilingi oleh penderitaan. Orang yang mempunyai kala pikiran yang sempurna, mau berpikir dan mengetahui hakekat, akan mengetahui bahwa pada hakekatnya tidak adakehidupan yang sebenarnya melainkan kehidupan akhirat saja. Oleh karena itu, Nabi besar Muhammad saw. Bersabda. “Tidak ada kehidupan, kecuali kehidupan di akhirat.” Bagi orang yang beriman, hal ini adalah

benar. Nabi Muhammad selanjutnya mengatakan, “Dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir.” Nabi juga pernah menyatakan bahwa, “Orang yang baik itu terkekang”.

Pada hakekatnya, kesentosaan dan kebahagiaan itu terletak dalam hubungan yang langsung dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tawakal yang bulat kepada-Nya dan senatiasa ridha dengan-Nya. Jika kamu telah dapat melakukan hal yang demikian itu, maka bebaslah kamu dari dunia ini dan Allah akan memberimu kesenangan,

Syeikh Abdul Qadir Jilani (Futuhal Ghaib 5)

Apabila iman kamu masih lemah lalu kamu berjanji, maka hendaklah kamu menepati janji itu. Jika tidak, maka keimananmu itu akan berkurang dan kepercayaanmu semakin hilang. Tetapi, jika iman kamu itu telah kuat dan tertanam kokoh di dalam hati sanubarimu lalu kamu banyak menerima firman Allah di bawah ini:

Dan Raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seoarng yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. (QS, 12:54)

Maka kamupun akan menjadi orang pilihan Tuhan, lalu kehendak, nafsu dan perbuatanmu sendiri akan hilang, kamu terus menjadi dekat dengan Tuhan yang kedekatan-Nya itu tidak terlihat olehmu dan kamu terus tenggelam di hadirat Ilahi.

Maka jadilah kamu seperti bak yang bocor, tidak ada air yang dapat tinggal di dalam bak itu, dan jadilah kamu seperti tong kosong yang berlubang. Dengan demikian, hati kamu hanya dopenuhi oleh Allah, tidak ada yang lain di dalam hatimu itu, kecuali Dia dan kamu bersih dari segala sesuatu selain Allah. Sehingga Allah meridhai kamu, kamu dijanjikan akan mendapatkan rahmat, nikmat dan ampunan-Nya dan kamu merasa senang kepada-Nya.

Kemudian kamu akan diberi suatu janji, dan apabila kamu merasa puas dengan janji itu dan tampak tanda keinginanmu kepadanya, maka janji itu akan ditukar dengan janji yang lebih tinggi lagi, kamu akan diberi perasaan cukup diri (self sufficiency), pintu ilmu akan dibukakan untuk kamu, kamu akan disinari dengan pengetahuan untuk memahami rahasia-rahasianya ke-Tuhan-an dan kamu akan merasakan bertambahnya keadaan kerohanianmu.

Selanjutnya kamu akan menerima pangkat kerohanian yang tinggi, kamu akan diberi rahasia-rahasia ke-Tuhan-an, dadamu menjadi lapang, lidahmu berkata lantang, ilmumu tinggi dan kamu cinta kepada Allah. Kamu akan dikasihi oleh semua orang, semua manusia, jin dan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini dan di akhirat. Apabila kamu telah menjadi kekasih Allah, maka semua makhlukpun akan mengasihimu, lantaran semua makhluk itu takluk kepada Allah, kasih mereka masuk ke dalam kasih Allah, sebagaimana halnya benci mereka masuk ke dalam benci Allah.

Kamupun dinaikkan ke pangkat ini, di mana kamu tidak lagi mempunyai kehendak kepada yang lain selain Allah.

Setelah ini kamu akan diberi kehendak kepada sesuatu lalu kehendak itu akan dilepaskan dari kamu dan kamupun terhindar darinya. Kamu tidak akan diberi perkara-perkara yang kamu kehndaki di dunia ini, dan di akhirat kelak kamu akan diberi gantinay, kamu akan lebih didekatkan kepada Allah SWT dan segala sesuatu yang kamu khendaki itu akan menyejukkan matamu di surga.

Jika kamu tidak meminta sesuatu, tidak berharap atau berangan-angan untuk mendapatkannya di masa hidupmu di dunia ini – tempat sementara dan tempat ujian – dan kamu hidup di dunia ini semata-mata hanya ingin mencapai keridhaan Tuhan yang menjadikan langit dan bumi serta semesta alam, maka di dunia ini kamu akan dikarunia apa-apa yang seimbangdengannya dan Allah akan menambahkan karunia-Nya, sedangkan di akhirat nanti Dia akan menambahakan yang lebih banyak lagi. Sesungguhnya di sisi Allah terdapat ganjaran yang besar dan kekal. Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menurut ketentuan dan ketetapan-Nya

Syeikh Abdul Qadir Jilani (Futuhal Ghaib 6)

Hindarkanlah dirimu dari orang ramai dengan perintah Allah, dari nafsumu dengan perintah-Nya dan dari kehendakmu dengan perbuatan-Nya agar kamu pantas untuk menerima ilmu Allah. Tanda bahwa kamu telah menghindarkan diri dari orang ramai adalah secara keseluruhannya kamu telah memutuskan segala hubungan kamu dengan orang ramai dan telah membebaskan seluruh pikiranmu dengan segala hal yang bersangkutan dengan mereka.

Tanda bahwa kamu telah putus dari nafsumu adalah apabila kamu telah membuang segala usaha dan upaya untuk mencapai kepentingan keduniaan dan segala hubungan dengan cara-cara duniawi untuk mendapatkan sesuatu keuntungan dan menghindarkan bahaya. Janganlah kamu bergerak untuk kepentinganmu sendiri. Janganlah kamu bergantung kepada dirimu sendiri didalam hal-hal yang bersangkutan dengan dirimu sendiri. Serahkanlah segalanya kepada Allah, karena Dia-lah yang memelihara dan menjaga segalanya, sejak dari awalnya hingga kekal selamanya. Dia-lah yang menjaga dirimu di dalam rahim ibumu sebelum kamu dilahirkan dan Dia pulalah yang memelihara kamu semasa kamu masih bayi.

Tanda bahwa kamu telah menghindarkan dirimu dari kehendakmu dengan perbuatan Allah adalah apabila kamu tidak lagi melayani kebutuhan-kebutuhanmu, tidak lagi mempunyai tujuan apa-apa dan tidak lagi mempunyai kebutuhan atau maksud lain, karena kamu tidak mempunyai tujuan atau kebutuhan selain kepada Allah semata-mata. Perbuatan Allah tampak pada kamu dan pada masa kehendak dan perbuatan Allah itu bergerak. Badanmu pasif, hatimu tenang, pikiranmu luas, mukamu berseri dan jiwamu bertambah subur. Dengan demikian kamu akan terlepas dari kebutuhan terhadap kebendaan, karena kamu telah berhubungan dengan Al-Khaliq. Tangan Yang Maha Kuasa akan menggerakkanmu. Lidah Yang Maha Abadi akan memanggilmu. Tuhan Semesta alam akan mengajar kamu dan memberimu pakaian cahaya-Nya dan pakaian kerohanian serta akan mendudukkan kamu pada peringkat orangorang alim terdahulu.

Setelah mengalami semua ini, hati kamu akan bertambah lebur, sehingga nafsu dan kehendakmu akan hancur bagaikan sebuah tempayan yang pecah dan yang tidak lagi berisikan air walau setetespun. Kosonglah dirimu dari seluruh perilaku kemanusiaan dan dari keadaan tidak menerima suatu kehendak selain kehendak Allah. Pada peringkat ini, kamu akan dikarunia keramat-keramat dan perkara-perkara yang luar biasa. Pada zhahirnya, perkara-perkara itu datang darimu, tapi yang sebenarnya adalah perbuatan dan kehendak Allah semata.

Oleh karena itu, masuklah kamu ke dalam golongan orang-orang yang telah luluh hatinya dan telah hilang nafsu-nafsu kebinatangannya. Setelah itu kamu akan menerima sifat-sifat ke-Tuhan-an yang maha tinggi. Berkenaan dengan hal inilah maka Nabi besar Muhammad saw. bersabda, “Aku menyukai tiga perkara dari dunia ini: bau-bauan yang harum, wanita dan shalat yang apabila aku melakukannya, maka mataku akan merasa sejuk di dalamnya”. Semua ini diberikan kepadanya setelah seluruh kehendak dan nafsu sebagamana disebutkan di atas terlepas dari dirinya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku bersama mereka yang telah luluh hatinya karena Aku.” Allah Ta’ala tidak akan menyertai kamu, sekiranya semua nafsu dan kehendakmu itu tidak diluluhkan. Apabila semua itu telah hancur dan luluh dan tidak ada lagi yang tersisa pada dirimu, maka telah pantaslah kamu untuk ‘diisi’ oleh Allah dan Allah akan menjadikan kamu sebagai orang baru yang dilengkapi dengan tenaga dan kehendak yang baru pula. Jika egomu tampil kembali, walaupun hanya sedikit, maka Allah akan menghancurkannya lagi, sehingga kamu kosong kembali seperti semula, dan untuk selamanya kamu akan tetap luluh hati. Allah akan menjadikan kehendak-kehendak baru di dalam diri kamu dan jika dalam pada itu masih juga terdapat diri (ego) kamu, maka Allah-pun akan terus menghancurkannya. Demikianlah terus terjadi sehingga kamu menemui Tuhanmu di akhir hayatmu nanti. Inilah maksud firman Tuhan, “Sesungguhnya Aku bersama mereka yang telah luluh hatinya karena Aku.” Kamu akan mendapatkan dirimu ‘kosong’, yang sebenarnya ada hanyalah Alah.

Di dalam hadits Qudsi, Allah berfirman, “Hamba-Ku yang ta’at senantiasa memohon untuk dekat dengan-Ku melalui shalat-shalat sunatnya. Sehingga aku menjadikannya sebagai rekan-Ku, dan apabila aku menjadikan dia sebagai rekan-Ku, maka aku menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memegang dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan, yakni mendengar melalui Aku, memegang melalui Aku dan mengetahui melalui Aku.”

Sebenarnya, ini adalah keadaan ‘fana’ (hapusnya diri). Apabila kamu telah melepaskan dirimu dan makhluk, oleh karena makhluk itu bisa baik dan bisa juga jahat dan oleh karena diri kamu itu bisa baik dan bisa juga jahat, maka menurut pandanganmu tidak ada suatu kebaikan yang datang dari diri kamu atau dari makhluk itu dan kamu tidak akan merasa takut kepada datangnya kejahatan dari makhluk. Semua itu terletak di tangan Allah semata. Karenanya, datangnya buruk dan baik itu, Dia-lah yang menentukannya semenjak awalya.

Dengan demikian, Dia akan menyelamatkan kamu dari segala kejahatan makhluk-Nya dan menenggelamkanmu di dalam lautan kebaikan-Nya. Sehingga kamu menjadi titik tumpuan segala kebaikan, sumber keberkatan, kebahagiaan, kesentosaan, nur (cahaya) keselamatan dan keamanan. Oleh karena itu, ‘Fana’ adalah tujuan, sasaran, ujung dan dasar perjalanan Wali Allah. Semua Wali Allah, dengan tingkat kemajuan mereka, telah memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah untuk menggantikan kehendak atau kemauan mereka dengan kehendak atau kemauan Allah. Mereka semuanya menggantikan kemauan atau kehendak mereka dengan kemauan atau kehendak Allah. Pendek kata, mereka memfana-kan diri mereka dan me-wujudkan Allah. Karena itu, mereka dijuluki ‘Abdal’ (perkataan yang diambil dari kata ‘Badal’ yang berarti ‘pertukaran’). Menurut mereka, menyekutukan kehendak mereka dengan kehendak Allah adalah suatu perbuatan dosa.

Sekiranya mereka lupa, sehingga mereka dikuasai oleh emosi dan rasa takut, maka Allah Yang Maha Kuasa akan menolong dan menyadarkan mereka. Dengan demikian mereka akan kembali sadar dan memohon perlindungan kepada Allah. Tidak ada manusia yang benar-benar bebas dari pengaruh kehendak egonya (dirinya) sendiri, kecuali malaikat. Para malaikat dipelihara oleh Allah dalam kesucian kehendak mereka. Sedangkan jin dan manusia telah diberi tanggung jawab untuk berakhlak baik, tapi mereka tidak terpelihara dari dipengaruhi oleh dosa dan maksiat. Para wali dipelihara dari nafsu-nafsu badaniah dan ‘abdal’ dipelihara dari kekotoran kehendak atau niat.

Walaupun demikian, mereka tidak bebas mutlak, karena merekapun mungkin mempunyai kelemahan untuk melakukan dosa. Tapi, dengan kasih sayang-Nya, Alah akan menolong dan menyadarkan mereka


Syaikh as-Sayyid Ahmad Al-Badawi

Kota Fas beruntung sekali karena pernah melahirkan sang manusia langit yang namanya semerbak di dunia sufi pada tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama lengkap Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakar al-Badawi ini ternyata termasuk zurriyyah baginda Nabi Muhammad Saw, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib kw, suami sayyidah Fatimah binti Sayyidina Nabi Muhammad Saw.

Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas (sekarang termasuk kota di Maroko). Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam sampai akhirnya tinggal di Negara Arab paling barat ini. Di sinilah Badawi kecil menghafal Al-Qur'an, dan mengkaji ilmu-ilmu agama khususnya fikih madzhab Syafi'i. Pada tahun 609 H, ayahnya membawanya pergi ke tanah Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka tinggal di Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput sang ayah pada tahun 627 H dan dimakamkan di Ma'la.

Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika berkhalwat selama empat puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. "Berdirilah!" begitu suara itu terus menggema, "Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari. Kemudian.. beranjaklah ke Thantha, suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda."

Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang yang terkenal yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh Ahmad ar-Rifa'i. "Wahai Ahmad", begitu kedua orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. "Kunci-kunci rahasia wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka." Tanpa disangka-sangka al-Badawi menjawab, "Saya tidak akan mengambil kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka.

Perjalanan selanjutnya adalah Mesir, negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada tahun 34 H. Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung dan memuliakan sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan ghaib, Thantha, satu kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna'i, Syaikh Salim al-Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya, menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya.

Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang yang pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakiti. Tapi rupanya keberuntungan dan kebijakan berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap masalah, bahkan menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada orang lain, tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya. Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian tangan Yang Maha Asih. Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap yang mulia ini ia tenggelam dalam dzikir dan belaian Allah SWT.

Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah Syaikh Ahmad al-Badawi. Matbuli dalam hal ini memberi kesaksian, "Rasulullah Saw bersabda kepadaku, "Setelah Muhammad bin Idris as-Syafi'i, tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh daripada Ahmad al-Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi kemudian al-Manufi." Suatu ketika Ibnu Daqiq al-'Id mengutus Abdul Aziz al-Darini untuk menguji Syaikh Ahmad al-Badawi dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, "Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab "Syajaratul Ma'arif" karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam.

Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tidak ada salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya wali yang satu ini.

Alkisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta pendapat pada Syaikh Ahmad al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. "Pergilah, dan tawakkallah kepada Allah SWT", tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syaikh Badawi. Syaikh Sya'rani berkomentar, "Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya sendiri."

Suatu hari Syaikh Badawi berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk dalam berdagang, "Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin." Demikian nasehat Syaikh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.

Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan dalam puluhan tahun berikutnya. Syaikh Ahmad al-Badawi, pecinta Ilahi yang belum pernah menikah ini beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah beliau meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul 'Al sampai dia meninggal pada tahun 773 H. Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan kehadiran dan petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Ahmad al-Badawi. Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid Syaikh Ahmad al-Badawi ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali sampai sekarang.


Imam Ghazali
Filsuf Besar dan Sufi Brilian Berilmu Tinggi


Ia pembaharu tasawuf dan filsafat dalam Islam. Gagasan dan karya-karya Hujatul Islam ini, menjadi rujukan sampai sekarang.

Dalam rak-rak di sebuah toko buku, tampak berjejer buku-buku tentang sufi. Tetapi ada hal yang mencolok. Buku-buku karya Al-Ghazali begitu dominan. Hampir dua puluh buku karya ulama besar ini banyak diminati calon pembeli. Karya Imam Al-Ghazali memang menarik. Tulisannya tidak hanya memikat, tetapi juga selalu aktual sepanjang zaman. Tidak salah jika gagasan dan pikirannya tentang Tasawuf banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Imam Ghazali adalah ulama yang mampu mendiskripsikan tasawuf, syari’at dan Akhlak dengan jelas dan argumentatif.

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid ibnu Muhammad ibnu Ahmad, lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H atau 1058 M. Karya masterpiece-nya Ihya Ulumuddin yang empat jilid itu menjadi bacaan wajib bagi orang-orang yang ingin belajar tasawuf. Ia hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama. Ayahnya yang berasal dari desa Ghazalah adalah seorang pemintal Wool. Nama desa inilah yang kelak menjadi nama sebutan bagi anaknya, Abu Hamid, yaitu Ghazali.

Imam Al-GhazaliSejak kecil sudah tampak tekadnya yang kuat untuk  mendalami ilmu-ilmu agama. Mula-mula ia belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razhani al-Thusi. Setelah merasa cukup, ia melanjutkan studi ke Kota Jurjan, belajar di sekolah yang dipimpin oleh intelektual terkenal saat itu, Abu Nash al-Ismail. Selain itu ia juga belajar kepada sufi besar Syekh Yusuf al-Nasaj (wafat 487 H).

Rasa haus akan ilmu membawanya melanglang buana ke berbagai kota. Ia sempat belajar kepada Abu Maal al-juwaini di Naisyaburi yang tersohor karena mendapat julukan Imam al-Haramain. Di Naisyaburi, ia juga belajar Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al-Fadhl ibnu Muhammad ibnu Ali Farmadi. Di Naisyaburi inilah kepiawaiannya mulai dikenal orang. Ia tidak hanya berguru, tetapi juga sudah menulis dan memberi beberapa kajian fikih.

Setelah Imam Juwaini wafat, Al-Ghazali melanjutkan studinya ke Kota Muaskar. Di sinilah segala pergumulan intelektual ia lalui dengan prestasi cemerlang.. karena prestasinya ia diangkat sebagai guru besar sebuah perguruan tingg bergengsi Al-Nidzomiyah di Bagdd pada tahun 484 H. di sini ia mengajar sambil memperdalam kajian filsafat Yunani dan Islam.

Di tengah hidupnya yang mapan, jiwanya guncang, ketika muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis di benaknya: Apakah pengetahuan yang hakiki itu?, pengetahuan dapat diperoleh melalui indra atau akal? Hampir dua bulan pertanyaan-pertanyaan filosofis itu sempat membuatnya linglung. Belakangan problem filosofis ini ia bahas dalam kitab: Al-Munqiz min al-dzalal. Dalam kitab itu ia memperoleh jawaban: jalan sufilah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebenaran hakiki.

Mempersiapkan Batin

Ia menulis, “Setelah itu perhatianku kupusatkan pada jalan sufi. Ternyata jalan sufi tidak dapat ditempuh kecuali dengan jalan ilmu dan amal, dengan menempuh tanjakan-tanjakan batin dan penyucian diri. Hal itu perlu untuk mempersiapkan batin, kemudian mengisinya dengan dzikir kepada Allah. Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal. Maka segeralah aku mulai mempelajari ilmu dari beberapa kitab, antara lain, Qut’al Qulub, karya Abu Thalib al-Makki, juga beberapa kitab karya Haris Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan Junaid al-Bagdadi, Al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami dan lain-lain.

Ghazali melanjutkan tulisannya ”Penjelasan lebih jauh terdengar sendiri dari lisan mereka. Jelas pula bagiku, hal-hal yang khusus bagi mereka hanya dapat dicapai dengan Dzauq (perasaan), pengalaman dan perkembangan batin sangat jauh memaknai sehat atau kenyang dengan mengalaminya sendiri. Mengalami “mabuk” lebih jelas daripada hanya mendengar keterangan tentang arti “mabuk”. Padahal yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar keterangan tentang itu. Dokter yang sedang sakit lebih banyak mengetahui tentang cara agar dia tetap sehat, tetapi dia sedang tidak sehat. Mengetahui arti dan syarat zuhud tidak sama dengan bersifat “Zuhud”.

    Ketika Ghazali tengah asyik berpikir secara filosofis, pada saat yang sama ia hidup berkecukupan. Tetapi justru situasi ini membuatnya guncang. Hampir enam bulan ia terombang-ambing antara memperhatikan persoalan duniawi dan ukhrawi. Ketika itulah, mendadak pada tahun 488 H atau 1095 M ia memutuskan pergi dari Bagdad menuju Damaskus – untuk mencari ketenangan dan kesejatian hidup. Ia tinggal di Masjid Umawi bersama sufi. Pernah selama beberapa bulan ia melakukan itikaf di Menara masjid, Riyadhah dan Mujahadah juga dikerjakannya hampir setiap hari.

Tak lama kemudian ia beranjak dari Damaskus menuju Palestina. Di Baitul Maqdis, Palestina, setiap hari ia bermunajat kepada Allah SWT. Di Qubah Asy-Syakhrah – gua di bawah batu cadas di tengah masjid tempat para nabi bermunajat. Semua pintu ia kunci, sehingga tidak ada yang mengganggunya. Setelah itu ia mengunjungi kota al-Khalil dan berziarah ke makam nabi Ibrahim. Setelah merasa cukup melakukan perjalanan rohaniyah, ia menuju Hijaz, (kini Arab Saudi), untuk menunaikan ibadah haji di Mekah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah.

Setelah menunaikan rukun Islam yang kelima, ia pergi ke Iskandariyah, Mesir dan tinggal beberapa lama di kota pelabuhan itu. Tetapi berkali-kali perguruan tinggi Nidzamiyah memanggilnya. Akhirnya ia kembali ke Baghdad untuk mengajar. Namun baru beberapa bulan tinggal di sana, ia tidak betah. Maka pergilah ia ke Thus mendirikan sebuah Madrasah bernama Khanaqah untuk memperdalam tasawuf. Di sana pula ia wafat pada usia 55 tahun pada tahun 1111 M atau 505 H.

Imam Ghazali
40 Jilid Kitabnya Musnah Dibakar

Di kalangan para sufi, Imam Ghazali adalah ikon tersendiri. Ia sangat produktif, sementara karya-karyanya sungguh luar biasa. Dalam beberapa tulisannya, tasawuf disuguhkan dalam penalaran dan argumentasi yang sungguh mencengangkan. Hampir semua karyanya menjadi rujukan dan bahan penelitian hingga kini.

Bagi Ghazali, tasawuf merupakan himpunan antara akidah, syariat dan akhlak. Baginya perjalanan spritual seseorang mampu menjernihkan hati secara berkesinambungan sehingga mencapai tingkat Musyahadah (kesaksian).

Menurut Ghazali, kehidupan seorang muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna kecuali dengan mengikuti jalan Allah yang di lalui secara bertahap. Tahapan itu antara lain tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta dan makrifat. Setelah ketujuh tahapan itu, manusia memperoleh Ridla. Oleh karena itu seseorang yang mempelajari taawuf wajib mendidik jiwanya. Lebih dari itu juga harus mendidik akhlaknya. Menurut dia, hati adalah cermin yang sanggup manangkap makrifat. Kesanggupan itu terletak pada hati yang jernih dan suci.

Setiap karya Ghazali mempunyai keunikan tersendiri dengan gagasan-gagasan yang orsinil. Tidak kurang dari 228 kitab ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu, anatara lain, tasawuf, Fikih, Teologi, Logika, dan Filsafat.

Di antara karya-karyanya adalah “Ihya Ulumuddin, Bidayat al-Hidayah, Misykat al-Anwar, Minhaj al-Abidin ila Jannati Rabbil Alamin, al-Munqidz min al-Dhalal, al-Arbain fi Ushuluddin, dan lain-lain. Yang paling berbobot ialah Ihya Ulumuddin, yang terdiri dari empat jilid, kitab ini memuat segudang teori dan jalan yang harus ditempuh oleh mereka yang mendalami tasawuf. Hingga kini kitab yang sangat monumental ini menjadi bacaan wajib di beberapa pesantren salaf.

Jangan lupa, Ghazali bukan hanya pakar tasawuf, ia juga kampiun dalam ilmu filsafat. Dua karyanya di bidang Filsafat yang sangat mengagumkan ialah Tahafutu al-Falasifah dan Maqasishid al-Falasifah. Di zamannya belum ada seorang pun yang mampu dan berani mengkritik pemikiran para fisul dengan senjata logika. Maka layaklah jika mendapat julukan Hujjatul Islam atau tempat kaum muslimin merujuk ilmu agama.

Sayang, sebagian besar karya besar Imam Ghazali yang sudah menjadi harta budaya dan khasanah intelektual itu musnah dibakar oleh tentara mongol yang menyerbu Baghdad abad XIII, sehingga yang tersisa tinggal 54 kitab. Kitab tafsirnya yang 40 jilid ikut musnah. Bayangkan, betapa kaya khasanah intelektual kita andai semua karya Hujjatul Islam masih utuh….!

Pujian dan Teguran Sang Adik

Banyak cerita menarik seputar Imam Ghazali, yang paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya, melalui jalan saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Ghazali. Saking berterima kasihnya Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi Ahlih, untuk sang adik. Cerita tentang adik kakak ini sering diperdengarkan di pesantren-pesantren.

Alkisah, suatu hari Ghazali menjadi Imam shalat di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya melihat tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun membatalkan makmum kepada kakaknya, dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda penuh darah.”

Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami tasawuf.

Maka ia memutuskan untuk menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah – yang tujuan akhirnya disebut makrifat. Menurut Ghazali, makrifat tidak hanya berarti mengenal Allah, tetapi juga mengenal alam semesta. Makrifat bukan hanya pengenalan biasa, meliankan juga ilmu yang tak diragukan kebenaranya, yang disebut Ainu al-Yaqin – tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah dan keliru.

Makrifat sebenarnya diperoleh melalui llham. Allah memancarkan Nur ke dalam kalbu seseorang agar ia mengenali hakikat Allah dan segala ciptaannya. Hanya kalbu yang bersihlah yang bisa menerima Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa dan tingkah laku tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain keyakinan kepada Allah. Kalbu harus total berdzikir kepada Allah sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan) secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu melihat Allah dalam hati).

Banyak pujian dialamatkan kepadanya, orientalis beken seperti H.A.R. Gibb menyejajarkan Imam Ghazali dengan filsuf Nasrani ST Agustinus atau pembaharu Kristen Martin Luther. Gibb menulis dalam sebuah bukunya, nama yang terkait dengan pembaharuan pemahaman agama adalah Al-Ghazali, pembaharu agama yang sederajat dengan St. Agustinus dan Martin Luther dalam pendangan keagamaan dan kemampuan intelektual. Cerita tentang perjalanan spritualnya sungguh menawan hati dan sangat bernilai. Bagaimana ia menemukan dirinya sendiri dalam pemberontakannya melawan keruwetan para teolog yang berusaha mencari realitas tertinggi lewat seluruh sistem keagamaan dan filsafat muslim pada masanya.

Sementara menurut Samuel M. Zwemer, ilmuwan asal Jerman dan peneliti dunia sufi, ada empat tokoh yang paling besar jasanya terhadap Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW, Imam Bukhari RA yang berjasa dalam pengumpulan Hadits, Imam Asy’ari sebagai teolog terbesar dan penentang rasionalisme, dan Imam Al-Ghazali sebagai sufi dan pembaharu.

Al-Ghazali telah meninggalkan pengaruh paling luas atas sejarah Islam dibanding siapapun setelah Nabi Muhammad SAW.

Abu Thalib Al-Makki,
Pemandu Amalan Tarekat Para Sufi


Ia sufi  besar, pengarang  kitab Qutubul Qulub fi Mu’ammalatil Mahbub, yang menjadi panduan bertarekat para sufi.

Ia dikenal sebagai sufi jenius dalam hal pemikiran yang tertuang dalam beberapa kitab, juga pengarang kitab ilmul Qulub dan Qutubul Qulub fi Mu’ammalatil Mahbub, yang cukup populer dikalangan para sufi maupun pengamat Tasawuf karena sering dirujuk dalam berbagai perbincangan. Dialah Abu Thalib Al-Makki.

Ia lahir di Jabal, sebuah desa tidak jauh dari Baghdad, Irak. Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu Thalib Al-Makki Al-Haritsi Al- Maliki. Dua nama di bagian belakang adalah julukannya. Ia mendapat julukan Al-Haritsi, karena memang dari suku Harits. Sedangkan julukan Al-Maliki, sebab ia bermazhab Maliki, sementara julukan Al-Makki, karena ia dibesarkan di Mekah.

Seperti beberapa sufi besar lainnya, tahun kelahiran Abu Thalib juga sulit ditemukan, tapi riwayat hidupnya bisa dilihat dari beberapa catatan dalam berbagai leteratur, meski hanya sedikit, catatan-catatan tersebut bisa mengungkapkan perikehidupannya. Abu Thalib Al-Makki wafat pada tahun 368 H / 966 M di Bahgdad.

Ia memulai pendidikannya dengan belajar ilmu agama dari berbagai ulama, kemudian memperdalam ilmu hadis, terutama ia berguru kepada Syekh Ali bin Ahmad bin Al-Misri (w.364/944 M) dan Syekh Abubakar Muhammad bin Ahmad Al-Jurjani Al-Mufid (w.378H/958 M). belakangan ia belajar ilmu fikih mazhab Maliki. Keluasan wawasannya dalam mazhab Maliki inilah yang membuat ia mendapat julukan tambahan Al-Maliki.

Setelah merasa cukup menimba ilmu di Mekah, ia mengembara untuk memperluas wawasan keilmuannya, hingga akhirnya berlabuh di Basrah, Irak, yang kala itu terkenal sebagai pusat ilmu dan peradaban. Di sini ia berguru ilmu tasawuf kepada Syekh Abul Ahmad bin Muhammad ibnu Ahmad bin Salim Ash-Saghir (w. 360 H/940 M), sufi besar pendiri Tarekat Salimiyah, bersumber dari tasawuf Sahab bin Abdullah At-Tustari, yang sangat terkenal di Baghdad kala itu.
Tujuh Piranti

AllahBelakangan ia melanjutkan pengembaraannya ke Baghdad, Irak. Di sini ia mengalami kesulitan, karena masyarakat tidak menerima tarekat Salimiyah, hanya menerima tarekat Junaidiyah, sehingga ia di larang mengajarkan tasawuf Salimiyah. Meski begitu ia mempunyai kelebihan dalam pemikiran Tasawuf yang terekam dalam beberapa kitabnya.

Sayangnya hanya dua kitab yang tersisa yang dapat dibaca oleh generasi berikutnya: Al-Ilmul Qulub, dan Qtubul Qulub fi Mu’ammalatil Mahbub. Dua kitab ini cukup berbobot dalam hal analisis mengenai amalan sufi berikut argumentasinya, begitu pula jalan yang ditempuh para sufi dalam memantapkan jiwa dan keyakinan hati. Bahkan Imam Ghazali juga menggunakan metode dan sistem Abu Thalib dalam beberapa pemikirannya.

Kitab Qutubul Qulub menjadi panduan standard bagi para sufi. Itu sebabnya banyak ulama yang memberikan syarah atau komentar dan penulisan ulang terhadap kitab ini. Salah satunya ditulis oleh Muhammad bin Khalafuddin Al-Umawi, yang meringkas kitab tersebut untuk memudahkan pembaca, dengan judul Al-Wushul Ila Ghardhil Mathlub min Jawahiril Qtubil Qulub.

Menurut Abu Thalib, tasawuf hanya dapat ditegakkan jika dasar-dasarnya kuat, yaitu jalan yang benar dalam berkehendak dan berilmu. Sementara untuk mencapai dasar-dasar tersebut diperlukan tujuh macam piranti: Pertama, kehendak yang benar dan konsekwen, serta siap dengan segala resiko. Kedua, membina kehidupan bertaqwa dengan menolak keburukan dan kemaksiatan. Ketiga, memiliki pengetahuan mengenai keadaan diri, dan mengetahui kelemahan-kelemahannya.

Keempat, selalu mengikuti forum untuk mengenal dan mengingat Allah SWT. Kelima, memperbanyak tobat Nasuha, memotong jalur dosa dan menggantinya dengan jalur pahala, dengan cara merasakan kelezatan taqwa dan memperkuat kehidupan zuhud. Keenam, makan makanan yang halal dan mengetahui hukum-hukum makanan, pakaian dan sebagainya sebagaimana telah diatur oleh syara’. Ketujuh, selalu dekat dengan teman akrab yang saleh dan mampu memantau kehidupan taqwa sejati.

Abu Thalib menambahkan, ada empat tiang penyanggah yang memperkuat kehidupan para sufi: Pertama, kehidupan yang dibina dalam keadaan lapar, untuk memutuskan jalan darah setan yang bersarang di hati. Dengan lapar hati tidak dipenuhi darah, sehingga menajdi putih dan memancarkan Nur. Selain itu juga jadi lembut, karena lapar adalah kunci pembuka pintu zuhud, dan zuhud adalah pembuka pintu akherat.

Kedua, banyak terjaga di waktu malam untuk beribadah. Ketiga, memperbanyak diam sebagai jalan keselamatan dan kewaspadaan. Kehidupan sufi selalu memperhatikan apa yang keluar dari lisan. Keempat, bersunyi diri untuk berdzikir atau berkhalwat agar lebih berkonsentrasi dalam menjernihkan hati dan menyerap rahmat Allah SWT. Sebab, hati merupakan perbendaharaan Allah SWT yang tersembunyi. Jika iman telah menghunjam dalam hati, yang tinggal adalah cinta akherat. Dan itulah, “Hatinya hati”.



Mengenal Lebih Dekat
Al-Imam Muhammad bin ‘Idris Asy-Syafi’i
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat.

Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah l yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam –dalam setiap generasinya – lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi n manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i t. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.

Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i

Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi n). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad n pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:

Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi t, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi t, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi , 1/44)

Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i t

Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.

Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)

Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ’Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.

Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.1 Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).

Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”

Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah l karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)

Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i t dalam menuntut ilmu

Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail –saat itu– adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.2 (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir t, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)

Kemudian Allah  anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji –saat itu sebagai Mufti Makkah– kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)

Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.

Pada usia dua puluh sekian tahun –dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini– Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)

Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i  di mata pembesar umat

Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:

Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t disebutkan bahwa:

Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”

Al-Imam Abu Dawud  berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”

Al-Imam Ali bin Al-Madini  berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”

Al-Imam Yahya bin Ma’in  berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”

Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan t berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”

Al-Imam An-Nasa’i  berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”

Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi t berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”

Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir t terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah l, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”

Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n.”

Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri t disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”

Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”

Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi t (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:

Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri t berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”

Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i t berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”

Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi t berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”

Al-Mubarrid t berkata: “Semoga Allah l merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”

Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i t

Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:


a.
Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah , serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:

“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah , maka ambillah Sunnah Rasulullah  tersebut dan tinggalkan perkataanku.”

“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi n, maka hadits Nabi n lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)

Al-Imam Al-Muzani t (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i  serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b.
Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i. Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi ).

c.
Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i ,Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah.

Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.4 Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.5 Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”6

Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah l, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)

Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah n dan para sahabatnya  serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.7 Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah l sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi  yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah l tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)

Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah (takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah  yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah l tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah l dan Rasul-Nya n (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)

d.
Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i, Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah l. Jika Allah l berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah l berkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)

e.
Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i

Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah l. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah l. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah . Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah n serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)

Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah l (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah l di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

f.
Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i t terhadap para sahabat Nabi

Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah l telah memuji para sahabat Nabi n dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah n. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah  merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah n kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada Rasulullah n. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah n terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah n, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)

Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi n sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i –jika menyebut Syi’ah Rafidhah– seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

g.
Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i  terhadap kelompok-kelompok sesat, Al-Imam Al-Baihaqi t berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)

Al-Imam Al-Buwaithi t berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)

Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)

Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.

Dari berbagai sumber





ARSIP TUGAS
DUNIA TASAWUF