Pendahuluan
Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai
dibicarakan, walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara
keliru. Jender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter,
wacana jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika
sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti
patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender
discourse).99 Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.
Dimensi teologi jender masih belum banyak
dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber
dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender
inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari
Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu
semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat
pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage
society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal
system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan
suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan
kesetaraan jender.100
Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan
ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara
teori itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan
bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke
private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan
perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan
faktor produksi.101
Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama,
khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu
faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama
itu memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama
Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang
menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh
dari sorga karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan
masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses
peralihan The Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani.
Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa
dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai
perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di
dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex,
dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai "as
it should be" (keadaan sebenarnya), bukannya "as it is" (apa
adanya).
Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender
masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan
untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya
sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik "kesadaran"
teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan
struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya
menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Pandangan di sekitar teologi jender berkisar
pada tiga hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan,
kedua, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan
perempuan dan dosa warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang
lebar dalam Kitab Suci beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul
kejadian perempuan yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan
dengan apa yang tertera di dalam Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah
sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima kenyataan dirinya sebagai given
dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa happy jika mengabdi
sepenuhnya tanpa reserve kepada suami.
Tidaklah heran jika para feminis --sebagaimana
dapat dilihat dalam buku-buku yang bercorak feminis-- memulai pembahasan
dan kajiannya dengan menyorot aspek-aspek teologi, seperti cerita tentang
tulang rusuk, perempuan sebagai helper Adam, dan pelanggaran Hawa
dihubungkan dengan dosa warisan (original sin).
Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti
"jenis kelamin".102 Dalam Webster's New World Dictionary, gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.103
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.104
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex
& Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women
and men).105 Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti
Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian
gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component
of gender).106
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan
gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan
kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.107 Agak
sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender
lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa
dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is
an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject
matter we proceed to study as we try to define it).108
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim
digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan
istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi
mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan.
Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang
dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".109
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya.
Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social
constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Perbedaan Sex dengan Gender
Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara
umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi anatomi biologi.
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga
berarti "jenis kelamin") lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam
tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya.
Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya,
psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Studi gender lebih menekankan pada aspek
maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda
dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan
komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan
(femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki
(being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak
digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya
digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual
(love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender.
Pangkal Stereotip Jender: Asal-usul Kejadian
Manusia
Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan
asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di
dalam kelompok Abrahamic religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan
Agama Islam menyatakan bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari
pada perempuan. Di Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva)110
diciptakan dari tulang rusuk Adam,111seperti dapat dilihat pada Kitab
Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi
Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah Kitab Kejadian
2:21-23:
"21 Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu
tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari
padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang
diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan,
lalu dibawaNya kepada manusia itu".112
Berbeda dengan Bibel, al-Qur'an menerangkan
asal-usul kejadian tersebut di dalam satu ayat pendek (Q., s. al-Nisa'/4:
1) sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut. Cerita tentang asal-usul
kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits.
Keterangan dari Bibel dan hadits-hadits
mengilhami para exegesist, mufassir, penyair, dan novelis menerbitkan
berbagai karya. Karya-karya tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa
seolah-olah manusia, terutama laki-laki, secara biologis adalah makhluk
supernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk biologis lainnya, seperti
binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin dengan teori
evolusinya dianggap "murtad" di kalangan kaum agamawan, karena
mengembangkan faham yang bertentangan dengan teks Kitab Suci.
Hawa dan Lillith
Ada informasi menarik dalam literatur Yahudi
bahwa Hawwa (Eva) adalah pasangan kedua (the second wive). Pasangan pertama
Adam ialah Lillith.113 Ia diciptakan dari tanah bersama-sama dengan Adam
dalam waktu bersamaan. Lillith tidak mau menjadi pelayan (helper) Adam lalu
ia meninggalkan Adam. Adam kemudian merasa sepi di sorga lalu Tuhan
menciptakan pasangan barunya, Hawa dari tulang rusuknya sebagai pelayan
baru (the new helper).114
Makhluk misterius Lillith juga dihubungkan
dengan salah satu pasal dalam Kitab Perjanjian Lama (Issalah/34:14).115
Dalam literatur klasik Islam, Lillith atau
nama-nama lainnya tidak pernah dikenal. Dalam hadits hanya dikenal nama
Hawa sebagai satu-satunya isteri Adam. Dari pasangan Adam dan Hawa lahir
beberapa putra-putri yang kemudian dikawinkan secara silang. Dari
pasangan-pasangan baru inilah populasi manusia menjadi berkembang.
Dalam al-Qur'an memang diisyaratkan kemungkinan
adanya makhluk sebangsa manusia pra Adam, sebagaimana yang akan diuraikan
nanti, tetapi makhluk itu tidak dihubungkan dengan pribadi Adam, melainkan
Adam sebagai species manusia. Lagi pula, kalau makhluk yang bernama Lillith
itu diciptakan untuk menjadi pelayan Adam lalu menolak untuk menjalankan
tugasnya, berarti ada makhluk pembangkang lain selain Iblis. Padahal
dikenal sebagai pembangkang selama ini hanya Iblis.
Misteri Nafs al-Wahidah
Dalam al-Qur'an tidak dijumpai ayat-ayat secara
rinci menceritakan asal-usul kejadian perempuan. Kata Hawa yang selama ini
dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak
pernah ditemukan dalam al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia
pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan.116
Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul
kejadian perempuan yaitu Q., s. al-Nisa'/4:1 sebagai berikut:
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
"diri" yang satu (a single self), dan dari padanya Allah
menciptakan pasangan (pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasimu.
Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka
peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata
bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang
dimaksud dengan "diri yang satu" (nafs al-wahidah), siapa yang
ditunjuk pada kata ganti (dhamir) "dari padanya" (minha), dan apa
yang dimaksud "pasangan" (zawy) pada ayat tersebut?
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur
seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir
al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir
al-Sa'ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir al-Maraghi, semuanya menafsirkan
kata nafs al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan
"dari bagian tubuh Adam", dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa,
isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip
al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir
"ha" pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi
"dari jins (gen), unsur pembentuk Adam".117 Pendapat lain
dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan
"roh" (soul).118
Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan
pendapat jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat
penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam
al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs
kadang-kadang berarti "jiwa" (Q., s. al-Ma'idah/5:32),
"nafsu" (Q., s. al-Fajr/89:27), "nyawa/roh" (Q., s.
al-'Ankabut/29:57). Kata al-nafs al-wahidah sebagai "asal-usul
kejadian" terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti
Adam, karena pada ayat lain, seperti Q., s. al-Syu'ra/42:11, nafs itu juga
menjadi asal-usul binatang.119 Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah
Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan
tumbuh-tumbuhan?
Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan
bentuk nakirah/indefinite "dari satu diri" (min nafsin), bukan
dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan
kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat (ta'kid) dengan kata
"yang satu" (wahidah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya
ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal
(unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di
samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa
tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar),
tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats).
Walaupun kita tahu bahwa kata nafs120 masuk kategori mu'annats sebagaimana
beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat
itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang
di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara
(Mukhathab).121
Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh
jadi suatu genus dan salah satu speciesnya ialah Adam dan pasangannya
(pair/zawj-nya) (Q., s. al-A'raf/7:189), sedangkan species lainnya ialah
binatang dan pasangannya (Q., s. al-Syura/42:11) serta tumbuh-tumbuhan dan
pasangannya (Q., s. Thaha/20:53).
Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang relevan
dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara
biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara
tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada
ayat-ayat lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti
asal-usul manusia dari "air"/al-ma' (Q., s. al-Furqan/25:54),
"air hina"/ma'in mahin (Q., s. al-Mursalat/77:20), dan "air
yang terpancar"/ma'in dafiq (Q., s. al-Thariq/86:6),
"darah"/'alaq (Q., s. al-'Alaq/96:2), "saripati
tanah"/sulalatin min thin (Q., s. al-Mu'minun/23:12), "tanah liat
yang kering"/shalshalin min hama'in mahan (Q., s. al--Hijr/ 15:28),
"tanah yang kering seperti tembikar"/shalshalin ka 'l-fakhkhar
(Q., s. al-Rahman/55:15), "dari tanah"/min thin (Q., s.
al-Sajdah/32:7), dan "diri yang satu" (nafs al-Wahidah (Q., s.
al-Nisa'/4: 1). Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti
lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam arti ciptaan awal (production) dan
mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction).
Ada kesulitan dalam memahami kisah asal-usul
kejadian manusia dalam al-Qur'an karena ada loncatan atau semacam missing
link dalam kisah-kisah tersebut. Al-Qur'an tidak menerangkan secara runtut
dari A sampai Z, tetapi dari A meloncat ke X dan Z. Apa yang terjadi antara
A dan X atau Z tidak dijelaskan. Al-Qur'an bercerita tentang asal-usul
sumber manusia pertama dari "gen yang satu" (nafs al-wahidah),
Gen yang melahirkan species makhluk biologis seperti jenis manusia, jenis
binatang, dan jenis tumbuh-tumbuhan. Dalam komponen lain ayat-ayat
berbicara tentang asal-usul manusia dalam konteks reproduksi, seperti pada
Q., s. al-Mu'minun/23:12-14.
Ayat-ayat kejadian manusia dalam al-Qur'an tidak
cukup kuat dijadikan alasan untuk menolak atau mendukung teori evolusi dan
untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa ayat
mengisyaratkan adanya makhluk sejenis manusia selain dan sebelum Adam;
seperti pertanyaan malaikat yang bernada protes terhadap keinginan Tuhan
untuk menciptakan khalifah di bumi yang mengkhawatirkan terjadinya
pengulangan sejarah pertumpahan darah (Q.,s. al-Baqarah/2:30) dan
penggunaan dlamir plural (khalaqa-kum) pada penciptaan manusia awal (Q., s.
al-A'raf/7:11). Ayat-ayat itu dapat dihubungkan dengan kemungkinan adanya
makhluk sejenis Adam pra Adam. Sementara banyak ayat mengisyaratkan manusia
sebagai ciptaan yang unik the unical creation, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Konsep teologi yang menganggap Hawa/Eva berasal
usul dari tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama mengenai
asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu
pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan Kristen cenderung mengartikan
kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu diberikan muatan makna lain.122
Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi123 cenderung melakukan kritik
terhadap jalur riwayat (sanad), materi hadits (matan), asal-usul (sabab
wurud) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum perempuan, yang
diistilahkannya dengan hadits-hadits misogyny, disamping melakukan kajian
semantik dan sabab nuzul terhadap beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan
dengan perempuan.
Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul
kejadian tersebut bisa melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan;
di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karier agar
tidak selalu menjadi beban laki-laki tetapi di lain pihak, ketika seorang
perempuan mencapai karier puncak, keberadaannya sebagai perempuan shaleh
dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan dan prestasi perempuan tidak cukup
hanya diukur oleh suatu standar profesional tetapi juga seberapa jauh hal
itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini tidak mendukung
terwujudnya khalifat-un fi 'l-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini
perlu diadakan klarifikasi.
Fungsi Keberadaan
Laki-laki dan Perempuan
Keberadaan Hawa untuk melengkapi salah satu
hasrat Adam. Anggapan seperti ini dapat dilihat dalam Kitab Tawrat dan
Kitab Injil, seperti dalam Genesis/2:18-19 ditegaskan bahwa tidak baik
seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva diciptakan sebagai pelayan
yang tepat untuk Adam (a helper suitable for him).124
Dari pasal-pasal tersebut secara teologis
mengesankan kedudukan perempuan, bukan saja sebagai subordinasi laki-laki,
tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di dalam masyarakat. Dalam
sumber Yahudi, yakni dalam Midras dijelaskan bahwa secara substansial
penciptaan perempuan dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan
dengan kognitif intelektual (cognition-by-intellect/hokhmah), sedangkan
perempuan diciptakan dengan kognitif instink (cognition-by-instinct/
binah).125 Jika diperhatikan secara cermat beberapa pernyataan dalam Bible,
terutama dalam Kitab Kejadian, pernyataan-pernyataan itu dengan jelas
menunjukkan bahwa kedudukan perempuan sangat timpang dibanding kedudukan
laki-laki. Persoalan ini menjadi sangat fundamental karena tersurat di
dalam Kitab Suci yang harus diyakini oleh pemeluknya. Hal yang seperti ini
sering dijumpai dalam masyarakat, misalnya beberapa mitos destruktif tetap
lestari hingga sekarang karena dianggap sebagai bagian dari doktrin agama.
Problem teologis seperti ini menjadi hambatan
terberat dialami kalangan feminis. Carmody mengungkapkan bahwa, sejumlah
mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan
berbagai agama, misalnya tidak bisa menolak mitos di sekitar Mary (Maryam)
tanpa melepaskan kepercayaan, karena dalam kepercayaan Kristen, cerita
tentang Jesus dan Mary dianggap sebagai nonmythologual aspects.126
Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan suatu ayat yang
menyebutkan cerita tentang asal-usul kejadian perempuan. Yang ada hanya
cerita tentang kesombongan Iblis yang berdampak pada Adam dan pasangannya,
harus meninggalkan sorga.127 Hanya ada beberapa riwayat yang kontroversi
menceritakan asal-usul keberadaan kejadian perempuan, yang redaksinya
hampir sama dengan cerita yang ada dalam Kitab Kejadian, seperti dalam
hadits:
"Ketika Allah
mengusir Iblis keluar dari Taman lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena
ia tidak mempunyai teman bermain maka Allah menidurkannya kemudian
mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya lalu Ia mengganti daging di
tempat semula kemudian Ia menciptakan Hawa dari padanya. Ketika bangun,
Adam menemukan seorang perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya:
Siapa anda? Hawa menjawab: perempuan. Adam kembali bertanya: Kenapa engkau
diciptakan? Hawa menjawab: Supaya engkau mendapatkan kesenangan dari diri
saya. Para malaikat berkata: Siapa namanya? Dijawab: Hawwa. Mereka
bertanya: mengapa dipanggil Hawa? dijawab: Karena diciptakan dari sebuah
benda hidup".128
Redaksi riwayat di atas sangat mirip dengan
redaksi Kitab Genesis, khususnya Pasal 21-23. Riwayat-riwayat semacam ini
diragukan keabsahannya oleh, bukan saja dari kalangan feminis muslimah
seperti Riffat Hasan tetapi juga kalangan ulama seperti Muhammad Rasyid
Ridla. Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Ridla mengesankan bahwa tradisi
pemahaman yang mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan
bersumber dari al-Qur'an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci sebelumnya,
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalamKitab Perjanjian
Lama (Kejadian 2:21) niscaya pendapat yang keliru tidak pernah terlintas
dalam benak seorang muslim".129
Wibke Walther mendukung pendapat tersebut dengan
mengemukakan beberapa bukti sejarah bahwa pada era awal Islam, yakni pada
masa Nabi, kaum perempuan mendapatkan kemerdekaan sangat berbeda dengan
yang pernah membudaya sebelumnya. Belakangan setelah wilayah Islam meluas
dan bersentuhan dengan budaya lain, khususnya faham asketisme Kristen
kedudukan perempuan dalam dunia Islam mengalami dekadensi.130 Pendapat yang
sama juga diungkapkan Fatima Mernissi dan Muhammad Iqbal.
Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'an
Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis
terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan
tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan
kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir
mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas
sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari
setan (Q., s. al-A'rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya
menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan
sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan
lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga
adalah pakaian bagi mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).
Secara ontologis, masalah-masalah substansial
manusia tidak diuraikan panjang lebar di dalam al-Qur'an. Seperti mengenai
roh, tidak dijelaskan karena hal itu dianggap "urusan Tuhan" (Q.,
s. al-Isr'a'/17:85). Yang ditekankan ialah eksistensi manusia sebagai
hamba/'abid (Q., s. al-Dzariyat/51:56) dan sebagai wakil Tuhan di
bumi/khalifah fi al-ardl (Q., s. al-An'am/6:165). Manusia adalah
satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa
turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik
(ahsan taqwim/Q., s. al-Thin/95:4) tetapi tidak mustahil akan turun ke
derajat "paling rendah" (asfala safilin/Q., s. al-Tin/95:5),
bahkan bisa lebih rendah dari pada binatang (Q., s. al-A'raf/7:179).
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi
dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q., s.
al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak menganut faham the second sex yang
memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic,
yang mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku bangsa manapun
mempunyai potensi yang sama untuk menjadi 'abid dan khalifah (Q., s.
al-Nisa'/4:124 dan s. al-Nahl/16:97).
Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah
al-ma'rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian
politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-Mumtahanah/60:12), seperti sosok
Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan "superpower"/'arsyun 'azhim
(Q., s. al-Naml/27:23); memiliki kemandirian ekonomi/al-istiqlal
al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan
Nabi Musa di Madyan, wanita mengelola peternakan (Q., s. al-Qashash/28:23),
kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi/al-istiqlal al-syakhshi
yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi
wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11) atau menentang pendapat
orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (Q., s.
al-Tahrim/66:12). Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan
gerakan "oposisi" terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan
kebenaran (Q., s. al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang
terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q., s. al-Nisa'/4:75).
Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di
dalam kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi
ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan dan prestasi besar
sebagaimana layaknya kaum laki-laki.
Penafsiran Berwawasan Jender
Hampir semua tafsir yang ada mengalami gender
bias. Hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur-Tengah
yang androcentris. Bukan hanya kitab-kitab Tafsir tetapi juga kamus.
Sebagai salah satu contoh, al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata
dengan al-dzikr berarti mengingat. Kata khalifah di dalam kamus Arab paling
standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: "khalifah hanya digunakan di
dalam bentuk maskulin" (al-khalifah la yakun illa al-dzakar).
Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena
cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat warisan
(Q., s. al-Nis'a'/4: 11), persaksian (Q., s. al-Baqarah/2:228, s.
al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai "pemimpin"/qawwamah (Q., s.
al-Nisa'/4:34), akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum
perempuan. Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial
berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu. Seperti diketahui
ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi
sifatnya sangat historical. Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang
persoalan detail (muayyidat). Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan
untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqashid) ayat-ayat
essensial,131 yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an.
Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab
khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, a)
apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus
turunnya (yufid al-'alm), atau b) berlaku universal dengan syarat memperhatikan
persamaan karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi empat
unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau c) hanya mengikat
peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat,
dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengcover secara langsung
peristiwa-peristiwa lain.132
Al-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan
proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari
cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Al-Qur'an dan hadits yang
berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagi suatu
proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (maqashid al-syari'ah).
Al-Qur'an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan
ide-idenya, misalnya dengan: a) disampaikan secara bertahap (al-tadrij fi
al-tasyri), b) berangsur (taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan
(a'dam al-haraj). Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang
memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap. Jika kita
perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan,
kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada
suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam
masyarakat.133
Dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam,
kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan
yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan
bagaimana status dan kedudukan perempuan sebelum Islam. Misalnya dalam soal
warisan; anak perempuan mendapat separoh bagian dari yang didapat anak
laki-laki (Q., s. al-Nisa'/4:11). Ketika ayat ini memberikan bagian kepada
anak perempuan, meskipun itu hanya separoh, tanggapan masyarakat ketika itu
sama ketika ayat haid diturunkan (akan diuraikan tersendiri), yaitu
menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu
dianggap menyimpang dari tradisi besar (great tradition) mereka. Ketentuan
sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa
mempertahankan clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki.
Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan perempuan.
Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan
neneknya karena ia masih belum dewasa.
Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan
ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan
peran jenis kelamin (gender role), sementara peran sosial berdasarkan peran
jenis kelamin ketika itu sangat menentukan. Mencari titik temu antara wahyu
(revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha
merumuskan suatu pranata --kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam--
dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar
al-Qur'an.
Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih
terkesan dominan tetapi martabat perempuan sudah diakui, bahkan perempuan
selalu di bawah perlindungan laki-laki. Kalau ia sebagai isteri
dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai anak dipertanggung jawabkan oleh
Bapak, sebagai saudara dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki,
meskipun ia lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki. Kaum laki-lakilah
yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga clan dan/kabilah
yang ketika itu sangat rawan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para
fuqaha', memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah selesai
memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisten terhadap kaidah al-hukmu
yadur ma'a al-illah (hukum mengikuti perkembangan zamannya) maka fiqh Islam
sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian.
Salah satu upaya al-Qur'an dalam menghilangkan
ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak struktur masyarat
qabilah yang berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang
berciri bilateral-demokratis. Promosi karier kelompok masyarakat qabilah
hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan kelompok masyarakat ummah
ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan
suku bangsa. Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib
menjadi Madinah,134 karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu'ubiyah),
sedangkan Madinah terkesan lebih kosmopolitan.
Praktek Kesetaraan Jender pada Masa Nabi
Kehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan
sudah mengarah kepada keadilan jender. Akan tetapi setelah beliau wafat dan
wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang mulai diterapkan Nabi
kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan
mengadopsi kultur-kultur androsentris (untuk tidak menyebut kultur
misogyny). Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di
Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat,
dan ke Afrika, seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di
bagian Selatan. Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum
perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal dari wilayah
tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan lokalnya di dalam
menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Akibatnya, fiqh yang berkembang di
dalam sejarah Islam adalah fiqh patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas Islam
yang semakin jauh dari pusat kotanya (heartland), akan semakin kuat
mengalami proses enkulturasi.
Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita
tidak bisa sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun Nabi
telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi
kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu. Seperti
diketahui bahwa wahyu baru saja selesai turun Nabi keburu wafat, maka wajar
kalau Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajaran itu sepenuhnya
terwujud didalam masyarakat. Terlebih kedudukan perempuan yang berkembang
dalam dunia Islam pasca Nabi tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya
semakin mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh.
Jika dilihat sejarah perkembangan karier
kenabian Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah
kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender (gender equality/al-musawa
al-jinsi). Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan
harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum
adat jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah, kemudian
al-Qur'an secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka (Q.,
s. al-Nisa'/4:12). Semula laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas,
kemudian dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat
(Q., s. al-Nisa'/4:3). Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian
diberikan kesempatan untuk itu, meskipun dalam beberapa kasus masih
dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki (Q., s. al-Baqarah/2:228 dan
s. al-Nisa'/4:34).
Pola dialektis ajaran Islam menganut asas
penerapan bertahap (relatifering process/al-tadrij fi al-tasyri). Di
sinilah perlunya mengkaji al-Qur'an secara hermeneutik, guna memahami
suasana psikologis latar belakang turunnya sebuah ayat (sabab nuzul) atau
munculnya sebuah hadis (sabab wurud).
Kedudukan perempuan pada masa Nabi sering
dilukiskan dalam syair sebagai dunia mimpi (the dream of woman). Kaum perempuan
dalam semua kelas sama-sama mempunyai hak dalam mengembangkan profesinya.
Seperti dalam karier politik, ekonomi, dan pendidikan, suatu kejadian yang
sangat langka sebelum Islam.
Tidak ditemukan ayat atau hadits yang melarang
kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya al-Qur'an dan hadits
banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Dalam Q., s. al-Tawbah/9:71 dinyatakan: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain, mereka
menyuruh mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".
Kata awliya' dalam ayat tersebut di atas menurut
Quraish Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dari penguasaan; sedangkan
"menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan,
termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.135
Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum
perempuan dipermulaan Islam memegang peranan penting dalam kegiatan
politik. Q., s. al-Mumtahanah/60:12 melegalisir kegiatan politik kaum
wanita:
"Wahai Nabi, jika
datang kepadamu kaum wanita beriman untuk melakukan bai'at dari mereka
tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri,
tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat
dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dari kaki mereka dari tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bay'at)
mereka dari mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Istri-istri Nabi terutama 'A'isyah telah
menjalankan peran politik penting. Selain 'A'isyah, juga banyak wanita lain
yang terlibat dalam urusan politik, mereka banyak terlibat dalam medan
perang, dari tidak sedikit di antara mereka gugur di medan perang, seperti
Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam
al-Aslamiyah.
Sedangkan kaum perempuan yang aktif di dunia
politik dikenal misalnya: Fathimah binti Rasulullah, 'A'isyah binti Abu
Bakar, 'Atika binti Yazid ibn Mu"awiyah, Ummu Salamah binti Ya'qub,
Al-Khayzaran binti 'Athok, dan lain sebagainya.
Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih
pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau
kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan
dalam suasana terhormat, sopan, dari tetap menghormati ajaran agamanya. Hal
ini dibuktikan oleh sejumlah nama penting seperti Khadijah binti Khuwaylid
(istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan, Zaynab binti Jahsy,
profesinya sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan yang
berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah ibn Mas'ud dan
Qilat Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses, al-Syifa'
yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah 'Umar
sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah. Begitu aktif kaum wanita
pada masa Nabi, maka 'A'isyah pernah mengemukakan suatu riwayat "Alat
pemintal di tangan wanita lebih baik dari pada tombak di tangan kaum
laki-laki." Dalam riwayat lain Nabi pernah mengatakan
"Sebaik-baik permainan seorang wanita muslimah di dalam rumahnya
adalah memintal/menenun."136
Jabatan kontroversi bagi kaum wanita adalah
menjadi Kepala Negara. Sebagian ulama masih menganggap jabatan ini tidak
layak bagi seorang wanita, namun perkembangan masyarakat dari zaman ke
zaman pendukung pendapat ini mulai berkurang. Bahkan al-Mawdudi yang
dikenal sebagai ulama yang secara lebih tekstual mempertahankan ajaran
Islam sudah memberikan dukungan kepada Fatimah Jinnah sebagai orang nomor
satu di Pakistan.137
Dalam bidang pendidikan tidak perlu diragukan
lagi, Al-Qur'an dan Hadits banyak memberikan pujian kepada perempuan yang
mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan. Al-Qur'an menyinggung sejumlah
tokoh perempuan yang berprestasi tinggi, seperti Ratu Balqis, Maryam, istri
Fir'awn, dari sejumlah istri Nabi.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah
didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk
menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam
klasik ditemukan beberapa nama perempuan menguasai ilmu pengetahuan penting
seperti 'A'isyah isteri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husayn ibn 'Ali ibn
Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan "Fikhr
al-Nisa" (kebanggaan kaum perempuan), adalah salah seorang guru Imam
Syafi'i, Mu'nisat al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat
al-Taymi'yah, Zaynab, putri sejarawan al-Bagdadi, Rabi'ah al-Adaw'iyah, dan
lain sebagainya.
Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu
pengetahuan banyak dijelaskan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita yang membuat
keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi
tidak dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal
ma'ruf.138
Peran sosial perempuan dalam lintasan sejarah
Islam mengalami kemerosotan di abad kedua, setelah para penguasa muslim
kembali mengintrodusir tradisi hellenistik di dalam dunia politik. Tradisi
hellenistik banyak mengakomodir ajaran Yahudi yang menempatkan kedudukan
perempuan hampir tidak ada perannya dalam kehidupan masyarakat. Di samping
itu, para ulama --diantaranya dengan sponsor pemerintah-- sedang
giat-giatnya melakukan standarisasi hukum dengan melaksanakan kodifikasi
kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab hadits. Apakah ada kaitan antara pembukuan
dan pembakuan kitab fiqh dan proses penurunan peran perempuan, masih perlu
diteliti lebih jauh.
Perempuan dan Dosa Warisan
Konsep teologi yang juga memberikan citra
negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab
tergelincirnya Adam dari Sorga ke planet bumi. Karena rayuannya, Adam
lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke bumi.
Akhirnya, kaum perempuan harus menanggung akibat lebih besar, seperti yang
dapat dilihat dalam Kitab Talmud dan Bibel.
Dalam Agama Yahudi, asal-usul terjadinya dosa
asal (original sin) juga lebih banyak dipersalahkan kaum perempuan. Bahkan
kalangan misogyny menganggap perempuan sebagai "setan betina"
(female demon) yang harus selalu diwaspadai.
Kutukan terhadap Hawa dan Adam
Dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan
bahwa akibat pelanggaran Hawa/Eva di Sorga maka kaum perempuan secara
keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan:
Perempuan
akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya Hawa/ Eva tidak pernah
mengalaminya.
Perempuan
yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
Perempuan
akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya.
Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai
dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti
yang diharapkan.
Perempuan
akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
Perempuan
akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
Perempuan
akan merasa sakit pada waktu melahirkan.
Perempuan
tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki.
Perempuan
masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah
tidak kuat lagi.
Perempuan
sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat
berat menyampaikan hasrat itu kepadanya.
Perempuan
lebih suka tinggal di rumah.139
Mungkin banyak kaum perempuan dewasa ini tidak
sadar kalau poin pertama sampai terakhir bukan sekedar peristiwa alami,
tetapi oleh orang-orang yang mempercayai kitab itu diyakini sebagai bagian
dari "kutukan" Tuhan terhadap kesalahan Hawa.
Sedangkan kutukan yang ditimpakan kepada
laki-laki, dan ini menarik untuk diperhatikan, adalah sebagai berikut:
Sebelum
terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih
tinggi dari pada bentuk normal sesudahnya.
Laki-laki
akan merasa lemah ketika ejakulasi.
Bumi
akan ditumbuhi banyak pohon berduri.
Laki-laki
akan merasa susah dalam memperoleh mata pencaharian.
Laki-laki
pernah makan rumput di lapangan rumput bersama binatang ternak, tetapi Adam
memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan.
Laki-laki
akan makan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya.
Adam
kehilangan ketampanan menakjubkan yang telah diberikan oleh Tuhan
kepadanya.
Ditinggalkan
oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki.
Adam
dibuang dari taman sorga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya.
Laki-laki
diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk
mati dan dikubur.140
Kutukan yang ditimpakan kepada kaum laki-laki,
selain lebih lunak kutukan itu juga langsung atau tidak langsung menimpa
kaum perempuan. Sebaliknya, kutukan terhadap perempuan lebih berat dan
monumental serta hanya dialaminya sendiri, tidak dialami kaum laki-laki.
Dalam Bibel juga dipersepsikan bahwa kaum
laki-laki pantas memiliki superioritas di atas perempuan, sebaliknya kaum
perempuan pada tempatnyalah mengabdikan diri kepada kaum laki-laki, karena
selain diciptakan dari tulang rusuk Adam dan untuk melengkapi kesenangan
Adam, juga dianggap penyebab langsung jatuhnya Adam dari syorga, seperti
diungkapkan dalam Kitab Kejadian (3:12):
"Manusia itu menjawab: "Perempuan yang
kamu tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku,
maka kumakan".141
Sebagai sanksi terhadap kaum perempuan antara
lain dikatakan dalam Kitab Kejadian (3:16)
"FirmanNya kepada perempuan itu:
"Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak, dengan
kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada
suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."142
Jika doktrin-doktrin tersebut dilihat dalam
perspektif sejarah, maka Islam adalah suatu sistem nilai yang progressif
pada zamannya. Ajaran-ajarannya yang kontroversi ketika itu tidak hanya
dapat ditawarkan (accessible) tetapi juga dapat diterima (acceptable) dalam
kurun waktu yang singkat. Dapat dibandingkan ajaran Bibel baru populer
setelah 'Isa/Yesus meninggal, sedangkan Nabi Muhammad sempat menyaksikan
ajarannya dianut di sekitar Timur-Tengah.
Menstrual Taboo
Di antara kutukan perempuan yang paling
monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan
berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke
berbagai belahan bumi.
Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan
pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi.
Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan
kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti
bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya
panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.
Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap
darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut
kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual huts),
suatu gubuk khusus dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi
atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan
keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis
masakan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze)
dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata
iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan
berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat
tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak
terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.143 Dari sinilah asal-usul
penggunaan kosmetik144 yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan
sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung,
giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk
cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.145
Upaya lain dalam mengamankan tatapan "mata
iblis" ialah dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang
dapat menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog berpendapat
menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau
cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama
Islam dengan mengutip "ayat-ayat jilbab"146 dan hadits-hadits
tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang
diperkenalkan dalam Kitab Tawrat147 dan Kitab Injil.148 Bahkan menurut
Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria
(Assyrian Code):
The tradition that
women veil themselves when they go out in public a very old in the orient.
Probably the first reference is to be found in the Assyirian Code, where it
a ruled that wives, daughters, widows, when, going out in public, must be
veiled.149
(Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat
umum sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan referensi
paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum Asyiria, yang mengatur bahwa:
isteri, anak perempuan, janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus
menggunakan kerudung).
Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan
berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropologis, berawal
dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah "si mata Iblis"
dalam melakukan aksinya.150
Penggunaan cadar/kerudung (hood)151 pertama kali
dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi. Kerudung dan semacamnya
semula bertujuan untuk menutupi tatapan mata terhadap cahaya matahari dan
sinar bulan, karena hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di
dalam masyarakat dan lingkungan alam.
Kerudung dari semacamnya semula dimaksudkan
sebagai pengganti "gubuk pengasingan" bagi keluarga raja atau
bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingan diri di dalam
gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat
menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang
menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang
terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan. Peralihan dan
modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual hut menjadi cadar (menstrual
hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia, dan Afrika
bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain sebagainya. Bentuk dan bahan
cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk
cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang dan bahannya
juga bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada
yang dari wol yang berasal dari bulu domba.152
Selain mengenakan cadar perempuan haid juga
menggunakan cat pewarna hitam (cilla') di daerah sekitar mata guna
mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan
memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik,
dan bahan dari tengkorak kepala manusia.
Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan
semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum perempuan.
Masyarakat tradisional dahulu kala sudah pernah muncul perdebatan seru.
Apakah boleh perempuan yang bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung
sebagai pengganti pengasingan di gubuk menstruasi. Agama Yahudi dan
selanjutnya dalam agama Kristen, dua agama besar sebelum Islam juga telah
mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Yang jelas tradisi
penggunaan kerudung, jilbab, dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat
jilbab diturunkan.
Haydl dalam Islam
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut
haydl.153 Dalam al-Qur'an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat;
sekali dalam bentuk fi'l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali
dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl).154
Dari segi penamaan saja, kata haydl sudah lepas
dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya.
Masalah haydl dijelaskan dalam Q., s. al-Baqarah/1:222:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
haidh. Katakanlah: "Haydl itu adalah 'kotoran' oleh karena itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haydl; dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.
Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadits
riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haydl,
masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di
rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian
Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat
itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu (kepada
isteri yang sedang haydl) kecuali bersetubuh". Pernyataan Rasulullah
ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan
penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang
selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai "hal yang
alami" (adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang
disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari
tradisi besar kita. Usayd ibn Hudlayr dan Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi
tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa
kurang enak terhadap reaksi tersebut.155
Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan
kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah kembali
menegaskan bahwa: "Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali
kemaluannya (faraj)", "Segala sesuatu boleh untuknya kecuali
bersetubuh (al-jima')". Bahkan Rasulullah seringkali mengamalkan
kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain yang secara demonstratif
disampaikan 'A'isyah, antara lain, 'A'isyah pernah minum dalam satu bejana
yang sama dalam keadaan haydl, juga pernah menceritakan Rasulullah
melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima') sementara dirinya dalam
keadaan haid, juga darah haydl dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian
'A'isyah; sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan taboo
terhadapnya.156
Jika diteliti lebih cermat, meanstream ayat di
atas sesungguhnya bukan lagi haydl-nya itu sendiri tetapi pada
al-mahidl-nya atau "tempat" keluarnya darah itu (mawdhi
'al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haydl.
Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk mashdar/verbal noun tetapi
yang pertama menekankan "tempat" haid (mawdhi 'al-haydl)
sedangkan yang kedua menekankan "waktu" dan "zat" haid
('ayn al-haydl) itu sendiri.
Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan
perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Pada hal menyamakan atau
membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda,
bahkan lebih jauh akan berimplementasi kepada persoalan hukum. Kalau
al-mahidl diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti
jauhilah perempuan itu pada waktu haydl artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang,
dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab.
Akan tetapi kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti mawdhi
'al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat haydl dari perempuan itu.
Penggunaan logika yang kedua ini menjadi jelas tanpa harus lagi ada
"penghapusan" (nasakh) atau pengkhususan (takhshish). Kalau yang
dimaksud al-mahidl yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam
pengertian, karena yang bermasalah (adzan)157 dalam lanjutan ayat itu ialah
waktu haid (zaman al-haydl), bukan tempat haid (mawdhi' al-haydl), jadinya
tidak logis dalam pengertian (ghayr ma'qul al-ma'na) karena sesungguhnya
yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu'-nya. Haydl itu sendiri bukan adzan
karena haydl hanya di-'ibirah-kan dengan darah yang khusus.
Al-Razi dalam tafsirnya memberikan alternatif
lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti
al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat haid.158 Implementasi dari
pengertian ini ialah persoalan haid sebagaimana yang ditanyakan sahabat
Nabi dan sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan
fisik-biologis, tempat keluarnya darah haidh itu bukan persoalan tabunya
darah haid seperti yang dipersepsikan oleh umat-umat terdahulu.
Perintah untuk "menjauhi" (fa'tazilu)
dalam ayat di atas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab'id)
tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung
(i'tizal). Sedangkan darah haid disebut al-adzan karena darah tersebut
adalah darah tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita.
Bahkan kalau darah itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah,
karena itulah disebut adzan.
Mengenai pembersihan diri (thaharah)159 dari
haydl, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti
dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama
berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh160 ia sudah dapat dianggap bersih
setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup
membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu
tujuh hari. Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah
dapat melakukan ibadah secara rutin.161Pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh Auza'i dan Ibn Hazm.162
Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami
bahwa ajaran Islam tidak menganut faham menstrual taboo, sebaliknya
berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan
beban berat terhadap kaum wanita. Seperti mitos tentang wanita haid
seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena
selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang
berat.
Penutup
Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi
masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan bawah sadar bahwa
kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum prempuan. Semenjak dahulu kala,
orang banyak berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin
tetapi hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu memang sulit
dihilangkan karena berakar dari atau didukung oleh ajaran teologi. Padahal
Max Weber pernah menegaskan bahwa tidak mungkin mengubah perilaku
masyarakat tanpa mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika
tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat.
Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu
tematis, sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah banyak
mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan,
tetapi tidak sedikit perempuan merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis
tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa hidup
di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu dipahami sebagai takdir
(divine creation), bukan konstruksi masyarakat (social consttuction).
Dalam praktek terkadang sulit dibedakan mana
pesan yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos.
Agama pada hakekatnya menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus
sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk kemaslahatan manusia mestinya dapat
dijangkau oleh umat (mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos
seringkali memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu adanya
reidentifikasi masalah dan reinterpretasi sumber-sumber ajaran agama.
Islam tidak sejalan dengan faham patriarki
mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih
besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Al-Qur'an tidak memberikan
penegasan tentang unsur dan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan,
tidak juga mengenal konsep dosa warisan, dan skandal buah terlarang adalah
tanggung jawab bersama Adam dan Hawa. Perbedaan anatomi fisik-biologis
antara laki-laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status
dan kedudukan.
DAFTAR
PUSTAKA
99
Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London:
Routledge, 1989, h. 3.
100
Evelyn Reed, Woman's Evolution, From Matriarchal Clan to Patriarchal
Family, New York, London, Montreal, Sydney: Tathefinder, 1993, h. IV.
101
Lihat misaslnya Frederick Engels, The Origin of Family Private Property and
State, New York: International Publisher Company, 1976. Buku ini banyak
mengilhami para feminis marxis dan sosialis di dalam memberikan solusi
terhadap gender stereotyping di dalam masyarakat.
102
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983, h. 265.
103
Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York:
Webster's New World Cleveland,1984, h.561. Bandingkan dengan kamus Oxford
yang mendefinisikan gender sebagai a grammatical classification of objects
roughly corresponding to the two sexes and sexlessness, property of
belonging to such a class. (Lihat C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary
of English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979, h.).
104
Helen Tierney (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Vol. I, NewYork: Green
Wood Press, h. 153.
105
Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction, California, London,
Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993, h. 4.
106
Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey:
Prentice Hall, 1990, h.2.
107
H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden,
New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989, h. 2.
108
Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London:
Routledge, 1989, h. 3.
109
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik
Analisa Jender, 1992, h. 3.
110
Dalam literatur Arab disebut Hawwa dan literatur Inggris disebut Eva. Dalam
sumber-sumber Yahudi sering dikatakan Ha-ishah secara literal berarti
"wanita" tetapi sesungguhnya yang dimaksud ialah
"pelayan" (ezer/belper) Adam. Seperti dalam Islam, literatur
Yahudi mempunyai beberapa istilah terhadap wanita (female), yaitu almah
untuk wanita usia kawin, betulah untuk gadis perawan, bachurah untuk wanita
remaja, naarah wanita antara 12 sampai 12,5 tahun, dan nikevah untuk wanita
usia dewasa, serta yaldah untuk wanita yang belum dewasa. (Lihat Lisa
Aiken, To be Jewish Woman, Northvale, New Jersey, London: Janson Aronson
INC., 1992, h.12).
111
Kata Adam bersumber dari bahasa Hebrew Adamah berarti bumi (earth). Dapat
berasal dari akar kata alef (yang satu) dan dom (sunyi, diam, bisu). Lihat
Ibid, h. 6-7.
112
Dikutip dari Kitab Bibel edisi Indonesia.
113
Lillith digambarkan sebagai "setan betina" (female demon) yang berwajah
manusia, berambut panjang, dan mempunyai sayap, gentayangan di malam hari.
Lihat Lisa Aiken, op. cit., h. 23., Monica Sjoor dan Barbara Mor, The Great
Cosmic Mother, Rediscovering the Religion of the Earth, San Fransisco:
Harper and Row Publishers, 1985, h. 276-277.
114
Sumber ini tidak terlalu populer di kalangan Yahudi karena dianggap
kepercayaan sempalan, namun demikian cerita ini ditemukan dalam Talmud,
seperti dalam Erubin 1006, Bava Batra 736, Niddah 246, Sabbat 1516. Lihat
dalam Rabbi DR I. Epstein (Editorship), Hebrew-English Edition of the
Babilonia Talmud, Vol. I (Erubin), London; Jerusalem: The Sonicino Press,
1976, h. 73a-73b. Juga dalam Vol. 6 (Niddah), h. 246.
115
Lisa Aiken, loc. cit. dan dalam Holy Bible, Guelp, Ontario: The Gideons International
in Canada, h. 516, diistilahkan dengan The Night Monster.
116
Riffat Hasan memparmasalahkan, mengapa selalu dikatakan Adam wa zawj,
sekiranya Adam laki-laki maka kata paling tepat digunakan ialah kata
zawjah. (Lihat Riffat Hasan, "Teologi Perempuan dalam Tradisi
Islam," dalam Ulumul Qur'an, Vol.1, 1990/1410 H., h. 51). Akan tetapi
alasan ini lemah, karena kata zawj tidak mesti berarti isteri, dan tidak
mesti memakai huruf ta marbutah (zawjah) sebagai simbol perempuan
(muannats) untuk menunjukkan makna isteri, karena yang ditekankan pada ayat
ini ialah pasangan (pair), seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang
berpasang-pasangan (Q., s. Thaha/20:53 dan s. al-Syura/42:11). Lagi pula
kata ganti (dlamir) yang merujuk ke Adam semuanya menggunakan dhamir
mudzakkar, di antaranya paling tegas ialah uskun anta wa zawjuk-a 'l-jannah
(Q., s. al-Baqarah/2:35 dan s. al-A'raf/7:19). Kata uskun sudah cukup
mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar tetapi diperkuat (ta'kid) dengan kata
anta, kata ganti untuk orang pertama tunggal laki-laki.
117
Muhammad al-Razi Fakhr-u 'l-Din al-'Allamah Shaba'-u 'l-Din 'Umar, Tafsir
al-Razi, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., h.179. Dengan begitu, kata min
dari kata al-nafs al-wahidah bukan menunjuk kepada penciptaan awal (ibtida'
al-takhliq) tetapi hanya sebagai ibtida' al-ghayah. Jadi asal-usul Hawa
bukan dari Adam tetapi dari unsur "Gen Yang Tunggal" dari mana
seluruh makhluk hidup berasal. Sedikit koreksi kepada Komentar Yusuf Ali
dalam The Holy Quran-nya bahwa tidak benar al-Razi yang berpendapat bahwa
dhamir "ha" bukan Adam tetapi dari nafs. Hanya al-Razi
mengungkapkan pendapat ulama lain (al-Ishfahani), sebagaimana ciri tafsir
al-Razi selalu mengungkapkan pendapat lain sebagai perbandingan.
118
Lihat S.V. Mir Ahmed Ali dengan special notes/musyarrih, Hujjatul Islam
Ayatullah Haji Mirza Mahdi Pooya Yazdi, The Holy Qur'an, Karachi, Pakistan:
Muhammad Khaleel Shirazi, 1964, h. 359.
119
"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dan jenis binatang ternak
pasang-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan
itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat."
120
Menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa bahasa Arab, bahasa yang
digunakan dalam al-Qur'an, beberapa benda alam atau nama-nama benda yang
menakjubkan seperti matahari (al-syams), bulan (al-qamar), langit
(al-sama'), angin (al-rih), tanah, bumi (al-ardl), jiwa (al-nafs), dan lain
sebagainya dikategorikan dalam bentuk (bahasa) perempuan (mu'annats)? Boleh
jadi ini berkaitan dengan mitologi Mesir Kuno dan Asia Tengah pada
umumnyayang menganut faham The Mother God. Bulan misalnya dianggap sebagai
"Ibu Alam Semesta" (The Mother, of Universe) karena mempunyai
cahaya yang membawa kesuburan dan sangat penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan mahluk hidup. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, masih
banyak menganggap bulan sebagai dewi yang sangat berpengaruh, dan menurut
Owen, dari sinilah sebabnya mengapa umat Islam sejak awal sampai sekarang
menjadikan bulan sebagai simbol dan Bulan Sabit menjadi semacam lambang
"Palang Merah" dunia Islam. (Lihat Barbra Walker, The Women's
Encyclopaedia of Myths and Sacrets, San Fransisco, Harper & Row, 1983,
h. 669. Lihat pula Lara Owen, Her Blood is Gold, Celebrating the Power of
Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993, h. 30-31.
Proses
peralihan The Mother God ke The Father God membawa implikasi sosial.
Beralihnya masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki dinilai mempunyai
hubungan dengan,peralihan itu. Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan
Islam) dianggap merombak sistem dan struktur masyarakat matriarki yang
pernah dibangun oleh mitologi sebelumnya ke sistem patriarki. (Lihat
misalnya Merlin Stone, When God was a Woman, New York, London: A Havest/HBJ
Book Harcourt Brace Jovaniche, 1976., dan J. Edgar Bruns, God as Woman,
Woman as God, New York, Paramus, Toronto: Paulist Press,1973. Akan tetapi
Susan Starr Scred tidak setuju membesar-besarkan agama sebagai faktor
paling dominan dalam pembentukan suatu sistem masyarakat seperti masyarakat
matrifocal atau patrifocal, matriarcal atau patriarcal, dan matrilineal
atau patrilineal, karena faktor ekologi dan budaya juga sangat menentukan.
Lihat Susan Starr Scred, Priestess, Mother, Sacred Sister Religious
Dominated by Women, NewYork, Oxford. Oxford University Press, 1984, h, 284.
121
Misalnya dalam Q., s. al-A'rif/7:56 (In-na rahmat-a 'l-Lah-i qarib-un min
al-muhsinin), mestinya dikatakan qaribah sebagai sifat dari rahmah yang
berbentuk mu'annats, akan tetapi karena shifat men-shifat-i hakekat maushuf
yakni al-ihsan yang berbentuk mudzakkar maka shifat pun harus mudzakkar
lalu digunakanlah kata qarib.
122
Lihat misalnya Susan Weidman Schneider,Jewish and Female; Choices and
Changes in Our Lives Today, New York: Simon and Schuster,1984, dan Philip
Culbertston, The Future of Male Spirituality, New Adam, Minneapolis:
Foetress Press, 1992.
123
Di antara karya Fatima Mernissi yang paling populer ialah The Veil and the
Male Elite, a Feminist Interpretation of Women's Right in Islam, yang edisi
Inggrisnya diterbitkan di 21 kota Dalam buku ini Mernissi antara lain
seolah menggugat kalangan Penguasa dan ulama memberikan muatan kultur Arab
berlebihan terhadap beberapa Ayat dan Hadits, terutama sesudah Rasulullah
wafat.
124
Holy Bible, op. cit, h. 2.
125
Lihat Judith R Baskin (Ed.), Jewish Woman Historical Prospective Detroit:
Wayne State University Press, 1991, h. 79. Bandingkan dengan kedudukan
perempuan dalam pandangan gereja yang diilustrasikan oleh Nelle Morton
sebagai berikut:
GOD
MAN
WOMAN
CHILD
EARTH
Perempuan
ditempatkan di bawah Tuhan dan laki-laki dan di atas anak-anak dan bumi.
(Nelle Morton, Preaching the Word, dalam Alice L. Hageman (Ed)., Sexist
Religion and Women in the Church, New York: Assosiation Press, 1974, h.
42).
126
Denise Lardner Carmody, Mythological Woman, Contemporary Reflections on
Ancient Religious Stories, New York: Crossroad, 1992, h. 154-155.
127
Lihat misalnya kisah-kisah Adam dan pasangannya dalam Q., s.
al-Baqarah/2:34-38, s. al-A'raf/7:11-27, s. Thaha/20:115-123.
128
Dikutip dari al-Razi, op: cit., Juz III, h. 2.
129
Muhammad Rasyid Ridla', Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo: Dar al-Manar, 1367
H., h. 330.
130
Wiebke Walther, Women in Islam, from Mediaeval to Modern Time, New York:
Markus Wiener Publishing Princeton, 1993, h. 51.
131
Yang dimaksud ayat-ayat essensial di sini ialah ayat-ayat yang menjadi tema
pokok dalam al-Qur'an, seperti melaksanakan amanah (Q., s. al-Nisa'/4:58),
mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q., s. al-Nahl/16:90), menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kejahatan (Q., s. Alu 'Imran/ 3:104), dan
men-tawhid-kan Tuhan (Q., s. al-Ikhlash/112:1-40).
132
Pendapat pertama dipegang oleh jumhur Ulama dengan alasan bahwa meskipun ayat-ayat
itu diturunkan dalam suatu sebab khusus tetapi menggunakan redaksi umum
(am), jadi mereka mengutamakan bunyi teks dari pada konteks, lagi pula
menurut mereka, al-Qur'an tidak hanya untuk dijadikan petunjuk oleh
masyarakat tempat dan waktu di mana al-Qur'an diturunkan tetapi juga untuk
masyarakat sampai akhir zaman. Fungsi sabab nuzul lebih banyak merupakan
penguat penjelasan (bayan ta'kid), dan sangat terbatas yang sampai ke bayan
takhshish, yang berfungsi untuk mengkhushushkan jangkauan ayat, sebagai
konsekuensi pada kaidah pertama (al-'ibrah bi 'umu-m al-lafdh, la-bi
khushu-sh al-sabab), bahkan ada yang mengatakan ayat-ayat tidak mempunyai
hubungan kausalitas dengan riwayat sabab nuzul, karena ayat-ayat itu turun
kebetulan pada saat terjadinya sebab itu. Pendapat yang kedua cenderung
dipegang oleh al-Syathibi yang terkenal dengan kitabnyaAl-Muwafaqat-nya.
Kalau jumhur penekanannya pada analisa teks maka Syathibi lebih
berorientasi kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah) dan dengan demikian
selain mengandalkan teknik analogi (qiyas) dengan memperhatikan secara
cermat semua unsur qiyas, juga lebih berkonsentrasi kepada kajian konteks
dari pada detail teks. Orisinalitas pendapat al-Syathibi terletak di antara
dua kaidah (pertama dan ketiga) di atas, dan seolah-olah ingin
mengembangkan kaidah lain bahwa yang dijadikan pegangan ('ibarah) ialah
yang lebih dekat mengantar kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah).
Kedudukan teks (lafzh) ditempatkan sejajar dengan sabab nuzul sambil
melakukan penelitian kritis (istiqra') terhadap dalil-lalil lain, kemudian
dipilih atau dibentuk suatu bentuk solusi. Sedangkan pendapat ketiga
berpegang kepada kaidah al-'ibrah bi khushush al-sabab la-bi 'umum
al-lafzh, pendapat ini tidak umum di kalangan ulama.
133
Lihat kembali catatan kaki nomor 131.
134
Konsep Madinah (kota) diuraikan dengan menarik oleh Nurcholish Madjid bahwa
Madinah berasal dari akar kata yang sama dengan madaniyah atau tamaddun
yang berarti "peradaban" (civilization). Secara literal madinah
adalah "tempat peradaban", atau suatu lingkungan hidup yang
ber-"adab" (kesopanan, "civility"), yakni tidak
"liar". Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadlarah, satu akar
kata dengan hadlir (Indonesia: "hadir") yang menunjuk kepada
pengertian "pola hidup menetap di suatu tempat" (sedentary).
Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan
dari kata konsep tersebut ialah badawah, badiyah, atau badw, yang
mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad), terkesan
primitif, seperti pola kehidupan padang pasir. Kata badawah seakar kata
dengan ibtida', seperti dimaksud pada "madrasah ibtidaiyyah"
(sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan
berpindah-pindah (bedouin). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
Jakarta: Yayasan Paramadma, 1992, h. 312-313.
135
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992, h. 271.
136
Ibid, h. 278.
137
Lihat Masdud Hasan, Sayyid Abul A'la Al-Mawdudi and His Thought, Vol. II,
Lahore Pakistan: Islamic Publication (Pvt) Ltd., t.th, h. 493. Lihat pula
Farhat Haq, Islamic Reformism and the State: The Case of the
Jammiat-i-Islami at Pakistan, (Dissertation), Ithaca: Cornell University,
1988, h. 280.
138
Lihat Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Manthur al-Afriqi al-Mishri, Lisan
al-Arab, Juz XI, Beirut: Dar Shadir, h, 67.
139
Lihat Talmud op. cit, Vol. II (Erubin) h. 100b.
140
Lihat Lisa Aiken op. cit., h. 21, yang mengutipnya dari Me'am Loez on
Genesis 3:17-19.
141
Bible, op. cit., h. 2.
142
Ibid.
143
Lihat Thomas Buckley and Alma Gottlies (Ed.), Blood Magic, the Antropology
of Menstruation, Berkeley, Los Angeles, London: University ff California
Press, 1988, h. 6-7. Lihat Pula PaulaWeidger, Menstrual and Menopause, The
Physiology and Psychology, The Myth and Reality, New York: Alfred. A.
Knoft., 1976, h. 85.
144
Kata kosmetic itu sendiri berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti
dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal
keteraturan bumi. Juga berhubungan dengan kata cosmology, yang menunjuk
kepada kajian astronomi tentang keserasian antara ruang dan waktu
(space-time relationship) yang juga menjadi sasaran kajian metafisik.
Istilah lain yang erat hubungannya kata tersebut ialah kata cosmogony yang
berarti deskripsi tentang asal-usul alam semesta (description of the origin
of the universe). Juga dengan kata cosmography berarti deskripsi tentang
keserasian lmgkungan alam (description of the order of nature). Akan tetapi
istilah "kosmetik" yang sekarang menjadi alat kecantikan wanita
lebih dekat kepada kata cosmetikos tadi, berarti sesuatu yang harus
diletakkan pada anggota badan wanita guna menjaga terpeliharanya keutuhan
lingkungan alam. (Lihat Judi Grahn, Blood, Bread, and Roses, How
Menstruation Created the World, Bostom: Beacon Press, 1993, h. 72-73).
145
Lihat ibid., h. 89-95.
146
Misalnya dalam Q., s. al-Ahzab/33:59 dan s. al-Nur/24:31.
147
Ada beberapa istilah yang semakna dengan jilbab (veil) dalam Kitab Tawrat,
antara lain tif'eret. (Isaiah: 3:19-20). Diskursus mengenai jilbab dalam agama
Yahudi pernah lebih seru dari pada yang belum lama ini diributkan dalam
dunia Islam. Dalam Agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab
(uncovered) dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat
jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap
suami. ...the woman going out in public pleaces with uncovered constituted
legitimate cause for divorce, as through it were synonimous with
unfaitfullness. Lihat Louis M. Epstein, Sex Laws and Customs in Judaism,
New York: Ktav Publishing House, INC., 1967, h. 41.
148
Istilah yang sepadan dengan cadar atau kerudung dalam Bible ialah: redid
zammah, re'alah, za'if, mitpahat. Lihat ibid. h. 37.
149
Ibid, h. 36.
150
Ibid.
151
Penggunaan kata "hood" dalam bahasa Inggris yang berarti
"kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher" dan
kata hat berarti "topi" mempunyai kedekatan makna -dan boleh jadi
berasal dari akar kata yang sama-- dengan kata hut berarti "bangunan
sementara (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi.
Secara etimologis makna kata hut berkonotasi negatif, karena bisa juga
berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan
kata "hood" selain berarti kerudung/cadar, juga berarti
"penjahat" dan "buaya darat". Karena itu, penggunaan
dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.
152
Judi Grahn, op. cit., h. 91-92.
153
Kata haydl adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur'an istilah ini
tidak ditemukan dalam teks Tawrat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah
kata haydl, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata
hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis
tertentu. Lihat Louis Ma'luf, Al-Munjid fi- al-Lughah, Beirut: Dar
al-Masyriq, 1987, h.164. Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat
lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa'd, dan
Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu
"mengalir, menampal". Lihat Lisan al-Arab al-Muhith, Beirut: Dar
Lisan al-'Arab, Juz 1, t.t., h.770. Hanya ada kesulitan kalau kedua kata
itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks
penggunaan dalam al-Qur'an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan
lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih
banyak berarti "jalan keluar" terhadap berbagai masalah,
sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid.
154
Q., s. al-Thalaq/65:4 dan s. al-Baqarah/2:222.
155
Lihat Tafsir Al-Qur'an al-Azhim, Juz 1, h. 258.
156
Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh isteri-isteri Nabi yang
lain. Lihat ibid., h. 259-260.
157
Kata adzan menurut bahasa berarti sesuatu yang keji dan tidak diinginkan
(ma yukrihu min kulli syay'), karena itu kata adzan dalam tafsir yang
berbahasa Indonesia sering diartikan dengan penyakit dan juga sering pula
dengan kotoran. Bahkan menurut Thabathaba'i darah haid itu sendiri bukan
dzat ('ayn)-nya yang darurat melainkan sesuatu yang dari luar (dlarurah
lighayrih) kemudian memberi nilai tersendiri, seperti firman Allah dalam s.
al-Ahzab/33:57: "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan
Rasul-Nya." Maksudnya bukan menyakiti Allah dan Rasul-Nya secara fisik
melainkan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridlai oleh Allah dan
Rasul-Nya. Demikian pula dalam ayat haydl tadi, bukan haydl-nya ansich yang
adzan tetapi karena kedatangan darah haid itu setiap bulan dan membawa
masalah bagi wanita. Lihat Thabathaba'i; Tafsir al-Mizan, Juz 2, h. 207.
158
Al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz h. 64.
159
Kata thaharah termasuk kata yang sering muncul dalam kitab suci terdahulu,
seperti dalam kitab Taurat sering dihubungkan dengan mikvah/family purity
yaitu melakukan mandi secara ritual dengan air yang telah diberkahi,
biasanya pada petang hari ketujuh masa menstruasi. Lihat Lisa Aiken, ibid,
h. 164-165. Makna thaharah tersebut mempunyai kemiripan fungsi dalam Islam,
yaitu melakukan pembersihan sesudah melakukan persetubuhan atau seusai
menjalani menstnrasi. Hanya dalam Tafsir al-Alusi memberikan komentar bahwa
yang dimaksud bersih dari ayat tersebut ialah pembersihan secara hakiki,
yakni melakukan pembersihan diri secara sempurna (al-thaharah al-kamilah)
dengan mandi, maksudnya berhentinya haid tidak bisa dijadikan ukuran tetapi
mandi wajib sesudah haid itulah yang dijadikan 'ibarah. Al-Alusi cenderung
sependapat dengan 'Ashim yang membaca yaththahharna (dengan tasdiq) yang
memfaedahkan upaya intensif untuk membersihkan diri. Lihat Tafsir al-Alusi,
Juz 2.: h.123. Imam Syafi'i cukup dengan mandi seperti mandi janabah, yakni
menbasahi seluruh anggota badan, sebagian ulama lain seperti 'Atha' dan
Thawus berpendapat bahwa wanita pasca haid mesti mandi dan berwudlu. Lihat
al-Razi dalam op. cit" h. 69.
160
Angka tujuh di sini semata-mata berdasar pada kebiasaan wanita bahwa
umumnya mereka menjalani masa haid selama tujuh hari, tidak ada hubungannya
sama sekali dengan angka tujuh seperti yang dianut dalam agama Yahudi. Ini
bisa dilihat dalam diskursus empat imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, sama sekali tidak pernah ada yang
menyinggung hubungan antara angka tujuh hari dengan penciptaan dan perilaku
makrokosmos.
161
Lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Juz 1, ...h.258.
162
Lihat Tafsir al-Nahr al-Mad, Juz 1, h. 216.
Pasted From :
|