PEMIKIRAN MODERN RIFFAT
HASAN
(BIOGRAFI DAN ISU
PEMIKIRAN RIFFAT HASAN TENTANG
ASAL USUL KEJADIAN
MANUSIA)
Oleh Khambali, S.Pd.I.,
M.Pd.I.
ABSTRAK
Berbagai penindasan,
penyiksaan dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan atas patriarkhi
dengan mengatasnamakan Tuhan, menjadikan perempuan Muslim seperti Riffat
Hassan, seorang feminis Muslim, membuat upaya untuk merekonstruksi
pemahaman dan interpretasi dari tradisi Islam, dengan harapan perempuan mendapatkan
kebebasan dan keadilan yang setara dengan laki-laki.
PENDAHULUAN
Akhir abad kedua puluh
muncul kesadaran yang tinggi bahwa selama ini telah banyak terjadi dan
berlangsung diskriminasi dan ketidakadilan gender (gender inequalities)
yang menimpa kaum perempuan. Fenomena ketidakadilan gender itu paling tidak
meliputi : (1) marginalisasi
perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang
kehidupan bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada
pemiskinan ekonomi perempuan; (2) subordinasi terhadap perempuan karena
adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak
bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak
penting; (3) stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi
bahwa mereka suka dandan dan itu untuk menarik perhatian lawan jenis
sehingga menimbulkan kekerasan seksual; (4) berbagai bentuk kekerasan
menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena adanya anggapan bahwa
perempuan itu lemah; (5) pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum
perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh
sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki.
Akibatnya perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit (Fakih,
1996: 11-20 dalam Agus Himmawan Utomo, Jurnal Filsafat, Desember 2003,
Jilid 35, Nomor 3, hal. 279).
Berdasarkan permaslahan
tersebut di atas, maka muncullah para feminis, yaitu mereka yang sadar akan
adanya gender inequalities yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga
maupun masyarakat dan melakukan tindakan yang sadar untuk mengubahnya.
Beberapa dantaranya melacak munculnya ketidakadilan itu dari konstruksi
teologis yang dibangun dan dibentuk selama ini atas status ontologis dari
perempuan. Salah satu feminis dari ranah teologi Islam adalah Riffat Hassan
dari Pakistan. Pada makalah ini, penulis akan mencoba memaparkan gugatan
Riffat Hasan atas konstruksi teologis yang ada, yang membelenggu perempuan.
Riffat Hasan feminis Muslim kelahiran Lahore, Pakistan. Mendapatkan gelar
Ph.D. bidang filsafat Islam dari university of Durham, Inggris. Sejak tahun
1976, tinggal di Amerika Serikat, menjabat sebagai ketua Jurusan Religious
Study Program di University of Louisville, Kentucky. Tahun 1986-1987
menjadi dosen tamu di Divinity School Harvard University, dimana Ia menulis
bukunya yang berjudul “Equal Before Allah”. Sejak tahun 1974 Ia mempelajari
teks Al-Qur’an secara seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an khususnya yang berhubungan dengan persoalan perempuan. Ia
memberikan sumbangan besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.
PEMIKIRAN MODERN RIFFAT HASAN
Biografi Riffat Hasan
Latar belakang
geneologi seseorang, akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Demikian
menurut para ahli jiwa perkembangan, atas dasar ini, penulis merasa perlu
untuk memaparkan latar belakang geneologi Riffat Hassan untuk mengungkap
gambaran kehidupan yang akan mengantarkannya sebagai seorang pemikir
feminism yang sangat berpangaruh pada akhir abad kedua puluh dan kedua
puluh satu ini.
Riffat Hassan adalah
seorang feminis Muslimah kelahiran Lahore, Pakistan. pada tahun 1943. Mesti
tanggalnya tak diketahui secara pasti, Riffat dilahirkan dari keluarga
Sayyid kelas atas, bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara
perempuan. Ayahnya seorang patriarkhi yang sangat dihormati dan sangat
disukai karena rasa sosialisnya. Ibunya adalah anak Hakim Ahmad Shuba,
seorang penyair, dermawan dan ilmuwan yang terkemuka serta kreatif. Ayah
dan ibu Riffat Hassan berasal dari kalangan keluarga paling tua dan paling
terkemuka di kota itu, keduanya merupakan orang tua “yang baik” karena
telah memberi jaminan hidup yang baik. Mereka tinggal di sebuah kothee
(bungalow) yang luas dengan sebuah mobil mewah (ketika itu hanya orang kaya
saja yang memilikinya), dan sebuah rumah dengan para pembantu yang
melakukan semua tugas-tugas domestik. Disinilah Riffat Hassan menghabiskan
17 tahun pertama (masa kanak-kanak) dan hidupnya.
17 tahun pertamanya
selalu dibayang-bayangi kegelapan laksana mimpi buruk yang menakutkan
karena merasa kesepian dan tiada kebahagiaan. Ketakutan dan kebingungan
selalu melingkupinya di dalam sebuah rumah tangga dengan masyarakat yang
sangat menghormati keluarganya. Alasan utamanya adalah konflik yang
mendalam antara keluarga kedua orang tuanya, yaitu dalam persoalan
pandangan hidup dan tempramen serta karakter.
Ayahnya adalah seorang
tradisionalis dan patriarchal sejati, yang mempunyai keyakinan mengenai
peranan seks, bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin diusia 16
tahun dengan seorang pilihan orang tuanya. Sebaliknya ibunya mempunyai
pandangan dan cara hidup yang bertolak belakang dengan ayahnya. Ibunya
tidak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional, Ia menolak kultur
yang meneguhkan inferioritas dan ketundukkan perempuan kepada laki-laki.
Dalam kehidupan rumah tangga orang tuanya, ibunya tidak tunduk pada
ayahnya. Ibunya lebih memperhatikan anak perempuannya daripada anak
laki-lakinya. Dalam pandangan ibunya mendidik perempuan lebih penting
daripada anak laki-laki, karena anak perempuan yang lahir dalam masyarakat
Muslim akan menghadapi rintangan (partiarkhis) yang sangat hebat.
Pandangan dan cara
hidup ayahnya yang demikianlah, membuat Riffat tak pernah berhubungan baik
dengan ayahnya. Pada masa anak-anak Riffat menolak mentah-mentah terhadap
ayahnya yang memindahkan sekolah ke khusus sekolah perempuan. Pada masa
remaja Riffat menjadi pemberontak yang bandel terhadap pandangan dan sikap
tradisional yang memiliki pandangan sebagaimana budaya partiarkhi ayahnya.
Riffat juga berhasil menolak keinginan dan tradisi ayahnya yang tidak dapat
dielakkan oleh saudara-saudara perempuannya untuk menikah di usia 16 tahun.
Keberhasilan itu tak lepas dari dukungan dan perlindungan ibunya yang Ia
kategorikan sebagai feminis radikal.
Dalam pertumbuhannya,
banyak diwarnai oleh pendidikan ibu daripada ayahnya. Riffat tidak pernah
menjadi superwoman yang bengis sebagaimana diinginkan oleh ibunya, yang
menginginkan Riffat agar berhasil, tapi tidak pernah mendorong untuk
berbuat baik. Sebagai seorang anak, yang membuatnya merasa kesepian dan
bersedih lagi adalah kenyataan bahwa ibunya hanya mencintai kualitasnya,
tidak pada pribadinya.
Perbedaan prinsip kedua
orang tuanya, menyebabkan Riffat kecil tumbuh sebagi anak yang terlalu
peka, sangat pemalu, dan sangat kesepian. Ia lebih suka manarik diri dari
dunia luar menuju relaitas batin. Dalam dunia ini, ia menemukan tiga hal
yang telah memungkinkannya untuk melepaskan diri dari kehancuran hati dan
kesulitan hidup, yaitu: keyakinan yang kokoh terhadap Tuhan yang Adil dan
Penyayang, seni menulis puisi dan kecintaannya yang mendalam terhadap buku.
Keyakinan kepada Tuhan telah membentuk pendangnnya di masa kanak-kanak,
bahwa hidup adalah jihad fii sabiilillah.
Riffat Hassan menempuh
pendidikan dasar di sekolah campuran di kotanya. Menulis dan membaca adalah
hobi Riffat sejak masa kanak-kanak. Sejak umur belasan tahun Ia sudah
sering menuangkan pikiran-pikirannya lewat puisi dan sonata yang berisi
kritik terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat partiarkhi saat itu. Pada
usia 17 tahun Riffat mengaku memulai perjuangannya sebagai seorang feminis.
Salah satu puisinya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu:
Karyaku yang sederhana ini sungguh karunia Tuhan
Pesanku yang kuat terhadap dunia menyatakan
Aku tidak mendambakan kekayaan, kekuasaan, tidak pula kemasyhuran
Aku hanya ingin kepuasan akan pahala
Aku merasa karena kehendakmulah aku harus menulis
Tentang keindahan, cinta, kegembiraan, dan perdamaian abadi
Tentang suka cita, perjuangan agar kematian berhenti
Tentang harapan, cahayanya menerangi dengan manis
Aku telah melakukan tugasku dengan penuh keyakinan
Aku berusaha melakukan kehendak-Mu tanpa istirahat
Aku memohon kesuksesan dalam ujian ini
Andai aku berhasil, aku hampir tidak bisa menyatakan kegembiraanku
Ketulusanku bisa Kau lihat Tuhan
Aku akan melakukan kehendak-Mu, bagaimanapun sulitnya
Pada pendidikan tinggi
ditempuh di Inggris di St mary’s College University of Durham, selama tiga
tahun lulus dengan predikat kehormatan dalam bidang sastra Inggris dan
filsafat. Dalam usia 24 tahun, Riffat Hassan sudah berhasil mengantongi
gelar Doktor.
Selama tujuh tahun di
Inggris, akhirnya pulang ke Pakistan. di rumah sendiri, Ia merasa kesepian
yang tak tertahankan. Dalam keadaan seperti itu, Riffat memutuskan menikah
dengan Dawar seoang laki-laki yang belum mapan. Memasuki dunia perkawinan,
Ia menyadari problem-problem suaminya, yang memiliki pendidikan dan prospek
penghasilan lebih rndah dari pendidikan dan penghasilannya.
Impian akan cinta,
sesuatu yang Ia kira menjadi dasar perkawinannya memang sangat indah, tapi
Ia kembali bermimpi. Dawar adalah korban keluarga patriarkhi dan memiliki
kebutuhan yang memaksa untuk menjadi kepala keluarga. Dawar menganggap
dirinya orang yang kalah, yang hanya tertarik pada kekuatan Riffat, tapi sekaligus
marah. Ia ingin memanfaatkan bakat Riffat, tapi menolaknya. Riffat hanya
ingin menjadi isteri yang baik, menunjukkan keinginan tersembunyi sebagai
pemberontak dan berkompromi dengan tradisi. Problem ini membuat Riffat
memutuskan pindah dan menetap di Amerika Serikat, di mana tidak ada
kehidupan yang membatasi ruang gerak dirinya. Namun kehidupan tersebut
tidak dapat merubah pola hidup rumah tangganya, yang telah terbentuk sejak
awal. Perkawinan berakhir di saat dikaruniai seorang anak perempuan, bernama
Mehrunnisa.
Dalam perjalanan
hidupnya, Riffat selalu mengalami kekecewaan. Satu-satunya alasan untuk
tetap tegar, karena Mona panggilan gadis gecilnya, dalam sepuluh tahun
terakhir dan separuh kehidupannya, terjadi persitiwa lain, dan kecelakaan yang
sangat mempengaruhinya, yaitu pernikahannya yang singkat dengan Mahmoud
seorang Muslim Arab Mesir dan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir,
yang ternyata seoarang patriarkhi fanatik, yang selalu mendasarkan
keinginannya atas nama Tuhan dan dengan wewenang Tuhan. Sehingga Riffat
tidak punya hak untuk menolak, karena menolak apa yang menyenangkan hati
suami dalam kultur Islam, sama halnya menolak melakukan apa yang
menyenangkan Tuhan. Perkawinan ini hanya bertahan tiga bulan dan memakan
waktu tiga tahun untuk menyelesaikan penceraiannya.
Riffat bersyukur pada
Tuhan, dengan adanya penglaman yang membakar jiwa inilah, yang membuat
Riffat menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi
dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan
tidak bisa mengeksploitasi perempuan Muslimah atas nama Tuhan.
Karya-karya Riffat Hassan
Riffat Hassan termasuk
salah seorang feminis Muslimah Pakistan yang kreatif dan produktif dalam
menghasilkan karya-karyanya. Semua karya Riffat Hassan berbentuk artikel.
Dari hasil karya-karya itulah Riffat Hassan diakui oleh banyak kalangan,
sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap
gerakan feminism di Pakistan. Di antara karya-karyanya, yaitu:
1.
|
The Role and
Responsibility of Women in legal and Ritual Tradition of Islam
|
2.
|
Equal Before Allah
Woman-man Equality in Islamic Tradition
|
3.
|
Feminist Theology and
Women in The Muslim Word
|
4.
|
Jihad Fi Sabil Allah:
A Muslim Woman’s faith Journey from Struggle to Struggle to Struggle
|
5.
|
The Issue of
Woman-man Equality in The Islamic Tradition
|
6.
|
Muslim Woman and
Post-Patriarchal Islam
|
Dari semua judul
artikel di atas, ada tiga yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,
yaitu: Jihad Fi Sabil Allah: A Muslim Woman’s faith Journey from Struggle
to Struggle to Struggle, The Issue of Woman-man Equality in The Islamic
Tradition, Muslim Woman and Post-Patriarchal Islam. Ketiga artikel di atas
sudah dijadikan buku dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh LSPPA
Jakarta dengan judul Setara di Hadapan Allah: Relasi laki-laki dan
Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi.
Karya-karya Riffat
Hassan ini kental dengan gagasan penafsiran kembali terhadap landasan
teologis Islam. Karena menurutnya, deskriminasi terhadap perempuan karena
dapat dukungan dan tafsir teologi Islam. Cita-cita Woman-man Equality hanya
dapat diwujudkan dengan cara melakukan dekonstruksi terhadap penafsiran
sumber teologi Islam.
Pemikiran Riffat Hassan Tentang Feminisme
Latar Belakang
Pemikiran Riffat Hassan
Riffat Hassan
mengembangkan spesialisannya sebagai seorang teolog feminis Muslimah secara
kebetulan, itu semua dilakukannya dengan rasa enggan, yaitu pada waktu
menjelang musim gugur pada tahun 1974, saat itu menjabat sebagai guru besar
Perhimpunan Mahasiswa Islam (Muslim Student Association, MSA) cabang
Universitas Negeri Oklahoma di Stillwater, Oklahoma. Pada waktu itu
dimintai berbicara tentang perempuan dalam Islam. Para pengurus Muslim
Student Assocation cabang Stillwater mempunyai suatu tradisi yaitu
mengadakan seminar tahunan di mana salah satu pidatonya disampaikan oleh
penasehat guru besar.
Riffat Hassan tidak
begitu tertarik berbicara tentang persoalan perempuan dalam Islam. Namun Ia
menerima undangan tersebut dengan dua alasan. Pertama, Ia diundang untuk
berpidato di depan majelis yang semuanya laki-laki, sebagian besar dan
mereka adalah kelompok Muslim Arab yang memiliki kebanggaan patriarchal.
Kedua, Ia bosan mendengar laki-laki Muslim bicara tentang posisi, status
atau peranan perempuan dalam Islam. Sementara sama-sekali tidak memahami
bahwa perempuan pun bisa berbicara tentang posisi, status atau
peranan-peranan laki-laki dalam Islam.
Menerima undangan dan
berpidato di depan laki-laki Muslim itu telah mengantarkannya melakukan
riset dan kajian serius yaitu dalam hal kajian Islam. Sejak itu Riffat
melakukan pengulangan kembali terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah perempuan, dan saat itu juga menelorkan tulisan-tulisan tentang
perempuan dalam Islam. Dari sini, Ia mengaku memulai karirnya sebagai
teolog feminis.
Riffat tidak mengetahui
secara pasti mulai kapan mengkaji tentang perempuan dalam Islam, dan untuk
mencari kebenaran dan keadilan atas nama perempuan Muslim. Sekarang ini,
sebagian besar disebabkan karena tekanan undang-undang anti perempuan yang
disebarluaskan di balik kedok “Islamisasi” di beberapa bagian dunia Islam.
Perempuan dengan berbagai tingkat pendidikan dan kesadaran mulai menyadari
bahwa agama telah digunakan lebih sebagai alat penindasan ketimbang sebagai
sarana pembebasan. Untuk memahami desakan kuat dalam mengislamkan
masyarakat Muslim, khususnya yang berkaitan dengan perempuan, yang
menghadang dunia Islam yang paling besar adalah tantang modernitas.
Pengembang tradisi
Islam menyadari bahwa kenyataan yang berlangsung di zaman teknologi modern
ini memerlukan pandangan yang masuk akal, untuk membawa perubahan-perubahan
penting dalam cara berpikir dan bertindak. Perempuan yang terdidik, ikut
berpartisipasi dalam bursa kerja nasional, dan memberi sumbangan dalam
pembangunan nasional, berpikir dan berperilaku berbeda dengan perempuan
yang sebenarnya, karena menganggap dirinya sudah dirancang atau ditakdirkan
untuk melayani dan memperkuat sistem patriarchal yang mereka yakini sudah
melembaga secara ilahiah.
Banyak perempuan di
Pakistan yang sadar, karena undang-undang (seperti undang-undang mengenai
perkosaan terhadap perempuan atau kesaksian perempuan dalam masalah-masalah
keuangan dan masalah-masalah lainnya) telah digunakan untuk mengurangi
perempuan secara sistematis dan matematis, sehingga jumlah mereka menjadi
lebih sedikit daripada laki-laki. Tidak lama sebelum mereka menyadari bahwa
kekuatan-kekuatan keagamaan yang tertutup itu telah menurunkan populasi
perempuan menjadi separuh atau lebih sedikit daripada laki-laki, dan sikap
ini bersumber dari keinginan yang berakar untuk menjaga agar perempuan
tetap berada di tempat mereka. Dengan demikian, posisi perempuan menjadi
sekunder, subordinatif dan inferior terhadap laki-laki.
Berhadapan dengan
kediktatoran militer maupun otokrasi keagamaan, upaya-upaya berani telah
dilakukan oleh kelompok-kelompok perempuan di Pakistan untuk memprotes
pelembagaan undang-undang yang secara nyata anti perempuan dan menyorot
kasus-kasus ketidakadilan dan kebrutalan terhadap perempuan yang menyolok.
Semua ini, masih belum jelas dan belum dipahami sepenuhnya oleh banyak
aktivis perempuan di Pakistan dan negeri Islam lainnya. Ide-ide dan
sikap-sikap negatif terhadap perempuan yang ada di masyarakat Muslim pada
umumnya berakar pada teologi. Meskipun ada perbaikan-perbaikan secara
statistik seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial serta
politik, perempuan kan terus-menerus diperlakukan dengan kasar dan
didiskriminasi. Apabila landasan teologis yang melahirkan
kecenderungan-kecenderungan yang bersifat misoginis dalam tradisi Islam
tidak dibongkar. Banyaknya jaminan hak-hak sosial-politik perempuan tidak
akan berarti apa-apa, jika mereka berhasil dikondisikan untuk menerima
mitos-mitos yang digunakan oleh para teolog atau pemimpin-pemimpin
keagamaan masih membelenggu tubuh, hati, pikiran dan jiwa.
Perempuan tidak akan
pernah berkembang sepenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia
yang bebas dari ketakutan dan rasa bersalah, bisa berdiri sejajar untuk
mengembangkan apa yang disebut orang Barat sebagai “teologi feminis” dalam
konteks Islam, yang bertujuan untuk membebaskan bukan hanya perempuan
Muslim tapi juga laki-laki Muslim dari struktur-struktur dan undang-undang
yang tidak adil yang tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup
antara laki-laki dan perempuan.
Untuk mengembangkan
teologi feminis dalam konteks agama Islam, yang pertama kali perlu
dilakukan adalah memeriksa landasan teologis di mana semua argument anti
perempuan tersebut berakar, ini semua sangat penting untuk melihat apakah
suatu kasus benar-benar bisa dibuat untuk menegaskan bahwa dari sudut
pandang Islam normatif, laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara,
sekalipun ada perbedaan biologis dan perbedaan-perbedaan lainnya. Kerangka
inilah yang mendorong Riffat Hassan meneliti ulang berbagai ayat Al-Qur’an,
khususnya yang berkaitan langsung dengan teologi perempuan, yaitu tentang
penciptaan perempuan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Riffat Hassan mengakui
bahwa bahasa Al-Qur’an sangat beragam, ada yang langsung bisa dipahami
maknanya sehingga langsung bisa dijadikan pedoman aturan dan hukum. Namun
ada juga ayat-ayat Al-Qur’an yang lebih bersifat simbolik dan perlambang,
dan inilah yang lebih banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an juga
memuat tentang cerita-cerita dan mitologi-mitologi yang penuturannya juga
dikemas dalam perlambang.
Bagi Riffat, kenyataan
bahwa perempuan berada dalam posisi subordina, seperti ini berpangkal pada
teologi. Ada tiga asumsi teologis yang mendasari superstruktur anggapan
bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Pertama, bahwa makhluk
pertama yang diciptakan Tuhan adalah laki-laki, bukan perempuan, karena
perempuan diyakini tercipta dari tulang rusuk laki-laki, maka secara
ontologis perempuan derivative dan
sekunder. Kedua, bahwa perempuan bukan laki-laki yang merupakan penyebab
utama dan apa yang biasanya dianggap sebagai dosa manusia atau terusirnya
manusia dari taman Firdaus, oleh karena itu anak perempuan Hawa harus diperlakukan
dengan rasa benci, curiga dan hina. Ketiga, bahwa perempan diciptakan tidak
hanya dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki, sehingga keberadaannya
hanyalah sekunder, pelengkap dan tidak memiliki arti yang pokok.
Riffat mengaku, semua
ini didorong oleh perempuan yang bersemangat mendukung dan memimpin
protes-protes para perempuan di jalan-jalan untk membantu dan menyangkal
argumen-argumen yang membuat kemanusiaan mereka kurang sempurna. Riffat
tergoda untuk bergabung dengan mereka, untuk membantu membela
saudara-saudara yang tersingkir dari hak-hak kemanusiaan atas nama Islam.
Bagi Riffat, Perjuangan membela nasib perempuan adalah bagian dari jihad fi
sabil Allah yang mutlak harus ditegakkan. Kepada anaknya yang masih kecil
saat itu Mona, Ia selalu mengatakan jihad fi sabil Allah adalah hakikat
menjadi seorang Muslim dan mengabdikan dirinya hanya untuk memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
Konsep Penciptaan Perempuan Menurut Riffat Hassan
Sebagai seorang
Muslimah, pemikiran Riffat Hassan tentang penciptaan perempuan tentu
berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadits. Dalam diskursus feminisme, konsep
penciptaan perempuan adalah isu yang sangat penting dan mendasar
dibicarakan lebih dahulu, baik ditinjau secara filosofis maupun teologis.
Dibanding dengan isu-isu feminism yang lain, karena konsep kesetaraan dan
ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan
perempuan. Menurut Riffat Hassan, jika laki-laki dan perempuan telah
diciptakan setara oleh Allah, maka di kemudian hari tidak bisa berubah
menjadi tidak setara. Begitu juga sebaliknya, jika laki-laki dan perempuan
telah diciptakan tidak setara oleh Allah, maka secara hakiki di kemudian
hari mereka tidak bisa menjadi setara.
Menurut Yunahar Ilyas
(1997, dalam Agus Himmawan Utomo, Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35,
Nomor 3) menyebutkan bahwa, dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini, ada
empat macam cara penciptaan manusia, yaitu: Pertama, diciptakan dari tanah
(penciptaan Nabi Adam As.) terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Fathir: 11,
Ash-Shaff: 11 dan Al-Hijr: 26. Kedua, diciptakan dari tulang rusuk adam
(penciptaan hawa) terdapat dalam Qs. An-Nisa: 1, Al-A’raf: 189, dan Qs.
Az-Zumar: 6. Ketiga, diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan
tanpa ayah, baik secara hukum maupun secara biologis (penciptaan Nabi Isa
As.) terdapat dalam Qs. Maryam: 19-22. Keempat, diciptakan melalui
kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum minimal secara
biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan Isa di atas)
terdapat pada Qs. Al-Mukminun: 12-14.
Adanya diskriminasi
dari segala macam bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan
di lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman yang keliru terhadap sumber
ajaran Islam, yaitu kitab suci Al-Qur’an. Salah satunya adalah tentang
konsep penciptaan hawa sebagai perempuan pertama, atau sebagai manusia
kedua yang diciptakan setalah dan dari tulang rusuk Adam. Padahal Al-Qur’an
sama sekali tidak membedakan antara penciptaan laki-laki dan perempuan.
Dalam kenyataannya
status laki-laki dan perempuan, berubah menjadi tidak setara. Hal ini dalam
pandangan Riffat Hassan berarti menyalahi desain yang telah direncanakaan
dan ditetapkan oleh Allah. Berangkat dari asumsi ini, konsep mengenai
penciptaan perempuan perlu dikaji ulang, apakah betul perempuan diciptakan
dari laki-laki (Adam) sehingga perempuan (Hawa) hanya merupakan derivasi
saja dan dari hanya menjadi pelengkap bagi laki-laki. Berakar dan keyakinan
inilah yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan.
Jika ditelaah secara
cermat, ayat-ayat tentang penciptaan Adam sebenarnya tidak menjelaskan
secara rinci bagaimana Ia diciptakan. Adam, yang dalam teologi Islam sering
disebut sebagai manusia pertama, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 25
kali, namun hanya satu kali yang mengacu pada penciptaan Adam seperti dalam
Qs. Ali-Imran: 59. Istilah Adam lebih digunakan sebagai nama diri, atau
mungkin seorang Nabi yaitu pada Qs. Ali-Imran: 35, Qs. Maryam: 58 dan Qs.
Al-Ma’idah: 30. Selain itu, kata Adam mengacu pada kata benda kolektif dan
umat manusia yaitu pada Qs. Al-A’raf: 26, 27, 31, 35 dan 172, Qs. Bani
Israil: 70 san Qs. Yaasin: 60. Mengutip Muhammad Iqbal, Riffat mengatakan
bahwa Al-Qur’an menggunakan istilah Adam untuk mengacu pada manusia hanya
apabila mereka menjadi gambaran manusia yang sadar diri, berpengetahuan dan
otonom secara moral. Ketika menggambarkan proses penciptaan manusia secara
fisik, istilah yang digunakan adalah al-bayar, al-insan, dan an-nas.
Berangkat dari asumsi
tersebut, Riffat berpandangan bahwa menganggap Adam sebagai manusia
berjenis kelamin laki-laki tidaklah memiliki kebenaran. Benar. Kata Adam
adalah kata benda maskulin, Namun itu hanya secara bahasa, bukan berarti
jenis kelamin. Istilah Hawa (yang disebut sebagai istri Adam) juga tidak
disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, kata Hawa menggunakan kata
zawj untuk menunjuk pada pasangan Adam. Kalau Adam belum tentu laki-laki,
maka zawj Adam belum tentu perempuan. Maka kenapa harus diartikan sebagai isteri
dan Adam yang laki-laki, mestinya kata yang digunakan adalah zaujah yang
berbentuk feminism.
Dengan demikian, tidak
ada kejelasan mengenai apakah Adam itu laki-laki atau perempuan, begitu
juga dengan zawj itu laki-laki atau perempuan. Menurut Riffat Hassan,
mengapa Al-Qur’an membiarkan istilah Adam dan zawj tidak jelas. Itu semua
tujuannya tidak untuk menceritakan peristiwa-peristiwa tertentu dalam
kehidupan seorang laki-laki dan perempuan, tapi untuk mengacu pada beberapa
pengalaman hidup semua manusia yaitu laki-laki dan perempuan secara
bersamaan.
Al-Qur’an melukiskan
tentang penciptaan manusia sebanyak 30 juz. Secara umum, mengacu pada dua
cara dalam penciptaan manusia yaitu sebagai proses perkembangan yang
bertahap kadang-kadang dinyatakan secara bersama, kadang secara terpisah
dan sebagai suatu kenyataan yang lengkap. Di mana penciptaan manusia
diceritakan secara konkrit atau analitis. Tidak ada ayat yang menunjukkan
penciptaan laki-laki dan perempuan secara terisah. Apabila laki-laki
diciptakan secara terpisah, namun tidak ada perbedaan bahwa laki-laki lebih
tinggi dari perempuan. Dalam hal ini, penulis memilih untuk membahas satu
ayat saja yaitu Qs. An-Nisa ayat 1 yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu (Nafs = Adam),
dan dari padanya Allah menciptakan istrinya (zawj), dan daripada
keduanya Allah mengembangbiakkan (di bumi) laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Riffat Hassan menolak
pandangan Mufassir dan keyakinan umat Islam awam bahwa Hawa diciptakan dari
tulang rusuk Adam, tetapi juga mempertanyakan kenapa kata nafs wahidah
dipastikan sebagai Adam dan zawjaha itu Hawa, isterinya. Padahal kata nafs
dalam bahasa Arab itu bersifat netral, bisa menunjuk pada laki-laki atau
perempuan. Begitu pula kata zawj, tidak dapat secara otomatis diartikan
isteri atau perempuan, tetapi juga netral, artinya yaitu pasangan yang bisa
laki-laki. Dengan mengutip kamus taj al ‘arus yang dipandang otoritatif
Riffat Hassan menyatakan bahwa hanya masyarakat Hijaz yang menggunakan kata
zawj untuk menunjuk kepada perempuan.
Melalui penelitiannya
terhadap teks-teks Injil Genesis 2, Riffat menegaskan bahwa kata Adam
adalah istilah Ibrani dari kata adamah yang artinnya tanah, yang berfungsi
sebagai istilah generik untuk menusia,. Riffat juga cerita bahwa di dalam
Al-Qur’an tidak ada rujukan bahwa Adam adalah manusia pertama dan tidak
pula menyatakan bahwa Adam itu laki-laki. Adam hanya yang khusus tentang
penciptaan Adam dan Hawa. Kisah penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam
termuat dalam tiga agama, Yahudi, Nasrani dan Islam.
Cerita tentang
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak lebih dongeng-dongeng genesis
yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya ke dalam
kepustakaan hadits, dengan berbagai cara telah menjadi lensa untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Cerita itu masuk dalam tradisi Islam secara
langsung, karena waktu itu hanya sedikit sekali kaum Muslimin yang membaca
Injil. Di sini Riffat menegaskan kembali bahwa Adam dan hawa diciptakan
secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya. Yakni bukan
Adam diciptakan dulu dari tanah, baru kemudian hawa dari tulang rusuk Adam
seperti yang diyakini oleh kebanyakan para Mufassir, tetapi kedua-duanya
sama diciptakan dari (nafs wahidah) jenis yang sama yaitu tanah.
Dalam pandangan teologi
feminism, tidak ada jaminan suatu hadits itu shahih, kecuali secara
internal dan eksternal terbukti shahih. Begitu pula hadits tentang
penciptaan perempuan. Meski terdapat dalam Hadits Bukhari dan Muslim, kaum
feminis tetap menilai hadits itu penuh dengan kejanggalan. Untuk menguatkan
pandangannya di atas, Riffat mengemukakan setelah meneliti kepustakaan
Hadits Bukhari dan Muslim, tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam
perlu ditolak. Di bawah ini arti dari hadits tentang penciptaan perempuan
dari tulang rusuk Adam.
“Telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa. Keduanya berkata:
telah bercerita kepada kami Husain Ibn Ali dari Zaidah dari maisarah
al-Asja’i dari Abu Hazim dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Berwasiatlah kalian kepada perempuan. Karena perempuan diciptakan dari
tulang rusuk, dan sesunguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang
paling atas. Apabila kamu bermaksud untuk meluruskannya, maka kamu
mematahkannya. Dan jika kamu biarkan, maka ia akan tetap bengkok.
Berwasiatlah kepada perempuan” (HR. Bukhari).
Dalam pandangan teologi
feminism, tidak ada jaminan suatu hadits itu shahih kecuali secara internal
dan eksternal terbukti shahih. Begitu pula tentang hadits tentang penciptaan
perempuan di atas. Meski terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim,
kaum feminis tetap menilai hadits ini penuh kejanggalan yang diskriminatif
terhadap perempuan. Kandungan ini bertantangan dengan pandangan teologi
feminism yang anti segala bentuk diskriminasi gender.
Dari segi sanad,
hadits-hadits itu memiliki sejumlah perawi yang tidak dapat dipercaya, dan
dari segi matan, bahwa hadits itu mengandung beberapa pemahaman. Pertama,
perempuan diciptakan dari tulang rusuk atau seperti tulang rusuk. Kedua,
bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Ketiga,
kebengkokan tulang rusuk pada perempuan tidak dapat diperbaiki, upaya
apapun untuk memperbaiki akan mengakibatkan kerusakan. Keempat, pandangan
di atas merekomendasikan sikap berbaik hati dan sering-sering memberi
nasihat kepada perempuan karena jiwanya yang cenederung bengkok.
Riffat Hassan
mengkritisi kandungan matan ini karena mengandung kelemahan. Pertama, kisah
Adan dan Hawa berasal dari kitab genesis 2 dan tidak dijelaskan secara
tegas dalam hadits. Kedua, kandangan misogini dalam hadits ini bertantangan
dengan kandungan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa semua makhluk diciptakan
dengan fi ahsan at-taqwim (sebaik-baik bentuk). Ketiga, tidak ada relevansi
apapun bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.
Keempat, anjuran untuk berbuat baik terhadap perempuan dapat menimbulkan
pengertian bahwa secara kodrati perempuan memiliki kelemahan yang bersifat
abadi. dari segi matan, hadits-hadits tersebut bertentangan dengan
Al-Qur’an karena mengandung elemen misoginik yang bertentangan dengan fi
ahsan at-taqwim. Melalui kritik matan ini sudah cukup menolak hadits
misogini tentang penciptaan laki-laki dan perempuan.
Konsep Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan Menurut Riffat Hassan
Sebagai pandangannya
terhadap penciptaan perempuan, Riffat dalam membicarakan tentang kesetaraan
laki-laki dan perempuan mengkritisi dengan sumber Al-Qur’an. Di hadapan
Allah laki-laki dan perempuan adalah sama. Dalam ibadah keduanya mempunyai
pahala yang sama. Kepemimpinan perempuan dalam shalat juga sama pahalanya
dengan kepemimpinan laki-laki. Islam bukan agama yang mengutamakan hubungan
dengan Allah, tapi juga dengan manusia. Gaya hidup patriarkhi, telah
menimbulkan penderitaan bagi kaum perempuan. Banyak keadilan dan kasih
sayang Tuhan yang tercermin dalam Al-Qur’an tentang perempuan, tetapi itu
semua bertolak belakang ketika melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak
manusiawi yang merendahkan perempuan Muslim yang lazim terjadi dalam kehidupan
nyata.
Dalam sejarah Islam
telah mencatat adanya para perempuan yang mejadi tokoh terkemuka,
diantaranya adalah Sayyidah Khadijah, ‘Aisyah (isteri Nabi Saw.) dan Rabiah
al-Bashri (seorang sufi perempuan terkenal). Namun tradisi Islam bahkan
saat ini masih cenderung bersifat kaku dan patriarchal, yang menghalangi
tumbuhnya kesarjanaan di kalangan perempuan. Al-Qur’an, sunnah, kepustakaan
hadits dan fiqh hanya ditafsirkan oleh laki-laki Muslim yang rata-rata
tidak bersedia melakukan tugas-tugas mendefinisikan status ontologis,
teologis, sosiologis dan eskatologis perempuan Muslim. Kenyataan seperti
inilah yang dalam pandangan Riffat, membuat perempuan menjadi sekunder,
subordinatif dan inferior terhadap laki-laki.
Sampai saat ini
mayoritas perempuan Muslim menerima keadaan ini secara pasif. Mereka hampir
tidak menyadari tingkat pelanggaran terhadap perikemanusiaan (juga terhadap
Islam, dalam pengertian yang ideal) dalam masyarakat yang berpusat pada,
dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan mencari legitimasi agama dan
menegaskan bahwa Islam telah memberikan kepada perempuan hak yang lebih
banyak ketimbang tradisi agama lain. Banyak sekali perempuan yang
terjerumus dalam perbudakan fisik, mental dan emosi serta tersingkir dari
kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaan mereka. Seorang
feminis telah melakukan analisa terhadap pengalaman-pengalaman personal
mereka sebagai perempuan Muslim.
Dalam konteks isu
penciptaan Adam dan Hawa, Al-Qur’an yang dipegang oleh banyak orang Islam,
Nasrani dan Yahudi bahwa perempuan diciptakan tidak dari laki-laki, tapi
juga untuk laki-laki. Dengan kata lain, bahwa Al-Qur’an tidak membuat
perbedaan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, semuanya setara di
hadapan Allah. Allah menciptakan semua itu untuk suatu tujuan tidak untuk
bermain-main. Manusia yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk untuk
mengabdi kepada Allah, karena pengabdian kepada Allah tidak bisa dilepaskan
dengan pengabdian kepada manusia.
Dalam Al-Qur’an, tidak
hanya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar setara dalam
pandangan Allah, tapi juga merupakan anggota dan pelindung satu sama lain.
Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak hanya menciptakan urutan yang menempatkan
laki-laki di atas perempuan (sebagaimana dilakukan oleh banyak perumus
Nasrani). Al-Qur’an juga tidak menempatkan laki-laki dan perempuan dalam
suatu hubungan yang bermusuhan. Mereka diciptakan sebagai makhluk-makhluk
yang setara dari penciptaan alam semesta yang Maha Adil dan Maha Pengasih,
yang menginginkan hidup dalam keharmonisan dan kesalehan bersama-sama.
Meskipun Al-Qur’an
menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan, tetapi pada umumnya
masyarakat Muslim tidak pernah menganggap laki-laki dan perempuan setara
terutama dalam konteks perkawinan. Di sini Riffat Hassan menolak dan
meminjam pengamatan Fatima Mernisi, seorang feminis Muslimah asal Maroko,
terhadap posisi perempuan Muslim dalam hubungan dengan keluarga di Maroko,
menurutnya mewakili apa yang berlaku dalam umat Islam secara umum, yaitu:
Salah satu ciri khas
masyarakat Muslim dalam masalah seksualitas adalah adanya pembatasan
wilayah yang mencerminkan pembagian kerja yang khas dan konsepsi tentang
masyarakat dan kekuasaan yang khas. Pembatasan wilayah antar jenis kelamin
itu membangun tingkatan tugas-tugas, dan pola-pola kewenangan. Karena ruang
geraknya dibatasi, perempuan dipenuhi secara material oleh laki-laki yang
memilikinya, sebagai imbalan, atas ketaatan total dalam pelayanan seksual
dan pelayanan reproduktif keseluruhan sistem diorganisasikan seperti itu
sehingga umat Islam secara nyata merupakan sebuah masyarakat yang terdiri
dari laki-laki yang memiliki, perempuan yang jumlahnya mencapai separuh
populasi. Laki-laki Muslim selalu memiliki hak-hak istimewa yang lebih dari
perempuan Muslim, termasuk hak untuk membunuh perempuan-perempuan yang
menjadi milik mereka. Laki-laki memaksakan kepada perempuan suatu ruang
gerak yang sempit, baik secara fisik maupun spiritual.
Menurut Riffat Hassan,
dasar penolakan masayarakt Muslim terhadap gagasan kesetaraan, laki-laki
dan perempuan ini berakar pada kayakinan bahwa perempuan yang lebih rendah
dalam asal-usul penciptaan, kerana diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok, dan kesalahan, karena telah membantu Iblis menggagalkan rencana
Tuhan terhadap Adam. Atas dasar inilah perempuan diciptakan untuk
dimanfaatkan oleh laki-laki yang lebih tinggi dan mereka. Superioritas
laki-laki terhadap perempuan yang meresap dalam tradisi Islam (juga dalam
tradisi Yahudi dan Nashrani) tidak saja didasarkan pada kepustakaan hadits,
tapi juga pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masyhur, yaitu dalam Qs.
An-Nisa: 34. Surat itu lazim dikutip untuk mendukung pendirian bahwa
laki-laki memiliki kelebihan di atas perempuan. Di sini Riffat Hassan
mengambil contoh penafsiran A. Maududi terhadap ayat tersebut, yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu:
Laki-laki adalah
pengatur urusan-urusan perempuan karena Allah telah menjadikan yang satu
lebih tinggi dari yang lain, dan karena laki-laki telah membelanjakan
hartanya untuk perempuan. Oleh karena itu perempuan yang saleh adalah
perempuan yang taat, akan hati-hati menjaga hal-hak suami mereka ketika
suaminya pergi di bawah pemeliharaan dan pengamatan Allah. Kalau
penyelewengan mereka menyebabkan kamu khawatir, peringatkan mereka dan
tidurlah berpisah dengan mereka, serta pukul-lah. Lalu, kalau mereka tunduk
padamu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. Ingatlah
bahwa ada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar di atas kamu.
Ketika membaca
Al-Qur’an surat an-Nisa: 34, yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta
mereka. Sebab itu wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada di rumah…”. Para aktivis feminis akan berasumsi bahwa ayat
tersebut ditujukkan kepada suami. Padahal pokok persoalan pertama yang
harus dicatat menurut Riffat, yakni ayat tersebut ditujukan kepada al-Rijal
(laki-laki) dan an-Nisa (perempuan), tapi ayat itu ditujukan untuk semua
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam. Kata kunci dalam kalimat
pertama ayat ini adalah qawwamun. Qawwamun ini telah diartikan secara
bervariasi yaitu sebagai pelindung dan pemelihara perempuan, atau bisa
dikatakan sebagai penguasa perempuan. Menurut bahasa kata qawwamun berarti
pencari nafkah.
Menurut Riffat, bahwa
inti dari kalimat pertama itu bukan pernyataan yang menggambarkan bahwa
semua laki-laki dalam kenyataannya adalah pemberi nafkah perempuan, tetapi
masih ada juga laki-laki tidak bisa memberi nafkah pada isterinya. Dengan
kata lain, pengumuman ini merupakan
pernyataan umum menyangkut konsep Islam tentang pembagian kerja
dalam sebuah keluarga atau masyarakat. Kenyataan bahwa laki-laki adalah
qawwamun lantas perempuan tidak boleh bekerja atau menafkahi diri sendiri,
karena alasan apa pun dianggap bukan tempatnya atau alamnya, mengingat
beban berat yang harus dipikul yaitu harus melahirkan dan membesarkan anak,
maka mereka tidak harus memiliki kewajiban tambahan mencar nafkah pada
waktu yang bersamaan.
Ketika sampai pada
gagasan dalam ayat tersebut, bahwa Allah telah memberikan kepada yang satu
kekuatan lebih daripada yang lain. Kebanyakan Mufassir menyatakan bahwa
yang memiliki kekuatan, kemuliaan atau kelebihan itu adalah laki-laki,
namun pernyataan Al-Qur’an tidak memberi kelebihan terhadap laki-laki.
Riffat menjelaskan bahwa pernyataan tersebut secara literatur berarti sebagian
kamu atas sebagian yang lain, maksudnya pernyataan tersebut bisa berarti
sebagian laki-laki memiliki kelebihan atas sebagian yang lain, yaitu bisa
laki-laki atau perempuan. Bahwasanya penafsiran yang paling tepat secara
tersusun, adalah sebagian laki-laki mendapat rezeki yang lebih banyak, maka
menjadi pemberi nafkah yang lebih baik ketimbang laki-laki lainnya.
Bagian berikut ayat
tersebut dimulai dengan oleh karena itu, Riffat menunjukkan bahwa bagian
ini bersifat kondisional bagi yang pertama, yaitu jika laki-laki memenuhi
tugasnya sebagai pemberi nafkah, maka perempuan juga harus memenuhi
tugas-tugas mereka. Tugas-tugas itu oleh kebanyakan Mufassir digambarkan
sebagai “ketaatan” isteri terhadap suaminya. Padahal kata shalihat yang
diterangkan sebagai “kepatuhan yang selayaknya” berkaitan dengan kata-kata
shalihat yang berarti kemampuan bukan kepatuhan. Kemampuan khusus perempuan
adalah melahirkan. Kata qanitat setelah shalihat juga diterjemahkan sebagai
kepatuhan, padahal berarti kantong air tempat membawa air tanpa tumpah
hingga ke tempat tujuan, yang artinya bahwa perempuan itu membawa dan
melindungi janin yang ada di dalam kandungannya sampai bisa melahirkan
dengan selamat.
Apa yang ingin
dikatakan oleh ayat ini adalah, pembagian kerja yang fungsional yang perlu
untuk mempertahankan keseimbangan dalam masyarakat. Laki-laki yang tidak
diberi kelebihan untuk memenuhi kewajiban mengandung dan melahirkan diberi
tugas menafkahi. Perempuan dibebaskan dari tugas menafkahi agar mereka
memenuhi tugas mengandung dan melahirkan. Kedua fungsi itu terpisah namun
saling melengkapi agar tidak ada superioritas, untuk menunjukkan dan
menjamin terjadinya keadilan dalam masyarakat secara keseluruhan. Bukanlah
dalam Al-Qur’an sudah digambarkan tentang laki-laki dan perempuan dalam
perkawinan dalam surat Al-Baqarah ayat 187, bahwa meraka (perempuan) adalah
pakaian bagimu dan kamu (laki-laki) adalah pakaian bagi mereka (perempuan).
Itu semua sudah menyatakan kedekatan, kebersamaan dan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan.
Tanggapan Terhadap Pemikiran Riffat Hassan
Pada dasarnya Riffat
Hasan telah berusaha mengkritisi terhadap penafsiran yang disebutnya bias
laki-laki lewat argumen kebahasaan dan juga pengkajian pada hadits-hadits
misogini baik sanad maupun matannya. Di samping itu ajaran tentang
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam yang dianggapnya berasal dari
Genesis 2 menurutnya harus ditolak. Secara kebahasaan penafsiran terhadap
kalimat minha (dari jenis yang sama/ bayan al-jins, bukan untuk menyatakan sebagian/tab’idhiyah)
dapat dibenarkan, namun dari segi makna akan bertentangan dengan lafal nafs
wahidah yaitu Adam. Sebab andaikata Hawa diciptakan sama-sama dari tanah
seperti Adam tentu kenyataan itu akan membawa kepada pengertian bahwa
asal-usul manusia bukan satu, tapi dua. Adapun mengenai hadits yang
berkenaan dengan tulang rusuk, secara normative tidak mengandung unsur anti
perempuan. Sekalipun diciptakan secara berbeda, esensi kemanusiaan
masing-masing tetap sama. Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk, Isa yang
dicipta hanya lewat seorang Ibu, dan manusia lain yang dicipta dengan
proses reproduksi semuanya berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.
Dengan demikian secara esensi semua manusia berasal dari sesuatu yang sama.
Penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam bukanlah suatu bentuk inferioritas
perempuan. Asal-usul penciptaan tidak menentukan nilai manusia Realitas
ketidaksetaraan dan ketidakadilan kaum perempuan dan kaum laki-laki pakah
memang disebabkan oleh asumsi-asumsi ontologis dan teologis tertentu
seperti tesisnya Riffat Hasan atau jangan-jangan karena faktor-faktor lain
di luar teologi seperti faktor pendidikan, sosiokultural, yang kemudian
diangkat ke wilayah keagamaan (teologis) supaya lebih kokoh dan tidak
tergoyahkan. Mengenai keberadaan ajaran yang diterima umat Islam yang sama
dengan Genesis 2 tidak secara otomatis harus ditolak. Yang ditolak kaum
muslimin tentulah yang bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah. Dalam
kasus di atas mungkin diperlukan pemahaman dan penafsiran yang baru dengan
pelibatan semua aspek terutama lewat kajian kritis historis terhadap teks
Genesis 2 sendiri, maupun kondisi sosiokultural yang melingkupi turunnya
ajaran tersebut (Agus Himmawan Utomo. Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid
35, Nomor 3, hal. 286).
KESIMPULAN
Riffat Hassan adalah
seorang feminis Muslimah Lahore, Pakistan. Menurut Riffat, laki-laki dan
perempuan diciptakan setara oleh Allah, maka dikemudian hari tidak bisa
menjadi tidak setara. Riffat berpendapat bahwa perempuan itu tercipta dari tukang
rusuk Adam harus ditolak, karena itu semua tidak ada dalam Al-Qur’an, tapi
ada dalam genesis 2. Riffat Hassan memahami dalam Al-Qur’an surat an-Nisa:
1 bahwa perempuan diciptakan dari gen yang sama dengan laki-laki. Pemahaman
Riffat Hassan selanjutnya merujuk pada surat an-Nisa: 34, bahwa laki-laki
sebagai pemimpin, menurut Riffat qawwamun di situ diartikan sebagai
pemimpin, pemberi nafkah, tetapi dalam kenyataannya sekarang ini masih ada
laki-laki yang tidak bisa dijadikan pemimpin dan pemberi nafkah untuk
isterinya. Oleh karena itu, Riffat tidak setuju kalau qawwamun itu sebagai
laki-laki, karena perempuan juga bisa sebagai qawwamun. Laki-laki dan
perempuan itu setara di hadapan Allah, oleh karena itu laki-laki dan
perempuan itu harus saling tolong-menolong, karena perempuan sebagai
subordinate, inferior itu tidak selamanya benar.
Pemikiran Riffat Hassan
tentang kesetaraan gender dilatarbelakangi oleh lingkungan disekitarnya,
karena Ia melihat perempuan tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan hidupnya.
Oleh karena itu, Riffat ingin menjungjung tinggi perempuan dari
keterkungkungan kaum laki-laki atau dominasi laki-laki, atas perempuan.
Kekuasaan yang cenderung mempertahankan sistem patriarkhi. Menurut Riffat
Hassan semua itu berakar dari pemahaman yang keliru tentang penciptaan
perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Riffat Hassan ingin
mendobrak dengan memulai penelitiannya dan mencari sumber yang berakar
tentang asal mula ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan tentang ayat
tersebut. Karena semua itu ada dalam genesis 2. Perempuan dan laki-laki
diciptakan oleh Allah setara, oleh karena itu di kemudan hari tidak bisa
berubah menjadi tidak setara, hanya taqwa yang membedakan ketidaksetaraan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Riffat Hasan. 1996. Isu
Kesetaraan Laki-laki Perempuan, dalam Fatima Mernissi dan Riffat Hasan,
Setara di Hadapan Allah. Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Perkasa.
Agus Himmawan Utomo.
Desember 2003. Jurnal Filsafat,
Jilid 35, Nomor 3. Yogyakarta.
|