KESAKSIAN PARA ULAMA FIQIH
TENTANG TASAWUF






Sesungguhnya tasawuf adalah Islam, dan Islam adalah tasawuf. Untuk mencapai kesempurnaan ibadah dan keyakinan dalam Islam, seseorang hendaknya mempelajari ilmu tasawuf melalui thariqah-thariqah yang mu’tabar dari segi silsilah dan ajarannya. Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh thariqah yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan keilmuan yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk qalbun salim dan kesempurnaan ahlak, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh tasawuf yang sejati.

Empat orang imam mazhab Sunni, semuanya mempunyai seorang syaikh thariqah. Melalui syaikh itulah mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.

Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit – Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) adalah murid dari Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.

Imam Maliki (Malik bin Anas – Ulama besar pendiri mazhab Maliki) yang juga murid  Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut, “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.” (‘Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i) berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:

Pertama, Mereka mengajariku bagaimana berbicara. Kedua, Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati. Ketiga,  Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.” (Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, hal. 341)

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka”
(Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

Syaikh Fakhruddin ar Razi (544-606 H ; Ulama besar dan ahli hadits) berkata, “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .” (I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)

Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.” (Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328).

Imam Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”

Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf pada akhirnya beliau mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : “Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, beliau berkata, “Para syaikh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.” Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa’i ra, dll.

Didalam kitab “Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah” hal. 128. Ibnu Taimiyyah berkata, “Kita (saat ini) tidak mempunyai seorang Imam yang setara dengan Malik, al Auza’i, at Tsauri, Abu Hanifah, as Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin Iyyadh, Ma’ruf al Karkhi, dan orang-orang yang sama dengan mereka.” Kemudian sejalan dengan gurunya, Ibnu Qayyim al Jauziyyah didalam kitab “Ar Ruh” telah mengakui dan mengambil hadits dan riwayat-riwayat dari para pemuka sufi.

Dr. Yusuf Qardhawi, guru besar Universitas al Azhar, yang merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini didalam kumpulan fatwanya mengatakan, “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.” Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.

Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh thariqah pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran, mereka tidak mengikuti jejak-jejak para ulama kaum salaf yang menghormati dan mengikuti ajaran tasawuf Islam.



Pembahasan disarikan dari kitab
“Miftah at Thariq – Pembuka Jalan Spiritual Thariqah Hasan wa Husein”
Bab.I, Tentang Tasawuf dan Thariqah











KONSEP PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM





 (Kajian atas Wacana Epistemologi Pendidikan Islam Kontemporer)

Pendahuluan

Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam mengembangkan peradapan. Seperti halnya dengan perkembangan peradaban Islam dan dalam mencapai kejayaan umat Islam. Pendidikan Islam tidak akan sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik pada seluruh generasi. Oleh sebab itu di dalam Al Quran telah ditetapkan proses awal pendidikan dan menentukan beberapa tokoh pendidikan Islam yang harus diikuti sebagai dasar dalam membentuk dan membina kepribadian ummah.

Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup (life-skill). Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema.  Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia.

Kematian Al-Qur’an dan Sunnah yang hanya menjadi sebuah narasi wahyu yang beku tersebut mempunyai implikasi yang luar biasa dalam dunia pendidikan yang di kalangan pemeluknya dikenal dengan “Pendidikan Islam”. Hingga hari ini, dunia pendidikan dan gerakan-gerakan Islam dalam berbagai ragam konsentrasi dan aliran pemahaman sulit menumbuhkan tradisi intelektual kritis sebagai etika dasar penafsiran terhadap kedua sumber teks utama Islam yang seharusnya terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan problem-problem pendidikan Islam tersebut, maka usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam lewat pemikiran yang mendalam perlu dilakukan dan menjadi sangat penting.

Pembahasan

Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi, pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah di Mekkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan masa ini merupakan proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada Allah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatstsir (74) ayat 1-7. Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti mendidik.[1]

Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang “pendidikan Islam” dan sekaligus diterapkan dalm konteks yang berbeda-beda.[2] Pendiidikan Islam menurut Langgulung, setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al- islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islami).[3]

Bagi An-Nahlawi[4] Istilah tarbiyah lebih cocok untuk pendidikan Islam. Berbeda halnya dengan Jalal[5], yang dari hasil kajiannya berkesimpulan bahwa istilah ta’lim lebih luas jangkaunnya dan lebih umum sifatnya daripada tarbiyah. Di kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian, atau lebih mengarah pada afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor. Kajian lainnya berusaha membandingkan dua istilah di atas dengan istilah ta’dib, sebagaimana yang dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas, dari hasil kajiannya ditemukan bahwa istilah ta’dib lebih tepat untuk digunakan dalam konteks pendidikan Islam. dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim.[6]

Secara garis besar, dapat disimpulkan pendapat beberapa tokoh Muslim tentang pengertian pendidikan Islam sebagai berikut:

Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain sering kali beliau mengatakan kepribadian uatama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.

Menurut Burlian Shomad, pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu:

Pertama, Tujuan untuk membentuk individu yang bercorak diri tertinggi menurut Al-Qur’an. Kedua, Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam Al-Qur’an, dan pelaksanaannya di dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Menurut Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan kebaikan, dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.[7]

Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan.Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (hadits).[8] Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali-sebagaimana dikutip Langgulung- terdiri atas 6 macam, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, qaul al-shahabat, masalih al-mursalah, ‘urf, dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim.[9]
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

Pertama, Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. Kedua, Sifat-sifat dasar manusia. Ketiga, Tuntutan masyarakat dan dinamika peradapan kemanusiaan. Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam.

Dalam aspek ini ada 3 macam dimensi ideal Islam: (a) mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi; (b) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik; (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.[10]

Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan merupakan suatu kondisi yang menjadi target penyampaian pengetahuan. Tujuan ini merupakan acuan dan panduan untuk seluruh kegiatan yang terdapat dalam sistem pendidikan. Jadi, tujuan pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:

Kepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yaitu teguhnya dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola berfikirnya (aqliyah) dan pola sikapnya (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam. Berkaitan dengn pengembangan keperibadian dalam Islam ini, paling tidak terdapat tiga langkah upaya pembentukannya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu (1) menanamkan aqidah Islam kepada seorang manusia dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai aqidah aqliyah; aqidah yang keyakinannya muncul dari proses pemikiran yang mendalam. (2) mengajaknya untuk senantiasa konsisten dan istiqamah agar cara berfikir dan mengatur kecenderungan insaninya berada tetap di atas pondasi aqidah yang diyakininya. (3) mengembangkan kepribadian  dengan senantiasa mengajak bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu berorientasi pada melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.

Menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal.
Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Adapun ilmu berdasarkan takaran kewajibannya menurut  Al Ghazali dibagi dalam dua kategori, yaitu (1) ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap muslim, yaitu ilmu-ilmu tsaqafah Islam yang terdiri konsespsi,ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumul quran, tahfidzul quran, ulumul hadits, ushul fiqh, dll. (2) ilmu yang dikategorikan fadlu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi, serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll. Berkaitan dng tsaqafah Islam, terutama bahasa Arab, Rasulullah saw. telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan urusan penting lainnya, seperti bahasa diplomatik dan interaksi antarnegara. Dengan demikian, setiap muslim yang bukan Arab diharuskan untuk mempelajarinya. Berkaitan dengan hal ini karena keterkaitan bahasa Arab dengan bahasa Al Quran & As Sunnah, serta wacana keilmuan Islam lainnya.

Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK).

Menguasai PITEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullahi di muka bumi dnegan baik. Islam menetapkan penguasaan sain sebagai fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Pada hakekatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yaitu pengetahuan yang mengembangkan akal manusia, sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu dan pengetahuan mengenai perbuatan itu sendiri. Berkaitan dnegan akal, Allah swt. telah memuliakan manusia dnegan akalnya. Akal merupakan faktor penentu yang melebihkan manusia dari makhluk lainnya, sehingga kedudukan akal merupakan sesuatu yang berharga. Allah menurunkan Al Quran dan mengutus RasulNya dengan membawa Islam agar beliau menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Pada sisi yang lain Islam memicu akal untuk dapat menguasai PITEK, sebab dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan. Dalam kitab Fathul Kabir, juz III, misalnya diketahui bahwa  Rsulullah saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir, terutam alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan benteng lawan.

Memiliki skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Perhatian besar Islam pada ilmu teknik dan praktis, serta ketrampilan merupakan salah satu dari tujuan pendidikan islam. Penguasaan ketrampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan umat Ilam dalam rangka pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash yang mengisyaratkan kebolehan mempelajari ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan. Hal ini dihukumi sebagai fardlu kifayah. Penjelasan 3 dan 4 dapat diperhatikan pada pembahasan Ilmu dan kedudukan dalam islam di atas.[11]

Wacana Epistemologi Pendidikan Islam
Rentang historis pendidikan Islam sangat panjang, menjulur dari ranah pendidikan Islam melalui sistem oral pada masa Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat, hingga sistem baca-tulis beberapa abad kemudian di wilayah-wilayah asal datangnya Islam, mulai dari Timur Tengah, Afrika Utara, Persia, al-Andalus (Spanyol Islam), hingga ke Asia tenggara. Sepanjang sejarah Islam, tercatat beberapa madrasah yang dianggap sebagai tempat pendidikan Islam awal.

Fakta sejarah telah menorehkan tinta dan menyatakan bahwa Islam pernah membuktikan dirinya menjadi liberating force dari belenggu kemunduran dan keterbelakangan taraf  hidup material dan mental pada zaman permulaan sejarah dan pada abad kecerahannya (abad 7-14 m). Bahkan pernah pula menghantarkan umat Islam menuju “zaman keemasan” atau orang Barat bilang sebagai the middle Eges, yang mempresentasikan masa-masa keterbelakangan dan kegelapan mereka. Di paruh millenium kedua inilah, menurut Philip k. Hitti [12] kaum muslimin mampu menguasai dunia.Peradapan mereka menjadi “soko guru” peradapan dunia, di saat bangsa Eropa kala itu masih melihat pengobatan ada di tangan dukun, dan para rohaniawannya merintangi segala usaha untuk kemajuan dunia.[13]

Salah satu faktor penyebab dan pendorong umat Islam abad pertengahan sehingga mereka mampu mencapai kejayaan- seperti telah diuraikan di atas- sebenarnya adalah terletak pada semangat kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan etos ilmiah yang sangat tinggi. Dimilikinya sikap mental masyarakat muslim, dengan kecintaan dan kesadaran yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan seperti ini, tidaklah muncul secara spontan dan mendadak. Namun, harus diakui, kesadaran ini merupakan efek dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa ke-Rasul-an Muhammad).[14]

Dr. Abdul Gani ‘Abud, ahli pendidikan dari Universitas Ain Syams Mesir, berkesimpulan bahwa prinsip-prinsip pendidikan modern yang menggema pada pertengahan abad ke-20, sebenarnya telah terungkap dan terimplementasikan dalam pendidikan Islam pada masa kejayaannya, ratusan tahun silam sebelum munculnya pendidikan modern.[15] Bahkan secara tegas ‘Abud menyatakan:

Seandainya dasar pokok demokrasi pendidikan modern itu tercermin dalam tersebarluasnya ilmu pengetahuan diantara manusia, persamaan kesempatan pendidikan, pandangan yang integral, kebebasan, penolakan kekuasaan pendidikan dalam satu tangan, kerjasama dalam pengambilan keputusan, penghargaan terhadap individual dan metode berfikir ilmiah, maka Islam telah lebih dahulu mempraktekkan hal-hal tersebut dalam pendidikannya.[16]

Konsep tentang “Epistemologi Pendidikan Islam” akhir-akhir ini menjadi suatu wacana intelektual Pendidikan Islam yang sedang dicari formulasi idealnya seiring dengan derasnya perkembangan iptek, metodologi, dan permasalahan-permasalahan sosial budaya yang perlu mendapatkan pencerahan dari dunia pendidikan Islam khususnya.[17]

Salah satu persoalan serius yang masih menghantui sistem pendidikan Islam, hingga kini adalah persoalan dikotomi antara ilmu pengetahuan agama dan umum. Masih kuatnyaanggapan di kalangan masyarakat muslim bahwa mencari ilmu agama adalah fardhu ‘ain dan ilmu umum fardhu kifayah, menambah sederetan problem rumit yang menyebabkan pendidikan Islam semakin terbelakang.[18]

Anggapan itu dalam realitasnya telah membawa implikasi negatif dalam perkembangan pendidikn Islam. Banyak orang-orang muslim lebih memprioritaskan “ilmu-ilmu agama” dari pada “ilmu-ilmu umum”. Mereka belum dapat bersikap “mesra” dan mengintegralkan antara agama dan ilmu. Akibatnya, banyak umat muslim yang biasanya hanya tahlilan, membaca manakib dan berjanji, akan tetapi ditanya persoalan yang berhubungan dengan sain dan tehnologi mereka gagap, bahkan tidak faham sama sekali.[19]

Masyarakat muslim sekarang ini, sadar atau tidak sadar telah dihadapkan pada problem besar ketika harus berhadapan dengan peradapan dan kebudayaan Barat. Apalagi dalam kenyataannya kebudayaan dan peradapan Barat melalui epistemologi ilmu pengetahuannya tersebut telah menjadi “model  dan panutan” yang terefleksikan dalam seluruh segi kehidupan masyarakat muslim.[20]

Epistemologi Barat terhadap dunia Muslim merupakan bentuk penjajahan gaya baru. Menurut Amrullah [21] kondisi seperti tersebut di atas menyebabkan imprealisme epistemologi yang telah berjalan sekitar 300 tahun sejak kolonialisme Eropa di dunia Islam. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban bagi umat muslim, terutama para pemikir pendidikannya untuk merumuskan tujuan dan fungsi pendidikan berdasarkan epistemologi pendidikan yang Islami, agar mampu menyelamatkan dan memerdekakan umat Islam dari belenggu Jajahan Barat. Terutama apabila umat Islam berkeinginan memunculkan suatu peradapan, maka epistemologi ini sangat mutlak diperlukan. Karena dengan epistemologi, sebetulnya umat Islam mampu menjiwai suatu aspek perilaku individual, societal dan sivilisasional. Tanpa epistemologi jelas mustahil muncul suatu peradapan. Tanpa suatu cara mengetahui yang dapat diidentifikasikan sebagai Islam, kita tidak mungkin dapat mengelaborasi pandangan dunia Islam pada isu-isu kontemporer.[22]

Arah Pembaharuan Pendidikan Islam

Islamisasi Ilmu
Topik islamisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam sudah diperdebatkan sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada 1977. Tetapi sayangnya tidak ada usaha serius untuk melacak sejarah gagasan dan mengkaji atau mengevaluasi sejumlah persoalan pokok yang berkenalan dengan topik ini pada tingkat praktis.[23]

Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting, bahkan menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat 1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai–sebagaimana yang dikembangkan ilmuan Barat akan tetapi sarat nilai, dalam Islam ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.

Pengertian islamisasi menurut para ahli:
Al Faruqi: adalah menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, yaitu dengan memberikan definisi baru, mengatur data, mengefaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya.[24]

Al Attas: sebagai proses pembebasan atau pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya, sebagai fitranya.[25]

Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis, sekularistik, relevistis; yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab penting munculnya krisis masyarakat modern.

Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan didalam ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistis, sekularistik, evolusioneristis, dan karena itu pada dasarnya bersifat realitifitas dan nihilistis. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat terhadap realitas, dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia islam.[26]

Gagasan islamisasi sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai atau netral. Betapapun diakui pentingnya transfer ilmu Barat ke Dunia Islam, ilmu itu secara tak terelakkan sesungguhnya mengandung nilai-nilai dan merefleksikan pandangan dunia masyarakat yang menghasilkannya, dalam hal ini masyarakat Barat. Sebelum diajarkan lewat pendidikan, ilmu tersebut harus ditapis terlebih dahulu agar nilai-nilai yang bertentangan secara diametral dengan pandangan-dunia Islam bisa disingkirkan. Gagasan islamisasi, dengan demikian, merupakan upaya dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi ke dalam sistem pengetahuan Islam.[27]

Berkaitan dengan keprihatinan pengaruh sains Barat modern, para pembaharu pemikir pendidikan islam mencoba kembali menggagas konsep islamisasi sains sekaligus menjadikan Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Mereka berupaya membersihkan pemikiran-pemikiran Muslim dari pengaruh negatif kaidah-kaidah berfikir ala sains modern, sehingga pemikiran Muslim benar-benar steril dari konsep sekuler. Al-Attas mengatakan, bahwa islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia sekuler.[28]

Banyak pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan dapat digeser dan diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam, manakala “proyek islamisiasi pengetahuan” benar-benar digarap secara serius dan maksimal. sebagai tindak lanjut dari gagasan-gagasan normatif itu, para pemikir Muslim harus berupaya keras merumuskan islamisasi pengetahuan secara teoritis dan konseptual yang didasarkan pada gabungan antara argumentasi rasional dan petunjuk-petunjuk wahyu.

Adalah sangat wajar jika formulasi intelektual yang formal dan sistematis suatu konsep awal dimulai dan dikembangkan lama setelah pengertian dan signifikansi konsep tersebut dipraktikkan secara mendalam. Singkatnya, Al-Attas menekankan bahwa yang pertama-tama harus mengalami islamisasi adalah ilmu pengetahuan atau ilmu masa kini atau kontemporer.[29] Kebanyakan ilmu dan disiplin ilmu pada masa lampau tekad mengislamkann oleh pelbagai cendikiawan yang memiliki otoritas di bidangnya dan mendapatkan pendidikan yang mengintegrasikan dua kategori fardu ‘ain dan fardu kifayah serta menguasai ilmu-ilmu yang relevan.

Formulasi Pembaharuan Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan bentuk investasi yang paling baik. Maka, setiap Negara Muslim mengalokasikan porsi terbesar dari pendapatan nasionalnya untuk program-program pendidikan.[30] Bila umat Islam memang bermaksud merebut peranan sejarahnya kembali dalam percaturan dunia, kerja pertama yang harus ditandinginya adalah membenahi dunia pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi. Pendidikan tinggi Islam harus mampu menciptakan lingkungan akademik yang kondusif bagi lahirnya cendekia-cendekia yang berfikir kreatif, otentik, dan orisinal, bukan cendekia-cendekia “konsumen” yang berwawasan sempit, terbatas dan verbal.[31] Oleh karena itu, corak pembaharuan pendidikan Islam yang diajukan berkaitan dengan corak tantangan yang dihadapi, hanya saja bentuknya bisa berupa sikap adaptasi atau sebaliknya, konfrontasi. Proyek islamisasi pengetahuan sebagai induk pembaharuan pendidikan Islam terang-terangan bersikap konfrontatif terhadap pendidikan sekuler dari Barat modern, kendati juga tidak bisa diingkari, bahwa pada tahap langkah-langkah proses maupun tujuan rencana kerja, islamisasi pengetahuan itu masih mempertimbangkan penguasaan disiplin ilmu modern.[32]

Kenyataan di lapangan, kondisi pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya menghadapi nasib yang sama, dan secara khusus pendidikan Islam menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikan belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak konprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional.[33]

Usaha pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh berbagai masalah, mulai persoalan dana sampai tenaga ahli, sehingga pendidikan Islam dewasa ini terlihat orientasinya yang semakin kurang jelas.[34] Dengan kenyataan ini, maka sebenarnya sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan.[35]

Berangkat dari fenomena di atas, maka ada dua alasan pokok perlu dilakukan pembaharuan pendidikan Islam, khususnya  di Indonesia, yaitu:

Pertama, Konsepsi dan praktek pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada kelembagaannya dan isi programnya didasarkan pada konsep atau pengertian pendidikan Islam yang sempit yang terlalu menekankan pada kepentingan akhirat.

Kedua, Lembaga-lembaga dan isi pendidikan Islam yang dikenal sekarang ini, seperti madrasah dan pesantren, tidak atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern, terutama masyarakat dan bangsa Indonesia bagi pembangunan di segala bidang, di masa sekarang dan di masa yang akan datang.[36]

Pada dasarnya ada tiga pendekatan pembaharuan pendidikan yang dapat dilakukan, yaitu: pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan modern.

Mengislamkan pendidikan sekuler modern.
Pendekatan ini dilakukan dengan cara menerima pendidikan sekuler modern yang telah berkembang  pada umumnya di Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan dari mengislamkan pendidikan sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk watak pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, (2) memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern menangani bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi, menggunakan perspektif Islam untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka.[37]

Kedua tujuan tersebut berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga apabila pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang dilakukan pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan, tanpa sesuatu pun yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam, maka pandangan pelajar-pelajar yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan besar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi dalam skala yang luas. [38]

Menyederhanakan silabus-silabus tradisional.
Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan yang tidak perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika), dan segudang karya tentang hukum Islam. Penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya dalam berbagai disiplin zaman pertengahan dan menekankan pada bidang hadits, bahasa dan kesusastraan Arab serta prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an.

Menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru.
Dalam kasus seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah dan akademi modern. Di Indonesia pada tingkat akademi telah dimulai dilakukan upaya-upaya yang ditujukan untuk menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan modern dengan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional.[39]

Akan tetapi menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yang seperti diuraikan di atas tidak ada, karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang lama dengan ilmu pengetahuan yang modern. Situasi ini diperburuk lagi dengan masih minimnya jumlah buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini mengakibatkan, di satu pihak pengajaran akan tetap mandul sekalipun anak didik mempunyai bakat dan kemauan, di lain pihak guru-guru yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu tidak akan dihasilkan dalam skala yang mencukupi.[40]
Dari pembahasan di atas, ada beberapa indikator sebagai usaha pembaharuan pendidikan Islam, yaitu: (a) Setting pendidikan; (b) Lingkungan pendidikan; (c) Karakteristik pembaharuan; dan (d) Kurikulum yang disajikan sesuai dengan karakteristik tujuan. Perlu diketahui bahwa suatu usaha pembaharuan pendidikan dapat terarah dengan baik apabila didasarkan pada kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap.

Filsafat pendidikan hanya dapat dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungannya dengan lingkungan, alam semesta, akhiratnya, dan hubungannya dengan Maha Pencipta. Sedangkan teori pendidikan dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara pendekatan filosofis dan penedekatan empiris.[41] Dengan demikian, kerangka dasar pertama pembaharuan pendidikan Islam adalah “konsepsi filosofis” dan “teori pendidikan” yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang hubungannya dengan masyarakat, lingkungan, dan ajaran Islam.
Usaha-usaha pembaharuan pendidikan tersebut dilakukan untuk membangun sistem pendidikan Islam yang benar-benar mampu memberdayakan umat; dimulai dari pemberdayaan para pendidik (guru atau dosen), siswa atau mahasiswa, lulusan (alumni), kemudian berpengaruh pada pemberdayaan masyarakat dan negara. Pemberdayaan yang komprehensif dan berkesinambungan inilah yang menjadi bekal utama dalam meraih kejayaan peradapan Islam. Dengan pemberdayaan itu, masing-masing individu memiliki kemandirian yang kuat, kemampuan yang bisa diandalkan, kemauan keras untuk maju, dan kepedulian sosial yang tinggi. Akumulasi dari semua unsur ini menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah tatanan menjadi tatanan baru sama sekali, yaitu suatu tatanan yang merupakan prasyarat lahirnya peradapan Islam yang unggul.[42]
Melihat kondisi yang demikian itu, Fazlur Rahman mencoba menawarkan solusinya, dia berpendapat bahwa kondisi obyektif masyarakat Islam yang mengalami kemacetan tidak hanya di bidang lahiriyah tetapi juga di bidang intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera mendapat tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ide yang berkembang adalah modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio (pikiran) dan paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan yang berbeda-beda. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yang menyerukan peningkatan standar moral dan intelektual untuk menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun ia sendiri tidak melakukan modernisasi intelektual, namun seruannya menggugah masyarakat Muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan ia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara umum.[43]

Maka selanjutnya menjadi tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India untuk membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa akal dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yang sekuler.

Upaya dan tokoh-tokoh pembaharu ini pada akhirnya melahirkan sejumlah murid yang meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yang dimaksudkan oleh kutipan Rahman di atas, ”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya telah berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme sebagai solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan intelektual”.

Ide-ide kreatif yang dimunculkan oleh kebanyakan modernis kontemporer pada umumnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis. Adalah Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, bersama dengan Ali Syari’ati (1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan ide membangun peradaban yang Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat dapat “mendongkrak” dunia Islam untuk maju.

Karena teknologi yang dipinjam dari Barat selalu tidak cocok dengan masyarakat Muslim, alih teknologi tidak hanya menyebabkan mapannya ketergantungan dunia Islam terhadap Barat, juga merusak kebudayaan dan lingkungan Muslim. Solusi yang disampaikan oleh Sardar adalah mengembangkan teknologi yang mencerminkan norma-norma budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi, pendidikan dan pemerintahan.
Bersama-sama dengan Hossein Nasr, Sardar menilai bahwa peradaban Barat telah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam. Kemajuan teknologi yang tidak terkendali telah menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan peradaban manusia, karena kehidupan modern Barat telah kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr memilih spiritualisme sebagai solusi alternatif upaya pembebasan manusia modern. Nasr sangat optimis  dengan solusi sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia modern dalam mencari Tuhan. Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah teknologis yang kering dan mereka tidak menemukan pemuasnya dalam ajaran Kristen dan Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak.[44]

Dalam konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi seperti tercermin melalui istilah ruh dan sikap batin. Inilah yang membedakannya spiritual dalam pengertian Barat, yang dipahami sekadar fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat modern bersumber dari penolakan ruh dan pengingkaran ma’nawiah dalam kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri dari Tuhan dan mereka menjadi tuan bagi kehidupan sehingga terputus dari spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan sebagai obyek dan sumber daya untuk diekspolitasi semaksimal mungkin.[45]
Fenomena inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr untuk dicarikan solusinya melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yang dikembangkan oleh sejumlah pemikir modernis, sehingga gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi di atas, adalah Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Yaitu Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas, dua tokoh modernis yang paling awal yang menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan.

Dari dua konsep yang disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan memberi warna atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”.[46]
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat  manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan  tuntutan hidup yang multi  komplek pula .Ditanbah lagi dengan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat bekas saingan jika bukanya musuh sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain , yang timbul sebagai komplek pihak yang kalah, berbeda dengan kedudakan umat islam klasik  pada waktu itu umat islam adalah pihak yang menang dan berkuasa.

Fenomena tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf,  telah menyuburkan  tumbuhnya golongan-golongan penekan .Golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari  orang-orang yang pikiranya lebih cenderung kepada agama. Akibatnya munculah suatu ketergantungan dan pertentangan antara golongan sekular dengan golongan agama. Pertentangan ini telah menampakan diri secara terang-terangan dibeberapa negara seperti Turki, Mesir, Pakistan dan Indonesia
Fenomena pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yang dikemukakan oleh Rahman bahwa :

Strategi pendidikan islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan kepada tujuan yang positif,tetapi lebih cenderung bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam (Nurcholish, 1992 : 455).

Dalam kondisi kepanikan spiritual itu, strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis. Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat, bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat Islam.[47]

Menurut Rahman, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, tujuan pendidikan Islam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada kehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an. Menurutnya bahwa :

Tujuan pendidikan dalam pandangan AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya.

Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat.

Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu. [48]

Tokoh Reformis Modern: Islamisasi Ilmu
Sesungguhnya usaha pengislaman ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat pada saat turunnya al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran telah membawa bahasa Arab ke arah penggunaan yang lebih menenangkan dan damai sehingga merubah watak, perangai dan tingkah laku orang Arab ketika itu. Al-Quran juga merubah pandangan hidup mereka tentang alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru.[49]

Ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul di Pakistan pada masa Presiden Zia’ul Haq pada awal 1980-an, Bashiruddin Mahmood, Direktur Direktorat Energi Nuklir Pakistan bersama teman-temannya segera menyambutnya dengan dengan mendirikan “Holy Quran Research Foundation“. Salah satu hasil kajiannya berupa buku “Mechanics of the Doomsday and Life after Death: The Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy Quran” (1987).

Sayang, obsesinya untuk mengislamisasi sains tampaknya tidak mempunyai pijakan. Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang katanya ditinjaunya dari Alquran dianalisisnya tanpa menggunakan sains secara utuh. Hasilnya, banyak kejanggalan dari segi saintifiknya. Di Indonesia, publikasi serupa itu ada juga, misalkan oleh Nazwar Syamsu dan Fahmi Basya.

Pada perkembangan selanjutnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga kini muncul berbagai kritik terhadap Sains Modern. Bukan saja ilmuwan Muslim, tapi banyak ilmuwan Barat sendiri mulai kritis dan mengevaluasi sains yang ada. Mereka umumnya mempertanyakan keabsahan paradigma Sains Modern bahkan cenderung skeptis tentang masa depan Sains Modern. Mereka coba menganalisa dan mencari paradigma sains alternatif. Bagi ilmuwan Muslim, tentu paradigma yang didasarkan pada nilai-nilai Islamlah yang menjadi tumpuan alternatif. Upaya-upaya inilah yang sering disebut Islamisasi sains. Selain percaya pada kesempurnaan nilai-nilai normatif Islam, para ilmuwan Muslim juga percaya pada kesanggupan Islam terjun di wilayah praxis sains, seperti dibuktikan pada masa keemasan Islam.[50]

Dalam konteks “kerangka operasional” pengislaman ilmu-ilmu masa sekarang dicetuskan semula oleh tokoh-tokoh ilmuwan Islam seperti Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Al-Faruqi, Seyyed Hussein Nasr, Fazlur Rahman, dan lain-lain.[51]

Muhammad Naquib Al-Attas
Bagi masyarakat awam di Indonesia, nama Syed Muhammad Naquib Al-Attas mungkin terasa asing.  Tetapi bagi kalangan akademinisi yang pernah membaca karya-karyanya dalam edisi bahasa Indonesia seperti Islam dan Sekulerisme (Pustaka, Bandung) yang pernah populer pada dekade 80-an; Islam dan Filsafat Sains atau Konsep Pendidikan Islam (Mizan, Bandung) hampir pasti mengenalnya. Al-Attas, pria asli kelahiran Bogor Jawa Barat, 5 September 1931 namun besar di Malaysia tersebut, sangat memahami secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup Islam dan Barat. Dari itu pula, ia mampu mengidentifikasi penyebab kemunduran umat Islam kemudian memberi solusi konseptual secara tepat.  Menurutnya, kemunduran umat Islam itu disebabkan oleh lemah dan rusaknya ilmu pengetahuan (corruption knowledge), sehingga tidak mampu lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.  Karena itu ia menawarkan solusi sentralnya, yakni pembenahan ilmi pengetahuan umat Islam secara fundamental yang lebih populer dengan ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’, suatu istilah yang hingga kini acap disalahpahami dan menjadi sebuah kontroversi.[52]

Al-Faruqi
Ismail Al-Faruqi adalah orator ulung, cendikiawan yang handal dalam studi islam, dan mungkin salah seorang cendikiawan Muslim yang sangat disegani dalam bidang etika kristen. Al-Faruqi telah memanfaatkan tulisan-tulisan Al-Attas secara mendalam sehingga memberinya inspirasi untuk menulis risalah “The Islamization of Knowledge”. Risalah yang diterbitkan oleh IIIT (International Institute of Islamic Thought) dan sekarang menjadi terkenal. Tulisan tersebut ditulis setelah Seminar Pertama mengenai Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang diadakan oleh Universitas Islam di Islambad, Pakistan dan I I I T pada Januari 1982. [53]

Seyyed Hussein Nasr
Adalah seorang cendikiawan Muslim kontemporer yang sangat termasyhur. Dia sebenarnya dapat dianggap sebagai cendikiawan Muslim dalam bidang sejarah sains Islam yang terkenal pada zaman modern ini. Karya-karya kreatifnya dalam pelbagai topik berkisar pada aspek-aspek sejarah filsafat Islam, sains, dan tasawuf, serta belpagai aspek filsafat perennial, seperti yang disampaikan oleh Rene Guenon, A.K. Coomaraswamy, Frithjof  Schuon. Karya-karyanya itu telah diterjemahkan dan disebarkan dalam belbagai bahasa. Dalam salah satu karya utamanya terdahulu, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, dia hanya menunjukkan secara inplisit metode untuk mengislamkan sains modern dengan menyarankan agar sains modern diinterpretasikan dan diaplikasikan ke dalam “konsepsi Islam mengenai kosmos”.[54]

Fazlur Rahman
Seorang pemikir neomodernis, adalah partisipan akhir dan tidak langsung dalam agenda islamisasi ilmu pengetahuan. Perhatiannya terhadap islamisasi, yang bermula ketika bersahabat dekat dengan rezim Ayyub Khan pada tahun 1960-an, berkisar terutama pada bidang hukum. Dalam bukunya, Islam and Modernity, Fazlur Rahman berkomentar panjang lebar mengenai usaha-usaha untuk mengislamkan pendidikan umat Islam yakni agar memasukkan konsep-konsep kunci tertentu mengenai Islam. Dia menyatakan bahwa strategi ini melibatkan dua aspek yang saling berhubungan, pertama, membentuk mental anak didik dengan nilai-nilai Islambagi kepentingan kehidupan pribadi dan kolektif; dan kedua, memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam bidang-bidang studi yang lebih tinggi. Dia menekankan perlunya kerja intelektual untuk menjabarkan metafisika Islam berdasarkan Al-Qur’an. Program Rahman yang terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada pada tingkat ontologi dan epistemologi, tidak pada tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa masalah internal yang harus diselesaikan oleh modernisme kontemporer. Masalah tersebut, menurut Rahman tidak cukup diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi harus diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.[55]

Penutup
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan peradapan Islam dan mencapai kejayaan umat Islam. Ironisya, kenyataan di lapangan kondisi pendidikan Islam  di Indonesia menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikan belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak konprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional.

Suatu usaha pembaharuan pendidikan dapat terarah dengan baik apabila didasarkan pada kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Ada beberapa indikator sebagai usaha pembaharuan pendidikan Islam, yaitu: (a) Setting pendidikan; (b) Lingkungan pendidikan; (c) Karakteristik pembaharuan; dan (d) Kurikulum yang disajikan sesuai dengan karakteristik tujuan. Selain itu, usaha-usaha pembaharuan pendidikan tersebut juga dilakukan untuk membangun sistem pendidikan Islam yang benar-benar mampu memberdayakan umat; dimulai dari pemberdayaan para pendidik (guru atau dosen), siswa atau mahasiswa, lulusan (alumni), kemudian berpengaruh pada pemberdayaan masyarakat dan negara. Pemberdayaan yang komprehensif dan berkesinambungan inilah yang menjadi bekal utama dalam meraih kejayaan peradapan Islam.

Gambaran masyarakat Islam sekarang adalah masyarakat yang semi-mati, menerima pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-pengaruh Barat yang menekan. Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah dihadapi oleh masyarakat muslim dari abad 2H./8M. Mereka pada saat itu, dihadapkan dengan tantangan intelektual “Hellenis”. Namun mereka berhasil mengatasi benturan dan tantangan tersebut dengan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tersebut adalah adanya dominasi politik Islam. Secara praktis Islam pada saat itu adalah penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya adalah kondisi dan situasi Islam saat itu belum terbebani oleh tradisi agama yang semi-mati, hal ini sangat berbeda dengan kondisi dan situasi Islam pada abad 17 M dan lebih khusus pada akhir abad 18 M.

Akibat kekalahan dan penyerahan politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis tidak mampu merumuskan kembali warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam dan mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat.

Bagaimanapun juga umat Islam yang baru bangun dan baru bangkit tersebut belum siap mengadakan modernisasi yang lebih besar dan mendasar. Untuk arah kesana diperlukan proses dan waktu yang panjang.

Oleh karena itu, guna menghadapi himpitan-himpitan modernisasi tersebut, pendidikan Islam membutuhkan perubahan yang signifikan. Perumusan visi dan misi pendidikan yang baru untuk membangun serta meningkatkan mutu dan kualitas manusia dan masyarakat muslim. Apabila tidak melakukan perubahan, pendidikan Islam akan tetap “terbelakang” dan tidak mampu bersaing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abud, Abd al-Gani. Fi al- Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: Dar al Fikr al-fikr al-Arabi, 1977.
Al Attas, S.M. Naquib, The Consept OF Education In Islam. ISTAC: Kualalumpur, 1991
Al-Hikmah, Jurnal studi-studi Islam. Dzulhijjah awal, 1412/juli-oktober, 1991.
Al Faruqi, Ismail R, Islamisasi Pengetahuan (terj). Balai Pustaka: Bandung,1984
Amrullah, Ahmad. Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. PT. Bima Karya: Jakarta, 1989.
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam. Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999.
Assegaf, Abdurrahman dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, 2007
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, H.A. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam. CV Pustaka Setia: Bandung, 2001.
Ilyas, Mukhlisuddin, Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Logos : Bandung, 2005
Iman, M .Sohibul, Perlunya Islamisasi Sains.ISTECS : Jakarta, 2004.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Maarif, A.Syarif , Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. dalam Muslih Usa (Ed), Peniddikan Islam Di Indonesia Antara Citra dan Fakta, Tiara Wacana: Yogyakarta, 1991.
Ma’arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Moeleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosyda Karya: Bandung, 2000.
Muhaimin Dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam. Cirebon: Dinamika, 1999.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan  Pendidikan Agama Islam Di sekolah. PT Rosdakarya: Bandung, 2001.
Mulkhan, Abdul Munir, Dilema Madrasah di antara Dua Dunia, From: http://www. Pesantren online.com/artikel/detail artikel-php3?artikel=101, 4 April 2002, dalam Hujair AH. Sanaky.
Munir Mulkhan, Abdul, Nalar Spiritual Pendidikan:Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. PT Tiara Wacana: Yogyakarta, 2002.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Ciputat Pers: Jakarta, 2002.
Nor Wan Daud, Wan Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,  Mizan: Bandung, 2003.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Erlangga : Jakarta, 2005.
Rahman Fazlur,  Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual Tradition. University of Chicago Press: Chicago 1982
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas.
Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an.  Pustaka:  Bandung, 1983.

[1] Lebih jelasnya dapat dilhat Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. (Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999), hlm: 12
[2] Lihat Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan  Pendidikan Agama Islam Di sekolah. (PT Rosdakarya: Bandung, 2001),hlm: 36
[3] Ibid, hlm: 36
[4] Lihat Muhaimin, (2001), hlm: 37
[5] Lihat Muhaimin, (2001), hlm: 37
[6] Lihat Muhaimin, (2001), hlm: 37
[7] Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam. (CV Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm: 15-16
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. (Ciputat Pers: Jakarta, 2002), hlm: 34
[9] Lihat Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah. hlm: 24  dalam Samsul Nizar hlm: 35
[10] Lihat C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. hlm: 59 dalam Samsul Nizar hlm: 35-36
[11] Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Op.Cit, hlm: 59-62
[12] Philip k.Hitti, 1996 dikutip oleh Syamsul Ma’arif. 2007.Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm: 18
[13] Ibid, hlm: 18
[14] Ibid, hlm: 21
[15] Abd al-Gani ‘Abud. 1977, Fi al- Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: Dar al-Fikr al-fikr al-Arabi, hlm: 132
[16] Ibid, hal: 131
[17] Abdurrahman Assegaf dkk. 2007,Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, hlm: 25
[18] Op.Cit, Syamsul Ma’arif., hlm: 13
[19] Ibid, hlm: 13
[20] Ibid, hlm: 60
[21] Ahmad Amrullah. 1998, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm: 38
[22] Op.Cit, Syamsul Ma’arif, hlm: 60-61
[23] Wan Mohd Nor Wan Daud, , Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hlm: 23. Wan Mohd Nor Wan Daud adalah lulusan Universitas Chicago, tahun 1987, di bawah bimbingan Dr. Fazlur Rahman. Disertasi doktoralnya diterbitkan oleh Mansell Publishing Ltd. (London-New-York), dengan judul “The Concept of Knowledge in Islam”. Sekarang, dia bekerja bersama Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai deputi direktur dan profesor di International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur. Karya-karyanya, antara lain, adalah The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief History and Philosophy of the International Institue of Islamic Thought and Civilization (1991), dan An Exposition of Knowldege Culture (1991).
[24] Ismail R.al Faruqi, SIslamisasi Pengetahuan (terj),( Balai Pustaka: Bandung, S1984), hlm: 98
[25] S.M. Naqoib Al Attas, The Consept OF Education In Islam. ISTAC: Kualalumpur, 1991),  hlm: 43
[26] Muhammad Naquib al-Attas, Al-Hikmah, Jurnal studi-studi Islam.  (Dzulhijjah awal, 1412/juli-oktober, 1991), hlm: 88.
[27] Wan Mohd Nor Wan Daud,Op.Cit,  hlm: 62.
[28] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. (Erlangga: Jakarta. 2005). hlm. 116
[29] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. (Mizan: Bandung. 2003). hlm. 343.
[30] Anton Bakher dan Achmad Charris Zubair, dalam Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm: 226
[31] Irfan Ahmad Khan, dalam Mujamil Qomar, Log.Cit.
[32] Ibid, hlm: 234
[33] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan. hlm: 25 dikutip oleh Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:Membangun Masyarakat Madani Indonesia. (Safiria Insania Press: Yogyakarta, 2003), hlm: 9
[34] Muhaimin Dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam. (Cirebon: Dinamika, 1999), hlm: 2-4  dalam Hujair AH. Sanaky, hlm: 9
[35] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas. hlm: 160 dalam Hujair AH. Sanaky, hlm: 9
[36] A. Syarif Maarif ,  Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. dalam Muslih Usa (Ed), Peniddikan Islam Di Indonesia Antara Citra dan Fakta, (Tiara Wacana: Yogyakarta, 1991), hlm: 150, dikutip oleh Hujair AH. Sanaky, hlm: 10
[37] Fazlur Rahman,  Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual Tradition. (University of Chicago Press:  Chicago 1982), hlm:131
[38] Ibid, hlm: 131.
[39] Ibid, hlm: 138
[40] Ibid, hlm: 139
[41] Abdul Munir Mulkhan, Dilema Madrasah di antara Dua Dunia, From: http://www. Pesantren online.com/artikel/detail artikel-php3?artikel=101, 4 April 2002, dalam Hujair AH. Sanaky, hlm: 11
[42] Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm: 234-235
[43] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas. hlm: 172 dalam Hujair AH. Sanaky, hlm: 11
[44] Fazlur Rahman,  Islam and Modernity, Op.Cit, hlm: 140-143
[45] Ibid, hlm: 144
[46] Ibid
[47] Ibid, hlm: 161
[48] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an.  (Pustaka:  Bandung, 1983), hlm: 67
[49] Mukhlisuddin Ilyas, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Logos : Bandung, 2005), hlm: 6
[50] M .Sohibul Iman,. Perlunya Islamisasi Sains. (ISTECS : Jakarta, 2004)
[51] Mukhlisuddin Ilyas, Log.Cit
[52] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm: 45
[53] Ibid, hlm: 392
[54] Ibid, hlm: 401
[55] Ibid, hlm: 406


Pasted From :






KLIPING