Mengajar
Al Qur`an di Kedai
SYEIKH YASIN BIN YUSUF AZ ZARKASYI
guru Imam An Nawawi mengisahkan, bahwa beliau sebelum mendidik ulama besar
itu beliau menyaksikan bahwa Imam An Nawawi waktu kecil diajari membaca Al
Qur`an oleh ayah beliau di kedai milik ayahnya.
Meski sambil berdagang sang ayah
tidak terputus memperdengarkan ayat Al Qur`an kepada Imam An Nawawi sampai
beliau selesai menghafal Al Qur`an di waktu baligh. (Thabaqat As Syafi’iyah
Al Kubra, 8/396, 397)
Tutup
Identitas Hindari Pujian
IMAM IBNU JARIR ATH THABARI
mengisahkan peristiwa tahun 16 hijiriah tatkala umat Islam berhasil
menguasai Al Madain, salah satu kota Iraq. Saat itu pasukan Islam
memperoleh banyak ghanimah. Seorang laki-laki ternyata berhasil membawa
cawan besar penuh dengan perhiasan dan ia menyerahkannya kepada pemegang
ghanimah. Beberapa orang pun menyampaikan,”Kami belum pernah melihat hal
yang demikian itu, apa yang kami peroleh tidak bisa menandingi banyaknya”.
Mereka pun akhirnya bertanya kepada
lelaki itu,”Apakah engkau telah mengambil sebagian darinya?”. Laki-laki itu
pun menjawab,”Demi Allah sekiranya tidak karena Allah maka aku tidak akan
membawa barang ini kepada kalian”.
Mereka yang hadir melihat bahwa
laki-laki ini adalah orang yang istimewa hingga mereka ingin mengetahui lebih
banyak tentangnya,”Siapa engkau sebenarnya?”. Laki-laki itu pun
menjawab,”Demi Allah aku tidak akan memberi tahu kepada kelian menganai
siapa diriku sehingga kalian memujiku. Akan tetapi aku memuji Allah dan
ridha terhadap pahalanya”. (Tarikh Al Umam wa Al Muluk, 4/176)
Yang
Hidupnya Lebih Nikmat dari Khalifah
AL MUTAWAKKIL khalifah Abasiyah
suatu saat terlihat sedang termenung hingga Al Fath bin Khaqan menteri
beliau bertanya,”Wahai Amirul Mukminin kenapa Anda termenung sedangkan Anda
demi Allah tidak ada manusia yang hidupanya paling nikmat di muka bumi ini
melebihi Anda?”
Al Mutawakkil pun menjawab,”Benar,
namun ada yang lebih bahagia dariku hidupnya, yakni seorang yang memiliki
rumah lapang, istri shalihah, kehidupannya tercukupi dan tidak pernah mengenal
kita hingga mereka tidak terdhalimi” (Al Bidayah wa An Nihayah, 10/351)
“Curhat”
dan Zina
HINDUN BINTI AL KHUSSI adalah
seorang wanita yang dikenal dengan kehormatan dan kecerdasannya di masa
jahiliyah. Namun semua itu hancur setelah ia berzina dengan budak
laki-lakinya. Hal itu karena bagi kaum Arab berzinanya seorang perempuan
merdeka dengan budak adalah hal yang amat memalukan.
Akhirnya khalayak bertanya kepada
Hindun kenapa ia sampai mau berzina dengan budak laki-lakinya yang hitam
legam itu. Hindun pun menjawab,”Qurbu al wisad (kedekatan bantal) dan thulu
assawad (banyak “curhat”)”.
Hal itu menunjukkan bahwa faktor
pendorong terjadinya perzinaan adalah kedekatan tempat tidur dan banyaknya
menumpahkan perasaan hati. (lihat, Ta’liq Syeikh Abu Ghuddah atas Risalah
Al Mustarsyidin, hal. 173 dan 174)
Harga
Tawanan Muslim
KHALIFAH AL MU'TASHIM ketika
mengetahui bahwa ada seorang wanita keturunan Hasyimiyah ditawan oleh pihak
Romawi, beliau langsung bangkit mengumandangkan,”Jihad! jihad!” dan menulis
washiyat kematian lalu mempersiapkan pasukan.
Kemudian beliau bertanya,”Wilayah
Romawi mana yang paling kuat?”. Mereka yang ditanya menjawab,”Ammuriyah, ia
belum pernah terkalahkan sejak masa Islam. Dan ia lebih berharga daripada
Konstatinopel bagi mereka”.
Akhirnya Khalifah Al Mu'tashim
berangkat dan memimpin langsung pasukannya menuju Ammuriyah dan berhasil
mengalahkannya setelah pengepungan selama 55 hari dan peperangan yang amat
dahsyat. (Al Kamil fi At Tarikh, 5/247 H)
Menyalin
Tafsir Selama 7 Tahun
IMAM ABU BAKR BIN BALUWAIH suatu
saat ditanya oleh Imam Ibnu Huzaimah,”Aku mendengar engkau menyalin tafsir
Ibnu Jarir?” Imam Abu Bakr pun menjawab,”Iya, dengan didikte.” Imam Ibnu
Huzaimah pun bertanya kembali,”Seluruhnya?” Imam Abu Bakr pun menjawab
kembali,”Ya”.
Ibnu Huzaimah terus
bertanya,”Selama berapa tahun?” Imam Abu Bakr pun menjawab,”Dari tahun 283
hingga 290”. Akhirnya Ibnu Huzaimah meminjam catatan tafsir Imam Abu Bakr
dan mengembalikannya setelah beberapa tahun setelah membaca seluruhnya.
(Thabaqat As Syafi’yah Al Kubra, 3/124)
Tatkala
Hakim Memvonis Dirinya Sendiri
QADHI KHAIR BIN NU'AIM seorang
hakim Mesir pada tahun 120 H yang dikenal bijaksana. Suatu satu saat ada
dua orang terlibat sebuah perselisihan datang kepada beliau bertepatan saat
adzan Maghrib berkumandang. Akhirnya Khair bin Nu’aim mengajak mereka
shalat Maghrib.
Di hari selanjutnya dua orang
tersebut datang kembali kepada Khair bin Nu’aim dan salah satunya
menyampaikan,”Saya telah membeli seekor onta dari orang ini seharga 12
dinar namun ternyata onta itu ada cacatnya. Dan saya menginginkan hukum
seorang hakim sedangkan Anda belum menghukumi kemarin sedangkan onta itu
kini telah mati, maka siapa yang menanggungnya untuk mengganti?”
Khair pun menjawab,”Akulah yang
menanggungnya, karena aku tidak menghukumi perkara itu kemarin (yakni di
saat onta itu hidup)”. (Raf’u Al Ishr’ fi Qadha Al Mishr, hal. 156)
Nasib
Pencela Rasul dari Romawi
YA’QUB BIN JAKFAR BIN SULAIMAN
suatu saat ikut berjihad bersama Khalifah Al Mu’tashim ke wilayah Al
Ammuriyah, wilayah Romawi yang paling kuat saat itu. Saat pasukan Muslim
berhadapan dengan benteng Al Ammuriyah, seorang lelaki Romawi berdiri di
atas benteng sambil mencela Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setiap
hari. Ia mencela Rasulullah dengan terang-terangan menyebut nama dan nasab
dengan bahasa bahasa Arab. Pasukan Muslim marah karena perbuatan laki-laki
itu, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa karena panah tidak mampu
menjangkaunya.
Ya’qub Bin Jakfar yang merupakan
seorang pemanah ulung, akhirnya mencoba membidikkan panahnya ke arah
pencela Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut. Panahan Ya’qub
ternyata berhasil mengenai tepat di leher lelaki Romawi itu. Pasukan Islam
pun serentak bertakbir bergembira.
Khalifah Al Mu’tashim ikut
bergembira dengan keberhasilan itu, lebih-lebih Ya’qub bin Jakfar merupakan
keturunan Bani Abbas sama dengan khalifah. Khalifah akhirnya memberi uang
kepada Ya’qub sebesar 100 ribu dirham, namun Ya’qub menolak. Pemberian pun
dinaikkan menjadi 500 ribu dirham dan Ya’qub juga menolaknya. (Ta’liq Risalah
Al Mustarsyidin oleh Syeikh Abdull Fattah Abu Ghuddah, hal. 238 yang
menukil dari manuskrip Risalah fi Shaid wa Ar Rimayah wa Al Khail, karya
Ibrahim bin Wali Al Hanafi)
Dari kisah di atas bisa diketahui
betapa umat Islam dari rakyat hingga penguasa amat menghormati Rasulullah
Shallallahi Alaihi Wasallam hingga memberi penghargaan bagi pemanah yang
berhasil membidik pencela Rasulullah dengan penghargaan besar. Kisah juga
menunjukkan betapa para prajurit Muslim tidak rakus terhadap materi.
Menjual
dan Tidak Takut Menunjukkan Cacat
IMAM IBNU SIRIN suatu saat menjual
seekor domba. Saat ada calon pembeli datang beliau menyampaikan,”Saya jual
kambing ini kepada Anda dengan cacat yang ada padanya, dimana kambing ini
suka menendang pakannya”.
Demikian pula yang dilakukan oleh
Imam Al Hasan Al Bashri, dimana saat beliau menjual budak wanita beliau
menyampaikan bahwa budak tersebut pernah menderita batuk darah.
Demikianlah para ulama terdahulu
dalam bermuamalah, tidak ridha melepas barang dagangan kecuali ddengan
menyebutkan aibnya meski ringan dan tidak menutup-nutupinya. (lihat, Ihya'
Ulumuddin, 4/783)
Berceramahlah
Saat Malas Berceramah
BISYR BIN HARITS menyampaikan,”Aku
bernafsu ingin berceramah. Kalau sudah hilang nafsuku maka aku akan
berceramah.” Dalam ungkapan lain beliau berpesan,”Jika engkau bernafsu
untuk berbicara maka diamlah. Jika engkau tidak bernafsu maka bicaralah.”
Imam Al Ghazali menjelaskan
pernyataan Bisyr tersebut. Beliau melarang berbicara saat timbul nafsu
untuk berbicara karena hal ini merupakan bentuk kesenangan terhadap
kedudukan, sedangkan kedudukan sebagai pembicara merupakan kenikmatan
terbesar dari kenikmatan duniawi. Barang siapa menuruti nafsunya, maka ia
pelayan dunia. (Ihya’ Ulumuddin, 1/102)
Doa
Ibnu Hajar Tatkala Meminum Zamzam
IMAM IBNU HAJAR AL ASQALANI seorang
hafidz madzhab As Syafi’i di awal menunut ilmu hadits beliau berdoa ketika
hendak meminum air Zamzam, agar dianugerahi hafalan seperti Imam Ad
Dzahabi.
Akhirnya hafalan Imam Ibnu Hajar
bisa menyamai Imam Ad Dzahabi bahkan lebih banyak, dan itu terjadi setelah
20 tahun sejak beliau menyampaikan doa. (Al Jawahir wa Ad Durar, 1/166)
Apa yang dilakukan Ibnu Hajar
berdasarkan hadits yang maknanya,”Air Zamzam untuk apa-apa yang menjadi
tujuan ia diminum” (Al Baihaqi), dihasankan oleh Al Hafidz Ad Dimyathi.
Semangka
Pelenyap Kesombongan
AL ALLAMAH MUHAMMAD BIN MUHAMMAD AL
BAHNISI sebelumnya merasa memiliki sifat kibr, hingga beliau berguru kepada
Syeikh Abu Fath As Sabsatari. Saat itu sang guru menyampaikan,”Aku ingin
engkau ya syaikh, pergi ke pasar dengan beberapa dirham ini untuk membeli
dua buah semangka dan engkau membawanya sendiri menuju tempatku
berkhalwat”.
Akhirnya pergilah Syeikh Muhammad
Al Bahnisi untuk membeli dua buah semangka yang berukuran cukup besar,
namun akhirnya faqih dari Syam ini gengsi untuk membawanya dan menginginkan
agar orang lain saja yang membawanya kepada sang guru. Namun setelah ingat
pesan sang guru, akhirnya beliau membawa keduanya kepada Syeikh As
Sabsatari dengan keringat bercucuran dan menjadi perhatian banyak manusia
saat itu.
Setelah sampai kepada Syeikh As
Sabsatari sang guru pun menyampaikan,”Mudah-mudahan dengan hal itu perasaan
kibr-mu lenyap”. Syeikh Muhammad Al Bahnisi pun menyatakan,”Saat itu
hilanglah perasaan kibr-ku”. (Al Kawakib As Sairah bi A’yani Al Mi’ah Al ‘Asyirah, 3/13)
Putra
Khalifah pun Menyimak Hadits
KHALIFAH HARUN AR RASYID saat
melaksanakan haji dan memasuki Kufah menyampaikan kepada Qadhi Abu
Yusuf,”Sampaikanlah kepada para muhaddits agar mendatangi kita untuk
menyampaikan hadits”.
Saat itu tidak ada seorang
muhadditspun yang memenuhi undangan itu, kecuali Abdullah bin Idris dan Isa
bin Yunus, namun keduanya mensyaratkan agar datang ke rumah mereka.
Akhirnya Al Amin dan Al Makmun mengendarai tunggangan untuk menyimak hadits
kepada Abdullah bin Idris tersebut sebanyak 100 hadits.
Kemudian mereka berdua pegir menuju
ke Isa bin Yunus untuk menyimak hadits dan Al Makmun memberikan 10 ribu
dirham, namun Isa bin Yunus menolak seraya menyampaikan,”Aku tidak meminum
air dari hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam”. (Tadzkirah Al
Huffadz, 1/281)
Dari kisah di atas bisa diketahui
bagaimana para penguasa Muslim terdahulu memperhatikan pendidikan keislaman
putra-putranya, hingga berusaha mencarikan guru dalam periwayatan hadits
untuk mereka. Dan kisah di atas juga menunjukkan betapa wara’ nya para
ulama, hingga menolak pemberian uang oleh penguasa meski dalam jumlah yang
amat besar.
Untuk
Ilmu, Harta Tinggal Sandal
IMAM YAHYA BIN MAIN memperoleh
warisan berupa uang sebanyak 1050.000 dirham dari ayah beliau yang telah
wafat di waktu itu yang sebelumnya berprofesi sebagai sekretaris Khalifah
Abu Jakfar Al Manshur.
Imam Yahya akhirnya menggunakan
uang itu seluruhnya untuk mencari ilmu, khususnya hadits. Hingga tidak
tersisa dari harta beliau kecuali sandal yang beliau pakai. (Tahdzib At
Tahdzib, 11/282)
Sibuk
Cari Ilmu Sampai Tak Sempat Makan
IMAM IBNU ABI HATIM saat tinggal di
Mesir selama 7 bulan tidak bisa makan dengan santai. Di siang beliau harus
keliling menuju para syaikh dan di malam harinya harus menyalin.
Sampai pada suatu saat Ibnu Abi
Hatim melihat ada ikan besar dijual, hingga akhirnya beliau tertarik untuk
membelinya. Namun setelah sampai di rumah beliau harus pergi lagi menuju ke
majelis para ulama, hingga ikan tersebut tidak tersentuh dan itu berlaku
sampai tiga hari dan hampir membusuk.
Akhirnya Imam Ibnu Abi Hatim
memakan ikan itu dalam keadaan belum terlalu matang, karena tidak memiliki
banyak waktu untuk membakarnya dan kemudian beliau pun mengatakan,”Ilmu
tidak bisa diperoleh dengan santai-santai”. (Tadzkirah Al Huffadz, 3/830)
Keliling
Mesir untuk Ralat Fatwa
IMAM IZZUDDIN BIN ABDISSALAM suatu
saat menyampaikan fatwa mengenai suatu hal, namun akhirnya beliau melihat
ada kesalahan dalam fatwanya. Hingga akhirnya beliau sendiri keliling di
Kairo dan Mesir seraya menyampaikan,”Barang siapa menerima fatwa dari di
fulan yang berisi demikian-demikian maka janganlah diamalkan karena ada
kesalahan”. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/214)
Demikianlah kehati-hatian dan
tanggung jawab ulama terdahulu terhadap ilmu yang disampaikan, hingga rela
meralatnya meski dengan berkeliling di wilayah yang cukup luas.
Suka
Duka Imam Al Bukhari Mencari Ilmu
IMAM AL BUKHARI suatu saat tidak
nampak bersama para pencatat hadits saat di Bashrah, hingga akhirnya mereka
mencari di mana Imam Bukhari berada.
Akhirnya para pencatat hadits
menemui Imam Al Bukhari berada di rumah dalam keadaan tidak memakai pakaian
karena tidak memiliki pakaian untuk dipakai serta tidak memiliki harta
benda sedikitpun.
Para pencatat hadits akhirnya
bersepakat untuk mengumpulkan uang dan membelikan baju untuk Imam Al
Bukhari, sehingga beliau bisa keluar rumah untuk kembali mencatat hadits.
(lihat, Tarikh Al Baghdad, 3/13)
Haji
Sunnah Saat Banyak Kaum Miskin
BISYR BIN AL HARITS suatu saat
didatangi oleh seorang laki-laki yang hendak melakukan ibadah haji lalu
laki-laki itu pun menyampaikan ,”Saya bertekad untuk melaksanakan ibadah
haji, apa pesan Anda?”
Bisyr bin Al Harits pun balik
bertanya,”Berapa biaya yang engkau perlukan untuk hal itu?” Laki-laki itu
pun menjawab,”Dua ribu dirham”.
Bisyr bin Al Harits kembali
bertanya,”Engkau beribadah haji dalam rangka agar menjadi orang zuhud,
rindu terhadap Baitullah atau untuk memperoleh ridha Allah?” Laki-laki itu
pun menjawab,”Untuk mencari ridha Allah.”
Bisyr bin Al Harits masih terus
bertanya,”Jika engkau memperoleh ridha Allah Ta’ala sedangkan engkau berada
di rumah apakah engkau mau?” Laki-laki itupun menjawab,”Ya. Saya mau.”
Akhirnya Bisyr Al Harits
menyampaikan,”Jika demikian, bagikan uang itu untuk sepuluh orang, hingga
orang yang berhutang bisa melunasi, orang faqir bisa memenuhi kebutuhan,
orang yang kesusahan bisa memenuhi hajat keluarganya serta agar para
penanggung anak yatim teringankan. Namun jika hatimu kuat berikan kepada
satu orang saja, sesungguhnya membantu orang-orang yang lemah lebih mulia
daripada seribu haji setalah haji fardhu”. (Ihya’ Ulumuddin, 11/2058)
Kebodohan
yang Berlapis
SAHL AT TUSTARI pernah ditanya mengenai
perkara yang lebih buruk daripada kebodohan. Beliau pun menjawab, “Ada,
yakni bodoh terhadap kebodohan”.
Imam Al Ghazali pun menjelaskan
bahwa apa yang dinyatakan oleh At Tustari tersebut adalah benar, karena
bodoh terhadap kebodohan akan menghalangi seorang untuk belajar. Bagaimana
ia akan belajar, sedangkan ia sudah menilai bahwa ia adalah orang yang
pandai? (Ihya’ Ulmuddin, 14/ 2696)
Bodoh terhadap kebodohan juga biasa
disebut oleh para ulama dengan istilah jahl murakkab, kebodohan yang
berlapis.
Enggan
Menghukum karena Membela Diri
UMAR BIN AL KHATHTHAB
radhiyallahu’anhu suatu saat mendapati seorang laki-laki sedang
mabuk-mabukan. Namun tatkala hendak menahannya, laki-laki yang meminum
khamr tersebut malah mengumpat Umar, hingga akhirnya beliau mengurungkan
niat untuk menangkapnya di waktu itu.
Apa yang dilakukan Umar tersebut
membuat orang yang berada di sekitar beliau bertanya,”Wahai Amirul
Mukminin, kenapa Anda tidak menangkapnya sedangkan ia sudah mengumpat
Anda?”
Umar pun menjawab,”Karena ia telah
membuat aku marah, kalau aku menghukumnya maka hal itu timbul karena
kemarahanku dan aku tidak akan mencambuk seorang Muslim dalam rangka
membela diri sendiri”. (Ihya’ Ulumuddin, 9/1665)
Tidak
Tinggalkan Amal karena Takut Tidak Ikhlas
ABU SAID Al KHARRAZ merupakan
seorang ulama zuhud memiliki seorang pembantu dari kalangan orang miskin.
Suatu saat Abu Sa’id menyampaikan kepada pembantunya masalah keikhlasan
dalam perbuatan. Namun setelah itu Abu Sa’id mendapati si pembantu berhenti
bekerja tidak tidak lagi membantu Abu Sa’id.
Akhirnya Abu Sa’id menemui
pembantunya dan bertanya mengapa ia berhenti bekerja. Si pembantu
menyampaikan bahwa ia tidak sanggup melaksanakan mayoritas pekerjaannya
dengan didasari keikhlasan, hingga akhirnya ia memilih untuk berhenti
bekerja.
Abu Sa’id pun menyampaikan,”Jangan
engkau lakukan yang demikian, sesungguhnya keikhlasan tidak memutuskan
muamalah, maka giatlah bekerja dan bersungguh-sungguhlah berusaha memperoleh
keikhlasan. Aku tidak mengatakan kepadamu agar meninggalkan pekerjaan,
namun aku mengatakan agar engkau bekerja dengan ikhlas”. (Ihya’ Ulumuddin,
14/2725)
Enggan
Bicara Kemiskinan Tatkala Memiliki Uang
ABU ABDULLAH BIN JALA' (206 H)
merupakan seorang ulama yang dikenal sifat wara'nya. Suatu saat ulama yang
lama tinggal di Ramallah Palestina ini ditanya mengenai kefaqiran. Namun,
beliau malah terdiam sesaat dan pergi. Tak lama lagi kemudian beliau datang
dan duduk lalu berbicara mengenai kafaqiran.
Abu Abdullah bin Jala' tiba-tiba
menghindar dari berbicara mengenai kefakiran karena beliau masih menyimpun
uang sebesar 4 daniq. Beliau merasa malu kepada Allah berbicara mengenai
hal itu sedangkan uang itu masih ada padanya. Baru setelah beliau
menginfaqkan uang tersebut, beliau berani berbicara mengenai kefaqiran.
(Thabaqat Al Auliya, hal. 86, karya Al Hafidz Ibnu Mulaqqin)
Shalat
Ditunggu, Tidak Menunggu
QADHI ALI BIN HUSAIN BIN AL HARB
saat tinggal di Mesir dalam rangkan menjalankan kewajiban sebagai qadhi,
beliau tinggal di rumah Ismail bin Ishaq di lingkungan masjid Ibnu Amrus.
Kemudian beliau pindah ke Dar Al Madaini, hingga tiap terdenganr adzan
beliau perlu keluar rumah untuk melaksanakan shalat. Terkadang Qadhi Ali
bin Husain sampai di masjid sedangkan imam sudah memulai shalat.
Akhirnya Qadhi mengirim surat
kepada imam masjid tersebut agar menunggu dirinya datang sebelum shalat
dimulai. Tatkala perisitwa itu berulang-ulang terjadi, akhirnya sang imam
menyampaikan kepada Qadhi ali bin Husain,”Shalat ditunggu, tidak menunggu”.
Qadhi pun memuji sang Imam dan
mendekatinya, serta memasukkannya di dalam jajaran saksi-saksi. (Al Wulat
wa Al Qadhat li Mishr, hal. 526)
Akhlak
yang Berbuah Keselamatan
Sekelompok ulama terlibat
permasalahan dengan penguasa, hingga sang penguasa memutuskan untuk
menghukum mati mereka. Di antara para ulama itu sendiri ada Abu Al Hasan An
Nuri (290 H), yang merupakan sahabat dari Imam Junaid.
Di saat eksekusi hendak di jalankan
Abu Hasan An Nuri maju ke algojo untuk meminta agar ia dibunuh terlebih
dahulu dibanding kawan-kawab beliau. Maka algojo itu pun terheran dan
bertanya kenapa ia melakukukan hal demikian. Abu Hasan pun menjawab,”Saya
ingin mengutamakan kehidupan saudara-saudara saya, meski hanya sebentar”.
Kabar mengenai itsar Abu Hasan An
Nuri akhirnya sampai ke telinga khalifah. Kemuliaan akhlak itulah yang
membuat khalifah membebaskan mereka semua, hingga selamat dari hukuman
mati. (Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 6/205)
Bisyr
Al Hafi Mencegah Kemungkaran
Suatu saat ada seorang laki-laki
yang berbadan kekar memegangi seorang wanita untuk melakukan perbuatan
tercela terhadap wanita itu. Laki-laki itu sendiri membawa sebilah pisau
dan menebas siapa saja yang hendak menolong wanita tersebut.
Saat yang bersamaan seorang ulama
zuhud di masa itu melintasi lokasi tersebut. Melihat peristiwa itu ulama
itu hanya mendekati seraya mengesekkan pundak beliau ke pundak laki-laki
itu. Tiba-tiba saja badan laki-laki itu lemas dan terjatuh, hingga
perempuan itu lepas. Ulama itu sendiri berlalu pergi dari tempat itu.
Melihat keringat orang itu
bercucuran mereka yang ada di sekitarnya bertanya mengenai apa yang
terjadi. Laki-laki itu menyampaikan bahwa ulama itu berbisik
kepadanya,”Sesungguhnya Allah menyaksikanmu dan apa yang engkau perbuat”,
hingga ia terjatuh karena kewibawaan ulama tersebut. Kemudian ia pun
bertanya mengenai ulama tersebut. Mereka yang hadir di tempat itu pun
menjawab,”Ia adalah Bisyr Al Hafi”. (Ihya’ Ulumuddin, 7/1237)
Terkadang mencegah kemungkaran
dengan cara yang halus justru bisa sukses dibanding dengan cara yang kasar.
Tolak
Pemberian Penguasa
MUHAMMAD BIN SHALIH suatu saat
mengunjungi Hammad bin Salamah di rumah beliau. Muhammad Bin Shalih melihat
Hammad duduk di atas sebuah tikar dan membaca Al Qur`an. Di waktu bersamaan
datanglah Muhammad bin Sulaiman, penguasa di waktu itu. Kemudian ia
menyampaikan kepada Hammad bin Salamah,”Jika aku melihatmu, maka aku merasa
takut”. Kemudian Hammad pun menjawab,”Karena Rasulullah Shalallahhu Alaihi
Wasallam bersabda,’Sesungguhnya seorang alim jika dengan ilmunya ia
menginginkan ridha Allah, maka Allah menjadikan ia berwibawa bagi segala
sesuatu. Namun jika ia ingin mengumpulkan kekayaan maka Allah menjadikan
segala sesuatu berwibawa baginya’”. (HR. Abu As Syaikh)
Kemudian Muhammad bin Sulaiman
menyodorkan 40 ribu dirham untuk Hammad dan menyampaikan,”Ambillah ini
untuk membantu kehidupanmu”. Hammad pun menjawab,”Kembalikan saja ia kepada
orang-orang yang engkau dzalimi”. Muhammad bin Sulaiman pun membalas,”Demi
Allah, aku tidak memberi untukmu kecuali dari harta warisan”. Hammad lalu
menjawab,”Aku tidak membutuhkannya”. Muhammad bin Sulaiman belum
menyerah,”Engkau bisa menerima dan engkau sedekahkan”. Hammad pun
menjawab,”Meski aku bakal membagikannya dengan adil namun, jika ada yang
tidak memperoleh rizki darinya dia akan menuduh aku tidak berbuat pilih
kasih, hingga ia terjerumus dalam dosa, maka jauhkan dirham itu dariku”.
(Ihya’ Ulmuddin, 5/902)
Cara
Ulama Cari Halal
IBRAHIM BIN ADHAM memilih safar dan
tinggal di Syam selama 24 tahun guna mencari rizki yang benar-benar halal.
Di Syam beliau tinggal di pegunungan Libanon untuk memperoleh makanan dari
buah-buahan dan tumbuhan yang ada di wilayah itu yang belum menjadi hak
milik seorangpun. (lihat, Tanbih Al Mughtarrin, hal. 123)
Para ulama terdahulu melakukan safar
tidak hanya untuk haji dan mencari ilmu, namun juga untuk mencari
penghidupan yang halal.
Mengajarkan
Ilmu Sampai Akhir Hayat
IBNU AS SYAHNAH adalah seorang
hafidz hadist yang bermadzhab Hanafi yang memiliki umur lebih dari 100
tahun dan masih mampu melaksanakan puasa Ramadhan dan 6 hari setelah Syawal
di usia 100 tahun.
Sehari sebelum wafatnya ulama
Damaskus ini, murid beliau Muhibbuddin bin Muhib membaca Shahih Al Bukhari
di hadapan beliau. Kemudian di keesokan harinya di waktu dhuha beliau
kembali menyimak As Shahih dan wafat sesaat sebelum dhuhur tahun 730 H.
(Dzail Tadzkirah Al Huffadz, hal. 134-135)
Mengajarkan
Ilmu Sampai Akhir Hayat
IBNU AS SYAHNAH adalah seorang
hafidz hadist yang bermadzhab Hanafi yang memiliki umur lebih dari 100
tahun dan masih mampu melaksanakan puasa Ramadhan dan 6 hari setelah Syawal
di usia 100 tahun.
Sehari sebelum wafatnya ulama
Damaskus ini, murid beliau Muhibbuddin bin Muhib membaca Shahih Al Bukhari
di hadapan beliau. Kemudian di keesokan harinya di waktu dhuha beliau
kembali menyimak As Shahih dan wafat sesaat sebelum dhuhur tahun 730 H.
(Dzail Tadzkirah Al Huffadz, hal. 134-135)
40
Tahun Menyesali Perbuatan
HAMSY BIN AL HASAN Rahimahullah
selama 40 tahun menangisi perbuatannya, dimana beliau pernah membersihkan
tangan dengan tanah tetangga tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dan beliau
mengatakan,”Jika salah satu dari kalian menyangka bahwa Allah telah
mengampuni dosanya ketika ia diminta pertanggungjawaban. Maka hal itu
bagian dari tipuan”. (Tanbih Al Mughtarrin, hal.19)
Tidak
Rela Jika Ibu Dirawat Pembantu
HAMSY BIN AL HASAN rajin melayani
ibunya dan membersihkan kotoran yang berada di kakinya. Kemudian Sulaiman
bin Ali mengirim kepadanya sebuah kantung menyampaikan pesan,”Belilah
dengannya pembantu (budak) untuk melayani ibumu”.
Hamsy bin Al Hasan pun menolaknya
seraya menyampaikan,”Sesungguhnya ibukku tidak ridha jika orang lain
merawatku di waktu aku masih kecil, maka demikian pula aku tidak ridha jika
ada orang lain yang melayaninya sedangkan aku sudah besar”. (Tanbih Al
Mughtarrin, hal. 30)
Hal yang terjadi di zaman ini malah
sebaliknya, ibu menyerahkan anak kepada pembantu di waktu kecil hingga anak
menyerahkan ibunya di masa tua ke panti jompo.
Tatkala
Allah Menghendaki Kebaikan kepada Hamba
QADHI TAJUDDIN suatu saat mengalami
kegelisahan, namun beliau sendiri tidak mengetahui sebabnya. Segala usaha
dilakukan untuk menghilangkan perasaan gelisah itu, namun tidak ada
hasilnya. Akhirnya beliau memutuskan mengendarai bighal dan melepas
kendalinya, hingga hewan tersebut berjalan tanpa kendali tidak tentu arah.
Sampai akhirnya bighal yang
dikendarai ulama Mesir penganut madzhab As Syafi’i itu sampai di suatu
tempat yang sama sekali asing. Di tempat itu terdapat sebuah rumah tanpa
candela. Bighal itu pun mendekati bengunan itu dan mencoba mendorong
pintunya.
Dari dalam rumah terdengar
suara,”Saya telanjang, kelaparan dan tidak mampu berdiri, tolonglah saya…”
Akhirnya Qadhi Tajuddin membuka pintu dan menemui laki-laki dengan kondisi
sebagaimana yang dikatakan. Beliau pun segera memberikan pertolongan.
Setelah kejadian itu, dada beliau
menjadi terasa lapang dan kegelisahan itu pun hilang. Beliau sadar bahwa
Allah Ta’ala menghendaki kebaikan padanya. (Thabaqat Al Wustha yang dinukil
dalam ta’liq Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 323/8)
Demikianlah saat Allah mengarahkan
kebaikan kepada seorang hamba sekaligus memberi pertolongan kepada hamba
lainnya, dengan cara yang tidak pernah disangka-sangka.
Rela
Tidak Bertemu Saudara, Tunggu Selesai Baca Hadits
AL HAFIDZ MUHAMMAD BIN THAHIR AL
MAQDISI merupakan ulama hadits yang mengikuti madzhab Adz Dzahiri yang
wafat pada tahun 507 H. Suatu saat beliau hendak membaca satu juz hadits
kepada Abu Ishaq Al Habbal di Mesir namun di saat bersamaan datang
kepadanya seorang laki-laki yang berbisik kepadanya bahwa saudaranya telah
tiba dari Syam setelah pasukan Turki masuk Bait Al Maqdis dan membunuh
banyak orang.
Setelah memperoleh kabar itu Al
Maqdisi kesulitan berkonsentrasi hingga terjadi beberapa kekeliruan saat
membaca hadits di hadapan Abu Ishaq. Hingga akhirnya Abu Ishaq
bertanya,”Ada apa denganmu?” Al Maqdisi pun menyampaikan,”Baik-baik saja”.
Abu Ishaq kembali bertanya,”Engkau harus memberi tahu apa yang dibisikkan
oleh laki-laki itu”. Akhirnya Al Maqdisi pun menyampaikan kabar yang ia
terima.
Setelah mengatahui apa yang terjadi
kepada muridnya itu, Abu Ishaq bertanya,”Berapa lama engkau tidak bertemu
dengan saudaramu?” Al Maqdisi pun menjawab,”Bertahun-tahun”. Abu Ishaq
kembali bertanya,”Kenapa engkau tidak mengunjunginya?” Al Maqdisi pun
menjawab,”Saya belum selesai membaca satu juz ini”.
Abu Ishaq pun menyampaikan,”Betapa
besar semangat kalian wahai ashab al hadits! Telah selesai majelis ini dan
shalawat kepada Nabi Muhammad!” (Lisan Al Mizan, 5/208)
Enggan
Menjual Buku Meski Lapar
IBRAHIM AL HARBI merupakan seorang
faqih dan hafidz hadits yang dikenal sifat zuhudnya. Suatu saat beliau
kehabisan makanan, hingga istri beliau menyampaikan,”Taruhlah engkau dan
aku bisa bersabar, namun begaimana dengan dua anak kita? Mereka tidak bisa
sabar seperti kita. Maka, berikan sebagian kitabmu untuk aku jual atau aku
gadaikan!”
Mendengar ucapan sang istri Ibrahim
Al Harbi terkejut. Karena kecintaan beliau terhadap buku cukup besar, dan
beliau menolaknya,”Hutanglah untuk dua anak itu dan berikan kesempatan
kepadaku hingga nanti malam”.
Di malam harinya di saat Ibrahim Al
Harbi sibuk mengkaji kitab yang beliau miliki seorang mengetuk pintu, hingga
ulama yang selama 30 tahun hanya mengkonsumsi dua roti untuk setiap harinya
ini bertanya,”Siapa?” Yang mengetuk pun menjawab,”Tetangga”. Setelah beliau
mempersilahkan untuk masuk, si tamu menyampaikan,”Tolong matikan lampu
terdahulu, dan saya baru akan masuk”.
Setelah Ibrahim mematikan lampu,
tamu itu pun meletakkan sebuah bungkusan besar dan menyampaikan,”Kami telah
membuat makanan untuk anak-anak kami, maka aku ingin Anda dan 2 anak Anda
memperoleh bagian darinya”. Tamu itu juga meletakakkan bungkusan
lain,”Gunakan ini juga untuk keperluanmu.”
Setelah itu, tamu itu pun pergi
dari rumah Ibrahim Al Harbi sedangkan beliau sendiri tidak tahu siapa ia
sebenarnya. Akhirnya Ibrahim Al Harbi memanggil istrinya untuk menyalakan
lampu, dan mereka menyaksikan ada sebuah bungkusan besar yang berisi
berbagai macam makanan serta kantung yang berisi 1000 dinar. Ibrahim Al
Harbi pun segera membangunkan kedua anaknya untuk makan dan segera membayar
hutangnya di keesikan harinya.
Di pagi harinya saat Ibrahim Al
Harbi duduk di depan rumah beliau menyaksikan ada seekor onta yang menarik
dua akor unta yang mengangkut kertas Khurasan. Saat si penunggang onta
bertanya kepada beliau mengenai rumah Ibrahim Al Harbi, hingga beliau pun
menjawab,”Saya Ibrahim Al Harbi”. Akhirnya penunggang itu melepas dua onta
yang dibawanya seraya menyampaikan,”Dua onta dan yang diangkutnya ini
diberikan kepada Anda oleh seorang penduduk Khurasan”. Saat Ibrahim
bertanya mengenai identitas pemberi, laki-laki itu manyampaikan,”Ia meminta
saya bersumpah untuk tidak menunjukkan identitasnya”. Akhirnya Ibrahim Al
Harbi mengambil kedua onta itu dan mendoakan pengirim dan pembawanya.
(Tarikh Al Baghad, 6/31)
Tidak
Memupuskan Harapan Anjing
IMAM AHMAD suatu saat memperoleh
kabar bahwa ada seseorang di wilayah Wara’ An Nahar (Asia Tengah) yang
memiliki hadits tsulastiyat (yakni hadits yang antara orang yang
mengeluarkan dan Rasulullah ada tiga perawi). Maka Imam Ahmad melakukan
perjalanan untuk menemui orang tersebut.
Akhirnya Imam Ahmad bertemu dengan
seorang syeikh yang sedang memberi makan seekor anjing. Imam Ahmad pun
menyampaikan salam dan dibalas oleh syeikh tersebut, namun ia kembali sibuk
memberikan makanan kepada anjing.
Setelah syeikh itu selesai memberi
makanan anjing, Imam Ahmad pun menyampaikan,”Sepertinya Anda lebih
memperhatikan anjing tersebut daripada saya?” Syeikh tersebut
menjawab,”Iya, telah sampai kepadaku sebuah hadits dari Abu Az Zanad dari
Al A’raj dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa memutuskan harapan siapa yang
menaruh harapan kepadanya, maka Allah akan memutuskan harapannya dari-Nya
di hari kiamat dan dia tidak masuk surga.’ Dan negeri kami ini bukanlah
negeri yang dihuni oleh anjing, sedangkan anjing ini datang kepadaku, maka
aku takut memupuskan harapannya.
Imam Ahmad pun menyatakan,”Hadits
tersebut cukup bagi saya”. Lalu Beliau pun kembali pulang. (Ghidza’ Al
Albab, 2/60).
Para ulama berusaha tidak
memutuskan harapan kepada siapa yang mengharap padanya, meski hanya kepada
seekor anjing.
Rela
Menginap untuk Peroleh Tempat di Majelis
JAKFAR BIN DURUSTUYAH merupakan
salah satu murid dari Imam Ali Ibnu Al Madini. Beliau mengisahkan mengenai
mujahadah para pencari ilmu terdahulu,”Kami sudah mengambil tempat di
majelis Ali Ibnu Al Madini saat Ashar untuk majelis esok harinya. Kami
menempati posisi kami sepanjang malam karena takut tidak memperoleh tempat
untuk majelis besoknya. (Al Jami’ Akhlaq Ar Rawi wa Adab As Sami’, 2/138)
Kesabaran
Imam As Syafi’i
IMAM AS SYAFI’I rahimahullah Ta’ala
pernah diuji dengan sakit bawasir, yang terus-menerus mengucurkan darah
siang dan malam, hingga ketika beliau duduk darah terus menetes, sampai
suatu saat beliau menyatakan,”Ya Allah jika dengan ujian ini Engkau ridha,
maka tambahkan sakit ini padaku”.
Pernyataan Imam As Syaf’i tersebut
akhirnya sampai ke telinga guru beliau Muslim bin Khalid Az Zanji dan
beliau pun menyampaikan,”Apa ini wahai Muhammad? Mintalah kepada Allah
kesembuhan. Sesungguhnya engkau dan aku bukanlah rijalul bala”. (Tanbih Al
Mughtarrin, hal. 18)
Dari kisah diatas, diketahui betapa
besarnya kesabaran para ulama ketika mereka tertimpa cobaan. Bahkan mereka
rela dengan rasa sakit jika dengan hal itu Allah meridhai. Kisah di atas
juga mencerminkan betapa para ulama memiliki sifat tawadhu’ dan mereka
merasa tidak layak masuk golongan rijalul bala’, yakni orang-orang yang
terus-menerus memperoleh ujian Allah namun tetap bersabar dengan ujian itu
sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan rasul.
Menjaga
Sandal Ulama
QADHI MUHAMMAD BIN YUSUF merupakan
asisten Qadhi Ismail bin Ishaq ulama yang menyebarkan madzhab Maliki di
Iraq. Suatu saat Ibrahim Al Harbi seorang ulama ahli ibadah Iraq
mengunjungi Qadhi Ismail bin Ishaq di rumah beliau. Tatkala Ibrahim Al
Harbi melepas kedua sandal beliau, Qadhi Muhammad bin Yusuf asisten Qadhi
Ismail membungkus sandal itu dengan sapu tangan dan menyimpan di saku
beliau.
Ibrahim Al Harbi dan Qadhi Ismail
pun membahas ilmu hingga para hadirin merasa takjub dengan keduanya. Sampai
akhirnya Ibrahim Al Harbi berdiri pamit, dan mencari-cari sandal beliau.
Qadhi Muhammad bin Yusuf pun datang dan mengeluarkan kedua sandal Ibrahim
Al Harbi dari saku beliau yang terbungkus dengan sapu tangan. Ibrahim Al
Harbi pun menyampaikan,”Semoga Allah mengampuni engkau seperti engkau
memuliakan ilmu”.
Setelah Qadhi Muhammad bin Yusuf
wafat, ada yang bermimpi bertemu dengan beliau hingga bertanya,”Bagaimana
keadaan Anda?” Qadhi Muhammad bin Yusuf menyampaikan,”Dikabulkan doa orang
shalih Ibrahim Al Harbi hingga aku diampuni”. (Tarikh Al Baghdad,3/404)
Dari kisah di atas, bisa
disimpulkan betapa ulama terdahulu amat memuliakan ulama. Bukan karena
pribadi ulama itu namun karena ilmu yang dimilki, hingga memuliakan mereka
sama dengan memuliakan ilmu.*
Ulama
Manfaatkan Delay Penerbangan
AL MUHADDITS ABDUL FATTAH ABU
GHUDDAH setelah mengunjungi para guru beliau di Pakistan dan berencana
terbang ke Syiria untuk pulang, beliau diberi hadiah oleh Mufti Pakistan
Syeikh Muhammad Syafi’ sebuah buku yang berjudul Nuzul Al Masih karya
muhaddits madzhab Hanafi Syeikh Anwar Syah Al Kasymiri.
Saat di bandara Karachi disampaikan
pengumuman bahwa pesawat mengalamai delay selama dua jam. Meski demikian
para ulama Pakistan yang mengantar Syeikh Abu Ghuddah enggan untuk kembali
dan memilih menemani beliau hingga waktu penerbangan tiba.
Di kesempatan berharga itu, Syeikh
Abu Ghuddan mengeluarkan kitab Nuzul Al Masih dan meminta kepada para ulama
yang ikut serta dalam rombongan ini menyimaknya. Akhirnya para ulama besar
yang terdiri dari Syeikh Muhammad Syafi’, Al Allamah Yusuf Al Banuri, Al Allamah
Althifullah Al Kabir, Al Allamah Nur Ahmad Amin serta Syaikh Abu Ghuddah
sendiri membuat halaqah di salah satu sudut ruangan di bandara.
Dalam halaqah tersebut, Syeikh Abu
Ghuddah membaca maqadimah Nuzul Masih dan 3 hadits dari kitab itu, kemudian
dilanjutkan Syeikh Yusuf Al Banuri melanjutkan dengan membaca 5 hadits dan
para ulama lain yang hadir juga menyampaikan beberapa keterangan. Maka
mendadak lahirlah sebuah majelis ilmu yang "hidup" di tempat itu.
Para ulama yang hadir akhirnya memberikan ijazah periwayatan kitab karya
ulama Kasymir itu kepada Syeikh Abu Ghuddah. Majelis itu berakhir sampai
waktu berangkat pesawat tiba. (lihat, muaqadimah Syeikh Abu Ghuddah dalam
Nuzul Al Masih, hal. 4 dan5)
Imam
Ahmad Merasa Tidak Pantas Bicara tentang Wara'
IMAM AHMAD BIN HANBAL suatu saat
ditanya mengenai masalah wara’ (sifat kehati-hatian), maka beliau pun
menjawab,”Aku beristighfar kepada Allah. Tidak halal bagiku untuk berbicara
masalah wara’ sedangkan aku makan dari pasar Baghdad. Bisyr bin Al Harits
layak untuk memberikan jawaban kepadamu mengenai hal itu, karena ia tidak
makan dari pasar Baghdad”. (Al Bidayah wa An Nihaya, 10/297)
Imam Ahmad seorang imam besar masih
menganggap bahwa diri beliau tidak layak bicara masalah wara’ dan
menyerahkan jawaban kepada Bisyr bin Al Harits seorang ahli ibadah Baghdad.
Hal itu menunjukkan bagaimana para ulama terdahulu memiliki sifat tawadhu’
dan masing-masing bidang ilmu memiliki pakar.
Demi
Ilmu Rela Menyamar Pengemis
IMAM IBNU MAKHLAD AL ANDULUSI
jauh-jauh dari Andalusia (Spanyol) menuju Baghdad untuk menuntut ilmu
kepada Imam Ahmad. Namun, menjelang masuk wilayah Baghdad beliau memperolah
kabar bahwa penguasa Baghdad yang menganut Mu’tazilah di waktu itu melarang
Imam Ahmad untuk menyampaikan ilmu kepada siapa pun.
Akhirnya diam-diam Ibnu Makhlad
menemui Imam Ahmad di rumah beliau di Baghdad dan menyampaikan,”Saya
Abdullah dan ini adalah kesempatan pertama masuk ke Baghdad. Saya minta
izin untuk mendatangi Anda dengan memakai pakaian pengemis dan saya
mengatakan di pintu sebagaimana apa yang mereka katakan. Jika Anda
menyampaikan satu hadits saja dalam satu hari, maka hal itu cukup bagi
saya”. Imam Ahmad menyetujui usulan itu, dengan syarat agar Ibnu Makhlad tidak
menampakkan diri di majelis hadits dan berkumpul bersama para pencari
hadits. Syarat itu pun disanggupi oleh Ibnu Makhlad.
Akhirnya Ibnu Makhlad berdandan
seperti pengemis dengan mengenaikan kain khirqah di kepala yang merupakan
simbol kefakiran serta berjalan dengan tongkat, sedangkan pena dan kertas
disembunyikan di balik baju. Sampai di depan pintu rumah Imam Ahmad beliau
berseru,”Upah, semoga Allah merahmati Anda”, sebagaimana yang dikatakan
oleh para pengemis. Imam Ahmad pun keluar dan menutup pintu lalu
menyampaikan satu-dua hadits dari dalam rumah.
Ibnu Makhlad pun menjalani belajar
dengan menyamar menjadi pengemis hingga hukuman terhadap Imam Ahmad
berakhir karena meninggalnya sang penguasa dan Ibnu Mahlad memperoleh 300
hadits dengan cara belajar yang demikian. (lihat, Al Minhaj Al Ahmad fi
Tarajim Ashab Al Ahmad, 1/177).
Dosa
Halangi Qiyam Lail
IMAM ATS TSAURI menyampaikan bahwa
beliau selama 5 bulan tidak mampu mengerjakan qiyam lail. Menurut At Tsauri
hal itu disebabkan karena dosa yang beliau kerjakan.
Ketika Imam At Tsauri ditanya
mengenai dosa itu beliau menjawab,”Aku melihat seorang laki-laki menangis
sedangkan aku berkata dalam hati bahwa laki-laki ini menangis dalam rangka
riya’”. (Ihya Ulumuddin, 4/239).
Dari kisah di atas bisa diambil
pelajaran bahwa perbuat dosa membuat seorang berat melakukan qiyam. Kisah
itu juga menunjukkan betapa pekanya Imam At Tsauri terhadap amalan hati.
Karena amat pekanya sampai beliau memandang dosa su'udzan sabagai sebuah perkara
yang amat besar, hingga beliau memandang bahwa hal itulah yang menyebabkan
beliau tidak mempu melaksanakan qiyam.
Manusia
Hanya Melihat Dhahir
IMAM ABU UTSAMAN menyampaikan
nasihat kepada Abu Hafsh,”Jika engkau satu majelis dengan manusia maka
jadilah engkau sebagai juru peringat terhadap dirimu dan hatimu sendiri.
Janganlah engkau terkecoh dengan berkumpulnya manusia untukmu, sesungguhnya
mereka hanya melihat yang nampak darimu, sedangkan Allah mengawasi
batinmu”. (Ihya’ Ulumuddin, 15/2744)
Para ulama terdahulu selalu
malakukan muraqabah, hingga terus-menerus merasa bahwa Allah selalu
mengawasi apa yang dilakukan, hingga tidak terkecoh dengan pandangan
manusia terhadapnya.
Hormat
Guru, dari Ashar hingga Maghrib Berdiri
IMAM YAHYA BIN AL QATHTHAN setelah
melaksanakan shalat ashar bersandar di bawah menara masjid beliau,
sedangkan di sekitar beliau ada Ali bin Al Madini, As Syadzakuni, Amru bin
Ali, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main serta ulama lainnya yang ingin
memperoleh hadits. Mereka berdiri hingga menjelang shalat maghrib.
Imam Yahya bin Al Qaththan tidak
meminta mereka untuk duduk, dan mereka pun enggan untuk duduk dalam rangka
menghormati guru. (Al Jami’ Al Ahlaq Ar Rawi wa Adab As Sami’, hal. 78).
Demikianlah cara ulama terdahulu
menghormati guru mereka, mereka tetap memilih berdiri meski dalam waktu
yang cukup lama, sebelum sang guru mempersilahkan mereka duduk.
Ulama,
Orang-orang Pilihan
IMAM ABU DAWUD ATH THAYALISI suatu
saat mendatangi masjid dimana Imam Syu’bah menyampaikan hadits. Masjid itu
sendiri dipenuhi oleh para pencari ilmu yang ingin menyimak hadits dari
Syu’bah.
Syu’bah pun keluar untuk menemui
Imam Abu Dawud dan menyampaikan,”Apakah Anda melihat dari para pencari ilmu
itu semuanya bakal menjadi muhaddits?” Imam Abu Dawud pun menjawab,”Tidak”.
Imam Syu’bah pun menanggapi,”Anda benar. Namun apakah tidak bisa lima dari
mereka menjadi muhaddits?” Imam Abu Dawud pun menjawab,”Tidak, meski hanya
lima”.
Imam Abu Dawud pun
menyampaikan,”Mereka di waktu kecil mencatat hadits namun ketika dewasa
mereka meninggalkannya. Dan dari mereka di waktu kecil juga mencatat
hadits, namun di waktu dewasa tersibukkan dengan perkara-perkara yang
merusak".
Dan apa yang disampaikan Imam Abu
Dawud pun benar, bahwa para pencari ilmu di majelis Syu’bah tidak ada dari
mereka lima orang yang menjadi muhaddits. (Jami’ Ahlak Ar Rawi wa Adab As
Sami’, hal. 31)
Betapa banyak pencari ilmu di dunia
ini, namun amat sedkiti dari mereka yang mampu beristiqamah dalam menuntut
ilmu, hingga amat sedikut pula yang menjadi ulama. Jika hal itu terjadi
pada murid-murid para ulama besar terdahulu, bagaimana dengan para pencari
ilmu di akhir zaman ini?
Keajaiban
Sabar
FATH AL MAUSHILI memiliki seorang
istri yang dikenal dengan kesebarannya. Suatu saat istri beliau terjatuh
dan kuku jarinya pecah hingga menyebabkan luka, namun ia malah tertawa
dengan keadaan seperti itu.
Hal itu yang menyebabkan orang yang
disekitarnya bertanya terheran-heran,”Apakah engkau tidak merasa sakit?!”
Istri Fath Al Maushili pun
menjawab,”Sesungguhnya nikmatnya pahala karena luka ini menghilangkan rasa
sakitnya dari hatiku.” (Ihya’ Ulumuddin, 12/2189)
Demikianlah keajaiaban amalan sabar
di saat tertimpa musibah, ia akan meringankan musibah tersebut. Berbeda
keadaanya jika suatu musibah dihadapi dengan tanpa kesabaran, hal justru
akan membuat musibah terasa lebih berat.
Berpakaian
karena Allah
IMAM AT TSAURI suatu saat didatangi
seorang laki-laki yang mengetahui bahwa baju yang dikenakan Imam At Tsauri
taerbalik. Laki-laki tersebut memberitahukan keadaan itu kepada Imam At
Tsauri dan mencoba untuk membenarkan pakaian Imam At Tsauri.
Menyaksikan hal itu, Imam At Tsauri
menahan tangan si lelaki, hingga lelaki itu bertanya kenapa beliau
melakukan hal itu. Imam At Tsauri pun menjawab,”Sesungguhnya aku
mengenakannya karena Allah, maka aku tidak akan memperbaikinya kecuali juga
karena Allah.” (Ihya’ Ulumuddin, 14/2702).
Para ulama terdahulu meski
mengerjakan hal-hal yang mubah namun mereka selalu meniatkan hal itu untuk
beribadah karena Allah Ta’ala dan selalu menjaga niat tersebut.
Lebih
Mencintai Shalat daripada Kuda
IMAM RABI’ BIN KHUTSAIM suatu saat
sedang melaksanaakan shalat, sedangkan di saat yang sama ada seorang yang
mencuri kuda beliau yang seharga 20 ribu dan beliau menyaksikannya, namun
beliu tetap tidak memutuskan shalatnya.
Setelah persitiwa itu, sekelompok
kaum mendatangi Imam Rabi’ dan bertanya kenapa beliau tidak melarang
pencuri itu melakukan pencurian dan membairkannya melepas tali kudanya yang
ditambatkan. Imam Rabi’ pun menjawab,”Shalat lebih aku cintai daripada
melakukan hal itu”.
Akhirnya mereka yang hadir
mendoakan keburukan kepada si pencuri, namun Imam Rabi’
melarangnya,”Janganlah kalian lakukan itu dan berkatalah kalian dengan
perkataan yang baik. Sesungguhnya aku telah menjadikan kudaku sebagai
sedekah untuk pencuri tersebut.” (Ihya’ Ulumuddin, 14/2550).
Siapakah orang di zaman ini yang
mampu meneladani sifat para ulama shalih terdahulu seperti Imam Rabi’ bin
Khutsaim ini?
Tips
Deteksi Kesombongan
ABDULLAH BIN SALAM suatu saat
mengangkat sendiri ikatan kayu bakar di atas punggung beliau, padahal
beliau adalah seorang ulama besar. Hal itu mengundang orang yang
menyaksikannya bertanya,”Bukankah pembantu dan anak Anda bisa
melakukannya?”
Abdullah bin Salam pun
menjawab,”Benar, namun aku ingin menguji diriku, apakah hatiku merasa berat
dengan pekerjaan ini atau tidak.”
Abdullah bin Salam tidak
mencukupkan hanya dengan berazam untuk meninggalkan rasa gengsi dan
sombong, sebelum beliau membuktikan sendiri apakah benar hatinya tidak
berubah keadaan tatkalah melakukan pekerjaan yang dianggap oleh banyak
manusia sebagai pekerjaan “rendahan”.
Itas dasar itu, Imam Al Ghazali
memberi tips untuk mengetahui apakah diri kita sombong atau tidak, yakni
dengan menyengaja membawa barang belanjaan dari pasar menuju rumah. Jika seseorang
tidak merasa berat karena ada manusia yang menyaksikannya maka ia
terjangkit riya’. Namun jika ia merasa berat meski manusia tidak menyaksikannya maka
ia sombong. (lihat, Ihya Ulumuddin, 11/1986)
Rasa
Takut Imam Hasan Bashri
IMAM HASAN AL BASHRI ditanya oleh
seseorang,”Bagaimana kabar Anda?” Imam Hasan Al Bashri pun tersenyum dan
menjawab,”Engkau bertanya kepadaku mengenai keadaanku? Bagaimana menurutmu
jika sekelompok manusia menaiki sebuah bahtera hingga di tengah-tengah
samudera yang luas bahtera itu pecah dan masing-masing memegang kayu yang
tersisa. Bagaimana menurutmu kondisi mereka?”
Laki-laki itu pun menjawab,”Mereka
tentu amat ketakutan sekali.” Imam
Hasan Al Bashri pun menanggapi,”Keadaan saya lebih dari itu.” (Ihya’
Ulumuddin, 13/2386)
Shalih
Tapi Merasa Sebagai Ahli Maksiat
MUSA BIN QASIM mengisahkan,”Saat
itu di wilayah kami terjadi gempa dan angin yang merusak. Maka aku pergi
menuju Imam Muhammad bin Muqatil dan meminta agar beliau mendoakan
keselamatan kami.”
Mendengar permintan Musa bin Qasim,
Imam Muqatil pun tiba-tiba menangis dan mengatakan,”Seandainya saja aku
tidak menjadi sebab kecelakaan kalian…”
Setelah bencana reda Musa bin Qasim
bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau
menyampaikan,”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengangkat bencana dari
kalian karena doa Muhammad bin Muqatil.” (Ihya Ulumuddin, 11/1944)
Para shalihin terdahulu selalu
menilai bahwa dirinya bukan orang yang shalih dan sebagai ahli maksiyat.
Berbeda dengan zaman ini banyak orang yang sudah merasa shalih dengan
amalan yang ia kerjakan.*
Imam
Hasan Al Bashri Menggibah Diri Sendiri
IMAM HASAN AL BASHRI sering
mengghibah diri sendiri dengan mengatakan,”Engkau berkata-kata dengan
perkataan orang-orang shalih yang selalu berqunut dan beribadah, sedangkan
engkau melakukan perbuatan orang-orang fasiq, munafiq dan mereka yang suka
pamer!” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)
Demikianlah sifat orang yang
benar-benar shalih, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang shalih.
Saat
Imam Thawus Tinggalkan Majelis Hadits
IMAM HASAN AL BASHRI suatu saat
melalui halaqah hadits Imam At Thawus di Masjid Al Haram yang dihadiri oleh
banyak pencari ilmu. Akhirnya Imam Hasan Bashri mendekat dan berbisik di
telinga Imam Thawus,”Jika hatimu merasa ta’ajub terhadap dirimu sendiri
maka tinggalkan majelis ini.” Akhirnya Imam Thawus pun segera berdiri
meninggalkan majelis. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)
Banyaknya murid dan pengikut bisa
menyebabkan seorang amat mudah tergelincir hatinya, hingga merasa takjub
dengan diri sendiri. Dan para ulama terdahulu amat menjaga hati dan selalu
waspada dengan kelengahannya, sehingga ketika mereka sadar bahwa ada amalan
hati yang menyimpang maka mereka segera bertindak untuk membersihkannya.
18
Tahun Belajar Adab
IMAM IBNU QASIM salah satu murid
senior Imam Malik menyatakan,”Aku telah mengabdi kepada Imam Malik bin Anas
selama 20 tahun. Dari masa itu, 18 tahun aku mempelajari adab sedangkan
sisanya 2 tahun untuk belajar ilmu". (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 12)
Demikianlah para ulama terdahulu,
amat mementingkan belajar ahlak, bahkan menempuhnya dalam waktu yang cukup
lama.
Umar
bin Abdul Aziz dan Putra-Putranya
MASLAMAH BIN ABDIL MULK suatu saat
menjeguk Umar bin Abdil Aziz saat beliau hendak wafat. Maslaha
menyampaikan,”Wahai Amir Mukminin, Anda melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan seorangpun sebelumnya. Anda tidak meninggalkan kepada keturunan
Anda dinar dan dirham.” Dan saat itu putra Umar bin Abdul aziz berjumlah 13
orang.
Maka Umar bin Abdul Aziz meminta
agar Maslamah mendatangkan putra-putra beliau untuk duduk di sekitarnya,
maka Maslamah pun melakukannya.
Kemudian Umar bin Abdul Aziz
menjawab pernyataan Maslamah,”Adapun pernyataanmu bahwa aku tidak
meninggalkan kepada mereka dinar dan dirham, maka sesungguhnya aku tidak
menghalangi hak mereka namun juga tidak memberikan kepada mereka hak orang
lain. Sesungguhnya putraku ada dua kemungkinan, bisa ia taat kepada Allah
maka Allah cukup baginya, karena Allah menjadi penolong orang-orang shalih.
Bisa juga ia bermaksiat kepada Allah, maka aku tidak menghiraukan apa yang
bakal menimpanya.” (Ihya Ulumuddin, 10/1759).
Siapa
Orang yang Ikhlas?
YAHYA BIN MUADZ suatu saat ditanya
kapan seseorang menjadi orang yang ikhlas? Beliau pun menjelaskan bahwa
seorang disebut mukhlis kalau perilakunya seperti perilaku bayi yang tidak
menghiraukan siapa yang memujinya dan siapa yang mencelanya dari kalangan
manusia. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 8)
Para ulama lainnya juga menyebutkan
hal yang serupa, bahwa seseorang disebut telah memperoleh derajat mukhlis
jika pujian dan celaan manusia memiliki derajat yang sama dalam pandangnya.
Jangan
Meremehkan Hadits Walau Ia Mursal
IMAM ALI IBNU AL MADINI merupakan
hafidz hadits besar yang juga guru Imam Al Bukhari. Beliau suatu saat
menyampaikan,”Tidak semestinya seseorang mendustakan hadits jika ia datang
dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meski ia mursal. Sesungguhnya
segolongan manusia telah menolak hadits Az Zuhri yang menyatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa berbekam pada hari Sabtu
atau Rabu maka ia terkena kusta…’
Sekelompok manusia telah
melakukannya (hijamah di hari Sabtu dan Rabu) maka mereka terkena bala’.
Diantara mereka adalah Utsman Al Batti ia terkena kusta, Ibnu Said At
Tanuri ia terkena kusta, Abu Dawud ia terkena kusta serta Abdurrahaman, ia
terkena bala’ yang keras.” (Ma’rifah Ar Rijal li Ibni Muharraz, 2/628)
Hadits mursal adalah hadits yang
perawi sahabatnya jatuh, seperti seorang tabi’in menyampaikan bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, tanpa menyebut perawi dari
kalangan sahabat.
Keajaiban
Sabar
FATH AL MAUSHILI memiliki seorang
istri yang dikenal dengan kesebarannya. Suatu saat istri beliau terjatuh
dan kuku jarinya pecah hingga menyebabkan luka, namun ia malah tertawa
dengan keadaan seperti itu.
Hal itu yang menyebabkan orang yang
disekitarnya bertanya terheran-heran,”Apakah engkau tidak merasa sakit?!”
Istri Fath Al Maushili pun menjawab,”Sesungguhnya
nikmatnya pahala karena luka ini menghilangkan rasa sakitnya dari hatiku.”
(Ihya’ Ulumuddin, 12/2189)
Demikianlah keajaiaban amalan sabar
di saat tertimpa musibah, ia akan meringankan musibah tersebut. Berbeda
keadaanya jika suatu musibah dihadapi dengan tanpa kesabaran, hal justru
akan membuat musibah terasa lebih berat.
Berpakaian
karena Allah
IMAM AT TSAURI suatu saat didatangi
seorang laki-laki yang mengetahui bahwa baju yang dikenakan Imam At Tsauri
taerbalik. Laki-laki tersebut memberitahukan keadaan itu kepada Imam At
Tsauri dan mencoba untuk membenarkan pakaian Imam At Tsauri.
Menyaksikan hal itu, Imam At Tsauri
menahan tangan si lelaki, hingga lelaki itu bertanya kenapa beliau
melakukan hal itu. Imam At Tsauri pun menjawab,”Sesungguhnya aku
mengenakannya karena Allah, maka aku tidak akan memperbaikinya kecuali juga
karena Allah.” (Ihya’ Ulumuddin, 14/2702).
Para ulama terdahulu meski
mengerjakan hal-hal yang mubah namun mereka selalu meniatkan hal itu untuk
beribadah karena Allah Ta’ala dan selalu menjaga niat tersebut.
Tips
Deteksi Kesombongan
ABDULLAH BIN SALAM suatu saat
mengangkat sendiri ikatan kayu bakar di atas punggung beliau, padahal
beliau adalah seorang ulama besar. Hal itu mengundang orang yang
menyaksikannya bertanya,”Bukankah pembantu dan anak Anda bisa
melakukannya?”
Abdullah bin Salam pun
menjawab,”Benar, namun aku ingin menguji diriku, apakah hatiku merasa berat
dengan pekerjaan ini atau tidak.”
Abdullah bin Salam tidak
mencukupkan hanya dengan berazam untuk meninggalkan rasa gengsi dan
sombong, sebelum beliau membuktikan sendiri apakah benar hatinya tidak
berubah keadaan tatkalah melakukan pekerjaan yang dianggap oleh banyak
manusia sebagai pekerjaan “rendahan”.
Itas dasar itu, Imam Al Ghazali
memberi tips untuk mengetahui apakah diri kita sombong atau tidak, yakni
dengan menyengaja membawa barang belanjaan dari pasar menuju rumah. Jika
seseorang tidak merasa berat karena ada manusia yang menyaksikannya maka ia
terjangkit riya’. Namun jika ia merasa berat meski manusia tidak menyaksikannya maka
ia sombong. (lihat, Ihya Ulumuddin, 11/1986)
Shalih
Tapi Merasa Sebagai Ahli Maksiat
MUSA BIN QASIM mengisahkan,”Saat
itu di wilayah kami terjadi gempa dan angin yang merusak. Maka aku pergi
menuju Imam Muhammad bin Muqatil dan meminta agar beliau mendoakan
keselamatan kami.”
Mendengar permintan Musa bin Qasim,
Imam Muqatil pun tiba-tiba menangis dan mengatakan,”Seandainya saja aku
tidak menjadi sebab kecelakaan kalian…”
Setelah bencana reda Musa bin Qasim
bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau
menyampaikan,”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengangkat bencana dari
kalian karena doa Muhammad bin Muqatil.” (Ihya Ulumuddin, 11/1944)
Para shalihin terdahulu selalu
menilai bahwa dirinya bukan orang yang shalih dan sebagai ahli maksiyat.
Berbeda dengan zaman ini banyak orang yang sudah merasa shalih dengan amalan
yang ia kerjakan.*
Imam
Hasan Al Bashri Menggibah Diri Sendiri
IMAM HASAN AL BASHRI sering
mengghibah diri sendiri dengan mengatakan,”Engkau berkata-kata dengan
perkataan orang-orang shalih yang selalu berqunut dan beribadah, sedangkan
engkau melakukan perbuatan orang-orang fasiq, munafiq dan mereka yang suka
pamer!” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)
Demikianlah sifat orang yang
benar-benar shalih, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang shalih.
Imam
Hasan Al Bashri Menggibah Diri Sendiri
IMAM HASAN AL BASHRI sering
mengghibah diri sendiri dengan mengatakan,”Engkau berkata-kata dengan
perkataan orang-orang shalih yang selalu berqunut dan beribadah, sedangkan
engkau melakukan perbuatan orang-orang fasiq, munafiq dan mereka yang suka
pamer!” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)
Demikianlah sifat orang yang
benar-benar shalih, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang shalih.
Siapa
Orang yang Ikhlas?
YAHYA BIN MUADZ suatu saat ditanya
kapan seseorang menjadi orang yang ikhlas? Beliau pun menjelaskan bahwa
seorang disebut mukhlis kalau perilakunya seperti perilaku bayi yang tidak
menghiraukan siapa yang memujinya dan siapa yang mencelanya dari kalangan
manusia. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 8)
Para ulama lainnya juga menyebutkan
hal yang serupa, bahwa seseorang disebut telah memperoleh derajat mukhlis
jika pujian dan celaan manusia memiliki derajat yang sama dalam pandangnya.
Jangan
Meremehkan Hadits Walau Ia Mursal
IMAM ALI IBNU AL MADINI merupakan
hafidz hadits besar yang juga guru Imam Al Bukhari. Beliau suatu saat
menyampaikan,”Tidak semestinya seseorang mendustakan hadits jika ia datang
dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meski ia mursal. Sesungguhnya
segolongan manusia telah menolak hadits Az Zuhri yang menyatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa berbekam pada
hari Sabtu atau Rabu maka ia terkena kusta…’
Sekelompok manusia telah
melakukannya (hijamah di hari Sabtu dan Rabu) maka mereka terkena bala’.
Diantara mereka adalah Utsman Al Batti ia terkena kusta, Ibnu Said At
Tanuri ia terkena kusta, Abu Dawud ia terkena kusta serta Abdurrahaman, ia
terkena bala’ yang keras.” (Ma’rifah Ar Rijal li Ibni Muharraz, 2/628)
Hadits mursal adalah hadits yang
perawi sahabatnya jatuh, seperti seorang tabi’in menyampaikan bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, tanpa menyebut perawi dari
kalangan sahabat.
Bohong
Tapi Wajib
MAIMUN BIN MIHRAN
menyatakan,”Bohong dalam kondisi tertentu lebih baik daripada jujur.
Bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang mengejar orang lain dengan
membawa pedang untuk membunuhnya dan menanyakan kepadamu tentang
keberadaanya. Apa yang hendak engkau katakan? Bukankah engkau akan
mengatakan ‘aku tidak melihatnya?’ dan tidak menyampaikannya dengan jujur?
Inilah bohong yang hukumnya wajib”. (Ihya’ Ulumuddin, 9/1588)
Ketika
Ada yang Menyebut Anda Bodoh
SHALIH AL MARRI rahimahullah adalah
seorang ahli ibadah Bashrah yang wafat 172 H. Suatu saat beliau
menyampaikan mengenai indikasi riya pada hati manusia,”Barang siapa
mengklaim bahwa dirinya ikhlas dalam ilmu maka hendaklah ia melihat dirinya
jika manusia menyebut dia jahil dan riya’. Kalau dadanya lapang terhadap
penilaian itu maka ia benar. Kalau ia sempit dada karena penilaian itu maka
ia memang beramal dengan riya`”. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 15).
Malik
bin Dinar dan Pencuri
MALIK BIN DINAR rahimahullah suatu
saat melihat bahwa ada seorang wanita yang memasuki rumah beliau dan
mencuri mushaf serta pakaian. Mengetahui hal itu, beliau memutuskan untuk
mengikuti si wanita.
Setelah menemui wanita tersebut
Malik bin Dinar menyampaikan,”Ambilah baju itu, namun mushafnya kembalikan
dan engkau tidak perlu takut.” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 27)
Enggan
Dilihat Saat Pimpin Majelis yang Ramai
IMAM SUFYAN ATS TSAURI rahimahullah
Ta'ala jika memperoleh kabar bahwa sultan hendak mengnjunginya di halaqah
ilmu baik itu di madrasah Al Asyrafiyah atau di masjid Umawi maka beliau
memilih tidak mendatangi majelis karena takut sultan akan melihatnya sedang
beliau berada di sebuah majelis ilmu yang dihadiri banyak manusia.
Dan berkenaan dengan hal itu,
Sufyan At Tsauri menyampaikan bahwa tanda keikhlasan adalah menyembunyikan
kebaikan agar tidak terlihat oleh manusia sebagaimana ia takut kaburukannya
diketahui oleh manusia. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 16)
Jangan
Tanya Saudaramu Puasa Atau Tidak
IBRAHIM BIN ADHAM Rahimahullah
Ta’ala menyampaikan,”Janganlah bertanya kepada saudaramu mengenai puasanya.
Sesungguhnya jika ia mengatakan ‘saya puasa’ hatinya senang dengan hal itu
dan jika ia mengatakan ‘saya tidak puasa’ mambuat ia sedih. Dan keduanya
merupakan tanda-tanda riya’. Dan hal itu juga aib bagi yang ditanya dan
membuka auratnya oleh penanya.”
(Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)
Demikianlah ulama terdahulu amat
peka terhadap indikasi riya’, sedangkan kita manusia di zaman ini kadang
tidak mampu mendeteksinya dan menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Hormati
Diri Tinggalkan Permusuhan
SALMU BIN QUTAIBAH di saat duduk
menunggu proses pengadilan antara dia dengan sudara sepupunya datanglah
Basyir bin Ubaidillah bin Abi Bakrah,”Apa yang menyebabkan engkau duduk di
sini?”
Ibnu Qutaibah pun menjawab,”Saudara
sepupuku mengklaim bahwa di rumahku ada barang miliknya.” Basyir bin
Ubaidillah pun memberi nasihat,”Demi Allah aku tidak melihat hal yang
paling menghilangkan dien, kehormatan dan menyibukkan pikiran kecuali
bermusuhan.”
Akhirnya Ibnu Qutaibah berdiri
meninggalkan tempat itu untuk meninggalkan persidangan. Melihat hal itu,
saudara sepupu Ibnu Qutaibah malah menyatakan,”Ada apa denganmu? Apakah
kamu telah sadar kalau aku yang benar?”
Ibnu Qutaibah pun menjawab,”Bukan,
namun saya memuliakan diri dari perkara ini ada saya meninggalkan
permusuhan.” (Ihya Ulumuddin, 8/9)
Tidak balas dendam atas kedzaliman
orang lain lebih mulia daripada membalas keburukan dengan keburukan serupa.
Yang
Berlindung Mati yang Tidak Justru Selamat
SYEIKH ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH
seorang ulama hadits bermadzhab Hanafi mendengar kisah dari beberapa
perwira yang ikut berperang bersama pasukan Utsmani pada perang dunia
pertama. Saat itu pasukan Utsmani bersiap untuk menghadapi serangan dari
musuh dan setiap anggota pasukan mengambil posisinya masing-masing dengan
menggali tempat perlindungan.
Saat salah satu perwira melalui
tempat perlindungan yang cukup baik, ia mengusir pemiliknya untuk pindah
dari tempat itu dan menempatkan anggota pasukan yang dekat dengannya untuk
mengganti posisinya. Akhirnya prajurit pembuat tempat perlindungan itu
pergi dengan kemarahan.
Di saat perang berkecamuk sebuah
mortar besar menimpa tempat perlindungan tersebut yang menyebabkan prajurit
yang menampatinya tewas, sedangkan prajurit yang diusir justru selamat.
(lihat, Ta`liq Risalah Al Mustarsyidin, hal. 101)
Memang, taqdir Allah tidak bisa
dikalahkan. Meski demikian manusia tatap diwajibkan untuk berikhtiar.
Pedagang
Kapas dan Wanita Nashrani
AMIR SYUJAK AD DIEN AS SYARZI
penguasa Kairo di masa Kamiliyah tahun 630 H mengisahkan bahwa ia bertemu
dengan seorang tua yang berkulit coklat sedangkan anak-anaknya semuanya
berkulit terang. Merasa heran As Syarzi pun menanyakan hal itu dan
laki-laki itu pun menjawab bahwa ibu anak-anaknya adalah seorang wanita
bangsa Frank (Eropa) dimana mereka menikah di masa Malik Nashr Shalahuddin.
As Syarazi pun semakin penasaran ingin tahu lebih banyak mengenai kisah
pernikahan itu. Akhirnya laki-laki itupun bersedia untuk bercerita.
Dulu di masa muda laki-laki itu
berdagang kapas di Syam dan saat itu seorang budak wanita Frank membeli
kapas di tokonya. Karena terpesona oleh kecantikannya ia memilih untuk
memberikan kapas dengan cuma-cuma kepada budak tersebut. Demikian juga ketika
budak itu membeli kapas setelahnya, pedagang kapas selalu memberikannya
dengan cuma-cuma. Hingga akhirnya ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta berat
kepada budak Nashrani tersebut.
Akhirnya laki-laki itu menyampaikan
perasaanya kepada wanita tua yang mendampingi budak tersebut, hingga
akhirnya tercapa kesepakatan agar pemuda itu membayar 50 dinar dan
menyediakan tempat sedangkan pihak wanita bersedia diperlakukan apa saja
olehnya selama semalam.
Akhirnya pemuda berkulit gelap itu
mempersiapkan rumah yang ia sewa di tepi pantai dan tempat tidur di atas
atap yang beratap langit dan terlihat bintang-bintang. Pemuda itu juga
menyuapkan berbagai macam makanan.
Pemuda dengan budak Frank itu akhirnya makan bersama kemudian
berbaring hingga larut malam sambil menyaksikan bintang-bintang.
Dalam hati pemuda tersebut
diam-diam berfikir,”Apakah engkau tidak malu bermaksiat kepada Allah di
bawah kolong langit dengan wanita Nashrani, hingga akhirnya layak
memperolah adzab baik di dunia maupun akhirat?”
Akhirnya pemuda tersebut berkata
dalam hati,”Ya Allah sesungguhnya aku telah persaksikan kepada Engkau bahwa
aku meninggalkan zina karena malu dan takut kepada Engkau.” Si pemuda
tertidur hingga waktu subuh sedangkan wanita yang mendampinginya bangun
saat sahur dalam keadaan marah.
Namun setelah kembali ke toko kapas
pemuda itu menyesali keputusannya untuk meninggalkan budak Nashrani itu
hingga ia berfikir,”Siapa engkau ini hingga meninggalkan wanita Nashrani
itu, apakah engkau Junaid ata As Sarri As Saqathi?” Akhirnya pemuda
tersebut memutuskan untuk menemui wanita tua yang selalu bersama budak itu
dan meminta kesempatan untuk kedua kalinya. Karena marah disebabkan
pengamalan sebelumnya, wanita itu tidak memberikan kesempatan kecuali
dengan membayar 100 dinar. Meski demikian si pemuda akhirnya menyetujuinya
dan kesempatan pun datang kembali. Namun pikiran di pertemuan pertama
dengan wanita Nashrani datang kembali hingga ia kembali memilih untuk
meninggalkan wanita Nashrani itu. Wanita itu akhirnya marah besar hingga mengatakan,”Kamu
tidak akan melihat saya lagi kecuali dengan 500 dinar!”
Di saat bersamaan diumumkan bahwa
perjanjian antara pihak Frank (pasukan Salib) dengan pihak umat Islam telah
berakhir dan umat Islam diberi kesempatan untuk meninggalkan kota-kota yang
dukuasai pasukan Salib, akhirnya pemuda itu keluar dari Akka (Palestina)
menuju Damaskus, dengan masih membawa perasaan cintanya kepada wanita
Nashrani itu.
Di Damaskus si pemuda beralih
profesi menjadi pedagang budak. Tiga tahun telah berlalu, saat itu Sulthan
Malik Nashr berhasil mengalahkan pasukan Frank di wilayah pesisir dan
merebut seluruh wilayah yang dikuasai oleh mereka. Dan pihak kesultanan
meminta kepada si pemuda untuk menyediakan budak, si pemuda juga memiliki
budak yang cukup baik dengan harga 100 dinar dan mereka menyutujui, namun
mereka hanya mampu membayar 90 dinar karena banyaknya dana yang perlu
mereka belanjakan saat itu. Akhirnya pihak kesultanan menawarkan tawanan
dari bangsa Frank sebagai gantinya yang dihargai dengan 10 dinar.
Pemuda itu akhirnya memilih tawanan
Frank yang berada di bawah penguasaan kesultanan, dan tanpa ia duga diduga
ia menjumpai wanita Nashrani yang sebelumnya ia kenal di kota Akka termasuk
tawanan. Pada awalnya si wanita tidak mengenalnya, namun si pemuda menjelaskan
bahwa dirinya adalah pedagang kapas di Akka yang dulu pernah berteman
dengannya. Akhirnya si pemuda mengambil wanita itu seraya
mengatakan,”Engkau dulu mengatakan bahwa saya tidak bisa menemuimu kecuali
dengan 500 dinar, sekarang saya bisa memilikimu dengan 10 dinar.”
Tanpa diduga wanita tersebut
menjawab dengan mengatakan,”Ulurkan tanganmu, saya bersaksi bahwa tiada
ilah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad Adalah utusan Allah.”
Si pemuda membalas, “Tidak bisa
saya melakukan itu. Kita pergi ke qadhi!” Akhirnya si pemuda membawa wanita
itu untuk menemui qadhi, sekaligus untuk melangsungkan akad nikah.
(Mathali’ Al Budur fi Manazil As Surur, 1/207)
Walhasil, barang siapa meninggalkan
perkara haram karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang halal.
Berbagai
Cara Lawan Ghibah
IMAM IBNU WAHB salah satu murid
Imam Malik adalah ulama yang mencoba berbagai cara untuk menghindari
ghibah. Untuk hal yang satu ini ulama yang wafat tahun 197 H ini pernah
menyampaikan,”Aku telah membebani diriki setiap aku melakukan ghibah dengan
berpuasa satu hari, namun sangsi itu ternyata terlalu ringan bagiku.”
Akhirnya Imam Ibnu Wahba perlu
mencari cara lain agar terhindar dari pervuatan ghibah dan akhirnya beliau
menemukannya,”Maka aku membebani diri dengan berdekah setiap aku melakukan
ghibah dengan harta sebesar satu dirham dan hal itu terasa sangat berat
bagiku hingga dengan hal itu aku terhindar dari perbuatan ghibah”. (Tartib
Al Madarik, 3/240)
Ulama
Besar Baru Belajar Saat 30 Tahun
IMAM AL QAFFAL AS SAGHIR adalah
seorang ulama As Syafi'yah yang baru memulai belajar saat berumur 30 tahun.
Suatu saat beliau pernah mengatakan,"Saya mulai belajar sedangkan saya
belum bisa membedakan 'ikhtshartu' dengan 'ikhtsharta'".
Namun walau demikian karena
keberkahan dari Allah Ta'la, beliau menjadi seorang yang paling faqih di
zamannya. (lihat, Thabaqat As Syafi'yah Al Kubra, 5/45)
Walhasil, tidak ada kata terlambat
dalam belajar memahami dien ini.
Mendoakan
Kebaikan untuk Pencuri
IBNU MAS’UD Radhiyallahu Anhu suatu
saat berdagang di sebuah pasar dan menyimpan uang dirham di sorban beliau.
Namun saat hendak mengambil uang dirham tersebut beliau tidak mendapatinya,
padahal beliau tidak pergi ke mana-mana.
Orang-orang yang berada di sekitar
Ibnu Mas’ud pun berdoa,”Ya Allah potonglah tangan pencuri yang telah
mengambilnya.” Ibnu Mas’ud pun berdoa,”Ya Allah jika pencuri itu melakukan
pencurian karena kebutuhan maka berkahilah ia. Namun jika ia melakukannya
karena dorongan maksiat maka jadikanlah perbuatannya ini adalah perbuatan
yang terakhir.” (Ihya’ Ulumuddin, 9/1671)
Meski orang yang terdzalimi doanya
mustajab, Ibnu Mas’ud tidak menggunakannya untuk mendoakan keburukan kepada
si pencuri yang telah mendzalimi beliau, bahkan justru berdoa untuk
kebaikan si pencuri.
Syeikh
Ahmad dan Seekor Nyamuk
SYEIKH YA’QUB BIN KURAZ merupakan
sahabat dekat Syeikh Ahmad Rif’ah seorang ulama zuhud yang bermadzhab
Syafi’i. Suatu saat di kala musim dingin Syeikh Ya’qub ingin menemui Syeikh
Ahmad, dan saat itu beliau mendapati Syeikh Ahmad sedang berwudhu seraya
memanjangkan tangan dan membiarkannya tidak bergerak dalam waktu yang lama.
Syeikh Ya’qub akhirnya mendekat
kepada Syeikh Ahmad, saat itu Syeikh Ahmad pun menyampaikan,”Wahai Ya’qub
engkau telah mengganggu makhluk yang lemah ini.” Syeikh Ya’qub pun
bertanya-tanya,”Siapa dia?” Syeikh Ahmad pun menjawab,”Nyamuk kecil, ia
memakan rizkinya dari tanganku, lalu terbang karena kedatanganmu.”
(Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 6/24,25)
Syeikh
Ahmad dan Seekor Kucing
SYEIKH AHMAD BIN ALI RIFA’AH adalah
seorang ulama besar penganut madzhab As Syafi’i yang dikenal dengan zuhud
dan akhlaknya. Suatu saat, seekor kucing tidur di kantung baju ulama yang
lahir dalam keadaan yatim ini sedangkan waktu shalat telah tiba.
Akhirnya Syeikh Ahmad menggunting
kantung baju agar kucing yang sedang tidur itu tidak terusik. Setelah
melaksanakan shalat Syeikh Ahmad mendapati si kucing telah terjaga.
Akhirnya beliau menyambung kembali kantung itu ke baju dengan dijahit, lalu
beliau pun mengomentari keadaan bajunya,”Tidak ada yang berubah.” (Thabaqat
As Syafi’iyah Al Kubra, 6/24)
Seorang
yang Zuhud dan Raja
IMAM AL GHAZALI mengisahkan, bahwa
suatu saat seorang raja mengatakan kepada seorang yang zuhud,”Apakah engkau
butuh sesuatu?” Orang zuhud itu pun menjawab,”Bagaimana aku memerlukan
sesuatu darimu sedangkan kekuasaanku lebih besar dari kekuasaanmu.”
Si raja pun terheran dan
bertanya,”Bagaimana bisa demikian?” Orang zuhud pun menjawab,”Karena tuanmu
adalah hambaku.” Si raja bertanya-tanya,”Kenapa demikian?” Orang zuhud itu
pun menjawab,”Tuanmu adalah syahwatmu, marahmu, kegembiraanmu dan perutmu.
Dan itu semua telah tunduk kepadaku, mereka adalah budakku.” (Ihya
Ulumuddin, 12/2199)
Antara
Imam Izuddin dan Hafidz Al Mundziri
SYEIKH IZUDDIN BIN ABDISSALAM
sebelumnya hanya menyimak sedikit hadits di Damasqus. Namun setelah beliau
masuk ke Mesir hal itu terhapus, karena beliau menghadiri majelis hadits Al
Hafidz Al Mundziri untuk menyimak hadits yang belum beliau simak. Sedangkan
Al Hafidz Al Mundziri sendiri memilih meninggalkan fatwa. Beliau
menyampaikan,”Di saat datang Syeikh Izuddin maka manusia tidak perlu lagi
terhadapku.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/261)
Demikianlah para ulama terdahulu,
tidak rakus terhadap fatwa dan tidak gengsi belajar kepada ulama lainnya.
Wafat
Saat Bersujud
ABU MUHAMMAD AL BA’LABAKI adalah
serorang faqih muhaddits yang menganut madzhab As Syafi’i. Disamping
menjadi Qadhi di Ba’labak, murid dari Al Hafidz Ibnu Shalah ini juga
mengajar di madrasah kota itu.
Mengenai wafatnya ulama zuhud ini,
Imam Tajuddin As Subki mengisahkan,”Beliau wafat di sujud ke dua di rakaat
ke tiga shalat dzuhur. Saat itu beliau menjadi imam dan dalam posisi sujud,
sedangkan makmum yang berada di belakang beliau menunggu beliau bangkit
dari sujud, namun lama tidak bangkit hingga para makmum pun bangkit dari
sujud dan menggerakkan badan Abu Muhammad, mereka menemui beliau dalam
keadaan wafat. Peristiwa itu terjadi tahun 656 H.” (Thabaqat As Syafi’iyah
Al Kubra, 8/ 195)
Umur100
Tahun Atau Mati Saat Ini?
ABDULLAH BIN ABI ZAKARIYA suatu
saat menyampaikan,”Jika aku diminta memilih antara memiliki umur 100 tahun
dengan ketaatan kepada Allah dengan mati di waktu ini atau di saat ini maka
aku memilih mati saat ini. Itu disebabkan karena aku rindu kepada Allah,
kepada Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih.” (Syarh As Shudur, hal.
21)
Sembuh
dari Kebutaan karena Doa Ibu
AL HAFIDZ IBNU HAJAR AL ASQALANI
menyebutkan sebuah periwayatan bahwa di masa kanak-anak Imam Al Bukhari
kehilangan penglihatannya. Di suatu malam ibu Imam Al Bukhari bermimpi
bertemu dengan nabi Ibrahim Alaihissalam dan dalam mimpi itu Nabi Ibrahim
menyampaikan kepada beliau,”Allah telah mengembalikan penglihatan putramu
karena seringnya doa yang engkau panjatkan.”
Pada pagi harinya, ibu Imam bukhari
menyaksikan bahwa pandangan Imam Bukhari telah pulih kembali (lihat, Al
Hadyu As Sari, hal. 640).
Betapa mujarabnya doa seorang ibu,
hingga kebutaan yang didarita Imam Al Bukhari sembuh disebabkan karena
doanya.
Ulama
Dulu Berjasa terhadap Ulama Kini
AL ALLAMAH ALI AL QARI AL HANAFI
mengisahkan bahwa ada seorang ulama menulis sebuah kitab selama 30 tahun,
kemudian muridnya memperbaiki susunannya selama 3 tahun. Di suatu majelis
ilmu si murid membandingkan antara kitab gurunya dan kitab hasil
susunannya, dengan mengunggulkan kitabnya yang ditulis dalam waktu yang
singkat.
Salah seorang yang hadir di majelis
itu pun menyampaikan,”Sesungguhnya engkau menyusun kitab itu bukan 3 tahun,
tapi 33 tahun. Kalau bukan karena jerih payah gurumu, engkau tidak akan
mampu melakukannya!” (lihat, Syarh
Syarh An Nukhbah, hal. 150).
Walhasil, apa yang dihasilkan ulama
di zaman ini tidak lepas dari karya dan jerih payah ulama terdahulu.
Sehingga amat tidak pantas jika ada orang di zaman ini yang merasa lebih
baik karyanya dibanding karya para ulama terdahulu.
Penguasa
Pun Membutuhkan Allah
ABDURRAHMAN BIN IBRAHIM AL FIHRI
mengisahkan,”Seorang laki-laki mendatangi seorang penguasa untuk memenuhi
hajatnya. Namun ia mendapati penguasa itu sujud berdoa kepada Rabbnya.
Akhirnya laki-laki tersebut mengatakan,’Orang ini masih membutuhkan kepada
lainnya bagaimana aku merasa butuh kepadanya? Kenapa aku tidak meminta
hajatku kepada pihak yang tidak membutuhkan?’"
Penguasa tersebut menyimak apa yang
disampaikan oleh laki-laki tersebut hingga ia memerintahkan pembantunya
untuk memberi 10 ribu lalu menyampaikan kepadanya,”Sesungguhnya apa yang
aku berikan ini berasal dari siapa yang aku berdoa kepadanya di dalam sujud
dan siapa yang engkau menaruh harapan kepada-Nya.” (Al Luqath fi Hikayah As
Shalihin, hikayah ke 507)
Walhasil, semuanya kenikmatan
hakikatnya berasal dari Allah meskipun jalan dan wasilahnya melalui
makhluk-makhluk-Nya.
Memegang
Air Ingat Ahli Neraka
IMAM HASAN AL BASHRI suatu saat
diberi sebuah hidangan air dingin dalam cawan. Namun ketika menyentu cawan
itu, tiba-tiba beliau jatuh pengsan dan cawan itu pun juga jatuh dari
tangannya.
Ketika Imam Hasan Al Bashri
tersadar, ada yang bertanya mengenai kejadian itu,”Ada apa wahai Abu Said?”
Imam Hasan Al Bashri pun menjawab,”Aku teringat angan-angan para penduduk
neraka, ketika mereka menyampaikan kepada ahli surga,’Berikanlah air itu
untuk kami’”. (Ayuhal Walad, hal. 14)
Asal
Julukan “Si Tuli” Hatim bin Ulwan
HATIM AL ASHAM memiliki nama asli
Abu Abdurrahman Hatim bin Ulwan seorang ulama besar Khurasan. Mengenai asal
mula beliau dikenal dengan Al Asham (si tuli), Al Allamah An Nawawi Al
Bantani menyampaikan sebuah periwayatan bahwa suatu saat ada seorang wanita
bertanya mengenai sebuah masalah. Namun di saat yang bertepatan si wanita
membuang angin dengan mengelurakan suara, hingga si wanita malu bukan main.
Melihat hal demikian, Hatim
menyampaikan,”Tinggikan suaramu!” seakan-akan beliau tuli. Sehingga wanita
tersebut berkesimpulan bahwa Hatim adalah seorang yang tuli dan tidak
mendengar suara buang anginnya. Setelah peristiwa itu Hatim lebih populer
dengan sebutan Hatim Al Asham (si tuli). (lihat, Nashaih Al Ibad hal. 13)
Demikianlah ulama terdahulu, rela
dijuluki sebagai "si tuli" hingga akhir hidupnya untuk
menyelematkan seorang wanita dari rasa malu.
Ulama
Wajib Menjelaskan Kebenaran kepada Penguasa
SALAMAH BIN DINAR AL MAKHZUMI
adalah ulama besar di masa tabi’in yang tinggal di Makkah. Suatu saat
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan mengunjungi Makkah dan meminta
nasihat kepada beliau.
Al Makhzumi menyampaikan,”Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya para orang tua Anda memaksa manusia dengan
senjata dan mengambil kekuasaan dengan paksaan tanpa musyawarah dengan umat
Islam dan tidak pula dengan keridhaan mereka hingga mereka membunuh banyak
umat Islam.”
Salah satu pendamping khalifah
menanggapi,”Betapa buruk yang telah engkau katakan, bagaimana Amirul
Mukminin diterima dengan cara seperti ini?!”
Al Makhzumi pun
menyampaikan,”Diamlah wahai pembohong! Sesungguhnya Fir’aun mencelakakan
Hamman (pembantu Fir’aun) dan Hamman mencelakakan Fir’aun. Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan kepada para ulama untuk menjelaskan kepada manusia
dan tidak menutupinya dan menyembunyikannya di belakang punggung”.
Kisah ini termaktub dalam Sunan Ad
Darimi yang dinukil oleh Syeikh Zahid Al Kautsari (Al Maqalat Al Kaustari,
hal. 401)
Kaji
Ilmu 100 Tahun Belum Peroleh Rahmat
AL IMAM HUJJATUL ISLAM AL GHAZALI
menyampaikan,”Meski engkau telah mengkaji ilmu saratus tahun dan telah
memiliki seribu buku engkau belumlah siap untuk memperoleh rahmat Allah
Ta’ala, kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana Allah Ta’a berfirman
(yang artinya),”Sesungguhnya tidaklah bermanfaat bagi manusia kecuali apa
yang telah ia usahakan (An Najm: 49)”. (Ayuhal Walad, hal. 21)
Kaum
yang Ingin Mati Mendahului Temannya
Thulaihah bin Khuwailid Al Asadi
adalah seorang ahli tempur yang membawahai seribu penunggang kuda. Suatu
saat pasukannya porak-poranda oleh pasukan kaum Muslim. Maka, ketika
melihat kekalahan itu ia mengatakan kepada pasukannya,”Calakalah kalian,
kenapa kalian bisa kalah?!”
Anggota pasukan Thulaihah pun
menjawab,”Saya akan menyampaikan kenapa kita kalah. Sesungguhnya tidak ada
seorang pun anggota pasukan kita kecuali menginginkan temannya mati
terlebih dahulu dibanding dirinya. Sedangkan kita menghadapi kaum yang
semuanya menginginkan dirinya mati sebelum temannya.” (Hayat As Shahabah,
4/642 karya Syeikh Al Kandahlawi)
Tidak
Berqunut Hormati Imam Abu Hanifah
IMAM AS SYAFI’I rahimahullah
seorang imam mujtahid dan mujadid di saat melaksanakan shalat shubuh dekat
makam Imam Abu Hanifah memilih tidak melaksanakan qunut subuh, dalam rangka
menjaga adab terhadap imam mujtahid tersebut yang berpendapat bahwa qunut
shubuh tidak disyariatkan. (lihat, Al Inshaf fi Bayani Asbab Al Ikhtilaf
hal. 110, karya Ad Dihlawi)
Betapa para ulama besar di zaman
terdahulu amat bertoleransi terhadap madzhab lainnya dalam masalah furu’
fiqih. Bahkan terhadap ulama yang sudah wafatpun adab itu tetap dijaga.
Bertelungkup
untuk Payungi Kitab dari Hujan
IMAM AL HAFIDZ ABU SULAIMAN BIN
DAWUD AS SYADZAKUNI adalah seorang ulama hadits yang wafat di Asbahan tahun
234 H. Ada seorang yang bermimpi bertemu dengan ulama besar itu setelah
beliau meninggal, hingga ia menanyakan keadaan beliau,”Bagaimana Allah
memperlakukan Anda?" As Syadzakuni pun menyampaikan,”Allah telah
mengampuniku”.
Dalam memimpi itu As Syadzakuni
menyampaikan,”Saat itu aku sedang melakukan perjananan di Asbahan namun
tiba-tiba turunlah hujan sedangkan aku membawa beberapa kitab dan tidak ada
tempat berteduh. Akhirnya aku peluk kitab-kitab itu hingga badanku menjadi
pelindungnya dari air hujan. Sehingga Allah memberikan ampunan karena hal
itu.” (Fathu Al Mughits bi Syarh Alfiyah Al Hadits, hal. 157, karya Al Hafidz As Sakhawi)
Demikian para ulama besar terdahulu
menjaga agar kitab-kitab yang berisi ilmu terhindar dari kerusakan,
meskipun dengan cara menjadikan badan sebagai “tameng” hingga kitab-kitab
tersebut terhindar dari air hujan selama hujan turun.
“Tinggalkan
Cambuk dan Pergilah!”
SYAIKH MAHFUDZ AT TARMASI
menyampaikan bahwa ada sebagian ulama ditanya mengenai ilmu namun tidak
menjawab, hingga si penanya menyampaikan sebuah hadits,”Barang siapa
mengetahui ilmu dan ia menyembunyikannya maka ia dicambuk pada hari kiamat
dengan cambuk api”.
Maka ulama itu
menyampaikan,”Tinggalkan cambuk dan pergilah! Jika ada orang yang layak
datang dan aku menyembunyikannya maka silahkan aku dicambuk dengan api”.
(Manhaj Dzawi An Nadhar, hal. 529)
Tidaklah dikatakan menyembunyikan
ilmu, ketika seorang ulama menolak menyampaikan ilmu ketika ia melihat
orang yang bertanya bukanlah ahlinya.
Ilmu
di Zaman Ini Lebih Sedikit atau Banyak?
IMAM AYUB KAISAN AS SAKHTIYANI AL
BASHRI adalah ulama besar dikalangan tabi’in dan muhadditsnya yang wafat
pada tahun 131 H. Murid beliau Hammad bin Zaid mengkisahkan, bahwa suatu
saat ada yang bertanya kepada Imam Ayub,”Ilmu hari ini lebih banyak atau
lebih sedikit?”
Imam Ayub pun menjawab,”Pembicaraan
di hari ini lebih banyak! Dan ilmu sebelum hari ini lebih banyak”. (Al
Ma’rifah wa At Tarikh karya Al Hafidz Al Fasawi, 2/232)
Jika di masa tabi’in saja Imam Ayub
menilai bahwa pembicaraan lebih banyak daripada ilmu, bagaimana dengan
zaman ini?
Pingsan
Seharian Setelah Saksikan Api Pandai Besi
AR RABI' BIN KHUTSAIM, suatu saat,
beliau berjalan bersama Ibnu Ma’sud, yang saat itu menjadi guru beliau,
menuju tepi sungai Eufrat lalu melewati tempat penampaan besi. Saat Ar
Rabi’ menyaksikan api yang menyala-nyala dan gemuruh suara hembusannya,
beliau membaca ayat, yang artinya,”Jika neraka itu menyaksikan mereka dari
kejauhan, maka mereka mendengarkan gemuruhnya dan suara nyalanya” (Al
Furqan [25]:12).
Setelah itu ulama kalangan tabi'in
itu pingsan. Cukup lama beliau tidak sadarkan diri, hingga akhirnya datang
waktu dhuhur, Ibnu Mas’ud memanggilnya, tapi beliau belum sadar, hingga
akhirnya Ibnu Mas’ud berangkat melakukan shalat Dhuhur. Demikian hingga
waktu Ashar tiba Ar Rabi’ belum juga sadar. Bahkan saat adzan magrib
berkumandang Ar Rabi’ pun masih belum siuman. Baru pada waktu sahur, beliau
tersadar, karena dinginnya udara di malam itu. Syaikh Abdul Fattah Abu
Ghuddah menukil kisah itu dari Tahdzib At Tahdzib Imam Adz Dzahabi (Ta'liq
Risalah Al Mustarsyidin, hal. 124).
Kisah di atas menunjukkan betapa
pekanya hati para ulama terdahulu, hingga apa yang mereka lihat dan baca
dari firman Allah benar-benar merupakan menjadi peringatan yang benar-benar
merasuk ke dalam hati.
Demi
Ukhuwah Imam Ahmad Jahr-kan Basmalah
IMAM AHMAD BIN HANBAL meskipun
berpendapat mengenai sirr-nya (dibaca pelan dan hanya diri sendiri yang
dengar) bacaan basmalah dalam shalat. Namun di wilayah tertentu beliau
berpendapat,”Dibaca jahr (dengan suara yang bisa didengar jelas oleh orang
lain) basmalah jika berada di Madinah”
Ada beberapa penafsiran mengenai
pernyataan Imam Ahmad di atas, namun Qadhi Abu Ya’la salah satu ulama
madzhab Hanbali berpendapat,”Karena penduduk Madinah saat itu membaca
basmalah dengan jahr, maka beliau membacanya jahr untuk persatuan agar
mereka mengetahui bahwa beliau membaca basmalah.”
Ibnu Taimiyah juga menyimpulkan
bahwa Imam terkadang meninggalkan beberapa perkara sunnah demi terciptanya
persatuan dan menghindari perpecahan. Karena menyatukan hati umat lebih
agung dalam agama dibanding beberapa perkara sunnah. (Risalah Al Ulfah
baina Al Muslimin, hal.47,48)
Ikhtilaf
yang Melapangkan
IMAM ABU YUSUF ulama mujtahid
madzhab Hanafi suatu saat mengimami shalat Jumat dengan didahului mandi
Jumat. Setelah shalat selesai dan para jama'ah bubar ada seorang yang
memberi kabar bahwa di sumur yang airnya digunakan beliau mandi ada bangkai
tikus. Akhirnya, Imam Abu Yusuf menyampaikan, ”Jika demikian, kita
mengambil pendapat saudara-saudara kita ahlul Madinah yang manyebut,’jika
air sampai dua qullah maka ia tidak najis”. (Al Inshaf fi Bayani Asbabi Al
Khilaf, hal. 110)
Air yang ada di sumur itu najis
menurut madzhab Hanafi namun bagi madzhab lainnya tidak, karena jumlahnya
lebih dari dua qullah (satu qullah air sama dengan 230,877 liter). Jika
tetap berpegang kepada madzhab Hanafi dalam kondisi demikian akan
memberatkan, karena perlu mengulang kembali shalat jumat. Dalam kondisi
demikian akhirnya Imam Abu Yusuf mengambil pendapat yang lain yang
memudahkan. Itulah hikmah adanya perbedaan hasil ijitihad para ulama
mujtahid dalam masalah air.
Hal ini juga tidak masuk tattabu’
rukhas (mencari-cari kemudahan) yang dilarang sebagian ulama, karena Imam
Abu Yusuf menggunakannya hanya dalam kondisi kesulitan saja sedangkan
tattabu’ rukhas sendiri adalah memilih pendapat-pendapat yang meringankan
saja tanpa melihat kondisi.*
Melarikan
Diri dari Jabatan Hakim
IMAM ABDURRAHMAN BIN HUSAIN AD
DIMASYQI merupakan ulama besar Syam pengikut madzhab As Syafi’i. Suatu saat
guru dari Al Hafidz Ibnu Asakir ini diminta oleh penguasa untuk menjadi
hakim namun beliau menolaknya. Akan tetapi penguasa terus meminta hingga
beliau menyampaikan agar diberi kesempatan untuk melaksanakan shalat
istikharah terlebih dahulu.
Pada malamnya beliau menghabiskan
waktu di masjid untuk melakukan qiyam dan terus-menerus menangis hingga
fajar datang. Ketika selesai shalat shubuh
kemudian terbit matahari para utusan penguasa datang untuk meminta
kejelasan. Namun Imam Abdurrahman tetap menolak untuk diangkat menjadi
hakim dan beliau bersama keluarganya memilih meninggalkan kampung menuju
kota Halab.
Mengetahui hal itu, sultan meminta
beliau untuk kembali dan tidak mendesak beliau lagi untuk menjadi hakim.
Namun sultan meminta kepada Imam Abdurrahman untuk menunjuk orang lain
sebagai hakim. Imam Abdurrahman pun memilih Ibnu Al Harastani. (lihat,
Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/178)
Nasihat
Pencuri kepada Imam Ahmad Sebelum Disiksa
IMAM AHMAD BIN HANBAL saat dikurung
oleh penguasa yang hendak menyiksa beliau, beliau sempat menyampaikan bahwa
yang beliau takuti bukan hukuman bunuh atau penjara, namun hukuman
cambukan. Beliau takut tidak sabar menghadapi hukuman jenis ini.
Namun sebelum menghadap para tukang
cambuk, ada tahanan lain yang bernama Abu Haitsam Al Haddad yang
menasihatinya. Tahanan ini menyampaikan kepada Imam Ahmad, ”Saya adalah Abu
Al Haitsam yang merupakan seorang pencuri, saya telah divonis hukuman
cambuk 18 ribu cambukan dan saya sabar dengan cambukan itu meskipun karena
perbutan maksiat dan untuk tujuan dunia. Maka Anda bersabarlah dalam
ketaatan karena dien.”
Karena nasihat berharga itulah,
Imam Ahmad sering mendoakan dan menyebut-nyebut Abu Haitsam, hingga putra beliau Abdullah
menanyakan hal itu. Imam Ahmad pun menceritakan kisah di atas. (lihat, Al
Bidayah wa An Nihayah, 10/234)
Ingatan
Imam Al Bukhari dan Obat Baladzur
IMAM AL BUKHARI merupakan seorang
hafidz Al Hadits yang terkenal memiliki ingatan yang sangat kuat. Suatu
saat sekretaris beliau mendengar bahwa Imam Al Bukhari mengkonsumsi
baladzur, yakni obat yang saat itu yang dinilai berkhasiat untuk menguatkan
hafalan namun efeknya amat membahayakan manusia.
Akhirnya si sekretaris menanyakan
kepada Imam Al Bukhari apakah ada obat yang menguatkan hafalan. Imam Al
Bukhari menegaskan bahwa beliau tidak tahu ada obat yang menguatkan hafalan
dan beliau menyatakan,”Namun, bagiku yang paling bermanfaat untuk
menguatkan hafalan adalah terus-menerus mengulangi”. (lihat, Al Hadyu As
Sari, hal. 456)
Tangan
Cidera Setelah Dicium Sultan
IMAM AR RAFI’I suatu saat
mengunjungi sultan Khawarzmi Syah setelah tiba dari medan pertempuran.
Ulama tarjih madzhab As Syafi’i tersebut menyampaikan,”Saya telah mendengar
bahwa Anda memerangi orang-orang kafir dengan tangan Anda sendiri, saya ke
sini untuk mencium tangan Anda itu.”
Namun Khawarizmi Syah
menjawab,”Tapi saya yang ingin mencium tangan Anda”, dan akhirnya
Khawarzmi mencium tangan Imam Ar
Rafi’i dan mereka berdua bercakap-cakap lantas kemudian berpisah.
Namun tidak lama setelah Imam Ar
Rafi’i pergi beliau terjatuh dari kendaraan dan tangan beliau yang telah
dicium oleh Khawarzmi Syah cidera. Imam Ar Rafi’i pun berkata,”Subhanallah,
sultan telah mencium tanganku hingga aku merasa ada kebesarkan dalam
diriku, maka aku dihukum dengan hukuman ini.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al
Kubra, 8/284)
Demikianlah kepekaan ulama terhadap
amalan hati, hingga musibah yang menimpa dikaitkan dengan amalan hatinya.
Tempuh
Jalan Haram Tak Menambah Jatah Rizki
IMAM IBNU SIRIN seorang ulama besar
dari kalangan tabi’in jika melepas kepergian seseorang beliau selalu
memberikan pesan,”Takutlah kepada Allah dan carilah apa yang ditetapkan
Allah kepadamu dari yang halal. Sesungguhnya jika engkau mengambil dari
yang diharamkan maka itu tidak menambah apa yang ditetapkan Allah untukmu”.
(Thabaqat Ibnu Sa’d, 8/296)
Nasihat di atas juga merupakan
nasihat bagi kita ketika hendak bekerja agar tetap beristiqamah dalam
menempuh jalan halal.
Menangisi
Popularitas
IMAM AL BUHLUL BIN RASYID AL
QAIRAWANI merupakan salah satu ulama besar yang menjadi rujukan madzhab
Malikiyah yang juga terkenal dengan sifat zuhud dan wara’nya.
Dahyun bin Rasyid salah satu
sahabat beliau mengkisahkan, bahwa waktu beliau berada di Madinah ada
seorang laki-laki yang mencari orang dari Afrika penduduk Qairawan.
Akhirnya beliau menemui laki-laki itu. Ternyata laki-laki tersebut
menitipkan sebuah buku untuk diserahkan kepada Imam Al Buhlul yang juga
merupakan penduduk Qairawan.
Sesampainya di Qairawan Dahyun bin
Rasyid menyerakan buku itu kepada Imam Al Buhlul, kemudian beliau pun
membukannya. Dalam buku ada pesan yang ditulis oleh seorang wanita dari
Samarkand (Asia Tengah),”Saya adalah perempuan yang ahli maksiyat, kemudian
saya bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan saya bertanya mengenai ahli
ibadah di muka bumi ini, saya memperoleh 4 nama, salah satunya adalah
Buhlul di Afrika. Demi Allah, saya meminta kepada Anda wahai Buhlul untuk
berdoa agar Allah melanggengkan apa yang telah dianugerahkan kepada saya.”
Buku itupun terjatuh dari tangan Al
Buhlul, dan beliau menangis. Beliau masih terus menangis hingga buku itu
basah dengan airmatanya.
Saat itu Dahyun
menyampaikan,”Wahai Buhlul, Anda
dikenal sampai Samarkand”. Imam Buhlul menjawab,”Kecelakaan bagimu jika
Allah tidak menutupi dosamu di hari kiamat!”. (lihat, Tartib Al Madarik,
3/89)
Imam Al Buhlul tidak bangga dengan
popularitasnya sebaliknya beliau amat takut dengan hal itu, karena hal itu
menyebabkan hati terkecoh, hingga bisa sampai memberi penilaian terhadap diri sendiri
bahwa dirinya adalah ahli ibadah yang memiliki kedudukan di hadapan Allah.
Sebab itu beliau sampai menangis tatkala mengetahui bahwa orang lain
menilai beliau sebagai ahli ibadah.
Nidzam
Al Mulk dan Pejabat Rumah Tangganya
WAZIR NIDZAM AL MULK adalah menteri
Dinasti Bani Saljuk yang amat disegani. Di masa beliau sebagian penguasa
Romawi pun membayar jizyah. Namun, menteri yang mendirikan madrasah An
Nidzamiyah ini dikenal sebagai pejabat yang lemah lembut terhadap rakyat
dan bawahannya.
Ibnu Makula mengisahkan bahwa suatu
saat pejabat kepala rumah tangga yang bertanggung jawab akan keadaan istana
Nidzam Al Mulk bercerita. Kala itu, angin bertiup amat kencang hingga
debu-debu menempel di permadani Nidzam Al Mulk. Si pejabat pun mencari
pembantu untuk membersihkannya, namun ia tidak menemukan seorang pun dari
mereka, padahal jumlah mereka mencapai 40 orang. Keadaan itu membuat dunia
menjadi “gelap” di hadapannya. Pejabat kepala rumah tangga itu pun marah besar
dan mengancam akan menghukum para pembantunya.
Melihat hal itu, Nidzam Al Mulk
menyampaikan,”Mungkin mereka berhalangan hingga tidak bisa hadir bersama
kita. Mereka adalah manusia seperti kita juga yang merasakan sakit seperti
kita merasakannya dan membutuhkan apa yang kita butuhkan. Kita telah diberi
kelebihan atas mereka, maka janganlah kita mensyukurinya dengan cara
menghukum mereka hanya karena kesalahan kecil”. (Thabaqat As Syafi’iyah Al
Kubra, 4/315)
Perampok
pun Tidak Bisa Mencuri Ilmu Lagi
IMAM HUJJATUL ISLAM AL GHAZALI
pernah dihadang oleh sekelompok perampok saat melakukan perjalanan dan
mereka mengambil seluruh bawaan beliau. Namun ada hal yang penting dari
barang yang dirampas oleh mereka yakni beberapa catatan ilmu, hingga Imam
Al Ghazali mengejar kelompok itu. Ketika para perampok mengetahui bahwa
mereka dikejar, pemimpin mereka mengatakan,”Kembalilah, jika tidak, engkau
akan celaka!”
Imam Al Ghazali pun menjawab,”Aku
hanya ingin kalian mengembalikan beberapa catatanku saja, hal itu tidak
bermanfaat bagi kalian.”
Kepala perampok itu pun
mengatakan,”Di mana catatanmu itu?” Imam Al Ghazali pun menjawab,” Beberapa
buku di kantung itu, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak dan
menulis ilmunya.”
Kepala perampok itu pun
tertawa,”Bagaimana engkau mengaku mengetahui ilmunya? Sedangkan kami telah
mengambilnya darimu dan kini engkau tidak memiliki ilmu lagi.” Kamudian ia
memerintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku-buku itu.
Setelah terjadi peristiwa itu, Imam
Al Ghazali mengatakan,”Peristiwa ini merupakan nasihat dari Allah untukku,
maka ketika aku sampai di kota Thus aku meluangkan diri selama 3 tahun
hingga hafal seluruh catatanku itu, sehingga jika aku dirampok lagi aku
tidak kehilangan ilmu.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 3/103)
"Apakah
di Dunia Ini Hanya Ada Dinarmu Saja?"
MUHAMMAD BIN SA'D, adalah seorang
ulama zuhud yang memiliki julukan Uqdah. Saat itu beberapa dinar jatuh dari
ulama ini persis di gerbang rumah Abu Dar Al Khazzar. Untuk mencarinya,
beliau mengajak seorang pengayak tepung. Akhirnya, beliau menemukannya,
akan tetapi saat itu hatinya berkata,”Apakah di dunia ini hanya ada dinarmu
saja?”. Hingga akhirnya Uqdah memutuskan meninggalkannya dan berkata kepada
si pengayak,”Itu adalah tanggunganmu.” (Tarikh Baghdad,5/15)
Sebab
Putusnya Kaki Az Zamakhsyari
IMAM MUHAMMAD BIN UMAR AL
KHAWARIZMI AZ ZAMAKHSYARI adalah seorang ulama besar bahasa Arab. Ulama ini
dikenal sebagai ulama yang hanya memiliki satu kaki dan berjalan dengan
bantuan kruk kayu. Mengenai kisah putusnya kaki beliau Ibnu Khalikan
menceritakan, bahwa beliau mendengar dari sejumlah ulama bahwa kaki Az
Zamakhsyari putus saat melakukan perjalanan mencari ilmu di beberapa kota
Khawarzma karena salju dan hawa dingin yang menusuk di wilayah itu.
Ibnu Khalikan menyampaikan,”Dan
salju serta cuaca dingin banyak yang menyebabkan anggota tubuh putus di
negeri-negeri tersebut, khususnya Khawarizma. Aku telah menyaksikan sendiri
siapa yang anggota tubuhnya putus karena hal ini, hingga orang yang tidak
mengerti tidak perlu terheran-heran.” (Wafayat Al A’yan, 2/82)
Ulama
Zuhud Kok Gemuk?
IMAM WAQI’ BIN AL JARAH adalah
seorang ulama zuhud dari Iraq. Ulama mujtahid yang berfatwa dengan pendapat
Imam Abu Hanifah ini rajin berpuasa dan qiyam lail. Suatu saat beliau
mengunjungi Makkah dan kala itu tubuh beliau tambun, hingga Fudhail bin
Iyadh bertanya,”Bagaimana anda gemuk, sedangkan anda adalah “rahib” Irak?”
Imam Waqi’ pun menjawab,”Ini karena
saya bahagia dengan Islam.” Memperoleh jawaban demikian, Fudhail bin Iyadh
pun diam. (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, 1/306-309)
Jadi, bukan makanan yang membuat
Imam Waqi' menjadi gemuk seperti yang dialami manusia pada umumnya, namun
karena amat besarnya kebahagiaan beliau dengan nikmat Islam.
Cara
Al Fath Belajar Saat Menjadi Menteri
AL FATH BIN AL KHAQAN walau sudah
menjadi menteri di masa kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di masa
pemerintahan Al Mutawakkil, bukan berarti tidak ada waktu untuk belajar
bagi beliau. Sastrawan ini memiliki tips khusus agar bisa tetap belajar
meskipun ia disibukkan dengan tugasnya sebagai pembanti khalifah. Ia selalu
menyimpan buku di balik lengan bajunya. Ketika ia izin untuk buang air atau
shalat, maka ia keluarkan buku tersebut dan ia baca hingga sampai di tempat
tujuan. Hal yang sama beliau lakukan saat kembali, terus membaca hingga
menempati tempat duduknya (Mu’jam Al Udaba`, 16/78).
Tidaklah heran jika Abu Al ’Abbas
Al Mubarrid mengatakan, bahwa ia belum pernah menjumpai orang yang amat
rakus terhadap ilmu kecuali tiga orang. Salah satunya adalah Fath bin Al
Khaqan, yang wafat pada tahun 247 H ini. (Taqyid Al Ilmi, hal. 139).
“Saya
adalah Hamba Rabb Pengabul Doa Orang Terjepit”
AL HAFIDZ IBNU KATSIR menukil
sebuah kisah berkenaan dengan surat An Naml ayat 62 yang artinya,”Bukankah
Dia (Allah) yang menjawab doa orang yang berada dalam kesulitan apabila dia
berdoa kepada-Nya.”
Al Hafidz Ibnu Katsir menukil dari
Al Hafidz Ibnu Asakir, bahwa beliau mengisahkan, ada seorang laki-laki yang
menyewakan baghalnya dari Damaskus menuju Az Zabadani. Suatu saat seorang
laki-laki menyewa baghalnya melalui jalan yang tidak biasa digunakan
manusia. Menurut laki-laki itu melalaui jalan itu jarak yang ditempuh lebih
dekat. Pemilik baghal pun menolak dan menyatakan bahwa ia tidak pernah
melalui jalan itu. Namun si penyewa tetap bersikeras bahwa dengan melalui
jalan itu jarak yang ditempuh lebih dekat dan akhirnya mereka berdua
melalui jalan tersebut.
Akhirnya sampailah keduanya di
depan jurang dalam yang di dalamnya banyak mayat. Si penyewa baghal pun
menyuruh berhenti pemilik baghal dengan menghunus sebulah pisau. Pemilik
baghal pun lari untuk menyelamatkan diri, namun si penyewa mengejarnya.
“Ambil baghal itu untukmu!” Pemilik baghal berkata, namun orang yang
mengejarnya mengatakan,”Ia memang milikku dan aku ingin membunuhmu!” Si
pemilik baghal berusaha mengingatkan dosa kepada laki-laki yang mengejarnya
namun tidak ada hasilnya. Akhirnya si pemilik baghal pun menyerah.
Namun sebelum dibunuh si pemilik
baghal meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Laki-laki yang
hendak membunuhnya pun mengizinkan, “Kamu boleh mengerjakannya cepat
lakukan!”
Karena katakutannya, saat shalat si
pemilik baghal tidak ingat surat-surat Al Qur`an yang telah ia hafal hingga
ia hanya berdiri dengan kebingungan. Laki-laki yang hendak membunuhnya pun
mengatakan,”Ayo cepat!”
Tiba-tiba Allah menggerakkan lisan
si pemilik baghal hingga akhirnya ia mengucap ayat 62 dari surat An Naml
yang artinya,”Bukankah Dia (Allah) yang menjawab doa orang yang berada
dalam kesulitan apa bila dia berdoa kepada-Nya.”
Setelah itu si pemilik baghal
melihat seorang penunggang kuda di balik jurang yang membawa busur panah.
Kemudian laki-laki melontarkan panah ke arah orang yang menghunus pisau,
hingga tepat mengenai jantungnya, hingga ia tewas seketika.
Si pemilik baghal pun bertanya
kepada pelontar panah,”Demi Allah siapa Anda?” Ia pun menjawab,”Saya adalah
hamba Dia yang menjawab doa orang yang berada dalam kesulitan apabila dia
berdoa kepada-Nya.” (Tafsir Al Qur`an Al Adzim, 3/371)
Kisah
Pena 1 Dinar Al Bikandi
AL HAFIDZ MUHAMMAD BIN ABDISSALAM AL BIKANDI adalah
salah satu guru Imam Al Bukhari. Suatu saat beliau menghadiri majelis imla`
hadits. Saat itu syaikh di majelis tersebut mendiktekan hadits namun
tiba-tiba pena Al Bikandi patah. Khawatir tidak ada kesempatan lagi untuk
mencatat, beliau akhirnya mencari cara agar segera memperoleh pena. Tak
lama kemudian beliau berteriak, ”Saya mau beli pena dengan harga satu
dinar!” Saat itu, banyak pena disodorkan kepada beliau. (Umdah Al Qari,
1/165).
Kini, satu dinar emas, kalau
dikurskan ke rupiah kurang lebih senilai 2,1 juta. Al Bikandi rela
kehilangan uang sebesar itu, sebenarnya bukan untuk membeli pena, tapi,
agar beliau memperoleh kesempatan mencatat hadits. Mereka berdua memilih
kehilangan sekeping dinar emas daripada kehilangan kesempatan menulis
hadits./Hidayatullah.com
At
Thahawi Perlu Izin Qadhi Maliki Sebelum Berfatwa
QADHI ABU UTSMAN AL BAGHDADI
meskipun termasuk ulama besar dan hakim madzhab Al Maliki namun beliau
sering mengunjungi Imam At Thahawi yang bermadzhab Hanafi untuk menyimak
karya-karya beliau.
Suatu saat ketika kedua ulama besar
itu bertemu ada seorang datang untuk meminta fatwa. Imam At Thahawi pun
menyampaikan kepada orang itu,”Madzhab Qadhi demikian…” Si penanya pun
mengatakan kepada Imam At Thahawi,”Saya bukan datang untuk Qadhi,
sesungguhnya saya datang kepada Anda.”
Qadhi Abu Utsman pun turut
berbicara kepada Imam At Thahawi,”Berilah fatwa dengan pendapatmu.”
Imam At Thahawi pun
menjawab,”Sebagaimana telah dizinkan oleh Qadhi, maka silahkan Anda (Qadhi)
memberi fatwa kemudian baru saya.”
Dari kisah ini Al Hafidz As
Sakhawi menyampaikan bahwa
demikianlah adab Imam At Thahawi dan kelebihan beliau sebagaimana Qadhi Abu
Utsman yang mengunjungi beliau juga memiliki adab dan keutamaan.
Kisah ini dinukil Syeikh Muhammad
Az Zahid Al Kautsari ulama Kekhalifahan Al Utmani dari At Tibr Al Masbuq
karya Al Hafidz As Sakhawi (Al Maqalat Al Kautsari, hal. 348)
Gagap
Karena Sisa Susuan Waktu Bayi
IMAM AL HARAMAIN AL JUWAINI faqih
mutakalim madzhab As Syafi'i suatu saat mengalami kegagapan saat berdebat,
hingga ada yang bertanya kenapa hal itu terjadi, pasalnya peristiwa seperti
itu jarang menimpa Imam Al Haramain. Guru Imam Al Ghazali ini pun
menjawab,” Hal ini karena sisa dari susuan.” Si penanya mengejar,”Apa
masalahnya dengan susuan?”
Imam Al Haramian pun
mengisahkan,”Suatu saat ibuku sibuk memasak untuk keluarga, sedangkan aku
masih bayi yang menyusu. Saat itu aku menangis dan di rumah kami ada budak
wanita tetangga, maka ia langsung menyusuiku sekali atau dua hisapan.
Melihat hal itu ayahku menolaknya,’Budak ini bukan milik kita, kita tidak
boleh memanfaatkan susunya dan pemiliknya juga belum mengizinkannya.’”
Imam Al Haramian melanjutkan,”Maka
ayahku membalikkan dan menguncangkan badanku hingga isi perutku seluruhnya
keluar. Dan kegagapan ini sisa dari bekasnya.”
Mengomentari kisah ini Imam
Tajuddin As Subki menyatakan,”Betapa hal ini adala perkara yang menakjubkan
dimana beliau menghitung hal-hal sedikit yang terjadi di masa beliau bayi
yang tidak ada talklif terhadapnya.” (Thabaqat As Syafi'iyah Al Kubra,5/168,169).
Konsekwensi
Pertanyaan "Bagaimana Kabarmu?"
IMAM IBNU SIRIN suatu saat bertanya
kepada seorang laki-laki,”Bagaimana kabarmu?” Laki-laki itupun balik
bertanya,”Bagaimana keadaan orang yang memiliki hutang 500 dirham sedangkan
ia juga menanggung nafkah keluarga?”
Ibnu Sirin pun segera masuk rumah
dan keluar dengan membawa uang 1000 dirham hingga tidak ada sisa uang di
rumah beliau, lalu menyampaikan,” Untuk melunasi hutangmu 500 dan untuk
menafkahi keluargamu 500.” (Ihya’ Ulumuddin, 6/1052)
Pertanyaan Ibnu Sirin mengenai
keadaan laki-laki itu bukanlah perkataan basa-basi belaka, sehingga ketika
mengetahui bahwa ternyata laki-laki itu sedang kesusahan maka beliau
langsung mengulurkan bantuan meski berupa harta yang jumlahnya tidak
sedikit.
|