FILSAFAT
ISLAM AR-RAZI (SEJARAH DAN PEMIKIRANNYA)
Oleh
: Syafieh, M. Fil. I
Pendahuluan
Kalaupun
Islam muncul sebagai sistem peradaban yang mandiri, maka hal itu merupakan
realitas sejarah yang tentu saja bukan untuk arah utama Islam sebagai agama
yang hadir. Dalam arti, Allah mengutus Muhammad membawa Islam tentulah
“tidak direncanakan” untuk muncul sebagai sebuah peradaban. Islam muncul
sebagai sebuah agama dengan membawa aneka sistem keagamaan. Oleh karenanya,
harus dipahami perbedaan Islam sebagai agama dengan Islam sebagai
peradaban.
Peradaban
Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam
Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat
Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh
pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti
bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam
adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu
dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya
transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Filsafat
Islam yang dipelopori oleh para filosof muslim timur telah mengembangkan
sayapnya dan menancapkan cakarnya dengan kuat. Dimulai dari al-Kindi
sebagai filosof Islam pertama kali, kemudian disusul oleh para filosof yang
lainnya. Karena merupakan filosof yang pertama kali, maka al-Kindi dijuluki
sebagai bapak filsafat Islam. Setelah masa al-Kindi, kemudian dilanjutkan
oleh berbagai filosof yang masing-masing mengembangkan karakternya
masing-masing. Setelah itu, filsafat dilanjutkan oleh al-Razi yang menolak
perpaduan antara agama dengan filsafat. Karena menurutnya kebenaran yang
sejati ini adalah kebenaran yang diperoleh dari filsafat. Sedangkan agama
saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka dari itu,
untuk memperbaiki masyarakat, maka harus mengamalkan filsafat. Maka dari
itu, penulis akan membahas secara mendetail pemikiran kedua tokoh tersebut
dalam karya yang berjudul ” al-Razi: Lima Kekal”.
B. Al-RAZI
Biografi dan Pendidikannya
Al
Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana
keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota
bernama Razy, kota tua yang dahulunya bernama Rhogee, dekat Teheran,
Republik Islam Iran. Ia lahir pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1] Beliau
wafat pada Tahun 925 M.[2]
Pada
masa mudanya, ia menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapi). Ia
cukup respek terhadap ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan apabila kedua
matanya buta akibat dari eksperimen yang dilakukannya. Namun, para sarjana
berpendapat bahawa al-Razi mengalami sakit mata dan kemudiannya buta pada
penghujung hayat-nya. Al-Razi menderita akibat ketekunannya menulis dan
membaca yang terlalu banyak. Ia juga belajar ilmu kedoktoran (obat-obatan)
dengan sangat tekun pada seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada
Tahun 192 H/808 M yang bernama Ali Ibnu Robban al-Thabari. Kemungkinan guru
ini pula yang menumbuhkan minat al-Razi untuk bergulat dengan filsafat
agama, karena ayah guru tersebut adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli
dalam kitab-kitab suci.[3]
Selain
al-Razi sang ahli filsafat, ada lagi beberapa nama tokoh lain yang juga
dipanggilkan al-Razi, yakni Abu Hatim al-Razi, Fakhruddin al-Razi dan
Najmuddin a-Razi. Oleh karena itu, agar dapat membedakan al-Razi, sang
filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu
Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).[4]
Walaupun
pada akhirnya beliau dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibnu Sina,
pada awalnya al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang
dikutip oleh Nasr (1968), al-Razi meninggalkan dunia kimia karena
penglihatannya mulai kabur akibat eksperimen-eksperimen kimia yang
meletihkannya dan dengan bekal ilmu kimianya yang luas lalu menekuni dunia
medis kedokteran, yang rupanya menarik minatnya pada waktu mudanya. Ia
mengatakan bahwa seorang pasien yang telah sembuh dari penyakitnya adalah
disebabkan oleh respon reaksi kimia yang terdapat di dalam tubuh pasien
tersebut. Dalam waktu yang relatif cepat, ia mendirikan rumah sakit di
Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan
pendidikan medis. Selang beberapa waktu kemudian, ia juga dipercaya untuk
memimpin rumah sakit di Baghdad.
Menurut
informasi sejarah yang dikemukakan oleh Al-Qifti dan Usaibi’ah sulit
dipercaya. Menurutnya al-Razi berguru kepada Ali Ibnu Rabban al-Thabari,
seorang dokter dan filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh tahun setelah Ali
Ibnu Rabban al-Thabari meninggal dunia. Menurut al-Nadim yang benar adalah
al-Razi belajar filsafat kepada al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu
kuno.
Disiplin
ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan
filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran
dibanding sebagai filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca, agaknya
inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan
akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk diobati dengan
mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan
meninggal.[5]
Di
kala itu, ilmu pengetahuan yang dimiliki al-Razi sangatlah banyak sehingga banyak
orang-orang yang belajar kepadanya. Ini terlihat dengan metode penyampaian
pemikirannya berbentuk sistem pengembangan daya intelektual (sistem
diskusi). Apabila ada seorang murid yang bertanya maka pertanyaan itu tidak
langsung dijawabnya melainkan dilempar kembali kepada murid-murid lainnya
yang terbagi beberapa kelompok. Apabila kelompok pertama tidak dapat
menjawab maka pertanyaan dilempar pada kelompok kedua, dan seterusnya.
Ketika semuanya tidak dapat menjawab ataupun ada yang menjawab tetapi jawabannya
kurang benar, barulah al-Razi yang memebrikan jawaban atas pertanyaan
tersebut.
Karya-Karya al-Razi
Al-Razi
adalah sosok manusia yang dikenal aktif berkarya, ia termasuk filosof yang
rajin belajar dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam
autobiografi pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari
200 buah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.[6] Ibnu abi
Usaibah menyebutkan bahwa al-Razi mempunyai 236 karya, tetapi beberapa diantaranya
tidak jelas pengarangnya.[7]
Melalui
karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis,
terutama dalam prinsip “lima kekal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga
pendukung pandangan naturalis kuno. Selain ulet, ia juga seorang tokoh
intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki sebagai tokoh non-kompromis
terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti
keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian
dan agama”.
Perhatian
utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal. Setelah itu,
moral, kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya kritik
intelektualnya. jiwa merupakan titik kesamaan perhatian utama antara
al-Razi dan Plato. Selain ia seorang filosof, ia juga seorang yang ahli
dalam bidang kimia dan kedokteran. Tulisannya dalam bidang kimia yang
terkenal ialah Kitab Al-Asrar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
Geard fo Cremon. Sedangkan dalam bidang medis atau pengobatan karyanya yang
terbesar ialah al-Hawi, al-Hawi merupakan ensiklopedi ilmu kedokteran,
diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar
luas dan menjadi buku pegangan utama dikalangan kedokteran Eropa sampai
abad ke 17.[8] Agar lebih jelas
karya-karya al-Kindi dikelompokkan seperti di bawah ini:
Ath-Thibb Ar-Ruhani, Ash-Shirat Al-Falsafiyyah, Amarat Iqbal
Ad-Daulah, Kitab Al-Ladzdzah, Kitab Al-Ilm Al-Ilahi, Maqalah Fi Ma’bad
Ath-Thabi’ah, Al-Hawi Fi Ath-Thibb, Manshuri, Kitab Sirr Al-Asrar, Muluki,
Kitab Al-Jami’ Al-Kabir, Sekumpulan risalah logika berkenaan dengan
Kategori-kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan dengan logika, seperti yang
dinyatakan dalam ungkapan kalam Islam, Sekumpulan risalah tentang
metafisika pada umumnya, Materi Mutlak dan Partikular, Plenum dan Vacum,
Ruang dan Waktu, Fisika, Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana,
Tentang Keabadian dan Ketidakabadian Tubuh, Sanggahan terhadap Proclus,
Opini fisika “Piutarch” (Placita Philosophorum), Sebuah Komentar terhadap
Komentar Plutarch tentang Timaeus, Sebuah Komentar tentang Timaeus, Sebuah
Risalah yang menunjukkan Bahwa Benda-benda bergerak dengan sendirinya dan
bahwa Gerakan itu pada Hakikatnya adalah milik mereka, Obat pencahar Rohani
(Spiritual Physic), Jalan Filosofis, Tentang Jiwa, Tentang Perkataan Imam
yang tidak bisa salah, Sebuah Sanggahan Terhadap Kaum Mu’tazilah,
Metafisika Menurut Ajaran Plato, Metafisika Menurut Ajaran Sokrates,
Pemikirannya
Filsafat
al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal,
yakni: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama Ruang Absolut dan Zaman
Absolut, dalam bahasa Arab :
Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan
zaman terbatas yaitu antara al-dahr (duration) dan al-waqt (time). Yang
pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tak berakhir, dan kedua disifati
oleh angka.
Bagi
benda (being) kelima hal itu adalah:
a.
|
Materi,
yakni; apa yang ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.
|
b.
|
Ruang,
yakni; karena materi mengambil tempat.
|
c.
|
Zaman,
yakni; karena materi berobah-obah keadaanya.
|
d.
|
Di
antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Di
antara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan
ciptaan-ciptaan yang teratur.
|
e.
|
Semua
ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
|
Dua
dari yang Lima Kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan roh. Satu daripadanya
tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif
dan tidak pula pasif, ruang dan masa.[9]
Sedangkan
sistematika filsafat Lima Kekal al-Razi dapat dijelaskan sebagai berikut:
pertama, Al-Bari Ta’ala (Allah); hidup dan aktif dengan sifat Independen.
Menurut al-Razi, Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam
diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari
bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak qadim,
baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti
di susun dari bahan yang telah ada.[10] Kedua, an-Nafs al-Kuliyyah (jiwa
universal); hidup dan aktif serta menjadi al-Mabda’ al-qadim ats-tsani
(sumber kekal kedua). Hidup dan aktifitasnya bersifat independen. An-nafs
al-Kulliyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri untuk bersatu
dengan al-hayula al-ula, an-nafs al-kulliyah memiliki zat yang berbentuk
(form) sehingga bisa menerima, sekaligus menjadi sumber penciptaan
benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk pada
benda-benda itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati benda-benda alam
dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Karena semakin lama jiwa
bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk
menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut.
Ketiga,
al-hayula al-ula (materi pertama), tidak hidup dan pasif. Al-hayula al-ula
adalah subtansi (jauhar) yang kekal yang terdiri atas dzarrah, dzarrah
(atom-atom). Setiap atom terdiri atas volume. Jika dunia hancur, volume
juga akan terpecah dalam bentuk atom-atom.materi yang sangat padat menjadi
substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang
menjadi substansi udara dan yang lebih rengggang menjadi api. Al-hayula
al-ula, kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua
ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam
sekejap yang sangat sederhana dan mudah. Dengan kata lain, Tuhan tidak
mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan sebelumya yang kekal karena
mendapat (semacam emanasi, pancaran) dari Yang Maha Kekal. Keempat,
al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut), tidak aktif tidak pasif. Materi yang
kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ”tempat” yang sesuai. Ada
dua macam ruang, yakni; ruang partikular (relatif) dan ruang universal.
Yang partikular terbatas, sesuai dengan keterbatasan maujud yang
menempatinya. Adapun ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada
maujud karena bisa saja dapat terjadi kehampaan tanpa maujud. Kelima,
az-zaman al-muthlaq (zaman absolut), tidak aktif dan tidak pasif. Zaman
atau masa ada dua; relatif/terbatas yang biasa disebut al-waqt dan zaman
universal yang biasa disebut ad-dhar. Yang terakhir ini (ad-dhar) tidak
terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau benda-benda angkasa
raya.[11]
Di
antara filsafat al-Razi antara lain :
Filsafat Metafisika
Al-Razi
adalah sosok filsuf yang berani, rasionalis-empiris dan
argumentasi-argumentasinya banyak dipengaruhi oleh para pemikir besar
Yunani sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, sampai ia dikenal
dikalangan para pemikir Islam sebagai pemikir atheis, dimana
komentar-komentarnya banyak berbeda dengan filsuf muslim lain. Dalam hal
ini diantara pemikirannya yang dianggap keluar dari Islam adalah
pandangannya terhadap ketidakperluan Nabi sebagai perantara wahyu, bahwa ia
mengatakan Tuhan dengan kasih Sayang-Nya memberikan potensi kepada manusia
untuk bisa mengenalnya.
Ketika
ditanya bagaimana filsafat bersikap terhadap imam pada sebuah agama wahyu,
ia menjawab: “Bagaimana seseorang dapat berfikir secara filosofis sedangkan
ia mengikatkan diri pada cerita-cerita kuno, yang ditegakkan atas dasar
kontradiksi, kebodohan yang membandel, dan dogmatisme? Kenabian khususnya
(special prophecy), tegasnya, merupakan sesuatu yang tidak diperlukan:
“Bagaimana anda menerima Tuhan lebih mencintai seorang manusia sebagai
pengemban standar umat manusia, yang membuat manusia lainnya bergantung
padanya? Bagaimana anda dapat mempertemukan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha
Bijaksana dengan memilih seseorang dengan cara demikian, yang membuat umat
manusia siap untuk saling membunuh, menimbulkan pertumpahan darah, perang
dan konflik.![12] Ia sangat dikenal sebagai pemikir kontradiktif
sekaligus pemikir kreatif.
Pikiran-pikirannya sangat brilian, liberal dan radikal sampai dikecam dan
tidak terlalu mendapat simpati dikalangan para ulama dan pemikir Islam
lainnya.
Namun
dalam fokus kita kali ini yang menjadi perhatian kita adalah perhatiannya
terhadap metafisika yang hal ini juga salah satu akibat ia dimarjinalkan
dari konteks kesejarahan Islam. Ada lima teori kekekalan diajukan sebagai
yang mewakili pandangan metafisikanya secara umum; pertama, materi menurut
al-Razi bahwa itu tidak mesti tersusun dari kuantum yang diskret dan tak
dapat dibagi-bagi, materi baginya bergerak menurut unsur-unsur materinya
masing-masing, pendapat ini dijelaskan dengan panjang lebar dalam bukunya
yang membahas bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam tindakan mahluk.
Al-Razi lebih meyakinkan adanya gerak bawaan dan intrinsik, inilah
perbedaan tajam antara fisika Democritus dan Aristoteles.[13]
Keabadian
materi didemontrasikan dalam dua cara. Penciptaan, yaitu tindakan materi
yang sedang “dalam Pembentukan”, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang
Pencipta yang telah mendahuluinya, tetapi juga sebuah substratum atau
meteri dimana tindakan itu melekat. Selain itu, konsep yang sebenarnya dari
penciptaan ex nihilo tidak dapat dipertahankan secara logis, karena jika
Tuhan telah mampu menciptakan sesuatu dari tiada, maka tentu saja ia harus
terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada, karena hal ini merupakan
modus pembuatan yang paling sederhana dan paling cepat. Tetapi karena tidak
demikian halnya, maka dunia haruslah dikatakan telah diciptakan dari materi
tanpa bentuk, yang telah mendahuluinya sejak semula. Materi memerlukan
sebuah locus tempat ia tinggal, dan ini adalah prinsip yang kedua.[14]
Kedua,
Ruang dipahami oleh al-Razi, sebagai sebuah konsep abstrak, yang berbeda
dengan “tempat” (tonos) Aristoteles, tidak dapat dipisahkan secara logis
dari tubuh. Akibatnya, ia menarik garis perbedaan antara tempat atau ruang
universal dan particular. Tempat (ruang) universal sama sekali berbeda
dengan tubuh, sehingga konsep tubuh yang menempatinya tidak perlu masuk
kedalam defenisinya, seperti yang implisit dalam konsep ruang Aristotelian,
atau “batas tubuh yang paling dalam yang terkandung di dalamnya”. Sementara
bagi Aristoteles pun dalam kapasitas universalnya sebagai locus communis,
ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh, alam semesta dan karena itu
bersifat terbatas. Tempat particular, dipihak lain, tidak dapat dipahami
secara terpisah dari materi, yang merupakan esensinya yang sejati. Dalam
hal ini, ia berbeda dengan konsep Aristoteles tentang ruang waktu sebagai
locus atau wahana (vehicle).[15]
Ketiga,
Dalam pandangannya tentang waktu, Al-Razi juga menyimpang dari Aristoteles,
yang memandang waktu sebagai semacam gerak atau bilangan dari padanya.
Konsep seperti itu menyebabkan realitas waktu tergantung secara logis
kepada gerakan secara umum dan gerakan segenap langit secara khusus; tetapi
dalam pandangan Al- Razi, gerak tidaklah menghasilkan tetapi hanyalah
menyingkap atau memperlihatkan waktu, yang karenanya secara esensial tetap
berbeda dengannya. Seperti terhadap ruang lebih lanjut, ia membedakan
antara waktu particular atau tertentu dengan waktu mutlak atau universal.
Yang pertama dibayangkan sebagai (sesuatu) yang dapat diukur dan terbatas,
sedangkan yang terakhir sebagai yang tidak dapat diukur dan tidak terbatas,
sama dengan zaman universal (ad-Dahr) Neoplatonik, yang merupakan ukuran
perlangsungan dunia indriawi, yang disebut oleh Plato “baying-bayang
keabadian yang bergerak-gerak”.[16]
Keempat,
sekaligus kelima, adalah kedua prinsip jiwa dan Pencipta, dalam sistim
al-Razi dikaitkan erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan
masalah yang mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia, yang telah begitu
mengganggu (pikiran) para filosof sejak zaman Plato. Persoalan yang ia
gumuli bukan apakah dunia ini diciptakan atau tidak (karena, seperti Plato,
ia masih percaya bahwa dunia diciptakan dalam waktu yang abadi), melainkan
masalah yang lebih rumit yang terus membahana lewat risalah-risalah polemic
teologi dan filsafat, baik dalam Islam maupun Kristen apakah Tuhan
menciptakan dunia , seperti yang dikatakan oleh kaum skolastik Latin
kemudian, malalui suatu “kemestian alam” (necessity of nature), atau
melalui sebuah tindakan kehendak bebas? Jika “kemestian alam” yang dituntut
katanya, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa Tuhan, yang menciptakan
dunia dalam waktu, berada dalam waktu itu sendiri, karena suatu produk
alamiah harus terjadi secara niscaya atau pelaku alamiahnya dalam waktu.
Dipihak lain, jika tindakan kehendak bebaslah yang akan dijadikan jawaban,
maka pertanyaan lain segera akan muncul, “Mengapa Tuhan lebih suka
menciptakan dunia dalam waktu particular ketimbang dalam (cara) yang
lainnya. Jiwa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bentuk-bentuk
kekekalan yang lain bersifat sama-sama kekal dengan Tuhan terpaksa
mengadakan apa yang tidak dapat dicapai jiwa secara mandiri, yakni, kesatuan
dengan bentuk-bentuk material. Dengan kesatuan inilah maka penciptaan
dunia, dimana jiwa tetap ‘seorang’ asing untuk selamanya terjalin. Berkat
cahaya akal maka jiwa, yang telah demikian terpikat oleh bentuk-bentuk
material dan kesenangan-kesenangan indriawi, pada akhirnya sadar akan
nasibnya yang sejati dan terdorong untuk mencari tempat pemukimannya
kembali di dunia akali yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.[17]
Pandangan
al-Razi tentang kesengsaraan jiwa dalam dunia indriawi sabagai sambungan di
atas, seperti Epicurus, al-Razi berminat pada sisi patologis agama, dan
ingin agar akal bisa menghalau kewajiban-kewajiban tertentu agama, demi
kepentingan kesehatan mental atau kejernihan moral. Ritual (mazhab),
tegasnya, berkaitan dengan hasrat (passions), bukan pikiran “kebersihan dan
kesucian harus dipertimbangkan semata-mata dengan indra, bukan dengan
deduksi dan harus diperlakukan berdasarkan persepsi bukan praduga”. Adalah
wajib untuk menuntut pelbagai tingkat kesucian yang diserukan bukan oleh tuntutan-tuntutan
agama atau bahkan oleh respon sensivitas berlebihan. Sebab, kata al-Razi,
bukan agama atau sensibilitas yang dapat merespon secara rasional terhadap
kekotoran-kekotoran yang tidak dapat dirasakan. Penolakan al-Razi terhadap
sensivitas yang berlebihan sebagai suatu keburukan adalah sesuai dengan
pemahaman psikiatrisnya, terutama mengenai melankolia alias depresi.
Filsafat Rasionalis (akal)
Harun
Nasution dalam bukunya falsafat mistisisme dalam Islam diungkapkan bahwa;
Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan
tidak percaya pada wahyu dan nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia
kuat untuk mengetahui apa yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada
Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia terlahir pada
dasarnya telah dibekali akan sebuah potensi daya berpikir yang sungguh sama
besarnya, dan perbedaan itu timbul
karena berlainan pendidikan dan berlainan suasana perkembangannya.
Ia tidak percaya dengan para Nabi karena dia menganggap para Nabi membawa
tradisi berupa upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang
pikirannya sederhana. Ia juga berani menganggap bahwa al-Qur’an bukan
mukjizat. Tetapi yang diutamakan baginya adalah buku-buku falsafat dan ilmu
pengetahuan daripada buku-buku agama. Walaupun ia menentang agama pada
umumnya, ia bukanlah seorang ateis, akan tetapi ia seorang monoteis yang
percaya pada adanya Tuhan sebagai pengatur alam.[18]
Dalam
hal ini, Badawi menerangkan alasan-alasan al-Razi dalam menolak kenabian,
adapun alasan-alasannya antara lain: pertama, akal sudah memadai untuk
membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan tidak berguna.
Hanya dengan akal semata, manusia mampu mengetahui Allah yang mengatur
kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kedua, tidak ada alasan yang kuat bagi
pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua
orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena
pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan. Ketiga, para
Nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika
mereka berbicara atas nama satu Allah.[19]
Sebagai
bukti sikap Rasionalis yang dimiliki oleh al-Razi terhadap akal, terlihat
dalam bukunya Ath-Thibb Ar-Ruhani. Dalam Kitab tersebut, ia mengatakan:
”Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar
dengannya, kita memperoleh sebanyak-banyak manfa’at. Inilah karunia terbaik
Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat
hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh,
dan yang tersembunyi dari kita .. dengan akal pula, kita dapat memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita
peroleh ... jika akal sedemikian mulia dan penting; kita tidak boleh
melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu,
atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau
memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah. Tetapi kita harus merujuk
kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita
harus sesuai dengan perintahnya".[20]
Pernyataan
al-Razi merupakan suatu ungkapkan keagungannya terhadap akal. Al-Razi memang
menentang kenabian wahyu dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus masuk
akal ilmiah dan logis. Sehingga akal sebagai kriteria prima dalam
pengetahuan dan prilaku. Perbedaan manusia adalah disebabkan oleh
berbedanyan pemupukan akal karena ada yang memperhatikan hal tersebut dan
ada yang tidak memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun yang
bersifat praktis.[21]
Fenomena
yang terjadi, bahwa al-Razi adalah seorang yang selalu mengagungkan akal,
ini terbantah karena pendapat demikian adalah sebuah tuduhan-tuduhan yang
diberikan kepadanya dari lawan-lawan debatnya. Hal seperti ini lumrah
terjadi karena untuk kepentingan politik semata yang kalah tetapi tidak
sadar diri. Dalam bukunya al- Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan
bahwa al-Razi mengingkari kenabian ataupun agama, namun sebaliknya ia
mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepada agama, karena
dengan agama akan mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan
mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Dalam buku tersebut ia
mengatakan:
”Mengendalikan
hawa nafsu adalah wajib menurut rasio, menurut semua orang berakal dan
menurut semua agama dan wajiblah manusia yang baik, Manusia yang utama dan
yang melaksanakan syari’ah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian.
Hal ini disebabkan syari’ah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan
serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.[22]
Selain
itu, al-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah
kata ”Semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik,
Nabi Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada
Sayid kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari kiamat, yakni Muhammad.
Semoga Allah melimpahkan kepadanya Shalawat dan Salam yang banyak selama-lamanya.[23]
Denganh demikian, tuduhan-tuduhan itu terbantahkan, al-Razi adalah seorang
rasionalis religius, bukan rasionalis liberal karena al-Razi masih mengakui
dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan.
Filsafat Jiwa (ruh)
Mengenai
filsafat tentang jiwa (ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul
dari buah pikiran al-Razi, yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain,
setelah kematian? Keabadian lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup,
tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena kebodohannya ruh mencintai
materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh kebahagiaan materi.
Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh.
Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam. Kemudian
Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah manusia yang berguna untuk menggerakkan aktifitas
di dunia ini.
Dalam
filsafatnya mengenai hubungan manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat
Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali
kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan,
maka roh harus lebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan membuat
pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi
jalan mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan
yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang
bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai
tidak makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk
memelihara diri.[24]
Kesimpulan
Dari
pembahasan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Abu
Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi
atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang
pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864-930. Ia lahir di Rayy. Al-Razi
lahir pada tanggal 28 Agustus 865 Hijirah dan meninggal pada tanggal 09
Oktober 925 Hijriah. Nama Razi-nya berasal dari nama kota Rayy.Ia adalah
seorang pemikir atau filosof yang rasionalis yang tidak mempercayai wahyu
dan kenabian. Namun ia juga seorang muslim yang ingin menginterpretasikan
pemahamannya tentang Tuhan dan makhlukNya. Karena ia seorang dokter, maka
karyanya yang banyak adalah dalam bidang kedokteran.
Pemikiran
filsafatnya sangat rasionalis, bahkan ia tidak mempercayai eksistensi
al-qur’an dan kenabian. Ajaran yang terkenal darinya adalah lima kekal. Di
samping itu, ia juga mempunyai ajaran etika agar manusia tidak terlalu
zuhud dan juga tidak terlalu bermewah-mewah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Razi, Abu Bakar, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd
Al-Lathif Al-Ghaid, Kairo: Maktabat
al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978
Dahlan, Ahmad Aziz,
Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats
al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah, 1982
Luthfi Jum’ah, Muhammad, Tarikh Falasifah Al-Islam, Mesir,
t.tp,1927
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung:
Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun,
Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973
Nashr, Sayyed Husein,
(edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Tej. Mizan, Mizan,
Bandung: 2003
Ridah, Abu, Rasa’il al-Kindi Al-Falsafiyah, Kairo:
t.t, 1950
Razi, Al, Rasa’il Falsafiyah Islam, Beirut: Dar
al-Afaq al-Jadidat, 1982
Salam, Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad
Baiquni, Bandung: Salman ITP, 1983
Syahrastaniy, Al, al-Milal wa
al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy,
vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Zar, Sirajuddin,
Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004
[1] M.M.
syarif, dkk, History of Muslim Philosophy … , hlm. 434.
[2] Harun
Nasution berbeda pendapat mengenai lahirnya Al-Razi, ia menuliskan dalam
bukunya Falsafah dan Mitisisme dalam Islam, bahwa al-Razi lahir pada tahun
863. Lebih jelas lihat, Harun Nasution, Falsafah dan Mitisisme dalam Islam
… , hlm. 21.
[3] A.
Mustofa, Filsafat Islam … , hlm. 115.
[4] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya ... , hlm. 113.
[5] M.M.
Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy…,hlm. 436.
[6] Al-Razi,
Rasa’il Falsafiyah Islam, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm. 109.
[7] M.
M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy…, hlm. 36.
[8] Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam …, hlm. 151
[9] Harun
Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm. 22.
[10] Abu
Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat,
1978), hlm.12.
[11] M.M.
Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy…,
hlm.38
[12] Sayyed
Husein Nashr, (edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Tej. Mizan,(
Mizan, Bandung: 2003), hlm. 250-251.
[13] Ibid,.
hlm. 246.
[14] Majid
Fakry, Sejarah Filsafat Islam ... , hlm. 157.
[15] Ibid,.
hlm. 158.
[16] Ibid,
[17] Ibid,
hlm. 160.
[18] Harun
Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam …, hlm. 24
[19] M.
M. Syarif, Para Filosof Muslim … , hlm. 47
[20] Seyyed
Hosen Nasser & Oliver Leaman (edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 669.
[21] H.
A. Mustofa, Filsafat Islam … , hlm.118
[22] Ahmad
Aziz Dahlan, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah
Ihya’Al-Thurats al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, (Beirut: Dar al-Falaq
al-Jadidah, 1982), hlm. 95-96
[23] Ibid.,
hlm.185
[24] Harun
Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ... , hlm.24-25
|