Ketika Imam Bin Suhnun Tenggelam
dalam Ilmu
IMAM MUHAMMAD BIN SUHNUN (256 H), sudah terbiasa mengisi hari-hari
dengan menelaah dan menulis. Aktivitas itu beliau lakukan hingga larut
malam. Mengetahui majikannya sibuk, budak beliau yang biasa dipanggil Ummu
Mudam menyediakan makanan, lalu mempersilahkan Imam Bin Suhnun untuk makan.
Akan tetapi ulama pengikut madzhab Maliki tersebut hanya
menjawab,”Saya saat ini sedang sibuk.”Dan beliau tetap asyik dengan tulisan
dan tidak menyentuh makanan yang telah disediakan. Hal itu mendorong Ummu
Mudam berinisiatif menyuapkannya hidangan itu ke mulut sang majikan. Suapan
demi suapan ia berikan hingga makanan itu habis.
Saat adzan shubuh berkumandang, kepada budaknya, Imam Bin Suhnun
mengatakan,”Saya telah menyibukkanmu tadi malam wahai Umu Mudam, sekarang
mana makanan itu?”
Budak itu menjawab,”Demi Allah wahai tuan, saya sudah menyuapkannya
ke mulut Anda.” Bin Suhnun terheran,”Saya tidak merasa!” (At Tartib Al
Madarik, 4/217)
Menjual Ulama
IMAM IZZUDDIN BIN ABDISSALAM
saat ditangkap di Al Quds oleh penguasa Syam Sultan Shalih Ismail dikurung
dalam sebuah tenda yang dijaga ketat banyak pasukan. Saat itu pula Sultan
Shalih Ismail mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Frank Kristen.
Di saat pertemuan berlangsung, suara Imam Izzuddin yang melantunkan
bacaan Al Qur`an terdengar hingga sampai ke telinga para penguasa itu,
hingga Sultan Ismail mengatakan kepada para penguasa Kristen, “Apakah
kalian mendengar seorang syeikh membaca Al-Qur`an?” Mereka serempak
menjawab,"Iya".
Shalih Ismail menjelaskan lalu menjelaskan,“Dia adalah pendeta
tertinggi umat Islam. Aku sengaja mengurungnya karena ia menentangku
menyerahkan benteng-benteng umat Islam kepada kalian. Aku pecat ia dari
tugasnya sebagai khatib di Damaskus. Kemudian kuusir, hingga ia datang ke
Al Quds. Aku menangkapnya dan menahannya kembali untuk kalian.”
Namun para penguasa Kristen itu justru menjawab,”Kalau seandainya
orang itu adalah pendeta kami, maka kami akan cuci kakinya dan kami minum
air sisa cuciannya” (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/244).
Para penguasa Muslim yang “menjilat” musuh hingga mau mendzalimi para
ulama mungkin berfikir bahwa apa yang
ia lakukan akan membuat musuh menaruh hormat kepadanya. Namun bisa
jadi musuh yang dibelanya justru melihat perbuatannya itu sebagai perbuatan
bodoh yang menghinakan.
Imam Malik 49 Tahun Shalat Shubuh
dengan Wudhu Isya'
IMAM IBNU QASIM salah satu murid Imam Malik mengisahkan,”Aku
mendatangi Malik pada waktu sahur dan bertanya satu hingga empat masalah.
Aku mendapati Imam Malik tidak mempermasalahkan kedatanganku saat sahur,
hingga aku selalu mendatanginya di waktu itu.”
Imam Ibnu Qasim melanjutkan,”Suatu saat aku bersandar di tangga depan
pintu Imam Malik hingga aku tertidur sedangkan Imam Malik keluar ke masjid
namun aku tidak merasakannya. Akhirnya seorang budak hitam wanita
membangunkanku dengan kakinya lalu mengatakan,’Sesungguhnya tuanmu (Imam
Malik) tidak lalai seperti kelalainmu, selama 49 tahun beliau tidak shalat
shubuh kecuali dengan wudhu Isya`.’” (Tartib Al Madarik,
3/250)/Hidayatullah.com
Belajar Ihya Ulumuddin Tengah
Malam
IMAM ABU FATH AL BAGHDADI adalah seorang ulama madzhab As Syafi’i
yang merupakan murid Imam Al Ghazali. Beliau dikenal sebagai ulama yang
mensibukkan diri di malam hari dengan ilmu. Sehingga, ketika ada sekelompok
pencari ilmu datang untuk meminta waktu belajar Ihya Ulumuddin beliau
mengatakan,”Saya tidak ada waktu untuk kalian.”
Akhirnya mereka berusaha memberikan alternatif waktu, namun Imam Abu
Fath menyatakan,”Itu waktu saya mengajar pelajaran si fulan.”Akan tetapi
para pencari ilmu itu tidak patah semangat, mereka masih mencari celah
waktu Imam Abu Fath. Akhirnya ditemukan juga waktu dimana Imam Abu Fath bisa
mengajar mereka Ihya Ulumuddin, yakni di tengah malam (Thabaqat As
Syafi’iyah Al Kubra, 6/30).
Demikian besar kesabaran Imam Abu Al Fath dalam menebarkan ilmu dan
demikian kuat semangat pula para pencari ilmu waktu itu untuk belajar
meskipun di tengah malam.
"Pukulah Saya Tapi Berikan
Hadits”
IMAM HISYAM BIN AMMAR AT TSULAMI adalah ulama hafidz dan qari yang
menjadi guru Imam Al Bukhari, Imam An Nasai, Imam Abu Dawud dan lainnya.
Pada waktu kecil beliau sudah menghadiri majelis hadits Imam Malik. Di majelis
tersebut beliau meminta hadits langsung kepada Imam Malik, sedangkan sang
Imam memintanya untuk membaca namun At Tsulami tetap ingin menyimak.
Kemudian Imam Malik pun memerintahkan seseorang untuk memukulnya 15
kali dengan sebat pendidik. At Tsulami pun menyampaikan,”Anda telah
mendzalimi saya dengan memukul 15 kali tanpa dosa, saya tidak akan
memaafkan Anda.”
Imam Malik pun menyampaikan,”Jika demikian, apa kafarahnya?” At
Tsulami menyampaikan,”Kafarahnya adalah Anda menyampaikan 15 hadits untuk saya.”
Akhirnya Imam Malik menyampaikan 15 hadits untuknya.
Namun setelah itu At Tsulami masih belum puas, beliau kembali
memberikan tawaran kepada Imam Malik,”Tambahkan pukulan lagi untuk saya dan
tambahkan pula haditsnya.” Imam Malik pun tertawa. (Tahdzib Al Kamal,
3/1144)/Hidayatullah.com
Jadikanlah Kami Bersama Penerobos
Benteng…
MASLAMAH BIN ABDUL MALIK BIN MARWAN tabi’in yang menjadi panglima
perang di masa kekuasaaan Umawi suatu saat mengepung sebuah benteng musuh.
Ada yang berlobang pada dinding benteng itu, hingga beliau mempersilahkan
siapa saja menjadi relawan untuk memasuki lobang itu dan membuka benteng
dari dalam. Namun, setelah ditunggu tidak ada yang berani mengajukan diri.
Akhirnya, seorang prajurit rendahan siap menjadi relawan untuk memasuki
lubang benteng tersebut, hingga akhirnya pintu benteng terbuka dan pasukan
Maslamah berhasil menguasai benteng itu.
Setelah perang usai Maslamah mencari-cari relawan tadi, namun tidak
ada yang datang menemui beliau. Akhirnya beliau memerintahkan penjaga untuk
mencari si penerobos untuk dibawah ke perkemahan guna menghadap.
Kemudian seorang laki-laki datang menemui penjaga dan minta izin
untuk menemui Maslamah. Penjaga pun bertanya,”Engkau si penerobos?”
Laki-laki itu menjawab,”Saya akan memberi informasi tentangnya.” Akhirnya
laki-laki itu dibawa penjaga untuk menemui Maslamah.
Di depan Maslamah laki-laki itu lantas menyampaikan,”Sesungguhnya si
penerobos menginginkan tiga hal dari Anda. Jangan engkau tulis namanya
untuk dilaporkan kepada khalifah, jangan diperintah mengenai apa pun, dan
jangan ditanya dari kabilah mana ia berasal.”Maslamah pun
menjawab,”Permintaan itu saya penuhi.” Lantas laki-laki itu pun
mengatakan,”Sayalah si penerobos itu.”
Setelah persitiwa itu, Maslamah tidak melaksanakan shalat
kecuali meamnjatkan doa,”Ya Allah
jadikanlah aku bersama si penerobos.” (Uyun Al Akhbar, 1/172).
Demikianlah orang shalih terdahulu dalam menyembunyikan amalan,
mereka menjauhi popularitas dan tidak ingin memperoleh penghargaan manusia
dari jasanya./Hidayatullah.com
Menghafal Delapan Bait di Hari
Kematian
IBNU MALIK, ulama nahwu memiliki semangat yang cukup tinggi dalam
mencari ilmu. Hal ini tercermin dari kesungguhan beliau menghafal ilmu
meskipun ajal hendak menjemput. Dimana beliau sempat menghafal delapan bait
ilmu, di hari wafatnya beliau. Di saat beliau sedang sakit keras, putranya
membantu mendiktekan bait tersebut (Nafh At Thayib, 2/222, 229).
Kitab Alfiyah yang mengandung seribu bait yang memuat kaidah ilmu
nahwu dan sharf merupakan salah satu karya Imam Ibnu Malik. Kitab itu kini
menjadi salah satu referensi induk dalam bidang nahwu. Kitab itu pun
digunakan di ratusan atau bahkan mungkin ribuan pesantren di dunia Islam.
Kesungguhan Ibnu Malik dalam mencari ilmu memudahkan para pencari ilmu setelah
beliau menghafal kaidah-kaidah bahasa Arab. Rahimahullah Ta’ala.
Pertolongan Allah terhadap Ulama
dari Kedzaliman Penguasa
BUNAN AL HAMMAL AL BAGHDADI seorang muhaddits yang zuhud suatu saat
mengkritik Ibnu Thulun seorang penguasa Mesir waktu itu. Ibnu Thulun tidak
menerima nasihat itu, malah membuatnya murka. Sehingga, ia memerintahkan
para prajurit untuk mencampakkan Bunan Al Hammal ke dalam kandang singa.
Namun singa-singa yang sebelumnya tampak buas sama sekali tidak
menyerang Bunan Al Hamal, hewan-hewan itu hanya mengendus-endusnya saja.
Akhirnya Bunan Al Hamal pun dibebaskan.
Menyaksikan peristiwa yang tidak lazim itu, masyarakat
terheran-heran, hingga mereka bertanya kepada Bunan Al Hamal, ”Bagaimana
perasaan Anda saat singa itu mengendus badan Anda?”
Bunan Al Hammal menjawab, ”Saat itu saya berfikir mengenai khilaf
para ulama tentang hukum liur binatang buas, najis atau tidak.” (Tarikh Al
Baghdad, 7/101)
Menghafal Delapan Bait di Hari
Kematian
IBNU MALIK, ulama nahwu memiliki semangat yang cukup tinggi dalam
mencari ilmu. Hal ini tercermin dari kesungguhan beliau menghafal ilmu
meskipun ajal hendak menjemput. Dimana beliau sempat menghafal delapan bait
ilmu, di hari wafatnya beliau. Di saat beliau sedang sakit keras, putranya
membantu mendiktekan bait tersebut (Nafh At Thayib, 2/222, 229).
Kitab Alfiyah yang mengandung seribu bait yang memuat kaidah ilmu
nahwu dan sharf merupakan salah satu karya Imam Ibnu Malik. Kitab itu kini
menjadi salah satu referensi induk dalam bidang nahwu. Kitab itu pun
digunakan di ratusan atau bahkan mungkin ribuan pesantren di dunia Islam.
Kesungguhan Ibnu Malik dalam mencari ilmu memudahkan para pencari ilmu
setelah beliau menghafal kaidah-kaidah bahasa Arab. Rahimahullah Ta’ala.
Hidangan Lezat di Bawah Pedang
Tergantung
SYEIKH ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH, seorang ulama muhaddits pengikut
madzhab Hanafi mengisahkan dari beberapa ulama Pakistan mengenai kahidupan
seorang penguasa di Pakistan Utara, yakni Amir Mahsud.
Suatu saat ada seorang lelaki dari rakyat jelata yang mengeluh kepada
Amir Mahsud mengenai kecemasannya dan kasusahannya. Ia sendiri menyatakan
kepada sang amir,”Sedangkan engkau hidup dalam keadaan baik, demikian pula
makanan dan minumanmu. Engkau adalah penguasa yang segala sesuatu
dihidangkan untuk dirimu.” Mendengar pernyataan si lelaki, Amir Mahsud
terdiam dan tidak menjawab.
Kemudian Amir Mahsud mengundang lelaki tersebut untuk menyantap
hidangan di istananya. Namun di atas meja hidangan tergantung sebuah pedang
besar yang tajam pada sebuah tali yang hendak putus, yang suatu saat bisa
membuat pedang itu jatuh dan menebas siapa saja yang berada di bawahnya.
Amir Mahsud kemudian mempersilahkan kepada si lelaki untuk menikmati
hidangan,”Silahkan engkau menikmati berbagai jenis makanan, sesungguhnya
makanan itu sangat lezat.”
Si laki-laki mengatakan,”Memang demikian, akan tetapi ketakutanku
akan jatuhnya pedang itu membuatku tidak bisa menikmati hidangan.”
Amir Mahsud pun mengatakan,”Demikianlah kehidupanku yang engkau iri
dengannya. Engkau menginginkan sesuatu yang engkau sendiri jahil
terhadapanya. Sesungguhnya aku terancam oleh pembunuhan setiap saat dari
musuhku atau kerabatku yang tamak terhadap kekuasaanku, baik dengan
meracunku melalui makanan, dengan membunuhku di waktu tidur atau dengan
memberontak dan menggulingkan kekuasaanku.” (Ta’liq Risalah Al
Mustarsyidin, hal. 223-224)/Hidayatullah.com
Adab "Bertetangga"
dengan Malaikat
IMAM IBNU ABI JAMRAH AL ANDALUSI rahimahullah menyampaikan,”Jika
engkau yakin mengenai hak tetangga rumahmu, sedangkan dintara dirimu dan
dia dibatasi dinding yang bisa menghalangi kedzaliman darimu terhadapnya
dan engkau diperintahkan untuk berbuat kebaikan terhadapnya, maka bagaimana
dengan dua malaikat yang selalu mengawasi yang tidak terpisah dinding dan
pembatas? Sedangkan engkau menyakiti keduanya sepanjang waktu dengan
terus-menerus melakukan maksiat.” (Buhjah An Nufus, 4/165)/hidayatullah.com
Tolak Konsumsi Daging Kambing saat
Ada Kambing Dicuri
IMAM ABU HANIFAH menahan diri tidak memakan daging kambing, setelah
mendengar bahwa bahwa ada seekor kambing dicuri.
Imam Abu Hanifah menahan untuk tidak memakan daging kambing selama
beberapa tahun, sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya, hingga
diperkirakan kambing itu telah mati. (Ar Raudh Al Faiq, hal. 215)
Demikianlah sifat wara’ Imam Abu Hanifah dalam hal menjaga makanan.
Semoga kita bisa mengambil ibrah./Hidayatullah.com
Utamakan Pihak Lain dalam Berfatwa
IMAM IBNU ABI LAIILI, salah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in
menyampaikan,”Aku mengetahui 120 kaum Anshar dari para sahabat Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassallam. Ketika salah satu dari mereka ditanya
mengenai sebuah masalah, maka ia menyarankan kepada si penanya untuk
menanyakan kepada yang lain, dan yang lain pun menyarankan untuk bertanya
kepada pihak lain juga, demikian selanjutnya hingga kembali kepada orang
yang pertama.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Imam Ibnu Abi Laili mengatakan,”
Tidak ada dari mereka menyampaikan hadits kecuali mengutamakan saudaranya.
Dan ia tidak diminta fatwa tentang sesuatu kecuali mengutamakan
saudaranya.” (Adab Al Fatwa wa Al Mustafti wa Al Mufti, hal. 14)
Generasi awal memandang bahwa berfatwa merupakan perkara yang
memiliki tanggung jawab amat besar, hingga mereka tidak "rakus"
dalam masalah ini. Sehingga mereka saling melimpahkan fatwa kepada pihak
lain./Hidayatullah.com
Ikhtilaf Tidak Merusak
Persahabatan
IMAM AS SYAFI'I rahimahullah pernah terlibat perdebatan dengan Yunus
Bin Abdil A’la. Namun setelah peristiwa itu, sang pendebat yang juga
merupakan sahabat dekat malah menaru rasa hormat dengan mengatakan,”Aku
belum pernah melihat orang yang lebih berakal daripada As Syafi’i, suatu
hari aku mendebatnya dalam suatu masalah, kamudian kami berpisah. Namun
setelah itu ia menemuiku dan menggandeng tanganku kemudian
mengatakan,’Wahai Abu Musa, bukankah labih baik kita tetap menjadi saudara
walau kita berbeda dalam satu masalah?’" (Siyar A’lam An Nubala’,
10/16)
Kepada merekalah kita mengambil teladan dalam menyikapi masalah
ikhtilaf, hingga tidak menyebabkan ukhuwah Islamiyah menjadi
rusak./hidayatullah.com
Anjing pun Memiliki Hak Atas Jalan
Suatu saat Imam Abu Ishaq berjalan bersama para sahabat beliau. Di
tengah perjalanan terlihat seekor anjing berjalan berlawanan dengan arah
rombongan tersebut. Salah seorang dari sahabat beliau pun menghardik anjing
tersebut.
Menyaksikan peristiwa itu, Imam Abu Ishaq Asy Syirazi mengatakan
kepada sahabat beliau itu,”Apakah engkau tidak tahu, bahwa baik saya maupun
anjing itu memiliki hak atas jalan ini?!” (Al Majmu, 1/24)/Hidayatullah.com
Tidak Perangi Musuh, Tapi Suka
Perangi Muslim
Sufyan bin Husain Al Wasithi berkisah,”Aku bercerita mengenai
keburukan seorang lelaki di hadapan Iyas bin Al Muzani, seorang tabi'in
yang menjadi hakim Bashrah. Maka ia menatap wajahku dan mengatakan,’Engkau
pernah ikut berperang melawan Romawi?’ Aku mengatakan,’Tidak’. ‘Bagaimana
dengan Sind (sekarang Pakistan), India, dan Turki?’ Aku mengatakan,’Tidak’.
Bagaimana bisa selamat darimu Romawi, Sind, India, dan Turki namun tidak
selamat dari darimu saudaramu Muslim?’”
Sufyan bin Husain Al Wasithi akhirnya tidak pernah menceritakan aib
orang lain kepada manusia dan menghibahnya. (Al Bidayah wa An Nihayah,
9/336).*/hidayatullah.com
Lima Calon Penghuni Neraka
MISI Rasulullah adalah memberi kabar gembira dan peringatan bagi
seluruh umat manusia, tanpa terkecuali (QS. Saba’: 28). Oleh karenanya,
kita menemukan sangat banyak hadits yang berisi kabar gembira seperti
jaminan kemenangan Islam dan keindahan surga; atau berisi peringatan
seperti pasti hancurnya kebatilan dan kengerian neraka. Sebagian hadits
beliau bahkan memberikan rincian cukup detil, sehingga semakin mudah
diamalkan.
Di antara rincian detil yang pernah beliau ungkapkan adalah ciri-ciri
calon penghuni neraka. Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’ie, diantaranya beliau
menyebutkan sifat lima golongan yang kelak akan menjadi penghuni neraka.
Mari kita teliti satu per satu, semoga kita bisa mengintrospeksi diri dan
menghindarinya.
Pertama, orang lemah yang tidak berakal. Menurut Imam Nawawi dalam
Syarah Shahih Muslim, yang dimaksud adalah orang yang tidak memiliki akal
yang bisa mencegahnya dari segala sesuatu yang tidak pantas. Dalam Mirqatul
Mafatih, Mulla ‘Ali Al-Qari menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang
yang tidak punya keinginan selain memenuhi isi perutnya dengan segala cara,
tidak perduli halal maupun haram. Keinginan terbesar mereka tidak pernah
beranjak naik dari tingkatan hewani ini, baik dalam urusan agama maupun
duniawinya. Perkara ini senada dengan firman Allah:
“Maka berpalinglah engkau (hai Muhammad) dari orang yang berpaling
dari peringatan Kami, dan dia tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.
Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang
paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Najm: 30).
Kedua, pengkhianat. Teks haditsnya menjelaskan bahwa orang ini memang
tidak tampak nyata sifat khianatnya, namun dia punya keinginan ke arah
sana. Jika ada kesempatan, meskipun sangat kecil, niscaya dia akan
berkhianat juga. Na’udzu billah. Oleh karenanya, Rasulullah pernah
menyatakan bahwa satu diantara tiga tanda orang munafik adalah suka
berkhianat. Allah juga pernah menyinggung sifat orang semacam ini dalam
firman-Nya:
“Dan janganlah kamu berdebat
(untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.
Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi
dari Allah, dan Allah beserta mereka ketika pada suatu malam mereka
menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha
Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa':
107-108).
Ketiga, penipu. Dalam hadits itu disebutkan: “Seseorang yang tidak
memasuki waktu pagi maupun sore melainkan ia pasti menipumu, baik dalam
urusan hartamu maupun keluargamu.” Tidak salah lagi, orang ini pasti penipu
tulen, tembus dari permukaan kulit sampai tulang sungsumnya! Bayangkan,
tidak pagi tidak sore, pekerjaannya melulu hanya menipu, menipu, dan
menipu, dalam segala hal. Adakah kebaikan yang bisa diharapkan darinya?
Apakah Allah bersedia mengasihi dan menghindarkan orang semacam ini dari
neraka?
Keempat, pembohong atau orang pelit. Sebagian riwayat menyebut
“pembohong”, sedangkan riwayat lainnya menyitir “orang pelit”. Mana pun
dari keduanya yang tepat, sama saja buruknya. Dikatakan dalam sebuah hadits:
“Ada tiga hal yang membuat (seseorang) binasa, yaitu sifat pelit yang
ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan, dan ketakjubannya pada diri
sendiri.” (Riwayat al-Bazzar dan al-Baihaqi, dengan sanad hasan
li-ghairihi). Adapun tentang berbohong, kita sudah diberitahu bahwa ia
adalah satu diantara tiga ciri kemunafikan. Padahal, Allah telah menyatakan
bahwa orang munafik kelak akan berada di kerak neraka, yakni yang paling
dahsyat siksaannya (QS. an-Nisa’: 145). Na’udzu billah.
Kelima, orang yang berakhlak buruk dan banyak berkata/berbuat keji.
Tidak sedikit ayat atau hadits yang menganjurkan akhlak terpuji, dan
sebaliknya melarang dari akhlak tercela. Bentuknya bisa bermacam-macam,
karena memang variasinya pun sangat luas. Maka, ketika menggambarkan sifat-sifat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Anas bin Malik berkata, “Beliau
bukanlah orang yang suka mencaci, bukan orang yang suka berkata/berbuat
kotor, dan bukan pula orang yang suka melaknat.” (Riwayat Bukhari).
Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang mencela Usamah bin Zaid
dengan celaan yang sangat buruk. Ketika itulah Usamah berkata, “Sungguh
engkau telah menyakitiku. Sungguh aku telah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwasannya Allah membenci orang yang
keji dan suka berkata/berbuat keji. Dan sungguh, engkau ini orang yang keji
dan suka berkata/berbuat keji.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban. Hadits
hasan).
Bila logikanya kita balik, kelima sifat diatas bisa diperjelas oleh
hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairah: bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang apa yang paling banyak menyebabkan
manusia masuk surga? Beliau menjawab, “Ketakwaan dan akhlak yang baik.”
(Riwayat al-Hakim. Menurut adz-Dzahabi: hadits shahih). Maksudnya, kelima
sifat diatas seluruhnya merupakan kebalikan dari ketakwaan dan akhlak
mulia, yaitu: tidak berpegang pada nilai-nilai kebajikan, suka menipu,
gemar berkhianat, pembohong, pelit, dan banyak berbuat keji; sehingga
buahnya pun berkebalikan dari surga, yaitu neraka. Semoga Allah membimbing
kita semua untuk menjauhinya. Amin. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar
Sahabatku, mari kita kenali tujuh hijab hati agar kita dapat
menjauhinya:
"Azzunub",
tumpukan dosa tanpa diiringi dengan kesungguhan bertaubat
"Alwasikh" banyak
makan dan minum haram
"Aljahlu" sangat
pintar ilmu dunia tetapi bodoh dan malas belajar Islam
"Alhawa tutbau"
Nafsu yang diperturutkan terus menerus, seperti minum air laut yang
kesannya menghilangkan dahaga
"Hubbuddunya",
terlalu cinta dunia sehingga tidak peduli lagi halal dan haram
"Alzhulmu" banyak
orang yang telah disakiti
"Asysyaithoonu
rookibuhu" karena semua hal-hal tersebut diatas (1 s/d 6), maka dengan
mudah syetan menundukkannya sampai tidak sadar manusia itu dalam kesesatan
(QS 7:175).
Jin Bangunkan Manusia untuk Shalat
Malam
MAHDI BIN MAIMUN berkisah bahwa beliau memiliki seorang tetangga yang
bernama Washil. Jika di malam hari Mahdi bin Maimun juga terbiasa mendengar
suara sang tetangga membaca Al Qur`an. Sehingga, beliau mengetahui bahwa
sang tetangga tidak tidur malam kecuali hanya sebentar.
Pada suatu saat Washil melakukan safar ke Makkah, namun Mahid bin
Maimun mendengar bacaan Al Qur`an yang sama dengan bacaan Washil sedangkan
pintu rumah Washil juga terkunci.
Setelah Washil tiba, Mahdi bin Maimun pun menyampaikan apa yang
dialaminya dan Washil pun menjawab,”Apa yang engkau permasalahkan? Mereka
itu adalah penghuni rumah, mereka shalat seperti kita juga, mereka membaca
Al Qur`an seperti kita juga.”
Mahdi pun bertanya,”Apakah engkau melihat mereka?” Washil pun
menjawab,”Tidak, tapi aku bisa merasakan keberadaan mereka, mendengar
pengaminan mereka di saat berdoa. Dan terkadang saat aku ketiduran, mereka
membangunkanku”. (Shifat Ash Shafwah, 4/359)
Menyantap Makanan Hasan Al Bashri
tanpa Izin
MUHAMMAD BIN WASI’ dan Malik bin Dinar suatu saat mengunjugi rumah
Hasan Al Bashri. Namun sayangnya yang dikunjungi tidak ada di tempat. Meski
demikian, Muhammad bin Wasi’ mengambil wadah penuh makanan di bawah tempat
tidur Hasan Al Bashri. Manyaksikan hal itu Malik bin Dinar
menyampaikan,”Apakah tidak lebih baik jika kita menunggu pemiliknya pulang
dan meminta izin?”
Muhammad bin Wasi’ tidak menghiraukan dan beliau tetap memakan
makanan itu. Sampai Hasan Al Bashri muncul lalu menyampaikan kepada Malik
bin Dinar,”Wahai raja kecil, demikianlah kami. Kami merelakan satu sama
lain. Sampai akhirnya muncul orang sepertimu dan teman-temanmu”. (Ihya
Ulumuddin, 2/234)
Demikianlah para shalihin terdahulu jika sudah bersahabat, saling merelakan
satu sama lain, hingga mereka tidak perlu izin jika hendak memanfaatkan
milik saudaranya.
Hidup Nyaman dengan Tidak Dikenal
IMAM HASAN AL BASHRI mengisahkan bahwa suatu saat beliau bertemu
dengan Abdullah bin Mubarak yang menimba air dan melayani manusia meminum
dari air itu, sedangkan mereka tidak mengetahui bahwa yang melayani mereka
adalah ulama besar.
Setelah melakukan hal itu, Ibnu Mubarak pun menyampaikan kepada Imam
Hasan Al Bashri,"Tidak ada hidup yang nyaman kecuali dalam keadaan
demikian", yakni tidak dikenal manusia dan tidak dihormati. (Shifat
Ash Shafwah, 4/121)
Budak Shalihah
HASAN BIN SHALIH suatu saat menjual budak wanitanya kepada sebuah
kaum. Di malam hari budak itu pun membangunkan penghuni rumah,”Wahai
penghuni rumah dirikanlah shalat!” Mereka pun bertanya,”Apakah ini sudah
pagi?” Sang budak pun balik bertanya,”Apakah kalian hanya melaksanakan
shalat wajib saja?” Mereka pun menjawab,”Ya”.
Saat bertamu mantan majikannya, Hasan bin Shalih, budak itu pun
menyampaikan,”Wahai tuanku, Anda menjual saya untuk kaum yang tidak shalat
kecuali yang wajib saja. Ambillah kembali hamba.” Hasan bin Shalih akhirnya
membeli kembali budak wanitanya itu (Ihya Ulumuddin, 1/501).
Para Jin yang Shalat Tahajjud
SARRI BIN ISMAIL berkisah mengenai Yazid Ar Ruqasyi, ulama dan hali
ibadah kala itu, bahwa para jin bermakum kepada beliau untuk shalat
tahajjud dan menyimak bacaan Al Qur`an beliau.
Sarri pun bertanya kepada Yazid, bagaimana beliau tahu bahwa para jin
itu bermakmum dan menyimak bacaan beliau. Yazin pun menjawab, bahwa tiap
kali beliau bangun malam selalu mendengar suara keributan di dalam rumah
beliau, sampai suatu saat beliau dihinggapi ketakutan. Di saat itu ada
suara,”Jangan cemas wahai Abu Abdullah, sesungguhnya kami adalah saudara Anda,
kami bangun untuk bertahajjud sebagaimana engkau bangun dan shalat”.
Setelah itu, Yazid Ar Ruqasyi pun terbiasa dengan suara-suara
keributan yang terdengar di saat beliau bangun di malam hari untuk
bertahajjud. (Shifat Ash Shfwah, 4/308)
Jin Shalih yang Wafat karena
Bacaan Al Qur`an
YAHYA BIN ABDIRRAHMAN AL ASHRI memperoleh kisah dari istri seorang
ahli ibadah yang bernama Khulaid. Bahwa pada suatu malam Khulaid
melaksanakan shalat dan mambaca ayat yang artinya,”Setiap jiwa merasakan
kematian” yang terdapat pada surat Ali Imran 185. Dan beliau
mengulang-ulang ayat itu terus-menerus.
Setelah itu, ada suara di dalam rumah yang terdengar,”Berapa kali
engkau mengulang ayat itu? Dengan bacaanmu itu, engkau telah membunuh 4 jin
yang tidak pernah mendongakkan wajahnya ke langit (tawadhu-pent)”(Shifat
Ash Shafwah, 4/358).
Bukan hanya orang shalih yang bisa wafat karena merenungi ayat-ayat
Al Qur`an yang isinya ancaman, para jin shalih juga mengalami hal yang
sama.
Wafat Saat Disebut Akhirat
IBNU AS SAMAK tatkala memasuki Bashrah, bertanya mengenai orang ahli
ibadah di wilayah itu. Akhirnya, beliau diajaka mengunjungi rumah seorang
kakek tua. Sang perempuan itu pun menyampaikan,”Jangan engkau sebut di
depan putraku surga atau neraka. Karena dengan menyebutnya kalian telah
membunuh putraku. Sesungguhnya aku tidak memiliki apa-apa selain dia”.
Kemudian Ibnu As Samak pun memasuki ruangan anak dari perempun tua
itu, ia melihat seorang pemuda yang banyak diam, memakai pakaian kasar.
Pemuda itupun memandang Ibnu Samak kemudian bertanya,”Dimana manusia pasti
akan menghadap?” Ibnu As Samak pun menjawab,”Di hadapan Allah wahai orang
yang dirahmati Allah”. Setelah itu pemuda itupun menjerit dan wafat
seketika.
Kemudian perempuan tua itu datang,”Kalian telah membunuh putraku”.
Saat itu Ibnu Samak pun ikut menshalati jenazahnya. (Shufat Ash Shafwah,
4/17)
Karena Khusyuk, Suara Rebana pun
Tak Terdengar
AMIR BIN ABDILLAH adalah ulama yang amat dikenal dengan kekhusyukan
dalam shalatnya. Saat beliau sedang melaksanakan shalat, terkadang anak
perempuan beliau menabuh rebana dan para wanita berbicara semau mereka di
rumah beliau, sedangkan beliau tidak mendengarnya.
Hingga sutau saat ada yang bertanya kepada Amir bin Abdillah apakah
pernah terlintas pikiran saat beliau shalat. Maka beliau menjawab,”Ya,
yakni posisiku di hadapan Allah dan tempat kembaliku menuju salah satu dari
dua kampung (surga atau neraka)”. (Ihya Ulumuddin, 1/242)
Para Jin Pun Bermakmum pada Ulama
ABDUL AZIZ BIN SALMAN adalah
seorang faqih yang dikenal kuat dalam melakukan qiyam di malam hari.
Putra beliau Muhammad menyampaikan,”Kalau ayahku bangun malam untuk
bertahajjud, aku mendengarkan di rumahku suara keributan dan siraman air
yang banyak. Dan aku menyaksikan bahwa para jin bangun untuk bertahajjud
dan shalat bersama beliau”. (Shifat Ash Shafwah, 3/255)
Tidak Membantu Kedzaliman, Meski
dengan Tinta
IMAM SUFYAN ATS TSAURI suatu saat memasuki ruangan Khalifah Al Mahdi.
Dan sang khalifah saat itu membawa selembar kertas dan menyampaikan kepada
Imam At Tsauri,”Beri aku tinta hingga aku bisa menulis”.
Imam At Tsauri pun menjawab,”Sebutkan dulu kepadaku apa yang hendak
engkau tulis. Kalau itu kebenaran, maka aku akan memberikannya”. (Ihya
Ulumuddin, 2/120)
Tatkala Abu Yazid Malah Ingin
Melalui Hisab
ABU YAZID AL BISTHAMI suatu saat menyampaikan,”Manusia seluruhnya
takut dari hisab. Sedangkan aku meminta kepada Allah untuk menghisabku”.
Kemudian ada yang bertanya,”Kenapa?” Abu Yazid pun menyatakan,”Aku
menginginkan agar Allah memanggilku di saat itu,’Wahai hambaku’. Dan aku
mengatakan,’Aku menerima panggilan-Mu’. Sesungguhnya itu bagiku lebih aku
senangi dari dunia dan seisinya. Kemudian setelah itu Allah memperlakukan
aku sesuai kehendak-Nya. (Shifat Ash Shafwah, 4/101)
Faqir Madinah Tolak 10 Ribu Dirham
ABDULLAH yang merupakan keponakan dari Muslim bin Sa’d suatu saat
hendak melakukan perjalanan ke Hijaz dalam rangka melaksanakan ibadah haji.
Muslim bin Sa’d pun menitipkan kepadanya uang sebanyak 10 ribu dirham dan
ia berpesan agar uang itu diberikan kepada penduduk Madinah yang paling
faqir.
Setelah tiba di Madinah, Abdullah pun bertanya kepada penduduknya
mengenai orang yang paling faqir di kota itu, para penduduk pun menunjukkan
sebuah rumah. Setelah Abdullah mengetuk pintu rumah yang ditunjukkan itu,
seorang perempuan bertanya,”Siapa Anda?” Abdullah pun menjawab,”Saya
laki-laki dari Baghdad yang dititipi 10 ribu dirham dan aku diminta untuk
memberikan kepada oaring yang paling miskin di kota Madinah dan para
penduduk Madinah telah memberikku petunjuk”.
Wanita itu pun menjawab,”Wahai Abdullah, temanmu mensyaratkan orang
yang paling faqir sedangkan ada tetangga saya lebih faqir daripada saya”.
Maka Abdullah pun meninggalkan rumah itu dan pergi ke rumah yang
ditunjukkan oleh perempuan itu. Namun setelah tiba di rumah yang dituju,
penghuni rumah yang juga seorang wanita memberikan jawaban yang sama dengan
wanita sebelumnya. Wanita itu pun menyampaikan,”Wahai Abdullah sesungguhnya
kami dan para tetangga kami sama-sama faqirnya, bagikan uang itu dengan rata”.
(Shifat Ash Shafwah, 2/138)
Ketika Harta Menghalangi
Pertemanan
QAIS BIN SA’D Suatu saat menderita sakit, namun teman-teman beliau
belum terlihat menjenguk, hingga beliau bertanya kepada teman-tman beliau
lainnya, dan mereka pun menjawab,”Mereka tidak datang karena malu
disebabkan mereka masih belum bisa melunasi hutang mereka kepadamu.”
Qais pun menjawab,”Harta telah menjadi penghalang saudara-saudara
untuk berkunjung”. Akhirnya beliau mengutus seseorang untuk berseru,”Barang
siapa berhutang kepada Qais maka ia telah bebas dari hutangnya!”
Maka setelah itu orang-orang pun berbondong-bondong menjenguk Qais,
bahkan karena banyaknya pengunjung, tangga rumah Qais hingga rusak. (Awarif
Al Ma’arif, hal. 150)
Nasihat dari Batu
IBRAHIM BIN ADHAM mengisahkan,”Suatu saat aku di Makkah, aku melewati
sebuah batu yang tertulis,’Baliklah aku, maka engkau mendapatkan ibrah’”.
Maka, Ibrahmin bin Adham pun membalik batu itu, dan beliau mendapati
tulisan di atas batu itu, ”Jika engkau dengan ilmu yang kau dapati tidak
engkau amalkan. Maka, untuk apa engkau mencari ilmu yang tidak engkau
ketahui?.” (Ihya Ulumuddin, 1/94)
Syeikh Ahmad dan Belalang
SYEIKH YA'QUB BIN QIRAZ suatu saat memperhatikan Syeikh Ahmad guru
beliau sedang bercakap,”Wahai makhluk yang diberkahi, aku tidak tahu kalau
engkau menyertaiku, aku telah membuat engkau jauh dari negerimu”.
Setelah Syeikh Ya’kub mengamati, ternyata ada seekor belalang
menempel di baju Syeikh Ahmad. Dan beliau mengungkapkan perasaan merasa
bersalah karena rasa kasih sayang beliau terhadap makhluk itu. (Thabaqat As
Syafi’iyah Al Kubra, 6/24)
Tangis Darah Al Maushili
FATH BIN SAID AL MAUSHILI suatu saat dilihat oleh salah seorang
sahabat beliau sedang menengadahkan kedua tangannya, hingga terlihat air
mata bercampur darah keluar dari mata beliau. Sahabatnya itu pun
berseru,”Wahai Fath, engkau menangis darah!”
Fath pun menjawab,”Kalau tidak karena engkau bakal menjadi penerusku
karena Allah, maka aku tidak akan bercerita kenapa aku menangis darah.”
Sang sahabat pun bertanya,”Karena apa engkau menangis dengan air mata
dan karena apa engkau menangis darah?”
Fath pun menjawab,”Aku menangis dengan air mata karena melewatkan hak
wajib kepada Allah. Dan aku menangis darah karena takut apakah tangisan air
mataku benar-benar tulus?” (Shifat Ash Shafwah, 4/161)
40 Tahun Kalahkan Roti
MALIK BIN DINAR adalah seorang ulama tabi’in yang amat ketat dalam
mengendalikan nafsu makannya, hingga suatu saat timbul kuat selera untuk
memakan “roti susu”.
Akhirnya beliau pergi dan kembali dengan membawa roti yang
diidam-idamkan itu dan mengoleskan susu di atasnya.
Namun kemudian Malik bin Dinar membalikkan roti itu seraya
berkata,”Aku bernafsu untuk memakanmu selama 40 tahun namun aku bisa
mengalahkanmu hingga hari ini. Dan kini engkau hendak mengalahkanku?
Menjauhlah dariku.” Kemudian Malik bin Dinar tidak jadi memakannya. (Shifat
Ash Shafwah, 3/185)
Kekuatan Mukmin di Hati
UBAIDULLAH BIN SYUMAITH berkisah mengenai ayah beliau Syumaith bin
Ajlan ulama yang berguru kepada para tabi’in.
Suatu saat ayahku berkata,”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
menjadikan kekuatan mukmin ada di hatinya dan tidak menjadikannya di
anggota badannya. Bukankah engkau melihat ada orang renta yang banyak
melakukan puasa dan bangun malam sedangkan pemuda tidak mampu
melakukannya?” (Shifat Ash Shafwah, 3/231)
Saat Dua Orang Shalih dari Kufah
Berselisih
IMAM SYURAIH suatu saat didatangi dua orang yang berselisih di Kufah,
salah seorang mengutarakan,”Saya membeli rumah dari orang ini, lalu saya
temui di dalam rumah itu puluhan ribu dirham…”
Orang yang satu pun menyahut,”Ambillah uang itu.” Namun si pembeli
menjawab,”Tidak, saya hanya beli rumah. Engkau saja yang mengambilnya.”
Penjual pun ganti menjawab,”Kenapa demikian? Aku telah menjual rumah itu
beserta apa yang ada di dalamnya.”
Dua orang itu masing-masing terus kokoh menolak menerima uang itu,
hingga diputuskan bahwa uang itu untuk baitul mal. (Shifat Ash Shafwah,
3/121)
Berbuat Baik kepada Anak Saat Ia
Belum Ada
ABU AL ASWAD AD DAULI suatu saat menyampaikan kepada
anak-anaknya,"Aku telah berbuat baik kepada kalian, di saat kalian
sudah besar, masih kecil dan belum ada."
Anak-anak beliau pun menjawab,"Ayah telah berbuat baik kepada
kami di saat kami sudah besar dan sejak kecil. Namun, bagaimana ayah berbuat
baik kepada kami di saat kami belum ada?"
Abu Al Aswad pun menjawab,"Aku tidak meletakkan kalian di tempat
yang kalian menjadi malu karenanya." (Syu'ab Al Iman, 4/273)
Qadhi Abdullah An Nashiri menjelaskan bahwa melakukan prbuatan baik
kepada anak sebelum ia lahir dengan memilih ibu yang baik dan mempersiapkan
rumah yang suasananya mendukung untuk melakukan kebaikan. (lihat, Mujibu Ad
Dar As Salam, hal.121)
Syarat Mufti di Masa Utsmaniyah
SYEIKH AL ISLAM SA’D AD DIN yang merupakan “syeikh Al Islam” ke 25
Daulah Al Utsmaniyah saat itu wafat, hingga Sulthan Utsman II meminta
pertimbangan para ulama besar mengenai siapa pengganti Syeikh Sa’d. Dan
saat itu yang ditanya adalah Syeikh Husain bin Muhammad yang merupakan
ulama besar di masa itu.
Maka, Syeikh Husain pun memberikan jawaban,”Mintalah para ulama hadir
dan berdiri di hadapan Anda. Dan aku akan memberikan kepada mereka 300
pertanyaan. Maka, barang siapa mampu menjawab 200 darinya tanpa membuka
kitab, maka pantas menduduki jabatan mufti.” (Maqalat Al Kautsari, hal.
384,385)
Hafalan Ulama Utsmaniyah
SYEIKH MUHAMMAD BIN SA’D AD DIN (1024 H) adalah ulama besar yang
menyandang gelar “syeikh Al Islam” di kekhilafahan Utsmaniyah saat itu yang
memiliki hafalan yang amat kuat.
Suatu saat beliau bersama sekretaris dalam bidang fatwa melakukan
perjalanan di laut dan saat itu adalah waktu membagikan fatwa ke beberapa
wilayah. Syeikh Muhammad pun menyampaikan kepada sekretaris beliau
itu,”Tolong bacakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab supaya aku bisa
mengingat jawabannya. Dan ketika sampai di tempat tujuan, engkau tinggal
menulisnya.”
Akhirnya sang sekretaris pun mengeluarkan lembaran yang berisi
pertanyaan-pertanyaan dan membacakannya kepada Syeikh Muhammad hingga habis
seluruh pertanyaan.
Namun setelah itu tiba-tiba angin berhembus kencang, hingga lembaran
itu terbang dan jatuh di laut. Saat sang sekretaris terlihat panik bukan
main, Syeikh Muhammad tetap tenang dan menyampaikan,”Tidak mengapa, engkau
bisa menulis kembali dari yang aku diktekan.” Maka Syeikh Muhammad pun
menyebutkan kembali pertanyaan-pertanyaan tadi hingga selesai meski
jumlahnya lebih dari 100 pertanyaan (Al Maqalat Al Kautsari, hal. 313).
Diundang 4 Kali, Ditolak 4 Kali
IMAM ABU AL QASIM AL JUNAID suatu saat diundang oleh seorang anak
kecil untuk mendatangi hajatan sang ayah. Namun setiap kali memenuhi
permintaan anak kecil itu untuk datang ke hajatan sang ayah, maka ayahnya
menolak kedatangan Imam Junaid. Meski demikian, sang anak terus
mengundangnya dan sang ayah selalu menolaknya, hingga peristiwa
pengundangan dan penolakan ini terjadi sampai 4 kali.
Imam Junaid kembali mendatangi rumah ayah si anak kecil demi
menyenangkan hati sang anak dan kembali pulang menyenangkan hati sang ayah.
Imam Al Ghazali sendiri menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Al
Junaid itu menunjukkan ketawadhuan beliau, dimana pengundangan tidak
membuat gembira dan penolakan juga tidak membuat bersedih dan dua-duanya
berada dalam poisis yang sama. (lihat, Ihya Ulumuddin, 4/676)
Ulama Besar Bersimpuh di Hadapan
Ulama Besar
SYAIKH ZAHID AL KAUTSARI meski merupakan ulama besar dan menjadi
wakil bagi ulama nomor satu Daulah Al Utsmaniyah (Syeikh Al Islam), namun
beliau tetap bertawadhu di hadapan ulama lainnya.
Saat Kekhalifahan Al Utsmaniyah jatuh beliau hijrah ke Mesir dan
masih melanjutkan untuk mencari ilmu kepada ulama negeri itu dan berguru
kepada ulama Syafi’iyah Mesir Syeikh Yusuf Ad Dijwi. Syeikh Rajab Al Bayumi
menyatakan,”Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri di majelis hadits di
rumah Syeikh Yusuf Ad Dijwi, bahwa Syeikh Al Kautsari bersimpuh membaca Al
Muwaththa’ dengan khusyuk, sedangkan Syeikh Ad Dijwi menyimak duduk atas
kursinya. Itu merupakan pemandangan yang menakjubkan.” (Nahdhah Al Islam fi
Siyar A’lamiha Al Muashshirin, hal. 2/498, 499)
Tertawa Saat Belajar, Skors
Sebulan
ABDURRAHMAN BIN UMAR salah seorang penuntut hadits pernah
mengkisahkan, bahwa suatu saat ada seorang penuntut ilmu yang tertawa di
dalam majelis ilmu Imam Abdurrahman bin Al Mahdi, hafidz hadits terkemuka
kala itu.
Mendengar suara tawa, Imam Abdurrahman bin Al Mahdi pun
bertanya,"Siapa yang tertawa?!" Maka mereka yang hadir dalam
majelis itu pun menunjuk kepada seseorang. Maka Imam Abdurrahman bin Al
Mahdi pun menyampaikan keheranan beliau,"Engkau mencari ilmu dengan
tertawa?!" Lantas beliau pun menyampaikan,"Aku tidak akan
menyampaikan hadits kepada kalian selama sebulan!" (Al Jami' li Al
Ahlaq Ar Rawi wa Adab As Sami', hal. 84)
Demikianlah para ulama menghargai sebah majelis ilmu yang merupakan
majelis yang penuh kemuliaan. Nah, bagaimana dengan kita?
Roti dari Rasulullah (Shallallahu
Alaihi Wasallam)
ABU AL KHAIR AT TINATI adalah seorang sholeh yang wafat paca 340 H,
yang amat menjaga makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Imam Al Hafidz Ibnu
Al Jauzi menyebutkan bahwa suatu saat
beliau melakukan perjalanan di Madinah dan kehabisan bekal, hingga
lima hari tidak makan.
Sampai suatu saat beliau datang ke masjid Nabawi dan di depan makam
Rasulullah Shalallalahu Alaihi Wasallam beliau mengucapkan salam, juga
kepada Abu Bakr Ash Shiddiq, serta Umar bin Al Khaththab.Lalu
menyampaikan,”Wahai Rasulullah, saya menjadi tamu Anda malam ini.”
Abu Al Khair lantas mengantuk, hingga beliau tertidur di belakang
mimbar. Dan saat itu, Abu Al Khair
bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakr Ash
Shiddiq di sebelah kanan beliau dan Umar bin Al Khaththab di sebelah kiri
serta Ali bin Abi Thallib menyertai. Ali bin Abi Thallib menggerakkan badan
Al Khair seraya menyampaikan,”Bangun, Rasulullah (Shallallahu Alaihi
Wasallam) telah datang.” Maka, Abu Al Khair pun berdiri mendekat Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam dan mencium antara dua mata beliau. Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam pun memberikan sepotong roti, hingga Abu Al
Khair memakan setengahnya.
Setelah itu tiba-tiba Abu Al Khair terjaga dari tidurnya, dan beliau
mendapati di genggaman tangannya roti yang tinggal setengah. (Shifat Ash
Shafwah, 4/236)
"Kalau Engkau Berbohong, Maka
ini Sedekah untukmu"
BILAL BIN SA’D adalah ulama di kalangan tabi’in yang masyhur dengan
keshalihannya. Suatu saat putra ulama dari Syam ini wafat, dan datanglah
kepada beliau seorang yang mengklaim memiliki harta pada putranya lebih
dari 20 dinar. Maka Bilal pun bertanya,”Apakah engkau memiliki bukti?”
Orang itu pun menjawab,”Tidak.” Bilal kemudian bertanya,”Apakah engkau
memiliki catatan?” Orang itu pun menjawab,”Tidak.” Bilal pun akhirnya
bertanya,”Apakah engkau bersedia untuk bersumpah?” Orang itu pun
menjawab,”Ya.”
Maka Bilal bin Sa’d pun memasuki rumah dan dan memberikan dinar
kepada lelaki tersebut sambil menyampaikan,”Kalau engkau benar, maka aku
melunasinya untuk anakku. Kalau engkau berbohong, maka ini adalah sedekah
untukmu.” (Shifat Ash Shafwah, 4/184)*
Roti Lezat dari "Sekeranjang
Pasir"
ABU MUSLIM AL KHAULANI suatu saat diberi tahu oleh istri
beliau,”Wahai Abu Muslim, kita tidak memiliki tepung lagi.” Abu Muslim
membalas,”Apa yang kamu miliki sekarang?” Sang istri pun menjawab,”Ada satu
dirham untuk membeli kain.” Abu Muslim pun meminta uang itu sekaligus
sebuah karenjang lalu beliau pun berangkat ke pasar.
Saat berada di depan sebuah toko makanan, seorang peminta-minta
memohon,”Wahai Abu Muslim, bersedekahlah untuk saya.” Kemudian Abu Muslim
pindah ke toko lainnya, namun si peminta-minta masih mengikutinya dan
meminta sedekah. Abu Muslim pun menghindar dan pindah ke toko lainnya,
namun pengemis itu masih mengikuti dan meminta. Akhirnya, beliau memberikan
uang satu dinar yang dimilikinya itu.
Akhirnya, tidak ada uang yang bisa dibelikan makanan saat itu, sampai
akhirnya Abu Muslim memenuhi keranjangnya dengan pasir dan bebatuan dan
menutupinya. Saat tiba di depan pintu rumah, Abu Muslim lalu mengetuk
pintu, kemudian saat pintu terbuka beliau segera beranjak pergi untuk
menghindar dari kemarahan sang istri dan meletakkan begitu saja keranjang
itu.
Setelah malam hari, Abu Muslim baru kembali pulang. Setelah dibukakan
pintu, sang istri pun menghidangkan roti kepadanya. Abu Muslim pun
bertanya,”Dari mana engkau mendapatkan ini?” Sang istri pun menjawab,”Dari
tepung yang engkau bawa pulang tadi.” Abu Muslim pun memakan roti itu
sambil menangis (Shifat Ash Shafwah, 4/179).*
Muhasabah Terakhir Taubah bin Ash
Shammah
TAUBAH BIN ASH SHAMMAH adalah seorang ahli ibadah yang selalu
melakukan muhasabah terhadap dirinya. Di saat umur beliau mencapai 60 tahun
beliau bermuhasabah, bahwa kehidupan dirinya telah melalui 21.500 hari.
Saat itu Taubah pun berteriak,”Celakalah diriku, aku menghadap
Rabb-ku dengan 21.500 dosa. Bagaimana jika dalam sehari aku melakukan 10.000
dosa?! Kemudian beliau pun pingsan lalu meninggal."(Shifat Ash
Shafwah, 4/167)
Berbakti kepada Ayah Saat di
Penjara
FADHL BIN YAHYA AL BARMAKI adalah seorang pejabat yang dikenal gemar
berbakti kepada ayahnya, dimana ia selalu menghangatkan air untuk mandi
sang ayah di saat musim dingin. Namun suatu saat terjadi perselisihan
antara khalifah dengan keluarga Fadhl bin Yahya, sehingga ia sekaligus sang
ayah dipenjarakan.
Di saat dalam penjara musim dingin tiba Fadhl bin Yahya tidak bisa
lagi menghangatkan air untuk mandi sang ayah dengan perapian. Namun ia
tetap melakukan upaya agar air yang hendak digunakan sang ayah hingga tidak
terlampau dingin, yakni dengan menempelkan perutnya ke cawan logam untuk
air itu, hingga air itu berkurang dinginnya karena panas tubuh Fadhl bin
Yahya (Maujub Ad Darussalam, hal. 106).
Imam Abu Ishaq dengan Kaum Awam
IMAM ABU ISHAQ AS SYIRAZI suatu saat ragu saat membasuh wajah ketika
berwudhu, hingga beliau menghabiskan beberapa gayung untuk berwudhu.
Seorang lelaki awam yang melihat beliau pun menegurnya,”Wahai Syeikh tidak
malukah Anda, berwudhu dengan cara demikian padahal Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam telah bersabda,’Barang siapa melebihi 3, maka ia telah
berlebihan.’”
Maka Imam Abu Ishaq pun menjawab,”Kalau 3 basuhanku sah menurutku,
maka aku tidak akan menambahnya”.
Lelaki awam itu pun berlalu, hingga ada seorang yang menegurnya,”Apa
yang engkau katakan kepada seorang syeikh yang berwudhu itu?” Maka ia pun
menjawab,”Orang tua itu terjangkit waswas, maka aku katakan demikian,
demikian…”
Si penegur pun bertanya,”Tidak tahukah engkau siapa orang itu?”
Laki-laki itupun menjawab,”Tidak.” Si penegur pun menjawab,”Dia itu adalah
imam dunia, syeikh umat Islam, mufti ulama Syafi’iyah!”
Maka, lelaki awam itu pun kembali dengan perasaan malu kepada Imam
Abu Ishaq,”Wahai tuanku, maafkan saya. Saya telah salah, saya tidak
mengetahui siapa Anda.”
Imam Abu Ishaq pun menjawab,”Yang engkau katakan benar, tidak boleh
lebih dari tiga kali basuhan. Dan yang aku katakana juga benar, kalau
sekiranya sah 3 basuhanku menurutku, maka aku tidak akan menambahnya”.
(Thabaqat As Sayfi’iyah Al Kubra, 4/ 228)
Demikianlah ketawadhu'an Imam Abu Ishaq, tetap berlaku meski
berhadapan dengan kaum awam.
Ahli Ibadah yang Tahu Kapan Allah
Mengingatnya
TSABIT AL BUNANI menyebutkan bahwa seorang ahli ibadah suatu saat
menyampaikan kepada kawan-kawannya,”Aku benar-benar tahu kapan Allah Azza
Wa Jalla mengingatku”. Sontak kawan-kawannya terheran,”Engkau tahu saat
Rabb-mu mengingatmu?” Ahli ibadah itu menjawab,”Ya.” Mereka pun
bertanya,”Kapan?” Laki-laki itu pun menjawab,”Jika aku mengingat-Nya, maka
Ia mengingatku.”
Laki-laki itu pun berkata lagi,”Dan aku benar-benar tahu tatkala
Allah menerimaku.” Teman-temannya pun bertanya,”Bagaimana engkau tahu itu?”
Ia pun menjawab,”Jika hatiku bergetar dan air mataku berlinang dan doaku
terkabulkan.” (Shifat Ash Shafwah, 3/176)
Jin Pun Tidak Suka dengan Pencela
Sahabat
SALAMAH BIN SYABIB saat itu bertekad untuk pindah ke Makkah, maka ia
menjual rumahnya. Setelah ia mengosongkan rumah dan menyerahkan kepada
pembeli, ia berdiri di depan pintu dan menyampaikan,”Wahai penghuni rumah,
engkau telah bertetangga dengan kami dengan baik, semoga Allah membalas
kebaikan kepada kalian. Sengguhnya kami telah menjual rumah ini dan kami
akan pindah ke Makkah. Assalamualakum warahmatullah…”
Salamah bin Syabib pun mendengar suara dari dalam rumah,”Demikian
juga, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan dan kami tidak melihat
kalian kecuali dalam kebaikan. Kami juga hendak pindah dari rumah ini
karena sesungguhnya yang membeli rumah ini adalah penganut Rafidah yang
suka mencela Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma” (Shifat Ash Shafwah,
4/358).
Al Hafidz Ibnu Al Jauzi menulis kisah ini dalam pembahasan khusus
mengenai profil jin-jin yang shalih di akhir kitab Shifat Ash Shafwah.
Burung Nasar Menaungi Ulama yang
Sedang Shalat
MIMSYAD AD DINAWARI suatu saat aku keluar ke padang pasir yang panas.
Di tengah perjalanan ahli ibadah yang wafat tahun 299 H ini menyaksikan ada
seekor burung nasar besar membuka sayapnya diam di udara.
Mimsyad pun merasa takjub dengan hal itu. Dan di saat ia mencari
tahu, ia menemui Abu Hasan As Shaigh Ad Dinawari ulama yang kharismatik
saat itu, sedang berdiri shalat sedangkan burung nasar menaunginya. (Shifat
Ash Shafwah, 4/73)
Siapa Yang Menjamin Su’ul
Khatimah?
YUSUF BIN AYUB AL HAMADZANI adalah seorang fuqaha As Syafi’iyah yang
juga merupakan ahli ibadah. Saat berada di Baghdad, beliau banyak memberi
nasihat dan peringatan kepada manusia dan mereka pun menyukai beliau.
Hingga suatu saat seorang penuntut ilmu yang dikenal sebagai Ibnu As Saqa’
mengungkapkan ungkapan kasar kepada beliau,”Duduklah! Sesungguhnya aku
mendapati dari perkataanmu aroma kekufuran, sehingga engkau bakal mati
tidak dalam dien Islam.”
Tidak berselang waktu yang lama setelah peristiwa itu, Ibnu Saqa’
keluar dari Baghdad untuk melakukan perjalanana ke wilayah Romawi. Di
negeri itu ia kemudian murtad mengikuti ajaran Nashrani (Shifat Ash
Shafwah, 4/74).*
Melarikan Diri dari Popularitas
IMAM IBNU MUBARAK di Marwa memilki sebuah rumah yang berpelataran
amat luas, yakni 50 x 50 dzira’. Tidak dijumpai ulama dan ahli ibadah yang
berahlak mulia di Marwa kecuali berkumpul di rumah Ibnu Mubarak. Mereka
setiap hari berkumpul dalam halaqah untuk membahas ilmu, hingga ketika Ibnu
Mubarak keluar, mereka pun menyertainya.
Namun di saat Ibnu Mubarak tinggal di Kufah, beliau tinggal di sebuah
rumah kecil dan hampir tidak keluar, kecuali untuk shalat, serta hanya
sedikit yang mengunjungi. Melihat hal itu, Hasan Al Bashri bertanya,”Wahai
Abu Abdullah, kenapa engkau mengasingkan di tempat ini dari keadaanmu di
Marwa?”
Ibnu Mubarak pun menjawab,”Sesungguhnya aku lari dari Marwa menjahui
hal yang engkau anggap baik untukku dan aku ingin tinggal di sini yang mana
engkau tidak mengingkan untukku. Saat aku di Marwa, tidaklah timbul
persoalan kecuali mereka mendatangkan kepadaku. Dan tidak ada pertanyaan
kecuali mereka mengatakan,’Bertanyalah kalian kepada Ibnu Mubarak’. Dan di
sini, aku selamat dari hal itu.” (Shifat Ash Shafwah, 4/131)
Lari dari Damaskus Hindari Ujub
IMAM AL GHAZALI suatu saat duduk di pelataran masjid Al Umawi di
Damaskus dengan pakaian orang miskin, sedangkan para mufti juga berkumpul
di tempat yang sama. Hingga datanglah seorang datang dari kampung hendak
bertanya mengenai hukum kepada para mufti tersebut. Namun setelah
disodorkan pertanyaan para mufti itu tidak satupun memberikan jawaban.
Laki-laki itu pun tertarik menyaksikan Imam Al Ghazali, hingga ia
mengalihkan pertanyaan kepada beliau. Imam Al Ghazali pun menjawab
pertanyaan tersebut. Merasa takjub, laki-laki itu pun berucap,”Sesungguhnya
para mufti besar tidak memberikan jawaban kepadaku, sedangkan orang fakir
yang tidak tahu apa-apa ini bagaimana ia bisa memberi jawaban?” Dan
pandangan para mufti pun tertuju kepada Imam Al Ghazali.
Mereka pun mendekat dan bertanya kepada Imam Al Ghazali,”Apa yang
telah engkau sampaikan kepada laki-laki desa itu?” Dan akhirnya, identitas
Imam Al Ghazali terungkap karena itu. Dan mereka pun meminta Imam Al
Ghazali untuk menggelar majelis ilmu untuk mereka simak.
Imam Al Ghazali pun memutuskan untuk segera bersafar meninggalkan
Damaskus di malam harinya, karena takut timbul sifat ujub (merasa dirinya
lebih hebat dibanding orang lain) dalam hati (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah
Al Kubra, 6/199).*
Wali Tersembunyi
ABDULLAH BIN MUBARAK mengkisahkan, “Kala itu aku berada di Makkah,
dan para penduduknya tertimpa kekeringan. Mereka pun keluar menuju Masjid
Al Haram untuk melakukan shalat istisqa, namun meski demikian, hujan pun
belum kunjung turun.”
Ibnu Mubarak melanjutkan,”Saat itu, di sampingku duduk seorang
berkulit hitam yang berdoa,’Ya Allah, sesungguhnya mereka telah berdo’a
kepada-Mu, namun kenapa Engkau menutupi? Dan sesungguhnya aku bersumpah
atas-Mu agar Engkau menurunkan hujan untuk kami.’ Tak lama kemudian hujan
pun turun.”
Laki-laki hitam itu pun pergi dan Ibnu Mubarak diam-diam
mengikutinya, hingga laki-laki itu masuk ke sebuah rumah diantara
rumah-rumah para penjahit. Keesokan harinya Ibnu Mubarak mendatangi kembali
rumah itu mencari laki-laki berkulit hitam yang telah ia lihat. Ditemuilah
seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu rumah yang dimasuki oleh
laki-laki hitam tersebut,”Aku ingin bertemu dengan pemilik rumah ini”.
Orang itu pun menjawab,”Aku sendiri”. Ibnu Mubarak pun menyampaikan,”Aku
ingin membeli budakmu.”
Akhirnya, laki-laki itu mengeluarkan 14 budaknya, namun tidak
terlihat seorang pun dari mereka laki-laki berkulit hitam yang dicari oleh
Ibnu Mubarak. Ibnu Mubarak bertanya,”Masih ada yang tersisa?” Laki-laki itu
pun menjawab,”Masih ada, budak yang sakit.” Lantas laki-laki mengeluarkan
seorang budak yang ternyata merupakan laki-laki hitam yang dicari oleh Ibnu
Mubarak.
Ibnu Mubarak pun menyatakan,”Juallah ia padaku.” Si pemilik
menyetujuinya dan Ibnu Mubarak menyerahkan 14 dinar kepada pemilik budak.
Setelah budak itu menempuh perjalanan dengan Ibnu Mubarak, ia pun
bertanya,”Wahai tuan, mengapa Anda memperlakukan saya seperti ini,
sedangkan saya sakit?” Maka Ibnu Mubarak pun menjawab,”Karena aku
menyaksikan apa yang terjadi kemarin sore.”
Setelah mendengar apa kata Ibnu Mubarak, budak itu pun menyandarkan
diri di tembok seraya berdoa,”Ya Allah, Engkau telah membuka hakikat
diriku, maka ambillah aku untuk menghadap-Mu”. Setelah itu, Ibnu Mubarak
pun menyaksikan laki-laki hitam itu menghembuskan nafasnya dan beliau
menilai bahwa penduduk Makkah menderita kerugian dengan kematiannya (Shifat
Ash Shafwah, 2/295,296).
Hikmah yang bisa diambil dari kisah ini salah satunya adalah,
hendaklah kita jangan sampai meremehkan seorang pun dikarenakan pandangan
manusia terhadapnya. Bisa jadi di mata menusia seseorang dianggap rendah
namun sejatinya ia memiliki derajat di pandangan Allah.*
"Mengapa Kami Takut
Mati?"
SULAIMAN BIN ABDUL MALIK adalah seorang penguasa di kala itu. Suatu
saat ia bertanya kepada Abu Hazim, "Wahai Abu Hazim, kenapa kami takut
mati?"
Abu Hazim yang merupakan ulama ahli ibadah menyampaikan,"Kalian
takut mati karena kalian telah memakmurkan dunia kalian dan menghancurkan
akhirat kalian. Bagaimana kalian menginginkan meninggalkan negeri makmur
menuju negeri yang hancur?"
Sulaiman pun menjawab,"Benar!" (Shifat Ash Shafwah,
2/108)*.
Umar bin Abdul Aziz dan Binatang
Buas
MALIK BIN DINAR mengkishkan,”Ketika Umar bin Abdul Aziz naik tahta,
para penggembala di puncak-puncak gunung Syam bertanya-tanya,’Siapa
khalifah shalih yang telah bertahta ini?’ Maka ada yang menyahut kepada
mereka,’Darimana kalian tahu kalau ia seorang yang shalih?’ Para
penggembala pun menjawab,’Jika yang memimpin adalah khalifah shalih maka
singa-singa dan srigala-srigala berhenti mengganggu ternak kami’”(Shifat
Ash Shafwah, 2/84).
Walhasil, dengan pemimpin yang adil dan shalih bencana-bencana yang
menimpa sabuah negeri akan berhenti dan kesengsaraan rakyat diangkat.*
Umar bin Abdul Aziz dan Binatang
Buas
MALIK BIN DINAR mengkishkan,”Ketika Umar bin Abdul Aziz naik tahta,
para penggembala di puncak-puncak gunung Syam bertanya-tanya,’Siapa
khalifah shalih yang telah bertahta ini?’ Maka ada yang menyahut kepada
mereka,’Darimana kalian tahu kalau ia seorang yang shalih?’ Para
penggembala pun menjawab,’Jika yang memimpin adalah khalifah shalih maka
singa-singa dan srigala-srigala berhenti mengganggu ternak kami’”(Shifat
Ash Shafwah, 2/84).
Walhasil, dengan pemimpin yang adil dan shalih bencana-bencana yang
menimpa sabuah negeri akan berhenti dan kesengsaraan rakyat diangkat.*
Menghafal dengan Tangga
IMAM ILKIYA AL HARRASI merupakan murid imam Al Ghazali yang memiliki
kemampuan di bidang keilmuan yang paling menonjol. Beliau sendiri memiliki
mujahadah tinggi dalam mengulang hafalan.
Beliau mengisahkan,”Saat itu di madrasah Sarhank di Naisabur terdapat
saluran air yang memiliki tangga berjumlah 70 undak. Dan aku jika
mengahafal pelajaran, maka aku turun dari saluran, untuk setiap undak aku
mengulang sekali untuk naik dan turun. Dan aku melakukan hal serupa untuk
semua pelajaran yang aku hafal”.(Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 7/232)*.
Mencari Ilmu Hingga Kehabisan Baju
AL HAFIDZ IBNU ABI HATIM AR RAZI mengkisahkan mengenai perjuangan
ayah beliau Al Hafidz Abu Hatim Ar Razi, dimana beliau pernah
bercerita,”Saat di Bashrah tahun 214 H waktuku masih tersisa 9 bulan dari
rencanaku menetap selama satu tahun. Saat itu perbekalanku habis, hingga
aku menjual bajuku satu persatu, sampai aku tidak memiliki bekal lagi.”
Ibnu Abi Hati melanjutkan kisah dari sang ayah,”Di saat demikian, aku
terus berkeliling bersama temanku untuk pergi ke mejalis para syaikh dan
menyimak dari mereka hingga sore hari. Saat temanku pulang, aku juga segera
pulang ke rumah, untuk meminum air karena lapar”. (Muqaddimah Al Jarh wa At
Ta’dil, hal. 363).*
Akhir Hayat Imam Al Ghazali
SYEIKH AHMAD yang merupakan saudara dari Imam Abu Hamid Al Ghazali
mengkisahkan,”Di saat hari Senin di waktu shubuh, saudaraku Abu Hamid
berwudhu dan melaksanakan shalat. Lantas ia mengatakan,’Ambilkan kafan
untukku’. Lantas aku pun mengambilkan untuknya. Ia pun mencium kafan itu
dan menutupkannya di wajah seraya berkata,’Saya mendengar dan saya ta’at
untuk menemui Yang Maha Kuasa’”.
Syeikh Ahmad melanjutkan,”Kemudian ia berbaring dan menghadap kiblat.
Di saat sebelum langit menguning beliau pun wafat”. (Thabaqat As Syafi’iyah
Al Kubra, 6/201)
Ulama Mujtahid Ambil Ilmu dari Putranya
SYEIKH AL ISLAM TAQIYUDDIN AS SUBKI ulama Syafi’iyah yang sampai pada
derajat ijtihad, suatu saat mengisahkan kepada putranya Tajuddin Abdul
Wahhab As Subki mengenai Imam Al Karaji yang menurut beliau adalah salah
satu murid Imam As Syirazi. Informasi itu sendiri beliau peroleh dari Al
Hafidz Ad Dimyathi ulama hadits yang tiada banding di zamannya yang
merupakan guru beliau.
Namun sang putra yang juga ulama menyanggah apa yang disampaikan sang
ayah,”Tidaklah demikian”. Sang putra menyampaikan bahwa Al Karaji adalah murid
dari murid As Syirazi hanya saja ia mempelajari kitab karya As Syirazi.
Setelah itu Imam Taqiyuddin As Subki pun menulis dalam salah satu
karya beliau yang berjudul Ma’na Qauli Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al
Hadits Fa Huwa Madzhabi,”Telah mengatakan putraku Abdul Wahhab
kepadaku,’Sesungguhnya ia (Al Karaji) bukan termasuk murid Syeikh Abu
Ishaq, akan tetapi ia murid dari murid-murid beliau dan mempelajari kitab
beliau’”. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 6/140)
Begitu tawadhu’nya Imam Taqiyuddin As Subki, meski beliau ulama besar
bahkan ada yang menyebut bahwa beliau lebih hebat daripada Imam An Nawawi,
namun beliau tidak merasa rendah tatkala menukil pendapat sang anak dan
menulisnya dalam kitab beliau.
Hidup dengan Setengah Dinar
Perbulan
IMAM KAMALUDDIN AL ANBARI, merupakan seorang ulama besar dalam
disiplin ilmu nahwu yang menganut madzhab As Syafi’i. Ulama yang berasal
dari Baghdad ini sendiri dikenal dengan sifat qana’ah dan zuhudnya, dimana
beliau beserta keluarga hanya mengandalkan upah sewa toko sebesar setengah
dinar dalam sebulan.
Suatu saat Khalifah Al Mustadhi’ mengirim utusan kepada beliau dengan
membawa uang sebanyak 500 dinar, namun beliau menolak pemberian itu. Saat
para utusan itu menyampaikan,”Jika demikian, berikan kepada putra Anda”. Al
Anbari pun menjawab,”Jika aku yang menciptakan anakku, maka akulah yang
memberikan rizki kepadanya”. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 7/155)
Rumah Malik bin Dinar
MALIK BIN DINAR pernah menyatakan,"Barang siapa masuk rumahku,
kemudian mengambil sesuatu darinya, maka hal itu halal untuknya. Adapun
aku, tidak lagi memerlukan gembok atau kunci".
Di saat rumahnya terbakar, Malik bin Dinar hanya menyelamatkan mushaf
dan tikar. Di saat ada yang menyampaikan,"Bagaimana dengan
rumahmu?" Murid Anas bin Malik ini pun menjawab,"Ia hanya
kayu" (Shifat Ash Shafwah, 3/274, 280).
Berbahagialah Orang Mukmin yang Dicela
ABDURRAHMAN BIN AL MAHDI adalah seorang hafidz hadits dari Bashrah
yang dikenal keshalihan dan ketawadhua’nya. Suatu saat beliau pernah
menyampaikan,”Kalau aku tidak membenci Allah didurhakai niscaya aku telah
mengharapkan agar seluruh penduduk negeri ini mencelaku dan mengghibahku.
Karena tidaklah ada sesautu yang menggembirakan seorang hamba kecuali
mendapati di hari kiamat catatannya yang penuh dengan pahala, yang ia tidak
ketahui dari mana asalanya dan tidak pula ia mengerjakannya.” (Shifat Ash
Shafwah, 4/5,6)
Kedzaliman seorang hamba kepada manusia ketika tidak memperoleh
kerelan dari mereka, menyebabkan pahalanya kelak di akhirat akan diberikan
kepada orang yang didzalami, dan ketika sudah habis pahalanya, maka dosa
orang yang terdzalimi akan dibebankan kepadanya. Jika demikian amatlah
berat akibat dari kedzaliman terhadap manusia. Dan betapa orang yang
terdzalimi memperoleh keuntungkan besar kelak di akhirat.
Mendoakan Pencuri Agar Kaya
AR RABI’ BIN KHUTSAIM satu saat kehilangan seekor kudanya kerena
dicuri, sedangkan kuda itu sendiri harganya 20 ribu. Mereka yang hadir saat
itu pun marah, hingga menyempaikan kepada beliau,”Doakan dia agar celaka!”.
Setelah permintaan itu, Ar Rabi’ pun berdoa,”Ya Allah, jika pencuri
itu kaya, maka ampunilah ia. Dan jika ia miskin kayakanlah ia” (Shifat Ash
Shafwah, 3/61).
Ar Rabi’ bin Khutsaim, membalas keburukan yang dilakukan orang lain
justru dengan kabaikan.
Mengapa Dawud Ath Tha'i Menolak
Roti
DAYAH DAWUD ATH THA’I suatu saat bertanya kepada Dawud bin Nashir Ath
Tha’i ulama shalih,”Wahai Abu Sulaiman (Dawud Ath Tha’i), kenapa Anda tidak
berminat memakan hubz (roti
lembab)?”
Dawud Ath Tha’i pun menjawab,”Wahai Dayah di waktu antara mengunyah
roti dan minum, aku kehilangan kesempatan membaca 50 ayat.” (Shifat Ash
Shafwah, 3/140)
Itulah sebabnya sejumlah ulama memilih mengkonsumsi roti kering yang
dicelup air, hingga bisa makan tanpa perlu waktu yang lama untuk mengunyah.
“Tiang” di Atas Atap Mansur
MANSUR BIN AL MU’TAMIR memiliki seorang tetangga wanita, yang
memiliki dua anak perempuan yang biasa naik ke atas atap di malam hari di
saat manusia terlelap dalam tidurnya.
Suatu saat salah satu anak perempuan tetangga itu bertanya kepada ibunya
tersebut,”Wahai ibu, untuk apa tiang yang aku saksikan berada di atas atap
si fulan itu?”
Sang ibu pun menjawab,”Wahai anakku, itu bukanlah tiang, itu adalah
Manshur yang sedang shalat semalam suntuk dengan satu rakaat.” (Shifat Ash
Shafwah, 3/113)
Hikmah Di Balik Kejujuran
RIBA’I BIN HIRASY merupakan orang shalih yang dikenal tidak pernah
berbohong. Suatu saat kedua putranya menentang Al Hajjaj, gubernur Madinah
yang dikenal kejam saat itu. Maka para penasihat Al Hajjaj pun memberikan
sebuah saran,”Sesungguhnya ayah dari kedua orang itu tidak pernah
berbohong. Maka utuslah orang untuk bertanya kepadanya mengenai keberadaan
kedua anakanya itu”.
Akhirnya saran itu dilakukan, Riba’i bin Hirasy pun ditanya,”Dimana
kedua putramu?” Beliau pun menjawab,”Keduanya ada di dalam rumah”.
Setelah mengetahui peristiwa itu, Al Hajjaj pun menyampaikan,”Kami
telah mengampuni keduanya karena kejujuran Anda”. (Shifat Ash Shafwah,
3/36)
Syuraih, Hakim yang Memvonis Anaknya
SYURAIH BIN AL HARITS adalah seorang hakim di kalangan tabi’in yang
dikenal dengan keadilannya. Suatu saat putra beliau mengadu kepadanya
karena permasalahan antara dirinya dengan orang lain,”Jika saya yang benar
maka aku akan menuntut mereka. Jika tidak maka aku tidak akan melakukan hal
itu”.
Maka sang putra pun menceritakan masalahnya kepada sang ayah, setelah
itu sang ayah pun menyampaikan,”Pergilah, tuntutlah mereka”. Maka sang
putra pun membawa masalah itu ke pengadilan dengan ayahnya sebagai
hakimnya.
Namun di pengadilan hasilnya berbalik, sang ayah malah memvonis bahwa
putranya lah yang bersalah. Sehingga setelah pulang ke rumah sang anak pun
mengadu,”Demi Allah, kalau saya tidak meminta pendapat kepada Anda, maka
saya tidak mencela. Anda telah menjatuhkan saya”.
Maka Hakim Syuraih pun menyatakan,”Demi Allah, engkau adalah anakku
yang paling aku cintai dari dunia seisinya, akan tetapi Allah lebih tinggi
kedudukannya dibanding engkau. Engkau yang bersalah, maka berdamailah
kepada mereka dan kembalikan hak mereka”. (Shifat Ash Shafwah, 3/40)
Malu Jika Takut kepada Selain
Allah
AMRU BIN UTBAH merupakan seorang tabi’in yang dikenal dengan
kekhusyukan dalam shalat. Suatu saat beliau bersama beberapa sahabatnya
mengikuti sebuah peperangan. Dan saat itu budak beliau mendapati bahwa Amru
bin Utbah tidak ada pada tempatnya, hingga ia mencarinya.
Tak lama kemudian, sang budak menemukan bahwa majikannya sedang
melaksanakan shalat di gunung sedangkan awan menaunginya. Dan suatu malam
sang budak mendengar suara auman singa, sehingga siapa saja yang ada di
tempat itu berlarian, hanya tinggal Amru bin Utbah yang sedang shalat.
Setelah persitawa itu, sang budak dan lainnya pun bertanya kepada
Amru bin Utbah, ”Apakah Anda tidak takut singa?” Maka Amru pun menjawab,
”Sesungguhnya aku benar-benar malu kepada Allah, jika aku sampai takut
kepada selain Dia”. (Shifat Ash Shafwah, 3/70)
Harun Ar Rasyid dan Imam Al
Ashma'i
KHALIFAH HARUN AR RASYID dikenal sebagai khalifah yang amat perhatian
terhadap pendidikan putra-pitranya. Dikisahkan bahwa suatu saat beliau
mengirim salah satu putranya kepada Imam Al Ashma’i, salah satu imam dalam
ilmu nahwu untuk belajar ilmu dan adab.
Suatu saat ketika mengunjungi putranya, Khalifah menyaksikan Al
Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kaki beliau sedangkan putranya
menuangkan air ke kaki sang guru.
Melihat hal itu, Khalifah pun tidak menerima dan mengatakan kepada
Imam Al Ashma’i,”Sesungguhnya aku mengirim putraku pedamu agar engkau
mengajarkan adab kepadanya. Kenapa engkau tidak memerintahkannya untuk
menuangkan air dengan salah satu tangannya sedangkan tangan lainnya
membersihkan kakimu?!” (Syarh Ta’lim Al Muta’allim, hal. 37,38)
Menyiapkan Kubur Sendiri
DHIRAR BIN MURRAH AS SYAIBANI merupakan ulama yang tinggal di Kufah
yang dikenal banyak menangis dan mengingat kematian. Beliau pun telah
menggali makamnya sendiri sejak 15 tahun sebelum wafatnya.
Di dalam galian makam itu beliau tinggal untuk menghatamkan Al Qur`an
dan melaksanakan ibadah lainnya, dalam rangka mempersiapkan kematian
(lihat, Shifat Ash Shafwah, 3/115).
Buah Kedermawanan kepada Fuqaha
IMAM SYAMSUL AIMAH AL HALWANI memiliki ayah faqir yang berjualan kue
manisan. Di masa hidup beliau gemar memberi para fuqaha kue manisan sambil
mengatakan,”Doakan putra saya”.
Burhanuddin Az Zarnuji menilai bahwa karena keberkahan dari
kedermawanan sang ayah, keyakinan serta kerendahan hatinya, maka putranya
memperoleh apa yang berhasil ia peroleh” (Ta’lim Al Muta’allim, hal. 66)
Taubatnya Wanita Penggoda
AR RABI’ BIN KHUTSAIM adalah seorang ulama shalih, hingga ada kaum
yang mencoba menguji keimanan beliau. Akhirnya kaum itu meminta kepada
seorang wanita yang amat cantik, untuk menggoda Ar Rabi’. Jika itu
berhasil, maka mereka menjanjikan imbalan sebesar 1000 dinar untuk wanita
tersebut.
Akhirnya wanita itu memakai pakaian yang paling bagus dan bersolek
sebaik-baiknya, kemudian menyongsong Ar Rabi’ tatkala beliau keluar dari
masjid. Melihat hal itu, Ar Rabi’ pun memintanya mendekat, dan perempuan
itu pun menemui beliau.
Lantas Ar Rabi’ pun menyampaikan,”Bagaimana jika sakit menimpamu,
hingga ia merubah apa yang terlihat dari badanmu saat ini? Bagaimana jika
turun kepadamu malaikat maut? Dan bagaimana pula jika Munkar dan Nakir
datang kepadamu?”
Setelah mendengar pertanyaan-pertanyaan Ar Rabi’, wanita itu pun
berteriak histeris lalu pingsan. Dan setelah peristiwa itu, ia pun menjadi
ahli ibadah yang amat bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, hingga
seakan-akan ia sedang menghadapi kematian di hari itu (Shifat Ash Shafwah,
3/191).
Saat Malik Berjalan di Makam
MALIK BIN DINAR merupakan ahli ibadah di kalangan tabi’in. Suatu saat
beliau berjalan di sebuah pemakaman dan kebetulan saat itu ada seorang yang
telah wafat sedang dimakamkan. Beliau pun datang mendekat ke lokasi tersebut
dan di atas liang beliau menyaksikan jenazah sedang dimasukkan ke dalam
lahat.
Beliau pun menyampaikan,”Wahai Malik, kelak dia akan seperti itu dan
tidak ada alas di kuburnya. Besok Malik demikian nasibnya”, beliau terus
menyatakan demikian hingga akhirnya pingsan. Orang-orang yang berada di
pemakaman itu akhirnya mengangkat tubuh Malik bin Dinar dan membawanya
pulang ke rumah beliau (Shifat Ash Shafwah, 3/280).
Manolak Imbalan 1000 Dinar
MUHAMMAD BIN SAHL BIN ASKAR AL BUKHARI suatu saat melakukan
perjalanan menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan
seorang dari Maghrib (Afrika) dengan seorang yang bersamanya yang
menyeru,”Barang siapa menemukan dompet, maka ia memperoleh 1000 dinar”.
Lalu ada seorang berpakaian kumal yang salah satu matanya buta datang
menghampiri orang dari Maghrib tersebut dan bertanya,”Tunjukkan tanda-tanda
dompet itu?” Kemudian orang Maghrib itu pun menjelaskan ciri-cirinya dan
mengatakan, bahwa di dalamnya ada harta milik orang lain.
Laki-laki tidak di kenal itu kemudian mengeluarkan sebuah dompet dan
diberikan kepada orang Maghrib tersebut. Ia pun menghitung uang yang ada di
dompet itu yang terdapat 600 dinar. Ternyata tidak ada yang berkurang.
Orang Maghrib itu pun menyampaikan,”Ambillah 1000 dinar dari uangku sendiri
sebagai imbalan atas penemuan ini”. Namun laki-laki itu menjawab,”Bagaimana
aku bisa menerima imbalan 1000 dinar? Sedangkan nilai dompet itu sendiri
hanya 600 dinar?” Kemudian laki-laki itu pun pergi dan tidak mengambil
imbalan itu. (Shifat Ash Shafwah, 4/402)
Bersedekah Kepada Pencuri
JAKFAR BIN SULAIMAN BIN ALI suatu saat kehilangan berlian miliknya
karena dicuri. Beliau pun mendatangi para pedagang berlian untuk mencari
tahu. Akhirnya beliau menemukan berliannya sudah terjual dengan harga cukup
mahal, dan pedagang itu pun menunjukkan,”Si fulan telah menjualnya sejak
beberapa hari lalu”, lalu ia menunjukkan rumah orang yang menjualnya dengan
membawa serta berliannya.
Sampai tiba di rumah orang yang menjual berliannya, orang itu
ketakutan melihat Jakfar. Dan Jakfar pun menyampaikan,”Aku melihat air
mukamu berubah? Bukankah engkau yang meminta kepadaku berlian ini untuk aku
berikan kepadamu? Aku bersumpah aku lupa akan hal itu. Sekarang ambil uang
hasil penjualan berlian itu dan kembalikan kepada penjual berlian ini dan
ambil berlian ini dan juallah kembali secara halal dengan harga yang engkau
sukai tanpa rasa takut. Demi Allah aku merasa menderita dengan melihat
engkau ketakutan”. (At Tadzkirah Al Hamduniyah, 3/463)
Beristri Wanita Ahli Ibadah
RAYAH AL QISIY adalah seorang shalih beristrikan seorang wanita ahli
ibadah. Beliau suatu saat menceritakan pengalamannya dengan sang istri yang
membuat beliau memperoleh pelajaran darinya.
Al Qisiy menyampaikan,”Jika ia (istri-pent) telah melaksanakan shalat
Isya, maka ia berdandan, memakai wewangian serta mengenakan gaun dan
mendatangiku lalu menyampaikan,’Apakah engkau ada hasrat?’ Jika aku
mengatakan ‘ya’, maka ia bersamaku. Namun jika aku mengatakan,’tidak’, maka
ia melepas kembali gaunnya dan mengambil tempat untuk mendirikan shalat
hingga waktu shubuh tiba". (Shifat Ash Shafwa, 4/44)
Menangisi Puasa dan Shalat
MU’ADZAH AL ADAWIYAH saat hendak wafat beliau menangis kemudian
tertawa, sehingga mereka yang berada di sekitar wanita ahli ibadah ini menanyakan
hal itu,”Kenapa Anda menangis lalu tertawa?”
Mu’adzah Al Adawiyah pun menjawab,”Aku menangis karena aku ingat
ketika aku tidak bisa lagi berpuasa, shalat dan berdizikir. Aku tertawa
karena Abu Ash Shahba’ telah menjemputku di halaman rumah dengan dua
pakaian hijau bersama sekumpulan yang tidak pernah aku saksikan di dunia,
dan aku tertawa kepadanya”. (Shifat Ash Shafwah, 4/24)
Abu Ash Shahba' adalah suami Mu’adzah Al Adawiyah yang juga merupakan
ahli ibadah yang dibunuh beserta putra beliau. Sedangkan Mu'adzah sendiri
adalah tabi'iyah yang bertemu dan meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu
anha dan guru bagi Imam Hasan Al Bashri.
Malu Dengan Dunia
RABI’AH AL ADAWIYAH suatu saat didatangi oleh seorang laki-laki yang
hendak memberikan 40 dinar untuknya,”Gunakanlah uang ini untuk memenuhi
sebagian hajatmu”.
Mendengar pernyataan itu Rabi’ah pun menangis, lalu mengatakan,”Allah
Maha Tahu bahwa aku malu kepada-Nya untuk meminta dunia sedangkan Dia
memilikinya. Bagaimana bisa aku menginginkannya dari siapa yang tidak
memilikinya?” (Shifat Ash Shafwah, 4/27)
Saku Besar dan Kecil Imam Abu
Dawud
BAKR BIN ABDU AR RAZZAK menulis dalam kitabnya,"Abu Dawud As
Sijistani kala itu bajunya memiliki saku besar dan saku kecil. Suatu saat
beliau ditanya mengenai keadaan ini, 'Semoga Allah merahmati Anda, untuk
apa saku-saku itu?'”
Bakr melanjutkan,"Abu Dawud pun menjawab,'Saku yang besar untuk
buku, sedangkan yang kecil tidak diperlukan'” (Shifat Ash Shafwah, 4/70).
Kisah di atas menggambarkan betapa Imam Abu Dawud lebih mementingkan
ilmu dibanding harta, sehingga beliau tidak menganggap penting saku yang
kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan uang.
Yang Tawadhu’ yang Ditinggikan
IMAM ABU YUSUF murid Imam Abu Hanifah yang merupakan ulama besar
madzhab Hanafi, suatu saat menyampaikan,”Aku tidak duduk dalam majelis
sekalipun dengan meniatkan diri bertawadhu’ (memandang bahwa orang lain
lebih shalih dan pandai dari diri sendiri), kecuali aku dimuliakan dalam
majelis itu. Dan aku tidak duduk dalam majelis sekalipun dengan meniatkan
diri agar dimuliakan, kecuali kekuranganku akan dinampakkan (Faidh Al
Qadir, 3/361).
Walhasil, mencari ilmu harus dengan sifat tawadhu' dan justru orang
yang bertawadhu' yang derajatnya diangkat Allah. Dan orang yang takabur
justru direndahkan oleh Allah.
Hadits Terakhir Imam Abu Zur'ah
IMAM ABU ZUR’AH suatu saat berkumpul dengan Imam Abu Hatim, Muhammad
bin Muslim, Al Mundzir bin Syadzan beserta para ulama lainnya. Mereka
membahas hadits mengenai talqin, namun mereka malu karena ada Abu Zur’ah di
tempat itu, mereka pun menginginkan agar Abu Zur’ah yang menyampaikan
hadits.
Maka merekapun mengatakan,”Marilah kita mengingat hadits”, dan
Muhammad bin Muslim pun menyatakan,”Telah memberi kabar kepada kami Adh
Dhahak bin Mukhallad dari Abdul Humaid bin Ja’far bin Shalih…”, dan beliau
tidak melanjutkan sedangkan ulama lainnya juga diam.
Imam Abu Zur’ah pun angkat bicara,”Telah mengabari kami kepada kami
Bandar, telah mengabari kami kami Abu Ashim, telah mengabari kami Abdul
Hamid bin Ja’far, dari Shalih bin Abi Gharib dari Katsir bin Murrah Al
Hadhrami dari Muadz bin Jabal, beliau mengatakan,’Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa akhir perkataannya la ilaha
illallah…’”. Perkataan Imam Abu
Zur’ah terputus, karena beliau mendadak wafat. (Shifat Ash Shafwah,
4/89)
Ahli Shalat Disegani Binatang Buas
SHILLAH BIN ASYIM AL ADAWI adalah seorang ahli ibadah dari Bashrah
yang terkenal dengan shalatnya. Suatu saat beliau ikut serta dalam sebuah
pertempuran di kota Kabul (Afghanistan). Di saat waktu malam pasukan mulai
beristirahat, Zaid seseorang yang ikut serta dalam pasukan itu ingin tahu
amalan yang hendak dilakukan oleh Shillah secara diam-diam.
Zaid memperhatikan bahwa Shillah melaksanakan shalat Isya’ kemudian
berbaring, menunggu sampai orang-orang tertidur. Zaid pun
menyeru,”Orang-orang sudah tertidur”, kemudian ia melihat Shillah segera
bangkit dan bergegas mencari air wudhu dan menuju sebuah celah tebing yang
ada di dekatnya, kemudian ia melaksanakan shalat.
Namun Zaid kemudian menyaksikan seekor singa datang mendekati tempat
Shillah melaksanakan shalat, Zaid sendiri ketakutan hingga ia memanjat
pohon untuk berlindung. Ia melihat singa itu menoleh ke arah Shillah yang
sedang bersujud, ia pun berkata dalam hati,”Singa itu hendak menyerangnya
(Shillah)”.
Zaid menyaksikan Shillah duduk kemudian melakukan salam. Setelah itu
Shillah berkata kepada singa itu,”Wahai binatang buas, carilah rizkimu di
tempat lain”. Singa itu pun lantas pergi meninggalkannya. (Shifat Ash Shafwah,
3/217)
Sedekah Adonan Dibalas dengan Roti
HABIB ABU MUHAMMAD AL FARISI seorang ahli ibadah dari Bashrah yang
dikenal dengan sedekahnya. Suatu saat datang kepada beliau seorang
peminta-minta, sedangkan di saat itu ada adonan tepung yang tersedia. Habib
pun memberikan adonan itu kepada pengemis tersebut,”Ambillah adonan ini dan
masaklah”.
Saat Umrah, salah satu keluarga Habib yang membuat adonan itu datang
untuk memasaknya, ia bertanya-tanya mengenai adonan yang telah dibuatnya.
Habib pun menjelaskan bahwa adonan itu telah diberikan kepada si pengemis.
Umrah pun menjawab,”Subhanallah, kita perlu sesuatu untuk dimakan”.
Setelah itu tiba-tiba ada seorang datang dengan membawa wadah besar
penuh dengan roti dan daging untuk diberikan kepada Habib. Umrah pun
berkomantar,”Cepat sekali memasaknya, ia telah jadi roti dan mereka
menambah dengan daging”. (Shifat Ash Shafwah, 3/316)
Kalau Tidur, Tidurlah di Kuburan
KURDIYAH BINTI AMRU adalah seorang wanita ahli ibadah yang
mengabdikan diri kepada gurunya Sya’wanah yang juga seorang ahli ibadah di
kalangan wanita. Semasa beliau mengabdi ada hal yang tidak pernah terlupa
dari nasihat gurunya.
Kurdiyah mengisahkan,”Suatu malam aku menginap di rumah Sya’wanah.
Saat aku tertidur beliau membangunkanku sembari mengatakan,’Bangunlah wahai
Kurdiyah, ini bukan tempat untuk tidur, sesungguhnya tidur itu tempatnya di
kuburan’”. (Thabaqat As Shufiyah, hal. 395)
Maksudnya, dunia adalah tempat untuk beramal sebanyak-banyaknya,
bukan tempat untuk bersantai. Dan istirahatnya seorang Mukmin adalah di
saat dia menikmati balasan dari amalannya yang shalih tatkala ia sudah
wafat.
Malaikat Maut pun Menunggu
Shalatnya Ulama
KHAIR AN NASAJ ketika menderita sakit yang menghantarkan beliau
kepada kematian beberapa orang pun menjenguknya. Mereka menyaksikan bahwa
di waktu maghrib ahli ibadah dari Baghdad ini pingsan, kemudian bangun
membuka mata lantas memandang ke arah pintu rumah sambil
mengatkan,"Berhentilah dulu! Sesungguhnya Anda hamba yang hanya
melaksanakan perintah, demikian juga aku hanya melaksanakan perintah. Dan
apa yang diperintahkan kepadaku tidak membuat engkau terlewat sedangkan apa
yang diperintah kepadamu membuatku terlewat. Maka beri kesempatan kepadaku
untuk mengerjakan apa yang diperintahkan kepadaku baru kemudian laksanakan
apa yang diperintahkan kepadamu”.
Kemudian beliau meminta air wudhu, berwudhu dan melaksanakan shalat
maghrib lalu meluruskan badan, memejamkan mata, bersyahadat kemudian beliau
meninggal. (Thabaqat As Shufiyah, hal. 248)
Menjaga Makanan Saat Menyusui
UMMU ASWAD BINTI ZAID AL ADAWIYAH merupakan seorang wanita ahli
ibadah yang sangat hati-hati dalam masalah makanan. Hal itu beliau lakukan
setelah mendengar nasihat dari Muadzah Al Adawiyah wanita shalih yang telah
menyusuinya.
Ummu Aswad mengisahkan,”Mudzah Al Adawiyah mengatakan
kepadaku,’Jangan engkau kotori susuanku dengan makan makanan haram.
Sesungguhnya aku berusaha keras untuk tidak memakan kecuali makanan yang
halal saat menyusuimu, sehingga engkau memperoleh taufiq Allah dalam
beribadah dan ridha dengan keputusan-Nya’”.
Ummu Al Aswad pun mengatakan,”Aku tidak pernah memakan subhat, jika
aku melakukannya maka aku luput dariku kewajiban dan wiridku” (Thabaqat Ash
Shufiyah, hal. 406)
Mengejar Kafilah Orang-orang
Shalih
AMRAH merupakan istri Habib Al Ajami yang ahli ibadah. Suatu saat
Amrah terbangun di malam hari sedangkan sang suami tidur. Di saat menjelang
shubuh (waktu sahur) Amrah membangunkan suaminya,”Bangunlah, malam telah
berlalu dan telah tiba waktu pagi. Perjalananmu masih panjang sedangkan
bekal masih sedikit. Kafilah orang-orang shalih telah berlalu di depan kita
sedangkan kita masih belum bergerak”. (Shifat Ash Shafwa, 4/35)
Wara' Tanpa Mengecewakan Suami
UMMU HURAISY merupakan ahli ibadah dari kalangan wanita yang amat
berhati-hati dengan makanan yang dikonsumsi. Ketika ia dinikahi oleh
seorang tentara yang memperoleh gaji dari negara, wanita ini memilih tidak
makan dari gaji suaminya, namun beliau makan dari jerih payah sendiri.
Di saat sang suami datang Ummu Hiraisy memperlihatkan seolah-olah
sedang makan dengan manaruh piring makanan di depannya, namun jari-jarinya
selalu berada di luar piring tersebut. (Shifat Ash Shafwah, 4/39)
Kisah di atas tidak otomatis menunjukkan bahwa Ummu Huraisy
menganggap gaji suaminya yang berasal dari penguasa adalah harta yang
haram, karena sebagian ulama dan ahli ibadah memilih wara’ (berhati-hati)
terhadap harta dari penguasa. Dan hal itu dijalani oleh Ummu Huraisy tanpa
harus mengecewakan sang suami.
Membangun Ahlak dengan Makanan
Halal
IMAM ABU MUHAMMAD AL JUWAINI adalah ulama yang amat ketat dalam
masalah makanan yang dikonsumsi oleh kelurganya demikian juga istri beliau.
Demikian juga saat sang istri mengandung putranya yang kelak dikenal dengan
Imam Al Haramain Al Juwaini, Imam Abu Muhammad selektif terhadap kehalalan
makanan yang dikonsumsi sang istri dan setelah sang putra lahir Imam Al
Haramain berpesan agar sang anak hanya disusui oleh ibunya saja.
Namun suatu saat sang ibu sakit dan sang anak pun menangis, perempuan
dari tetangga akhirnya berinisiatif untuk menyusuinya. Tanpa
disangka-sangka Imam Abu Muhammad masuk dan terkejut melihat sang anak.
Akhirnya beliau memasukkan jari-jarinya ke kerongkongan sang anak dan itu
dilakukan terus menerus hingga sang anak muntah dan mengeluarkan seluruh
isi perutnya. Imam Abu Muhammad pun menyatakan,”Kecelakaan anak ini lebih
bisa aku terima daripada prilakunya rusak karena meminum susu selain susu
ibunya”. (lihat, Wafayat Al A’yan, 3/342,343)
Imam Tajuddin As Subki juga menyebutkan kisah ini, namun beliau
menafsirkan bahwa Imam Abu Muhammad mengambil tindakan di atas disebabkan
karena yang menyusui adalah budak tetangga yang belum memperoleh izin dari
majikannya untuk menyusui sang anak. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al
Kubra, 5/168,169)
Dari kisah di atas bisa disimpulkan bahwa Imam Abu Muhammad Al
Juwaini berkeyakinan bahwa ada hubungan antara ahlak anak dengan kehalalan
makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
Orang Tua Bekali Guru dengan
Pemukul
SULTAN MURAD II penguasa Daulah Al Utsmaniyah telah berusaha untuk
memberikan pendidikan terbaik kepada putranya yang bernama Muhammad yang
kelak menjadi penakluk Romawi Timur yang bergelar “Al Fatih” itu. Beliau
telah memilih guru-guru khusus yang bertugas mendidik sang anak. Namun para
guru gagal mendidiknya dan mereka pun menyerah karena Muhammad tidak pernah
mengindahkan apa yang disampaikan oleh mereka.
Akhirnya Sultan Murad memilih Syeikh Ahmad bin Ismail Al Kaurani
untuk mendidik sang putra. Tidak cukup menunjuk, bahkan Sultan Murad II
memberikan pemukul kepada beliau, untuk digunakan memukul Muhammad jika ia
melakukan pembangkangan.
Al Kaurani pun memasuki ruang belajar Muhammad dengan alat pemukul di
tangan dan mengatakan,”Ayahmu mengirimku untuk mengajarimu beserta
pemukulnya jika engkau menentang perintahku”. Apa yang terjadi? Muhammad
malah tertawa mendengar perkataan itu. Namun rupanya Syeikh Al Kaurani
sudah mengantisipasi hal itu, sang guru pun memukul Muhammad dengan pukulan
yang keras di ruangan itu hingga akhirnya Muhammad merasa amat takut
terhadap sang guru.
Apa yang dilakukan oleh Syeikh Al Kaurani ternyata membuahkan hasil.
Dalam waktu singkat Muhammad hafal Al Qur`an sebelum berumur 9 tahun mulai
nampak kelebihannya dibanding para putra bangsawan lainnya. (lihat, Nashr
Al Kabir Muhammad Al Fatih, hal. 40-41)
Kisah di atas menunjukkan bahwa Sultan Murad sebagai orang tua amat
percaya terhadap guru yang bakal mendidik putranya, hingga beliau sendiri
yang menyiapkan alat pukul untuk mendidik putranya itu. Dan hal itu
bukanlah dalih bolehnya memukul murid dengan membabi buta, karena Syeikh Al
Kaurani adalah ulama besar yang pasti telah mempertimbangkan jenis pukulan
yang bisa membuat sadar namun tidak membahayakan.*
Tetap Shalat Meski Ular Masuk ke
Baju
AMIR BIN ABDILLAH suatu saat melaksanakan qiyam. Tiba-tiba ada wujud
seekor ular yang masuk dari bawah gamisnya, lalu keluar dari saku, namun
tidak mencelakai beliau.
Ketika ada yang bertanya,”Kenapa engkau tidak mengibaskan ular itu
darimu?” Amir Bin Abdillah yang merupakan seorang ahli ibadah di kalangan
tabi’in ini menyampaikan,”Aku benar-benar malu kepada Allah, jika aku
sampai takut kepada selan Dia”. (Shifat Ash Shafwah, 3/202)
Menangisi Qiyam Al Lail
AMIR BIN ABDILLAH suatu saat ketika hendak wafat, beliau menangis.
Mereka yang datang pun bertanya,”Apakah Anda menangis karena sakit saat
sakaratul maut?”
Amir bin Abdillah pun menjawab,”Aku menangis bukan karena sakitnya
mati atau memberati dunia, namun karena aku tidak bisa lagi mendirikan
qiyam al lail di musim dingin”. (Shifat Ash Shafwa, 3/202).
Bagi kebanyakan manusia qiyam al lail di musim dingin adalah amalan
yang amat berat. Namun Amir bin
Abdillah telah merasakan nikmatnya, hingga hal itu yang ditangisi beliau
saat hendak wafat.
Percakapan Antara Ahli Ibadah dan
Al Hajjaj
AL HAJJAJ BIN YUSUF ATS TSAQAFI gubernur Madinah kala itu hendak
melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan antara Madinah dan Makkah,
ia singgah di sebuah sumber air untuk makan siang. Kemudian ia memanggil
pengawalnya untuk agar mencari orang untuk ikut serta menikmati hidangan
itu.
Sang pengawal pun memeriksa gunung-gunung di sekitarnya untuk
menemukan orang. Akhirnya ia menemukan seorang yang tidur diantara dua
kantung gandum. Maka pengawal itu menendangnya dengan kaki,”Menghadaplah
kepada Amir”.
Laki-laki itupun mendatangi Al Hajjaj dan Al Hajjaj pun
mengatakan,”Cuci tanganmu, makanlah siang denganku”. Laki-laki itu pun
menjawab,”Telah menyeruku yang lebih mulia darimu, dan aku telah memenuhi
panggil-Nya”. Al Hajjaj pun bertanya,”Siapa?” Laki-laki itu menjawab,”Allah
Ta’ala telah menyeruku agar berpuasa, maka aku berpuasa”. Al Hajjaj kembali
bertanya,”Di siang yang amat panas begini?”. Laki-laki itupun menjawab,”Ya,
bahkan aku berpuasa di hari yang lebih panas dari hari ini”.
Al Hajjaj terus mendesak,”Jika demikian berbukalah, besok baru
berpuasa lagi”. Laki-laki itu menjawab,”Apakah engkau bisa menjamin aku
bakal hidup sampai besok?” Al Hajjaj pun menjawab,”Tidak bisa”. Laki-laki
itu pun berkata,”Bagaimana engkau meminta agar aku menunda puasaku besok,
sedangkan engkau sendiri tidak bisa menjamin kematianku bakal tertunda”.
(Shifat Ash Shafwah, 4/378)
Aswad yang Menjaga Pandangan
ASWAD BIN KALTSUM adalah orang shalih yang dikenal menjaga pendangan.
Beliau kalau berjalan, pandangannya tidak akan mengarah melebihi dari
kakinya.
Suatu saat beliau melalui tempat berkumpulnya para wanita, sedangkan
tembok penghalangnya pendek. Kadang ada yang melapas pakaiannya ada juga
yang melepas hijabnya. Namun, tatkala Aswad lewat, mereka tenang saja karena
percaya bahwa pandangan beliau tidak akan tidak akan tertuju kepada mereka
dan mereka pun mengatakan,”Ia tidak akan melihat, karena dia adalah Aswad
bin Kaltsum” (Shifat Ash Shafwah, 3/291)
Sebab Hakim Afiyah Undurkan Diri
AFIYAH BIN YAZID merupakan seorang hakim yang terkenal adil, meski
demikian beliau akhirnya memilih mengundurkan diri dari jabatannya setelah
mengalami suatu kejadian.
Suatu saat hakim yang juga merupakan faqih madzhab Hanafi ini telah
mantap dalam memutuskan suatu perkara, kemudian pihak yang terlibat dalam
perkara memberi hadiah korma kepada beliau. Beliau pun menolak bahkan marah
besar terhadap orang tersebut. Namun keesokan harinya di waktu beliau
menyampaikan keputusannya, beliau menjadi ragu hingga batal menyampaikan
apa yang beliau yakini sebelumnya.
Akhirnya Afiyah pun menghadap Khalifah Al Mahdi dan menceritakan apa
yang beliau alami dan menyampaikan,”Demikianlah keadaan hatiku meski aku
menolak hadiah itu. Jika demikian, bagaimana jika aku menerimanya?” Dan
khalifah pun mengizinkan Afiyah mengundurkan diri dari jabatannya. (Siyar
A’lam An Nubala’, 6/399)
Umur Panjang Yang Berkah
SUWAID BIN GHAFLAH adalah seorang tabi’in yang dikaruniai umur
panjang sekaligus semangat dalam menjalankan ibadah. Al Walid bin Ali
mengisahkan dari ayahnya,”Suwaid bin Ghaflah mengimami kami qiyam di bulan
Ramadhan, sedangkan beliau waktu itu berumur 120 tahun”.
Ashim pun mengisahkan bahwa Suwaid Bin Ghaflah masih mendatangi
shalat jumat dengan berjalan kaki di saat umur beliau sudah mencapai 116
tahun.
Suwaid sendiri menikah pada umur 116 tahun dengan seorang gadis dan
beliau wafat pada umur 128 tahun pada tahun 81 H. (Lihat Shifat As Shafwah,
3/23)
Orang Mabuk Kehilangan Akalnya
IBNU ABI AD DUNYA mengatakan,”Aku menyaksikan seorang yang sedang
mabuk (karena khamr) kencing kemudian membasuh wajahnya dengan air
kencingnya, lantas mengucapkan, ‘Allahummaj’alni minattawwabin waj’alni
minal mutathahhirin’”.
Dan beliau juga pernah melihat seorang yang sedang mabuk muntah
sedangkan seekor anjing menjilati sisa-sisa muntahan dari mulutnya dan si
pemabuk yang menyampaikan,”Semoga Allah memuliakan engkau wahai tuanku
seperti memuliakan para wali-Nya”. (Bahr Ad Dumu’, hal. 185)
Ibnu Al Jauzi pun menyatakan bahwa salah satu dampak mengkonsumsi
khamr adalah hilangnya akal yang kadang bisa membuat anak-anak kecil
tertawa jika menyaksikannya dan menjerumsukan pelakunya kepada kehinaan.
Tidak Terkecoh dengan Amal Shalih
BISYR BIN MANSHUR AL HAFI suatu saat berdiri melaksanakan shalat
dengan memanjangkannya serta melaksanakan ibadah dengan cukup baik dan hal
itu diamati oleh seorang laki-laki. Setelah shalat Bisyr pun menyampaikan
kepada laki-laki tersebut,”Jangan engkau terkecoh dengan apa yang engkau
lihat dariku. Sesungguhnya iblis laknatullah telah menjadi hamba Allah
selama ribuan tahun namun kemudian dia menjadi sebagaimana apa yang
berlaku”. (Bahr Ad Dumu’ hal. 171)
Hendaklah kita tidak merasa “hebat” dengan ibadah yang telah kita
lakukan saat ini karena kita tidak tahu keadaan keimanan kita di masa yang
akan datang. Semoga Allah memberikan kepada kita husnul khatimah.
Tatkala Singa Menghadang Imam At
Tsauri
IMAM AT TSAURI suatu saat menempuh perjalanan bersama Syaiban Ar Ra’i
menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan seekor
singa menghadang jalan, hingga Imam At Tsauri berkata kepada
Syaiban,”Bagaimana singa ini menghalangi kita dan menakut-nakuti manusia?”
Syaiban pun menjawab,”Jangan takut”.
Singa itu pun mengaum memandang Syaiban, namun tanpa takut beliau
menghampiri singa itu lalu menjewer telinganya lantas singa itu kembali
mengaum kemudian ia lari menjauh. Melihat hal demikian, Imam At Tsauri
berkata,”Untuk apa engkau pamer wahai Syaiban?!” Syaiban pun menjawab,”Hal
seperti ini engkau katakan pamer? Kalau aku berniat pamer niscaya aku sudah
meletakkan perbekalanku di atas punggunya hingga sampai Makkah”.
(Disampaikan Ibnu Al Jauzi dalam Bahr Ad Dumu’ hal. 130 dan Shifat As
Shafwah, 3/377)
Ketika Allah Membalikkan Keadaan
MUHAMMAD BIN GHASSAL yang saat itu menjabat sebagai qadhi Kufah
melihat seorang tamu wanita yang mengunjungi ibunya. Setelah mencari tahu
Ibnu Ghassal mengerti bahwa yang datang adalah ibu Jakfar Al Barmaki,
menteri Harun Ar Rasyid.
Ibnu Ghassal pun mengucapkan salam kepada wanita itu lalu menyampaikan,”Lama
tidak bertemu Anda, bagaimana keadaan Anda?” Wanita itu pun menjawab,”Zaman
telah berbalik, tiga tahun yang lalu 400 pembantu melayaniku dan anakku
sendiri mengirim kepadaku 1000 kambing dan 300 sapi untuk kurban, itu belum
termasuk perhiasan dan pakaian. Dan sekarang aku datang untuk meminta kulit
dua domba untuk aku jadikan lapisan pakaian dan alas tidur di malam hari”.
Ibnu Ghassal pun menangis mendengar kabar itu lalu beliau pun
menghibahkan beberapa dinar untuk wanita itu. (Bahr Ad Dumu’, hal. 97)
Jakfar Al Barmaki dan ayahnya Yahya bin Khalid sebelumnya termasuk
orang kepercayaan Harun Ar Rasyid namun setelah itu hubungan mereka berubah
menjadi permusuhan setelah Harun Ar Rasyid menilai bahwa mereka terlalu
banyak mencampuri urusan istana, hingga akhirnya keduanya dikurung dalam
penjara.
Menunaikan Hak Peminum Khamr
IMAM ABU HANIFAH saat itu hidup berdampingan dengan pemuda peminum
khamr. Waktu Imam Abu Hanifah terjaga di malam hari guna menela’ah
kitab-kitab ilmu si pemuda tatangga beliau juga terjaga namun untuk meminum
khamr.
Di sela-sela aktivitasnya pemuda itu melanturnkan syair,”Akan aku
nyayikan kepada mereka jika mereka mengucilkanku. Mereka menyia-nyiakanku
dan kepada setiap pemuda mereka menyia-nyiakan”. Pemuda itu terus mengulang-ulang syair
tersebut hingga Imam Abu Hanifah
juga hafal.
Pada suatu malam Imam Abi Hanifah tidak mendengar pemuda itu
melantunkan syairnya. Maka ketika keluar shalat shubuh beliau menanyakan
keadaan tetangga beliau itu. Informasi yang beliau peroleh, pemuda itu
ditangkap oleh aparat kemanan dan dijebloskan dalam tahanan.
Setelah shalat Imam Abu Hanifah mendatangi rumah aparat kemanan
tersebut dan meminta izin untuk bertemu. Yang ditemui pun tergopoh-gopoh
karena mengetahui siapa yang datang dan kemudian ia mencium tangan Imam Abu
Hanifah. Sang Imam pun menyampaikan,”Kami datang untuk urusan tetangga kami
yang ditahan tadi malam". Petugas itu pun menjawab,”Wahai tuan, saya
berjanji akan melepaskan semua tahanan jika Anda menghendakinya, karena kebesaran
hati tuan yang datang sendiri ke rumah saya”.
Akhirnya pemuda itu pun dibebaskan, dan ia sendiri bertanya kepada
orang-orang di sekitarnya,”Siapa yang mengurus urusanku hingga aku
terbebas?” Mereka pun menjawab,”Tuan kita Abu Hanifah”.
Kemudian saat pemuda itu memenui Imam Abu Hanifah, sang imam pun menyampaikan,”Wahai pemuda sesungguhnya
kami tidak menyia-nyiakan hakmu. Kami telah menunaikan apa yang sering
engkau sampaikan,’Mereka menyia-nyiakanku dan terhadap setiap pemuda mereka
menyia-nyiakan’”.
Setelah mendengar penuturan Imam Abu Hanifah pemuda itu pun akhirnya
berkata,”Wahai Tuanku, saksikanlah
bahwa aku bertaubat karena Allah”. Dan pemuda itu benar-benra meninggalkan
khamr serta istiqamah dalam beribada hingga ia wafat. (Bahr Ad Dumu’, hal.
153)
Mengulangi Shalat Seumur Hidup
HATIM AL ASHAM suatu saat menyampaikan kepada manusia mengenai zuhud
dan ikhlas. Yusuf bin Ashim yang mengetahui hal itu akhir mengajak para
muridnya untuk menghampiri majelis itu dan menanyakan mengenai shalat Hatim
Al Asham. Jika shalatnya tidak sempurna maka mereka bertekad untuk melarang
Hatim Al Asham berbicara mengenai hal itu.
Kemudian Yusuf bin Ashim pun menyampaikan,”Wahai Hatim Al Asham, kami
datang untuk bertanya mengenai shalat Anda”. Hatim pun menjawab,”Apa yang
hendak kalian tanyakan, adabnya atau ma’rifatnya?” Yusuf pun menoleh kepada
para muridnya,”Hatim Al Asham malah menambah masalah mengenai apa yang
tidak kita ketahui”.
Hatim Al Asham pun menyampaikan,”Baik, kita mulai dari adabnya.
Kalian menegakkannya karena perintah, berjalan dengan niat ikhlas, masuk
padanya dengan Sunnah, takbir dengan mengagungkan, membaca dengan tartil,
rukuk dengan khusyu’, sujud dengan merendah, bangkit dengan tenang,
tasyahud dengan ikhlas lalu salam dengan rahmah”.
Yusuf bin Ashim pun menjawab,” Tadi itu adalah adab sekarang
bagaimana ma’rifatnya?” Hatim Al Asham pun menjawab,”Jika engkau berdiri
maka ketahuilah bahwa Allah Ta’ala
menjumpaimu maka temuilah siapa yang menjumpaimu. Dan tanamkan keyakinan
dalam hatimu bahwa Dia dekat dan Maha Kuasa atasmu. Jika angkau telah ruku’
jangan mengharap untuk bangkit. Jika engkau telah bangkit jangan mengharap
akan sujud. Dan jika engkau telah sujud jangan mengharap bangkit dan
misalkan bahwa surga di sisi kananmu dan neraka di sisi kirim sedangkan di
bawah telapak kakimu ada sirath. Jika engkau melakukannya maka engkau
benar-banar shalat”.
Kemudian Yusuf bin Ashim pun menengok kepada para
muridnya,”Bangkitlah kalian, kita ulangi shalat yang telah kita kerjakan
seumur hidup”. (Bahr Ad Dumu’, hal. 119)
Uban Adalah Peringatan
IYAS BIN QATADAH merupakan orang yang dituakan oleh kaum Bani Tamim
di Bashrah. Suatu saat beliau menyaksikan ada uban putih di janggutnya,
hingga akhirnya beliau menyampaikan,”Ya Allah sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari petaka yang tiba-tiba menimpa. Aku melihat bahwa kematian
mulai mendekat sedangkan aku tidak bisa menghindarinya”.
Kemudian Iyas Bin Qatadah keluar kepada kaumnya dan
menyampaikan,”Wahai keturunan Sa’ad aku telah menghibahkan waktu mudaku untuk
kalian maka hendaklah kalian berhibah untukku di masa tuaku”. Kemudian
beliau pun menetap di rumah dan tidak pernah keluar hingga beliau wafat.
(Bahr Ad Dumu’, hal. 101)
Bala’ Bagi Faqih Baghdad
IMAM IBNU AL JAUZI mengisahkan bahwa suatu saat salah satu fuqaha’
Baghdad hendak melaksanakan haji dan menziyarahi makam Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam. Akhirnya ulama besar yang dikenal
keshalihannya ini mengajak beberapa muridnya untuk ikut serta.
Saat berada di tengah perjalanan para murid merasa kepayahan kerian
terik sinar matahari dan rasa haus, hingga akhirnya mereka menyampaikan
kepada sang guru,”Wahai guru, kita menuju rumah itu untuk berteduh, hingga
cuaca teduh lalu kita melanjutkan perjalanan”, sang murid menujuk sebuah
rumah penganut Nashrani.
Sang guru pun mengiyakan, hingga mereka berteduh di depan rumah
tersebut. Karena kepayahan para murid pun tertidur meski sang guru tetap
terjaga. Di saat itu sang guru meninggalkan mereka untuk mencari air wudhu.
Namun di saat bersamaan saat ia mendongkan kepala ke atas ia melihat
seorang perempuan dan sang guru pun terpesona dengan kecantikannya hingga
iblis menguasainya. Hingga akhirnya ulama itu lupa terhadap wudhunya.
Sang guru akhirnya mengetuk pintu rumah tersebut dengan keras hingga
keluarlah seorang pendeta Nashrani,”Siapa engkau?” Sang guru pun
menjelaskan identitas dan namanya hingga pendeta itu bertanya,”Apa maksud
kedatangan Anda wahai faqih Muslim?” Akhirnya sang faqih berterus terang
menyampaikan bahwa ia ingin memperistri perempuan yang tadi dilihatnya
berada di rumah tingkat atas. Pendeta itu pun menjelaskan bahwa perempuan
itu adalah anaknya dan ia bisa saja menikahkannya dengan sang faqih namun
dengan syarat bahwa wanita itu menyetujuinya.
Akhirnya sang rahib bertanya kepada putrinya, apakah ia bersedia
menikah dengan sang faqih? Pada awalnya si perempuan merasa heran dengan
pertanyaan itu, namun ia pun setuju dengan syarat agar sang faqih
meninggalkan Islam dan memeluk ajaran Nashrani. Akhirnya sang faqih pun
menjawab,”Baik aku tinggalkan Islam dan masuk ke agamamu”. Namun hal itu
belum selesai karena wanita itu menuntut mahar, karena sang faqih tidak
memiliki apa-apa wanita itu menawarkan mahar berupa kerja selama setahun
untuk mengurusi babi-babi piaraannya dan sang faqih pun menjawab.”Ya,
permintaanmu aku sanggupi dengan syarat jangan engkau tutup wajahmu hingga
aku bisa melihatnya pagi dan sore hari”. Ketika sang perempuan itu
menyanggupi maka sang faqih yang murtad itu mengambil tongkatnya yang biasa
dijadikan tumpuan saat berkhutbah untuk dijadikan penghalau kumpulan babi
dan menggembalakannya.
Para murid yang sudah mulai terjaga dari tidurnya pun kebingungan
menyaksikan sang guru tidak berada di tempat hingga akhirnya ia bertanya
kepada rahib sang pemilik rumah. Tatkalah rahib berkisah mengenai sang guru
para murid pun menjerit, ada yang pingsan, ada yang menangis dan ada yang
menyayangkan. Dan mereka pun menghampiri sang guru yang sedang menggembala
babi, “Kenapa bisa jadi demikian wahai Syeikh? Bukankah Anda yang mengajari
kami tentang keutamaan Islam, Al Qur`an dan Rasulullah Shallallahu ALaihi
Wasallam?” Dan mereka pun menyampaikan ayat-ayat Al Qur`an dan
hadits-hadits Rasulullah di hadapan sang guru. Namun sang guru pun
menjawab,”Sudahlah pergilah kalian, apa yang kalian sampaikan itu aku lebih
paham dari kalian”.
Akhirnya para murid itu meneruskan perjalanan menuju ke Makkah dan
meninggalkan sang guru dalam keadaan hati yang hancur setelah menyaksikan
musibah yang menimpa sang guru. Namun setelah mereka menunaikan ibadah haji
dan menempuh perjalanan untuk kembali menuju Baghdad mereka memutuskan
untuk menjenguk sang guru dengan harapan beliau sudah bertaubat dan
menyesali perbuatannya.
Setelah mereka tiba di rumah rahib Nashrani mereka semakin putus
harapan, karena masih menyaksikan sang guru menggembala babi-babi, bahkan
ketika mereka menyampaikan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits
Rasulullah, sang guru hanya diam tidak merespon. Kumpulan para murid itu
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sang guru.
Di tengah perjalanan, para murid itu mendengar ada teriakan panggilan
dari arah belakang mereka. Tanpa disangka setelah menengok mereka
menyaksikan bahwa sang guru telah menyusul lalu menyampaikan,”Aku besaksi
bahwa tiada ilah yang patut disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah. Dan aku telah
bertaubat kepada Allah dari apa yang telah aku lakukan! Dan apa yang
menimpaku sebelumnya tidak lain adalah balasan atas dosa yang aku lakukan!”
Akhirnya mereka pun bergembiran atas kembalinya sang guru dan meraka pun
berkumpul kembali.
Saat para murid berkumpul di rumah guru untuk membaca di hadapannya,
mereka mendengar pintu rumah diketuk. Setelah dilihat ternyata berdirilah
seorang wanita,”Saya ingin bertemu Syeikh dan katakan kepadanya bahwa si
fulanah putri pendeta ingin memeluk Islam”.
Akhirnya dihantarkanlah wanita itu kepada sang guru dan beliau pun
bertanya, apa yang menyababkannya ingin memeluk Islam. Akhirnya perempuan
itu berkisah,”Setelah Anda meninggalkanku, di saat aku tertidur, aku
bermimpi bertemu dengan Ali bin Abi Thalib dan beliau menyampaikan,’Tidak
ada dien yang diridhai Allah kecuali dien Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam’. Dan beliau juga menceritkan bahwa Allah telah menurunkan bala’
kepada salah satu walinya melalui diriku”.
Akhirnya perempuan itu mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan
sang faqih dan beliau pun bergembira dengan hal itu. Kemudian sang faqih
pun menikahinya dengan mahar bacaan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullallah
Shallallahu Alaihi Wasallam.
Para murid pun akhirnya bertanya kepada sang guru, dosa apa yang
menyebabkan Allah menurunkan bala’ kepada beliau. Sang guru pun berkisah
bahwa suatu saat ia melalui sebuah gang dan berpapasan dengan seorang
penganut Nashrani, hingga sang guru pun mengatakan,”Menjauhlah engkau
dariku dan laknat Allah atasmu!”. Si Nashrani pun bertanya,”Memang ada
apa?”. Sang guru menjawab,”Karena aku lebih mulia darimu”. Si Nashrani
membalas,”Apakah engkau tahu bagaimana kedudukanmu di pandangan Allah hingga
engkau menyatakan hal demikian?” Lalu sang guru pun menyampaikan pada pada
muridnya,”Telah sampai kabar kepadaku setelah itu bahwa lelaki Nashrani itu
telah memeluk Islam dan beristiqamah dalam beribadah. Maka Allah
menghukumku dengan apa yang kalian saksikan sebelumnya”. (lihat, Bahr Ad
Dumu’, hal. 89)
Saat Berusaha Istiqamah Justru
Banyak Cobaan
DZU NUN AL MISHRI suatu saat menyampaikan nasihat kepada khalayak dan
di kesempatan itu ada seorang bertanya,”Apa yang harus aku perbuat saat aku
berada di salah satu pintu dari pintu-pintu untuk mendekatkan diri
kepada-Nya, maka aku malah terkena bencana dan kesusahan?”
Maka Dzu Nun Al Mishri menjawab,”Jadikan dirimu seperti anak kecil
yang berhadapan dengan ibunya. Setiap ibumu memukulmu maka engkau enggan melepasnya,
setiap kali ia mengusirmu engkau terus mendekat kepadanya dan engkau terus
melakukan hal yang demikian hingga akhirnya ia memelukmu” (Bahr Ad Dumu’,
karya Ibnu Al Jauzi, hal. 76)
Majusi yang Bertaubat
IMAM HASAN AL BASHRI suatu saat menjenguk tetangga beliau seorang
Majusi yang saat itu sakit keras. Meski penganut Majusi tetangga itu banyak
melakukan kebaikan hingga Imam Hasan Al Bashri menginginkan agar ia wafat
dalam keadaan Muslim.
Di saat Imam Hasan Al Bashri menjenguk, tetangga Mujusi tersebut
menyebut-nyebut bahwa ia tidak memiliki bekal mati padahal neraka telah
menantinya. Sehingga Imam Hasan Al Bashri menyampaikan,”Kenapa engkau tidak
menjadi Muslim hingga engkau selamat?”
Si tetangga menyampaikan,”Sesungguhnya kunci masih di kekuasaan Maha
Pembuka sedangkan gembok berada di sini”, sambil ia menunjuk ke dada.
Akhirnya Imam Hasan Al Bashri berdoa,”Wahai Tuhanku, Tuanku serta
Pelindungku jika engkau telah mengetahui bahwa Majusi ini memiliki kebaikan
maka segerakanlah ia bersama kebaikan sebelum berpisah dengan ruhnya”.
Kemudian si tetangga pun sadar dan menyampaikan,”Wahai Syeikh
sesungguhnya Yang Maha Pembuka telah mengirim kuncinya melalui utusannya
yang berada di samping kananmu. Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
patut disembah kecuali Allah dan aya bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah”.
Setelah itu ruh pun keluar dari jasad si tetangga dalam keadaan
husnul khatimah. (lihat, Bahr Ad Dumu’ karya Ibnu Al Jauzi hal. 38)
Bersedakah kepada Orang yang
Memberi
SYEIKH ABDUL QADIR AL JILANI pernah mengalami musim paceklik di
Bagdad. Saat itu ulama madzhab Hanbali ini sampai memakan sisa-sisa makanan
di tempat sampah. Suatu saat dalam
keadaan sangat lapar beliau keluar untuk mencari makanan. Namun setiap
sampai ke tempat sampah, selalu ada orang lain yang mendahuluinya. Jika
Syeikh Abdul Qadir melihat orang-orang fakir berebut di tempat sampah, maka
beliau memilih meninggalkan tempat itu. Dan hal itu terus berlaku saat
menemui tempat pembuangan, dan Syeikh Abdul Qadir akhirnya tidak memperoleh
makanan.
Beliau akhirnya berjalan hingga sampai di masjid Yasin di Bagdad,
karena sudah tidak mempu lagi melanjutkan perjalanan karena lapar, dan
memilih duduk di dekat masjid tersebut. Di saat yang sama datanglah seorang
pemuda ke masjid dengan membawa roti, dia duduk dan mulai makan. Karena
rasa lapar yang menusuk, setiap pemuda itu mengambil suapan maka Syeikh
Abdul Qadir ingin membuka mulut, meski beliau terus berusaha menahannya.
Akhirnya pemuda itu pun menoleh ke arah Syeikh Abdul Qadir seraya
mengatakan,”Bismillah ya akhi”, dengan maksud ingin memberi suapan kepada
Syeikh Abdul Qadir. Syeikh Abdul Qadir menolak, namun pemuda itu
terus-menerus memaksa, hingga akhirnya Syeikh Abdul Qadir memakan sedikit
dari apa yang diberikan.
Setelah itu si pemuda pun bertanya,”Siapa engkau, apa pekerjaanmu,
dari mana engkau?” Syeikh Abdul Qadir pun menjawab,”Saya pencari ilmu dari
negeri Jilan”. Si pemuda pun membalas,”Saya juga dari Jilan. Apakah engkau
mengenal seorang pemuda dari Jilan yang namanya Abdul Qadir cucu dari Abu
Abdullah As Shuma’i yang ahli zuhud?” Syeikh Abdul Qadir pun menjawab,”Itu
adalah saya”.
Mendangar jawaban itu si pemuda pun terperengah,”Demi Allah saya
sampai di Bagdad dengan sisa-sisa uang yang saya memiliki dan saya telah
mencari-cari dimana keberadaanmu namun tidak ada seorang pun yang bisa
memberikan petunjuk. Sampai akhirnya uang saya habis hingga 3 hari saya
tidak makan. Dengan terpaksa saya menggunakan uang yang dititipkan untukmu
untuk membeli roti ini. Makanlah sesungguhnya ia milikmu.”
Syeikh Abdul Qadir pun bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Pemuda
itu pun menjelaskan bahwa ibu Syeikh Abdul Qadir telah menitipkan kepadanya
9 dinar untuk disampaikan kepada Syeikh Abdul Qadir. Dan uang itu pun sudah
berkurang untuk dibelikan roti. Syeikh Abdul Qadir pun merelakannya dan
memberikan kepada pemuda itu sisa roti serta sebagian dinar. (lihat, Dzail
Thabaqat Al Hanabilah, 1/298)
Meski menolak untuk meminta-minta, Syeikh Abdul Qadir tetap
memperoleh rizki bahkan di saat yang sama beliau malah memberikan sedekah
kepada orang lain. Yang juga perlu dicontoh adalah sifat Syeikh Abdul Qadir
yang selalu mengutamakan orang lain, sehingga Allah pun mencukupi rizkinya.
Wafat dengan Senyuman
IMAM AL MUHASIBI termasuk ulama ahli ibadah yang wafat pada tahun 243
H. Saat menjelang wafat beliau sendiri sempat mengatakan,”Jika aku
menyaksikan apa yang aku senangi, maka aku akan tersenyum kepada kalian.
Namun jika aku menyaksikan selain hal itu, maka kalian juga akan mengetahui dari apa yang
tesirat di wajahku”.
Jakfar bin Abi Tsaur yang hadir dan menyaksikan Imam Al Muhasibi
wafat menyampaikan,”Beliau tersenyum kemudian meninggal”. (Thabaqat As
Syafi’iyah Al Kubra, 2/38)
Akhlak Anjing dan Abu Utsman Al
Hiri
ABU UTSMAN AL HIRI adalah seorang yang dikenal memiliki ahlak yang
baik, hingga ada seorang yang berniat menguji beliau. Akhirnya seorang
mengundangnya agar datang ke rumahnya, namun setelah Abu Utsman Al Hiri
sampai di rumah itu, si pengundang menyampaikan,”Aku tidak memerlukan
Anda”.
Kemudian Abu Utsman Al Hiri dipanggil kembali oleh si pengundang, Abu
Utsman pun kembali memenuhi panggilannya, namun kembali si pengundang
menyampaikan pernyataan yang sama seperti sebelumnya. Dan hal itu di
terjadi berkali-kali hingga 4 kali, namun Abu Utsman tetap menuruti dan
tidak ada yang berubah dari beliau.
Akhirnya si pengundang mengatakan,”Sesungguhnya saya bermaksud
menguji Anda. Betapa bagus sekali akhlak Anda!”
Mendengar pernyataan itu Abu Utsman Al Hiri malah menjawab,”Aku
melihat apa yang ada pada diriku tidak lain adalah akhlak anjing.
Sesungguhnya jika anjing dipanggil maka ia datang dan jika ia dihardik ia
pergi.” (lihat, Ihya Ulumuddin, 8/1466)
Dari perilaku Abu Utsman di atas, memang akhlak Abu Utsman yang baik
tidak berubah meski ada pihak yang berusaha melakukan “provokasi”. Dan Abu
Utsman juga tidak terpengaruh dengan pujian orang yang telah menguji
beliau, hingga beliau melihat apa yang yang beliau lakukan adalah hal yang
biasa dan tidak melihat ada keistimewaan dalam dirinya.
Amalan Mendekatkan kepada Khalik
dan Makhluk
MUHAMMAD BIN HAMID bertanya kepada Abu Bakr Al Warraq,”Beri tahu saya
hal yang mendekatkanku kepada Allah dan mendekatkanku kepada manusia”.
Abu Bakr Al Warraq pun menjawab,”Adapun hal yang mendekatkan engkau
kepada Allah adalah meminta kepada-Nya. Adapun hal yang mendekatkan engkau
kepada manusia adalah meninggalkan meminta kepada mereka”. (4/145,146)
Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar
Keajaiban Datang Ketika Hati
Mengingat Allah
HATIM AL ASHAM suatu ketika melakukan perjalanan dengan mengendarai
kuda di wilayah Turki. Di tengah perjalanan tiba-tiba ada seseorang
melempar tali laso ke badannya, hingga ulama shalih ini jatuh terjerembab
dari kendaraannya.
Dengan sigap laki-laki itu menggulat Hatim Al Asham hingga ia
berhasil menduduki dada Hatim. Kemudian laki-laki itu segera mengambil
sebilah pisau, yang akan dia gunakan untuk menyembilh leher Hatim Al Asham.
Hatim mengisahkan,”Saat itu hatiku hanya tertuju hanya kepada Allah tidak
kepada pisau itu, sambil menunggu takdir yang akan berlaku.”
Namun tidak disangka, tiba-tiba ada seorang prajurit Muslim
melemparkan anak panah ke arah lelaki yang hendak membunuh Hatim Al Asham,
dan anak penah tepat menembus lehernya.
Dari kejadian ini Hatim Al Asham berpesan,”Jika hatimu terpaut kepada
Allah, maka engkau akan menyaksikan keajaiban kasih sayang-Nya, yang
melebih kasih sayang kedua orang tua”. (Shifat Ash Shafwah, 4/142)
Tidur Tatkalah Terjebak Badai di
Laut
IBRAHIM BIN ADHAM suatu saat mengendarai sebuah bahtera. Sampai di
tengah lautan angin badai datang yang hampir mencelakakan seluruh penumpang
bahtera. Di saat seperti itu Ibrahim malah memilih tidur, hingga para
penumpang menyampaikan kepada beliau,”Apakah engkau tidak melihat bahwa
kita sedang dalam mara bahaya?”
Ibrahim menjawab,”Ini bukan mara bahaya.” Dan para penumpang pun
bertanya,”Lantas apa mara bahaya itu?” Ibrahim menjawab,”Butuh kepada
manusia.” Lalu ulama ini pun menyampaikan,”Ya Allah, tunjukkan kepada kami
qudrah-Mu, dan tunjukkan kepada kami maaf-Mu”. Tak lama kemudian air laut
berubah seperti minyak, karena tenangnya. (Shifat Ash Shafwah, 4/138)
29 Tahun Hidupi Murid
IMAM ABU YUSUF suatu saat menghadiri majelis ilmu Imam Abu Hanifah,
namun ayah beliau melarangnya,”Jangan engkau pergi ke Abu Hanifah, dia
bukan orang kaya sedangkan engkau membutuhkan materi”.
Setelah itu, Imam Abu Yusuf mulai jarang menghadiri majelis Imam Abu
Hanifah, hingga beliau merasa kehilangan. Sampai suatu saat Imam Abu
Hanifah bertanya mengenai sebab ketidak hadiran Imam Abu Yusuf di majelis.
Imam Abu Yusuf menjawab,”Saya sibuk bekerja dan mentaati apa yang dikatakan
orang tua”.
Akhirnya Imam Abu Hanifah memberikan sebuah kantong berisi 100
dirham,”Gunakan ini dan tetaplah mengikuti halaqah, jika telah habis
sampaikan kepadaku”.
Akhirnya Imam Abu Yusuf aktif kembali dalam halaqah, sedangkan Imam
Abu Hanifah terus memberikan uang dan tidak pernah terlambat. Imam Abu
Hanifah terus memberikan materi kepada Imam Abu Yusuf dalam waktu 29 tahun
sampai beliau memperoleh banyak ilmu dan juga materi (lihat, Manaqib Abi
Hanifah karya Al Muwaffaq Al Khawarizmi, 1/469).
Demikianlah seorang guru, menyebarkan ilmu karena ilmu, bahkan rela
berkorban agar ilmunya terwariskan kepada orang yang tepat. Dan
kekhawatiran ayah Abu Yusuf terhadap anaknya yang mencari ilmu akan masa
depannya merupakan hal bertolak belakangan dengan kenyataan, karena dengan
ilmu itu Imam Abu Hanifah diangkat oleh Harun Ar Rasyid menjadi hakim yang
secara materi tidak kekurangan.
Hindari Haram Dapat Halal Sekaligus
Istri
SYEIKH IBRAHIM AL HILALI merupakan ulama shalih di kota Halab Syam
yang wafat tahun 1238 H. Di waktu menuntut ilmu di Al Azhar beliau
kehabisan bekal hingga lebih sehari tidak makan. Akhirnya karena rasa lapar
yang amat sangat, beliau meninggalkan ruwaq Al Azhar untuk mencari makanan,
sampai akhirnya beliau mencium bau masakan yang sedap dari sebuah rumah.
Namun beliau mendapati rumah itu tanpa ada penghuninya, sedangkan makanan
sudah tersedia di depannya. Karena amat lapar, baliau memungut sendok guna
menyantap makanan itu. Namun sebelum makanan masuk ke mulut, beliau kembali
ingat bahwa pemiliknya belum mengizinkan. Akhirnya Syeikh Ibrahim Al Hilali
keluar rumah dan kembali lagi ke ruwaq Al Azhar dalam keadaan lapar.
Tidak lama kemudian di ruwaq Al Azhar, salah satu guru beliau masuk
bersama seseorang yang sedang mencari penuntut ilmu yang shalih untuk
dinikahkan dengan putrinya. Dan sang guru pun memilih Ibrahim Al
Hilali,”Berdirilah, kita pergi ke rumahnya untuk melaksanakan akad nikah!”
Ibrahim Al Hilali mentaati apa yang disampaikan oleh sang guru,
hingga beliau ikut bersama lelaki itu. Ternyata, sebelum akad dilakukan,
keluarga calon istrinya mempersiapkan makanan yang lezat dan Ibrahim Al
Hilali pun menyantapnya, hingga hilanglah rasa lapar yang menderanya. Dalam
hati Ibrahim Al Hilali berkata,”Aku meninggalkan makanan yang tidak
dizinkan Allah, maka Allah memberikanku makanandengan izin-Nya dalam
keadaan dimuliakan sekaligus memperoleh istri.” (lihat, Shafhat min Shabri
Al Ulama, hal. 164)
Merasa Paling Pandai Tanda
Kebodohan
IMAM IBNU MUBARAK rahimahullah Ta’ala menyampaikan,” Seseorang
disebut alim (pandai) selama ia menilai bahwa di negerinya ada orang yang
lebih pandai darinya. Jika ia menyangka bahwa dia adalah orang yang paling
pandai di negeri itu, maka ia adalah orang bodoh.” (Tanbih Al Mughtarrin,
hal. 14)
Berkelahi Berebut Membawa Sandal
Guru
IMAM AL FARA’ adalah seorang ulama Kufah yang paling pandai dalam
ilmu nahwu dan sastra. Suatu saat Khalifah Makmun meminta agar Imam Fara’
mengajari ilmu nahwu untuk putranya. Ketika beliau selesai mengajar dan
beranjak untuk pergi kedua anak khalifah berebut untuk membawakan sandal
Imam Fara’, hingga keduanya berkelahi. Mengetahui hal itu, Imam Fara’
akhirnya meminta kapada kedua anak itu masing-masing membawa satu sandal,
hingga keduanya sama-sama menyerahkan sandal kepada beliau.
Khalifah Makmun memang amat memperhatikan pendidikan akhlak
putra-putranya, dimana ia terus-menerus mengajari agar putra-putranya agar
bersikap tawadhu’ kepada pemimpin, orang tua, serta guru. (lihat, Wafayat
Al A’yan, 2/228)
Begitu besar perhatian orang terdahulu dalam masalah pendidikan
ahklak dan adab, hingga terhadap gurunya, para anak didik memberikan
penghormatan yang amat tinggi.
"Tidak Tahu" yang Menunjukkan
"Tahu"
IMAM AL BUKHARI adalah seorang
hafidz Al Hadits yang cukup masyhur. Sehingga, saat beliau tiba di Bagdad
para ulama hadits ingin menguji hafalan beliau. Akhirnya mereka berkumpul
dan bersepakat untuk menguji Imam Al Bukhari dengan 100 hadits yang
masing-masing sanadanya ditukar satu sama lain. Dan 100 hadits tersebut
dibagi untuk sepuluh orang, hingga masing-masing menguji Imam Al Bukhari
dengan 10 hadits.
Setelah ada kesepakatan dengan Imam Al Bukhari dalam sebuah majelis
hadits para penguji itu pun bergabung. Dalam majelis yang dihadiri oleh
ulama Baghdad dan Khurasan itu, masing masing menanyakan kepada Imam Al
Bukhari,”Tahukah anda hadits begini dengan sanad begini?”
Imam Al Bukhari pun menjawab,”Saya tidak tahu”. Dan demikian juga jawaban
Imam Al Bukhari terhadap seluruh penguji setiap mereka menyampaikan hadits
yang sanad yang ditukar satu sama lain. Hingga seluruh hadits selesai
ditanyakan.
Jawaban Imam Al Bukhari tersebut membuat para ulama saling memandang
satu sama lain dan mengatakan,”Laki-laki ini paham”. Namun, orang yang
tidak memahami masalah akan menilai bahwa Imam Al Bukhari tidak memahami. (Lihat, Hadyu As
Sari, hal. 652)
Imam Al Bukhari menjawab semua pertanyaan dengan ungkapan “tidak
tahu” karena beliau mengetahui benar bahwa hadits-hadits dengan sanad yang
ditukar itu tidak pernah beliau jumpai karena memang susunan sanadnya yang
benar tidaklah seperti yang disampaikan para penguji. Jawaban Imam Al
Bukhari,”tidak tahu” justru menunjukkan beliau adalah orang yang tahu
menurut para ulama.
Walhasil, bisa jadi orang
jahil menilai para ulama sebagai orang bodoh karena ia tidak mengetahui
hakikat ilmu. Dan hal ini tidaklah membahayakan ulama, karena orang yang
alim (pandai) tetap saja mengetahui bahwa para ulama itu adalah orang yang
pandai meski dituduh sebagai orang-orang bodoh oleh orang yang jahil.
|