Introduction
Kaum Muslimin telah memberi warna
indah pada sejarah peradaban dan perkembangan kebudayaan yang menjadi
kebanggaan suatu bangsa. Mereka pernah memegang obor pengetahuan pada saat
bangsa-bangsa lain tenggelam dalam keterbelakangan. Mereka pernah memimpin
dunia selama beberapa dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Daya pendorong utama
kegiatan-kegiatan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan filsafat ini adalah
agama yang mereka anut, yaitu Islam. Arti kata ini adalah agama perdamaian
dan kesejahteraan.
Islam mewajibkan persahabatan dan
melarang permusuhan untuk semua agama. Agama Islam mengandung benih-benih
pertumbuhan dan perkembangan. Islam mencakup di dalamnya semua pengetahuan
dan menganggap semua pengetahuan baik yang menyangkut manusia maupun alam
semesta, pada dasarnya adalah satu. Islam menerima pertumbuhan ilmu
pengetahuan dan memberi dukungan terhadap kemajuannya. Oleh karena itu umat
Islam selalu memiliki aspirasi yang menyala-nyala dalam menggunakan akal
mereka guna menemukan kebenaran.
Selama periode perkembangan Islam
yang pertama, umumnya orang-orang Islam masih sependapat dalam penafsiran
qur’an. mereka antusias sekali untuk menjalankan perintah agama, meskipun
terkadang muncul perbedaan diantara mereka, tetapi tentang maslah prinsip
Islam mereka benar-benar bersatu.
Keadaan yang harmonis ini tidak berlangsung
lama. Konsekuensi dari penyebaran Islam ke seluruh Jazirah Arabia dimana
keyakinan Islam diterima oleh orang-orang dari berbagai suku bangsa yang
lebih mempunyai adat tersendiri, maka unsur-unsur baru ini pun mulai
menuntut haknya. Para penganutIslam yang yang baru cenderung menafsirkan
Qur’an menurut cara mereka sendiri. Akibatnya perbedaan muncul sehingga
terjadi perselisihan paham.
Namun para ulama tidak tinggal
diamdalam melihat keadaan ini. Mereka bangkit dan mempersiapkan diri
melawan para penantang. Mereka berusaha membetulkan dan meluruskan
dogma-dogma dan stagment serta ketentuan-ketentuan berfikir. Menurut
Syahrastani (Muzaffaruddin Nadvi, Pemikiran Muslim dan Sumbernya Puska,
Bandung, 1984. Hal.12-13) ada
masalah poko yang menggoncangkan fikiran-fikiran Muslim sehingga
menyebabkan lahirnya berbagai aliran pemikiran dalam Islam :
1.
|
Kebebasan berkehendak, yaitu
apakah manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat atau tidak.
|
2.
|
Sifat-sifat Allah, yaitu apakah
mempunyai sifat atau tidak, dan apabila mempunyai sifat, apakah
sifat-sifat itu merupakan bagian dari Dzat_Nya atau tidak
|
3.
|
Demarkasi antara kepercayaan dan
perbuatan, yaitu apakah perbuatan manusia itu merupakan bagian
keimanannya atau terpisah.
|
4.
|
Akal dan wahyu, yaitu apa yang
menjadi kriteria dari kebenaran. Akalkah atau wahyu. Atau, apakah akal
yang mnejadi pokok wahyu atau sebaliknya.
|
Di setiap kurun zaman, manusia
telah mnecurahkan perhatian pada maslah seperti apakah Tuhan itu seperti
seorang Raja lalim dengan berbuat sekehendak hati, ataukah Dia telah
memberi manusia wewenang untuk menentukan nasibnya di dunia ini. Sampai
sekarang hal ini tetap menjadi hal yang rumit. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika penyebab putusnya tali persatuan umat Islam, adalah pemikiran
filsafat yang menyangkut kebebasan berkehendak.
Sesuai dengan judul, penulis akan
mengupas maslah kebebasan manusia ini dengan mengemukakan
pandangan-pandangan dari aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Muhammad Iqbal.
Penulis tidak menggunakan pendekatan historis. Ada pun pembahasan tentang
pemikiran Iqbal secara tersendiri adalah bertujuan untuk melacak apakah
masih ada mata rantai dengan salah satu dari aliran-aliran di atas. Sebab
Iqbal adalah filosof besar yang hidup
pada abad 20, dan perspektif apa yang kemukakan oleh Iqbal untuk
menatap hari esok bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan, khususnya bagi
umat Islam.
Kebebasan
Manusia Menurut Mu’tazilah dan Asy’ariyah
Tuhan adalah pencipta alam semesta
termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Kemudian Tuhan bersifat Maha
Kuasa dan berkehendak mutlak. Di sini timbul pertanyaan, sampai dimanakah
manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya ? Apakah manusia terikat seluruhnya
pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.
Kaum Qadariah_Ma’bad al-Juhani_
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Karenanya manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan yang dengan kekuatan sendiri dapat mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk pada qadar Tuhan. (free will_free act)
Kaum Jabariyah_fatalism_predestination_terpaksa
/ memaksa_ Jahm Ibn Safwan_berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam menentukan kehendak, tetapi terikat pada kehendak mutlak
Tuhan.
Menurut Ghailan (sahabat Ma’bad),
manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang
melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atas kemauan sendiri, demikian pula
terhadap perbuatan baik. Dfalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah
lakunya. Karenanya dalam faham ini tidak menyatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu sejak zaman azali.
Faham dari Jahm Ibnu Safwan adalah
anti These dari M’abad dan Ghailan. Manusia menurutnya tidak mempunyai
kekuasaan berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak kehendak
sendiri dan tidak punya pilihan, manusia dalam perbuatannya adalah dipkasa
dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Posisi manusia
menurut ini seperti wayang yang dimainkan oleh sang dalang. Tanpa gerak
dari Tuhan manusia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam alqur’an kita temukan
ayat-ayat tentang keabsolutan Tuhan antara lain. “ ... Dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu” (QS. Afath: 48:21). “... Sesungguhnya Allah berbuat
apa yang Dia kehendaki” (QS. Alhajj:22:14). Demikian pula terdapat
ayat-ayat yang mengakui kebebasan intelek manusia, antara lain “...
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya” (QS. Al
Mudatsir: 74:38). “...Sesungguhnya Tuhan tidak mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri” (QS. Ar Rad:
13:11).
Adapun kebaikan dan kejelekan dari
kedua teori di atas adalah, di satu pihak, kaum fatalis telah mengangkat
Tuhan pada kedudukan yang tinggi, dengan keyakinan bahwa Tuhanlah yang
mempunyai kekuasaan tak terbatas serta absolut. Dengan begitu, sekaligus
mereka menurunkan derajat manusia ketingkat yang rendah dengan mengingkari
bahwa manusia punya andil dalam menentukan nasibnya.
Pada pihak lain, pengikut free will
telah mengangkat derajat kedudukan manusia dengan memberi kekuasaan-kekuasaan
dan hak-hak istimewa yang besar serta memberikan kewajiban dan
tanggungjawab yang besar. Dengan begitu mereka melanggar batas-batas hak
dan kekuasaan Dzat yang maha Kuasa dengan mengubahnya menjadi penguasa yang
bila tidak impoten adalah lemah.
Seorang ulama yang bernama Syekh
Muhammad Ahmad Abu zahrah, menjelaskan bahwa pertentangan teologi yang
terdapat dalam Islam tidaklah mengenai inti dan dasar dari ajaran Islam.
Tegasnya pertentangan itu tidaklah mengenai ke Esa-an Tuhan. Ke Rasulan
Nabi Muhammad saw, Qur’an sebagai Wahyu yang diturunkan Allah SWT, rukun
Islam dan sebagainya, tetapi hanya mengenai hal-hal yang yang tidak menjadi
rukun atau dasar-dasar dalam Islam (Ahmad Amin, Duha al Islam, Al Nahdah,
Kairo: 1994, Hal. 206).
Maksud Abu Zahrah ialah bahwa
pertentangan itu tidak berkisar pada dasar-dasar iman dalam Islam yang
membuat orang menjadi kafir kalau tidak percaya pada dasar-dasar itu.
Pertikaian hanyalah mengenai furu’ atau perincian yang tidak menyebabkan
menjadi kafir kalau fahamnya dalam hal ini berlinan dengan orang lain.
Meskipun demikian aliran Mu’tazilah
masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari Islam, sehingga tidak
disenangi sebagian umat Islam. Pandangan ini timbul karena kaum ini
dianggap tidak percaya pada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang
diperoleh dengan perantaraan rasio. Padahal kaum Mu’tazilah tidak hanya
memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Qur’an dan Hadis
Nabi dalam mempertahankan pendapat mereka.
Atas pengaruh jamaludin al-Afghani
dan Syekh Muhammad Abduh, dua tokoh modernisme yang utama dalam Islam,
kesan pertama mulai berubah, sebab telah ada pengarang-pengarang, dan alim
ulama yang mulai membela pandangan-pandangan Mu’tazilah.
Ahmad Amin berpendapat bahwa kaum
Mu’tazilah adalah golongan Islam pertama yang mengangkat senjata yang
dipergunakan lawan-lawan Islam dalam menangkis serangan-serangan terhadap
Islam dipermulaan Kerajaan Bani Abbas. Mereka, demikian Ahmad Amin,
mempunyai kegiatan yang besar sekali dalam melawan musuh-musuh Islam.
(Ahmad Amin, Fajar al-Islam, Kairo, Al-Nahdah,
1964 : 299-300). Selanjutnyalah hanya mereka yang memikul beban itu. Dalam
pendapatnya, malapetaka yang terbesar menimpa umat Islam ialah lenyapnya
kaum Mu’tazilah (Ahmad Amin, op cit, hal. 206).
Seandainya ajaran-ajaran di ajarkan sampai saat ini, kedudukan
ummat Islam dalam sejarah akan berlainan sekali dengan kedudukan mereka
sekarang. Sikap lekas menyerah (pada nasib) membuat ummat Islam menjadi
lemah, faham fatalisme melumpuhkan mereka, sedang sikap tawakal membuat
mereka dalam keadaan statis. (Ibid, III/70).
Di zaman modern ini
kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan serta tekhnik sekarang, ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bersifat rasional itu telah mulai timbul kembali di
kalangan ummat Islam terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tidak
sadar mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Membuat faham demikianlah membuat mereka keluar
dari Islam. (Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, UI Press, Jakarta 1993: hal. 60).
Ajaran mengambil jalan tengah
antara kedua perbedaan itu (antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah), yaitu
kebebasan mutlak. Imam Ali ar-Ridha menyimpulkan pandangan Islam itu dengan
kata-kata, “Tuhan telah menunjukkan pada anda dua jalan, yaitu pertama
mendekatkan anda pada_Nya dan dua jalan menjauhkan dari pada_Nya: anda
bebas memilih yang pertama atau yang kedua: sedih atau gembira : pahala
atau siksa, ini tergantung pada perbuatan anda sendiri. Namun manusia tidak
mempunyai kemampuan untuk mengubah yang jelek menjadi baik atau dosa
menjadi pahala. ( Amir Ali, Spirit of Islam, Cristophers, 22 Berners Street
London WI, Sith Impression, Page. 18)
Hakekat beragama Islam adalah menyadari
bahwa kita adalah hamba Allah. Ini bertolak dari makna kemahlukan manusia
dengan semua makhluk lain. Kemajuan manusia adalah untuk memenuhi kehendak
Illahi. Pada makhluk lain selain selain manusia ini teralisir dengan
sendirinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum alam. Tak satu pun dari
mereka dapat berbuat selain yang telah ditentukan. Hanya manusialah yang
dapat berbuat lain selain memenuhi kehendak Illahi. Hanya manusialah yang
mempunyai kebebasan. Tetapi semua kebebasan itu (memenuhi atau mengingkari
ketentuan Illahi) juga merupakan kehendak Illahi. (Ismail R. Faruqi, The
Hijrah: The Necessity of Its Iqamat, Muslim Youth Movement of Malaysia,
Kuala Lumpur:1983 : 47).
Muhammad Iqbal dilahirkan di
Sialkot. Punjab, pada tanggal 22 Februari 1873. Tahun 1905 ia memperoleh
gelar kesarjanaannya pada ilmu filsafat di Lahore University dengan
predikat cum laude. Gelar Doktor pada bidang Filsafat diperolehnya dai
Munich University, Jerman dengan disertasi berjudul The Development of
Metafphysics in Persia”.
Iqbal adalah seorang sosok
cendekiawan dan pemikir yang alim dan taat dalam beragama, meskipun latar
belakang pendidikan Barat yang diperoleh, dan tetap aktif meski kadang
bergeseran dengan ilmu-ilmu modern, sehingga ia mengenali peradaban Barat. Ia
amat kritis terhadap pikiran-pikirannya dan pengalaman yang menyerbu ke
dalam dirinya. Bahkan sikap ituylah yang kadang dihadapkan pada ajaran
agamanya sendiri. Ia menyoroti Alqur’an dengan sinar-sinar ilmu modern.
Karena itu kita kadang tercengang bila menelaah tafsiran-tafsirannya. Ia
konsekuen dengan ajarannya sendiri untuk berani berfikir lain, sekali pun
harus berhadapan dengan fikiran umum yang sudah berabad-abad tradisinya. Ia
meninggal pada tanggal 21 April 1938 dalam usia 65 tahun.
Dunia
Barat dan Timur Dalam Pemikiran Iqbal
Dunia Barat dan Timur sebagaimana
dilihat Iqbal perlu dikemukakan, karena telaahnya tentang kedua dunia ini
itulah yang telah membawanya pada konsep individualitas. Ia menyimpulkan
bahwa manusia di kedua dunia ini menderita kesengsaraan dengan caranya
sendiri karena sebab yang sama, yaitu mendudukan manusia tidak pada nilai
eksistensinya yang sebenarnya.
Iqbal sangat mengagumi budaya
kemajuan yang dicapai dengan sangat cepat terutama dalam menumbuhkan
ilmi-ilmu pengetahuan, tekhnologi dan industri. Ia memuji perjuangan mereka
yang gigih dan ulet untuk membuka bidang-bidang ilmu yang baru dan pada
gilirannya menggunakan ilmu itu untuk menguasai dunia. Pencapaian mereka
yang menakjubkan itu telah mengubah lingkungan mereka menjadi tempat dan
mudah untuk keperluan hidup. Rahasianya, terletak pada semangat mereka
untuk merintis sesuatu yang baru, mengadakan observasi, penyelidikan dan
eksperimen. Pendekatan semangat intelektual induktif untuk menguasai alam.
Kemajuan bangsa Barat adalah satu
sisi dari mata uang. Pada sisi yang lain Iqbal merasa ngeri menyaksikan
kesengsaraan manusia. Kemajuan itu telah melahirkan zaman jahiliah baru.
Manusia modern telah mulai mendirikan berhala baru yang disebut akal.
Menurutnya, ini sebagai akibat penggunaan intelek induktif yang
berlarut-larut dan berlebihan, sehingga tertanam kepercayaan bahwa hanya
akallah yang patut menjadi ukuran dan pedoman hidup dan kebenaran. Apa yang
baik adalah apa yang dapat dicapai dengan akal. Apa yang tak teraih oleh
akal termasuk dunia takhayul. Karena dalam kehidupan semua harus
dirasionalisir, termasuk manusia.
Akibat dari semua itu berdampak
terhadap kehidupan manusia modern. Untuk kepentingan industri, perdagangan,
politik, bahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, manusia menjadi barang
di tengah-tengah barang yang lain. Seperti sebuah skrup dari mesin yang
harus berputar terus. Ia hanya berguna apabila masih bisa bekerja atau
diperlukan untuk bekerjanya mesin. Jika sudah aus atau lecet ia diloakkan
atau dibuang. Proses dehumanisasi berjalan besar-besaran, sifat kemanusiaan
telah disebut dari diri manusia. Dalam fikiran ia konflik dengan dirinya
sendiri. Dalam kehidupan ekonomi dan politik ia konflik dengan orang lain.
Manusia menjadi asing bagi dirinya sendiri, karena sudahj tidak punya waktu
lagi untuk meninjau batinnya. Akhirnya manusia melihat dirinya sendiri dan
tampak pada orang lain sebagai fungsinya.
Fenomena di mana si pintar menipu
yang bodoh, yang kaya memeras yang miskin dan si kuat menindas si lemah
terasa akrab. Ini lebih lanjut menimbulkan kekerasan dan peperangan di
mana-mana. Iqbal melihat bahwa bngsa Barat telah berhasil menguasai dunia,
sekaligus telah pula dikuasai oleh keduniawian yang mengerikan.
Sebaliknya bangsa Timur umumnya
hidup sebagai Bangsa terjajah, terbelakang, bodoh, hina, miskin, peminta
atau menjadi bangsa kulit. Di sebagian tempat ada semacam rasa kebanggan
dan kesucian untuk menjalani hidup dengan sengsara, karena menganggap hidup
demikian sebagai tangga yang harus dilalui untuk kebahagiaan akhirat.
Mereka mengasingkan diri dari kehidupan dunia nyata dan menempatkan diri
dalam kehidupan yang belum ada. Karena itu mereka mengabaikan diri sebagai
pribadi yang konkrit dan penting di dunia ini. Bagi mereka dunia ini adalah
khayal dan dunia yang belum ada adalah dunia nyata. Negation of The Self adalah garis tebal dari
cara hidup mereka. lembeknya semangat untuk menguasai lingkungan
menyebabkan mereka mengabaikan ilmu pengetahuan modern. Mereka lebih
menyukai ilmu-ilmu ghaib. Karena itu alam fikiran pantheistis telah
menguasai bangsa-bangsa Timur selama berabad-abad.
Alam fikiran pantheistis
mendudukkan Tuhan sebagai zat yang indah yang meliputi alam semesta. Semua
yang ada dalam keseluruhannya. Karena itu saya dan saudara-saudara adalah
bagian dari Tuhan. (Harun Nasution, Filsafat Agma, Bulan Bintang, Jakarta,
1973: 37) Karena itu manusia tidak memiliki individualitas sendiri.
Hidupnya adalah perjalanan setetes air yang akan meleburkan diri ke dalam
samudera. Tujuan akhirnya adalah lebur kembali kepada Tuhan. Inilah
motivasi dari negation of self dalam kehidupan dunia.
Dalam perbandingan antara dunia
Barat dan Timur. Iqbal mengambil kesimpulan bahwa, peradaban Barat telah
memaksa manusia menjadi asing bagi dirinya, sedang peradaban Timur
menghadapkan kesadaran pada manusia untuk dengan sengaja meniadakan dirinya
dalam kehidupan dunia nyata. Baik dunia Barat maupun Timur telah
mendudukkan manusia tidak pada eksistensinya yang konkret, yaitu manusia
yang dianugerahi akal dan qalbu, intelek dan intuisi. Tidak hanya
keseimbangan pada penggunaan akal dan qalbu, inilah yang menyebabkan dunia
Barat dan Timur menjadi sengsara dengan caranya masing-masing.
Konsep
Individualitas Menurut Iqbal
Menurut Iqbal pada esensinya materi
itu hidup dan aktif, ia tidak pernah berhenti dan berubah maupun berganti
bentuk. Elan Vital yang menyebabkan
perubahan itu bukanlah kekuatan yang buta, melainkan mempunyai obyek dan
berorientasi pada satu tujuan. Gerak perubahan itu mengikuti suatu garis
yang menunjukkan tingkat yang mengarah pada keadaan yang paling kompleks
dan sempurna.
Semua benda mempunyai
individualitas dan tingkat-tingkat keadaan yang pada hakekatnya juga
merupakan derajat-derajat individualitas. Tingkat-tingkat ini digambarkan
oleh Iqbal sebagai tangga nada yang makin meninggi. Tingkat individualitas
itu bukanlah merupakan datum, melainkan sebuah pencapaian dari suatu
individualitas. Jadi individualitas harus berjuang untuk mencapai tingkat
relitas dirinya. Tingkat terendah individualitas ialah derajat benda mati.
Tingkat tertinggi adalah individualitas manusia. (Miss Luce-Claude Maitre,
Introduction to the Thought of Iqbal, terj. Djohan Effendi, Mizan Bandung:
1995:24). Nama lain untuk individualitas adalah ego. Dan Iqbal memusatkan
perhatiannya pada Ego manusia.
Sifat dari ego manusia menunjukkan
bahwa ia berpusat pada dirinya sendiri, memiliki lingkungan yang khusus
sehingga tidak memungkinkan ego-ego lain ada di dalamnya. Itu sebabnya maka
ego itu tidak sama dengan yang lain, tidak mungkin digantikan serta tidak
mungkin lebur atau dileburi oleh ego lain. Selanjutnya ego itu mampu
mengadakan kontak, tanggapan dan interaksi dengan ego-ego lain. Dengan cara
ini ego itu dapat berkembang menuju derajat yang lebih tinggi. Artinya
apabila interaksinya dengan ego-ego lain mencapai titik kordinasi tertentu,
maka kan muncul ego yang derajatnya lebih tinggi.
Seperti telah disebutkan, ego
manusia mempunyai tingkat realitas tertinggi diantara makhluk Tuhan. Dan
karena impuls kreatifnya, manusia dapat mengembangkan egonya pada derajat
yang tinggi. Kemanakah tujuan perkembangan selanjutnya. Tujuannya adalah
mendekatkan diri pada ego terakhir,
yaitu Tuhan. Ini akan menumbuhkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya.
Tidaklah mungkin ego manusia akan lenyap dan lebur dalam ego Tuhan, karena
ego manusia bersifat unik, tunggal dan tidak dapat dinafikan. Dengan
argumentasi ini Iqbal membantah faham pantheistis, tentang air setetes yang
lebur dalam samudera. Justru dengan keunikan itu individualitas itu, maka
ego manusia akan mendekatkan diri pada ego Tuhan untuk melihat sendiri
akibat-akibat dari perbuatan-perbuatannya yang lampau.
Karena percaya pada kemampuan
manusia, Iqbal menganjurkan agar dalam interaksi dengan lingkungannya, ego
terus maju. Kehidupan seperti ini merupakan ketegangan yang disebabkan
penyerbuan ego ke dalam lingkungannya dan sebaliknya. Ketegangan ini
disebut living intimacy of relationship. Karena itu, untuk menjaga proses
perkembangan ego, ketegangan itu harus dipelihara. Menghindari kehidupan
nyata akan menyebabkan hilangnya
stimulus dari arus kehidupan sosial. Ini akan berakibat buruk kepada
manusia karena orang tersebut akan menjadi egosentris, dimana lingkaran
minatnya pada sesama manusia menjadi berkurang.
Manusia dilahirkan dan menemukan
dirinya dalam suatu lingkungan yang kekuatan-kekuatannya harus dilawan,
karena alam semesta bersifat dinamis, maka manusia harus turut ambil bagian
dalam aspirasi alam semesta, yaitu suatu kali menggunakan seluruh tenaganya
untuk mengendalikan kekuatan alam dan pada lain kali menyesuaikan diri,
demi cita-cita dan tujuannya sendiri. Itulah sebabnya manusia tidak boleh
bersifat pasif, tetapi aktif mengambil inisiatif. Bila hanya menyesuaikan
diri saja, sgonya akan merosot pada tingkat ke-ego-an benda mati.
Konsep individualitas ini menjadi
kriterium tentang yang baik dan buruk. Apa yang memperkuat ego manusia
adalah baik demikian pula sebaliknya. Adapun hal-hal yang dapat memperkuat
ego manusia adalah : Ishk, Faqr, Keberanian, Toleransi, hidup dengan usaha
yang halal dan bekerja kreatif dan orisinil. Sedangkan yang dapat
melemahkan ego, yaitu takut, sual (meminta-minta), sombong, membanggakan
keturunan dan perbudakan.
Ishq, bukan hanya cinta kasih,
melainkan juga keinginan mengasimilasi dan mengabsorbsi obyeknya. Bentuk
Ishq yang paling tinggi adalah menciptakan nilai-nilai dan cita-cita serta
berusaha untuk mewujudkannya Ishq mempribadikan subyek yang mengasihi dan
obyek yang dikasihi. Pada manifestasinya yang tertinggi Ishq dapat
mengkonsentrasikan kekuatan, sehingga manusia dapat mengatasi maut, dalam
arti desintegrasi egonya, sehingga mencapai keabadian. Inilah yang menjadi
tenaga dorong utama dalam perkembangan manusia menuju pada kesempurnaan.
Faqr (sikap tidak terikat pada
kekayaan duniawi), berarti semngat yang secara aktif menanggalkan segala
milik, agar supaya diperoleh milik-milik yang lebih agung lagi. Dalam
penaklukan dunia manusia hrus memiliki sifat batin yang yang terlepas darei
superior terhadap kekayaan material, agar orang itu terhindar dari
perbudakan kebendaan. Justeru kekayaan material yang dimilikinya digunakan
untuk mengembangkan kehidupan yang bersifat spiritual demi kemanusiaan.
Semangat ini dipelihara dengan amal sosial yang praktis, misalnya zakat.
Sual, adalah sikap mau menerima
karunia yang diperoleh tanpa usaha sendiri. Misalnya seorang penguasa yang
yang hidup dari keringat rakyatnya, seorang koruptor, pemeras,
peminta-minta, hidup dari usaha riba.
Khalifah Umar adalah contoh dari
orang yang sangat teguh menjaga diri dari sual. Ketika seorang datang ke
kantornya untuk membicarakan soal pribadi, seketika Umar mematikan lampu
dan berbicara dalam kantornya dalam keadaan gelap. Ia tidak mau menggunakan
minyak dari hasil pajak rakyat untuk kepentingan pribadi.
Tujuan perkembangan ego manusia
adalah imortalitas, namun hal ini bukan merupakan hak manusia yang yang
telah ada sebelumnya. Karena itu harus direbut dengan usaha pribadi.
Kesempatan ini terbuka bagi siapapun, caranya dengan memelihara ketegangan
yang timbul dari kontak yang intensif antara ego dan lingkungan. Ini
berarti bahwa orang itu harus hidup kreatif, aktif dan orisinal kehidupan
yang demikian akan menyebabkan manusia mampu mengatasi kemayiannya
(desintegrasi ego). Apa yang disebut Qur’an “pahala” yang tidak henti-hentinya
adalah akibat dari kehidupan seperti itu. Oleh Qur’am suhada disebut
sebagai immortal, karena mereka telah rela
mengorbankan jiwanya untuk satu tujuan yang mulia.
Alam semesta menurut Iqbal adalah
dinamis, sebagai konsekuensi logis dari kegiatan kreatif Tuhan yang tiada
hentinya. (qur’qn al fatir : 35:1). Jika manusia ingin turut serta dalam
kreatif Tuhan, maka padanya dituntut pula untuk hidup secara dinamis. Ini
berguna untuk perkembangan egonya. Konsep dinamis ini membawa Iqbal pada
konsep taqdir. Menurutnya seandainya benar-benar bahwa taqdir manusia telah
ditentukan atau dipastikan terlebih dahulu, maka ia sejenis materialisme
yang terselubung, dimana semua terjadi secara deterministis. Tidak ada satu
pun yang dapat diubah lagi. Dengan begitu berarti mengasingkan kesempatan
campur tangan manusia dan bahkan juga Tuhan. Jelas ini bertentangan dengan
kreativitas Tuhan yang tidak pernah berhenti. Jadi tidaklah mungkin taqdir
sudsah dipastikan sebelumnya. Karena Iqbal menyatakan taqdir adalah suatu
kemungkinan yang terbuka dan bukan realitas atau urutan kejadian yang sudah
pasti. Taqdir seorang bukanlah sesuatu yang ditetapkan dari luar, melainkan
kehendak dari dalam diri seseorang. (Mohammad Diponegoro, Sebuah Konsep
Individualitas Percobaan Memahami Cita Iqbal Tentang Manusia, peringatan
Iqbal di TIM, 24 April 1972).
Namun bukan berarti Tuhan sama
sekali lepas tangan dalam taqdir makhluknya, sebab itu pun tidak mungkin.
Tuhan sudah memberikan jaminan kebebasan pada manusia untuk memilih sendiri.
Pemberian kebebasan itu selalu membawa resiko bahwa manusia bisa berbuat
benar dan salah, yang sekaligus membawa konsekuensi bagi Tuhan untuk
membatasi kebebasan_Nya sendiri. Ini bermakna bahwa Tuhan akan bersedia
menjadi co-worker (rekan kerja) bagi manusia, dengan syarat, manusialah
yang harus menjadi pengambil inisiatif. (QS. Ar-Rad, 13:11).
Dengan konsep dinamis alam semesta,
tampak lebih jelas kedudukan manusia dalam rencana besar Tuhan, yaitu
penciptaan terus menerus untuk menyempurnakan alam semesta. Tiap manusia
merupakan agent yang kreatif dan bebas ikut serta atau menolak ikut serta dalam rencana
besar tersebut. Ikut sertanya manusia adalah demi kepentingan manusia
sendiri, karena peranannya akan menentukan nilai dari perkembangan pribadinya.
Disamping itu Iqbal memiliki
pendapat tentang hubungan antara intelek dengan intuisi. Eksistensi manusia
yang konkret adalah memiliki keduanya. Sebab itu pemberontakannya terhadap
intelektualisme berlebihan dari pemikiran dari pemikiran modern pada hakikatnya
adalah pemberontakannya terhadap penekanan yang berlebihan terhadap intelek
oleh intuisi.
Bagi Iqbal intelek dan intuisi
adalah komplementer, tidak saling bertentangan, meskipun berbeda fungsi.
Intelek dengan observasi reflektif melalui cerapan indera menangkap
realitas secara sepotong-sepotong. Pekerjaan intelek bersifat analistis.
Sebaliknya intuisi menangkap realitas dengan cerapan qalbu secara langsung
dan keseluruhan yang tidak terbagi-bagi dalam suatu kejap intuitif.
Sebagai seorang filosof, Iqbal
berpendapat bahwa antara intelek dan intuisi harus dikawinkan. Intelek yang
dilepaskan dari intuisi adalah pemberontakan seperti syaithan. Intelek yang
dikawinkan dengan intuisi akan melahirkan sifat uluhiat (ketuhanan).
Intelek akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya akan
merupakan kekuatan kekuatan bagi manusia untuk memberi bentuk pada
lingkungannya apabila diikuti dengan tindakan. Intuisi (ishq) akan
menghasilkan ilham, prinsip-prinsip moral universal, pengalaman religius.
Maka kekuatan ilmu pengetahuan yang diilhami agama akan menjadi anugerah
terbesar bagi pri kemanusiaan. Inilah jawaban kunci terhadap kegelisahan
manusia yang hidup pada abad modern.
Penutup
Iman pada satu Tuhan (tauhid)
merupakan sumbu dari seluruh sistem kepercayaan dalam Islam. Ruh tauhid
membebaskan manusia dan wawasan pengembaraan intelektual yang sempit.
Pengembaraan metafisis yang tergantung di awang-awang bagi Iqbal adalah
sia-sia. Dan iman tanpa amal adalah sia-sia. Tanpa amal yang shaleh, itu iman
yang mati. (Abu Sayyed Nurudin, Allama Iqbal’s Attidute to ward Sufism and
His Unique Philosophy of Khudi self, Islamic Foundation Bangladesh, Dacca,
1978: 25)
Dalamskala mikro Iqbal
menghubungkan Tauhid sebagai suatu working idea bagi terbentuknya sosio
politik bagi kehidupan ummat. Maka untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip
ideal di atas, ia menghimbau kaum muslimin agar melakukan “Rekonstruksi”
terhadap kehidupan sosial mereka dalam rangka menciptakan suatu bentuk
demokrasi spiritual di bumi.
Tugas utama Iqbal adalah
membangunkan kita semua agar agar jangan terlalu lama terlena dalam
menangani kerjaq-kerja untuk jangka pendek yang cukup banyak yang cukup
banyak menghabiskan energi. Ia telah mendahului zamannya. Itulah sebabnya
ia menyebut dirinya sebagai “Adam pertama dari suatu dunia baru”. Ungkapan
ini menunjukkan betapa sulitnya idea-ideanya yang dinamis dan kreatif untuk
dipahami oleh mereka yang masih terbelakang dalam soal pemikiran. Kenneth
Gragg, seorang teolog Kristen mengatakan, Iqbal adalah juru bicara tentang
sesuatu yang dapat mengenai konteks jiwa kontemporer. Oleh sebab itu abad
ini harus merasa membutuhkannya.
Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa, peta pemikiran antara Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Iqbal
tentang kebebasan manusia, ternyata pemikiran Iqbal lebih dekat kepada
Mu’tazilah, karena ia berpendapat bahwa Taqdir adalah sesuatu kemungkinan yang
terbukla dan bukan sesuatu yang ditetapkan dari luar, melainkan kehendak
dari kehendak diri seseorang. Dengan begitu Iqbal telah memberikan
perspecktif filosofis tentang pembebasan emansipasi kemanusiaan. Identitas
dan kemandirian yang merupakan kata kunci pembangunan kemanusiaan, guna
mengakhiri pola hidup yang materialistik dan gaya hidup yang komsumeristik
dalam suatu sistem ini akan membawa kepada degradasi global, dehumanisasi
dan bunuh diri. Pandangan filsafatnya yang dinamis dan penuh elan vital
merupakan percikan bunga api di tengah kegelapan dan sekaligus merupakan
mata air yang jernih, sehingga memberikan gairah baru untuk mewujudkan
suatu dunia baru yang lebih adil, damai, merdeka. Salah satu puisi Iqbal :
Cara hidup si kaya adalah bukan caraku
Aku seorang faqr
Nasehatku adalah jangan engkau jual egomu
Ikatan dengan massa
Adalah rakhmat bagi individu
Kematangan hakikat diri
Berasal dari massa rakyat
Rapatkan dirimu dengan massa
Sejauh engkau bis
Serahkan dirimu pada rakyat
Sebagaimana Khair al-Bashr telah berucap
Hanya setan sajalah
Yang membuat jarak dengan masyarakat
Pada saat artikel ini ditulis oleh Zulfadli Barus, SH, beliau
menjabat sebagai Pembantu Dekan Universitas Nasional Indnesia
Dimuat dalam Ilmu dan Budaya hal.
301
Majalah Bulanan Tahun XIII. No.
4/Januari 1991
|