SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM DAN KERANGKA
BERFIKIR ALIRAN-ALIRAN KALAM
Sejarah Munculnya Ilmu
Kalam
Adapun yang melatar belakangi sejarah munculnya
persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan faktor-faktor politik pada
awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali
menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering
dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak
dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di
berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham
keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran
paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak
dari Fitnah Besar itu.
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan
Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil
termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik
tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi
asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun
itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun
kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati
terbunuh ( 656 ).
Perselisihan di kalangan Umat islam terus
berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib ( 656-661 ) dengan
terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan
Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan
Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan
kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan
tahkim ( Arbritrase ).
Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid,
terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran Teologi dalam islam.
Ketauhidan di Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah menjadi
perdebatan yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir
berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan
Mu’tazilah.
Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat
Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat
tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi
filosofis orang lain tanpa mereka
menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah
Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi
filosofis tersebut.
Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan
akal dan melahirkan berbagai pendapat controversial menyebabkan kaum
tradisional tidak menyukainya.
Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah
dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis
oleh orangorang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui
pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira
akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh?
Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil
dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah
kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah
Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran?
Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap
menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas)
pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari,
yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu
menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala
perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa
petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung
kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan,
misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali,
begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari
peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para
pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan
umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang
menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada
‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka,
Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami
kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu
mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal
dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak).
Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali
dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan
yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan
Mu’awiyah, juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu
Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum
Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya
‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash
selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang
disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).
Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem
dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi
dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja
menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi
tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah. Mereka inilah sebenarnya
kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang
kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang
menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam
‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan
demikian: Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan
kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya
kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional).
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa
Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri
pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat
menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani
dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang
justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak
berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.
Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme,
yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah
suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal
keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus
(partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala
sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan
hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan
bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari
adanya Tuhan yang berpribadi personal God.
Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun
tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti
Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari
adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha
tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu
membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang
mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari
adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (“pengingkar”
[sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’aththilah (“pembebas” [Tuhan dari
sifat-sifat])
Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya
kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti
halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah disebut sebagai “titisan”
doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum
Mu’tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari
sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu’tazilah meminjam
metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai
premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan
kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan
bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya membawa kaum Mu’tazilah
kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan
penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India,
ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma’mun
ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam
dan Falsafa
Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah
pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan
kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali,
salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma’mun,
dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah
(pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan
banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu
masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud
al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat
atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang
dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits
(dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata
hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur’an
itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah
karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu
lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang
cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih
banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka
pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali
dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833
M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai
salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,termasuk
perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.”
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak
lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota
Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang
terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat
pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan
paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti
Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai
paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam
yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling
sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.
Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa
“jalan keselamatan” hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam
menganut al-Asy’ari. Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat
pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di
Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan
al-Asy ‘ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia
(al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada
al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan system
Ilmu Kalamnya dipandang sebagai “jalan keselamatan”, bersama dengan sistem
al-Asy’ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji
Muhammad Shalih ibn ‘Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh
Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda
nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam
dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:
(…Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah
menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya
satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka.
Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti
Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy’ari itu
menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy’ari tidak
hanya terdiri dari kaum Mu’tazilah dan Syi’ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak
mirip dengan kaum Mu’tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl
al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan,
sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M),
seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah
menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy’ari bukannya menengahi antara
kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan
mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah
yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat
beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung
kepada paham Qadariyyah beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang
nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan
mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:
Sesungguhnya para pengikut paham Asy’ari dan sebagian orang yang menganut
paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip
pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara
verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidakmasuk akal… Begitu pula mereka
itu berlebihan dalam menentang kaum Mu’tazilah dalam masalah-masalah
Qadariyyah –sehingga kaum Mu’tazilah menuduh mereka ini pengikut
Jabariyyah– dan mereka (kaum Asy’ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan
dan kemampuan yang ada pada bendabenda bernyawa mempunyai dampak atau
menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]
Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya
betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia
mengkritik konsep kasb alAsy’ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai
“sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan
(oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan
tersebut” Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh
banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn
Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain
sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh
al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan
yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan
pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal)
terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari
Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan
Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum “konservatif” khususnya
kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini
ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita bahas.[16]
Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql
dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak
menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa
bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim)
–menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan
lain-lain. Metode al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur
kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari,
juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka,
seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari pun
banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak
dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau
al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah
tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena
tidak lebih daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).
Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang
lain, seperti kategorikategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas,
relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep
tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn
Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di
dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa “hakikat ada di
alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran” (Al-haqiqah fi al-ayan,
la fi al-adzhan).
Kerangka Berfikir
aliaran-aliran Kalam
Perbedaan metode berfikir secara garis besar
dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan
kerangka berfikir tradisional.
Metode berfikir rasional memiliki
prinsip-prinsip berikut ini :
1.
|
hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan
jelas dan tegas di sebut dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, yakni ayat yang
gathi (tersayang tidak boleh disamakan dengan arti lain)
|
2.
|
Memberikan kebebasan kepada manusia dalam
berbuat dan berkehendak
|
3.
|
memberikan daya yang kuat kepada akal.
|
|
|
Adapun metode berfikir tradisional memiliki
prinsip-prinsip berikut ini :
|
1.
|
Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang
mengandung arti Zhanni (tersayang boleh mengandung arti lain).
|
2.
|
Tidak memberikan kebebasan kepada manusia
dalam berkehendak dan berbuat.
|
3.
|
Memberikan daya yang kecil kepada akal.
|
|
|
|
|
Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir
teologi rasional adalah mu’tazilah dan adapun yang sering disebut-sebut
memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyah.
Disamping pengategorian teologi rasioanl dan
tradisional dikenal pula pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.:
Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat
realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan
erat dengan masyarakat kosmos baik ang natural maupun yang supra natural
dalam arti unsurt-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural
dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan
unsure natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus
kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya.
Manusia antroposentris sangat dinamis karena
menganggap hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan
inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir.
Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik
dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperileh
keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia
akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia
mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran
teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah dan
Syi’ah.
Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat
realitas transenden bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Tuhan
adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini dengan segala
kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara mutlak dan manusia adalah
ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.
Manusia teosentris adalah manusia statis karena
sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala
sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak
mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.
Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi
potensi perbuatan baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan.
Aliran ini yang tegolong kategori Jabbariyah.
Aliran Konvergensi
Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat Realitas
transenden besifat supra sekaligus intrekosms, personal dan impersonal,
lahut dan nashut, makhluk dan tuhan saying dan jahat, lenyao dan abadi,
tampak dan abstrak dan sifat lain yang di kotomik.
Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya
segala sesuatu itu selalu berada dalam abmbiu (serba ganda) baik secara
subtansial maupun formal.
Aliran ini juga berkeyakinan bahwa daya manusia
merupakan proses kerja sama antara daya yang transedental (Tuhan) dalam
bentuk kebijasanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis.
Kebahagian bagi para penganut aliran
konvergensi, terletak pada kemampuanya membuat pendalam agar selalu berada
tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap ditengah-tengah antara berbagai
ekstrimitas aliran teolog yang dapat di masukkan ke dalam kategori ini
adalah Asy’ariyah.
Aliran Nihilis
Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas
transcendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak tuhan yang mutlak,
tetapi menerima berbagai variasi tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada
kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang
terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia mempunyai kebahagian
besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia
|