Teologi
Kemanusiaan Maulid Nabi
Oleh Juma’ Darmapoetra
Maka
di tengah kegersangan spiritual dan tragedi
kemanusiaan
yang melanda bangsa Indonesia, figur atau sosok Nabi Muhammad sebagai
manusia paripurna atau par exellence yang diutus Tuhan untuk seluruh umat
manusia harus kembali dihadirkan dalam
mewarnai
kehidupan modern terkini.
MUHAMMAD
yang dilahirkan pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, atau 2 April 571 Masehi,
adalah sosok yang dinanti bumi dan diharapkan langit. Kelahirannya menjadi
peristiwa monumental dalam sejarah kehidupan manusia. Ia hijrah dan wafat
pada bulan yang sama.
Muhammad
menjadi sosok yang sangat berperan dalam sejarah peradaban umat manusia.
Kelahirannya menandai peradaban baru umat manusia, mengakhiri peradaban
jahiliyah yang penuh kebodohan dan kebobrokan moral.
Beliau
adalah pembawa misi suci dari langit, yaitu agama yang rahmatan
lil-’alamiin. Agama yang menjadi jalan bagi manusia untuk merajut cinta
kasih dengan alam, manusia, dan hubungannya dengan Sang Khalik.
Nabi
adalah jembatan menuju kehidupan yang sempurna. Menurut Cak Nur, Muhammad
membawa ajaran Islam yang universal: humanistis, egalitarianistis,
demokratis, dan pluralistis.
Pada
20 Maret 2008, atau 12 Rabiul Awal 1429 Hijriyah, masyarakat Islam di
seluruh dunia kembali disibukkan dengan acara dan seremonial Maulid Nabi
sebagi ungkapan rasa syukur atas kelahiran Sang Rasul.
Perayaan
kali ini sangat berbeda dengan perayaan sebelumnya, khususnya bagi bangsa
Indonesia yang kembali dilanda bebagai krisis, seperti krisis kepercayaan,
krisis politik, krisis budaya dan krisis ekonomi, yang telah menghimpit
masyarakat ke lembah jurang kemiskinan.
Realitas
yang menyakitkan ini tak juga menggugah kaum menengah ke atas, para
birokrat, maupun elit politik, ekonomi, budaya dan agama untuk mengentaskan
kemiskinan yang telah menjadi momok bangsa ini.
Penderitaan
dan kemiskinan masyarakat akibat krisis ekonomi belum juga terpecahkan,
kini ditambah dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang melanda masyarakat
dan bangsa Indonesia. Masyarakat menjadi korban keganasan, keserakahan
industri, dan tumbal ketamakan pemerintah.
Masyarakat
disuguhi berbagai persoalan yang menyita aktivitas mereka. Mereka
disibukkan dengan kebutuhan finansial dan fisikal, sedangkan kebutuhan
rohaniah terabaikan.
Kegersangan
dan kekeringan spiritualitas yang menjangkiti masyarakat pun makin akut.
Saat ini masyarakat kehilangan figur teladan yang bisa mendamaikan hati dan
spiritual.
Mereka
membutuhkan sosok teladan yang mampu ngemong dan menjadi tambatan hidup
dalam hal spiritual dan duniawi.
Adanya
kompleksitas masalah yang menggerogoti manusia ini sejalan dengan
dinamisasi kehidupan manusia. Hal ini bakal mengancam eksistensi manusia
yang terbaik (ahsani taqwim). Motivasi dan energi yang terpupuk terancam
tergerogoti oleh hal-hal yang bersifat keduniawian dan temporal
(sakral-profan).
Akibatnya,
spiritualitas sebagai organ paling urgen dalam kehidupan manusia makin
tersisihkan, seiring dengan arus modernitas dan gelombang globalisasi yang
makin menancapkan taringnya dalam kehidupan manusia.
Maka
di tengah kegersangan spiritual dan tragedi kemanusiaan yang melanda bangsa
Indonesia, figur atau sosok Nabi Muhammad sebagai manusia paripurna atau
par exellence yang diutus Tuhan untuk seluruh umat manusia harus kembali
dihadirkan dalam mewarnai kehidupan modern terkini. Selama ini, manusia
telah mengindahkan sosok yang penuh cinta-kasih dan kehangatan terhadap
umatnya.
Rahmatan Lil Alamin
Bulan
Maulud menjadi medium sangat relevan dalam menghadirkan pesan, ajaran, dan
cinta kasihnya agar manusia berada dalam satu frame kehidupan, yaitu Islam
yang rahmatan lil alamiin. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan melaksanakan
ritual dan seremonial Maulid Nabi.
Maulud
adalah bulan penuh rahmat, penuh berkah, dan penuh cinta kasih yang
dipancarkan Nabi Muhammad. Maulud juga bisa dijadikan sebagai bulan
introspeksi diri terhadap berbagai permasalahan dan fenomena kehidupan yang
sedang melanda bangsa Indonesia.
Maulud
dapat dijadikan sebagai bulan introspeksi sosial untuk merubah pola hidup
dan kepribadian kita yang cenderung individulalistis dan ’’jahiliyah’’.
Maulud
adalah bulan untuk menfitrahkan diri dan sosial, bulan mengikis egoisme dan
individualisme sosial yang selama ini kita rawat dalam diri, dan bulan
untuk menuju ketakwaan diri kepada Allah dan ketakwaan diri pada realitas
sosial yang saat ini berada dalam trauma sosial dan tragedi kemanusiaan
akibat bencana yang mengguncang Indonesia dan arus modernitas yang
menjanjikan kemapanan.
Menurut
Emha Ainun Nadjib, pencapaian ketakwaan seseorang adalah suatu kemenangan
spiritual-vertikal. Sebab manusia tidak dilahirkan untuk ’’menang
horizontal’’, menang atas orang lain, tetapi ’’menang vertikal’’, menang
atas diri sendiri, sehingga memeroleh derajat spiritual. Ini sesuai dengan
nilai kodrati kita sebagai makhluk yang tercipta untuk hidup bersama dan
bersosial (zoon politicoon), sekaligus makhluk individual. Oleh sebab itu,
derajat seseorang juga ditentukan oleh hasil interaksi sosialnya.
Tragedi
kemanusiaan yang melanda bangsa ini telah menyita sebagian besar aktivitas
masyarakat untuk hal-hal yang bersifat keduniawian, sehingga mengabaikan
spiritualitas dan relegiusitas yang merupakan ruh kehidupan manusia. Cinta
kasih yang terjalin adalah semu, dipenuhi kemunafikan dan kebohongan.
Manusia
hidup dalam situasi ’’aku mengalahkan, maka aku ada’’. Adanya hukum rimba
telah menjadi karakteristik manusia saat ini, ’’homo homini lupus’’ (siapa
kuat, dialah yang berkuasa), sehingga yang terjadi adalah tercerabutnya
fitrah dan spiritualitas manusia.
Melalui
acara Maulid Nabi diharapkan dapat menjawab kegelisahan sosial, kegersangan
spiritual dan tragedi kemanusiaan yang melanda Indonesia. Melalui
seremonial ini, umat manusia (terutama Islam) sangat mengharapkan dapat
mengambil spirit Muhammad sebagai sosok yang sempurna.
Dengan
tindakannya (bifa’lihi), perkataannya (bifi’lihi) dan persetujuannya
(taqririah), umat Islam akan benar-benar menjadi muslim kaffah. Karena
tidak ada jalan lain selain kambali kepada Allah dan utusan-Nya.
Semangat
dan spirit Nabi bisa dihadirkan dalam seremonial yang memiliki sakralitas
tinggi ini. Sakralitas memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memengaruhi
dan memaksa dalam tingkah laku manusia, serta kekuatan untuk nilai-nilai
moral kelompok pemeluk agama. (32)
Juma’ Darmapoetra, aktivis Hasyim Asy’ary Institute Yogyakarta,
mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab
UIN Sunan Kalijaga.
|