Mufti, Pejuang Akidah-Sunnah yang juga Ahli Bahasa
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah
Oleh: Edi Kurniawan
IMAM
al-Syatibi adalah seorang ulama besar dari Spanyol yang menguasai berbagai
cabang ilmu keislaman. Dilahirkan di Granada, Spanyol pada tahun 720 H dan
wafat pada tahun 790 H, semasa hidupnya dikenal sebagai seorang ulama yang ahli dalam bidang hukum Islam
, sehingga ia berpropesi sebagai mufti, imam, guru dan penulis produktif.
Selain itu beliau juga seoarang yang ahli dalam bahasa Arab dan pejuang
akidah.
Al-Imam
al-Hafizh bin Marzuq menjuluki beliau sebagai, “Seorang Syeikh, Profesor,
ahli Ilmu Fikih, Imam, Muhaqqiq, dan ulama besar yang shalih: Abu Ishaq
(al-Syatibi: pen)”. (al-Syatibi: 2006: xviii)
Karena
keluasan ilmu dalam berbagai disiplin, maka beliau menjadi tempat rujukan
masyarakat dan penguasa dalam menyelesaikan berbagai problem keagamaan di
Spanyol kala itu.
Berdasarkan
data dari berbagai sumber, Imam al-Syatibi bukanlah produk pendidikan
formal, melainkan belajar secara otodidak dan mengembara dari satu guru ke
guru yang lain. Berawal dari pendidikan rumah yakni dibawah asuhan orang
tua tuanya sendiri, maka kemudian beliau melanjutkan pengembaraan mencari
melalui halaqah-halaqah yang tersebar di berbagai masjid di Spanyol.
Dalam
bidang pemikiran hukum Islam, beliau telah melahirkan karya agung,
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariʿah. Kitab ini terdiri dari empat bab dan memuat tentang metodologi
dan teori hukum Islam yang bercorak filosofis.
Karya
ini mendapat pujian dari berbagai tokoh, baik masa setelah beliau maupun
zaman kontempoer. Imam aI-Hafiz bin Marzuq menyebut al-Muwafaqat ini
sebagai kitab yang paling hebat dalam pemikiran Hukum Islam: “Sesungguhnya
kitab al-Muwafaqat termasuk kitab yang paling hebat.” (al-Syatibi: 2006:
xx)
Rasyid
Ridha mengatakan, “Akan tetapi penulis kitab ini (maksudnya kitab al-Iʿtisham
karya al-Syatibi: pen) - yang juga penulis kitab al-Muwafaqat - termasuk
dalam pembaharu-pembaharu yang luar biasa dalam Islam. Tidak ada yang
menandingi kecermatannya dalam menuangkan buah pikiran. Ia seperti si bijak
dalam ilmu sosial kemasyarakatan, yakni Abdurrahman Ibnu Khaldun. Keduanya
membawa karya yang tidak dapat diungguli oleh seorang pun sebelumnya. Namun
sayang sekali, umat tidak banyak memanfaatkan ilmu mereka sebagaimana
mestinya.” (al-Syatibi: 2006: ix)
Sementara
Fazlur Rahman di dalam Islamic Methodology in History – ia menyebut Imam
al-Syatibi sebagai the Brilliant Jurist – meskipun Rahman sendiri tampak
seperti dualisme terhadap Imam al-Syatibi. Satu sisi ia memuji al-Syatibi
dan menjadikan konsep al-Istiqraʿ al-Maʿnawi
dan Ushul al-Kulliyah yang dirumuskan al-Syatibi sebagai dasar analisis
pada tema-tema pemikiran hukum yang dikembangkannya. (Rahman: 1988:
149-174) Namun pada tempat lain, ia menolak unsur-unsur sunnah yang justeru
ditekankan oleh al-Syatibi tersebut.(Rahman: 1988: 27-84). Dan sikap
dualisme semacam ini - baik dalam
bentuk yang sama dengan Rahman maupun berbeda - juga menular kepada
beberapa tokoh yang berada dalam gerakan pemikiran Islam Liberal Indonesia.
Selain
itu, seruan yang mengajak kepada para peneliti hukum Islam untuk mengkaji
secara serius pemikiran hukum Imam al-Syatibi yang terdapat di dalam
al-Muwafaqat juga pernah di serukan oleh Muhammad Abduh, kemudian disusul
oleh Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan Abdul Aʿla al-Maududi yang mengingatkan betapa arti
penting untuk menelaah kitab ini.
Dalam
bidang fikih, Imam al-Syatibi merupakan penganut Mazhab Maliki. Dan
sumbangannya beliau dalam fikih dapat kita jumpai di dalam karyanya Fatwa
al-Imam al-Syaṭibi
yang menjadi bukti bahwa beliau itu ahli dalam berfatwa (mufti). Kitab ini
diedit oleh Muhammad Abu al-Ajfan dan diterbitkan di Tunisia pada tahun
1985. Selain itu dalam bidang yang sama juga dijumpai karya beliau yang
berjudul Kitab al-Majalis yang merupakan syarahan beliau atas Shahih
Bukhari-Muslim tentang jual beli.
Selain
itu beliau juga seorang pejuang akidah dan Sunnah, yang dibuktikan melalui
karyanya, al-Iʿtisham.
Kitab ini diedit dan diberi kata pengantar langsung oleh Rasyid Ridha. Pada
dasarnya karya beliau yang satu ini lebih kepada membahas tentang bidʿah
dan sunnah, yang tentu ia tidaklah lahir begitu saja dalam ruang kosong,
melainkan atas dasar keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam pada waktu
itu yang mempraktekkan berbagai bidʿah serta menganggapnya sebagai sunnah. Hal ini terekam dari ungkapan
beliau dalam pengantar kitabnya ini, “Aku
berharap, dengan meneliti tema ini, akan kita ketahui orang-orang yang
menghidupkan Sunnah dan orang-orang yang mematikan Sunnah. Dalam kurun
waktu yang cukup lama dan dalam penelitian panjang, aku telah menyimpulkan
dasar-dasar bidʿah
dan Sunnah sesuai dengan ketentuan hukum syariat, cabang-cabangnya atau
pecahan pembahasannya yang panjang….. Oleh karena itu, ada baiknya jika hal
tersebut diungkap secara tertib dengan berbentuk tulisan, guna memenuhi
tuntutan serta mengangkat dan menghilangkan hal-hal samar yang sering
muncul, sehingga tidak sulit membedakan antara yang Sunnah dengan yang
bid'ah.” (al-Syatibi: 2006: li)
Adapun
karya beliau dalam bidang bahasa Arab dapat dijumpai dalam al-Maqashid
al-Syafiyah fī Syarh al-Khulashah al-Kafiyah. Diedit oleh ʿAbd
al-Rahman ibn Sulaiman al-ʿUs Yamin dan Diterbitkan oleh Universitas Umm al-Qura, Saudi ʿArabiya
pada tahun 2007 yang terdiri dari 10 jilid. Selain itu ada juga karya
beliau dalam bidang yang sama yakni Syarh Rajaz ibn Malik fi al-Nahwi
(al-fiyah). Berdasarkan karya beliau ini, maka nyatalah beliau itu seorang
yang pakar dalam Bahasa Arab.
Pengetahuan
dan keilmuan Imam al-Syatibi yang multi disiplin tersebut bukanlah barang
asing dalam sejarah khazanah keilmuan kita. Sebut saja Imam Fakhruddin
al-Razi, Imam al-Ghazali, Ibn Sina, al-Farabi atau juga sekelompok ilmuan
yang berada dibawah payung Ihkwan al-Shafa dan sederet tokoh-tokoh lainnya
yang menguasai berbagai bidang ilmu, baik itu – meminjam istilah Imam
al-Ghazali dalam Ihya’ ʿUlum al-Din – ilmu fardu ʿain
maupun ilmu fardu kifayah. (al-Ghazali: tt: 14-23)
Apa
yang terjadi pada Imam al-Syatibi tentulah tidak terlepas dari kehausan dan
kecintaan beliau kepada ilmu serta sikap beliau yang tidak mendikotomikan
dan mendualismekan ilmu. Hal ini terekam dalam ungkapan beliau sendiri di
dalam pengantar al-Iʿtisham,
“… Sejak otakku terbuka dalam pemahaman dan jiwaku selalu terarah untuk
menelaah semua ilmu, baik logika, syariah, ushul (pokok-pokok dalam agama)
maupun furuʿ
(cabang-cabang dalam agama). Aku tidak pernah membatasi suatu ilmu tanpa
ilmu yang lain dan tidak mengasingkan satu jenis ilmu dari jenis yang lain,
sesuai dengan kebutuhan zaman dan kemampuan. Aku kerahkan segala kekuatan
yang ada pada diriku, bahkan aku menenggelamkan diri dalam lautannya,
sebagaimana menyelamnya orang yang pandai berenang. Aku maju ke medan
peperangan sebagaimana seorang ksatria maju untuk berperang, hingga hampir
saja aku binasa di tengah-tengah kedalaman ilmu, atau aku patah dalam
kelembutanku, sebab hal itu terlalu besar bagi orang sepertiku.”
(al-Syatibi: 2006: xl).*
Penulis
adalah Kondidat Master di Centre for Anvanced Studies on Islam, Science and
Civilisation (CASIS) – Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur dan
Alumni IAIN STS Jambi
|