Pada taahun 1952-1956
Hanafi duduk di bangku Universitas Kairo untuk mendalami bidang
filsafat.Tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara gerakan ikhwan dan
gerakan revolusi.Ia berada dipihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan
Nasser, karena yang pertama mempunyai komitmen dan visi keislaman yang
jelas. Hanafi 9 mulai optimissetelah Nasser berhasil menasionalisasikan
suez dan berubah menjadi pahlawan nasional. Peristiwa demi peristiwa yang dia
alami selama dikampus telah membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir,
pembaharu, dan revormis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa
umat islam selalu mudah dikalahkan dan mengapa konflik internal dikalangan
mereka terus terjadi.
Dalam keprihatinan
semacam itu, hanafi beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar di
Universitas Sorbonne, Prancis pada tahun 1956-1966. Keberuntungannya disini
bukan karena ia berhasil melarikan diri dari situasi sulit di negerinya,
akan tetapi ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban
atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan
sekaligus ia mulai merumuskan jawaban-jawaban itu. Sebagaimana ia akui, di
Prancis ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun
bacaan-bacaan atas karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang pemiir
reformis katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan, dan
sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan analisis
kesadaran dari Husserl.
Sepulangnya dari
Prancis pada tahun 1966, semangat Hanafi untuk meneruskan tulisannya
tentang pembaharuan peemikiran islam sangat tinggi. Akan tetapi, kekalahan
Mesir melawan Israel tahun 1967 membalik niatnya tersebut. Kemudian, ia
ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat
Nasionalisme. Karena itu, ia memanfaatkan media masa sebagai corong
perjuangannya. Ia menulis artikel-artikel untuk menanggapi masalah-masalah
actual untuk melacak faktor
kelemahan umat islam. Disini, terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara
semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seorang
pemikir dan cendekiawan, ia sangat peka terhadap persoalan yang sedang
dihadapi masyarakat.
Pada tahun yang
terakhir tersebut, ia terkena suatu permasalahan dengan pemerintah sehingga
ia diminta untuk memilih, antara berhenti dari aktifitasnya di Mesir atau
pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua. Sepulang dari Amerika ia
berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan pemikiran islam yang telah
lama tertunda. Pengalaman itulah antara lain, yang mempertajam pemikirannya
dan mendorong dirinya untuk memanfaatkan sisa umurnya untuk menulis dan
menyelesaikan problem yang sedang dihadapai oleh dunia Islam. Disini,
terlihat bahwa disamping sebagai pemikiran pembaru, ia juga cendekiawan
yang mempunyai perhatian besar terhadap persoalan umat, bahkan, ia banyak
terlihat langsung dalam kegiatan-kegiatan
pergerakan.(Moh.Nurhakim,2003:9-10)
Pemikiran-pemikiran
Teologi Islam ModernHasan Hanafi
1. MODERNISME
Modernisme adalah sebuah
pemberontakan terhadap tradisi masa lampau, yang terdiri atas tradisi masa
lalu dan masa kini, guna menciptakan sebentuk tradisi baru. Saat ini,
Modernisme dalam Ilmu Pengetahuan, Peradaban, Filsafat, Metodologi, Sosial
dan Ekonomi tidak memiliki batas-batas geografis, atau paling tidak, ia
merupakan term yang tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi dalam satu
wilayah geografis dimuka bumi ini. Modernisme saat ini adalah Modernisme
agresif total, sehingga kalau anda tidak segera mengantisipasinya, atau
bekerja keras untuk memberikan kontribusi karya didalamnya, atau paling
sedikitnya,untuk mengetahui proses keberlanjutannya dalam kenyataan dan
privasi anda, maka anda akan disingkirkan olehnya, atau digusur oleh kenyataan
anda sendiri, atau dipinggirkan dan diposisikan di wilayah marginal di luar
area masa kini dan area masa yang akan datang, dengan merenungkan masa
lampau, atau bahkan menjerumuskan anda ke dalam masa lampau tersebut.
Hal ini tidak serta
merta menunjukkan bahwa kita harus menentang tradisi yang telah kita miliki
serta menghadirkan diri kita sebagai sebuah totalitas dalam Peradaban
Kontemporer, sehingga seolah-olah kita adalah makhluk yang tidak memiliki
tradisi. Tentu tidak! Sesungguhnya peletakan dasar-dasar modernism bgi kita
dan dalam lingkungan kita dapat dicapai dengan resistemisasi atas tradisi
kita dan rekonstruksi hubungan kita dengannya dalam bentuk modern.
Modernisme dimulai dengan penguasaan dan kepemilikan terhadap tradisi,
karena hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyambung banyak jalur yang
terputus dengannya, termasuk untuk mewujudkan proyeksi jauh ke depan menuju
formulasi tradisi baru yang kita bentuk, yakni sebuah tradisi baru yang
bersifat praktis, berhubungan dengan tradisi masa lampau dari segi
identitas dan tipikalitas karakteristiknya, serta terpisah dengan masa
lampau itu dari segi totalitas dan universalitasnya.(Hassan hanafi, 1990:
113-114)
1. SEKULARISME DAN ISLAM
Al-‘ilmaniyyah adalah
tern yang diarabkan dan bukan kata asli dari arab. Kata tersebut menjadi
sinonim dari Sekularisme, yang berasal dari bahasa latin ”Saeculum”.
Artinya adalah masa (Al-‘ashr). Kata ini berasal dari peradaban
barat.(Hasan Hanafi,1990:68). Yang untuk selanjutnya golongan yang
menjunjung sekularisme ini pada gilirannya adalah menjadi lawan dari
golongan yang fundamentalis (memegang pondasi/dasar pemikiran), dimana
golongan fundamentalis adalah golongan yang menolak pengaruh dari luar yang
datang, baik secara menyeluruh maupun yang dari tingkat yang sangat detail.
Di Barat, term ini
menunjukkan pemisahan antara gereja dan negara atau antara otoritas
religius dan otoritas politik. Di Eropa sendiri terjadi pertentangan antara
para Pope di Roma, uskup dan para raja. Pertentangan ini semula dimenangkan
oleh para Pope tetapi kemudian kemenangan itu berpindah tangan pada para
raja setelah terjadinya revolusi prancis “ Asyniqu akhir malik bi am’ai
akhir qissis” (Ikatlah raja terakhir itu dengan usus uskup terkhir).
Selanjutnya kembali pada sabda Isa Al Masih “ Berikan apa yang menjadi
milik raja kepadanya dan apa yang manjadi milik Allah kepadaNya” (Hasan
Hanafi,1990:68-69), berangkat dari
pernyataan ini maka solusi yang ditawarkan dan sekarang telah terjadi
adalah pemisahan antara dua otoritas yang keduanya pernah mengalami
kemenangan yaitu gereja untuk urusan agama dan negara untuk dunia
(Sekuler).
Dalam peradaban barat,
Sekularisme menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari serta ditegakkan diatas undang-undang Eropa. Karena
dipisahkan kehidupan agama dan kehidupan dunia maka hukum-hukum yang dibuat
pun tidak berlandasaakan pada agama tapi pada pemikiran-pemikiran secara
rasional yang dikembangkan oleh yang berwenang membuat hukum-hukum. Karena
terpisah pula maka tidak ada agama resmi bagi negara, mereka menganggap
semua agama sama jadi tidak perlu ada pendominasian terhadap agama maka
agama apapun bebas berkembang tidak peduli agama ataupun kepercayaan, tidak
ada persyaratan beragama bagi seorang pemimpin negara sebagai salah satu
persyaratan kemimpinan, tidak ada hukum gereja yang mengatur hubungan
antara individu, seperti hukum kelurga (Al-Ahwal al-Syakhshiyyah) atau
hukum kriminal (Jinayah) sebagai contoh jika ada pencuri yang ketahuan
pebuatannya maka sanksi yang diberikan itu tidak mengacu pada hukum-hukum
agama dalam artian disini bahwa pihak negara sendiri tanpa campur tangan
pihak gereja yang notabene memegang doktrin-doktrin agama gereja, yang
selanjutnya produk dari sekukarisme ini adalah tidak ada
pengajaran-pengajaran agama di sekolah-sekolah serta tidak ada dakwah
keagamaan dalam berbagai media informasi.
Dengan itu, setelah
kerajaan memenangkan otoritas atas gereja (para Pope), maka gereja
digunakan untuk kepentingan negara sehingga gereja dimanfaatkan untuk
mengantarkan penjajahan dan kolonialisme.Maka, penjajahan itu selalu
dihubungkan dengan misionari, demikian juga sebaliknya. Kemenangan pertama
bangsa-bangsa non Eropa tercapai dengan
kecintaan terhadap barat setelah hilangnya kecintaan mereka terhadap
negara sendiri dan timbul perubahan iman terhadap agama barat menjadi
kecintaan secara politik.
Konsepsi peradaban
barat itu mulai tersebar diantara kita dan membuat kita mengerti diri kita
dan membuat kita mengerti diri kita.Seperti sekularisme dan liberalisme
sehingga keduanya tersebar begitu mendarah dadging diantara kita serta
menjadi salah satu factor penyebab terjadinya modernisme di Barat.Tetapi
ketika modernisme, bangsa-bangsa di seluruh dunia dan perputaran sejarah
itu menjadi satu, maka tida diragukan lagi banyak penolakan dan pembelaan
yang mewujudkan kemajuan masyarakat tanpa memperhatikan beragam
karakteristik bangsa serta perputaran sejarah yang dilewati oleh masyarakat
tidak ada satu ideal menuju modernitas tersebut. Dan hal ini merupakan
kelemahan kita dalam menciptakan beragam cara untuk maju dari inspirasi
religius, rasional, tradisi bangsa dan khazanah historisnya.
Bagi gerakan islam, hal
diatas diungkapkan dalam bentuk Sekularisme dan menghubungkannya dengan
westernisasi yang mengandung unsur kolonialisme dan missionary serta berpegang
teguh kepada agama islam yang menyatukan agama dan dunia. Gerakan ini
menjunjung tinggi slogan Al-Hakimiyyah (supremasi Hukum Allah) sebagai
penjelasan dari ayat “barang siapa yang tidak menempuh hukum yang diturunkn
oleh Allah maka mereka termasuk orang-orang yang kafir. Karena orang-orang
kafir adalah yang menolak untuk beriman, orang fasik adalah orang yang
menerima iman hanya sebagai konsep
dan menolak untuk mengamalkannya dan orang yang merugi itu adalah
orang yang tidak mengetahui kemaslahatan dan dunia.(Hasan hanafi,1990:71)
Maka kesalahan pertama
adalah transformasi model sekularisme barat, dan sedikitnya reaksi yang
munsul atas slogan Supremasi hukum Allah sebagai kesalahan kedua.Menyatunya
kedua kesalahan ini tidak menghadirkan solusi yang tepat. Hambatannya bagi
kita adalah bagaimana cara mewujudkan tujuan-tujuan kelompok sekuler berupa
kebebasan dan kemajuan yang diinginkan oleh masyarakat disaat yang sama
islam berusaha melaksanakan syariat islam sebagai upaya untuk menghindari
pemikiran dualistik antara dunia dan
agama, amal dan iman, atau antara syariah dan akidah?
Syariat islam adalah
syariat positif ditegakkan berdasarkan kemashlahatan umum yang dilihat dari
dimensi primer (Dlaluriyyat), sekunder (Hajiyat), tersier (Tahsinat). Dimensi
primer ada lima macam yaitu menjaga agama, kehidupan, akal, kehormatan diri
dan harta benda. Semua dasar-dasar kehidupan.(Hasan Hanafi,1990:72)
Agama adalah hakikat
obyektif yang bebas dari segala nafsu manusia, kehidupan manusia dilihat
sebagai system nilai bagi dirinya sendiri, akal dipandang sebagai sarana
taklif dan pengendali indra, kemuliaan adalah sarana bag manusia untuk
mencapai derajat kemanusiaan dan harta benda adalah alat untuk memenuhi
kebutuhan manusia serta menjamin keberlanjutan dan berlangsungnya hidup
mereka. Kelima kelompok primer ini dibela oleh para sekularis namun mereka
mengadopsi dari peradaban barat dan tidak bersumber pada syariat islam.
Para sekulerisme ini tidak menghiraukan sistem sanksi yang terdapat dalam
undang-undang kriminal yang sangat dibela dan dipertahankan oleh para
pemuka muslim sebagai reaksi untuk menolak para sekularisme yang pada
hakikatnya adalah sebuah prasangka sebagai hasil dari terpecah-pecahnya
konsep nasionalisme dan peperangan dengan saudara dan musuh-musuh sebagai
akibat dari pengkafiran terhadap berbagai golongan yang menjerumuskan
kesadaran nasional.
Adapun dispensasi
pelaksanaan syariah yang kapasitasnya digugat oleh sekularisme merupakan
sikap emosinal akibat tidak memahami ruh syariah.Hal itu dilakukan hanya
untuk melarang, mengebiri dan mengharamkan saja dan tidak memandang dimensi
kemanusiaan dan sensifitasnya terhadap fenomena aam semesta. Hukum-hukum
syariat yang berjumlah lima macam yakni, wajib, sunnah, haram, makruh, dan
mubah hanyalah mendiskripsikan stratifikasi perbuatan alamiah manusia,
sebagaimana ditempatkan oleh para sekuler di luar wilayah halal dan haram
yang terbentuk dan adopsi dari luar.
2. FUNDAMENTALISME
Istiah fundamentalisme
berasal dari bahasa inggris fundament yang dapat di artikan dasar dari
sesuatu atau sesuatu yang asasi. Selanjutnya, kata fundamentalisme biasa
diartikan idea atau gerakan yang mendasarkan diri pada suatu gerakan yang
mendasarkan diri pada suatu ajaran atau doktrin yang diyakini paling dasar
dan benar, seperti kitab suci bagi pemeluk suatu agama atau dasar Negara
(ideologi) bagi suatu bangsa.
Hasan hanafi sangat
berhati-hati dalam menggunakan istilah fundamentalisme dalam islam.
Kata-kata “ushuliyyah Islamiyah” (fundamentalisme islam) diberi tanda kutip
sambil dijelaskan beberapa istilah lain yang berlaku di kalangan umat
islam. Di dalam pandangan dan pengalaman kaum muslimin merupakan respon
atas keadaan yang buruk dan upaya untuk bangkit. Namun demikian, hanafi
merasa terpaksa menggunakan istilah ushuliyah islamiyah (fundamentalisme
islam) sebagai judul buku, karena pertimbangan kalangan pembaca akademis di
seluruh dunia.
Lebih lanjut, hanafi
mendefinisikkan fundamentalisme dalam islam sebagai suatu gerakan yang
berusaha menegakkan dan merealisasikan syariat islam serta membangun system
yang islami dengan menolak system non-islam yang sedang berlaku.
Gerakan tersebut
berusaha mendasarkan realitas kehidupan pada dasar islam, sebab dasar-dasar
yang lain dianggap tidak sah. Karena itu, jika ia di pergunakan sebagai
dasar maka realitas menjadi rusak seperti yang sedang berjalan saat ini.
Pengikut gerakan itu meyakini bahwa berbagai masalah yang timbul dewasa ini
di sebabkan manusia tidak menerapkan syariat Allah dengan sebenar-benarnya.
Maka, jika ingin masalah-masalah itu hilang, satu-satunya cara adalah
dengan menerapkan syariat Allah, meskipun realitas menolak. Bagi hanafi,
gerakan itu membuat analisis persoalan berdasarkan syariat yang bersifat
ideal, bukan pada realitas.Mereka menghendaki realitas mengikuti ideal
syariat, bukan syariat memperturutkan realitas.Di sinilah, letak gerakan
semacam itu disebut fundamentalisme. (Moh.Nur hakim,2003:148-149)
3. LIBERALISME
Liberalisme adalah
sistem terpanjang yang masuk ke dalam kehidupan kita, khususnya di Mesir
selama fajar kebangkitan Arab Modern setelah gerakan Islam.Pelopornya
adalah Al Tanththawi di Mesir dan Khairuddin Al Tunisi di Tunisia.Mereka
berkeinginan untuk mendirikan Negara modern seperti yang diinginkan oleh
filsafat pencerahan di Barat, seperti yang diungkapkan oleh La Charte dalam
revolusi Perancis.Untuk itu, Al Thahtawi menerjemahkannya sebagai penegas
ultimatum bagi Negara Nasionalis Modern.Liberalisme tidaklah menuntut
penghapusan system kerajaan dan kekhilafahan, namun menuntut system kerajaan
yang terikat pada undang-undang dan system parlemen yang dibangun di atas
multi-partai. Kebebasan Pers, urgensi ajaran nasional yang bebas dan
independen, tanggung jawab departemen di depan para wakil rakyat, kebebasan
berpendapat, berkumpul dan bekerja serta kebebasan berfikir dan menganut
sebuah kepercayaan.
Liberalisme telah
memimpin sejumlah peperangan untuk membangun Negara modern, sejumlah
selokan dan saluran air, jembatan dan bendungan, pendirian sekolah-sekolah
dan universitas-universitas, penyebaran pengajaran tanpa pembedaan jenis
kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, serta pembentukan semangat
nasionalisme, yang independen. Maka meletuslah beberapa revolusi nasional,
seperti revolusi tahun 1919 di Mesir yang mengatas namakan Liberalisme.(Hassan
Hanafi,1990:95)
TEOLOGI KLASIK
Pada zaman klasik ini
berkembang teologi sunnatullah.( 650 – 1250 M ) Sunnatullah adalah hukum
alam, yang dibarat disebut natural laws.Bedanya, natural laws adalah
ciptaan alam, sedangkan sunnatullah adalah ciptaan Tuhan. Diantara
ciri-ciri teologi sunnatullah adalah : Kedudukan
akal yang tinggi - Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan -
Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an
dan alHadits yang sedikit sekali jumlahnya - Percaya adanya sunnatullah dan
kausalitas - Mengambil arti metaforis dari teks wahyu - Dinamika dalam
sikap dan berfikir
Ulama pada zaman klasik ini cenderung memakai
metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis6. Dan yang cocok dengan
metode berfikir ini adalah filsafat qadariyah yang menggambarkan kebebesan
manusia dalam kehendak dan perbuatan. Karena itu, sikap umat Islam zaman
itu adalah dinamis, orientasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh akhirat.
Keduanya berjalan seimbang. Tidak mengherankan kemudian kalau pada zaman
klasik itu, soal dunia dan akhirat samasama dipentingkan dan produktivitas
umat dalam berbagai bidang meningkat pesat. Sehingga dalam sejarah Islam
masa klasik tersebut disebut sebagai masa keemasan dalam perkembangan
keilmuan Islam, khususnya di bidang teologi.
A. KRITIK ATAS TEOLOGI ISLAM KLASIK
Jika kita membaca salah
satu karya monumental Hanafi yang berjudul Dari Akidah ke Revolusi: Sikap
Kita terhadap Tradisi Lama, hal pertama yang akan kita rasakan adalah
gugatannya yang keras, tajam dan radikal terhadap tradisi lama Islam.
Gugatan dan kritik keras itu tidak hanya ditujukan terhadap paradigma
klasik dalam ilmu ushuluddin—khususnya ilmu kalam—tetapi juga terhadap
tradisi dan konvensi teknis di kalangan mutakallimun [para teolog Muslim]
dalam pembahasan ilmu ini.dan memang, sejarah Islam tentang teologi
kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang palingawal dan
mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di
bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya
tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya
kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan.Paradigma teologi klasik
yang ditinggalkan para pendahulu—menurut Hanafi—hanyalah sebentuk ajaran
langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis;
jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan.
Padahal, semangat awal
dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam [Tauhid] sebagaimana
tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan
revolutif. Dalam kaitan ini, Farid Essack menulis, “Tuhan yang disangkal
orang-orang Mekkah bukanlah Tuhan yang Esa yang didakwahkan oleh Muhammad,
melainkan Tuhan yang menghendaki keadilan sosial ekonomi dan tatanan
politik egaliter yang mengancam feodalisme serta otoritarianisme masyarakat
Arab”. Menurut Hanafi, semangat liberasi tauhid terefleksikan dalam
pernyataan keimanan berupa “kesaksian teologis” .Beliau berpendapat bahwa
kedua kalimat syahadat itu kesaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain
Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya—bukanlah sekedar
pernyataan verbalisme tentang ketuhanan dan kenabian, melainkan diikuti
dengan kesaksian yang bersifat teoritis dan kesaksian yang bersifat praksis
tentang problematika modernitas dan kejadian-kejadian sejarah.
Dalam berbagai karyanya
yang mengulas proyek pembaharuan teologi Islam klasik, Hanafi berupaya
menyingkap sejarah kelahiran ilmu kalam, keragaman alirannya, rumusan isi
dan metodologinya, perkembangannya, hingga sampai pada taraf analisis
terhadap kekurangan dan kelebihan masing-masing aliran teologi.
Kesimpulannya: pertama, ada dimensi yang “hilang” dari wacana teologi Islam
tradisional. Yaitu persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang
ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar
eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi
malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain
yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Tuhan selalu menjadi
obyek menarik untuk diperbincangkan, justru di saat umat mengalami
keterbelakangan.Tuhan menjadi fokus perdebatan, sedangkan umat
dipinggirkan. Akibatnya, teologi hanya bergaung di forum-forum perdebatan,
di bawah catatan-catatan ilmiah, di ujung pena para sarjana, di dalam
buku-buku dan berakhir di meja tulis para pemikir. Problem nyata semacam
penindasan manusia, eksploitasi alam dan kesadaran sejarah tidak sedikitpun
menjadi concern teologi.
Menurutnya, wacana
kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil
kemanusiaan.Dan ini adalah distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan
ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi.
Baginya, mukaddimah konvensional dan susunan pembahasan teologi klasik tidak
sedikitpun membahas realitas manusia atau konsepsi alam; sebaliknya, yang
dihadirkan hanyalah “...Pujian kepada
Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah...penyucian Allah dengan
sebenar-benarnya, pemaparan sifat-sifat Tuhan dalam bahasa yang penuh dengan
kecintaan, sehingga hakikat Tuhan merupakan sesuatu yang sulit dicapai,
membingungkan akal manusia serta melemahkan daya imajinasi...”.
Kedua, eksistensi
teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik,
elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum
perlawanannya.Bagi Hanafi, selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya
penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan
tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata.Gaya pembahasan seperti ini sangat
berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.“Ungkapan yang berisi
muatan keimanan sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan dalil-dali
dan menyia-nyiakan keilmuan”, demikian teriak Hanafi.
Ketiga, paradigma
teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui [reformasi], dipahami ulang
[rekonstruksi] dan dirumuskan kembali [reformulasi] dalam modelnya yang
baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas,
gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman.
Selain ketiga poin di
atas, Hanafi juga melontarkan beberapa kritikan terhadap paradigma tauhid
klasik.Pertama, ketidaksesuaian konsep-konsepnya dengan era
industrialisasi.Kdua, pembahasannya cenderung mengulang-ulang
[repetisi].Ketiga, pengungkapan pesan-pesannya secara apologis.Keempat,
menggunakan metode retorika dan dialektika.Kelima, keterbatasan bahasa
klasik yang digunakan.
B. KRITIK TERHADAP TEOLOGI TRADISIONAL
Dalam gagasan Hassan
hanafi tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan
perubahan konteks-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi,
lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan,yakni
transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi
itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara
kemurniannya.Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah.
Islam mengalami berbagai kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang periode
kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa
permulaan, yang berasal dari kebudayan klasik, harus diubah menjadi
kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.
Hanafi ingin meletakkan
teologi islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada
ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh di persoalkan lagi dan harus
diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan
yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara
historis maupun eidetis
Secara praxis, teologi
tradisional gagal menjadi semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional
bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional
disebabakan oleh sikap para penysun teologi yang tidak mengaitkan dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul
keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan
umat.
C. REKONSTRUKSI TEOLOGI
Melihat kelemahan dari
teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teologi
dengan tujuan menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang
kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual
sebagai landasan etik dan motivasi manusia
Langkah melakukan
rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya di latar belakangi oleh tiga hal
berikut :
Pertama,
kebutuhan akan adanya sebuah
ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai
ideologi. Kedua, pentingnya
teologi baru ini bukan semata-mata pada sisi teoritisnya, melainkan juga
terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi
sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah
memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim. Ketiga,
kepentingan teologi yang bersifat
praktis(amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas
melalui realisasi tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya
”teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam di
bawah satu orde.
Menurut Hassan Hanafi,
rekonstruksi teologi salah satu cara yang mesti di tempuh jika mengharapkan
agar teologi dapat memberikan sumbangan yang konkret bagi sejarah
kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-pertama untuk
mentransformasikan teologi menuju antropolgi, menjadikan teologi sebagai
wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif, maupun
kesejarahan.
A. TEOSENTRISME
Teosentrisme berasal
dari bahasa Yunani, theos, yang memiliki arti Tuhan, dan bahasa Ingris,
center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentrime mengacu pada
pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara
moralitas lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya.Singkatnya, teosentrisme
lebih menekankan tentang keberpusatan pada Tuhan dibandingkan pada manusia
(anthroposentrisme).
Pada kajian yang lebih
mendalam, teosentrisme berarti menegakan kejayaan Tuhan dengan melakukan
berbagai hal yang baik dan menghalau berbagai hal yang buruk.Terkait hal
ini, perspektif Kristiani serupa dengan Islam. Kitab suci Quran menyatakan
bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk mengagungkan dan
menyembah Allah SWT, seperti yang dinyatakan pada surat Adh Dhariyat 51:56:
“dan tidak aku ciptakan jinn dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.”
Menyembah, dalam kajian Islam, berarti mengakui pada kesatuan dan kekuasaan
Allah SWT.
Kehidupan merupakan
perjuangan yang berkelanjutan antara kebajikan dan kejahatan. Sehingga,
dalam memutuskan apa yang dapat dilakukan dan harus ditinggalkan, Muslim
seharusnya mengacu pada tuntunan Quran dan Hadis. Keduanya merupakan
pondasi dari hukum Islam atau shari’a.Tujuan shari’a adalah untuk menjadi
panduan dalam pencapaian kebaikan dalam hidup, contohnya adalah keindahan
karakter dan kehidupan, dan untuk menghindari berbagai hal yang merusak dan
buruk. Mereka yang bersungguh-sungguh dan melakukan kebajikan akan
dikaruniai dengan keabadian hidup di surga, sementara mereka yang condong
pada keburukan akan dihukum di neraka.
Sementara kajian
Kristiani juga mengandung banyak afirmasi mengenai konsep keberpusatan pada
Tuhan dalam penciptaan manusia. Pada Yesaya 43:7, dikatakan: “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang
kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan juga Kujadikan!” Dengan
kata lain, tujuan akhir manusia di dunia ini adalah untuk mengagungkan
Tuhan. Perspektif teosentrisme bahwa Tuhan meminta manusia untuk mengikuti
hukum moralitas disajikan melalui uraian “mencitai Tuhan kita dengan
sepenuh hati, sepenuh jiwa, dengan sepenuh tenaga, dan dengan sepenuh
pikiran.”
Inilah sejatinya
keutamaan dari teosentrisme – dalam mencari Tuhan dan mengagungkan-Nya di
atas yang lainnya, manusia memenuhi tujuan dari penciptaannya.Santo
Agustine mengatakan, “Engkau telah menciptakan kamu untuk diri-Mu, dan hati
kami tidak tenang hingga mereka dapat beristirahat di diri-Mu.” Sementara
dari kajian Islam, Imam Gazali, mengelaborasi sikap spiritual ketika ia
menjelaskan pentingnya menumbuhkan taqwa dalam hati setiap Muslim.
Taqwa dalam Quran
memiliki tiga arti.Pertama takut dan takjub; kedua kepatuhan dan
penyembahan dan ketiga adalah membebaskan hati dari dosa, yang mana
merupakan esensi dari taqwa.
Singkatnya, taqwa
adalah melindungi diri dari kemurkaan dan hukuman Allah SWT dengan mematuhi
anjuran dan mehindari larangan-Nya.Hal ini kembali lagi mengafirmasi
kenyataan bahwa tujuan manusia dalam hidup ini adalah untuk mencari
keridhaan Allah dengan menjalani hidup sesuai dengan petunjuk shari’a.
Akhirnya, dalam teologi
modern, teosentrisme sering kali dihubungkan dengan pelayanan dan etika
lingkungan.Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa manusia harus menjaga
dunia sebagai pemelihara dan sehingga yang mana Tuhan menginginkan
mereka.Manusia seharusnya memikirkan semua, dari hewan hingga tumbuhan
hingga ke manusia sendiri.Hal ini memelihara bahwa manusia sejatinya di
sini untuk waktu yang singkat dan seharusnya menjaga dunia untuk generasi
mendatang.”
Di Islam, konsep yang
selaras dengan hal ini adalah konsep khalifah. Kita suci Al Quran
menjelaskan hal ini sebagai berikut:
Renungkan saja ketika
Allah berkata pada para malaikat: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau
berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang
khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak
menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah,
padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia
berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah 2:30).
Sebagai kalifah,
manusia dipandang sebagai yang pelindung dunia. Pada posisi ini, ia
seharusnya tidak melakukan tindakan koruptif dalam berbagai bentuk pada
dunia, ia seharusnya merawat hubungan baik antara sesama manusia dan
mengabadikan keindahan dari dunia untuk generasi mendatang.
B. ANTROPOSENTRIS
Karena menganggap bahwa
teologi Islam tidak ilmiah dan tidak µmembumi, Hanafi mengajukan konsep
baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak
sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai
ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual
sebagai landasan etik dan motivasi tindakanmanusia. Karena itu,
gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi,berusaha untuk
mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual
kepadakontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju
kehendak bebas.Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan;
pertama, kebutuhan akanadanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di
tengah pertarungan global antaraberbagai ideologi. Kedua, pentingnya
teologi baru yang bukan hanya bersifatteoritik tetapi sekaligus juga
praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalamsejarah.Untuk mengatasi
kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitandengan realitas
sosial, Hanafi menawarkan dua teori.Pertama, analisa bahasa.Bahasa dan
istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyangdalam
bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yangtidak
bisa diganggu gugat.Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologisebenarnya
tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi jugamengungkap
tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasionalseperti iman,
amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yangmetafisik,
seperti Tuhan dan akherat.Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi,analisa
ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologismunculnya
teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupanmasyarakat atau
para penganutnya
|