PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM (KLASIK DAN KONTEMPORER
KONSEP
PENDIDIKAN IBN MISKAWAIH
A.
Riwayat Hidup Ibn Miskawaih
Nama
lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada
tahun 320 H/932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar
tahun 412 H./16 Pebruari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan
dinasti Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya
bermazhab Syiah.
Latar
belakang pendidikannya tidak terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan
keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil
al-Qadi, mempelajari Filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari Kimia
dari Abu Thayyib.
Pekerjaan
utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan
pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan penguasa, ia
juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi,
Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan
besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w. 310 H./923
M.). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.
B.
Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Konsep
pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih dilandasai oleh konsep pemikirannya tentang
manusia dan akhlak.
1.
Dasar Pemikirannya
a.
Konsep manusia
Ibn
Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya.
Menurutnya ada tiga macam daya yang ada pada diri manusia, yaitu: (1) Daya
bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah; (2) Daya berani
(an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, dan (3) Daya berpikir
(an-nafs an-nathiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan
unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda. An-Nafs al-bahimiyyat dan
an-Nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs
an-nathiqat berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua an-nafs yang berasal dari
materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak
akan mengalami kehancuran.
b.
Konsep Akhlak
Konsep
akhlak Ibnu Miskawaih adalah doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih memberi
pengertian pertengahan tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat,
harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi
ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum
diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim
kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Ada
empat keutamaan akhlak (al-iffah, as-saja’ah, al-hikmah, dan al-‘adalah)
merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak yang lainnya merupakan
cabang dari empat akhlak mulia tersebut.
2.
Konsep Pendidikan
Ibn
Miskawaih membangun konsep pendidikan pada pendidikan akhlak. Selengkapnya
dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan
pendidikan akhlak yang dirumuskannya adalah terwujudnya sikap bathin yang
mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang
bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan
sejati dan sempurna.
Dengan
demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Maiskawaih bersifat
menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang
seluas-luasnya.
b.
Materi Pendidikan Akhlak
Ibn
Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga
hal tersebut adalah: (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia,
misalnya shalat, puasa dan sa’i(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, misalnya
mengesakan Allah serta motivasi senang kepada ilmu dan (3) hal-hal yang
wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia, misalnya ilmu muamalat,
pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.
Ketiga
materi pokok tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis
besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan pemikiran (al-ulum al-fikriyah), dan kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan indera (al-ulum al-bissiyat).
c.
Pendidik dan Anak Didik
Pendidik,
dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting
dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya
disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran
kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan
perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya
perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
Orang
tua, merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan syariat
sebagian acuan utama materi pendidikannya. Kegiatan ini harus dilandasi
dengan hubungan yang harmonis dan cinta kasih. Guru berfungsi sebagai orang
tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan
adalah kebaikan Ilahi.
d.
Lingkungan Pendidikan
Sebagai
makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya.
Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang
berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan
dengannya mulai dari saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan dengannya.
Untuk
mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, perlu ada polical will dari
pemerintah. Kepala negara dan aparatnya mempunyai kewajiban untuk
menciptakannya. Agama da negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi,
satu dengan lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara
(pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap
anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal
cinta anak terhadap orang tuanya.
e.
Metodologi Pendidikan
Beberapa
metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama,
adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan
menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan
kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan
menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi
dirinya.
KONSEP
PENDIDIKAN AL-QABISI
A.
Riwayat Hidup al- Qabisi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Khalaf al-Ma’afiri al-Qabisi.
Ia lahir di Kairawan, Tunisia, pada bulan Rajab, tahun 224 H. bertepatan
dengan 13 Mei tahun 936 M. Ia pernah merantau ke beberapa negara Timur
Tengah pada tahun 353 H./963 M. selama 5 tahun, kemudian kembali ke negeri
asalnya dan meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H. bertepatan
dengan tanggal 23 Oktober 1012 M.
Riwayat
pendidikannya, ia pernah berguru kepada salah seorang ulama di
Iskandariyah. Dia emperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama-ulama
terkenal dari Afrika Utara, seperti Abul Abbas al-Ibyani dan Abu Hasan bin
Masruf ad-Dhibaghi, serta Abu Abdillah bin Masrur al-Assa’ali dan
sebagainya.
Ketika
berada di Kairawan, Tunisia, ia berguru mengenai ilmu fiqh kepada ulama
mazhab Malikiyah yang berkembang di daerah itu, sehingga ia menjadi orang
yang juga ahli di bidang fiqh. Para pengamat sepakat bahwa al-Qabisi
termasuk salah seorang ulama hadits dan fiqh yang terkemuka pada zamannya.
B.
Konsep Pendidikan al-Qabisi
Beberapa
pemikirannya tentang pendidikan adalah:
1.
Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi
memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang
berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan
upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan negara.
Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan
dan ketekunan yang tinggi.
2.
Tujuan Pendidikan
Al-Qabisi
menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi
anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Lebih spesifik tujuan
pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa
cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Di ssamping itu juga
al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki
keterampilan da keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari
nafkah.
3.
Kurikulum
Al-Qabisi
membagi kurikulum menjadi dua bagian:
a.
Kurikulum Ijbari
Kurikulum
ijbari secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan
keharusan atau kewajiban bagi setiap anak. Kurikulum model ini terdiri dari
kandungan ayat-ayat al-Quran seperti sembahyang dan doa-doa, ilmu nahwu dan
bahasa Arab.
b.
Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan)
Kurikulum
ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, syair,
kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam, ilmu nahwu (grammer) dan bahasa
Arab lengkap. Dalam kurikulum ini juga dimasukkan pelajaran keterampilan
yang dapat menghasilkan produksi kerja.
4.
Metode dan Teknik Belajar
Selain
membicarakan materi, ia juga berbicara mengenai teknik dan langkah
mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal al-Quran dan belajar menulis
langkah-langkah adalah berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik,
yaitu waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus dan baru beristirahat
sejak waktu dhuhur hari Kamis sampai dengan hari Jum’at. Kemudian belajar
lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.
Al-Qibasi
juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan
latihan dan demonstrasi.
5.
Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan
Percampuran
belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau
co-educational classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju
bila murid laki-laki dan perempuan dicampur dalam kuttab, hingga anak itu
belajar sampai usia baligh (dewasa).
6.
Demokrasi dalam Pendidikan
Menurut
al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di Kuttab tidak ada perbedaan derajat
atau martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada
pengecualian.
KONSEP
PENDIDIKAN AL-MAWARDI
A.
Riwayat Hidup al-Mawardi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basry. Ia
dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M. dan
wafat di Baghdad pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M.
Al-Mawardi
hidup pada masa puncak kejayaan ummat Islam. Hingga tidak mengherankan ia
tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqh dan sastrawan di
samping juga sebagai politikus yang paiwai.
Pendidikannya
ditempuh di negeri kelahirannya, Basrah. Di kota itu ia sempat belajar
hadits dari beberapa ulama terkenal seperti al-Hasan Ibn Ali Ibn Muhammad
Ibn al-Jabaly. Abu Khalifah al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibn Zuhar
al-Marqy, Muhammad Ibn al-Ma’ally al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad ibn
al-Fadl al-Baghdadi. Di samping ahli hadits, ia juga ahli fiqh terkemuka
dari mazhab Syafi’i, sastra dan syair, nahwu, filsafat, dan ilmu sosial.
Karir
di bidang hukm Islam, menghantarkanya sebagai hakim di beberapa kota,
seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad. Bahkan ia diminta untuk
menyusun kompilasi hukum Islam mazhab Syafii, yang dinamakan al-Iqra’.
Karirnya
tidak berhenti di situ, pada masa Khalifah al-Qaim (1031-1074), ia diserahi
tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan
berbagai persoalan dengan para tokoh pemimpin dari kalangan Bani Buwaihi
Seljuk Iran. Ia kemudian diberi gelar Afdal al-Qudhat (Hakim Agung).
Selain
sebagai seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan
pemerintah dan mengajar, ia tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan
karya-karya tulisnya dengan ikhlas. Menurut sejarah, tidak kurang 12 judul,
yang dapat dibagi ke dalam tiga kelopok pengetahuan.
Pertama,
kelompok pengetahuan agama. Misalnya kitab tafsir An-Nukat wa al-‘Uyun,
al-Hawy al-Kabir (buku fiqh dalam mazhab Syafii), kitab al-Iqra’ (ringkasan
dari kitab al-Hawy), kitab al-Qadi, dan kitab A’lam an-Nubuwwah.
Kedua,
kelompok pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan. Misalnya kitab
al-Ahkam al-Sulthaniyah, Nasihat al-Muluk, Tashil an-Nazar wa Ta’jil
az-Zafar dan Qawanin al-Wizarah wa as-Siasat al-Malik.
Ketiga,
Kelompok pengetahuan bidang akhlak. Misalnya kitab an-Nahwu, al-Awsat wa
al-Hikam dan al Bughyah fi Adab al-Dunya wa al-Din.
B.
Pemikiran al-Mawardi dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran
al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada
masalah etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar.
Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru
memegang peranan amat penting, bahkan berada pada garda terdepan.
Al-Mawardi
memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadlu (rendah hati),
ikhlas serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Sikap tawadlu akan
menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap
demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu
seoptimal mungkin. Guru menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing
dalam proses belajar mengajar.
Dengan
keikhlasan, guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal
ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama,
selalu mempersiapkan sesuatu yang diperlukan guna mendukung PBM. Kedua,
disiplin terhadap peraturan dan waktu. Ketiga, penggunaan waktu luangnya
akan diarahkan untuk kepentingan profesional. Keempat, ketekunan dan
keuletan dalam bekerja. Kelima, memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi.
KONSEP
PENDIDIKAN IBN TAIMIYAH
A.
Riwayat Hidup Ibn Taimiyah
Nama
lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di
kota Harran, Wilayah Siria, pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H.
bertepatan dengan 22 Januari 1263 M dan wafat di Damaskus pada malam Senin,
20 Zulqaidah, 728 H. bertepatan dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama
Syihab a-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H.) adalah seorang
ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus. Di
samping sebagai khatib dan imam besar di masjid tersebut juga sebagai guru
dalam bidang tafsir dan hadits. Bahkan direktur Madrasah Dar-al-Hadits
as-Sukkariyah, yang bermazhab Hambali. Di sinilah pertama kalinya Ibn
Taymiyah dididik.
Kakeknya,
Saikh Majd ad-Din al-Barakat ‘Abd al-Salam Ibn ‘Abd Allah (590-652 H.),
dipandang sebagai Mujtahid Mutlak dan alim terkenal yang ahli tafsir
(mufassir), ahli hadits (muhaddits) dan ushul fiqh (ushuli), ahli fiqh
(faqih), ahli nahwu (nahwyy), dan pengarang (mushannif). Sedangkan pamannya
dari jalur bapak yang bernama al-KhatibFakhr al-Din dikenal sebagai
cendekiawan muslim populer dan pengarang yang produktif pada masanya.
Demikian pula Syaraf ad-Din Abd Allah Ibn Abd al-Halim, adik laki-laki Ibn
Taimiyah, ternyata juga dikenal sebagai ilmuwan muslim yang ahli dalam
bidang ilmu kewarisan Islam (faraid), ilmu-ilmu hadits (ulum al-hadits) dan
ilmu pasti (ar-Riyadiyah).
Ibn
Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, tinggi
kemauan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan
teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan
rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan
kebenaran.
Pendidikannya
diperoleh dari sejumlah guru terkenal, di antara adalah Syam ad-Din Abd
ar-Rahman Ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) seorang ahli hukum
Islam (faqih) ternama dan hakim agung pertama dari kalangan mazhab Syafii
di Siria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di
bidang peradilan. Muhammad Ibn ‘Abd al-Qawi Ibn Badran al-Maqdisi
al-Mardawi (603-699 H), seorang muhaddits, faqih, nahwyy dan mufti serta
pengarang terpandang pada masanya, juga merupakan salah seorang guru Ibn
Taimiyah. Demikian pula al-Manja Ibn Utsman Ibn As’ad al-Tanawukhi, seorang
ahli fiqh dan ushul al-fiqh serta ahli tafsir dan ilmu tata bahasa; dan
Muhammad Ibn Ismail Ibn Sa’ad al-Syaibani (687-704 H), seorang muhaddits,
tata bahasa, sastra, sejarah dan kebudayaan. Masih banyak lagi gurunya yang
tidak dapat disebutkan di sini.
B.
Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah
1.
Falsafah Pendidikan
Dasar
atau asas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan oleh Ibn
Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang
cerdas dan unggul. Hal ini dibangun atas dua hal, (1) al-Tauhid (mengesakan
Allah), (2) tabiat insaniyah (kemanusiaan).
2.
Tujuan Pendidikan
a.
Tujuan Pendidikan Individual
Diarahkan
pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seseorang yang berfikir,
merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu
sejalan dengan perintah al-Quran dan al-Sunnah.
b.
Tujuan Sosial
Pendidikan
harus diarahkan pada terciptanta masyarakat yang bak sejalan dengan
ketentuan al-Quran dan al-Sunnah.
3.
Kurikulum
Kurikulum
atau materi pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik adalah
mengajarkan mereka sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidiknya
agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan rasulNya. Hal ini bisa
dilakukan melalui empat tahap; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan
mengesakan Allah (al-Tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan
mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap ilmu-ilmu Allah. Ketiga,
Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong manusia mengetahui secara
mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, Kurikulum
yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui
perbuatan-perbuatan Allah.
Berdasarkan
tujuan dan kurikulum tersebut, ia membagi ilmu melalui kekhususannya, (1)
ilmu-ilmu yang dapat menyempurnakan agama dan akal, (2) ruang lingkup
kurikulum, dibagi menjadi empat bagian; (a) Ilmu Ijbariyah (ilmu yang
dipaksakan) dan (b) Ilmu Ikhtiyariyah (ilmu yang diusahakan).
4.
Bahasa Pengantar dalam Pengajaran
Ibn
Taimiyah menganjurkan agar penggunaan bahsa Arab dalam pengajaran dan
percakapan. Hal ini didasarkan pada pandangannya bahwa penguasaan secara
mendalam dan teliti terhadap bahas Ara merupakan tuntutan Islam dan sesuatu
yang fardhu ‘ain hukumnya di kalangan ulama salaf.
5.
Metode Pengajran
Menurut
Ibn Taimiyah, pada garis besarnya metode pengajaran dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu metode ilmiah dan metode iradiyah. Hal ini didasarkan
pada pemikirannya bahwa al-qalb (hati) merupaka alat untuk belajar. Hatilah
yang mengendalikan anggota badan dan mengarahkan jalannya.
6.
Etika Guru dan Murid
a.
Etika Guru terhadap Murid
1.
|
Seorang
alim merupakan khulafa’ hendaknya senantiasa saling menolong dalam
kebaikan dan ketaqwaan, jangan saling menjegal dan menyakitinya dengan
ucapan maupun perbuatan tanpa hak.
|
2,
|
Seorang
alim hendaknya menjadi panutan bagi murid-muridnya.
|
3.
|
Seorang
alim hendaknya menyebarkan ilmunya tanpa main-main atau sembrono.
|
4.
|
Seoang
alim hendaknya membiasakan menghafal dan menambah ilmunya serta tidak
melupakannya.
|
b.
Etika Murid terhadap Guru
1.
|
Seorang
murid hendaknya memiliki niat yang baik dalam menuntut ilmu
|
2.
|
Seorang
murid hendaknya mengetahui tentang cara-cara memuliakan gurunya serta
berterima kasih kepadanya.
|
3.
|
Seorang
murid hendaknya mau menerima setiap ilmu, sepanjang ia mengetahui
sumbernya.
|
4.
|
Seorang
murid hendaknya tidak menolak atau menyalahkan mazhab yang lain atau
memandang mazhab lain sesat.
|
KONSEP
PENDIDIKAN ABDULLAH AHMAD
A.
Riwayat Hidup
Abdullah
Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Ia adalah putera H. Ahmad,
seorang lama Minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surau-surau,
di samping sebagai saudagar kain Bugis.
Pendidikan
Abdullah Ahmad dimulai dengan mempelajari agama Islam dari orang tuanya
serta beberapa guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh, ia dimasukkan ke
sekolah kelas dua (sekolah yang diperuntukkan bagi pribumi) di Padang
Panjang. Karena ayahnya seorang ulama yang berpikiran modern, maka Abdullah
Ahmad sangat diharapkan agar menjadi orang yang terpelajar dan memiliki
pengetahuan yang luas di bidang agama.
Usia
tujuh belas tahun (1895), ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
haji, sambil melanjutkan pelajaran agama pada Syaikh Ahmad Khatib, seorang
ulama asal Minangkabau yang bermukim di Mekka, serta kepada beberapa ulama
lainnya di Mekkah. Selama empat tahun belajar di Mekkah, Abdullah Ahmad
juga terus mengikuti perkembangan gerakan Wahabiyah yang digencarkan waktu
itu. Selanjutnya ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1899 dan mulai
mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Padang Panjang. Di daerahnya ini ia
mulai mengajar dengan menggunakan cara tradisional, yaitu dengan sistem
halaqah. Tetapi selanjutnya ia mengubah sistem pengajaran tradisionalnya
itu dengan sistem sekolah agama (madrasah) yang diberi nama Adabiyah
School. PBM dengan mengunakan klasikal tersebut menggunakan sarana yang
biasa terdapat pada sekolah yang dilaksanakan pemerintah Belanda, seperti
meja, bangku, dan papan tulis.
Di
antara karyanya adalah al-Munir yang mengandung misi pembaharuan Islam,
al-Islam, majalah bulanan yang terbit di Surabaya. Abdullah Ahmad juga
menulis syair perukunan yang berisi kumpulan syair-syair untuk nyanyian
murid-murid sekolah, diterbitkan di Padang pada bulan Agustus 1917. Masih
banyak lagi buku yang lainnya, di antaranya Pembuka Pintu Syurga,
al-Ittifaq wa Iftiraq serta Izbaru Zaglil Kazibin.
B.
Konsep Pendidikan Abdullah Ahmad
Konsep
di bidang pendidikan yang dikemukakan oleh Abdullah Ahmad melputi tiga
aspek fundamental, yaitu kelembagaan, metode dan aspek kurikulum.
1.
Aspek kelembagaan
Aspek
kelembagaan yang dirintis beliau adalah mendirikan madrasah Adabiyah. Untuk
kepentingan itu ia menghubungi beberapa orang yang memiliki pendidikan
guru, seperti Guru Thaib Sutan Pamuncak dan Guru Karim. Sedangkan dari
kalangan ulama adalah H. Karim Amrullah, Zainuddin Labai, dan lain-lain.
Pada perkembangan berikutnya, di tahun 1915 corak pendidikan Adabiyah
diubah menjadi bercorak Hollands Maleische School (HMS) atau Hollands
Inlandsche School (HIS), yaitu tingkat pendidikan setarap dengan Sekolah
Dasar (SD). Selain diajarkan pelajaran agama dan al-Quran sebagai mata
pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.
Pada
perkembangan selanjutnya, berdiri Taman Kanak-Kanak (TK)—walau di zaman
pejajahan Jepang dibubarkan. Tetapi jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA
tetap dipertahankan. Bahkan ditambah dengan Sekolah Tinggi Administrasi
Islam (STAI) serta Laboratorium Komputer.
2.
Aspek Metode Pengajaran
Metode
debating club—metode diskusi termasuk metode yang diterapkan oleh Abdullah
Ahmad. Selain itu ia juga menerapkan metode pemberian hadiah dan hukuman
sebagaimana yang berkembang saat ini. Metode lain yang diterapkannya adalah
metode bermain dan rekreasi.
3.
Aspek Kurikulum
Di
Sekolah Adabiyah yang bercorak agama ini, dapat disimpulkan bahwa dalam
program pendidikannya menerapkan konsep kurikulum pendidikan integrated
(integrated curriculum of education), yaitu terpadunya antara pengetahuan
umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program pendidikan
sebagaimana tercantum dalam setiap rencana pengajaran. Dalam
pandanganAbdullah Ahmad, bahasa Arab dan Belanda sama-sama memiliki peranan
penting dalam konteks alih ilmu pengetahuan.
KONSEP
PENDIDIKAN KH. AHMAD SANUSI
A.
Riwayat Hidup KH. Ahmad Sanusi
Ahmad
Sanusi dilahirkan pada tanggal 3 Muharram 1306 H., bertepatan dengan 18
September 1888 M. di desa Cantayan, kecamatan Cibadak kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat. Ayahnya bernama KH. Abdurrahman bin Haji Yasin, seorang
pengasuh pondok pesantren di Cantayan. Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga
dari istri yang pertama. Ia wafat pada tanggal 15 Syawal tahun 1369
H./1950.
Ia
dibesarkan dalam lingkungan kehidupan yang agamis dan pesantren basis
pergerakan keagamaan. Sejak usia tujuh sampai lima belas tahun menimba
pengetahuan dari ayahnya di pesantren Citayan. Setelah cukup dewasa, ia
disuruh ayahnya untuk memperdalam ilmu agama di luar lingkungan pesantren
ayahnya. Pada tahun 1903 ia melanjutkan studinya, guru yang pertama kali
didatanginya adalah KH. Muhammad Anwar dari pesantren Salajambe, Cisaat.
Kemudian kepada KH. Zaenal Arip di pesantren Sukaraja, pindah lagi ke pesantren
Gudang Tasikmalaya berguru pada KH. Sujai, kemabali lagi ke Cianjur dan
berguru kepada KH. Ahmad Satibi di pesantren Gentur. Pada tahun 1909 ia
berangkat ke Mekkah, setelah menikah dengan Siti Juwairiyah, puteri H.
Arfandi dari Kebon Pedes Sukabumi. Selain untuk beribadah, ia juga menuntut
ilmu di kota Mekkah. Ia mendatanani ulama-ulama Syafiiyah, seperti Syaikh
Shaleh Junaedi, H. Muchtar, H.Abdullah Jamani, Syaikh Shaleh Bafadil dan
Syaikh Jawani, seorang mufti mazhab Syafii. Ahmad Sanusi berukim di Mekkah
selama tujuh tahun, bahkan ia mendapat kehormatan menjadi imam di Masjidil
Haram.
Sekembalinya
dari Mekkah, ia mengajar di pesantren ayahnya. Dalam pengajarannya ia
sering menggunakan metode dialogis. Atas anjuran ayahnya, ia mendirikan
pesantren di Genteng, Babakan Sirna, di kaki Gunung Walat, lebih kurang 10
kilometer dari Cantaya. Ia juga aktif di Sarikat Islam (SI) cabang Sukabumi
menjadi penasehat.
B.
Karya Tulis Ahmad Sanusi
Karya
tulisnya ada sekitar 250 buah, baik dalam bentuk kitab, buku, dan artikel
yang dimuat dalam berbagai majalah dan media massa lainnya. Karya-karyanya
dapat digolongkan menjadi empat bidang:
1. Bidang Tafsir, antara lain, Raudhatl Irfan fi
Ma’rifat al-Quran, Maljau al-Thalibin dll.
2. Bidang Fiqh, antara lain al-Jauhar al-Mardliyah
fi Mukhtar al-furu as-Syafiiyah.
3. Bidang Ilmu Kalam, antara lain Kitab Halyat
al-‘Aql wa al-fikr fi Bayan Muqtadiyat as-Syirk wa al-Fikr.
4. Bidang Tasawuf, antara lain al-Audiyah
as-Syafiiyah fi Bayan Shalat al-Hajah wa al-Istharah, Siraj al-Afkar dan
lain-lain.
C.
Pemikiran Ahmad Sanusi dalam Bidang Pendidikan
Upaya-upaya
yang dilakukannya di bidang pendidikan antara lain:
1.
Upaya Memajukan Pendidikan
Salah
satu upaya untuk memajukan pendidikan, Ahmad Sanusi membentuk lembaga
pendidikan Ibtidaiyah dan madrasah Diniyah. Menyelenggarakan kursus-kursus
kepemimpinan, pengetahuan umum dan agama, politik, serta mengaktifkan
pengajia mingguan. Bahkan untuk meningkatkan pemahaman tentang al-Quran, ia
menerbitkan Tamsiyatul Muslimin, kitab tafsir pertama di Sukabumi—yang
ditulis dengan bahasa Arab dan Latin.
2.
Sistem, Metode dan Kurikulum Pendidikan
Pondok
Pesantren “Syamsul Ulum” menggunakan sistem pembelajaran klasikal dengan
jadwal dan kurikulum yang sudah ditetapkan. Jenjang pendidikannya terdiri
dari tiga tingkatan, yaitu tingkat rendah, menengah dan tinggi,
masing-masing terdiri dari empat kelas dengan masa belajar empat tahun.
Kurikulum yang disusun danditerapkan adalah kurikulum khusus dalam bidang
pelajaran agama.
KONSEP
PENDIDIKAN KH. IMAM ZARKASYI
A.
Riwayat Hidup KH. Imam Zarkasyi
Imam
Zarkasyi lahir di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910 M. dan
meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri
dan 11 orang anak.
Belum
genap 16 tahun, Imam Zarkasyi mula-mula menimba ilmu di beberapa pesantren
yang ada di daerah kelahirannya, seperti pesantren Josari, Joresan, dan
Tegalsari. Setelah belajar di sekolah Ongkoloro, ia melanjutkan studinya di
pondok pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama ia juga belajar di
sekolah Mambaul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan
pendidikannya di sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh KH.
Al-Hasyimi—sastrawan Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah Perancis di
wilayah penjajahan Belanda dan akhirnta menetap di Solo, sampai tahun1930.
Setelah
menyelesaikan pendidikannnya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke
Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat. Sampai tahun 1935. Setelah
tamat, ia diminta menjadi direktur perguruan tersebut oleh gurunya Mahmud
Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi hanya memenuhinya selama satu tahun, karena
Gontor lebih membutuhannya—apalagi kakaknya, Ahmad Sahal tidak
mengizinkannya berada di luar lingkungan pendidikan Gontor.
Pada
tahun 1936, genap setelah sepuluh tahun dinyatakannya Gontor sebagai
lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi seera memperkenalkan
program pendidikan yan diberi nama Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI)
dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya. Pada tahun 1943 ia diminta menjadi
Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Jabatan lainnya sebagai kepala
seksi pendidikan kementerian agama dan anggota komite penelitian pendidikan
pada tahun 1946. Selama 8 tahun (1948-1955) ia dipercaya sebagai ketua
Pengurus Besar Guru Islam Indonesia (PGII) yang sekretarisnya waktu itu
dipegang oleh KH. EZ. Muttaqin dan banyak lagi jabatan lain yang pernah
disandangnya.
Ia
juga produktif membuat karya tulis. Di antara karyanya adalah Senjata
Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama
Islam, Ushuluddin, Pelajaran Fiqh I dan II berikut kamusnya dan buku-buku
pelajaran lainnya.
B.
Gagasan dan Cita-Cita Pembaharuan Imam Zarkasyi
Sebelum
mendirikan lembaga pendidikan Gontor dengan corak modern, ia melakukan
studi banding ke empat lembaga pendidikan; Pertama, Universitas al-Azhar,
Mesir, kedua, Podok Syanggit di Afrika Utara, ketiga, Universitas Muslim
Aligarch di India dan keempat, Perguruan Shantiniketannya Rabendranath
Tagore, India.
Untuk
membangun pondok yang santrinya dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris, ia
merumuskan jiwa ponpesnya dengan Panca Jiwa Pondok. Kelima jiwa itu adalah
keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menlong diri sendiri (self help),
ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas.
C.
Konsep Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
1.
Pembaharuan Metode dan Sistem Pendidikan
Sistem
pendidikan di Gontor dilakukan secara klasikal yang terpimpin secara
terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang
ditetapkan. Ia juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler seperti olah
raga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan
Inggris), pramka, dan organisasi pelajar. Santri diharuskan tetap inggal di
pondok pesantren (boarding school). Sistem pembelajaran asrama tetap
diterapkan (day school system) dengan jadwal pembelajaran yang sangat
ketat. Kajian kitab tetap diterapkan, misalnya Fathul Qarib, Fathul Mu’in,
I’anatut Thalibin dan sebagainya.
2.
Pembaharuan Kurikulum
Kurikulum
yang diterapkan Imam Zarkasyi adalah 100 % umum dan 100 % agama. Di samping
pelajaran tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh yang biasa dijarakan di
pesantren. Ia juga menambahkan pelajaran umum, seperti ilmu alam, ilmu
hayat, ilmu pasti, sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu
jiwadan lain-lain. Khusus pelajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode
langsung (direct method) secara aktif dengan memperbanyak latihan (drill),
baik lisan maupun tulisan.
3.
Perbaikan Struktur dan Manajemen Pesantren
Berbeda
dengan pondok pesantren tradisional, Ponpes Gontor telah mewakafkannya pada
sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Dengan
demikian aka ponpes ini menjadi milik semua ummat Islam dan semuanya ikut
bertanggung jawab atasnya.
4.
Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan Pesantren
Gagasan
independen Imam Zarkasyi direalisasikan dengan menciptakan Pondok Modern
Gontor benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apapun. Hal
ini diperkuat dengan semboyan Gontor di atas dan untuk semua golongan.
Selanjtnya kemandirian pondok ini juga terlihat dari adanya kebebasan para
santrinya untuk menentukan jalan hidupnya kelak. Imam Zarkasyi sering
mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan
ntuk dirinya sendiri.
KONSEP
PENDIDIKAN SYED NAQUIB AL-ATTAS
A.
Riwayat Hidup
Beliau
adalah ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 September
1931. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan
Jepang ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa Arab di pesantren
al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup
bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Besar Johor.
Pendidikan
formalnya dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy
Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Univesitas Malaya, Malaysia kajian
ilmu-ilmu sosial (1057-1959). MA dari McGill University Kanada di bidang
teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies
Universitas London Inggris (1966) dengan disertasi “The Misticism of Hamzah
Fansuri).
B.
Pemikiran Naquib al-Attas
1.
Islamisasi Ilmu
Menurutnya,
islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang
didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan
manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan
pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai.
Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia—termasuk
dunia Islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara
peradaban sendiri telah melahirkan kebingungan, kehilangan hahekat,
menyebabkan kekacauan hidup manusia, kehilangan kedamaian dan keadilan.
Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisme lalu diilmiahkan dalam
metodologi.
Naquib
al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian:
a.
Ilmu-Ilmu Agama;
1.
Al-Quran; qiraat, tafsir dan takwil
2.Hadits; sirah nabawi, sejarah dan pesan-pesan
para rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif
3.
Syariah; hukum-hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam
4. Teologi; tauhid (tentang Tuhan, wujudNya
sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya)
5.
Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology
6.
Ilmu-ilmu linguistik; tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraan
b.
Ilmu-ilmu Rasional
1.
Ilmu-ilmu kemanusiaan
2.
Ilmu-ilmu alamiah
3.
Ilmu-imu terapan
4.
Ilmu-ilmu teknologi
Ide
Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan
ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti
dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci—yaitu Islam.
Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsur-unsur dan unsur pokok
yang membentuk kebudayaan Barat dan ilmu-ilmu yang dikembangkan; kemudian
memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam.
Istilah-istilah
Islam merupakan pemersatu ummat muslm sedunia, karena tidak dapat
diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap
seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah”
ukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau
“Tuhan” dengan “T” besar ala Nurchalish Madjid.
2.
Sekularisasi
Istilah
sekuler berasal dari kata latin “saeculum” yang bermakna dua konotasi waktu
dan lokasi; waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’ dan
lokasi menunjuk pada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum
berarti ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’ yang menunjukkan pada
peristiwa-peristiwa dunia ini. Sekularisasi berarti pembebasan manusia,
pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar
dan bahasanya.
Komponen-komponen
internal dalam dimensi sekularisasi:
a.
Peniakkeramatan alam
b.
Desakralisasi politik
c.
Dekonsekrasi
KONSEP
PENDIDIKAN MOHAMMAD ARKOUN
A.
Riwayat Hidup
Mohammed
Arkoun lahir pada tanggal 1 Pebruari 1928 di Mourirt Kabilia, Aljazair.
Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah
Timur Aljir. Bahasa yang digunakan adalah non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah
tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota
pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian Barat sejak 1950-1954 ia belajar
bahasa dan sastra Arab. Tahun 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun
1961 ia diangkat menjadi dosen di universitas Sorbonne Paris. I meraih
gelar doktor sastra pada 1969. Sejak 1970-1972 Arkoun mengajar di
Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang
sejarah pemikiran Islam.
B.
Pemikiran Arkoun
Pemikiran
Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post strukturalis)
Perancis. Metode historisisme yang dipakainya adalah formulasi ilmu-ilmu
sosial Barat modern ciptaan para pembaharu (post) strukturalis Perancis.
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep (post) strukturalisme untuk kemudian
diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus,
epistema, wacana dekonstruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan
diperkirakan dan lain-lain adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan
dalam kancah pergulatan dengan (post) strukturalisme.
Metode
historisisme adalah metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan
relevansi antara teks dengan konteks. Melalui metode ini, teks-teks klasik
didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapakan
dalam wilayah agama, apa yang diburu oleh Arkoun adalah makna-makna baru
yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Arkoun juga
membedakan dua tradisi. (1)Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi
transendental, abadi, tak berubah. (2)Tradisi dengan t kecil yang adalah
produk sejarah, budaya manusia, baik ayng merupakan warisan turun-temurun
maupun hasil penafsiran atas wahyu Tuhan lewat teks-teks suci. Bagi Arkoun,
hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisi dan karenanya ia
mengabaikan tradisi yang pertama.
|