TOKOH PENDIDIKAN DAN PEMIKIRANNYA



TOKOH PENDIDIKAN DAN PEMIKIRANNYA





PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM (KLASIK DAN KONTEMPORER

KONSEP PENDIDIKAN IBN MISKAWAIH


A. Riwayat Hidup Ibn Miskawaih

Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H./16 Pebruari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syiah.

Latar belakang pendidikannya tidak terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi, mempelajari Filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari Kimia dari Abu Thayyib.

Pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w. 310 H./923 M.). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.

B. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih

Konsep pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih dilandasai oleh konsep pemikirannya tentang manusia dan akhlak.

1. Dasar Pemikirannya

a. Konsep manusia

Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya ada tiga macam daya yang ada pada diri manusia, yaitu: (1) Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah; (2) Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, dan (3) Daya berpikir (an-nafs an-nathiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda. An-Nafs al-bahimiyyat dan an-Nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-nathiqat berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.

b. Konsep Akhlak

Konsep akhlak Ibnu Miskawaih adalah doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih memberi pengertian pertengahan tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia.

Ada empat keutamaan akhlak (al-iffah, as-saja’ah, al-hikmah, dan al-‘adalah) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak yang lainnya merupakan cabang dari empat akhlak mulia tersebut.

2. Konsep Pendidikan

Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan pada pendidikan akhlak. Selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskannya adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Dengan demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Maiskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.

b. Materi Pendidikan Akhlak

Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal tersebut adalah: (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, misalnya shalat, puasa dan sa’i(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, misalnya mengesakan Allah serta motivasi senang kepada ilmu dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia, misalnya ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.

Ketiga materi pokok tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-ulum al-fikriyah), dan kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera (al-ulum al-bissiyat).

c. Pendidik dan Anak Didik

Pendidik, dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.

Orang tua, merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan syariat sebagian acuan utama materi pendidikannya. Kegiatan ini harus dilandasi dengan hubungan yang harmonis dan cinta kasih. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.

d. Lingkungan Pendidikan

Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan dengannya.

Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, perlu ada polical will dari pemerintah. Kepala negara dan aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Agama da negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi, satu dengan lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tuanya.

e. Metodologi Pendidikan
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.


KONSEP PENDIDIKAN AL-QABISI

A. Riwayat Hidup al- Qabisi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Khalaf al-Ma’afiri al-Qabisi. Ia lahir di Kairawan, Tunisia, pada bulan Rajab, tahun 224 H. bertepatan dengan 13 Mei tahun 936 M. Ia pernah merantau ke beberapa negara Timur Tengah pada tahun 353 H./963 M. selama 5 tahun, kemudian kembali ke negeri asalnya dan meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H. bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1012 M.

Riwayat pendidikannya, ia pernah berguru kepada salah seorang ulama di Iskandariyah. Dia emperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama-ulama terkenal dari Afrika Utara, seperti Abul Abbas al-Ibyani dan Abu Hasan bin Masruf ad-Dhibaghi, serta Abu Abdillah bin Masrur al-Assa’ali dan sebagainya.

Ketika berada di Kairawan, Tunisia, ia berguru mengenai ilmu fiqh kepada ulama mazhab Malikiyah yang berkembang di daerah itu, sehingga ia menjadi orang yang juga ahli di bidang fiqh. Para pengamat sepakat bahwa al-Qabisi termasuk salah seorang ulama hadits dan fiqh yang terkemuka pada zamannya.

B. Konsep Pendidikan al-Qabisi

Beberapa pemikirannya tentang pendidikan adalah:

1. Pendidikan Anak-anak

Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.

2. Tujuan Pendidikan

Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan da keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.

3. Kurikulum

Al-Qabisi membagi kurikulum menjadi dua bagian:

a. Kurikulum Ijbari

Kurikulum ijbari secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan keharusan atau kewajiban bagi setiap anak. Kurikulum model ini terdiri dari kandungan ayat-ayat al-Quran seperti sembahyang dan doa-doa, ilmu nahwu dan bahasa Arab.
b. Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, syair, kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam, ilmu nahwu (grammer) dan bahasa Arab lengkap. Dalam kurikulum ini juga dimasukkan pelajaran keterampilan yang dapat menghasilkan produksi kerja.
4. Metode dan Teknik Belajar

Selain membicarakan materi, ia juga berbicara mengenai teknik dan langkah mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal al-Quran dan belajar menulis langkah-langkah adalah berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik, yaitu waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus dan baru beristirahat sejak waktu dhuhur hari Kamis sampai dengan hari Jum’at. Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.

Al-Qibasi juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi.

5. Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan

Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau co-educational classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dan perempuan dicampur dalam kuttab, hingga anak itu belajar sampai usia baligh (dewasa).

6. Demokrasi dalam Pendidikan

Menurut al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di Kuttab tidak ada perbedaan derajat atau martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian.


KONSEP PENDIDIKAN AL-MAWARDI


A. Riwayat Hidup al-Mawardi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basry. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M.

Al-Mawardi hidup pada masa puncak kejayaan ummat Islam. Hingga tidak mengherankan ia tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqh dan sastrawan di samping juga sebagai politikus yang paiwai.

Pendidikannya ditempuh di negeri kelahirannya, Basrah. Di kota itu ia sempat belajar hadits dari beberapa ulama terkenal seperti al-Hasan Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn al-Jabaly. Abu Khalifah al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibn Zuhar al-Marqy, Muhammad Ibn al-Ma’ally al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad ibn al-Fadl al-Baghdadi. Di samping ahli hadits, ia juga ahli fiqh terkemuka dari mazhab Syafi’i, sastra dan syair, nahwu, filsafat, dan ilmu sosial.

Karir di bidang hukm Islam, menghantarkanya sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad. Bahkan ia diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam mazhab Syafii, yang dinamakan al-Iqra’.

Karirnya tidak berhenti di situ, pada masa Khalifah al-Qaim (1031-1074), ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan para tokoh pemimpin dari kalangan Bani Buwaihi Seljuk Iran. Ia kemudian diberi gelar Afdal al-Qudhat (Hakim Agung).

Selain sebagai seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan pemerintah dan mengajar, ia tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulisnya dengan ikhlas. Menurut sejarah, tidak kurang 12 judul, yang dapat dibagi ke dalam tiga kelopok pengetahuan.

Pertama, kelompok pengetahuan agama. Misalnya kitab tafsir An-Nukat wa al-‘Uyun, al-Hawy al-Kabir (buku fiqh dalam mazhab Syafii), kitab al-Iqra’ (ringkasan dari kitab al-Hawy), kitab al-Qadi, dan kitab A’lam an-Nubuwwah.

Kedua, kelompok pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan. Misalnya kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Nasihat al-Muluk, Tashil an-Nazar wa Ta’jil az-Zafar dan Qawanin al-Wizarah wa as-Siasat al-Malik.

Ketiga, Kelompok pengetahuan bidang akhlak. Misalnya kitab an-Nahwu, al-Awsat wa al-Hikam dan al Bughyah fi Adab al-Dunya wa al-Din.

B. Pemikiran al-Mawardi dalam Bidang Pendidikan

Pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan amat penting, bahkan berada pada garda terdepan.

Al-Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadlu (rendah hati), ikhlas serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Sikap tawadlu akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar.

Dengan keikhlasan, guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:

Pertama, selalu mempersiapkan sesuatu yang diperlukan guna mendukung PBM. Kedua, disiplin terhadap peraturan dan waktu. Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk kepentingan profesional. Keempat, ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Kelima, memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi.


KONSEP PENDIDIKAN IBN TAIMIYAH


A. Riwayat Hidup Ibn Taimiyah

Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran, Wilayah Siria, pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H. bertepatan dengan 22 Januari 1263 M dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulqaidah, 728 H. bertepatan dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab a-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H.) adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus. Di samping sebagai khatib dan imam besar di masjid tersebut juga sebagai guru dalam bidang tafsir dan hadits. Bahkan direktur Madrasah Dar-al-Hadits as-Sukkariyah, yang bermazhab Hambali. Di sinilah pertama kalinya Ibn Taymiyah dididik.

Kakeknya, Saikh Majd ad-Din al-Barakat ‘Abd al-Salam Ibn ‘Abd Allah (590-652 H.), dipandang sebagai Mujtahid Mutlak dan alim terkenal yang ahli tafsir (mufassir), ahli hadits (muhaddits) dan ushul fiqh (ushuli), ahli fiqh (faqih), ahli nahwu (nahwyy), dan pengarang (mushannif). Sedangkan pamannya dari jalur bapak yang bernama al-KhatibFakhr al-Din dikenal sebagai cendekiawan muslim populer dan pengarang yang produktif pada masanya. Demikian pula Syaraf ad-Din Abd Allah Ibn Abd al-Halim, adik laki-laki Ibn Taimiyah, ternyata juga dikenal sebagai ilmuwan muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraid), ilmu-ilmu hadits (ulum al-hadits) dan ilmu pasti (ar-Riyadiyah).

Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, tinggi kemauan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran.

Pendidikannya diperoleh dari sejumlah guru terkenal, di antara adalah Syam ad-Din Abd ar-Rahman Ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) seorang ahli hukum Islam (faqih) ternama dan hakim agung pertama dari kalangan mazhab Syafii di Siria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan. Muhammad Ibn ‘Abd al-Qawi Ibn Badran al-Maqdisi al-Mardawi (603-699 H), seorang muhaddits, faqih, nahwyy dan mufti serta pengarang terpandang pada masanya, juga merupakan salah seorang guru Ibn Taimiyah. Demikian pula al-Manja Ibn Utsman Ibn As’ad al-Tanawukhi, seorang ahli fiqh dan ushul al-fiqh serta ahli tafsir dan ilmu tata bahasa; dan Muhammad Ibn Ismail Ibn Sa’ad al-Syaibani (687-704 H), seorang muhaddits, tata bahasa, sastra, sejarah dan kebudayaan. Masih banyak lagi gurunya yang tidak dapat disebutkan di sini.

B. Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah

1. Falsafah Pendidikan

Dasar atau asas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Hal ini dibangun atas dua hal, (1) al-Tauhid (mengesakan Allah), (2) tabiat insaniyah (kemanusiaan).

2. Tujuan Pendidikan

a. Tujuan Pendidikan Individual
Diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seseorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan perintah al-Quran dan al-Sunnah.
b. Tujuan Sosial
Pendidikan harus diarahkan pada terciptanta masyarakat yang bak sejalan dengan ketentuan al-Quran dan al-Sunnah.

3. Kurikulum

Kurikulum atau materi pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan mereka sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan rasulNya. Hal ini bisa dilakukan melalui empat tahap; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan mengesakan Allah (al-Tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap ilmu-ilmu Allah. Ketiga, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong manusia mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, Kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.

Berdasarkan tujuan dan kurikulum tersebut, ia membagi ilmu melalui kekhususannya, (1) ilmu-ilmu yang dapat menyempurnakan agama dan akal, (2) ruang lingkup kurikulum, dibagi menjadi empat bagian; (a) Ilmu Ijbariyah (ilmu yang dipaksakan) dan (b) Ilmu Ikhtiyariyah (ilmu yang diusahakan).

4. Bahasa Pengantar dalam Pengajaran

Ibn Taimiyah menganjurkan agar penggunaan bahsa Arab dalam pengajaran dan percakapan. Hal ini didasarkan pada pandangannya bahwa penguasaan secara mendalam dan teliti terhadap bahas Ara merupakan tuntutan Islam dan sesuatu yang fardhu ‘ain hukumnya di kalangan ulama salaf.

5. Metode Pengajran

Menurut Ibn Taimiyah, pada garis besarnya metode pengajaran dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode ilmiah dan metode iradiyah. Hal ini didasarkan pada pemikirannya bahwa al-qalb (hati) merupaka alat untuk belajar. Hatilah yang mengendalikan anggota badan dan mengarahkan jalannya.

6. Etika Guru dan Murid

a. Etika Guru terhadap Murid

1.
Seorang alim merupakan khulafa’ hendaknya senantiasa saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jangan saling menjegal dan menyakitinya dengan ucapan maupun perbuatan tanpa hak.
2,
Seorang alim hendaknya menjadi panutan bagi murid-muridnya.
3.
Seorang alim hendaknya menyebarkan ilmunya tanpa main-main atau sembrono.
4.
Seoang alim hendaknya membiasakan menghafal dan menambah ilmunya serta tidak melupakannya.



b. Etika Murid terhadap Guru

1.
Seorang murid hendaknya memiliki niat yang baik dalam menuntut ilmu
2.
Seorang murid hendaknya mengetahui tentang cara-cara memuliakan gurunya serta berterima kasih kepadanya.
3.
Seorang murid hendaknya mau menerima setiap ilmu, sepanjang ia mengetahui sumbernya.
4.
Seorang murid hendaknya tidak menolak atau menyalahkan mazhab yang lain atau memandang mazhab lain sesat.



KONSEP PENDIDIKAN ABDULLAH AHMAD

A. Riwayat Hidup

Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Ia adalah putera H. Ahmad, seorang lama Minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surau-surau, di samping sebagai saudagar kain Bugis.

Pendidikan Abdullah Ahmad dimulai dengan mempelajari agama Islam dari orang tuanya serta beberapa guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh, ia dimasukkan ke sekolah kelas dua (sekolah yang diperuntukkan bagi pribumi) di Padang Panjang. Karena ayahnya seorang ulama yang berpikiran modern, maka Abdullah Ahmad sangat diharapkan agar menjadi orang yang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas di bidang agama.

Usia tujuh belas tahun (1895), ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sambil melanjutkan pelajaran agama pada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Minangkabau yang bermukim di Mekka, serta kepada beberapa ulama lainnya di Mekkah. Selama empat tahun belajar di Mekkah, Abdullah Ahmad juga terus mengikuti perkembangan gerakan Wahabiyah yang digencarkan waktu itu. Selanjutnya ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1899 dan mulai mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Padang Panjang. Di daerahnya ini ia mulai mengajar dengan menggunakan cara tradisional, yaitu dengan sistem halaqah. Tetapi selanjutnya ia mengubah sistem pengajaran tradisionalnya itu dengan sistem sekolah agama (madrasah) yang diberi nama Adabiyah School. PBM dengan mengunakan klasikal tersebut menggunakan sarana yang biasa terdapat pada sekolah yang dilaksanakan pemerintah Belanda, seperti meja, bangku, dan papan tulis.

Di antara karyanya adalah al-Munir yang mengandung misi pembaharuan Islam, al-Islam, majalah bulanan yang terbit di Surabaya. Abdullah Ahmad juga menulis syair perukunan yang berisi kumpulan syair-syair untuk nyanyian murid-murid sekolah, diterbitkan di Padang pada bulan Agustus 1917. Masih banyak lagi buku yang lainnya, di antaranya Pembuka Pintu Syurga, al-Ittifaq wa Iftiraq serta Izbaru Zaglil Kazibin.

B. Konsep Pendidikan Abdullah Ahmad

Konsep di bidang pendidikan yang dikemukakan oleh Abdullah Ahmad melputi tiga aspek fundamental, yaitu kelembagaan, metode dan aspek kurikulum.

1. Aspek kelembagaan

Aspek kelembagaan yang dirintis beliau adalah mendirikan madrasah Adabiyah. Untuk kepentingan itu ia menghubungi beberapa orang yang memiliki pendidikan guru, seperti Guru Thaib Sutan Pamuncak dan Guru Karim. Sedangkan dari kalangan ulama adalah H. Karim Amrullah, Zainuddin Labai, dan lain-lain. Pada perkembangan berikutnya, di tahun 1915 corak pendidikan Adabiyah diubah menjadi bercorak Hollands Maleische School (HMS) atau Hollands Inlandsche School (HIS), yaitu tingkat pendidikan setarap dengan Sekolah Dasar (SD). Selain diajarkan pelajaran agama dan al-Quran sebagai mata pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.

Pada perkembangan selanjutnya, berdiri Taman Kanak-Kanak (TK)—walau di zaman pejajahan Jepang dibubarkan. Tetapi jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA tetap dipertahankan. Bahkan ditambah dengan Sekolah Tinggi Administrasi Islam (STAI) serta Laboratorium Komputer.

2. Aspek Metode Pengajaran

Metode debating club—metode diskusi termasuk metode yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad. Selain itu ia juga menerapkan metode pemberian hadiah dan hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Metode lain yang diterapkannya adalah metode bermain dan rekreasi.

3. Aspek Kurikulum

Di Sekolah Adabiyah yang bercorak agama ini, dapat disimpulkan bahwa dalam program pendidikannya menerapkan konsep kurikulum pendidikan integrated (integrated curriculum of education), yaitu terpadunya antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program pendidikan sebagaimana tercantum dalam setiap rencana pengajaran. Dalam pandanganAbdullah Ahmad, bahasa Arab dan Belanda sama-sama memiliki peranan penting dalam konteks alih ilmu pengetahuan.


KONSEP PENDIDIKAN KH. AHMAD SANUSI

A. Riwayat Hidup KH. Ahmad Sanusi

Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal 3 Muharram 1306 H., bertepatan dengan 18 September 1888 M. di desa Cantayan, kecamatan Cibadak kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ayahnya bernama KH. Abdurrahman bin Haji Yasin, seorang pengasuh pondok pesantren di Cantayan. Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari istri yang pertama. Ia wafat pada tanggal 15 Syawal tahun 1369 H./1950.

Ia dibesarkan dalam lingkungan kehidupan yang agamis dan pesantren basis pergerakan keagamaan. Sejak usia tujuh sampai lima belas tahun menimba pengetahuan dari ayahnya di pesantren Citayan. Setelah cukup dewasa, ia disuruh ayahnya untuk memperdalam ilmu agama di luar lingkungan pesantren ayahnya. Pada tahun 1903 ia melanjutkan studinya, guru yang pertama kali didatanginya adalah KH. Muhammad Anwar dari pesantren Salajambe, Cisaat. Kemudian kepada KH. Zaenal Arip di pesantren Sukaraja, pindah lagi ke pesantren Gudang Tasikmalaya berguru pada KH. Sujai, kemabali lagi ke Cianjur dan berguru kepada KH. Ahmad Satibi di pesantren Gentur. Pada tahun 1909 ia berangkat ke Mekkah, setelah menikah dengan Siti Juwairiyah, puteri H. Arfandi dari Kebon Pedes Sukabumi. Selain untuk beribadah, ia juga menuntut ilmu di kota Mekkah. Ia mendatanani ulama-ulama Syafiiyah, seperti Syaikh Shaleh Junaedi, H. Muchtar, H.Abdullah Jamani, Syaikh Shaleh Bafadil dan Syaikh Jawani, seorang mufti mazhab Syafii. Ahmad Sanusi berukim di Mekkah selama tujuh tahun, bahkan ia mendapat kehormatan menjadi imam di Masjidil Haram.

Sekembalinya dari Mekkah, ia mengajar di pesantren ayahnya. Dalam pengajarannya ia sering menggunakan metode dialogis. Atas anjuran ayahnya, ia mendirikan pesantren di Genteng, Babakan Sirna, di kaki Gunung Walat, lebih kurang 10 kilometer dari Cantaya. Ia juga aktif di Sarikat Islam (SI) cabang Sukabumi menjadi penasehat.

B. Karya Tulis Ahmad Sanusi

Karya tulisnya ada sekitar 250 buah, baik dalam bentuk kitab, buku, dan artikel yang dimuat dalam berbagai majalah dan media massa lainnya. Karya-karyanya dapat digolongkan menjadi empat bidang:
1. Bidang Tafsir, antara lain, Raudhatl Irfan fi Ma’rifat al-Quran, Maljau al-Thalibin dll.
2. Bidang Fiqh, antara lain al-Jauhar al-Mardliyah fi Mukhtar al-furu as-Syafiiyah.
3. Bidang Ilmu Kalam, antara lain Kitab Halyat al-‘Aql wa al-fikr fi Bayan Muqtadiyat as-Syirk wa al-Fikr.
4. Bidang Tasawuf, antara lain al-Audiyah as-Syafiiyah fi Bayan Shalat al-Hajah wa al-Istharah, Siraj al-Afkar dan lain-lain.


C. Pemikiran Ahmad Sanusi dalam Bidang Pendidikan

Upaya-upaya yang dilakukannya di bidang pendidikan antara lain:

1. Upaya Memajukan Pendidikan

Salah satu upaya untuk memajukan pendidikan, Ahmad Sanusi membentuk lembaga pendidikan Ibtidaiyah dan madrasah Diniyah. Menyelenggarakan kursus-kursus kepemimpinan, pengetahuan umum dan agama, politik, serta mengaktifkan pengajia mingguan. Bahkan untuk meningkatkan pemahaman tentang al-Quran, ia menerbitkan Tamsiyatul Muslimin, kitab tafsir pertama di Sukabumi—yang ditulis dengan bahasa Arab dan Latin.

2. Sistem, Metode dan Kurikulum Pendidikan

Pondok Pesantren “Syamsul Ulum” menggunakan sistem pembelajaran klasikal dengan jadwal dan kurikulum yang sudah ditetapkan. Jenjang pendidikannya terdiri dari tiga tingkatan, yaitu tingkat rendah, menengah dan tinggi, masing-masing terdiri dari empat kelas dengan masa belajar empat tahun. Kurikulum yang disusun danditerapkan adalah kurikulum khusus dalam bidang pelajaran agama.

KONSEP PENDIDIKAN KH. IMAM ZARKASYI

A. Riwayat Hidup KH. Imam Zarkasyi

Imam Zarkasyi lahir di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910 M. dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.

Belum genap 16 tahun, Imam Zarkasyi mula-mula menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya, seperti pesantren Josari, Joresan, dan Tegalsari. Setelah belajar di sekolah Ongkoloro, ia melanjutkan studinya di pondok pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama ia juga belajar di sekolah Mambaul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh KH. Al-Hasyimi—sastrawan Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah Perancis di wilayah penjajahan Belanda dan akhirnta menetap di Solo, sampai tahun1930.

Setelah menyelesaikan pendidikannnya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat. Sampai tahun 1935. Setelah tamat, ia diminta menjadi direktur perguruan tersebut oleh gurunya Mahmud Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi hanya memenuhinya selama satu tahun, karena Gontor lebih membutuhannya—apalagi kakaknya, Ahmad Sahal tidak mengizinkannya berada di luar lingkungan pendidikan Gontor.

Pada tahun 1936, genap setelah sepuluh tahun dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi seera memperkenalkan program pendidikan yan diberi nama Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya. Pada tahun 1943 ia diminta menjadi Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Jabatan lainnya sebagai kepala seksi pendidikan kementerian agama dan anggota komite penelitian pendidikan pada tahun 1946. Selama 8 tahun (1948-1955) ia dipercaya sebagai ketua Pengurus Besar Guru Islam Indonesia (PGII) yang sekretarisnya waktu itu dipegang oleh KH. EZ. Muttaqin dan banyak lagi jabatan lain yang pernah disandangnya.

Ia juga produktif membuat karya tulis. Di antara karyanya adalah Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam, Ushuluddin, Pelajaran Fiqh I dan II berikut kamusnya dan buku-buku pelajaran lainnya.

B. Gagasan dan Cita-Cita Pembaharuan Imam Zarkasyi

Sebelum mendirikan lembaga pendidikan Gontor dengan corak modern, ia melakukan studi banding ke empat lembaga pendidikan; Pertama, Universitas al-Azhar, Mesir, kedua, Podok Syanggit di Afrika Utara, ketiga, Universitas Muslim Aligarch di India dan keempat, Perguruan Shantiniketannya Rabendranath Tagore, India.

Untuk membangun pondok yang santrinya dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris, ia merumuskan jiwa ponpesnya dengan Panca Jiwa Pondok. Kelima jiwa itu adalah keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menlong diri sendiri (self help), ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas.

C. Konsep Pendidikan KH. Imam Zarkasyi

1. Pembaharuan Metode dan Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan di Gontor dilakukan secara klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Ia juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler seperti olah raga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris), pramka, dan organisasi pelajar. Santri diharuskan tetap inggal di pondok pesantren (boarding school). Sistem pembelajaran asrama tetap diterapkan (day school system) dengan jadwal pembelajaran yang sangat ketat. Kajian kitab tetap diterapkan, misalnya Fathul Qarib, Fathul Mu’in, I’anatut Thalibin dan sebagainya.

2. Pembaharuan Kurikulum

Kurikulum yang diterapkan Imam Zarkasyi adalah 100 % umum dan 100 % agama. Di samping pelajaran tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh yang biasa dijarakan di pesantren. Ia juga menambahkan pelajaran umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti, sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwadan lain-lain. Khusus pelajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode langsung (direct method) secara aktif dengan memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan.

3. Perbaikan Struktur dan Manajemen Pesantren

Berbeda dengan pondok pesantren tradisional, Ponpes Gontor telah mewakafkannya pada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Dengan demikian aka ponpes ini menjadi milik semua ummat Islam dan semuanya ikut bertanggung jawab atasnya.

4. Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan Pesantren

Gagasan independen Imam Zarkasyi direalisasikan dengan menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apapun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor di atas dan untuk semua golongan. Selanjtnya kemandirian pondok ini juga terlihat dari adanya kebebasan para santrinya untuk menentukan jalan hidupnya kelak. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan ntuk dirinya sendiri.


KONSEP PENDIDIKAN SYED NAQUIB AL-ATTAS


A. Riwayat Hidup

Beliau adalah ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 September 1931. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa Arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Menteri Besar Johor.

Pendidikan formalnya dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Univesitas Malaya, Malaysia kajian ilmu-ilmu sosial (1057-1959). MA dari McGill University Kanada di bidang teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies Universitas London Inggris (1966) dengan disertasi “The Misticism of Hamzah Fansuri).

B. Pemikiran Naquib al-Attas

1. Islamisasi Ilmu

Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia—termasuk dunia Islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara peradaban sendiri telah melahirkan kebingungan, kehilangan hahekat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, kehilangan kedamaian dan keadilan. Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisme lalu diilmiahkan dalam metodologi.

Naquib al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian:

a. Ilmu-Ilmu Agama;

1. Al-Quran; qiraat, tafsir dan takwil
2.Hadits; sirah nabawi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif
3. Syariah; hukum-hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam
4. Teologi; tauhid (tentang Tuhan, wujudNya sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya)
5. Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology
6. Ilmu-ilmu linguistik; tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraan

b. Ilmu-ilmu Rasional

1. Ilmu-ilmu kemanusiaan
2. Ilmu-ilmu alamiah
3. Ilmu-imu terapan
4. Ilmu-ilmu teknologi

Ide Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci—yaitu Islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsur-unsur dan unsur pokok yang membentuk kebudayaan Barat dan ilmu-ilmu yang dikembangkan; kemudian memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam.

Istilah-istilah Islam merupakan pemersatu ummat muslm sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah” ukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau “Tuhan” dengan “T” besar ala Nurchalish Madjid.

2. Sekularisasi

Istilah sekuler berasal dari kata latin “saeculum” yang bermakna dua konotasi waktu dan lokasi; waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’ dan lokasi menunjuk pada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum berarti ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’ yang menunjukkan pada peristiwa-peristiwa dunia ini. Sekularisasi berarti pembebasan manusia, pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.

Komponen-komponen internal dalam dimensi sekularisasi:

a. Peniakkeramatan alam
b. Desakralisasi politik
c. Dekonsekrasi


KONSEP PENDIDIKAN MOHAMMAD ARKOUN


A. Riwayat Hidup

Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Pebruari 1928 di Mourirt Kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah Timur Aljir. Bahasa yang digunakan adalah non-Arab (‘ajamiyah).

Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian Barat sejak 1950-1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab. Tahun 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di universitas Sorbonne Paris. I meraih gelar doktor sastra pada 1969. Sejak 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.

B. Pemikiran Arkoun

Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post strukturalis) Perancis. Metode historisisme yang dipakainya adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern ciptaan para pembaharu (post) strukturalis Perancis. Arkoun banyak meminjam konsep-konsep (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana dekonstruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan diperkirakan dan lain-lain adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatan dengan (post) strukturalisme.

Metode historisisme adalah metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Melalui metode ini, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapakan dalam wilayah agama, apa yang diburu oleh Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Arkoun juga membedakan dua tradisi. (1)Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi, tak berubah. (2)Tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah, budaya manusia, baik ayng merupakan warisan turun-temurun maupun hasil penafsiran atas wahyu Tuhan lewat teks-teks suci. Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisi dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama.











0 Comments:

Post a Comment