PERGESERAN PARADIGMA TEOLOGI ISLAM: DARI TEOSENTRISME KE
ANTROPOSENTRISME
Oleh: Syafieh, M. Fil. I *
Abstrak
Merekontruksi
teologi Islam klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan
mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung
kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan
pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan
mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di
bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus
keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta
nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para
pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni,
abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari fakta-fakta nyata
kemanusian dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan
misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana
tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan
revolutif.
Disamping
itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis
dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh
perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus
mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan
(kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan
dan sebagainya). Oleh karena itu, diskursus teologi Islam kontemporer
adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan
struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, agar
Islam lebih survive dalam menghadapi dunia modern dan postmodern, maka
perlu adanya perubahan diskursus
teologi Islam yang pada
mulanya hanya berbicara tentang
Tuhan (teosentris) beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal
(antroposentris).
Pendahuluan
Dalam
sejarah awal perkembangan Islam, ajaran keesaan Tuhan (tauhid) merupakan
tugas pokok pertama Nabi saw yang harus disampaikan dan didakwahkan kepada
umatnya. Tauhid menempati struktur hierarkis paling istimewa dalam
keseluruhan sistem serta bangunan keberagamaan kaum Muslim. Keabsahan semua
rangkaian upacara keagamaan mereka sangat bergantung pada eksistensi
tauhidnya.
Di
samping mempengaruhi keabsahan ritual keagamaan, tauhid juga berfungsi
mengendalikan gerak, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis,
konsep tauhid ikut mengarahkan, membentuk dan menentukan kualitas perilaku
individu maupun komunitas umat Islam. Semakin tinggi kualitas tauhidnya,
semakin tinggi pula tingkat perilaku keimanan sosialnya. Refleki dari
ketinggian kualitas tauhid ini dengan sangat baik dicontohkan oleh para
pahlawan (mujahid) Muslim yang berperang demi menegakkan kalimat ilahi dan
menyebarkan dakwah keislaman. Orang dengan kualitas tauhid yang mumpuni
tidak mengenal rasa takut, menjadi pemberani dan rela berkorban segalanya
demi meraih cita-cita tegaknya kalimat Allah, termasuk mengorbankan
nyawanya sendiri.
Dengan
demikian, pandangan dunia (world view) tauhid sangat mempengaruhi pola
pikir, pola bertindak, gaya dan cara memandang realitas, strategi aksi
serta bentuk relasi sosial antar manusia. Dalam konteks ini, tauhid sangat
mirip sebuah ideologi; sebut saja ideologi ketuhanan atau ideologi
kehidupan (way of life) yang memberi arahan ideal bagi terwujudnya tatanan
sosial yang dikehendaki. Tentunya ideologi dalam pengertian sebagai sebuah
kumpulan ide, konsep dan gagasan yang menjadi referensi praksis untuk
menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Tauhid dalam formulasi semacam ini
berkembang pada masa-masa awal kelahiran Islam.
Berdasarkan analisis sejarah para pakar, doktrin
tauhid yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan
liberatif. Ketika itu, tauhid
dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya
menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; menghambakan diri
kepada-Nya; menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan
mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan,
ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya. Tauhid demikian
berkarakter subversif: menantang
mainstream status quo dan
memberontak terhadap segala struktur kuasa maupun sosial yang hegemonik,
tiranik dan sewenang-wenang. Doktrin tauhid benar-benar revolusioner dan
transformatif.
Namun,
seiring perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, doktrin tauhid
mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Diskursus teologi yang pada
awalnya berkorelasi kuat dengan kenyataan aktual kemanusiaan, direduksi
sedemikian rupa menjadi kumpulan wacana spekulatif yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kenyataan yang hidup dalam gerak sejarah. Berkembangnya
tradisi keilmuan baru yang mewujud pada kerja sistematisasi, penyusunan
formal (al-tadwin) dan spesialisasi bidang keilmuan, menyebabkan
doktrin-doktrin tauhid tertransformasi ke dalam bangunan doktrinal baku,
tertutup, teoritik dan kurang memiliki daya dorong sosial. Tauhid hanya
mampu bergaung dalam karya-karya tulis, bukan berkibar di medan-medan
tempur sebagaimana pada zaman Nabi Muhammad saw. Demikianlah, ajaran tauhid
kehilangan fungsi transformasinya. Ironisnya, pemahaman ajaran tauhid model
ini yang kemudian diwarisi generasi umat Islam hingga sekarang.
Berpijak
pada kemandegan pemikiran di bidang teologis yang tidak lagi memiliki
fungsi sosial transformatif inilah, diperlukan penggalian ulang spirit of
theology yang leberatif, progresif dan berkorelasi sebagai jawaban dari
perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan
sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengubah
diskursus teologi Islam dari
berbicara tentang Tuhan (teosentris) sebagai core teologinya beralih pada persoalan-persoalan
kemanusiaan universal (antroposentris).
Dalam
konteks ini pembahasan tulisan ini difokuskan agar bisa keluar dari
kungkungan dogmatis dan menawarkan metode pendekatan baru agar bisa
menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian
dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu kalam.
Nama dan Definisi Teologi Islam
Teologi
Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa
Inggris, theology. Ilmu kalam ini oleh berbagai pakar diistilahkan beragam
nama, antara lain: Abu Hanifah (w.150H/767M) memberinya nama dengan istilah
‘Ilmu Figh al-Akbar.(Mustofa,1959:265) Imam Syafi’ie (w.204/819M), Imam
Malik (w.179H/795M), dan Imam Jakfar as-Sadiq (148H/765M) memberinya nama
‘Ilmu Kalam, dengan istilah tokohnya Mutakallimin. Imam As-Asy'ari
(w.324H/935M), al-Bagdady (w.429H/1037M), dan beberapa tokoh al-Azhar
University memberinya nama dengan istilah 'Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi
(w.331H/942M), al-Ghazali (w.505H/1111M) al-Thusi (w.671H/1272M), dan
al-Iji (w.756H/1355M) memberinya nama dengan istilah 'Ilmu al-Aqa'id. Abdu
al-Jabbar (w.415H/1024M) memberinya nama dengan istilah 'Ilmu al-Nadhar wa
al-Istidlal. Al-Taftazani memberinya nama dengan istilah 'Ilmu al-Tauhid.(M.Abdel
Haleem, 1996:74-75) Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The
philosophy of Kalam. (Harry Sustyn Waolfson, 1976: th) Ahmad Mahmud Shubhy
memberinya nama dengan istilah 'Ilmi
Kalam. M. Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology.
(M.Abdel Haleem, 1996:74-75) CA Qadir memberi nama dengan istilah
Dialectica Teology.(C A Qadir, 1989:46) Sementara itu Harun Nasution
(w.1998 M) memberi nama dengan istilah Teologi Islam. (Harun Nasution,
1986:31)
Berkenaan
dengan itu, terdapat para pakar yang mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai
discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan)
(William L Resse, 1980:28) Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan
oleh William Ochkam, L Resse menyatakan bahwa "Theology to be a
discipline resting on revealed truth an independent of both philosophy and
science". (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan
kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang
independen). (William L. Resse, 1980:28-29)
Dengan nada yang hampir sama Ibn Kaldun yang menyatakan bahwa
teologi atau kalam adalah ilmu yang menggunakan bukti-bukti logis dalam
mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam
dogma yang dianut kaum muslimin pertama dan ortodok Muslim.(Ibn Kaldun,
2001:589)
Dengan
demikian, secara singkat tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut
sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan struktur akidah kaum
Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran
terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan keyakinan. Karena
itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme keberagamaan umat
Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar,
atau—meminjam bahasa Hanafi—karena mengkaji obyek yang paling mulia, yaitu
Allah.
Teologi Islam dalam Lintasan Sejarah
Ilmu
kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri, ataupun
antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Keretakan ini sesunguhnya
sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat, akan tetapi membesar secara
cepat pada masa pemerintahan khalifah ketiga yakni Utsman bin Affan dan
berpuncak pada peristiwa keputusan,
yaitu upaya penyelesaian sengketa antara Ali ibn Thalib dan Mu'awiyah ibn
Abi Sufyan pada perang Siffin. Peristiwa Tahkim inilah yang kemudian
melahirkan aliran atau madhab dalam ilmu kalam (teologi).
Dalam
konteks ini, Harun Nasution menyimpulkan bahwa kemunculan persoalan kalam
dipicu oleh persoalan politik. Sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase)
pada perang Siffin tersebut memunculkan ketidakpuasan pihak pasukan Ali ibn
Thalib dan keluar dari barisannya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang
terjadi pada saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim dan menuduh Ali
ibn Thalib telah melakukan dosa besar. Mereka itu dipelopori oleh Asy'ts
ibn Qayis yang dalam perkembangan sekanjutnya mereka itu disebut Khawarij.
(Harun Nasution, 1986:31) Selain pasukan yang membelot Ali ibn Abi Thalib
pada perang Siffin, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali.
Menurut Watt, kelompok inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi'ah.
(W.Montgomery Watt, 1987:10)
Khawarij, dianggap sebagai kelompok
politik pertama yang kemudian memunculkan persoalan teologi ketika kaum
Khawarij mempersoalkan siapa yang kafir di kalangan kaum Muslimin dan siapa
yang bukan kafir. Khawarij menghukumi orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim sebagai orang yang kafir kerena telah melakukan dosa
besar. (Harun Nasution, 1986:3)
Sebagai
reaksi dari fatwa khawarij ini sebagai umat Islam yang dipelopori oleh
Ghailan Dimasqy, tidak meneruma akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam
perkembangan selanjutnya menjadi mazhab Murji'ah. Menurut mereka, karena
fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja,
diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. (W.Montgomery Watt, 1987:21)
Secara
spesifik kelompok yang dapat disebut sebagai mazhab kalam atau teologi
pertama terdapat pada Qadariyah dan Jabariah. Mazhab Qadariyah didirikan
oleh Ma'bad ibn Khalid al-Juhani (79H/699M). Mazhab ini berpandangan bahwa
manusia mampu berbuat dan karena itu bertanggung jawab atas perbuatannya.
Ayat-ayat al-Qur'an seperti tangan Tuhan, Tuhan melihat, dan mendengar
dipahami secara ta'wil atau qiyas, dan bukan ditafsirkan secara harfiah.(Ahmad
Amin, 1942:284)
Paham
Qadariyah mendapat perlawanan dari paham Jabariyah yang dipelopori oleh
Jahm ibn Shafwan (127H/745M). Pandangan utama paham ini adalah bahwa semua
perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan termasuk keimanan, kebajikan
dan kejahatnnya. Manusia dalam hal ini tergantung dari kekuasaan atau
paksaan Allah dalam segala kehendak
dan perbuatannya; kerena itu tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan
pilihan atas segala perbuatannya.(Asy-Syahrastani, tt: 85).
Sementara
persoalan dosa besar yang diperdebatkan antara Khawarij dan Murji'ah
kemudian dilanjutkan oleh Mu'tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atho'.
Mu'tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid, sebagai pelopor yang
sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam
secara lebih sistematis. Paham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal
sebagai paham rasionalis Islam. Sikap rasionalik ini dimulai dari titik
tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh
dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama.(Nurcholis Madjid, tt:21).
Aliran
Mu'tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan
tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu pengikut-pengikut mazhab
ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran
teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy'ari (w.
324H/935M).(Abdurrahman Badawi, 1984:497) Disamping aliran Asy'ariyah,
timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran
Mu'tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi
(w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi
Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414)
Dari
uraian pemikiran-pemikiran kalam diatas setidak-tidaknya kita dapat
menunjukkan terhadap doktrin-doktrin teologi Islam yang kalau di rangkum
sebagai berikut:
Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
Membahas
masalah perbuatan manusia, yang menyangkut penegasan apakah itu merupakan
suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia ataukah di ikuti oleh campur
tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan pendapatnya bahwa semua
tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya
memiliki upaya (al-kasb) untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari
telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa
segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan
tetapi yang memiliki pengaruh haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu
Al-Hasan Al-Asy'ari, 1903:9) Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengatakan
bahwa semua perbuatan manusia yang bersifat al-Ikhtiariyah berasal dari
manusia itu sendiri akan tetapi bergantung pada kekuasaan Allah terhadap
hamba-Nya. Disini posisi manusia adalah sebagai pemilih dan bukanlah
penentu. Karena Allah telah menganugerahkan manusia akal agar dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk, lalu mengutus Rasul-Nya agar
dapat memberikan petunjuk kepada manusia akan apa yang diperintahkan dan
dilarang Allah kepada seluruh umat manusia.(Abdul Al-jabbar bin Ahmad, 1965:227)
Jabariyah dalam hal ini berpendapat bahwa manusia adalah penentu dan bukan
pemilih, tetapi semuanya tetap ciptaan Allah.
Melihat Allah
Perdebatan
sengit antara al-Asy’ari dengan kaum ortodoks ekstrim terutama Dzahiriyah
yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat dan Allah bersemayam di Arsy’
memanglah cukup menggemparkan. Ditambah lagi dengan ketidak setujuannya
terhadap paham Mu’tazillah yang ternyata berkata lain. Mu’tazilah
berpendapat bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat di dunia maupun di
akhirat.(Yusuf,1990:92-3) Sedangkan al-Asy’ari menyatakan kepercayaannya
bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi dengan tata cara yang tidak
dapat diketahui secara logika dan hanya Allah lah yang mengetahuinya.
Sebagaimana ilmu tentang keadaan akhirat yang ghoib, maka tidak akan ada
satu orang pun yang mampu menerangkannya. Al-Asy’ari kembali menegaskan
bahwa Allah dapat (jaiz) dilihat oleh para mukmin di dunia dan wajib untuk
terlihat bagi para mukmin yang masuk ke dalam surga-Nya. (Al-Asy'ari, 1903:9)
Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah
(antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai
semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu
harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya.
(Asy-Syahrastani, 1990: 46).
Sementara
Al-Asy’ari snediri berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah
bukanlah esensinya dan juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia
memiliki sifat yang melebihi segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu
sendiri tanpa ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir,
1991:67-8)
Akal dan wahyu dan kriteria Baik dan Buruk
Walaupun
Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu,
mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah mengutamakan akal. (C A Qadir, 1991: 70)
Dalam
menetukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Al-Asy'ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu,
sedangkan Mu'tazilah mendasarkan pada akal. (Asy-Syahrastani, 1990: 115).
Qadimnya Al-Qur'an
Mu’tazilah
mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan sesuatu yang diciptakan (makhluk dan
muhdits) sehingga dia tidak qadim. Sedangkan pandangan mazhab Hambali tidak
mengatakan apapun yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah qadim akan tetapi
menegaskan bahwa ia adalah kalam Allah yang tidak diciptakan. Madzhab ini
pun lantas menolak segala bentuk penambahan atau perincian maupun penentuan
yang bersangkutan dengan hal tersebut. Al-Zahiriyah bahkan berpendapat
bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka
mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu al-Asy’ari
mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan
bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
(C A Qadir, 1991: 70)
Keadilan Tuhan
Pada
dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat
dengan Mu’tazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian,
jelasnya bahwa Mu'tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang
memiliki dirinya, sedang Al-Asy'ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik
mutlak.
Kedudukan orang berdosa
Menurut
al-Asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab
iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Al-Asy'ari menolak
ajaran posisi menengah yang dianut Mu'tazilah. Bagi Al-Asy'ari keimanan
merupakan lawan dari pada kekufuran, jadi predikat bagi seseorang haruslah
salah satu di antaranya. Sementara Mu’tazilah beranggapan bahwa orang yang
berdosa besar akan berada pada posisi antara dua posisi (baina manzilatain).
(Abdul Al-Qadir Al-Bagdadi, tt:351)
Kritik atas Teologi Islam Klasik
Kalau
kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu
adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core
teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan,
sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas
struktur dari religiusitas yang "membela" Tuhan, bukan manusia.
Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih
berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya. Namun, untuk kontek
saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang ditandai
oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat
dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela Tuhan
(teosentris) menuju keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri) sebagai
suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi
religius untuk membalik-mengubanya menjadi lebih baik.
Kritik
terhadap Teologi Islam klasik telah banyak disuarakan oleh para pemikir
Islam salah satunya adalah Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan
rekontruksi teologi Islam ke arah Antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah
Islam tentang teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang
paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia.
Rumusan klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu
Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang
kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan.
Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk
ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan
statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan.
Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam
(Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif,
progresif, emansipatif dan revolutif. (Hassan Hanafi, tt: 205)
Menurut
Fazkur Rahman, teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas
atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia
agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur'an disebut taqwa.
Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi
penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur'an. Teologi
harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam
kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat
memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat
diajarkan pada umat. (Romas, 2000:82)
Dalam
perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islah harus mampu
meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan,
ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan
sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan
tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus menunjukkan jalan keluar
terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat
dari hal itu, Amim Abdullah berasumsi bahwa tantangan kalam atau teologi
Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme
keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris)
dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan
universal (antroposentris), memilki rumusan teologis yang lambat laun akan
menjadi out of date. Algur'an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya
selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal. (Amin Abdullah, 1995: 36)
Seharusnya
teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan
realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi
yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh.
Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan
pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang
dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau
kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi
Islam klasik diantaranya. Pertama,
Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu
kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut
yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis,
kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan
yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis
dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah distorsi besar-besaran
terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat
dengan antropologi.
Kedua,
eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif,
teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum
perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan
refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak
berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti ini sangat
berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.
Ketiga,
paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi),
dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam
modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan
tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman.
Bertolak
dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekontruksi terhadap
ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti
membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap diperlukan
usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang seharusnya
merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan
"demitologisasi" konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang
telah menjadi "teks sakral" dan mitos keilmuan dalam dunia Islam.
Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan
mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai
kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek.
Pada
titik ini, Hasan Hanafi melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang
bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika
(dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma
"empiris" (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu
semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan
semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian
yang mengacu pada iman). Jadi, teologi adalah juga antropologi dan
hermeneutika. Sebagai hermenuetika, teologi berarti suatu teori pemahaman
tentang proses wahyu dari huruf sampai ketingkat kenyataan, dari logos ke
praktis, dan juga transformatika wahyu dari "pikiran" Tuhan kedalam
kehidupan manusia. Untuk itu, diperlukan "kesadaran historis"
yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya; "kesadaran
eidetik", yang menjelaskan makna teks menjadi rasional; dan
"kesadaran praktis" yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar
teoretik tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhir dalam kehidupan
manusia didunia. (Romas, 2000:18-9)
Rekonstruksi Teologi Islam Klasik: Dari
Teosentrisme Ke Antroposentrisme
Urgensi
dari penghadiran suatu kontruk teologi yang bersifat transformatik dan
membebaskan bertolak pada tujuan utama di syari'atkan Islam pada dasarnya
adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu
tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-'adalah (keadilan),
al-musawamah (egalitarianisme, kesetaraan;persamaan derajat), dan
al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang
transformatif perlu adanya
rekonstruksi atau redefinisi makna
teologi.
Selama
ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun,
dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi
difahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana
kalam klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat
teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar kata theos dan logos.
Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh ilmu kalam, ilmu
tentang perkataan. Tuhan dalam hal itu tercermin dalam kata logoly, sebab
person Tuhan tidaklah tunduk ada ilmu. (Hasan Hanafi, 1991:45)
Gagasan tentang reformasi (atau
rekonstruksi) teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi
perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks
sosial politik yang terjadi. Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks
sejarah ketika inti sistem kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan
diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi
dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara
kemurnian iman. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian
saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan konsep-konsep
tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah.
Sekarang
ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai
kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi.
Karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari
kebudayaan klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang
berasal dari kebudayaan modern.
Menurut
Hanafi, sebagai ilmu perkataan, teologi merupakan ilmu tentang analisis percakapan, dan
sebagai bentuk ucapan sekaligus sebagai konteks, ia adalah pengertian yang
mendasarkan diri pada iman. Karena itu teologi, sebagaimana antropologi,
juga bermakna ilmu-ilmu tentang manusia, merupakan tujuan perkataan
sekaligus sebagai analisis perkataan. Hasilnya, teologi merupakan ilmu
kemanusiaan dan bukan ilmu ketuhanan.(Hasan Hanafi, 1991:46)
Untuk
menghasilkan teologis yang bercorak antroposentrisme, maka diperlukan
redefinisi teologi dengan cara merusmuskan ulang konsep-konsep (doktrinal)
teologis agar sejalan dengan semangat pembebasan Islam itu sendiri. Pada
prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses reflektif-kritis secara
teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-Qur'an dan hadits) dan
pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual). Dalam hal ini,
setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang medesak di rekontruksi agar
berpihak pada paradigma antroposentrisme. Ketiga konsep tersebut adalah:
Konsep Tauhid.
Pada
dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok dalam keseluruhan teologi Islam
klasik. Pada teologi Islam klasik terdapat dialektika antara kebebasan
manusia (free will, free act) seperti di gagas teologi-teologi rasional dan
ketentuan mutlak diluar manusia (predestinasi Tuhan) sebagaimana
sebagaimana diidekan teologi-teologi tradisional. Untuk memahami konsep
tauhid yang lebih mengarah pada antroposentisme maka kita perlu melakukan
redefinisi teologi tersebut. Menurut Hanafi, gagasan tauhid tidak lagi
dimengerti sebagai ajaran tentang keesaan Tuhan, melainkan dipahami sebagai
“kesatuan pribadi manusia, yang jauh dari prilaku dualistik seperti
hipokrisi [munafik] dan perilaku oportunistik. Pikiran, perasaan, dan
perkataan adalah identik dengan tindakan. Tauhid berarti pula kesatuan
sosial, yaitu masyarakat tanpa kelas; tanpa kelas kaya dan miskin. Tauhid
juga memiliki makna kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi rasial apapun,
tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan antara masyarakat berkembang dan
maju. (Hasan Hanafi, 1991:31)
Oleh
sebab itu tauhid harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran adanya
unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Keyakinan atas kesatuan
ketuhanan menghasilkan konsep
selanjutnya yaitu unity of creation (kesatuan penciptaan). Dalam konteks
sosial-hirisontal, kesatuan penciptaan itu memberi suatu keyakinan asanya
unity of mankink (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan
kemanusiaan menegaskan bahwa tauhid menolak segenap penindasan atas
kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu menghendaki
adanya kesatuan pedoman hidup (al-Qur'an dan hadits) bagi orang-orang
Mukmin. Dengan demikian tauhid secara konseptual memberi arahan kepada
adanya kesatuan tujuan hidup, bergerak menuju muara tunggal, Allah swt. (M.
Amin Rais, 1998:109-10)
Pemahaman
tauhid sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan
manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara
sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan
manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasam
manusia dari ketertindasan, karena itu, merupakan saah satu 'aqidah
iahiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut
pula redefinisi terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir,
dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim searah dengan
kepentingan praksis pembebasan.
Konsep Keadilan Sosial.
Konsep
keadilan merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik.
Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus
semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-'adl). Konsep
keadilan Tuhan yang diwacanakan oleh teologi Islam klasik terlalu membela
Tuhan, padahal menurut Hanafi teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi
pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan
oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap
perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda.
(Hasan Hanafi, 1991:46)
Berangkat
dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-'adl) perlu direkontruksi dan
redefinisi pada konsep keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak
dari kesadaran bahwa ketidakadian sosial (kemiskinan, keterbelakangan,
kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk
dari suatu proses sosial lewat struktur dan sistem yang tidak adil, yang
terjadi antaran proses sejarah manusia. Artinya realitas sosial yang tidak
adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini
teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula
hanya akibat "ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya
manusia", seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas
langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil,
eksploitatuf, dan menindas.
Konsep Spirituaitas Pembebasan.
Konsep
ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas
manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama
pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation,tahrir) dalam kerangka
spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas,
tetapi juga secara terus menerus pada upaya membebaskan manusia dari
hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu,
misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran
aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas konteks
kekinian.
Pengenaan
spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar aspek relligius
dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas
nilai-nilai trandensinya tak terabaikan. Oleh sebab itu, selain menumpukan
diri pada gagasan al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar, ia juga
menekankan pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap
bentuk social malaise). Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau
manifestasi teologi reformatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum
tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi
motivasi religius yang betul-betul transformatif dan berdaya membebaskan.
Pelibatan aktif mereka itu terlepas model menejemen gerakan apapun yang
pada akhirnya diambil.
Dengan
berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap munculnya realitas
sosial kemanusiaan yang lebih mengembirakan. Dalam pada itu Isam sebagai
entitas nilai maupun agama akan benar-benar hadir sebagaimana spirit
aslinya sebagai agama yang membebaskan. Hal itu memungkinkannya hadir
sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru
memperkokoh diri sebagai indtitusi penindas, langsung maupuin tidak.
Melalui rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran
niscaya mengambi jalan "mengubah dunia untuk mengubah manusia"
dan bukan "mengubah manusia untuk mengubah dunia".
Kesimpulan
Menghadirkan
rekontruksi teologi Islam klasik yang mengarah pada trend teosentrisme ke
arah antroposentrisme adalah
bersifat mendesak. Rekomendasi ini niscaya demi menyadari kondisi faktual
umat Islam saat ini yang terpuruk di berbagai bidang kehidupan dan
mandulnya beragan paradigma teologi Islam yang dianut mereka untuk
memotivasi berlangsungnya proses transformasi sosial. Dua kenyataan inilah
yang secara langsung menjadi basis historis mengapa rekontruksi teologi
Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik kesimpulan betapa Islam
dalam proses sejarah telah semakin jauh dari rasionalitas Tuhan ketika ia
diturunkan.
Terkait
itulah rekontruksi terhadap teologi warisan Islam klasik ini menjadi hal
yang sangat strategis guna memulai transformasi sosial umat secara total.
Redefinisi teologi Islam klasik menuju teologi Islam yang transformatif
akan memberikan signifikansi bagi kesadaran teologis umat yang kritis dalam
melihat teks (Qur'an/hadits, ide-ide kemanusiaan) dan konteks kekinian.
Pada saat berbarengan ia berpotensi pula menjadi motivasi reigius bagi umat
untuk melakukan transformatif atas realitas ketertindasan yang mengkungkung
mereka baik berupa ideologi Barat seperti developmentalisme atau
kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi
sendiri, termasuk "nilai-nilai agama"
Dalam
kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis antropomorpisme itu
penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni pertama, dilevel wacana
pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi wacana intelektual Islam
sejak pasca-Abad pertengahan, khususnya, di ranah teoogi. Disitu
jargon-jargon semisal "membuka pintu Ijtihad" disatu sisi dan
berlawanan dengan "pintu ijtihad telah tertutup" pada sisi yang
lain akan menemukan momentum dan intensitas persinggungannya. Kedua, di
level praksis ia akan memposisikan diri sebagai motivasi religius yang
membebaskan bagi umat dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan
sistem penindasan yang melahirkan ketidakadilan, kemiskinan,
keterbelakangan, diskriminasi, dehumanisasi, dan sejenisnya. Pada saat yang
sama ia akan mendorong pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu
berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan sesuatu
yang sudah dipastikan, seperti pemahaman teologi tradisional, melainkan
sudah bersifat sosial----tercipta oleh struktur-sistem yang memang
menghendaki demikian.
Paling
tidak melalui dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan
menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali menjadi menemukan
memontumnya dan akan dikagumi baik bagi umat Islam sendiri maupun dunia
Barat.
DAFTAR
PUSTAKA
'Abdurraziq,
Musthafa, Tamhîd li al-Târikh
al-Falsafah al-Islâmiyah. Kairo: al-Haiah al-Mishriyah al-'Amah li
al-Kitab, 2007.-Al-Shubhy, Ahmad Mahmud, Fi 'Ilm a-Kalam: Dirasah Falsafiyah Li Ara'i al-Firaq
a-Islamiyah fi Ushul al-Din. 1969 - Asy’ary, al-Abu Hasan, al-Ibanah ‘an Ushul al-Diniyyah.
Mesir: tp, 1977 - Abdullah, Amin, Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995 - Amin, Ahmad, Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah an-Nahdah, 1974 - Gibb, H.A. R., Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali Press, 1995 - Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi, dan Pembangunan,
terj. Shonhaji Sholeh. Jakarta: P3M, 1991 - Haleem,
M. Abdel, Eaely Kalam, dalam Seyyed
Hossein Nasr dkk (ed). "History of Islamic Philosophy". - Jabbar, al-Ahmad. 1965. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah.
- Jabiry, al. 1990. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, Beirut: Markas Dirasah
al-Waddah al-‘Arabiyyah. - Khaldun, Ibn, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta:Pustaka
Firdaus, - L Resse, Wiliam, Dictionary of Philosophy and Religion.
USA:Humanites Press Ltd, 1980 - Madjid, Nurcholis, "Masalah Ta'wil sebagai
Metodologi Penafsiran Al-Qur'an", dalam Kontektualisasi Doktrin Islam
dalam Serjarah, Budi (Ed), Jakarta: Paramadina, 1994 - Nasution, Harun, Teologi Islam , Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI
Press, 1972 - Qadir, C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Isam.
Yayasan Obor: Jakarta, 1991 - Rais, Amin, Tauhid Sosial: Formula Menggempur
Kesenjangan. Bandung: Mizan, 1998 - Romas,
Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 2000 - Syahrastani, Al-Mihal wa An-Nihal. Beirut: Al-Dar Al-Fikr,
1990 - Watt, Montgomery. W, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey.
Harrassowitz: Edinburgh University, 1992
* penulis
adalah dosen jurusan Syari’ah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa bidang Mata Kuliah Ilmu Kalam
http://syafieh.blogspot.com/2013/04/pergeseran-paradigma-teologi-islam-dari.html#ixzz2Tlfg27ZA
|