Kisah Islamnya Tughluk Timur Khan
Mongol Empire
Oleh: Alwi Alatas
BANGSA
Mongol pada era Jenghis Khan (w. 1227) dan anak cucunya, sebagaimana telah
diketahui secara luas, telah menaklukkan banyak wilayah. Pada puncak
kekuasaannya, mereka mengendalikan wilayah Asia Tengah, China, Rusia,
sebagian Timur Tengah, dan Eropa Timur.
Mongol
pada masa itu adalah bangsa penakluk, tetapi kekuatan utamanya ada pada
militer, bukan pada ilmu pengetahuan dan sistem keyakinan yang kuat.
Sehingga pada akhirnya, orang-orang Mongol ini terpengaruh oleh agama dan
kebudayaan bangsa yang ditaklukkannya.
Selepas
Jenghis Khan, wilayah kekuasaannya dibagi-bagi untuk empat putra utamanya,
Jochi, Chagatai, Ogedei, Tolui, serta keturunan mereka masing-masing. Tak
terlalu lama setelah menguasai wilayah yang luas itu, sebagian anak
keturunan Jenghis Khan yang memimpin wilayah Muslim mulai masuk Islam.
Berke
Khan (w. 1266) merupakan pangeran pertama di kalangan anak-cucu Jenghis
Khan yang masuk Islam. Ia adalah cucu Jenghis Khan dari anak pertamanya,
Jochi. Berke Khan masuk Islam di tangan Saifuddin Boharzi, seorang Syeikh
sufi dari Bukhara, dan selepas itu ia pun berhasil mengajak seorang
saudaranya, Tukh-Timur, masuk Islam.
Ia
memimpin wilayah Golden Horde di Barat Rusia. Kepemimpinannya kuat dan
pasukannya beberapa kali menginvasi Eropa Timur dan menyebabkan Kaisar
Byzantium terpaksa memberikan upeti kepadanya. Ketika Hulagu Khan menguasai
dan menghancurkan kekhalifahan Islam di Baghdad serta meneruskan invasinya
ke Suriah dan Mesir, Berke Khan bekerja sama dengan penguasa Mamluk di
Mesir untuk menghadapi sepupunya itu.
Hulagu
Khan (w. 1265) yang belakangan bermusuhan dengan Berke Khan merupakan anak
Tolui, putera bungsu Jenghis Khan. Hulagu inilah yang menaklukkan Baghdad,
meruntuhkan pusat kekhalifahan Islam pada tahun 1258, dan mendirikan
Dinasti Ilkhanate di wilayah Persia.
Walaupun
tindakannya itu sangat merugikan peradaban Islam, tetapi salah satu anaknya
sendiri, yaitu Teguder Ahmad, memutuskan masuk Islam. Teguder Ahmad sempat
menjadi pemimpin Ilkhanate dan menjadikannya kesultanan, tetapi dua tahun
kemudian ia dikalahkan oleh keponakannya sendiri yang memberontak kepadanya
dan mengambil alih kepemimpinan.
Beberapa
tahun selepas itu, Ilkhanate kembali dipimpin oleh pangeran Mongol yang
Muslim, yaitu Ghazan, dan kemudian berubah menjadi kesultanan Islam.
Banyak
cucu dan keturunan Jenghis Khan lainnya yang kemudian juga masuk Islam dan
mengadopsi kebudayaan serta peradaban Islam dalam sistem pemerintahan
mereka. Ada juga yang tidak masuk Islam, tetapi pengaruh peradaban Islam
cukup kuat dalam pemerintahannya, seperti yang terjadi di China misalnya.
Dinasti Yuan merupakan dinasti Mongol di China yang pertama kali dipimpin
oleh Kubilai Khan. Walaupun para penguasa dan mayoritas penduduknya tidak
menganut Islam, tetapi peran kaum Muslimin dalam pemerintahan serta dalam
lapangan ilmu pengetahuan dalam Dinasti Yuan sangat menonjol.
Sehingga
ketika Dinasti itu melemah dan runtuh, dinasti yang menggantikannya adalah
Dinasti Ming yang Muslim.
Tughluk
Timur Khan
Tughluk
Timur (w. 1363) merupakan keturunan Jenghis Khan yang ketujuh, dari jalur
Chagatai. Ia hidup lebih dari satu abad setelah Jenghis Khan. Menjelang
masa kepemimpinannya, wilayah kekuasaan keluarga Chagatai terpecah dua,
yaitu Transoxiana di sebelah Barat dan Moghulistan di sebelah Timur yang
kebanyakan penduduknya menganut Budha atau Shamanisme. Wilayah-wilayah ini
pada jaman sekarang ini mencakup wilayah Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgystan,
Kazakhstan, dan Barat Laut China.
Ketika
itu tidak ada pemerintahan yang kuat pada kedua wilayah ini. Seorang amir
dari keluarga Dughlat, yaitu Bulaji, memutuskan untuk memilih seorang Khan
yang akan dibesarkan untuk menjadi seorang pemimpin di wilayah tersebut. Pilihannya
jatuh pada seorang pemuda bernama Tughluk Timur dan dikatakan sebagai anak
atau, menurut sejarawan lainnya, keponakan dari khan yang sebelumnya, Esen
Buqa (w. 1318).
Tughluk
Timur kemudian masuk Islam dan mendorong emir-emirnya yang lain untuk masuk
Islam juga. Ia pada awalnya memimpin wilayah Moghulistan, dan belakangan
berhasil menyatukan wilayah Transoxiana ke dalam wilayah kekuasaannya.
Sejarah
pemerintahan Tughluk Timur dan keturunannya secara khusus tertulis dalam
buku Tarikh-i-Rashidi yang disusun oleh Mirza Muhammad Haidar, seorang emir
dari keluarga Dughlat. Mirza sendiri sempat memimpin wilayah Kashmir dan
meninggal di wilayah itu.
Tarikh-i-Rashidi
menceritakan kisah masuk Islam-nya Tughluk Timur. Pada suatu hari, Tughluk
Timur yang masih berumur 18 tahun pergi berburu bersama beberapa orang
bawahannya.
Ketika
itu tampaknya ia baru menjelang diangkat sebagai khan atau pemimpin
Moghulistan. Tughluk memerintahkan orang-orang untuk menyertainya berburu,
tidak boleh ada yang absen.
Ketika
itu, ia melihat ada beberapa orang yang sedang duduk beristirahat tak jauh
dari tempatnya berburu. Maka ia pun memerintahkan agar orang-orang ini
ditangkap, karena mereka telah melanggar perintahnya untuk ikut serta
berburu.
Mereka
kemudian dibawa ke hadapan Tughluk Timur. Orang-orang yang ditangkap ini
adalah rombongan kecil yang dipimpin oleh Syeikh Jamaluddin, seorang ulama
keturunan Tajik. Saat berada di hadapannya, Tughluk bertanya kepadanya,
“Mengapa kalian melawan perintah saya?”
Syeikh
Jamaluddin kemudian menjawab, “Kami ini orang asing yang meninggalkan
reruntuhan kota Katak. Kami tidak mengerti tentang perburuan dan aturan
dalam berburu, karena itu kami tidak melanggar perintahmu.”
Apa
yang dikatakan Syeikh Jamaluddin memang benar, sehingga Tughluk tidak
memiliki alasan untuk menahan atau menghukumnya. Ia pun memutuskan untuk
membebaskan mereka. Tapi ymungkin masih ada rasa kesal dalam hatinya
terhadap Syeikh Jamaluddin, sehingga ia mengajukan pertanyaan terakhir yang
bertujuan menghinakannya. Ketika itu ia sedang memberi makan anjingnya
dengan potongan daging babi. Maka ia pun bertanya kepada Syeikh Jamaluddin,
“Apakah kamu lebih baik daripada anjing ini; atau anjing ini yang lebih
baik daripada kamu?”
Syeikh
Jamaluddin memberikan jawaban yang bijak, “Kalau saya memiliki iman, maka
saya lebih baik daripada anjing ini; tapi kalau saya tidak memiliki iman,
maka anjing ini lebih baik daripada saya.”
Tughluk
rupanya terkesan dengan jawaban ini. Setelah selesai dari aktivitasnya, ia
memutuskan untuk pulang dan ia memerintahkan anak buahnya untuk menaikkan
Syeikh Jamaluddin ke atas kuda dan membawanya untuk menemuinya. Anak buah
Tughluk kemudian membawa seekor kuda dan mempersilahkan Syeikh Jamaluddin
naik ke atasnya. Saat melihat ada bekas darah babi pada sadel kuda itu,
Syeikh Jamaluddin memutuskan untuk berjalan kaki. Tapi karena terus
didesak, ia akhirnya mengendarai kuda itu dengan meletakkan sehelai sapu
tangan di atas sadel kuda itu.
Saat
tiba di hadapan Tughluk, ia kembali ditanya, “Apa itu tadi yang sekiranya
dimiliki oleh seseorang ia akan lebih baik daripada anjing?”
“Iman,”
jawab Syeikh Jamaluddin. Beliau kemudian menjelaskan apa itu iman dan
menjelaskan tentang Islam kepada Tughluk Timur sehingga yang terakhir ini
tersentuh dan menangis.
Tughluk
kemudian berkata kepada Syeikh Jamaluddin, “Kalau nanti saya menjadi
seorang Khan dan memiliki kekuasaan yang mutlak, kamu harus datang lagi
kepada saya, dan saya berjanji akan menjadi seorang Muslim.” Ia kemudian
menyuruh orang-orangnya untuk membawa pergi Syeikh Jamaluddin dengan penuh
penghormatan.
Rupanya
tak lama setelah kejadian itu, sebelum Tughluk diangkat menjadi seorang
penguasa, Syeikh Jamaluddin meninggal dunia. Namun sebelum meninggalnya, ia
menceritakan pengalamannya itu kepada anaknya yang bernama Arshaduddin yang
juga alim dan soleh. Ia berpesan kepada anaknya itu, “Karena saya mungkin
akan meninggal dunia tak lama lagi, maka hendaknya hal ini menjadi
perhatian kamu. Jika pemuda itu menjadi seorang Khan, ingatkan dia tentang
janjinya untuk menjadi seorang Muslim; dengan begitu berkah kebaikan ini
mudah-mudahan terjadi dengan perantaraanmu, dan karenanya dunia akan
menjadi terang benderang (dengan cahaya Islam, pen.).”
Tidak
lama setelah itu, Tughluk Timur diangkat menjadi seorang Khan yang berkuasa
penuh atas wilayah Moghulistan. Saat mendengar hal ini, Syeikh Arshaduddin
segera berangkat ke Moghulistan dan mencari jalan untuk bertemu dengan
Tughluk Khan. Tetapi berkali-kali mencoba, ia tetap tidak berhasil
menjumpainya.
Ia
terus menunggu kesempatan untuk bertemu dengan Khan yang baru diangkat itu.
Sementara itu, ia punya kebiasaan melantunkan azan subuh setiap pagi di
tempat yang tidak terlalu jauh dari tenda tempat tinggal Tughluk Khan. Pada
suatu pagi, Tughluk Khan memanggil seorang pengawalnya dan berkata, “Ada
orang yang bersuara keras seperti ini setiap pagi, pergi dan bawalah ia ke
sini.”
Syeikh
Arshaduddin masih di tengah lantunan azannya ketika pengawal itu datang dan
terus menangkap dan membawanya ke hadapan Tughluk Khan. Tughluk kemudian
bertanya kepadanya, “Siapa kamu yang selalu mengganggu tidur saya setiap
pagi di waktu yang awal ini?”
“Saya
putera seseorang yang pada satu ketika dulu Anda berjanji kepadanya untuk
menjadi seorang Muslim,” jawab Syeikh Arshaduddin. Ia pun menceritakan apa
yang dahulu pernah terjadi antara ayahnya dan Tughluk Khan sehingga yang
terakhir ini ingat.
“Engkau
diterima,” kata Tughluk Khan, “dan dimana ayahmu?”
“Ayah
saya telah meninggal dunia, tetapi ia memberikan amanah misi ini kepada saya,”
jawab Syeikh Arshad.
“Sejak
saya naik ke tampuk kepemimpinan saya ingat bahwa saya mempunyai sebuah
janji, tetapi orang yang saya beri janji itu tidak pernah datang. Sekarang
saya menerimamu. Apa yang mesti saya lakukan?”
Maka
Syeikh Arshaduddin membimbingnya untuk melakukan wudhu dan mengucapkan
kalimat syahadat selepasnya. Kemudian ia mengajarinya hal-hal yang mendasar
dalam Islam. Mereka juga sepakat untuk mengajak setiap emir di pemerintahan
Tughluk Khan untuk masuk Islam. Satu demi satu emir-emir kepercayaannya
diseru kepada Islam dan mereka menerima ajakan ini. Ternyata beberapa emir
itu ada yang sudah masuk Islam secara diam-diam sebelumnya. Mereka
merahasiakan hal ini karena khawatir Tughluk Khan tidak akan menyukainya.
Keislaman
Tughluk Timur Khan telah membawa perubahan besar dalam pemerintahan di
Moghulistan. Ia lah yang secara resmi untuk pertama kalinya menjadikan
Islam sebagai agama negara di wilayah ini. Semuanya berawal dari
pertemuannya dengan seorang Syeikh yang soleh dan mampu menjelaskan
kepadanya tentang hakikat iman; bahwa iman itulah yang menentukan nilai
kemuliaan seorang hamba dan membedakannya dari seekor hewan.*/Kuala Lumpur,
5 Shafar 1434/ 15 Mei 2013
Penulis
adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku
“Nuruddin Zanki dan Perang Salib
Daftar
Pustaka
Dughlat, Mirza Muhammad Haidar. The
Tarikh-i-Rashidi. Srinagar: Karakoram Books. 2009.
Encyclopaedia of Islam, vol. 10, Leiden: Brill.
2000.
Manz, Beatrice Forbes. ‘The rule of the
infidels: the Mongols and the Islamic world’, dalam Morgan, David O. and Anthony Reid (eds.)
, The New Cambridge History of Islam, vol. 3, The Eastern Islamic World Eleventh to
Eighteenth Century, Cambridge Histories Online © Cambridge University
Press, 2011
|