IKHLAS
DAN NIAT
Allah
berfirman :
( Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia
dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan ) Huud : 15-16
Dari
Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya segala pekerjaan itu (
diterima atau tidaknya di sisi Allah )hanyalah tergantung niatnya, dan
setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya, maka barangsiapa
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang
wanita yang akan dia menikah dengannya, maka hijrahnya kepada apa yang dia
niatkan. HR. Muttafaq 'alaih.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya orang yang pertama
kali diputuskan perkaranya di hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid
di jalan Allah, maka dia didatangkan, dan diperlihatkan kepadanya segala
nikmat yang telah diberikan kepadanya di dunia, lalu ia mengenalinya, maka
Allah berkata kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini ?
maka orang itu menjawab : aku berperang di jalan-Mu sampai mati syahid,
maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu berperang agar
dikatakan bahwa kamu adalah seorang pemberani, dan yang sedemikian itu
telah diucapkan ( kamu telak dipuji-puji dst sebagai imbalan apa yang telah
kamu niatkan.pent. ) maka diperintahkan supaya dia diseret di atas mukanya
sampai dilemparkan di api neraka, dan seseorang yang mempelajari ilmu dan
mengajarkannya, dan menghapal al-Qur'an, lalu dia didatangkan dan
diperkenalkan kepadanya segala nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya di
dunia, maka diapun mengenalinya, maka dikatakan kepadanya : apa yang telah
kamu lakukan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : aku mempelajari ilmu
dan mengajarkannya kepada orang lain, dan membaca al-Qur'an untuk-Mu. Maka
Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar dengan tujuan agar
engkau dibilang seorang alim, dan engkau membaca/menghapal al-Qur'an supaya
dibilang engkau seorang penghapal/pembaca al-Qur'an yang baik, dan semua
itu sudah dikatakan ( kamu telah mendapat pujian yang kamu harapkan sebagai
imbalan niatmu ) lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya
sehingga dia dilemparkan ke api neraka, dan seseorang yang Allah berikan
kepadanya keluasan rizki dan diberikan kepadanya segala macam harta, lalu
dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah
diberikan kepadanya dan dia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya :
apa yang kamu kerjakan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : tidak ada
suatu jalan yang Engkau suka harta yang telah Engkau berikan agar dibelanjakan
padanya kecuali aku telah membelanjakan harta itu di jalan tersebut karena
Engkau, maka Allah berkata : Kamu berdusta, akan tetapi kamu melakukan itu
agar dibilang bahwa kamu adalah seorang dermawan dan yang sedemikian itu
telah dikatakan ( kamu telah mendapat pujian tersebut di dunia sebagai
imbalan dari niatmu itu ), lalu diperintahkan agar dia diseret di atas
mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka. HR.Muslim
Keterangan
singkat :
Niat
adalah dasar segala perbuatan, oleh karena itu setiap perbuatan manusia
diterima tidaknya disisi Allah sebatas niatnya, maka barangsiapa
mengerjakan suatu pekerjaan niatnya murni karena Allah dan mengharapkan
ganjaran akhirat, sedang perbuatannya itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, maka amalnya akan diterima oleh Allah, dan
barangsiapa niatnya untuk selain Allah atau tidak ikhlas karena Allah
seperti dia menyekutukan-Nya dengan makhluk, maka pekerjaannya itu akan
ditolak dan akan menjadi bencana baginya.
Hikmah
yang dapat diambil dari ayat dan hadits di atas :
Bahwa
dari syarat diterimanya amal adalah ikhlas yaitu bermaksud dengan amalnya
itu karena Allah Ta'ala.
Pentingnya
ikhlas, karena amal tanpa ikhlas akan menjadi bencana bagi yang mengerjakan
pekerjaan tersebut, walaupun pekerjaan tersebut termasuk dari perbuatan
ibadah yang mulia ( seperti memberikan sedekah, membaca al-Qur'an,
mengajarkan ilmu bagi orang lain, bahkan mati syahid dalam medan perang
melawan orang-orang kafir).
Bahwa
baiknya bentuk suatu pekerjaan tidak cukup untuk diterimanya amal itu di
sisi Allah akan tetapi harus dibarengi dengan niat ikhlas.
Wajibnya
memperbaiki niat dalam segala perbuatan, dan berusaha keras untuk selalu
ikhlas dalam beramal.
I K H
L A S
"Padahal
mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketha'atan
kepadaNya dengan lurus." (QS. Al-Bayyinah: 5)
1.
Ikhlas merupakan suatu sifat yang sangat agung, suatu rahasia dari
rahasia-rahasia
yang dititipkan hanya di qalbu para hamba yang di- cintai-Nya. Mereka adalah
manusia-manusia pilihan yang benar-benar murni ketha'atannya serta bersih
dari noda-noda syirik, terlindung dari karat-karat jahiliyyah, terbebas
dari penyakit-penyakit jiwa.
Mereka
adalah jiwa yang senantiasa berada dalam kecintaan kepada
Al-Haq.
Gerak-geriknya adalah dzikru 'l-Laah. Senyum dan tangisnya
hanya
karena Allah. Desah dan resahnya-pun karena Dia semata-mata. Shalatnya,
'ibadahnya, hidupnya, matinya, dan semuanya demi Allah
Rabbu
'l-'Aalamiin.
2.
Ikhlas adalah tingkat ihsan, yang meyakini sekalipun dirinya tidak dapat
melihat Allah tapi Allah melihat apa saja yang ia kerjakan. Ia meyakini
Allah bersama dengannya dimanapun ia berada. Desah na-
fasnya,
getar hatinya, lintasan berfikirnya, resah jiwanya selalu merasa dalam
pengawasan Allah, sang Kekasih....
"Dan
Dia bersama dengan kalian dimanapun kalian ber- ada, dan Allah Maha Melihat
akan apa-apa yang kalian kerjakan." (QS. Al-Hadiid:4)
3.
Ikhlas itu tidak pernah memandang, menghitung-hitung apa-apa yang telah
diperbuat, tidak mengharap-harap balasan/ganjaran dan tidak pernah merasa
puas dengan 'amal-'amal yang telah dikerjakannya. Ia tidak membutuhkan
pengakuan dirinya, hawa nafsunya, apalagi orang lain. Ia tidak mencari
keindahan. keuntungan, pujian, popularitas, fasilitas apalagi isi tas.
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada
bentuk rupa dan kekayaan kalian, tapi Allah melihat kepada qalbu kalian dan
'amal-'amal kalian." (H.R. Imam Muslim)
4.
Riya' merupakan penyakit yang tidak akan berjangkit didalam hati
hamba
Allah yang selalu ikhlas, karena keduanya bertolak belakang.
Penyakit
Riya' membuat seseorang ternoda dan tertolak 'amal-'amal-
nya,
karena Allah tidak suka disaingi oleh apapun dan siapapun.
"Janganlah
sekali-sekali kamu menyangka bahwa orang- orang yang gembira dengan apa
yang telah mereka per- buat dan mereka suka supaya dipuji terhadap
perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa
terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang paling pedih." (QS. Ali
'Imraan:188)
5.
Demikian pula nifaq, sikap pura-pura yang menampilkan wajah suci
Islam
tetapi sebenarnya kafir dan membenci Islam. Munafiq kategori
ini
jelas-jelas KAFIR !! Ia menyembunyikan identitas aslinya sebagai MUSUH
ALLAH!!! dan MUSUH KAUM MUSLIMIIN!!! Bicaranya DUSTA!!! Janjinya PALSU!!!
Amanah yang ada padanya DIKHIANATI!!! Diskusinya TIDAK MENAMBAH IMAN!!!
"Allah menjanjikan bagi orang-orang munafiq
laki-laki dan perempuan, dan orang-orang kafir neraka jahanam, mereka kekal
di dalamnya. Cukuplah neraka jahanam itu bagi mereka, Allah melaknat
mereka, dan bagi mereka adzab yang kekal." (QS. At-Taubah:68)
"Sesungguhnya
orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka dan kamu tak akan memperoleh seorang penolongpun bagi
mereka."(QS. An-Nisaa':145)
|
GANJARAN
SEDEKAH
"Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji, Allah melipatgandakan (ganjaran)
bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui" (QS. Al-Baqarah:261)
Kebaikan
yang dikerjakan oleh setiap muslim akan diganjar Allah 10 kali lipat sampai
700 kali lipat. Tidak terkecuali bersedekah dan berinfak di jalan Allah
SWT. Bersedekah termasuk ibadah yang bermanfaat bagi si pelaku dan objek
yang menerima sedekah tersebut. Bersedekah itu tidak mengurangi harta,
bahkan harta yang disedekahi akan membawa berkah. Hal itu dipraktekan oleh
Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam bahwa
Rasulullah saw itu senang bersedekah tetapi beliau tidak mau menerima
sedekah. Banyak orang masuk Islam karena pemberian dari Rasulullah saw.
Tetapi Annas bin Malik melaporakan bahwa mereka masuk Islam di pagi hari
disebabkan oleh dunia, di sore hari mereka telah berubah, dan justru
mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT.
Nabi
Muhammad saw mengingatkan bahwa manusia senang membanggakan hartanya,
sementara yang dia dapat menikmatinya hanya sedikit; barang yang dipakai
akan usang, makanan yang dimakan menjadi sari dan kotoran, dan yang
disedekahkan di jalan Allah , itu saja yang tertinggal dan bermanfaat (HR.
Muslim).
Alangkah
beruntungnya orang yang mengerti terhadap amanat harta yang diembanya,
sehingga dia tidak berkeberatan untuk menyalurkannya di jalan Allah, itulah
harta yang berkah.
Oleh
:
Al-Islam
- Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
|
KEMBALI
KEPADA AL QUR`AN
Oleh
: Muh. Khairuddin Rendusara.
Bukti
empirik di lapangan terlihat dengan sangat jelas bahwa kaum muslimin pada
saat ini telah jauh dari Al Qur`an Al Karim yang merupakan petunjuknya
dalam mengarungi bahtera kehidupannya (The Way of Life). Firman Allah I :
Berkatalah
Rasul:"Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur'an ini
sesuatu yang tidak diacuhkan". (QS. 25:30)
Dan
mereka (para musuh Islam) berusaha keras untuk menjauhkan kaum muslimin
secara personal maupun kelompok dari sumber utama kekuatannya yaitu Al
Qur`an Al Karim. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Al Qur`an Al Karim
mengenai target rahasia mereka dalam memerangi kaum muslimin dalam
firman-Nya :
Dan
orang-orang yang kafir berkata:"Janganlah kamu mendengar dengan
sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya,
supaya kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS. 41:26)
Jal
Daston selaku perdana menteri Inggris mengemukakan : "Selagi Al Qur`an
masih di tangan umat Islam, Eropa tidak akan dapat mengusai negara-negara
Timur." (Lihat buku "Rencana Penghapusan Islam dan Pembantaian
Kaum Muslimin di Abad Modern" oleh Nabil Bin Abdurrahman Al Mahisy /
13).
Jauhnya
umat terhadap Al Qur`an Al Karim merupakan suatu masalah besar yang sangat
fundamental dalam tubuh kaum muslimin. Perkara untuk mempedomi petunjuk
Allah I melalui kitab-Nya, bukan sekedar perbuatan sunnah atau suatu
pilihan. Firman Allah I :
Dan
tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang
siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
dengan kesesatan yang nyata. (QS. 33:36)
Tegasnya,
menjadikan kitab Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai sumber petunjuk
satu-satunya dalam kehidupan dan mengembalikan segala masalah hanya
kepada-Nya merupakan suatu keharusan oleh setiap diri kita. Kita sama-sama
bersepakat bahwa dalam menanggulangi masalah kerusakan sebuah pesawat
terbang, kita harus memanggil seorang insinyur yang membuat pesawat itu,
dan kita sama-sama bersepakat bahwa seorang pilot yang akan
mengoperasionalkan suatu pesawat terbang harus mengikuti buku petunjuk
oprasional pesawat yang dikeluarkan dari perusahaan yang memproduksinya.
Tetapi mengapa kita tidak mau menerapkan prinsip ini dalam diri kita
sendiri. Allah I lah yang menciptakan kita dan hanya petunjuk-Nya yang
benar. Sedang kita mengetahui bahwa pegangan yang mantap dan pengarahan
yang benar hanyalah :
Katakanlah:"Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". (QS. 2:120)
Ringkas
dan tegas. Petunjuk Allah I itulah petunjuk. Selain dari itu bukan
petunjuk. Tidak bertele-tele, tidak ada helah, tidak dapat ditukar.
Rasulullah bersabda :
"Sesungguhnya
Allah mengangkat beberapa kaum dengan Kitab (Al Qur`an) ini dan menghinakan
yang lain dengannya pula." H.R. Muslim.
Karena
itu jangan sampai kita mengikuti hawa nafsu mereka yang menyimpang dari
garis yang tegas ini :
Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS.
2:120)
Ringkasnya,
ketika umat Islam telah jauh dari Kitabullah, maka musibah dan malapetaka
serta segala jenis penyakit hati akan datang silih berganti, sebagaimana
yang saat ini kita lihat sendiri secara kasat mata.
Kita
berdoa kepada Allah I, semoga Dia I mengerakkan hati dan memudahkan langkah
kita dan umat Islam lainnya untuk kembali kepada Kitabullah dan Sunnah
Nabinya e sehingga menjadi umat yang terbaik sebagaimana firman-Nya I :
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS.
3:110)
KEKUATAN
SEBUAH DO'A
"Ya
Allah, jangan kembalikan aku ke keluargakau, dan limpahkanlah kepadaku
kesyahidan."
Doa
itu keluar dari mulut `Amru bin Jamuh, ketika ia bersiap-siap mengenakan
baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum Muslimin ke medan Uhud.
Ini adalah kali pertama bagi `Amru terjun ke medan perang, karena dia
kakinya pincang. Di dalam Al-Quran disebutkan: "Tiada dosa atas
orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit untuk tidak
ikut berperang." (Qs Al-Fath:17)
Karena
kepincangannya itu maka `Amru tidak wajib ikut berperang, di samping
keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga `Amru
dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan bergabung
dengan kaum Muslimin lainnya untuk berperang.
Sebenarnya,
kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan: "Sadarilah hai `Amru,
bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi saw."
Namun
`Amru menjawab: "Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus
duduk-duduk bersama kalian?"
Meski
`Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena itu
`Amru kemudian menghadap Rasulullah Saw dan berkata kepada beliau:
"Wahai Rasulullah. Kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan.
Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini."
"Engkau
dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu." Kata Nabi mengingatkan.
"Aku
tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana." Kata
`Amru tetap berkeras.
Melihat
semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum `Amru:
"Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan
kepadanya."
Dengan
terpincang-pincang `Amru akhirnya ikut juga berperang di barisan depan
bersama seorang anaknya. Mereka berperang dengan gagah berani, seakan-akan
berteriak: "Aku mendambakan surga, aku mendambakan mati: sampai
akhirnya ajal menemui mereka.
Setelah
perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di
antara mereka adalah "Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu `Aisyah
melihat Hindun, istri `Amru bin Jamuh sedang menuntun unta ke arah Madinah.
`Aisyah bertanya: "Bagaimana beritanya?"
"Baik-baik
, Rasulullah selamat Musibah yang ada ringan-ringan saja. Sedang
orang-orang kafir pulang dengan kemarahan, "jawab Hindun.
"Mayat
siapakah di atas unta itu?"
"Saudaraku,
anakku dan suamiku."
"Akan
dibawa ke mana?"
"Akan
dikubur di Madinah."
Setelah
itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah Madinah.
Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.
"Barangkali
terlalu berat," kata `Aisyah.
"Tidak.
Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain." Jawab Hindun.
Ia
kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali, namun
binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi merebah
ketika di belokkan ke arah Madinah. Menyaksikan pemandangan aneh itu,
Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menyampaikan peristiwa yang
dialaminya: "Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan suamiku akan
kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi binatang ini tak
mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat."
Rasulullah
berkata kepada Hindun: "Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu
tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?"
"Benar
ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan berdoa:
"Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan
limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
"Karena
itulah unta ini tidak mau berangkat ke Medinah. Allah SWT tidak mau
mengembalikan jasad ini ke Madinah" kata beliau lagi.
"Sesungguhnya
diantara kamu sekalian ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar
dikabulkan. Diantara mereka itu adalah suamimu, `Amru bin Jumuh,"
sambung Nabi.
Setelah
itu Rasulullah memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud.
Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun: "Mereka akan bertemu di
surga. `Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah,
saudaramu."
"Ya
Rasulullah. Doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka,: kata
Hindun memohon kepada Nabi.
|
HAKIKAT
MANUSIA
"Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan" (QS. Al Isra': 70)
Suatu
siang, jalan baru di pinggiran kota dipenuhi kerumunan orang. Mereka saling
berdesakan untuk bisa melihat obyek pandangan yang menjadi sasaran
penglihatan mereka. Ternyata yang menjadi obyeknya adalah seonggok mayat
yang penuh luka. Rupanya itu adalah mayat seorang residivis yang diamuk
massa. Mayat itu tergeletak dibiarkan begitu saja. Orang lalu lalang silih
berganti hanya untuk melihat, mayat siapakah gerangan?. Itu saja yang
diperbuat orang banyak bukan untuk memberikan pertolongan atau memproses
mengurusi jenazahnya. Ada pula yang sumpah serapah kepada mayat tersebut,
bahkan ada juga yang merasa senang atas tewasnya sang residivis, karena
berkuranglah kejahatan yang dilakukan orang itu.
Sementara
di sudut kampung terdapat sebuah rumah yang dipenuhi kerumunan orang yang
ingin takziyah melayat jenazah seorang ustadz di wilayah itu. Rumah
kecilnya tidak pernah berhenti dikunjungi orang. Mereka sangat menghormati
sang ustadz yang teramat mereka cintai. Karena jasa-jasa beliau begitu
banyak memberikan pencerahan aktivitas keagamaan di kampung terpencil
itu.
Bahkan orang yang menshalatkannya bergiliran secara bergelombang lantaran
penuh sesaknya orang yang ingin turut menshalatkannya. Begitu pula ketika
mengantarkannya ke pemakaman tempat peristirahatannya yang terakhir,
masyarakat berduyun-duyun mengiringinya. Tampak raut wajah penuh duka
kehilangan figure guru yang mereka cintai, karena telah mengajari mereka
tentang kebenaran. Petuah ajarannya yang menjadikan mereka lebih memahami
kebenaran dan kebatilan. Mereka dapat mengetahui hakikat kehidupan yang
sebenarnya.
Potret
dua keadaan di atas sangatlah bertolak belakang. Hal ini merupakan tampilan
masyarakat yang dapat kita temukan dengan mudah di sekitar kita. Seonggok
jenazah yang pertama dan kedua diperlakukan berbeda oleh masyarakatnya.
Perlakukan itu semakin memperjelas bagi kita tentang kedudukan dua orang
tersebut yang mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan kualitas
dan hakikat dirinya sebagai manusia. Sekalipun secara fisik keadaan mereka
berdua tidaklah berbeda satu dengan yang lainnya.
Perlakukan
yang berbeda itu sebenarnya telah disinyalir oleh Allah Swt. dalam
Al-Qur'an bahwa mereka yang beriman dan beramal shalih akan dimuliakan
kedudukannya sedangkan mereka yang membangkang akan direndahkan derajatnya
bahkan lebih rendah dari binatang ternak. Perlakukan itu tidak hanya di
dunia melainkan juga di akhirat. Malah di akhirat lebih besar lagi
perbedaan dalam memperlakukan model-model manusia seperti itu.
Sebagaimana
yang kita pahami bahwa persoalan di atas terletak pada sikap dalam
menjalankan kedudukan dirinya sebagai manusia. Mereka yang benar dalam
mendudukkan posisinya sebagai manusia seperti yang ditentukan Allah Swt.
maka mereka pantas untuk mendapatkan perlakukan yang layak dan baik.
Sebaliknya mereka yang tidak dapat mendudukkan dirinya dengan tepat maka
mereka pun akan dihinakan karena sikapnya.
Manusia
sebagai makhluk Allah Swt. tentu memiliki kedudukan yang berbeda dari
ciptaan-Nya yang lain. Oleh karena itu mereka mempunyai imtiyazat
(keistimewaan) sebagai makhluk Allah Swt. Al-Qur'an menyebutkannya dalam
beberapa sisi. Di antaranya;
1.
Mukarram (makhluk yang dimuliakan)
Sebagai
makhluk yang dimuliakan Allah Swt. manusia diberikan keistimewaan. Bentuk
fisik yang bagus dengan tata letak yang tepat menjadikan dirinya berbeda
dengan makhluk lainnya. Letak kepalanya, hidungnya, alisnya, mulutnya dan
beberapa organ lainnya yang sesuai dengan posisi dan porsinya.
Dengan
tampilan seperti itu manusia kelihatan cantik dan ganteng. Sehingga manusia
tidak pernah malu pada hewan atau tetumbuhan lantaran tampilan fisiknya.
Keistimewaan bentuk fisik yang dimiliki manusia merupakan karunia Allah
Swt. yang membuatnya tidak pernah merasa minder bila berada di kebun
binatang sekalipun binatang yang terdapat di dalamnya adalah
binatang-binatang pilihan.
"Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya"
(QS. At Tiin: 4)
Dengan
tampilan fisik dan bentuk yang bagus manusia juga diberikan
keistimewaan
lainnya. Yakni ditundukkannya alam semesta untuk kehidupannya. Manusia bisa
mengarungi samudera yang luas. Mengelilingi dunia, menikmati panorama
indahnya alam raya. Diberikan kepadanya tumbuh-tumbuhan baik yang dapat
dikonsumsinya ataupun untuk dipandangnya. Juga dijinakkan hewan-hewan
kepadanya sehingga ada yang dapat dimakan, ditunggangi atau untuk membantu
kehidupan umat manusia. Semua anugerah itu merupakan bentuk pemuliaan Allah
Swt. kepada manusia. Agar karunia tersebut dapat dipergunakan bagi
kehidupannya dalam mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Namun jika kenikmatan
itu tidak dipergunakan sebagaimana aturan-Nya maka Allah Swt. akan
memandang hina dan rendah manusia itu. Mereka disamakan derajatnya dengan
hewan bahkan lebih dari itu. Na'udzubillahi min dzalik.
2.
Mukallaf (makhluk yang dibebankan tugas)
Dengan
kelebihan dan karunia yang diberikan kepada mereka, manusia dibeban
tugaskan untuk beribadah dan mengatur serta merawat jagat raya yang menjadi
sarana hidupnya dengan sebaik-baiknya. Agar mereka menyadari bahwa karunia
itu tidak datang dengan sendirinya melainkan ia adalah pemberian Tuhan
sehingga mereka seharusnya berterima kasih pada-Nya dengan senantiasa
beribadah.
"Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku"
(QS. Ad Dzariyat: 56)
Begitu
pula manusia harus menyadari bahwa sarana hidupnya telah tersebar di
penjuru bumi agar mereka menggalinya, memanfaatkannya dan merawatnya untuk
kehidupannya. Pada posisi peran ini manusia menjadi pemimpin di alam
semesta ini (khalifah) yang menjalankan ajaran Allah Swt. dan
merealisasikannya dengan benar. Bukan malah melakukan kerusakan di muka
bumi, dengan menghancurkan alam raya, merusak ekosistem hidup atau
membiarkannya punah dan musnah. Agar manusia dapat menjaga kelestarian
hidupnya dan jagat raya sebagai sarana hidupnya.
"Dan
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan Khalifah dimuka bumi".... (QS. Al Baqarah: 30).
3.
Mujzi (makhluk yang mendapatkan balasan atas amalannya)
Dalam
menjalankan beban tugasnya manusia pun mendapatkan balasan atas amalannya.
Mereka yang menunaikan tugasnya dengan baik manusia berhak meraih anugerah
keridhaan dan surga-Nya. Sedangkan mereka yang tidak menunaikan tugasnya
maka azab dan neraka-Nya lebih pantas untuk mereka terima. Seberapa pun
amal yang mereka kerjakan kecil atau besar pasti mendapatkan balasannya
baik
atau pun buruk. Dengan agar manusia dapat memahami bahwa semua perbuatan
yang dilakukannya tidak akan dibiarkan begitu saja melainkan pasti akan ada
balasannya.
"Barang
siapa yang mengerjakan amal kebaikan seberat dzarrah pun niscaya dia akan
mendapatkan balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan amal kejahatan
seberat dzarrah pun niscaya dia akan mendapatkan balasannya pula" (QS.
Az Zalzalah: 7 - 8).
Demikianlah
kedudukan manusia yang sebagian di jelaskan dalam Al Qur'an, agar kita
mampu menjalankannya dengan benar sehingga kita dapat meraih derajat yang
mulia di sisi Allah Swt. dan makhluk-Nya. Wallahu 'alam bishshawab. (SyH)
|
MENYIKAPI
PERBEDAAN
“Kita
bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan kita saling bertoleransi
untuk hal-hal yang tidak kita sepakati.” --Hasan Al-Banna, Majmu’atur
Rasaail
Musibah
terbesar yang menimpa kaum Muslimin adalah perpecahan. Apa yang membuat
kaum Muslimin bisa menang kembali adalah cinta kasih dan persatuan. Umat
ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan apa yang telah membuat
baik generasi pertamanya dahulu. Inilah prinsip dasar dan sasaran penting
setiap muslim.
Perbedaan
dalam berbagai masalah furu' (masalah cabang) merupakan sesuatu yang
niscaya. Mustahil manusia bisa bersatu dalam masalah-masalah tersebut,
karena beberapa alasan sebagai berikut:
Perbedaan
kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap kedalaman makna-makna
dalil serta dalam mengambil keputusan hukum.
Perbedaan
keluasan ilmu para ulama. Imam Malik berkata kepada Abu Ja'far,
"Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum memiliki ilmu tertentu.
Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya
upaya itu hanya akan menimbulkan fitnah."
Perbedaan
lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola
penerapan hukum. Itulah sebabnya Imam Syafi'i memberikan fatwa lama (qaul
qadim) di Iraq kemudian memunculkan fatwa baru (qauljadid) ketika beliau
berada di Mesir.
Perbedaan
tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.
Perbedaan
dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu.
Mengharapkan
adanya ijma' dalam masalah furu' adalah mustahil. Bahkan bertentangan
dengan tabiat agama (dan kemanusiaan itu sendiri), karena Allah menghendaki
aktualitas agama ini abadi dan dapat menyertai semua zaman. Inilah rahasia
mengapa agama Islam ditata sedemikian rupa oleh Allah sehingga mudah,
fleksibel, bebas dari kebekuan dan ekstrimisme.
Perbedaan-perbedaan
itu tidak akan menghambat proses menyatunya hati, saling mencintai dan
kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal
ini akan sanggup memayungi kita dalam batasan-batasannya yang begitu luas.
Bukankah
sebagai Muslim kita suka bertahkim kepada sesuatu kita merasa tenang
kepadanya? Bukankah kita dituntut untuk mencintai bagi saudara kita apa
yang kita cinta bagi diri kita sendiri? Lantas, mengapa masih harus ada
perpecahan? Mengapa kita tidak berusaha untuk saling memahami dalam suasana
penuh cinta? Para sahabat Rasulullah Saw juga sering berbeda dalam
memutuskan hukum. Tapi adakah itu kemudian memecah belah hati mereka? Sama
sekali tidak.
Jika
para sahabat saja—yang lebih dekat dengan zaman kenabian dan lebih tahu
tentang seluk beluk hukum—masih juga berbeda pendapat, mengapa kita harus
saling membunuh untuk suatu perbedaan dalam masalah-masalah sepele? Jika
para Imam saja, yang lebih tahu tentang Al-Qur'an dan Sunah, masih saling
berbeda dan berdebat, mengapa dada kita tidak selapang mereka dalam
mensikapi perbedaan?
Kesadaran
itulah yang akan membuat dada kita lebih lapang dalam menghadapi berbagai
perbedaan. Setiap kaum memiliki ilmu, dan bahwa pada setiap (jama’ah)
da’wah ada sisi benarnya dan ada sisi salahnya. Kita akan selalu mencari
sisi yang benar dan berusaha menyampaikan (sisi salahnya) kepada orang lain
secara persuasif. Bila kemudian mereka menerima, maka itulah yang lebih
baik, dan itu pula yang kita harapkan.
Adapun
jika ternyata mereka menolak, sesungguhnya mereka tetap kita anggap sebagai
saudara seagama. Kami berharap semoga Allah memberikan hidayah kepada kita
semua.
Kita
akan menerima adanya perbedaan dan membenci sikap fanatisme terhadap
pendapat sendiri. Kita senantiasa berusaha menemukan kebenaran, kemudian
membawa masyarakat kepada kebenaran itu dengan cara yang baik dan sikap
yang lemah-lembut.*
Deka
Kurniawan, diadaptasi dari Majmuatur Rasaail/Hidayatullah
|
KEUTAMAAN MEMBACA ALQUR'AN
Dari
Abu Musa Al-Asy`arit berkata, Rasulullah bersabda: "Perumpamaan orang
mukmin yang membaca Al Qur`an bagaikan buah limau baunya harum dan rasanya
lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al Qur`an bagaikan
kurma, rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan orang munafik yang
membaca Al Qur`an bagaikan buah raihanah yang baunya harum dan rasanya
pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al Qur`an bagaikan
buah hanzholah tidak berbau dan rasanya pahit." Muttafaqun `Alaihi.
Merupakan
suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu berinteraksi aktif dengan
Al Qur`an, dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi, berpikir dan
bertindak. Membaca Al Qur`an merupakan langkah pertama dalam berinteraksi
dengannya, dan untuk mengairahkan serta menghidupkan kembali kegairahan
kita dalam membaca Al Qur`an, kami sampaikan beberapa keutamaan membaca Al
Qur`an sebagai berikut :
1.
Manusia yang terbaik.
Dari
`Utsman bin `Affan, dari Nabi bersabda : "Sebaik-baik kalian yaitu
orang yang mempelajari Al Qur`an dan mengajarkannya." H.R. Bukhari.
2.
Dikumpulkan bersama para Malaikat.
Dari
`Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, Rasulullah bersabda : "Orang yang
membaca Al Qur`an dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan dikumpulkan
bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang
membaca Al Qur`an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat (belum fasih)
dalam membacanya, maka ia akan mendapat dua ganjaran." Muttafaqun
`Alaihi.
3.
Sebagai syafa`at di Hari Kiamat.
Dari
Abu Umamah Al Bahili t berkata, saya telah mendengar Rasulullah bersabda :
"Bacalah Al Qur`an !, maka sesungguhnya ia akan datang pada Hari
Kiamat sebagai syafaat bagi ahlinya (yaitu orang yang membaca, mempelajari
dan mengamalkannya)." H.R. Muslim.
4.
Kenikmatan tiada tara
Dari
Ibnu `Umar t, dari Nabi bersabda : "Tidak boleh seorang menginginkan
apa yang dimiliki orang lain kecuali dalam dua hal; (Pertama) seorang yang
diberi oleh Allah kepandaian tentang Al Qur`an maka dia mengimplementasikan
(melaksanakan)nya sepanjang hari dan malam. Dan seorang yang diberi oleh
Allah kekayaan harta maka dia infakkan sepanjang hari dan malam."
Muttafaqun `Alaihi.
5.
Ladang pahala.
Dari
Abdullah bin Mas`ud t berkata, Rasulullah e : "Barangsiapa yang
membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Qur`an) maka baginya satu kebaikan.
Dan satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya
tidak mengatakan "Alif lam mim" itu satu huruf, tetapi
"Alif" itu satu huruf, "Lam" itu satu huruf dan
"Mim" itu satu huruf." H.R. At Tirmidzi dan berkata :
"Hadits hasan shahih".
6.
Kedua orang tuanya mendapatkan mahkota surga
Dari
Muadz bin Anas t, bahwa Rasulullah e bersabda : "Barangsiapa yang
membaca Al Qur`an dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya, Allah akan
mengenakan mahkota kepada kedua orangtuanya pada Hari Kiamat kelak.
(Dimana) cahayanya lebih terang dari pada cahaya matahari di dunia. Maka
kamu tidak akan menduga bahwa ganjaran itu disebabkan dengan amalan yang
seperti ini. " H.R. Abu Daud.
KEMBALI
KEPADA AL QUR`AN
Bukti
empirik di lapangan terlihat dengan sangat jelas bahwa kaum muslimin pada
saat ini telah jauh dari Al Qur`an Al Karim yang merupakan petunjuknya
dalam mengarungi bahtera kehidupannya (The Way of Life). Firman Allah I :
Berkatalah
Rasul:"Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur'an ini
sesuatu yang tidak diacuhkan". (QS. 25:30)
Dan
mereka (para musuh Islam) berusaha keras untuk menjauhkan kaum muslimin
secara personal maupun kelompok dari sumber utama kekuatannya yaitu Al
Qur`an Al Karim. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Al Qur`an Al Karim
mengenai target rahasia mereka dalam memerangi kaum muslimin dalam
firman-Nya :
Dan
orang-orang yang kafir berkata:"Janganlah kamu mendengar dengan
sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya,
supaya kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS. 41:26)
Jal
Daston selaku perdana menteri Inggris mengemukakan : "Selagi Al Qur`an
masih di tangan umat Islam, Eropa tidak akan dapat mengusai negara-negara
Timur." (Lihat buku "Rencana Penghapusan Islam dan Pembantaian
Kaum Muslimin di Abad Modern" oleh Nabil Bin Abdurrahman Al Mahisy /
13).
Jauhnya
umat terhadap Al Qur`an Al Karim merupakan suatu masalah besar yang sangat
fundamental dalam tubuh kaum muslimin. Perkara untuk mempedomi petunjuk
Allah I melalui kitab-Nya, bukan sekedar perbuatan sunnah atau suatu
pilihan. Firman Allah I :
Dan
tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang
siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
dengan kesesatan yang nyata. (QS. 33:36)
Tegasnya,
menjadikan kitab Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai sumber petunjuk
satu-satunya dalam kehidupan dan mengembalikan segala masalah hanya
kepada-Nya merupakan suatu keharusan oleh setiap diri kita. Kita sama-sama
bersepakat bahwa dalam menanggulangi masalah kerusakan sebuah pesawat
terbang, kita harus memanggil seorang insinyur yang membuat pesawat itu,
dan kita sama-sama bersepakat bahwa seorang pilot yang akan
mengoperasionalkan suatu pesawat terbang harus mengikuti buku petunjuk
oprasional pesawat yang dikeluarkan dari perusahaan yang memproduksinya. Tetapi
mengapa kita tidak mau menerapkan prinsip ini dalam diri kita sendiri.
Allah I lah yang menciptakan kita dan hanya petunjuk-Nya yang benar. Sedang
kita mengetahui bahwa pegangan yang mantap dan pengarahan yang benar
hanyalah :
Katakanlah:"Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". (QS. 2:120)
Ringkas
dan tegas. Petunjuk Allah I itulah petunjuk. Selain dari itu bukan
petunjuk. Tidak bertele-tele, tidak ada helah, tidak dapat ditukar.
Rasulullah e bersabda :
"Sesungguhnya
Allah mengangkat beberapa kaum dengan Kitab (Al Qur`an) ini dan menghinakan
yang lain dengannya pula." H.R. Muslim.
Karena
itu jangan sampai kita mengikuti hawa nafsu mereka yang menyimpang dari
garis yang tegas ini :
Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS.
2:120)
Ringkasnya,
ketika umat Islam telah jauh dari Kitabullah, maka musibah dan malapetaka
serta segala jenis penyakit hati akan datang silih berganti, sebagaimana
yang saat ini kita lihat sendiri secara kasat mata.
Kita
berdoa kepada Allah I, semoga Dia I mengerakkan hati dan memudahkan langkah
kita dan umat Islam lainnya untuk kembali kepada Kitabullah dan Sunnah
Nabinya e sehingga menjadi umat yang terbaik sebagaimana firman-Nya I :
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS.
3:110)
Oleh
: Muh. Khairuddin Rendusara.
|
Berinteraksi
Dengan Al-Qur'an
Penulis:
Dr. Yusuf Qardawi
'Segala
puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an)
dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang
lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah
dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang
mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,
mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.' ( Al Kahfi: 1-3)
Salawat
serta salam bagi Nabi yang mu'jizatnya Al Qur'an, imamnya Al Qur'an,
akhlaqnya Al Qur'an, dan penghias dadanya, cahaya hatinya juga penghilang
kesedihannya adalah Al Qur'an: Nabi Muhammad bin Abdullah, dan keluarganya
serta para sahabatnya, yang beriman dengannya, mendukung dan membantunya,
serta mengikuti cahaya yang diturunkan kepadaanya, mereka adalah
orang-orang yang beruntung, dan seluruh orang yang mengikuti mereka dengan
baik hingga hari kiamat.
Amma
ba'du:
Rabb
kita telah memberikan kemuliaan kepada kita --sebagai kaum
Muslimin--
dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada
manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan mengutus nabi yang
terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Sesuai firman Allah SWT
'Sesungguhnya
telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat
sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?' (Al
Anbiyaa: 10).
Kitalah,
kaum muslimin, satu-satunya umat yang memeliki manuskrip langit yang paling
autentik, yang mengandung firman-firman Allah SWT yang terakhir, yang
diberikan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. Dan anugerah itu terus
terpelihara dari perubahan dan pemalsuan kata maupun makna. Karena Allah
SWT. telah menjamin untuk memeliharanya, dan tidak dibebankan tugas itu
kepada siapapun dari sekalian makhluk-Nya:
'Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.' (Al Hijr: 9).
Al
Qur'an adalah kitab Ilahi seratus persen: '(Inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.' (Huud:1)
'Dan
sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang
kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,
yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.' (
Fush-shilat: 41-42)
Tidak
ada di dunia ini, suatu kitab, baik itu kitab agama atau kitab biasa, yang
terjaga dari perubahan dan pemalsuan, kecuali Al Qur'an.
Tidak
ada seorangpun yang dapat menambah atau mengurangi satu hurup-pun darinya.
Ayat-ayatnya
dibaca, didengarkan, dihapal dan dijelaskan, sebagaimana bentuknya saat
diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan ruh
yang terpercaya (Jibril).
Al
Quran berisikan seratus empat belas surah. Seluruhnya dimulai dengan
basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Kecuali satu surah saja, yaitu surah
at Taubah. Ia tidak dimulai dengan basmalah. Dan tidak ada seorang pun yang
berani untuk menambahkan basmalah ini pada surah at Taubah, baik dengan
tulisan atau bacaan. Karena, dalam masalah Al Qur'an ini, tidak ada tempat
bagi akal untuk campur tangan.
Perhatian
kaum muslimin terhadap Al Quran sedemikian besarnya, hingga mereka juga
menghitung ayat-ayatnya --bahkan kata-katanya, dan malah hurup-hurupnya--.
Maka bagaimana mungkin seseorang dapat menambah atau mengurangi suatu kitab
yang dihitung kata-kata dan hurup-hurupnya itu?!
Tidak
ada di dunia ini suatu kitab yang dihapal oleh ribuan dan puluhan ribu
orang, di dalam hati mereka, kecuali Al Qur'an ini, yang telah dimudahkan
oleh Allah SWT untuk diingat dan dihapal. Maka tidak aneh jika kita
menemukan banyak orang, baik itu lelaki maupun perempuan, yang menghapal Al
Qur'an dalam mereka. Ia juga dihapal oleh anak-anak kecil kaum Muslimin,
dan mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Demikian juga
dilakukan oleh banyak orang non Arab, namun mereka tidak melewati satu
hurup-pun dari Al Qur'an itu. Dan salah seorang dari mereka, jika Anda
tanya: 'siapa namamu?' --dengan bahasa Arab-- niscaya ia tidak akan
menjawab! (Karena tidak paham bahasa Arab!, penj.). Ia menghapal Kitab Suci
Rabbnya semata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT,
meskipun ia tidak memahami apa yang ia baca dan ia hapal, karena ia
tertulis dengan bukan bahasanya.
Al
Qur'an tidak semata dijaga makna-makna, kalimat-kalimat serta
lafazh-lafazhnya saja, namun juga cara membaca dan makhraj hurup-hurupnya.
Seperti kata mana yang harus madd (panjang), mana yang harus ghunnah
(dengung), izhhar (jelas), idgham (digabungkan), ikhfa
(disamarkan)
dan iqlab (dibalik). Atau seperti yang digarap oleh suatu ilmu khusus yang
dikenal dengan 'ilmu tajwid Al Qur'an'.
Hingga
rasam (metode penulisan) Al Qur'an, masih tetap tertulis dan tercetak
hingga saat ini, seperti tertulis pada era khalifah Utsman bin Affan r.a.,
meskipun metode dan kaidah penulisan telah berkembang jauh.
Hingga
saat ini, tidak ada suatu pemerintah muslim atau suatu organisasi ilmiah
pun, yang berani merubah metode penulisan Al Qur'an itu, dan menerapkan
kaidah-kaidah penulisan yang berlaku bagi seluruh buku, media cetak, koran
dan lainnya yang ditulis dan dicetak, bagi Al Qur'an.
Allah
SWT menurunkan Al Qur'an untuk memberikan kepada manusia tujuan yang paling
mulia, dan jalan yang paling lurus.
'Sesungguhnya
Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.' (Al
Israa: 9)
'Sesungguhnya
telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan
kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke
jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu
pula)
Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.' ( Al Maaidah: 15-16)
Al
Qur'an adalah 'cahaya' yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya,
di samping cahaya fithrah dan akal:
'Cahaya
di atas cahaya (berlapis-lapis).' (An Nuur: 35). Dan Al Qur'an
mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai cahaya, dalam banyak ayat.
Seperti
dalam firman Allah SWT:
'Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu,
(Muhammad dengan mu'jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang (Al Qur'an).' (An Nisaa: 174)
'Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al Qur'an)
yang telah Kami turunkan.' (At Taghaabun: 8).
Dan
berfirman kepada para sahabat Rasulullah Saw dengan firman-Nya:
'Dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an).' (Al
A'raaf: 157)
Di
antara karakteristik cahaya adalah: Dirinya sendiri telah jelas, kemudian
ia memperjelas yang lain. Ia membuka hal-hal yang samar, menjelaskan hakikat-hakikat,
membongkar kebatilan-kebatilan, menolak syubhat (kesamaran), menunjukkan
jalan bagi orang-orang yang sedang kebingungan saat mereka gamang dalam
menapaki jalan atau tidak memiliki petunjuk jalan, serta menambah jelas dan
menambah petunjuk bagi orang yang telah mendapatkan petunjuk. Dan jika Al
Qur'an mendeskripsikan dirinya sebagai 'cahaya', dan dia adalah 'cahaya
yang istimewa', ia juga mendeskripsikan Taurat dengan kata yang lain:
'Di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi).'
Seperti
dalam firman Allah SWT:
'Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya
(yang menerangi)'. (Al Maaidah: 44)
Demikian
juga mendeskripsikan Injil seperti itu, seperti dalam firman Allah SWT
tentang Nabi 'Isa:
'Dan
Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi) .' (Al Maidah: 46)
Perbedaan
dalam dua pengungkapan itu menunjukkan perbedaan antara Al Qur'an dengan
kitab-kitab suci lainnya. Seperti diungkapkan oleh Al Bushiry dalam
Lamiah-nya:
'Maha
Besar Allah, sesungguhnya agama Muhammad Dan kitab sucinya adalah kitab
suci yang paling lurus dan paling teguh Jangan sebut kitab-kitab suci
lainnya di depannya Karena, saat mentari pagi telah bersinar, ia akan memadamkan
pelita-pelita'.
Hal
itu karena Al Qur'an ini datang untuk membenarkan kitab-kitab suci yang
telah turun sebelumnya. Yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah dan
akhlak, sebelum kitab-kitab itu dipalsukan dan diubah tangan manusia. Al Qur'an
juga mengungguli kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dengan mengoreksi dan
meluruskan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang telah disisipkan
oleh manusia dalam kitab-kitab itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
'Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.' (AlMaaidah: 48)
Al
Qur'an --sebagaimana ia diturunkan oleh Allah SWT-- mempunyai
keunggulan-keunggulan yang membuatnya istimewa dibanding kitab suci
lainnya. Ia adalah kitab Ilahi, kitab suci yang menjadi mukjizat, kitab
yang memberikan penjelasan dan dimudahkan untuk dipahami, kitab suci yang
dijamin pemeliharaan keautentikannya, kitab suci bagi agama seluruhnya,
kitab bagi seluruh zaman, dan kitab suci bagi seluruh manusia.
Al
Qur'an juga mempunyai maksud dan tujuan yang dibidiknya, di antaranya:
meluruskan kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan,
kenabian, dan balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan
tentang manusia, kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, terutama bagi
kalangan yang lemah dan tidak berpunya.
Ia
juga bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Rabbnya, agar manusia hanya
menyembah-Nya semata dan bertaqwa kepada-Nya dalam seluruh urusannya.
Al
Qur'an juga bertujuan untuk membersihakan jiwa manusia, yang jika jiwa itu
telah bersih niscaya bersih dan baiklah seluruh masyarakat. Dan jika jiwa
itu rusak, niscaya rusaklah masyarakat seluruhnya.
Ia
juga berusaha membentuk keluarga yang kemudian menjadi pangkal kedirian
suatu masyarakat. Juga mengajarkan sikap adil terhadap kalangan perempuan,
yang merupakan pokok utama dalam bangunan keluarga.
Al
Qur'an juga membangun umat yang saleh, yang dianugerahkan amanah untuk
menjadi saksi bagi manusia, yang diciptakan untuk memberikan manfaat bagi
manusia dan memberikan petunjuk bagi mereka.
Setelah
itu, mengajak untuk menciptakan dunia manusia yang saling kenal mengenal
dan tidak saling mengisolasi diri, saling memberi maaf dan tidak saling
membenci secara fanatik, serta untuk bekerja sama dalam kebaikan dan
ketaqwaan, bukan dalam kejahatan dan permusuhan.
Kita
berkewajiban untuk memperlakukan Al Qur'an ini secara baik: dengan menghapal
dan mengingatnya, membaca dan mendengarkannya, serta mentadabburi dan
merenungkannya.
Kita
juga berkewajiban untuk berlaku baik terhadapnya dengan memahami dan
menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui
kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan Allah SWT menurunkan kitab-Nya agar
kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya, serta mengeksplorasi
mutiara-mutiara terpendamnya. Dan setiap orang berusaha sesuai dengan kadar
kemampuannya.
Namun
yang disayangkan, dalam bidang ini telah terjadi kerancuan yang berbahaya,
yaitu dalam memahami dan menafsirkan Al Qur'an. Oleh karena itu harus
dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu menjaga dari kekeliruan dalam
usaha ini, serta perlu diberikan peringatan tentang ranjau-ranjau yang
menghadang di jalan, yang dapat berakibat patal jika dilanggar.
Tidak
selayaknya umat Al Qur'an mengalami hal yang sama yang pernah terjadi
dengan umat Taurat, yang diungkapkan oleh Al Qur'an dalam
firman-Nya:
'Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada
memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.' (Al
Jumu'ah: 5).
Kita
juga harus berlaku baik terhadap Al Qur'an dengan mengikuti petunjuknya,
mengerjakan ajarannya, menghukum dengan syari'atnya serta mengajak manusia
mengikuti petunjuknya. Ia adalah manhaj bagi kehidupan individu,
undang-undang bagi aturan politik, serta petunjuk dalam berdakwah kepada
Allah SWT.
Inilah
yang berusaha dilakukan buku ini dalam empat bab utamanya, dengan bertumpu
--terutama-- pada Al Qur'an itu sendiri, karena ia adalah objek kita, namun
ia juga petunjuk itu.
Umat
kita pada abad-abad pertama --yang merupakan abad-abad yang paling
utama--
telah berinteraksi dengan baik terhadap Al Qur'an. Mereka berlaku baik
dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya, berlaku baik dalam
mengimplementasikannya secara massive dalam kehidupan mereka, dalam
bidang-bidang kehidupan yang beragam, serta berlaku baik pula dalam
mendakwahkannya. Contoh terbaik hal itu adalah para sahabat.
Kehidupan
mereka telah diubah oleh Al Quran dengan amat drastis dan revolusioner. Al
Qur'an telah merubah mereka dari perilaku-perilaku jahiliyah menuju
kesucian Islam, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke dalam cahaya.
Kemudian mereka diikuti oleh murid-murid mereka dengan baik, untuk
selanjutnya murid-murid generasi berikutnya mengikuti murid-murid para
sahabat itu dengan baik pula. Melalui mereka itulah Allah SWT memberikan
petunjuk kepada manusia, membebaskan negeri-negeri, memberikan kedudukan
bagi mereka di atas bumi, sehingga mereka kemudian mendirikan negara yang
adil dan baik, serta peradaban ilmu dan iman.
Kemudian
datang generasi-generasi berikutnya, yang menjadikan Al Qur'an terlupakan,
mereka menghapal hurup-hurupnya, namun tidak memperhatikan
ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya,
tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al Qur'an, tidak
menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al Qur'an serta tidak
menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al Qur'an. Di antara merek ada
yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi,
seperti yang dilakukan oleh Bani Israel sebelum mereka terhadap kitab suci
mereka. Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al Qur'an,
seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah
dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan
ayat-ayat Al Qur'an, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam
mengikut dan menjalankan hukum-hukumnya. Seperti difirmankan oleh Allah
SWT:
'Dan
Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah
dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.' (Al An'aam: 155)
Tidak
ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, ketertinggalan dan
keterpecah-belahan mereka selain dari kembali kepada Al Qur'an ini, dengan
menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al Qur'an
sebagai petunjuk.
BERIMAN
KEPADA YANG GHOIB
Beriman
adalah ungkapan keyakinan dan kepercayaan terhadap sesuatu. Ghoib adalah
segala sesuatu yang tidak tampak oleh panca indra manusia. Beriman kepada
yang ghoib menurut seorang ulama bernama Abul Aliyah, "Beriman kepada
Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan Rasul-rasul, surga dan perjumpaan
dengan Allah SWT diakhirat serta hidup sesudah mati, semua itu ghoib."
Sedangkan ulama lain bernama Atho` berkata, "Orang yang beriman kepada
Allah SWT berarti dia beriman kepada yang Ghoib."
Kehidupan
kita memang untuk ujian, banyak hal yang Allah SWT berikan kepada kita
melalui kitab suci Al Qur`an dan informasi-informasi Rasulullah SAW dan
kita hanya diminta, sebagai orang yang beriman, untuk meyakininya sedangkan
kita tidak pernah melihatnya dan tidak bisa membuktikannya secara empiris
sampai kita mengalaminya nanti. Karena informasi itu dari Allah SWT melalui
Rasul-rasul-Nya, maka kita beriman dan meyakini kebenarannya. Berbeda
dengan orang atheis yang menolak hal seperti itu. Diantara yang harus kita
yakini terhadap hal-hal ghoib ini adalah;
Beriman
kepada akan terjadinya hari kiamat ( lihat Q.S Al Qiyamah )
Beriman
kepada hari Akhirat. Termasuk beriman kepada hari akhirat adalah ; Beriman
kepada kebangkitan sesudah mati ( lihat Q.S Al Anbiya: 104, dan Al
Mukminun: 15-16 ). Rasulullah SAW bersabda, "Manusia akan dibangkitkan
pada hari kiamat tanpa alas kaki dan telanjang." ( H.R. Bukhori dan
Muslim )
Beriman
kepada perhitungan dan pembalasan sesuai dengan perbuatannya ( lihat Q.S Al
Ghosiyah: 25-26, Al An`am: 160 dan Al Anbiya : 47 )
Beriman
kepada syurga dan neraka. Syurga sebagai tempat yang menyenangkan bagi
orang-orang yang bertaqwa ( lihat Q.S.Al Bayyinah: 7-8 dan Al Ahzab:17
).Sedangkan neraka sebagai tempat penyiksaan bagi orang-orang kafir dan
dzalim yang ingkar kepada Allah SWT dan tidak mentaati rasul-rasul-Nya (
lihat Q.S Al Imran:131, Al Kahfi:29 dan Al Ahzab:64-66 ).
Termasuk
beriman kepada hari kemudian adalah beriman kepada fitnah dan pertanyaan di
kuburan ( H.R Bukhori dan Muslim ). Dan beriman terhadap adanya siksa kubur
atau kenikmatan di dalamnya ( lihat Q.S Al An`am:93 dan Ghofir:46 ). Dan
Rasulullah SAW memperingnatkan kita agar selalu berlindung dari adzab kubur
(H.R Muslim ).
Paling
tidak ada 3 keuntungan bagi orang yang beriman kepada yang Ghoib, yaitu; Mendorong
untuk beramal sholeh dengan harapan pahala dihari kemudian. Merasa takut
untuk bermaksiat karena pedihnya siksaan dihari itu.
Hiburan
bagi orang beriman kalau tidak memperoleh kenikmatan dunia karena akan
mendapatkannya yang jauh lebih baik dari dunia dan seisinya.
Oleh
:
Al-Islam
- Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
|
BERBAKTI
KEPADA ORANG TUA
Bersilaturrahim
dan berbuat baik kepada orang tua merupakan ajaran yang menjadi ketetapan
Kitabullah Al-Qur'an dan Al-Hadits. Allah Ta'ala berfirman: "Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya".
(Al-Isra': 23)
Wa
Qadha Rabbuka berarti suatu perintah yang lazim tidak bisa ditawar-tawar
lagi dan Alla Ta'budu Illa Iyahu berarti perintah ibadah yang bersifat
individu.
Allah
menghubungkan beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua
menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang tua dan birrul walidain
(berbuat baik kepada kedua orang tua) di sisi Allah.
Secara
naluri orang tua dengan suka rela mau mengorbankan segala sesuatu untuk
memelihara dan membesarkan anak-anaknya dan anak mendapatkan kenikmatan
serta perlindungan sempurna dari kedua orang tuanya.
Seorang
anak selalu merepotkan dan menyita perhatian orang tuanya dan tatkala
menginjak masa tua mereka pun tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya,
akan tetapi betapa cepat seorang anak melalai-kan semua jasa-jasa orang
tuanya, hanya disibukkan dengan isteri dan anak sehingga para bapak tidak
perlu lagi menasihati anak-anaknya hanya saja seorang anak harus diingatkan
dan digugah perasaannya atas kewajib-an mereka terhadap orang tuanya yang
sepanjang umurnya dengan berbagai kesulitan dihabiskan untuk mereka serta
mengorbankan segala yang ada demi kesenangan dan kebahagiaan mereka hingga
datang masa lelah dan letih.
Maka
berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi keputusan mutlak dari Allah dan
ibadah yang menempati urutan kedua setelah beribadah kepada Allah:
"Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliha-raanmu". (Al-Isra': 23)
Kibar
atau kibarul sin artinya berusia lanjut, umur sudah mulai menua, punggung
sudah mulai membung-kuk dan kulit sudah mulai keriput. 'Indaka yang berarti
pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat berlindung
dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya.
Allah
Ta'ala berfirman: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka". (Al-Isra': 23)
Seakan-akan
Allah berfirman; Bersopan santunlah kamu kepada orang tua! Dengan demikian ayat
tersebut mengajarkan sikap sopan agar seorang anak tidak menunjukkan sikap
kasar serta menyakitkan hati atau merendahkan kedua orang tua. Allah Ta'ala
berfirman: "Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".
Ini
tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu keharusan bagi anak untuk selalu
mengucapkan perkataan yang baik kepada kedua orang tua dan memperlihatkan
sikap hormat serta menghargai. Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang".
Seolah-olah
sikap rendah diri memiliki sayap dan sayap tersebut direndahkan sebagai
tanda penghormatan dan penyerahan diri dalam arti sikap rendah diri yang
selayaknya diperintahkan kepada kedua orang tua, seba-gai pengakuan tulus
atas kebaikan dan jasa-jasanya.
Allah
Ta'ala berfirman: "Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku kasihilah
me-reka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil". (Al-Isra': 24)
Penyebutan
kondisi masa kecil yang lemah yang membutuhkan perawatan dari kedua orang
tua meng-ingatkan kepada kondisi yang sama yang sedang dialami orang tua
tatkala menginjak lanjut usia yang selalu membutuhkan kasih sayang dan
perawatan semisal. Lalu memohon kepada Allah agar bisa memberi belas-kasih
kepada mereka berdua sebagai pengakuan atas kekurangan dalam memberi
kasihsayang secara sem-purna dan hanya Allahlah yang bisa memberi
kasih-sayang atau perawatan yang sangat sempurna serta hanya Dialah yang
mampu membalas semua kebaikan dengan sempurna yang tidak mungkin bagi anak
untuk melakukannya.
Bukti
kasih sayang Allah banyak sekali yang tampak pada makhluk lain. Suatu
contoh cahaya mata-hari yang menyinari alam semesta, udara yang dihirup
manusia melalui proses paru-paru, air berfungsi untuk minum, masak dan
menyiram tanaman dan kasih sayang ibu terhadap anaknya yang muncul secara
fitrah sebagai bukti nyata kasih sayang Allah Rabb semesta alam.
Orang
mulia dan baik kepada kedua orang tua akan selalu tahu kedudukan serta
kemuliaan orang tua, dia merasakan tatkala mencium tangan ibu atau bapak-nya
seolah-olah dia bersujud dengan ruh dan perasaan-nya laksana bersujud
kepada Allah, dia mendapatkan jati diri yang sebenarnya sebagai suatu
rahasia dalam kehidupan. Semua itu menjadi bukti penghargaan dan
penghormatan kepada kedua orang tua. Allah Ta'la berfirman: "Dan Kami
wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya . Dan
jika kedua-nya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
ke-duanya". (Al-Ankabut: 8).
Orang
tua adalah kerabat terdekat yang mempu-nyai jasa yang tidak terhingga dan
kasih sayang yang besar sepanjang masa sehingga tidak aneh bila hak-haknya
juga besar.
Seorang
anak wajib mencintai, menghormati dan memelihara orang tua walaupun keduanya
musyrik atau berlainan agama, keduanya berhak untuk diberi kebaik-an dan
pemeliharaan bukan mentaati dan mengikuti kesyrikan atau agamanya. Allah
Ta'ala berfirman: "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang ber-tambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun."
(Luqman : 14)
Disebutkan
berulang-ulang serta banyak sekali wasiat untuk seorang anak agar berbuat
baik kepada kedua orang tuanya di dalam Al-Qur'an dan wasiat Rasul
shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak disebutkan wasiat orang tua untuk
berbuat baik terhadap anaknya kecuali sedikit.
Karena
kebaikan dan pengorbanan orang tua berupa jiwa, raga dan kekuatan yang tak
terhitung tanpa berkeluh kesah dan meminta balasan dari anaknya, secara
fitrah(naluri) sudah cukup sebagai pendorong kedua orang tua untuk bersikap
demikian tanpa ditekan dengan wasiat. Adapun anak harus selalu diberi
wasiat dan diingatkan agar senantiasa ingat akan jasa-jasa orang yang selama
ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya dalam
membesarkan dan mendidiknya. Apalagi seorang ibu selama mengandung
mengalami banyak beban berat sebagaimana firman Allah Ta'ala (ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah), ibu lebih banyak
menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya, dan penderitaan di saat
hamil tidak ada yang bisa merasakan payahnya kecuali kaum ibu juga.
Al-Bazzar
meriwayatkan hadits dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang lelaki
yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam: " Apakah dengan ini saya sudah
menunaikan haknya?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
"Belum! Walaupun se-cuil".
Dari
Al-Miqdam bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada
ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwa-siat agar berbuat baik kepada
bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat
baik kepada sanak kerabatmu". (Dishahih-kan oleh Al-Albani dalam
Silsilah Shahihah)
Anak
adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua, kasih sayangnya mengalir di
dalam darah daging keduanya.
Dari
'Aqra' bin Habis sesungguhnya dia melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mencium Hasan, lalu dia berkata: "Sesung-guhnya saya
mempunyai sepuluh orang anak dan saya tidak pernah mencium seorangpun di
antara mereka. Beliau bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa yang tidak
menyayangi maka tidak akan disayang". (Muttafaq 'alaih)
Al-Ahnaf
bin Qais rahimahullah ditanya tentang masalah sikapnya terhadap anak, maka
beliau menjawab: Anak adalah buah hati, belahan jiwa dan tulang punggung,
kita rela terhina bagaikan bumi rela diinjak demi mereka dan bagaikan
langit yang siap menaungi hidup mereka dan kita siap menjadi senjata
pelindung bagi mereka dalam menghadapi marabahaya. Jika mereka minta
sesuatu kabulkanlah dan bila marah cari sesuatu yang menye-nangkan hatinya,
maka mereka akan membalas kasih sayangmu dan berterimakasih atas setiap
pemberian-mu. Janganlah kalian merasa berat dan terbebani oleh anakmu,
sebab mereka akan mengacuhkan hidupmu dan menghendaki kematianmu serta
segan mendekati-mu.
Apabila
seorang anak di mata orang tua keduduk-annya seperti itu, seharusnya anak
menempatkan posisi orang tua tidak kurang dari itu dalam menghormati dan
memuliakan orang tua mereka sebagai bukti balas budi dan pengakuan terhadap
kebaikan yang telah didapat dari orang tua. Di samping tetap melestarikan
kewajiban silaturrahim kepada mereka berdua sesuai ketentuan Kitabullah.
Dari
Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tiga macam doa yang pasti terkabulkan; doa orang tua untuk anaknya,
doa orang musafir dan doa orang yang teraniaya". (Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, Al-Albani).
Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta izin untuk ikut serta
berjihad, maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah
kedua orang tuamu masih hidup? Dia berkata: "Ya, masih hidup".
Beliau bersabda: "Maka berjihadlah dalam (menjaga) keduanya".
Dari
Abu Bakrah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Maukah kalian aku ceritakan tentang dosa yang paling
besar?" Kami menjawab: "Ya wahai Rasu-lullah". Beliau
bersabda:
"Menyekutukan
Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Beliau waktu itu bersandar,
maka terus duduk dan bersabda: "Ketahuilah, dan perkataan dusta".
(Shahihul Jami')
Dari
Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam: Apakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab:
"Shalat pada waktunya." Saya bertanya: "Lalu apalagi?"
Beliau bersabda: "Berbuat baik kepada orang tua". Saya bertanya:
"Kemudian apalagi?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam
bersab-da: "Jihad di jalan Allah". (Muttafaq 'alaih)
Dari
Jabir bin Abdullah sesungguhnya seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah
sesungguhnya saya mempunyai harta dan anak, dan bapak saya meng-inginkan
hartaku. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Engkau
dan hartamu adalah milik bapakmu". (Muttafaq 'alaih).
Dan
petunjuk birrul walidain yang terbaik adalah sikap yang telah ditunjukkan
oleh para nabi 'alaihimus shalatu wa salam sebagai simbol anutan dan
petunjuk bagi setiap manusia.
Nabi
Ismail 'alaihi salam berkata dan ucapannya diabadi-kan dalam firman Allah
Ta'ala: "Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang bersabar". (Ash-Shafaat: 102).
Nabi
Nuh 'alaihi salam berkata juga dan ucapannya dise-butkan dalam firman Allah
Ta'ala: "Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahku dengan beriman". (Nuh: 28)
Nabi
Isa 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
"Dan berbakti kepada ibuku". (Maryam: 32)
Nabi
Yahya 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala demikian yang
disebutkan dalam firman Allah: "Dan banyak berbakti kepada kedua orang
tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka". (Maryam: 14)
Betapa
indahnya bila seorang muslim bisa mencontoh dan mengikuti jejak para nabi.
Wahai
anakku siang malam sepanjang umurku, aku korbankan untukmu agar kalian
berbahagia, kedua orang tuamu letih dan menderita serta hati gundah bila
engkau sedang sakit dan wajahmu pucat. Anakku tercin-ta. Itulah kalimat
yang sering diulang-ulang oleh seorang ibu atau bapak.
Wahai
seorang anak! Ingatlah jasa kedua orang tuamu yang besar tatkala engkau
masih berada dalam kandungan, di saat kau masih bayi dan setelah kau
menginjak remaja hingga engkau menjadi orang dewasa. Sekarang tiba saatnya
kedua orang tuamu membutuh-kan kasih sayang dan perhatian darimu. Sementara
engkau hanya sibuk mengurusi isteri dan anak-anakmu hingga orang tuamu
engkau abaikan, padahal orang arab jahiliyah dulu menganggap aib dan harga
diri jatuh jika ada seorang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Peribahasa-peribahasa Arab menceritakannya, menuduhnya dengan gambaran yang
sangat jelek sekali bahkan memberinya julukan dengan julukan-julukan yang
sangat keji. Akan tetapi kita membaca banyak cerita di zaman sekarang
tentang cerita anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Abu
Ubaidah At-Taimy dalam kitabnya, Al-'Aqaqah wal Bararah menuturkan beberapa
contoh orang-orang yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan beberapa
contoh orang-orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Seorang dari
bani Qurai' bernama Murrah bin Khattab bin Abdullah bin Hamzah pernah mengejek
dan terkadang memukul orang tuanya, se-hingga bapaknya berkata:
Saya
besarkan dia tatkala dia masih kecil bagaikan anak burung yang baru lahir
yang masih lemah tulang-belulangnya. Induknya yang menyuapi makan sampai
melihat anaknya sudah mulai berkulit sempurna.
Dan
contoh lain yang durhaka kepada orang tua-nya adalah putra Umi Tsawab
Al-Hazaniyah, dia durhaka kepada ibunya karena isterinya selalu menghalangi
untuk berbuat baik kepada ibunya, sehingga ibunya mengungkapkan kepedihan
hati dalam sebuah syair:
Saya
mengasuhnya di masa kecil tatkala masih seper-ti anak burung, sementara
induknya yang menyuapi makanan dan melihat kulitnya yang masih baru tumbuh.
Setelah
dewasa dia merobek pakaianku dan me-mukul badanku, apakah setelah masa
tuaku aku harus mengajari etika dan adab.
Dan
juga Yahya bin Yahya bin Said, suatu ketika dia pernah menyusahkan bapaknya
lalu bapaknya meng-hardiknya dengan menulis syair:
Semenjak lahir dan masa bayi yang masih kecil aku
mengasuhmu, dan saya selalu berusaha agar engkau menjadi orang tinggi dan
berkecukupan.
Di malam hari engkau mengeluh sakit hingga tidak
bisa tidur. Keluhan itu membuatku gundah dan ketakutan.
Jiwa selalu gelisah memikirkan keselamatan untuk
dirimu, sebab aku tahu setiap jiwa terancam oleh ke-matian.
Contoh-contoh
di atas merupakan sebagian dari beberapa kasus anak durhaka kepada kedua
orang tua-nya yang terjadi pada masa lampau dan sekarang.
Dan
di dalam sebagian lagu-lagu masyarakat jahili-yah dahulu, yang sering para
wanita lantunkan adalah: Ya Allah, apa yang harus saya perbuat terhadap
anakku yang durhaka, di masa kecil aku dengan susah payah membesarkannya,
setelah menikah dengan seorang putri Romawi dia berbuat semena-mena
terhadapku. Wanita ini mengadu kepada Allah terhadap sikap anaknya yang telah
diasuh dengan susah payah, tetapi setelah menikah dengan wanita nasrani
Romawi, dia melupakan ibunya.
Adapun
contoh orang-orang yang berbuat baik kepada orang tua antara lain; cerita
tiga orang yang terjebak dalam gua, di antara mereka ada yang mengata-kan:
"Tidak ada cara yang mampu menyelamatkan kalian kecuali bertawassul
dengan amal shalih kalian. Seorang di antara mereka berdo'a: "Ya Allah
saya mempunyai dua orang tua yang lanjut usia dan saya sekeluarga tidak
makan dan minum di malam hari sebelum mereka berdua, pada suatu saat saya
pernah pergi jauh untuk suatu keperluan sehingga saya pulang terlambat dan
sesampainya di rumah saya mendapatkan mereka berdua dalam keadaan tidur.
Lalu saya memerah susu untuk malam itu, tetapi mereka berdua masih tetap
tidur pulas, sementara saya tidak suka jika makan dan minum sebelum mereka.
Akhirnya saya menunggu sambil memegang susu hingga mereka berdua
ter-bangun, sampai fajar terbit mereka berdua baru bangun lalu meminum
susu. Ya Allah jika perbuatan yang telah aku kerjakan tersebut termasuk
perbuatan ikhlas karena mencari wajahMu, maka hilangkanlah kesulitan kami
dari batu besar ini, lalu batu itu pun bergeser dari mulut gua.
Masih
banyak contoh-contoh lain tentang orang-orang yang berbakti kepada orang
tua baik di masa lampau maupun sekarang yang tidak mungkin kita ceritakan
seluruhnya, kebaikan tersebut mereka per-sembahkan kepada orang tua sebagai
balasan atas jasa-jasa, perhatian dan pemeliharaan mereka dan sebagai bukti
pengakuan tulus dan akhlak mulia. Ini semua mengharuskan kepada setiap anak
untuk mengingat kebaikan yang selalu mengalir tak ada hentinya hingga akhir
hayat.
Sebagian
orang-orang shalih sebelum berangkat kerja ada yang menyempatkan diri
singgah ke rumah orang tuanya sambil mencium tangannya untuk memin-ta restu
dan menanyakan keadaan serta kesehatan mereka. Lalu berangkat ke tempat
kerja. Sikap mulia dan terpuji ini, sangat baik jika dipraktekkan dalam
kehidupan masyarakat.
Imam
Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hu-rairah bahwa dia berkata bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Celakalah,
celakalah". Beliau ditanya: "Siapa wahai Rasulullah? Beliau
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seseorang yang mendapati orang
tuanya, dan salah satu atau keduanya berusia lanjut, kemudian tidak masuk
Surga".
Dari
Abdullah bin Umar berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tiga orang tidak masuk Surga dan tidak dilihat
Allah pada hari Kiamat; Orang yang durhaka kepa-da orang tua, wanita yang
menyerupai laki-laki dan dayyuts. (HR. Ahmad)
Durhaka
kepada orang tua adalah perbuatan zhalim besar dan sikap tidak tahu diri.
Rasulullah
yang mengajari umat manusia etika dan tata krama mengetahui kedudukan dan
fungsi seorang ibu dan bapak kemudian memberikan petunjuk kepada setiap
orang mukmin agar menjadi umat yang bertang-gung jawab.
Di
antara bentuk birrul walidain setelah orang tuanya meninggal adalah dengan
menyambung hubung-an kerabat dengan teman dan sahabat orang tuanya.
Dari
Abdullah bin Umar berkata sesungguhnya saya mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya perbuatan yang
terbaik adalah me-nyambung hubungan kerabat dengan sahabat orang
tuanya". (Shahihul Jami', Al-Albani)
Bukti
cinta dan berbakti kepada orang tua adalah menghormati dan menjaga hubungan
persahabatan orang tua dengan teman-temannya. Pada saat seseorang
mempererat hubungan persahabatan dengan teman bapaknya, merupakan bukti
dalam berbakti kepada orang tua dan pertanda hasil baik pendidikan orang
tua kepada anak.
Imam
Muslim dalam kitab shahihnya menyebutkan tentang bab keutamaan menyambung
hubungan persa-habatan dengan teman-teman bapak atau ibu. Karena Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya
perbuatan yang terbaik adalah menyambung hubungan persahabatan dengan
saha-bat orang tuanya".
Dan
juga hadits tentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam
meng-hormati teman-teman Khadijah setelah wafatnya.
Para
ulama mengatakan bahwa al-birr bermakna menyambung silaturrahim, menyayangi
dan berbuat ke-baikan serta menjaga persahabatan. Seluruhnya termasuk
bagian inti kebaikan. (Kholid Ar Rasyid)
|
SYUMULIYAH ISLAM
(Kemenyuluruhan Islam)
PENGERTIAN
ISLAM
Pertanyaan
ini menjadi penting untuk dijawab bukan saja untuk meluruskan berbagai
pemahaman tentang Islam yang selama ini salah, keliru atau kurang sempurna,
tapi juga untuk membangun komitmen ke-Islaman yang lebih utuh dalam
kehidupan sehari-hari kita. Yang terjadi selama ini bukan saja adanya
kesenjangan antara pemahaman Islam generasi sekarang dengan pemahaman
generasi sahabat Rasulullah saw tentang Islam, tapi juga ada kesenjangan
antara Islam yang kita yakini sebagai “agama atau jalan hidup” dengan perilaku
sehari-hari kita sebagai “kenyataan hidup.”
Dari
akar katanya dalam bahasa Arab, Islam mempunyai arti-arti berikut:
ketundukan, penyerahan diri, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan. Makna
ketundukan dan penyerahan diri kita temukan, misalnya, dalam ayat ini:
“Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nyalah tunduk (menyerahkan diri) segala apa yang di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah lah mereka
dikembalikan.” (QS: 3: 83)
Makna keselamatan kita temukan, misalnya, dalam ayat
ini : “….Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(QS: 5: 15-16)
Makna kedamaian kita temukan, misalnya, dalam ayat ini : “Dan jika mereka condong kepada
perdamaian, maka condonglah kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: 8: 61)
Makna kesejahteraan kita temukan, misalnya, dalam ayat
ini: “Doa mereka di dalamnya ialah:
“Subhanakallahumma” (Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua itu tidak
dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah), dan salam penghormatan
mereka ialah: “Salam” (kesejahteraan dan kesentosaan). Doa penutup mereka
ialah “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin”(segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam).” (QS: 10: 10).
Ber-Islam,
dengan begitu, berarti menundukkan dan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya,
secara mutlak, kepada Allah swt untuk diatur sesuai dengan kehendak-Nya.
Dan kehendak-kehendak Allah swt itu tertuang secara utuh dalam agama yang
Ia turunkan kepada umat manusia, sebagai petunjuk abadi dalam menjalani
kehidupan mereka di muka bumi, melalui perantara seorang Rasul, Muhammad
saw, yang kemudian Ia beri nama “Islam.”
Asas
ketundukan dan penyerahan diri itu adalah pengakuan yang tulus dari lubuk
hati bahwa kita dan seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah swt. Karena
itu Allah swt berhak mengatur segenap ciptaan-Nya sesuai dengan
kehendak-Nya. Selanjutnya Allah swt menjelaskan kehendak-kehendak-Nya dalam
dua bentuk:
Pertama, kehendak Allah swt yang bersifat pasti,
mutlak dan mengikat seluruh ciptaan-Nya, baik manusia maupun alam. Inilah
yang kemudian kita sebut dengan “Sunnah Kauniyah.” Dalam pengertian ini,
maka seluruh makhluk di jagad ini telah menyatakan ketundukan dan
penyerahan dirinya (ber-Islam) kepada Allah swt.
Perhatikan
firman Allah swt berikut ini :
“Apakah
kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit,
di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, pohon-pohon, binatang-binatang
melata dan sebagian besar dari pada manusia? Dan banyak diantara manusia
yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah
maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa
yang Dia kehendaki.” (QS: 22: 18),
Kedua, kehendak Allah swt yang bersifat pilihan,
berupa aturan-aturan dan pranata sistim bagi kehidupan manusia. Inilah yang
kemudian kita sebut “Syariat atau Agama.” Inilah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya :
“Kemudian
kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS: 45:18)
Manusia
dan alam tidak bisa melepaskan diri dari kodrat sebagai ciptaan. Karena itu
setiap penolakan terhadap kehendak-kehendak Allah swt, baik yang “kauniyah”
maupun yang “syar’iyah”, selalu berarti pembangkangan terhadap Sang
Pencipta, penyimpangan dari garis kebenaran, isolasi dan benturan dengan
alam. Ujung dari pembangkangan itu adalah bahwa manusia selamanya akan
tertolak oleh Allah, alam semesta dan disharmoni dalam hubungan antar
sesama manusia. Simaklah bagaimana Allah menolak mereka:
“Barangsiapa
mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS:
3: 85)
Sekarang
simaklah bagaimana alam mengisolasi mereka :
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS: 7: 96)
“Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, maka adalah ia
seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan
angin ke tempat yang jauh.” (QS: 22: 31)
Akan tetapi,
apabila kehendak-kehendak Allah swt yang diturunkan dalam bentuk syariat
atau aturan dan pranata sistim bagi kehidupan manusia, maka itu berarti
bahwa Islam – yang kemudian menjadi nama bagi syariat tersebut – adalah
jalan hidup, atau suatu sistim yang diturunkan Allah agar manusia menata
kehidupannya dengan sistim itu.
Jadi,
Islam bukan hanya ritual-ritual belaka yang kita lakukan sebagai sebentuk
ketundukan kepada Allah swt. Islam jauh lebih luas dari sekedar ritual
belaka. Islam adalah sistim kehidupan yang lengkap dan paripurna serta
bersifat unversal. Ia mengatur kehidupan kita sejak kita bangun dari tidur
sampai kita tidur kembali. Ia menata kehidupan kita sebagai individu dan
masyarakat. Menata ibadah kita seperti ia menata ekonomi dan politik kita.
Ia menata hukum kita seperti ia menata kehidupan social budaya kita. Ia
adalah Qur’an dan pedang, masjid dan pasar, agama dan negara, iman dan
ilmu, ibadah dan seni.
Allah
S.W.T sebagai pencipta manusia, maka Dia pulalah yang paling mengetahui apa
yang dibutuhkan manusia untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Maka
hak prerogatif Allah untuk mengatur manusia (Hakimiyyatullah) bukan saja
datang kodrat-Nya sebagai Pencipta, tapi juga pengetahuan dan keadilan-Nya.
Dan karena itu pula, penyerahan diri kita kepada-Nya bukan lahir dari
pengakuan akan kepenciptaan-Nya, tapi lahir dari pengetahuan kita tentang
pengetahuan dan keadilan-Nya serta ungkapan rasa syukur atas karunia
terbesar-Nya, yaitu agama Islam.
“Sesungguhnya
Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus” (QS: 17: 9)
“Dan
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia akan terbebas dari rasa
takut dan tiada pula mereka akan bersedih.” (QS: 2: 38)
“Dan
berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS: 28:
77).
|
KARAKTERISTIK ISLAM
Sebagai
sebuah sistim, Islam mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan
sistim-sistim yang lain. Karakteristik adalah ciri-ciri umum yang menjadi
bingkai dari keseluruhan ajaran Islam. Cara pandang Islam terhadap berbagai
permasalahan eksistensial seperti Tuhan, alam, manusia dan kehidupan, serta
interpretasinya terhadap berbagai peristiwa selamanya akan berada dalam
bingkai ciri-ciri umum tersebut. Karakteristik ini pula yang kemudian
menjadi letak keunggulan Islam terhadap sistim-sistim lainnya. Ciri-ciri
umum tersebut adalah rabbaniyah, syumuliyah, insaniyah, tsabat, tawazun,
waqi’iyyah, ijabiyyah.
Rabbaniyyah
Rabbaniyyah
adalah nisbat kepada kata Rabb yang berarti Tuhan. Artinya Islam ini adalah
agama atau jalan hidup yang bersumber dari Tuhan. Ia bukan kreasi
manusia,juga bukan kreasi nabi yang membawanya. Maka Islam adalah jalan
Tuhan. Tugas para nabi adalah menerima, memahami dan menyampaikan ajaran
itu kepada umat manusia :
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya.” (QS: 5: 67)
Sumber
ajaran merupakan titik perbedaan paling signifikan antara berbagai
ideologi. Sumber ajaran Islam adalah Allah swt, Tuhan semesta alam, Tuhan
yang menciptakan manusia dan yang paling mengetahui hakikat manusia serta
apa saja yang dibutuhkannya; kebutuhan fisik, ruh dan akalnya. Ia adalah
sumber yang terpercaya yang memiliki semua hak dan kelayakan untuk mengatur
manusia. Kekuatan sumber itu melahirkan rasa aman untuk menerima kebenaran
dan menghilangkan keraguan. Ia bukan saja mambawa kebenaran mutlak, tapi
juga terjaga validitasnya sepanjang masa.
“Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi ragu
(menerimanya).” (QS: 2:147 ).
Semua
ideologi lain memiliki kelemahan mendasar karena sumbernya adalah manusia
yang tidak pernah bisa membebaskan diri dari hawa nafsu, katerbatasan,
kelemahan dan ketidakberdayaan. Ideologi manusia tidak pernah sanggup
melampaui hambatan ruang dan waktu dan dengan mudah menjadi usang dan
dibuang ke ruang masa lalu oleh ketidaksesuaian.
Syumuliyyah
Artinya
ajaran ini mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia; dari pribadi,
keluarga, masyarakat hingga negara; dari sosial, ekonomi, politik, hukum,
keamanan, lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan; dari etnis Arab ke
Parsi hingga seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistim hingga akhlak;
dari Adam hingga manusia terakhir; dari sejak kita bangun tidur hingga kita
tidur kembali; dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Jadi
kecakupan Islam dapat kita dari beberapa dimensi; yaitu dimensi waktu,
dimensi demografis, dimensi geografis dan dimensi kehidupan.
Yang
dimaksud dengan dimensi waktu adalah bahwa Islam telah diturunkan Allah swt
sejak Nabi Adam hingga mata rantai kenabian ditutup pada masa Rasulullah
Muhammad saw. Dan Islam bukan agama yang hanya diturunkan untuk masa hidup
Rasulullah saw, tapi untuk masa hidup seluruh umat manusia di muka bumi :
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa rosul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur. (QS: 3: 144)
Yang
dimaksud dengan dimensi demografis adalah bahwa Islam diturunkan untuk
seluruh umat manusia dengan seluruh etnisnya, dan bahwa mereka semua sama
di mata Allah swt sebagai ciptaan-Nya dan dibedakan satu sama lain karena
asas ketakwaan :
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: 49: 13)
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS: 34: 28)
Yang
dimaksud dengan dimensi geografis adalah bahwa ajaran Islam diturunkan
untuk diterapkan di seluruh penjuru bumi. Maka Islam tidak dapat diidentikkan
dengan kawasan Arab (Arabisme), karena itu hanya tempat lahirnya. Islam
tidak mengenal sekat-sekat tanah air, sama seperti ia tidak mengenal
batasan-batasan etnis.
“Ingatlah
ketika Tuhamu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami, senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman; ”Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS: 2: 30)
“Al-Qur’an
itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) Bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (QS: 81: 27-28)
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. (QS: 21: 107)
Yang
dimaksud dengan dimensi kehidupan adalah bahwa Islam membawa ajaran-ajaran
yang terkait dengan seluruh dimensi kehidupan manusia; sosial, ekonomi,
politik, hukum, keamanan, pendidikan, lingkungan dan kebudayaan. Itulah
sebabnya Allah swt menyuruh berislam secara kaffah, atau berislam dalam
semua dimensi kehidupan kita.
”Hai
orang-orang yang berirman masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan jangankah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya Syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS: 2: 208)
Ini
pula yang dimaksud Allah swt bahwa Ia telah menyempurnakan agama ini dan
karena itu meridhoinya sebagai agama terbaik bagi umat manusia :
“Hari
ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan Ku-sempurnakan nikmat-Ku
terhadapmu, dan Kuridhai Islam sebagai agamamu.” (QS: 5: 3)
Insaniyyah
Artinya
bahwa ajaran Islam mendudukan manusia pada posisi kunci dalam struktur
kehidupan ini. Manusia adalah pelaku yang diberi tanggungjawab dan wewenang
untuk mengimplementasikan kehendak-kehendak Allah swt dimuka bumi
(khalifah). Maka Allah swt memberi penghormatan tertinggi kepada manusia
dalam firman-Nya :
“Dan
sesunguhnya kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.” (QS: 17: 70)
Selanjutnya
Allah swt menyusun ajaran-ajaran Islam sedemikian rupa sesuai dengan fitrah
dasar manusia :
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas )
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. ( QS: 30:30)
Islam
datang untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan sesama manusia. Di
hadapan Rustum menjelang Perang Qadisiyah, Rub’i bin ‘Amir menjelaskan misi
itu ketika beliau berkata: “Kami datang untuk membebaskan manusia dari
penghambaan kepada manusia yang lain.”
Hak
asasi manusia - dalam semua bentuknya - merupakan bagian paling inheren
dalam keseluruhan ajaran-ajaran Islam. Hak-hak asasi itu merupakan
seperangkat kondisi dan wilayah kewenangan yang mutlak dibutuhkan manusia
untuk menjalankan misinya dalam kehidupan ini. “Sejak kapan kamu
memperbudak manusia, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam
keadaan bebas?”, kata Umar Bin Khattab kepada ‘Amru Bin ‘Ash saat puteranya
menampar wajah seorang warga Qibthy (Kristen).
Tsabat
dan Tathawwur
Tsabat
artinya permanen, sedang Tathawwur artinya pertumbuhan. Ciri permanensi
adalah turunan dari ciri Rabbaniyyah. Maksudnya adalah bahwa Islam membawa
ajaran yang berisi hakikat-hakikat besar yang bersifat tetap dan permanen
dan tidak akan pernah berubah dalam semua ruang dan waktu. Hakikat-hakikat
itu melampaui batas-batas ruang dan waktu serta bersifat abadi.
Seperti
hakikat abadi tentang wujud dan keesaan Allah, hakikat penyembahan kepada
Allah, hakikat alam sebagai ciptaan dan wadah fisik bagi kehidupan kita,
hakikat manusia sebagai makhluk yang paling terhormat karena misi
khilafahnya, hakikat iman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab suci dan
takdir baik dan buruk serta hari akhirat adalah syarat diterimanya semua
amal manusia, hakikat ibadah sebagai tujuan hidup manusia, hakikat aqidah
sebagai ikatan komunitas Muslim, hakikat dunia sebagai tempat ujian,
hakikat Islam sebagai agama satu-satunya yang diterima Allah.
Semua
hakikat itu bersifat abadi dan permanen dan tidak berubah karena faktor
ruang dan waktu. Hakikat-hakikat dasar dan nilai-nilai itu bukan saja tidak
dapat berubah, tapi juga tidak mungkin bertumbuh; sebagaimana realitas dan
pola-pola kehidupan manusia terus berubah dan bertumbuh.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas )
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS: 30:30).
Itu
sama sekali tidak berarti bahwa Islam mengebiri dan membekukan gerakan
pemikiran dan kehidupan secara keseluruhan. Yang dilakukan Islam hanyalah
memberi bingkai (frame of reference) di dalam mana pemikiran dan kehidupan
manusia bergerak dan bertumbuh. Dalam bingkai itulah kaum Muslimin bergerak
dan berkreasi, menghadapi tantangan perubahan hidup secara pasti dan
elastis, bermetamorfosis secara teratur dan terarah, bertumbuh secara
dinamis dan terkendali.
Bingkai
seperti ini mutlak dibutuhkan untuk menciptakan rasa aman dan kepastian,
keterarahan dan keutuhan, konsistensi dan kesinambungan. Kalau ada rahasia
di balik soliditas dunia Islam selama lebih dari seribu tahun, itu karena
adanya frame of reference tersebut. Itu kekuatan ideologi dan spiritual
yang senantiasa memproteksi Islam dari penyimpangan dan keusangan.
“Andai
kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan
bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan tetapi mereka berpaling dari
kebanggaan itu. (QS: 23: 71)
Tawazun
Artinya
keseimbangan. Ajaran-ajaran Islam seluruhnya seimbang dan memberi porsi
kepada seluruh aspek kehidupan manusia secara proporsional. Tidak ada yang
berlebihan atau kekurangan, tidak ada perhatian yang ekstrim terhadap satu
aspek dengan mengorbankan aspek yang lain. Karena semua aspek itu adalah
satu kesatuan dan menjalankan fungsi yang sama dalam struktur kehidupan
manusia.
Ada
keseimbangan antara bagian-bagian yang bersifat fisik (zahir) dan metafisik
(gaib) dalam keimanan. Ada keseimbangan antara kecondongan kepada
materialisme dan spiritualisme dalam kehidupan. Ada keseimbangan antara
aspek ketegasan hukum dan persuasi moral dalam bernegara. Ada keseimbangan
antara Sunnah Kauniyah yang eksak dan pasti dengan kehendak Allah yang
tetap bebas dan tidak terbatas (seperti dalam kasus istri nabi Ibrahim yang
melahirkan di usia yang sangat tua, atau Maryam yang melahirkan tanpa
proses biologis normal, atau pendinginan api bagi Ibrahim dan lainnya,
semua ini tanpa harus mengganggu kepastian gerak alam yang dapat
diobservasi oleh manusia secara empiris). Ada keseimbangan antara ibadah
yang bersifat mahdhah (khusus) dengan ibadah dengan wilayah yang luas.
“Dan
segala sesuatunya Kami ciptakan dengan kadarnya masing-masing.” (QS 54:49)
“Engkau
takkan penah menemukan pada ciptaan Allah Yang Maha Pengasih sesuatu yang
tidak seimbang.” (QS: 67: 3).
Ciri
keseimbangan ini telah memproteksi Islam dari keterpecahan dan dikhotomi
yang selalu ada dalam ideologi lainnya. Ada spiritualisme yang ekstrim
dalam gereja di abad pertengahan, tapi juga ada materialisme yang ekstrim
pada kaum sekuler. Ada porsi kelompok yang berlebihan dan sosialisme, tapi
juga ada porsi individu yang ekstrim dalam kapitalisme liberal. Ini
menciptakan pertentangan-pertentangan dalam struktur ideologi dan
senantiasa mewariskan kegoncangan psikologis akibat ketidakutuhan dalam
diri pada pemeluknya.
Waqi’iyyah
Artinya
realisme. Islam diturunkan untuk berinteraksi dengan realitas-realitas
obyektif yang nyata-nyata ada sebagaimana ia adanya. Selain itu
ajaran-ajarannya didesign sedemikian rupa yang memungkinkannya diterapkan
secara nyata dalam kehidupan manusia. Ia bukan nilai-nilai ideal yang enak dibaca
tapi tidak dapat diterapkan. Ia merupakan idealisme yang realistis, tapi
juga realisme yang idealis.
Tuhan
adalah realitas obyektif yang benar-benar wujud dan wujud-Nya diketahui
melalui ciptaan-Nya dan kehendak-Nya diketahui melalui gerakan alam. Alam
dan manusia juga realitas obyektif.
“Sesungguhnya
Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikianlah ialah Allah, maka mengapa
kamu masih berpaling. Dia menyingsingkan pagi dan manjadikan malam untuk
beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah
ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS: 6: 95-96)
Tapi
konsep Islam juga didesign sesuai dengan realitas obyektif manusia, kondisi
ruang dan waktu yang melingkupinya, hambatan internal dan eksternalnya,
potensi ril yang dimiliki manusia untuk menjalani hidup. Islam memandang
manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya; dengan ruh, akal dan
fisiknya; dengan harapan-harapan dan ketakutannya; dengan mimpi dan
keterbatasannya. Lalu berdasarkan itu semua Islam menyusun konsep hidup
ideal yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata manusia dengan
segenap potensi yang dimilikinya. Islam bukan idealisme yang tidak
mempunyai akar dalam kenyataan.
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”.(QS: 2:
286.)
Ijabiyyah
Artinya
sikap positif dalam menjalani kehidupan sebagai lawan dari pesimisme dan
fatalisme. Keimanan bukanlah sesuatu yang beku dan kering yang tidak
sanggup menggerakkan manusia. Keimanan adalah sumber tenaga jiwa yang
mendorong manusia untuk merealisasikan kebaikan dan kehendak Allah dalam
kehidupan ril. Islam memandang bahwa keimanan yang tidak dapat mendorong
manusia untuk bekerja mengeksplorasi potensi alam dan potensi dirinya untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik, adalah keimanan yang negatif dan
fatal.
Itulah
sebabnya Islam memberi penghargaan besar kepada kerja sebagai bukti sikap
positif dan dinamika dalam mengelola kehidupannya. Allah swt berfirman:
“Katakanlah:
“Bekerjalah kamu! Nanti Allah akan menyaksikan pekerjaanmu bersama
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (QS: 9:105 ).
|
Amalan Pelebur Dosa
Tumpukan
dosa yang menggumpal bukan berarti tak bisa dihapus. Beragam kebaikan yang
dilakukan dengan ikhlas mampu meleburnya.
Kesalahan
bisa dilakukan siapa saja. Tak terkecuali ahli ibadah sekalipun. Karenanya,
orang yang terbaik bukan mereka yang tak pernah terjerembab dalam
kekeliruan. Tapi, mereka yang selalu menyadari kesalahannya, lalu
bertaubat. Dan tidak menunda walau sedetik pun.
“Langsung
bertaubat dari dosa merupakan keharusan yang tak bisa ditunda-tunda. Jika
taubat ditunda, ia akan memunculkan durhaka lain akibat penundaan itu,”
kata Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Begitu
pentingnya taubat karena ia adalah gerbang segala ampunan. Ia adalah wujud
pengakuan hamba atas dosanya, dan jembatan pengakuan Allah bagi
ampunan-Nya. Taubatlah yang menjadi kunci kebaikan untuk menghapus dosa
kesalahan seorang hamba. Allah berfirman, “…Kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka
diganti dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,” (QS Furqan: 70).
Setelah
gerbang ampunan terbuka, ibadah berikutnya yang bisa melebur dosa adalah
sedekah, baik yang dilakukan dengan terang-terangan maupun secara
sembunyi-sembunyi. Allah berfirman, “Jika kamu menampakkan
sedekah(mu)
maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu
berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi
kamu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu,
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS al-Baqarah: 271).
Rasulullah
saw bersabda, “…sedekah itu mematikan (melebur) kesalahan dan takwa itu
membunuh kesalahan seperti air memadamkan api,” (HR Thabrani).
Sedekah
berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah
adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariah,
pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, baik hukum maupun
ketentuan-ketentuan umum lainnya. Hanya saja, jika infak cenderung
berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga
hal yang bersifat non-materi. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar,
Rasulullah saw menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta,
maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan
suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar juga sedekah.
Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw menyebutkan
bahwa tersenyum kepada saudara yang lain, itu sedekah.
Lebih
luas lagi, kata sedekah yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagian dimaksudkan
zakat (QS at-Taubah: 60 dan 103). Hanya saja, walaupun seseorang telah
berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, ia sangat dianjurkan untuk
berinfak dan bersedekah. Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (QS
al-Baqarah: 3), ciri Mukmin yang sungguh-sungguh imannya (QS al-Anfal:
3-4), ciri Mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (QS Faathir: 29).
Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah SWT (QS al-Baqarah:
262).
Sebaliknya,
tidak mau berinfak sama dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan (QS al-Baqarah:
195).
Di
antara keutamaan zakat adalah, termasuk indikator tingginya keimanan
seseorang, mengundang pertolongan dan rahmat Allah SWT (QS al-Hajj:
40-41
dan QS at-Taubah: 71), membersihkan harta (QS at-Taubah: 103),
mengembangkan harta (QS ar-Ruum: 39), dan mendistribusikan harta sehingga
lenyap jurang antara kaya dan miskin (QS al-Hasyr: 7).
Ibadah
lainnya yang masih berkaitan langsung dengan harta dan pahalanya mampu
melebur dosa adalah jihad. Jihad di jalan Allah yang dilakukan dengan
ikhlas bisa melebur dosa. Baik yang dilakukan dengan harta maupun jiwa.
Allah berfirman, “…(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik
bagi kamu jika kamu mengetahui, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu
dan memasukkan ke dalam surga…” (QS ash-Shaff: 11-12).
Karenanya,
para sahabat Rasulullah saw selalu berlomba menyambut seruan jihad. Kendati
mereka sudah menginfakkan harta, tapi itu tak membuat mereka puas untuk
tidak ikut berjuang di jalan Allah. Bagi mereka, syahid di jalan Allah
adalah kunci utama untuk mendapatkan ampunan Allah. Dari Abu Hurairah
Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mati syahid akan diampuni dosanya pada
percikan darah yang pertama, dan akan dikawinkan dengan dua bidadari dan
akan memberi syafaat tujuh puluh dari anggota keluarganya…,” (HR Thabrani).
Untuk
itu, niat berjihad harus selalu ada dalam benak kaum Muslimin.
Namun,
bagi mereka yang tidak sempat berjihad bukan berarti pintu melebur dosa
tertutup. Ibadah sehari-hari yang kita lakukan dengan ikhlas dan sesuai
tuntutan Rasulullah saw, juga bisa menghapus dosa.
Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, maka
dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni. Sedangkan shalatnya, jalannya
menuju masjid adalah amalan tambahan,” (HR Muslim dan Nasai).
Dalam
hadits yang diriwayatkan Thabrani dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya,
Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang
pergi ke masjid (untuk shalat) berjamaah, maka satu langkah bisa menghapus
kesalahannya, dan satu langkah (yang lain) ditulis sebagai kebaikan
(untuknya) selama pergi dan pulang.”
Begitu
juga dengan ibadah-ibadah lainnya. Shalat merupakan kaffarah
(penebus)
atas dosa dan kesalahan seorang hamba. Perumpamaan orang yang melakukan
shalat lima waktu sehari semalam ibarat orang yang di depan rumahnya
mengalir sungai dan ia mandi lima kali sehari. Tak akan ada kotoran yang
tersisa. “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu. Dengan shalat itu Allah
akan melebur kesalahan-kesalahan (hamba-Nya),” ujar Rasulullah saw seperti
diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi bahwa Rasulullah saw
menegaskan, “Shalat lima waktu, shalat Jum’at menuju Jum’at berikutnya
adalah pelebur dosa di antara mereka, selama dosa-dosa besar tidak
dilanggar.”
Ibadah
puasa yang dilakukan dengan penuh keimanan dan hanya mengharap ridha Allah,
bisa melebur dosa. “Barangsiapa puasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas
(mencari pahala karena Allah) maka diampunilah dosanya yang sudah lewat,”
(HR Bukhari Muslim).
Apalagi
jika puasa Ramadhan diikuti dengan puasa Syawal enam hari setelahnya.
“Barangsiapa yang puasa Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari
di bulan Syawal, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia
dilahirkan ibunya,” demikian sabda Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan
Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath-nya.
Puasa
ayyamul bidh (tiga hari setiap pertengahan bulan hijriyah) juga bisa
menjadi pelebur dosa. Dalam Mu’jam al-Kabir-nya Thabrani meriwayatkan, dari
Maimunah binti Sa’ad bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dari setiap bulan tiga
hari, barangsiapa yang mampu melaksanakannya maka (pahala) setiap harinya
bisa melebur sepuluh kali kesalahan dan dia bersih dari dosa seperti air
membersihkan pakaian.”
Kalau
ibadah harian (seperti shalat), bulanan (seperti puasa sunnah), atau
tahunan (seperti puasa Ramadhan) mampu melebur dosa, begitu juga dengan
ibadah haji yang diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu.
Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan haji, lalu tidak berbicara
kotor dan tidak fasik, dia akan kembali (diampuni) dari dosanya sebagai
mana ia dilahirkan ibunya,” (HR Bukhari Muslim).
Begitulah
kesempurnaan Islam dan keutamaan umat Nabi Muhammad.
Hari-harinya
penuh dengan pahala yang mampu melebur dosa kesalahannya.
Bahkan,
pelebur dosa itu kadang bukan datang dari ibadah mahdhah yang kita lakukan.
Musibah yang dihadapi dengan tabah dan sabar juga mampu mendatangkan
ampunan Allah. “Tidaklah menimpa seorang Mukmin suatu kepayahan dan tidak
pula penyakit yang langgeng, tidak pula duka cita, dan tidak pula
kesusahan, tidak pula penyakit dan tidak pula kesedihan sampai duri yang
mengenai dirinya kecuali Allah akan mengampuni kesalahannya dengan musibah
itu,” (HR Bukhari Muslim).
Muamalah
sesama manusia yang dilakukan dengan akhlak yang baik juga mampu mengikis
tumpukan dosa. “Akhlak yang baik bisa menghancurkan kesalahan-kesalahan
sebagaimana matahari mencairkan es,” (HR Thabrani dan Baihaqi). Dalam
hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Tirmidzi, Nabi kembali menegaskan, “Tak
ada dua orang Islam yang saling bertemu, lalu keduanya saling berjabat
tangan kecuali Allah akan mengampuni keduanya sebelum berpisah.”
Subhanallah.
Betapa mulia Islam. Tak ada tindakan umatnya yang sia-sia jika dilakukan
sesuai tuntunan Rasulullah saw. Desah napas kebaikan yang kita hembuskan
semua bernilai pahala. Ibadah-ibadah ringan yang selama ini sering kita
anggap remeh nyatanya mampu menjadi godam palu yang bisa melebur bongkahan
dosa
|
ADAB PENUNTUT ILMU
Menuntut
ilmu adalah satu keharusan bagi kita kaum muslimin. Banyak sekali dalil
yang menunjukkan keutamaan ilmu, para penuntut ilmu dan yang
mengajarkannya.
Adab-adab
dalam menuntut ilmu yang harus kita ketahui agar ilmu yang kita tuntut
berfaidah bagi kita dan orang yang ada di sekitar kita sangatlah banyak.
Adab-adab tersebut di antaranya adalah:
1.
Ikhlas karena Allah I .
Hendaknya
niat kita dalam menuntut ilmu adalah kerena Allah I dan untuk negeri
akhirat. Apabila seseorang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan gelar agar
bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi atau ingin menjadi orang yang
terpandang atau niat yang sejenisnya, maka Rasulullah e telah memberi
peringatan tentang hal ini dalam sabdanya e :
"Barangsiapa
yang menuntut ilmu yang pelajari hanya karena Allah I sedang ia tidak
menuntutnya kecuali untuk mendapatkan mata-benda dunia, ia tidak akan
mendapatkan bau sorga pada hari kiamat".( HR: Ahmad, Abu,Daud dan Ibnu
Majah
Tetapi
kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan syahadah (MA
atau Doktor, misalnya ) bukan karena ingin mendapatkan dunia, tetapi karena
sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis kalau seseorang yang memiliki
pendidikan yang lebih tinggi, segala ucapannya menjadi lebih didengarkan
orang dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah -
termasuk niat yang benar.
2.Untuk
menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.
Semua
manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk meng-hilangkan
kebodohan dari diri kita, setelah kita menjadi orang yang memiliki ilmu
kita harus mengajarkannya kepada orang lain untuk menghilang kebodohan dari
diri mereka, dan tentu saja mengajarkan kepada orang lain itu dengan
berbagai cara agar orang lain dapat mengambil faidah dari ilmu kita.
Apakah
disyaratkan untuk memberi mamfaat pada orang lain itu kita duduk dimasjid
dan mengadakan satu pengajian ataukah kita memberi mamfa'at pada orang lain
dengan ilmu itu pada setiap saat? Jawaban yang benar adalah yang kedua;
karena Rasulullah e bersabda :
"Sampaikanlah
dariku walupun cuma satu ayat (HR: Bukhari)
Imam
Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar. Para
muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab: ia
berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.
3.
Berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari'at.
Sudah
menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu untuk
membela syari'at. Karena kedudukan syari'at sama dengan pedang kalau tidak
ada seseorang yang menggunakannya ia tidak berarti apa-apa. Penuntut ilmu
harus membela agamanya dari hal-hal yang menyimpang dari agama (bid'ah),
sebagaimana tuntunan yang diajarkan Rasulullah e. Hal ini tidak ada yang bisa
melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar, sesuai petunjuk
Al-Qor'an dan As-Sunnah.
4.
Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.
Apabila
ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu
dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan
persoalaan aqidah, karena persoalaan aqidah adalah masalah yang tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan salaf. Berbeda dalam masalah ijtihad,
perbedaan pendapat telah ada sejak zaman shahabat, bahkan pada masa
Rasulullah e masih hidup. Karena itu jangan sampai kita menghina atau
menjelekkan orang lain yang kebetulan berbeda pandapat dengan kita.
5.
Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Termasuk
adab yang tepenting bagi para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang
telah diperoleh, karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu aqidah,
ibadah, akhlak maupun muamalah. Karena orang yang telah memiliki ilmu
adalah seperti orang memiliki senjata. Ilmu atau senjata (pedang) tidak
akan ada gunanya kecuali diamalkan (digunakan).
6.
Menghormati para ulama dan memuliakan mereka.
Penuntut
ilmu harus selalu lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat yang
terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama
yang kebetulan keliru di dalam memutuskan suatu masalah. Mengumpat orang
biasa saja sudah termasuk dosa besar apalagi kalau orang itu adalah seorang
ulama.
7.
Mencari kebenaran dan sabar
Termasuk
adab yang paling penting bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah
mencari kebenaran dari ilmu yang telah didapatkan. Mencari kebenaran dari
berita berita yang sampai kepada kita yang menjadi sumber hukum. Ketika
sampai kepada kita sebuah hadits misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu
tentang keshahihan hadits tersebut. Kalau sudah kita temukan bukti bahwa
hadits itu adalah shahih, kita berusaha lagi mencari makna (pengertian )
dari hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini kita harus sabar, jangan
tergesa-gasa, jangan cepat merasa bosan atau keluh kesah. Jangan sampai
kita mempelajari satu pelajaran setengah-setengah, belajar satu kitab
sebentar lalu ganti lagi dengan kitab yang lain. Kalau seperti itu kita
tidak akan mendapatkan apa dari yang kita tuntut.
Di
samping itu, mencari kebenaran dalam ilmu sangat penting karena
sesungguhnya pembawa berita terkadang punya maksud yang tidak benar, atau
barangkali dia tidak bermaksud jahat namun dia keliru dalam memahami sebuah
dalil.Wallahu 'Alam.
Dikutip
dari " Kitabul ilmi" Syaikh Muhammad bin Shalih Al'Utsaimin
.(Abu
Luthfi)
|
7 Indikator Kebahagiaan Dunia
Ibnu
Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam
menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus
didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah
hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh
para Tabi'in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang
dimaksud dengan kebahagiaan dunia.
Jawab
Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama,
Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki
jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona'ah), sehingga tidak
ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang
selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami
sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah
terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.
Bila
sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu :
"Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari
kita". Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak
amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang
lebih besar lagi. Bila ia tetap "bandel" dengan terus bersyukur
maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.
Maka
berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua.
Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan
hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh
pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta
pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan.
Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang
pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim
yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki
kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa
buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang
memiliki seorang istri yang sholeh.
Ketiga,
al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat
Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda
yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya
kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" Jawab anak muda
itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang
sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan
dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau
ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya". Lalu
anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk
kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?"
Nabi
SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: "Sungguh Allah ridho
kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah,
cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu". Dari hadist tersebut
kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk
membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa
memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh
kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila
memiliki anak yang sholeh.
Keempat,
albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
Yang
dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal
siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah
orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam
sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan
orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak
kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.
Orang-orang
sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam
yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut
akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.
Berbahagialah
orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima,
al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma
dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini
tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam
riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu
dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. "Kamu berdoa
sudah bagus", kata Nabi SAW, "Namun sayang makanan, minuman dan
pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya
dikabulkan". Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena
doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan
setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga
memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang
selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam,
Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat
memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam.
Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh
lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.
Allah
menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar
semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan
rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.
Semangat
memahami agama akan meng "hidup" kan hatinya, hati yang
"hidup" adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan
nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu
agama Islam.
Ketujuh,
yaitu umur yang baroqah.
Umur
yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap
detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk
kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak
bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa
dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus
pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk
berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan,
hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya.
Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk
akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk
bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan
Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini,
bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan
berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat "hidup"
orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang
umurnya baroqah.
Demikianlah
pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana
caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan
dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka
mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu' mungkin membaca
doa `sapu jagat' , yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW.
Dimana baris pertama doa tersebut "Rabbanaa aatina fid dun-yaa
hasanaw" (yang artinya "Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan
dunia "), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke
tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati
yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman
atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami
ajaran agama, dan umur yang baroqah.
Walaupun
kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita,
setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita
syukuri.
Sedangkan
mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu "wa fil aakhirati
hasanaw" (yang artinya "dan juga kebahagiaan akhirat"),
untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu
bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah
sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh
kita, tetapi karena rahmat Allah.
Amal
soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan
sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal
soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah
sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.
Kata
Nabi SAW, "Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian
ke surga". Lalu para sahabat bertanya: "Bagaimana dengan Engkau
ya Rasulullah ?". Jawab Rasulullah SAW : "Amal soleh saya pun
juga tidak cukup". Lalu para sahabat kembali bertanya : "Kalau
begitu dengan apa kita masuk surga?". Nabi SAW kembali menjawab :
"Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah
semata".
Jadi
sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk
surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah
kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin)
|
|