KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG
POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW. DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN
(SUATU KAJIAN HISTORIS)
Marzuki, M.Ag.
Abstrak
Permasalahan pokok dalam penelitian
ini adalah bagaimana gambaran kedudukan perempuan pada masa Nabi Muhammad
Saw. dan masa Khulafaur Rasyidin. Sedang masalah yang kedua adalah
sejauhmana keterlibatan perempuan dalam bidang politik pada masa Nabi
Muhammad Saw. dan masa Khulafaur Rasyidin serta problem apa saja yang dihadapi
perempuan pada waktu itu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengungkap dan mencari jawaban atas kedua masalah tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian
merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang didasarkan pada kajian
kepustakaan (library research). Data penelitian yang berisi
informasi-informasi tentang keterlibatan perempuan dalam bidang politik
pada masa Nabi Muhammad Saw. dan masa Khulafaur Rasyidin diperoleh dari
literatur Islam yang berupa hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. dan buku-buku
sejarah Islam atau buku-buku politik Islam yang mengungkap permasalahan
tersebut. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan teknik
analisis induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kondisi perempuan di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah sebelum
kedatangan Islam secara umum suram. Perempuan dihina, diperlakukan secara
kasar, dan direndahkan martabatnya, bahkan perempuan dipandang sebagai
perwujudan dosa, kesialan, aib, dan hal-hal lain yang memalukan. Pada masa
ini perempuan tidak memiliki hak politik sama sekali. Islam datang membawa
angin segar bagi kaum perempuan. Islam menempatkan kedudukan perempuan pada
proporsinya dengan mengakui kemanusiaan perempuan dan mengikis habis
kegelapan yang dialami perempuan sepanjang sejarah serta menjamin hak-hak
perempuan. Pada masa Nabi Muhammad Saw. kaum perempuan sudah memainkan
peran-peran politis dalam rangka menegakkan kalimat-kalimat Allah, seperti
melakukan dakwah Islam, ikut berhijrah bersama Nabi, berbai’at kepada Nabi
Saw., dan melakukan jihad atau ikut serta dalam peperangan bersama-sama
kaum laki-laki. Kaum perempuan juga aktif memainkan peran-peran politis
pada masa Khulafaur Rasyidin. Ummahat al-Mu’minin menjadi motor penggerak
kaum perempuan pada waktu itu untuk aktif dalam peran-peran politik
tersebut. Di antara problem yang dihadapi perempuan dalam melakukan
peran-peran politis pada masa Nabi adalah tekanan kaum kafir Quraisy Makkah
di awal dakwah Islam, kelemahan fisik mengingat begitu beratnya aktivitas
yang dilakukan untuk berhijrah dan berjihad misalnya, serta kehilangan
keluarga dan harta serta kampung halaman. Namun demikian, problem-problem
seperti ini tidak menghalangi peran-peran perempuan di dunia politik.
Problem besar yang dihadapi pada masa Khulafaur Rasyidin adalah bahwa yang
saling bertikai pada saat kekacauan adalah sesama Muslim dan juga ulah kaum
munafik, seperti yang dimotori Abdullah bin Saba’.
Latar Belakang Masalah
Sebagai agama yang sempurna, Islam
mengajarkan berbagai aspek yang terkait dengan kehidupan manusia mulai dari
aspek yang paling pokok hingga aspek-aspek lain sebagai pelengkap dari
aspek pokok tersebut. Islam mengajarkan aspek keimanan, ibadah, dan akhlak
yang merupakan inti dari ajarannya. Di samping itu, Islam juga mengajarkan
persamaan di antara manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dan di antara
bangsa, suku, dan keturunan yang satu dengan yang lainnya. Yang menjadi
titik perbedaan di antara manusia yang kemudian meninggikan atau
merendahkannya hanyalah nilai iman dan takwanya kepada Allah Swt.
Demikianlah yang ditegaskan oleh Allah dalam QS. al-Hujurat (49) ayat 13.
Ayat ini tidak membeda-bedakan manusia atas dasar jenis kelamin, suku
bangsa, dan kelompok-kelompok tertentu, akan tetapi yang menjadi ukuran
perbedaan manusia di hadapan Allah hanyalah satu, yakni derajat
ketakwaannya kepada Allah Swt.
Seorang pemikir feminis Muslim dari
India, Asghar Ali Engineer, ketika meletakkan ayat-ayat al-Quran yang
membicarakan hak-hak perempuan dan laki-laki, yakni QS. al-Nisa’ (4): 34,
al-Baqarah (2): 228, dan al-Ahzab (33): 35 secara bersama-sama dan
melihatnya dalam konteks yang tepat, menjelaskan bahwa Allah tidak
membeda-bedakan jenis kelamin atau kodrat yang dibawa sejak lahir. Asghar
juga melihat, adanya kontradiksi di dalam al-Quran merefleksikan
kontradiksi dalam situasi yang kompleks pada waktu diturunkannya al-Quran
(Engineer, 1999: 238).
Dalam praktik dan penerapan ajaran
Islam, tidak sedikit umat Islam justeru menunjukkan kenyataan yang berbeda
dengan apa yang sudah digariskan oleh Allah dalam al-Quran. Kesetaraan yang
dijunjung tinggi oleh al-Quran tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan
nyata, terutama setelah otoritas pemerintahan dan pemikiran didominasi oleh
kaum lelaki. Pemerintahan Islam sejak zaman Nabi Saw., Khulafaur Rasyidin,
hingga zaman kerajaan-kerajaan Islam (dinasti) tidak banyak menempatkan
perempuan pada posisi-posisi yang strategis atau posisi kunci di
pemerintahan. Kehadiran perempuan dalam dunia politik hanyalah sebagai
pelengkap dari kekurangan yang mungkin ada.
Dalam hal berpolitik wanita juga
memiliki hak untuk berpartisipasi di dalamnya sebagaimana laki-laki. Namun,
terjadi perbedaan pendapat dalam hal apakah perempuan boleh menduduki
jabatan tertinggi negara (presiden atau yang semacamnya) seperti laki-laki.
Yang lebih penting untuk diperhatikan
sebenarnya adalah bagaimana kondisi riil yang terjadi pada masa-masa awal
pemerintahan Islam, yakni masa Nabi Muhammad Saw. dan masa Khulafaur
Rasyidin, yang merupakan masa-masa penting untuk melihat bagaimana sebenarnya
ajaran-ajaran Islam diterapkan dalam kehidupan nyata. Apakah pada masa-masa
itu kaum perempuan ikut terlibat dalam dunia politik atau sebaliknya sama
sekali tidak terlibat? Dari sinilah penulis ingin membahas lebih jauh dua
masalah pokok, yaitu: 1) Bagaimana gambaran kedudukan perempuan pada masa
Nabi Muhammad Saw. dan masa Khulafaur Rasyidin, dan 2) Sejauhmana
keterlibatan perempuan dalam bidang politik pada masa Nabi Muhammad Saw.
dan masa Khulafaur Rasyidin serta problem apa saja yang dihadapi perempuan
pada waktu itu.
Untuk mengkaji dua permasalahan di
atas, penulis menggunakan dua poin pokok yang menjadi kajian pustaka dalam
tulisan ini, yakni tentang Konsep Kesetaraan Gender dalam Islam dan Hak-hak
Perempuan dalam Bidang Politik.
Konsep Kesetaraan Gender dalam Islam
Secara historis, telah terjadi
perlakuan yang tidak seimbang, yang menempatkan perempuan pada posisi yang
lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sejarah peradaban manusia banyak
didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga
laki-laki mendominasi semua peran di masyarakat sepanjang sejarah,
kecuali dalam masyarakat yang matriarkal yang jumlahnya sangat sedikit.
Jadi, sejak awal sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan
perempuan pada wilayah yang marginal. Peran-peran yang dimainkan kaum
perempuan hanyalah peran-peran di sekitar rumah tangga. Sementara itu, kaum
laki-laki dapat menguasai semua peran penting di tengah-tengah masyarakat.
Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan dianggap tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki
kemampuan seperti yang dimiliki laki-laki dan karenanya perempuan tidak
setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendominasi
perempuan. Lalu pertanyaannya, bagaimana sebenarnya status perempuan menurut
Islam?
Menurut Asghar Ali, pertanyaan di
atas sangat sulit untuk dijawab. Dia memberikan tiga alasan, yaitu: 1)
Al-Quran merujuknya dalam pengertian normatif dan sekaligus kontekstual.
Ketika berbicara secara normatif al-Quran tampak memihak kepada kesetaraan
status bagi kedua jenis kelamin, tetapi secara kontekstual al-Quran memang
menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum laki-laki atas perempuan. Dengan
mengabaikan konteksnya para ulama berusaha memberikan status yang lebih
unggul bagi laki-laki dalam pengertian normatif; 2) Interpretasi terhadap
ayat-ayat al-Quran, sebagaimana terjadi pada kitab suci yang lain, sangat
tergantung kepada sudut pandang penafsirnya. Ayat yang sama dipahami secara
berbeda oleh orang yang berbeda tergantung pada kesukaan dan kecenderungan
mereka; dan 3) Makna ayat al-Quran terbuka untuk sepanjang waktu. Makna
ayat-ayat bagi ulama zaman pertengahan bisa sangat berbeda dari makna yang
diterima seorang ulama yang hidup di zaman modern (Engineer, 1994: 56).
Al-Quran sebenarnya telah menegaskan
adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Untuk melihat kesetaraan
tersebut bisa dilihat misalnya al-Quran surat al-Nisa’ (4): 1 yang
menyatakan kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) memiliki asal-usul
dari satu makhluk hidup yang sama dan memiliki hak sama (Engineer, 1994:
57). Pendapat ini dikuatkan oleh Muhammad Asad, Maulana Azad, Maulana Qari Muhammad Tyeb
(Engineer, 1994; 58). Dengan demikian jelaslah bahwa al-Quran mendorong adanya
kesetaraan laki-laki dan perempuan. Al-Quran juga mengisyaratkan status
keagamaan perempuan, sebagaimana status sosialnya, sama tingginya dengan
laki-laki (QS. al-Ahzab (33): 35).
Menurut Asghar masalah al-Quran yang
melebihkan laki-laki atas perempuan karena nafkah sesungguhnya adalah masalah
kesadaran sosial dan penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada masa
itu sangat rendah dan pekerjaan domistik dianggap sebagai kewajiban
perempuan. Selain itu laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena
kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk
perempuan (Engineer, 1994: 62-3). Ditambahkan oleh Asghar, dengan
keadaan-keadaan yang terus berubah dan kesadaran yang semakin kuat di
kalangan perempuan, konsep mengenai hak-hak mereka akan berubah.
Ayat al-Quran surat al-Baqarah (2):
228 yang menyatakan bahwa suami mempunyai kelebihan satu tingkat dari
isterinya tidak dimaksudkan untuk membuktikan superioritas laki-laki atas
perempuan. Kelebihan yang disebut di sini adalah kelebihan dalam hal
biologis, yaitu bahwa perempuan yang dicerai harus menunggu selama tiga
kali quru’ (suci) agar dapat dipastikan apakah Allah telah menciptakan
makhluk hidup dalam rahimnya atau tidak. Hal ini tidak terjadi pada
laki-laki yang bebas untuk menikah tanpa pembatasan biologis. Ayat ini
tidak berlawanan dengan konsep
kesetaraan sosial antara laki-laki dan perempuan (Engineer, 1994: 75). Jadi
pernyataan al-Quran yang melebihkan laki-laki atas perempuan merupakan
pernyataan mengenai situasi sosial dan bukan mengenai prinsip normatif sebagaimana
yang dikemukakan oleh sebagian teolog. Perbedaan antara kata “adalah” dan
“harus” tidak boleh dilupakan, karena kedua kata itu akan membawa implikasi
yang berbeda.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa
al-Quran tidak menghendaki adanya superioritas laki-laki atas perempuan.
Artinya, al-Quran menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Pernyataan al-Quran yang memberikan hak-hak yang seimbang antara laki-laki
dan perempuan membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Masalahnya, tidak
gampang membuat konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan dapat diterima
oleh semua orang, bahkan di zaman kita sekarang ini. Berbagai
ketidaksetaraan baik yang samar maupun yang nyata tetap ada, bahkan dalam
masyarakat kapitalis dan sosialis yang sudah maju. Di kalangan umat Islam
yang juga memegangi ayat-ayat al-Quran masih banyak yang berpandangan bahwa
laki-laki berada pada posisi yang setingkat di atas perempuan. Mereka lebih
banyak mendasarkan pada penafsiran para ulama tradisional yang hampir
semuanya menempatkan perempuan pada posisi yang subordinatif.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang
Politik
Islam sebagai agama yang benar di
sisi Allah (QS. Ali ‘Imran (3): 19) sangat peduli terhadap kesejahteraan
kaum perempuan, menghargai sifat mereka, dan menghormati mereka. Menurut
Mutahhari (1985: 90), Islam tidak meyakini satu jenis hak, satu jenis
kewajiban, dan satu jenis hukuman bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan
dalam segala hal. Islam memandang satu perangkat hak dan kewajiban serta
hukuman lebih cocok bagi laki-laki dan satu perangkat lainnya lebih sesuai
bagi perempuan. Sebagai hasilnya, dalam beberapa hal Islam mengambil sikap
sama sehubungan dengan perempuan dan laki-laki, dan dalam hal-hal lain
Islam mengambil sikap yang berbeda-beda.
Prinsip keadilan sangat dijunjung
tinggi dalam Islam. Keadilan yang diberikan Islam berupa kesetaraan dan
kesederajatan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepada kaum laki-laki
dan kaum perempuan disesuaikan dengan tanggung jawabnya masing-masing.
Jadi, Islam tidak memandang identik atau persis sama antara hak-hak
laki-laki dan perempuan. Islam tidak pernah menganut preferensi dan
diskriminasi yang menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan. Islam
juga menggariskan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tetapi
tidak persis sama atau identik. Kata “kesetaraan” (equality) telah
memperoleh semacam kesucian, karena kata-kata ini telah mencakup pengertian
keadilan dan tidak adanya diskriminasi (Mutahhari, 1985: 93).
Dalam buku Women in Islam: A
Discourse in Rights and Obligations (1999) Fatima Umar Nasif membagi
hak-hak perempuan menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak-hak sosial, 2)
hak-hak keagamaan, 3) hak-hak politik, dan 4) hak-hak ekonomi. Dalam bidang sosial, kaum perempuan dapat
melakukan peran mereka dengan leluasa. Yang dimaksud hak-hak sosial di sini
adalah hak-hak kaum perempuan untuk melaksanakan berbagai aktivitas,
pekerjaan, dan profesi yang bermanfaat bagi masyarakatnya, baik dalam aspek
duniawi maupun ukhrawi (Nasif, 2001: 65).
Islam mengakui pentingnya kaum
perempuan dalam kehidupan masyarakat dan pengaruhnya dalam kehidupan
politik. Karena itu kaum perempuan telah diberikan hak-hak politik yang
mencerminkan status mereka yang bermartabat, terhormat, dan mulia dalam
Islam. Di antara hak-hak politik perempuan yang diberikan Islam adalah hak
untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Hak ini dapat dipahami dari ayat
al-Quran yang memerintahkan kepada kaum Muslim untuk bermusyawarah dalam
memecahkan segala urusan mereka. Ada dua ayat yang memerintahkan umat Islam
untuk melakukan musyawarah, yaitu QS. al-Syura (42): 38 dan QS. Ali ‘Imran
(3): 159.
Islam tidak pernah melarang perempuan
untuk aktif dalam bidang politik. Karena itu, pada masa Nabi Saw. kaum perempuan
juga ikut terlibat dalam berbagai aktivitas publik atau politik. Di antara
aktivitas politik yang dilakukan perempuan pada masa Nabi Saw. seperti yang
diceritakan dalam hadis di antaranya adalah: 1) ikut berhijrah ke Habasyah
bersama Nabi dan kaum laki-laki, 2) ikut hijrah ke Madinah bersama Nabi dan
kaum laki-laki, 3) berbaiat dengan Nabi Saw. seperti yang ditegaskan dalam
QS. al-Mumtahanah (60): 12, 4) ikut peduli terhadap masa depan politik
negara yang menganut sistem kekhalifahan, dan 5) ikut menghadapi kezaliman
salah seorang penguasa (Abu Syuqqah, 1997, II: 66-68).
Islam juga memberikan hak kepada
perempuan untuk mendapatkan perlindungan dan perawatan. Allah Swt.
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menolong kaum perempuan yang
meninggalkan kampung halaman mereka melepaskan diri dari penganiayaan di
negeri kaum kafir dan yang ingin menjadi anggota masyarakat Islam dengan
menerima Islam sebagai agama mereka (QS. al-Mumtahanah (60): 10).
Orang-orang beriman wajib melindungi, menjaga, dan menegakkan hak-hak
perempuan, wajib menjaga perempuan yang beriman dari ancaman orang-orang
kafir yang akan membalas dendam terhadap mereka, dan wajib membayar ganti
rugi kepada suami dari perempuan yang berhijrah jika suami itu memintanya.
Dengan demikian, kaum perempuan memperoleh hak-hak tersebut yang sekaligus
menjadi kewajiban kaum lelaki.
Hak sama yang diterima perempuan
seperti halnya pria adalah dalam hal baiat (janji setia). Berdasarkan QS.
al-Mumtahanah (60): 12 Nabi Saw. diperintahkan untuk menerima janji setiap
dari perempuan yang memenuhi persyaratan tertentu. Di antara persyaratan
itu adalah: 1) tidak akan mempersekutukan Allah, 2) tidak akan mencuri, 3)
tidk berzina, 4) tidak membunuh anak-anak mereka, 5) tidak melakukan
kebohongan yang besar, dan 6) tidak berbuat dusta. Dari sini jelaslah bahwa
Nabi Saw. menerima baiat kaum perempuan dan memperlakukan perempuan dan
laki-laki secara sama. Posisi penting yang diduduki kaum perempuan dalam
Islam terwujud dalam baiat dan penegasan atas kelayakannya. Begitu juga,
penyebutan mengenai hak-hak lainnya yang relevan dalam al-Quran tidak
diabaikan.
Hak jihad juga diberikan oleh Islam
kepada perempuan sebagaimana diberikan juga kepada laki-laki. Menurut Sayid
Quthub, Allah memang tidak menjadikan jihad sebagai suatu kewajiban bagi
kaum perempuan. Pada saat yang sama Allah tidak melarang mereka untuk ikut
serta dalam jihad dan terjun dalam beberapa pertempuran pada masa Nabi.
Jihad tidak diwajibkan bagi kaum perempuan karena merekalah yang melahirkan
tentara-tentara yang berperang dalam jihad. Secara fisik dan psikis seorang
perempuan lebih siap untuk tugas seperti itu (al-Tarsyah, 2001). Perempuan
memiliki kecenderungan alami yang membantu dirinya untuk mempersiapkan anak
laki-lakinya untuk berjuang sepanjang hidupnya dan juga dalam jihad. Dengan
melaksanakan tugas itu berarti ia memberikan pelayanan yang lebih baik
(Nasif, 2001: 181).
Mengenai hak untuk menduduki jabatan
penguasa bagi perempuan, para ulama berbeda pendapat. Ada beberapa pendapat
mengenai hal ini. Sebagian ada yang membolehkan, ada juga yang melarang,
bahkan mengharamkan sama sekali. Yang berpendapat bahwa perempuan tidak
layak menduduki jabatan ini, karena jabatan penguasa (kepala pemerintahan)
dalam Islam berarti memikul tanggung jawab agama dan juga negara. Hal ini
berlaku bagi kepala negara, gubernur, komandan pasukan, dan lain-lain.
Berdasarkan prinsip pembagian tugas dan tanggung jawab, jabatan penguasa
seperti ini hanya dapat dipikul oleh laki-laki. Allah telah menciptakan
laki-laki dan perempuan dengan kecenderungan fisik dan psikis yang berbeda
untuk mempersiapkan mereka menjalankan peran yang berbeda namun sama
pentingnya dalam masyarakat. Jika perempuan memikul jabatan penguasa, maka
ia dituntut untuk terus menerus melakukan perjalanan dalam rangka
menunaikan pembauran yang bebas dan interaksi sosial dalam jumlah jam yang
panjang dengan kaum laki-laki, dan ini dilarang dalam Islam. Urusan-urusan
penting yang harus diselesaikan oleh penguasa tidak hanya dalam masalah
kenegaraan saja, tetapi juga dalam masalah keagamaan. Di antara masalah
keagamaan ini adalah mengumpulkan manusia untuk menunaikan shalat Jum’ah
dan berkhotbah, dan ini amat sulit dilakukan perempuan, karena perempuan
tidak dituntut untuk melakukan shalat Jum’ah. Begitu juga halnya dalam melakukan shalat
‘id dan shalat istisqa’. Tugas penguasa yang lain adalah mengumumkan
keadaan darurat perang serta memimpin pasukan melawan musuh (al-Buthi,
2005: 66).
Yang menjadi pegangan utama kelompok
yang melarang perempuan untuk menjadi penguasa adalah hadis yang
diriwayatkan al-Bukhari. Hadis ini oleh jumhur ulama dipahami berdasarkan
keumuman lafazh. Syaikh Muhammad al-Ghazali, ulama yang sangat terkenal
dari Mesir, mendukung pendapat jumhur ulama tersebut, namun dalam kejadian
tertentu dia menemukan bahwa pendapat minoritas justeru lebih kuat karena
ada dalil yang mendukungnya. Al-Ghazali lebih memerhatikan asbabul wurud
hadis itu dari pada keumuman lafazhnya, karena menurutnya tidak mungkin
hadis itu bertentangan dengan al-Quran yang tidak pernah melarang perempuan
seperti itu, bahkan al-Quran mengisahkan keberhasilan Ratu Balqis, penguasa
negeri Saba’, dalam memimpin masyarakatnya, meskipun dia perempuan.
Perempuan-perempuan lain seperti Golda Meir juga berhasil memimpin negara Israel,
begitu juga Indira Gandhi ketika memimpin India dan Margaret Tatcher ketika
memimpin Inggris. Al-Ghazali menegaskan bahwa pendapatnya seperti ini bukan
semata-mata dia senang perempuan menduduki jabatan penguasa, tetapi dia
ingin menafsirkan hadis dengan benar sehingga tidak terjadi kontradiksi
dengan al-Quran (al-Ghazali, 1996: 64). Pemahaman hadis yang salah akan
berakibat pada adanya keputusan hukum yang salah. Keputusan yang salah ini
sekarang justeru masih mendominasi keyakinan para ulama dan sebagian besar
umat Islam tentang wanita.
Di akhir uraiannya tentang wanita
berprofesi, ‘Abd al-Halim Abu Syuqqah juga senada dengan Syaikh al-Ghazali.
Dia berpendapat, meskipun hadis al-Bukhari itu shahih dari sanad dan
matannya, tetapi maksudnya tidak terlalu jelas. Seperti halnya Syaikh
al-Ghazali, dia juga beralasan agar tidak terjadi benturan antara hadis
dengan al-Quran dan realitas sejarah yang menggambarkan negara yang
dipimpin oleh perempuan tidak hancur. Dia juga tidak menginginkan perempuan
menyibukkan diri untuk menjadi pemimpin tertinggi seperti itu. Menurutnya,
yang harus diperhatikan untuk menduduki jabatan ini bukan masalah jenis
kelamin, laki-laki atau perempuan, tetapi bagaimana kesiapan akhlak dan
kemampuan atau bakatnya (Abu Syuqqah, 1997: 440-444).
Cara Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang didasarkan pada kajian
kepustakaan (library research). Data penelitian yang berisi
informasi-informasi tentang keterlibatan perempuan dalam bidang politik
pada masa Nabi Muhammad Saw. dan masa Khulafaur Rasyidin diperoleh dari
literatur Islam yang berupa hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. dan buku-buku
sejarah Islam atau buku-buku politik Islam yang mengungkap permasalahan
tersebut. Strategi pemilihan setting dalam penelitian ini didasarkan pada
tiga hal, yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas. Tempat yang dimaksud di sini
karena terjadi pada masa Nabi Saw. dan Khulafaur Rasyidin, tentu saja di
sekitar Jazirah Arab, seperi Makkah, Madinah, Mesir, Baghdad, dan kota-kota
sekitarnya. Semua data penelitian dalam penelitian ini berupa data
sekunder, yakni data-data historis yang sudah tertuang dalam bentuk
buku-buku atau dokumen-dokumen yang berisi informasi tentang keterlibatan
perempuan dalam bidang politik pada masa Nabi Muhammad Saw. dan Khulafaur
Rasyidin. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis induktif. Teknik ini dilakukan dengan cara menganalisis
permasalahan khusus di sekitar fenomena yang terjadi pada masa Nabi Muhammad
Saw. dan masa Khulafaur Rasyidin, terutama mengenai keterlibatan kaum
perempuan dalam bidang politik, untuk selanjutnya ditarik kesimpulan yang
bersifat umum dan objektif yang dapat menggambarkan permasalahan yang
sebenarnya.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kondisi perempuan di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah sebelum
kedatangan Islam secara umum suram. Perempuan dihina, diperlakukan secara
kasar, dan direndahkan martabatnya, bahkan perempuan dipandang sebagai
perwujudan dosa, kesialan, aib, dan hal-hal lain yang memalukan. Pada masa
ini perempuan tidak memiliki hak politik sama sekali. Kehidupan bangsa Arab
yang telah mendapatkan pengaruh dari kebudayaan luar seperti Mesir, Romawi,
dan Persia telah memengaruhi sistem sosial dan kekerabatan masyarakat Arab. Dalam masyarakat Arab
dikenal adanya budaya patriarki. Posisi perempuan berada di bawah
laki-laki. Hal yang demikian ini menjadi sesuatu yang wajar dalam budaya
bangsa Arab Jahiliyah.
Islam datang membawa angin segar bagi
kaum perempuan. Islam menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya
dengan mengakui kemanusiaan perempuan dan mengikis habis kegelapan yang
dialami perempuan sepanjang sejarah serta menjamin hak-hak perempuan. Islam
datang untuk melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu kenistaan dan
perbudakan. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan
terhormat, makhluk yang memiliki berbagai hak di samping kewajiban.
Islam adalah agama fitrah.
Hukum-hukumnya memberikan ganjaran sempurna terhadap fitrah kemanusiaan dan
telah menjadi suatu kewajiban bagi Islam untuk memusakan kesenangan ini
bagi pemeluknya baik itu laki-laki ataupun perempuan dengan tidak melihat
segi kebutuhan atau ketiadaannya (al-Buthi, 2005: 231). Beberapa perubahan
yang dihasilkan dengan datangnya Islam ini menunjukkan bahwa terjadi
pergeseran ke arah yang lebih positif atas perempuan. Pelarangan poliandri
bagi perempuan untuk menjaga kehormatan perempuan. Perempuan diberi hak
untuk mendapatkan warisan dan mendapatkan mahar adalah usaha untuk
menegakkan posisi politis perempuan sejajar dengan laki-laki.
1. Peran politis perempuan pada masa
Nabi Muhammad Saw.
Pada masa Nabi Muhammad Saw. kaum
perempuan sudah memainkan peran-peran politis dalam rangka menegakkan
kalimat-kalimat Allah, seperti melakukan dakwah Islam, ikut berhijrah
bersama Nabi, berbai’at kepada Nabi Saw., dan melakukan jihad atau ikut
serta dalam peperangan bersama-sama kaum laki-laki. Semua hijrah yang
dilakukan Nabi Muhammad Saw. mengikutsertakan perempuan di dalamnya. Dalam
berbagai peristiwa hijrah, perempuan memainkan peran yang cukup penting.
Kaum perempuan juga melakukan bai’at bersama kaum laki-laki di hadapan
Nabi. Kaum perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan dakwah Islam
sehingga banyak perempuan kafir Quraisy yang kemudian menjadi Muslimah
karena ajakan mereka. Begitu juga dalam hal jihad atau peperangan, sebagian
besarnya menyertakan perempuan di dalamnya. Meskipun peran mereka sebagai
pendukung atau pendamping, tetapi peran mereka sangat penting dan
menanggung resiko yang sama seperti halnya laki-laki. Dalam mengatur urusan
pemerintahan, perempuan belum banyak berperan pada masa ini, mengingat
Nabilah yang memiliki otoritas tertinggi. Namun peran ummahat al-mu’minin
cukup besar dalam memberikan masukan-masukan kepada Nabi dalam memutuskan
berbagai kebijakan kenegaraan.
Di antara problem yang dihadapi
perempuan dalam melakukan peran-peran politis pada masa Nabi adalah tekanan
kaum kafir Quraisy Makkah di awal dakwah Islam, kelemahan fisik mengingat
begitu beratnya aktivitas yang dilakukan untuk berhijrah dan berjihad
misalnya, serta kehilangan keluarga dan harta serta kampung halaman. Namun
demikian, problem-problem seperti ini tidak menghalangi peran-peran
perempuan di dunia politik.
2. Peran politis perempuan pada masa
Khulafaur Rasyidin
Sejarah mencatat banyak sekali peran
perempuan dalam masa Khulafaur Rasyidin. Setelah Rasulullah Saw. wafat,
kaum Muslimin yang belum kuat imannya mengalami goncangan. Mereka tergoda
untuk kembali ke kepercayaan nenek moyangnya.
Abu Bakar ash-Shiddiq, seorang
sahabat yang disepakati oleh kaum Muhajirin dan Anshar sebagai Khalifah,
mengangkat tugas pertama kekhalifahannya untuk memerangi mereka yang
berkenan kembali ke kepercayaan nenek moyang mereka alias murtad dari agama
Allah. Perang Riddah (perang yang dilaksanakan untuk menghancurkan kaum
murtad) dikobarkan oleh khalifah pertama ini. Pada masa perang Riddah ini,
perempuan tidak ketinggalan untuk ambil peran dalam menjaga agama Allah.
Misalnya dalam kasus Musailamah bin Habib al-Yamamy al-Kadzdzab, seorang
pendusta yang mengaku sebagai nabi, perempuan memainkan aksinya untuk ikut
menghancurkan sang nabi palsu. Adalah Ummu Amarah, Nusaibah binti Ka’b,
perempuan yang berangkat ke Yamamah bersama kaum Muslimin untuk memberangus
Musailamah (Ziyadah, 2001: 199). Keikutsertaan Nusaibah binti Ka’b ini
menandakan bahwa peran perempuan adalah sejajar dengan laki-laki dalam hal
membela Islam. Hal ini membuat posisi politis perempuan juga terangkat
dengan sendirinya.
Kaum perempuan juga aktif memainkan
peran-peran politis yang lain pada masa Khulafaur Rasyidin. Ummahat
al-Mu’minin menjadi motor penggerak kaum perempuan pada waktu itu untuk
aktif dalam peran-peran politik tersebut. Yang paling banyak terlibat dalam
aktivitas politik pada masa ini dan paling banyak disebut-sebut dalam
literatur sejarah adalah Aisyah r.a. Dialah yang banyak berperan dalam
melakukan rekonsiliasi umat Islam pada saat terjadinya masa kekacauan, baik
pada masa Usman bin Affan maupun pada masa Ali bin Abi Thalib. Problem
besar yang dihadapi pada masa Khulafaur Rasyidin adalah bahwa yang saling
bertikai pada saat kekacauan adalah sesama Muslim dan juga ulah kaum
munafik, seperti yang dimotori Abdullah bin Saba’. Dialah yang menyebarkan
provokasi di tengah-tengah umat Islam, sehingga umat Islam termakan dan
mengalami masa kekacauan yang cukup panjang.
Kesimpulan
Dari uraian yang cukup panjag lebar
dalam bab sebelumnya, maka dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan seperti
berikut:
1. Sebelum kedatangan Islam kedudukan
perempuan di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah secara umum sangat
rendah dan memrihatinkan. Pada masa ini perempuan tidak memiliki hak
politik sama sekali. Kedatangan Islam membawa angin segar bagi kaum
perempuan. Islam menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya dengan
mengakui kemanusiaan perempuan dan mengikis habis kegelapan yang dialami
perempuan sepanjang sejarah serta menjamin hak-hak perempuan.
2. Pada masa Nabi Muhammad Saw. kaum
perempuan sudah memainkan peran-peran publik (di luar peran domistik) dalam
rangka menegakkan kalimat-kalimat Allah, seperti melakukan dakwah Islam,
ikut berhijrah bersama Nabi, berbai’at kepada Nabi Saw., melakukan jihad
atau ikut serta dalam peperangan bersama-sama kaum laki-laki. Peran-peran
perempuan seperti itu memiliki nilai politis yang tinggi, mengingat
perempuan dapat melakukan peran yang sama seperti halnya laki-laki dalam
rangka memenuhi tuntutan dan kewajiban beragama untuk menegakkan kalimat
Allah. Adapun problem yang dihadapi perempuan dalam melakukan peran-peran
itu di antaranya adalah tekanan kaum kafir Quraisy Makkah di awal dakwah
Islam, kelemahan fisik mengingat begitu beratnya aktivitas yang dilakukan
untuk berhijrah dan berjihad misalnya, serta kehilangan keluarga dan harta
serta kampung halaman.
3. Kaum perempuan juga aktif
memainkan peran-peran politis pada masa Khulafaur Rasyidin. Perempuan ikut
berperan dalam mendukung berdirinya khilafah sepeninggal Nabi. Perempuan
juga terlibat aktif dalam jihad melawan orang-orang yang murtad dan
usaha-usaha rekonsiliasi pada saat kekacauan politik di masa Usman dan Ali.
Ummahat al-Mu’minin menjadi motor penggerak kaum perempuan pada waktu itu
untuk aktif dalam peran-peran politik, terutama yang diperankan oleh
Sayyidatina Aisyah r.a. Problem besar yang dihadapi pada saat ini adalah
bahwa lawan-lawan yang dihadapi pada saat kekacauan adalah sesama Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahadits
al-Nabawiyyah.
Abu Syuqqah,
‘Abd al-Halim. 1997. Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah. Alih bahasa oleh Chairul Halim dengan
judul “Kebebasan Wanita”. Jilid 1-6. Jakarta: Gema Insani Press. Cet. I.
Al-Baghdadi,
Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan
Syariat Islam tentang Kehidupan
Wanita. Alih bahasa oleh Muhammad Usman Hatim. Jakarta: Gema Insani Pers,
Cet. I, 1998.
Al-Buthi,
Muhammad Sa’id Ramadhan, 2005. Al-Mar’ah baina Thughyan al-Nizham
al-Gharbiy wa Lithaifi al-Tasyri’ al-Rabbaniy. Alih bahasa oleh Abu Nabila
dkk. dengan judul “Perempuan dalam Pandangan Hukum Barat dan Islam”.
Yogyakarta: Suluh Press. Cet. I.
Al-Ghazaliy,
Syaikh Muhammad. 1996. Al-Sunnat al-Nabawiyyat baina Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadis. Alih bahasa oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul “Studi Kritis
atas Hadis Nabi Saw.: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”, Bandung:
Penerbit Mizan. Cet. V.
Al-Hafid,
Ibn Rusyd. t.t. Bidayah al-Mujtahid
wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Istanbuli,
Mahmud Mahdi dan Musthafa Abu Nashr Asy-Syilbi. 2003. Nisa’ Haul al-Rasul
wa al-Radd ’ala Muftarayat al-Mustasyriqin. Alih bahasa oleh Ahmad Sarbaini
dkk. dengan judul ”Wanita Teladan: Istri-istri, Putri-putri dan Sahabat
Wanita Rasulullah Saw.”. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
Al-Kurdi,
Ahmad al-Hajji. 1995. Ahkam al-Mar’ah fī Fiqh al-Islamiy. Alih bahasa oleh
Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib dengan judul “Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih
Islam”. Semarang: Dina Utama, Cet. I.
Al-Quran
al-Karim.
Al-Siba’iy,
Musthafa.1984. Al-Mar’ah bain al-Fiqh wa al-Qanun. Beirut: Al-Maktab
al-Islamiy. Cet. VI.
Al-Tarsyah,
Adnan. 2001. Daliluka ila al-Mar’ah. Alih bahasa Gazi Saloom dengan judul
“Serba-serbi Wanita: Panduan Mengenal Wanita”, Jakarta: Penerbit Almahira,
Cet. I.
Badri
Yatim. 2001. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. Cet. XII.
Engineer,
Asghar Ali. 1994. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Alih bahasa oleh Farid
Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
—————.
1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Alih bahasa oleh Agung Prihantoro.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan,
Ibrahim Hasan. 2002. Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’.
Alih bahasa oleh H.A. Bahauddin dengan judul “Sejarah dan Kebudayaan
Islam”. Jakarta: Kalam Mulia. Cet. I.
Ibn
Rusyd al-Qurthubiy al-Andalusiy. t.t. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Fikr.
Jawad,
Haifaa A. 2002. The Right of Women in Islam: An Authentic Approach. Alih
bahasa oleh Anni Hidayatun Noor dkk. dengan judul “Otentisitas Hak-hak
Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender”. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, Cet. I, 2002.
Khan,
Majid ‘Ali. 1985. Muhammad The Final Messenger. Alih bahasa oleh Fathul
Umam dengan judul “Muhammad Saw. Rasul Terakhir.” Bandung: Pustaka. Cet. I.
Misbah,
Ma’ruf dkk. T.t. Sejarah Kebudayaan
Islam. Semarang: CV. Wicaksana.
Moleong,
Lexy J. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mutahhari,
Murteza. 1985. The Rights of Women in Islam. Alih bahasa oleh M. Hashem dengan
judul “Wanita dan Hak-haknya dalam Islam”. Bandung: Pustaka, Cet. I.
Nasif,
Fatima Umar. 2001. Women in Islam: A Discourse in Rights and Obligations.
Alih bahasa oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan D. Nuryakien dengan judul
“Menggugat Sejarah Perempuan: Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan
Islam”. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim. Cet. I.
Natsir,
Lies M. Marcoes dan Johan Hendrik Meuleman (ed.). 1993. Wanita Islam
Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: INIS.
Saadawi,
Nawal El. 2001. The Hidden Face of Eve. Alih bahasa oleh Zulhilmiyasri
dengan judul “Perempuan dalam Budaya Patriarki.” Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Cet. I.
—————.
2003. Al-Wajhu al-‘Ari li al-Mar’ah al-‘Arabiyyah. Alih bahasa oleh Hj.
Azhariah dengan judul “Wajah Telanjang Perempuan.” Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Cet. I.
Shalih,
Su’ad Ibrahim. 2001. “Kedudukan Perempuan dalam Islam”. Dalam Mohammad Atho
Mudzhar dkk. (Ed.). Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan
dan Kesempatan. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Cet. I.
Siddek,
Jahid Hj. 1993. Strategi Menjawab Sejarah Islam. Kuala Lumpur: Nurin
Enterprise.
Siti
Maryam dkk. (ed). 2004. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga
Modern. Yogyakarta: LESFI. Cet. II.
Sukardi
dkk. 2004. Pedoman Penelitian Edisi 2004. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Yogyakarta.
Syaltut,
Mahmud. 1966. Min Taujihat al-Islam. Al-Qahirah: Dar al-Qalam.
Ziyadah,
Asma’ Muhammad Ahmad. 2001. Daur al-Mar’ah al-Siyasiy fi ‘ahd al-Nabiy wa
al-Khulafa’ al-Rasyidin, Alih bahasa oleh Kathur Suhardi dengan judul
“Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam”, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
Cet. I.
http://marzukiwafi.wordpress.com/2011/02/08/keterlibatan-perempuan-dalam-bidang-politik-pada-masa-nabi-muhammad-saw-dan-masa-khulafaur-rasyidin-suatu-kajian-historis/
|