GURU
Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku kata gu dari kata
guru itu berarti digugu dan ru, artinya ditiru. Barangkali benar, guru
memang digugu (dianut) dan ditiru, diteladani para murid. Dari sana,
barangkali Ki Hajar Dewantara merumuskan peran guru yang terkenal: ing
ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani itu.
Barangkali dari sana pula pepatah kita “guru kencing berdiri, murid kencing
berlari” itu memperoleh inspirasinya.
Sardono W. Kusumo pernah mengatakan kepada saya bahwa di masyarakat
Jawa, guru tidak harus merupakan sebuah sosok pribadi, melainkan bisa juga
cuma berupa citra atau sosok bayangan. Dalam sebuah lakon disebutkan,
ketika Resi Durna sedang mengajar para satria Pandawa dan Astina memanah,
seorang satria lain datang hendak berguru memanah kepada resi tersebut.
“Tidak bisa, ki sanak,” sahut Begawan Durna. “Saya sudah teken
kontrak untuk hanya mengajar para satria ini, dan tak akan lagi pernah
menerima murid lain.”
Satria itu kemudian pergi dengan rasa kecewa. Namun, tekadnya untuk
berguru kepada Begawan Durna tetap membara. Citra Durna sebagai guru sakti
tak ada duanya sangat mempengaruhinya.
Syahdan, sang satria pun kemudian membuat patung Pandita Durna Ia
lalu mulai belajar memanah, sambil membayangkan bahwa ia sedang benar-benar
belajar kepada pandita sakti itu. Dan konon, kehebatan satria ini tak kalah
dari para murid yang belajar dari Durna secara langsung.
Mudah diduga, andaikata Durna menerimanya sebagai murid, pasti satria
itu bakal menjadi murid yang taat kepada guru. Apa pun perintah sang guru,
murid itu pasti akan mematuhinya. Dengan kata lain, murid itu pasti akan
mampu memanggul tugasnya sebagai murid yang harus senantiasa membuktikan
bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.
Tapi, masihkah sekarang ini guru memperoleh kehormatan sebagai orang
tua yang tetap digugu lan ditiru (didengar petuahnya, ditiru tindakannya?).
Zaman berubah. Musim pun berganti. Dan dalam pergantian itu, kita tiba-tiba
dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi sejalan dengan tafsir ideal tentang
guru sebagai yang digugu lan ditiru.
Kita dibuat terkejut oleh sejenis pemberontakan moral dan
penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir Jawa tadi. Dan, kita
sepertinya tak siap menghadapi kenyataan ketika guru bukan cuma tak lagi
digugu lan ditiru, melainkan juga digebuk oleh sang murid.
Kita belum punya jawaban, apa yang mesti kita katakan sekarang ketika
kita melihat murid datang kepada guru sambil membawa parang, golok, atau
belati untuk mengancam sang guru, ketika gurunya tak bersedia memberinya
nilai bagus atau menaikkannya ke kelas tinggi
Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada murid mengamuk
melempari kaca dan jendela, merusak sekolah, dan mengeroyok gurunya
sendiri? Apa yang salah dalam diri guru? Dan, apa sebenarnya yang sedang
terjadi dalam masyarakat kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru merosot
serendah itu? Guru-guru berjumpalitan, mencoba berakrobatik untuk
menyesuaikan diri dengan panduan dari pusat. Mereka tergencet situasi:
mengejar target yang besar dari pusat akan selalu berarti menemui kesulitan
dengan murid-muridnya sendiri, tapi bila ia mencoba memberi murid sedikit
keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.
Guru memang masih tetap disanjung sebagai “pahlawan tanpa tanda
jasa”. Ada bahkan yang mengatakan bahwa umumnya tiap orang besar pernah
menjadi guru. Mungkin benar, tapi guru dalam masyarakat kita sekarang jelas
bukan orang besar. Jadi, apakah gunanya menghibur guru dengan ucapan
seperti itu?
Bagi saya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa ejekan, bukan
penghormatan, karena seolah-olah guru memang tak berhak memperoleh tanda
jasa itu.
Guru bukan manusia merdeka. Ia tidak bebas. Ia tidak mempunyai otonomi
dalam memutuskan nasib murid-muridnya, meskipun tak seorang pun berani
membantah bahwa dialah yang paling tahu tentang kemampuan murid-muridnya.
Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan tak jarang
campur tangan, melakukan intimidasi, atau menyogok sang guru dengan materi.
Ini sekali lagi, membuktikan juga betapa guru memang bukan orang yang
bebas. Ia tak merdeka. Tampaknya guru, dalam kondisinya, tak bisa berkata
tidak seperti dulu ketika Durna menolak satria, calon murid yang hendak berguru
kepadanya.
Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang tak
menggantungkan kurikulum pendidikannya kepada kekuasaan orang pusat,
tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di mata para muridnya.
Guru-guru tarekat, dengan kata lain, masih tetap pengejawantahan dari
konsep ideal tentang guru sebagai yang digugu lan ditiru.
Petuah sang guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak. “Sabda”
mereka disetengahsucikan oleh para murid. Guru tarekat adalah sejenis raja
yang paling berkuasa. Namun, mereka memperoleh kekuasaannya bukan dengan
paksa, melainkan dengan wibawa.
Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita kepada
kita bahwa sebagian guru tarekat bukan cuma didengar komando jihatnya untuk
menyembelih si kafir Belanda, melainkan juga dipandang sebagai penjelmaan
Ratu Adil yang bakal mengembalikan harmoni dalam masyarakat serta
menjanjikan ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.
Murid-murid tarekat pernah rela mempertaruhkan leher demi
melaksanakan perintah guru. Dan, murid-murid tarekat, sampai saat ini, rela
mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa makanannya untuk ngalap
berkah.
Kemandirian, kebebasan, kharismanya yang besar, dan keteladanan
moralnya itu yang membuat murid tarekat rela mencium tangan bahkan sungkem,
menyembah, di hadapan sang guru.
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 15 Desember 1991
SALEH dan MALU
Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya tinggal
di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis mereka berbeda, dan
jenis kesalehan mereka pun berbeda.
Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia saleh,
semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling
meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.
Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh memang,
Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti sebenarnya. Minimal
kata para anggota jamaah masjid kampung itu.
Jenggotnya panjang. Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu juga
sarung plekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut, seperti Mas Danarto. Ia
cekatan memberi senyum kepada orang lain. Alasannya: “senyum itu sedekah”.
Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala bocah-bocah
yang selalu berisik pada saat salat jamaah berlangsung. Usapan itu
dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah.
Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka khusus
dilahirkan buat bikin ribut di masjid.
“Ramai itu baik saja,” katanya sabar, (ketika orang-orang lain pada
marah), “karena ramai tanda kehidupan,” katanya lagi. “Lagi pula, kita
harus bisa salat khusyuk dalam keramaian itu.”
Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di masjid.
Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus kegiatan lain. Selesai
magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya
tiba.
Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing,
ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir panjang sampai subuh tiba.
Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna dan beberapa
ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika salat duha kemudian ia lakukan.
Pendeknya, ia penghuni masjid.
Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua jam.
Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam. Selebihnya zikir, zikir,
zikir…. Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh,
plus Habib (nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat Nabi).
Kalau kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita sulit
menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu padat.
Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang menjadikannya
semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat
utamanya. Pertama, kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia
tersinggung. Kedua, kalau orang tak sering “sowan” ke rumahnya, ia tidak
suka karena ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya sebagai
orang yang ada di “depan”.
“Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin menjadi
tokoh?” Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih menanti
zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan bahwa kelak bila punya
waktu banyak, saya ingin selalu zikir di masjid seperti dia. Saya tahu,
kalau sudah pensiun, saya akan punya waktu macam itu.
“Ya kalau sempat pensiun,” komentarnya.
“Maksud Pak Haji?”
“Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya kita tahu
kita bakal mencapai usia pensiun?”
“Ya, ya. Benar, Pak Haji,” saya merasa terpojok
“Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan seluruh
waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari buat
hidup kekal abadi di surga?”
“Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia.”
“Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya ulang
nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan.”
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi kalau
saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi “ancaman”.
Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga haji, pedagang
kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya bukan Saleh
melainkan Sanip. Haji Sanip, orang Betawi asli.
Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita bisa
merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa salatnya sebentar,
dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun), ia bilang
bahwa ia tak ingin minta aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.
“Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah Ia
berjanji akan mengabulkannya?”
“Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan
sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang, dari hari ke
hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang mahapemberi,
termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa
malu-Nya tak kita gunakan?” katanya lagi.
Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari itu.
Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang suci –langsung di
bawah komando Allah– seperti serentak mengamini ucapan orang Betawi ini.
“Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah
kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah itu
kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah kita puji-puji karena akan
kita mintai sesuatu. Ini bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan
pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan
berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus menyembah,
seperti tekad Al Adawiah itu,” katanya lagi.
Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik. Selain
keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu
terpancar ketulusan iman. Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan
sebuah cermin. Tampak di sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat
diri sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa
sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian
hangat dari hidup pribadi saya juga.
Mohammad Sobary, Tempo 16 Maret 1991
Wolo-Wolo Kuwato
Dalam sebuah bacaan pesantren disebutkan kisah seorang ahli ibadah.
Siang malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya marah karena tak ada
lagi yang bisa dimakan. “Barang apa yang hidup merayap perlu makan. Carilah
pekerjaan, Bang, karena sudah terbukti doa tak bisa dimakan,” gerutu istrinya.
Tak enak didengar tetangga, ia berjanji mau bekerja. Ini hanya dalih
semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua agar bisa berdoa lebih khusyuk
tanpa dicereweti sang istri. Pagi hari berangkat, sorenya baru pulang.
Kepada istri ia berbohong bahwa majikannya akan membayar jerih payahnya
sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja.
Suatu sore istrinya memasak aneka makanan. Ia heran, dari mana semua
itu diperoleh? Tapi, belum sempat ditanya, si istri menjelaskan bahwa
utusan majikan suaminya tadi datang mengantar bahan pangan dan sejumlah
uang. “Baru aku berdoa sebentar, sudah Kaukirim bayaran begitu banyaknya,”
gumam orang itu. Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan ia berdoa
di gua.
Tentu saja, bukan apa yang dikatakan yang penting dalam kisah ini,
melainkan arti simbolis yang dikandungnya. Selebihnya kita bebas menolak
atau menerimanya.
Parmin, tukang becak, memang gila porkas. Banyak dukun sudah ia
datangi. Tiap orang gila dan kere yang seperti gila di Yogya ia kuntit:
siapa tahu dalam omelannya terdapat petunjuk nomor. Sering ia tidur di
kuburan mencari impen (impian). Jerih payahnya menarik becak pun ludes di
meja
Sitompul, agen porkas. Buat Parmin, hidup berarti porkas. Senik,
istrinya, minta dipulangkan ke rumah orangtuanya karena tak tahan lagi
hidup dalam alam porkas yang panas. Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti
sekolah karena tak ada biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan.
Mertua ikut bingung. Orangtua Parmin sendiri kehabisan nasihat. “Arep
dadi opo to kowe, Min, Min …,” (mau jadi apa kamu), kata orangtuanya.
Lama-lama Parmin mikir. Iya, ya. Mau jadi apa?
Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan Parmin
dari Porkas. Ini lebih merupakan urusan rohaniwan macam Pak Kiai atau Romo
Mangun. Yang jelas, bosan ke dukun, Parmin pergi ke kiai di Wonokromo,
dekat dari rumahnya.
“Ada apa?” tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
“Saya mohon petunjuk, Pak Kiai.”
“Saya cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode,” kata Pak Kiai.
Parmin pun terkesiap heran, bagaimana Pak Kiai tahu bahwa ia pecandu
porkas.
“Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat,” kata Parmin.
Setelah pasrah bongkokan, artinya diapakan saja oleh Pak Kiai monggo
mawon, jiwa Parmin “dicuci”. Diajari pula salat dan berdoa.
Tapi susah. Lidah Parmin tidak cocok untuk menyebut kata-kata Arab.
“La Khaula wala kuata illa …,” kata Pak Kiai pelan.
“La wala wala …,” Parmin tergagap-gagap. Pak Kiai mau ketawa.
Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap la wala wala. Pusing juga ahli rohani
itu.
“Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?”
Parmin mesem. Akhirnya, jalan keluar ditemukan. Doa dipermudah. Yang
penting intinya: wolo-wolo kuwato. Pas betul.
“Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti. Jadi, “Duh,
Gusti, wolo-wolo kuwato. Artinya, kamu sambat, mengeluh, mengadu, pada Tuhan
sambil terus giat narik becak.”
Tiap malam Jumat Parmin “digarap” Pak Kiai. Pesan beliau: “Kalau ada
kegaiban, jangan heran. Gusti memang Maha gaib. Pokoknya, syukuri, dan
perbanyak doa, giat usaha. Itulah laku utama,” bisik Pak Kiai.
Kegaiban itu datang. Hampir tiap pagi, istrinya menemukan selembar
uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada Pak Kiai. Jawab beliau,
“Syukuri dan perbanyak doa.”
Dulu, Parmin dirongrong nafsu “ingin punya”. Kini, di bawah asuhan
Pak Kiai, seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia ayem. Semeleh atau
tawakal, memberinya ketenangan. “Hamba tak berdaya, kecuali atas
pertolongan-Nya”. Mudahnya: “Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato”.
Di shopping centre, ia pernah berkali-kali, sejak pagi sampai jam
lima sore, belum dapat penumpang. Ia panik. Apalagi belum sesuap pun nasi
masuk perutnya. “Duh, Gusti wolo-wolo kuwato,” keluhnya. Menjelang jam
enam, seorang penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak itu.
Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di saku Parmin.
Ini pun dilaporkannya pada Pak Kiai. Hanya satu hal tak
dilaporkannya. Ia ingin bikin kejutan. Tapi belum sempat kejutan dibikin,
ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin merasa shock kehilangan godfather.
“Min, sesaat sebelum pergi, Pak Kiai mengucapkan syukur bahwa kau
sudah mengkredit becak,” kata putra Pak Kiai. Parmin kaget. Lo? Beliau
sudah tahu?
Memang, sejak sering ditemukannya “uang gaib” di rumah, ia menabung.
Kepada istrinya ia berpesan untuk tak mengutik-utik uang di bawah bantal itu.
Soal makan seadanya, ditanggulangi dari narik becak harian.
Tabungannya itu digunakannya untuk mengangsur becak Bah Gendut.
Begitu becak lunas, ia ingin “matur” Pak Kiai. Namun, beliau, ternyata, tak
memerlukan laporan. Pak Kiai sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia
di balik tabir)
“Yah, namanya juga wong suci,” pikir Parmin.
Sekarang, setelah kepergian Pak Kiai, uang “gaib” tak lagi ditemukan
di bawah pintu. Dalam hati Parmin bertanya-tanya. Namun, ia sadar, kegaiban
toh tak bisa terjadi terus-menerus. Kegaiban hidup memang ada. Tapi hidup
tak bisa semata disandarkan pada kegaiban itu. La khaula dan mengayuh becak
barunya itulah kunci hidup yang sekarang dipegangnya.
Mohammad Sobary, Tempo 2 Februari 1991
Sumur Kering
Pernah saya baca kisah seorang ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah
sumur kering. Ia tak bisa naik. Ketika tampak olehnya orang bertopi
melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong.
“Tolonglah, keluarkan aku dari sini.”
“Oke,” jawab orang bertopi itu. Ia seorang sufi yang bermaksud
mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata
sang sufi lagi.
“Huss, logika bahasamu salah,” teriak si ahli bahasa. “Seharusnya kau
bilang tangga, baru kemudian tali,” katanya lagi.
Sufi kita, yang biasa berpikir tentang hakikat, tertegun sejenak. Ia
menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang bisa cerewet
mengenai persoalan “kulit” dan abai terhadap perkara “isi”. Tapi kemudian
ia menyahut lagi.
“Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau masih lebih
mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu, tunggulah lima
tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”
Sang sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan
tinggallah ahli bahasa kita, termenung – menung menyesali orientasinya yang
sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang kompleks dan
warna-warni itu.
Boleh jadi, ahli bahasa dan sufi dalam kisah ini tak pernah ada.
Kisah ini, dengan kata lain, bisa saja cuma sebuah rekaan belaka. Tapi
bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran seperti mereka itu ada di sekitar
kita, sebaiknya tak usah diragukan.
Saya pikir-pikir, kisah itu merupakan sebuah karikatur yang pas buat
dua orang tokoh di kampung saya: Haji Mangil dan Kang Kamidin. Haji Mangil
itu resminya imam masjid. Dalam urusan doa-doa, selamatan dan aneka ritus
agamis ia berada di “depan”. Orang banyak telah mengkiai-kan dia. Tetapi
kekuasaan real Haji Mangil jauh lebih besar lagi karena ia ternyata juga
dominan secara politis.
Kang Kamidin sebaliknya. Ia tak “tampak”. Kehadirannya dalam, dan
absennya dari, pertemuan, misalnya, tak menambah dan tak mengurangi arti
apa pun.
Pendeknya, ia tidak “dihitung”. Ia bukan pengikut yang baik. Diajak
tahlilan tidak mau. Diajak Yasinan tiap malam Jum’at sering mencolot
diam-diam, karena tidak hapal surat Yasin. Buat apa anggota macam dia?
Saya sendiri netral. Posisi “non-blok” ini membuat saya bisa luwes
berdialog dengan pihak mana pun.
Pernah suatu hari, setelah salat lohor di masjid, saya bertanya pada
“kiai” kita mengapa ia begitu menekankan perlunya menghapal doa dan
ayat-ayat.
“Kamu ini bagaimana, semuanya itu kunci pokok. Kita dilarang
melakukan suatu amal bila kita tak paham akan ilmunya. Ngerti?”
Karena saya kelihatan belum mengerti, Haji Mangil pun memberi contoh.
“Bila tak paham ilmu, kita beramal, itu ibarat tukang jahit memotong-motong
kain seorang pelanggan sebelum ditanya buat apa kain itu,” katanya.
“Dia potong buat jas, padahal pelanggan mau bikin celana. Kan kacau
jadinya?” kata Pak Haji lagi.
Saya tahu, Pak Haji menyindir Kang Kamidin yang rajin puasa
Senin-Kamis, rajin salat malam, tapi buta ayat dan doa-doa.
“Maksudnya, amal itu tak sampai pada Tuhan?”
“Jelas tidak. Amal begitu sama dengan surat tanpa alamat. Surat sudah
ditulis, sudah dimasukkan ke dalam amplop, sudah ada prangko, tapi tak ada
alamat. Ke mana tukang pos mau menyampaikannya, coba?”
Pak Haji seorang formalis. Ia bangga bahwa Islam tegas mengajarkan
sikap disiplin. Berulang-ulang dia anjurkan jamaah berdisiplin memegang waktu,
agar dalam salat jamaah ada di shaf paling depan.
“Shaf paling depan itu pahalanya paling besar: dapat unta,” katanya.
“Belakangnya cuma lembu. Belakangnya lagi kambing. Nah, terserah kita. Mau
pilih kelas unta apa puas dengan kelas kambing,” katanya lagi.
“Kalau begitu berarti Pak Haji selalu dapat unta, dan orang lain cuma
kambing, mungkin malah cuma burung emprit,” kata saya.
“Salah mereka sendiri, bukan, memilih kelas emprit?”
Para jamaah setuju seratus persen. Tapi Kang Kamidin, yang tidak termasuk
main stream itu, tentu tak akur dengan “kalkulasi” tersebut.
“Ibadah ya ibadah,” kata Kang Kamidin.
“Maksudnya?”
“Ibadah itu bukti ketulusan hati. Jadi tak usah dikaitkan dengan
pahala.”
“Tapi pahala kan memang dijanjikan?”
“Ya, bagi ‘anak kecil’ yang menyapu demi hadiah permen; bagi jiwa
yang sujud demi pahala.”
“Apakah berarti Haji Mangil salah?”
“Kita tak punya hak menilai ibadah orang lain. Itu urusan Tuhan.”
Saya pun bertanya, bagaimana sikapnya terhadap pandangan “kiai” kita
yang menganggap ibadah tanpa ilmu ibarat surat tanpa alamat.
“Tuhan tak sebodoh tukang pos, Mas,” katanya.
Lama saya berpikir. Di balik kesederhanaannya itu terselip
kecanggihan. Ia tidak mau terperosok ke dalam “sumur kering” penalaran yang
serba formal dan teknis.
Oma Irama pernah bilang bahwa lagu-lagunya keluar dari hati, dan
pasti akan sampai ke hati. Kang Kamidin tampaknya bersikap sama: ibadah
yang tulus dari hati, akan ketangkap juga oleh gelombang cahaya Tuhan, yang
mahabesar kasihnya, yang tak terhingga ampunannya, dan yang mahatahu pula,
betapa kita ini cuma boneka-boneka tolol, di mata-Nya.
Mohammad Sobary, Editor, No.52/Thn.IV/14 September 1991
Wanodya
Bagaimanakah persisnya gambaran kita tentang wanita? Seperti Shinta
yang setia, tabah, dan sabar menahan derita? Seperti Srikandi yang kenes,
tangkas, dan cenderung tregal-tregel ning ora mbebayani (agak sembrono tapi
tak membahayakan)? Ataukah seperti Sarinah, sebagaimana dimaksudkan
Soekarno?
Dunia berputar. Dan di dalamnya, wanita pun berubah. Soekarno salah
dalam satu hal: wanita tak lagi dikungkung seperti dulu. Sudah umum
sekarang bahwa wanita punya kebebasan seperti pria. Artinya, wanita juga
bekerja di berbagai sektor, tempat laki-laki bisa bekerja. Dan, akibatnya,
wanita pun tak lagi bergantung sepenuhnya pada pria. Toko dan warung di
daerah pedesaan banyak yang berkembang di bawah kendali wanita.
Tak jarang wanita menjadi kepala keluarga. Juga tak jarang terjadi,
laki-laki –yang memegang warisan tradisi sebagai pelindung keluarga itu– dalam
praktek justru dilindungi sang wanita. Dan banyak laki-laki tidak merasa
malu.
Tapi secara sosial maupun kultural pengakuan kita atas peran wanita
masih kurang. Persepsi kultural kita masih tetap menjadikan wanita
“korban”. Misalnya, betapapun jelasnya kontribusi ekonomi kaum wanita bagi
keluarga, diakui umum bahwa pekerjaan wanita –seperti disebut dalam
penelitian Celia E. Mather mengenai wanita pekerja di Tangerang– dianggap
cuma “daripada menganggur”. Kecuali itu, ada anggapan (tentu saja di kalangan
pria) yang bersifat gender specific bahwa jenis pekerjaan tertentu tak
layak dikerjakan pria, karena ia “cuma” pekerjaan wanita.
Diskriminasi atas wanita terjadi di rumah tangga atau di pabrik. Di
rumah, seperti dilaporkan Diane Wolf dari penelitiannya tentang wanita
pekerja di Jawa Tengah, kontribusi ekonomi wanita dianggap sekunder, cuma
melengkapi hasil pria. Di pabrik, kata Mather, mereka dibayar cuma tiga
perempat jumlah gaji pria, biarpun sering mereka harus bekerja lebih keras
dari lawan jenisnya itu.
Pendek kata, sampai saat ini anggapan tradisional tentang
superioritas pria atas wanita belum tertumbangkan. Benar, wanita
“dimahkotai” aneka sebutan: tiang masyarakat, surga di bawah telapak kaki
ibu, atau dilambangkan sebagai bunga, dan diluhurkan sebagai ratu. Gadis
paling cantik di desa disebut bunga desa. Dan di kota-kota gadis cantik,
gadis luwes, gadis tangkas, dijuluki dengan aneka ratu.
Kalau dipikir-pikir, perlakuan istimewa bagi anak wanita dalam
keluarga –misalnya anak wanita harus dijaga baik-baik– ternyata diam-diam
mengandung “muatan” kepentingan seks buat laki-laki. Artinya, kalau ke mana
saja anak dijaga, diharapkan tetap “murni” dan itu nantinya biar
menyenangkan laki-laki (suaminya).
Di dunia wayang, tiap wanita muncul disambut dengan suluk ki dalang:
Wanodya ayu tama ngambar arum. Ngambar aruming kusuma… (wanita cantik
memancarkan harum bunga). Bunga apa, tidak penting. Tapi, melihat seorang
wanodya (cewek) cuma dari sudut kecantikannya, sungguh bisa bikin merah
muka kaum feminis.
Mereka akan lebih marah melihat persepsi kultural Jawa atas wanita:
Wanita ateges wani ditata (namanya juga wanita, ia harus rela diatur, taat
pada tatanan). Siapa yang bikin tatanan? Mungkin ayah, mungkin suami. Dan
kita tahu, ayah dan suami bukan wanita, tapi laki-laki. Jadinya, wanita
harus taat, tunduk pada laki-laki.
Mengapa begitu? Soalnya, wanita itu ibarat awan dadi theklek, bengine
ganti dadi lemek (siang menjadi bakiak, malamnya naik pangkat menjadi alas
untuk ditindih).
Dan siapa membaca Gadis Pantai-nya Pramudya Ananta Toer, akan jelas
betapa rendah status wanita di kalangan santri-priayi (Geertz akan pusing
melihat kombinasi ini) di masyarakat Jawa. Di kalangan itu, wanita cuma
tempat menumpahkan benih. Selebihnya babu atau budak.
Adalah juga orang Jawa yang menempatkan peran wanita dalam formulasi
“3 ah” sesuai dengan sebutan traditional gender-based ideology: yakni neng
omah (di rumah), olah-olah (memasak), dan mlumah, ngablah-ablah (maaf,
menelentang seseksi mungkin). Maksudnya, supaya sinuwun sang suami menjadi
sangat berkenan di hati. Posisi wanita dalam persepsi Jawa cuma bergerak
antara dua kutub: budak dan klangenan (barang, supaya tidak bilang hewan,
piaraan).
Dalam ketoprak dan wayang, gambaran itu tidak menyimpang secuil pun.
Wanita yang mencoba mendekati pria karena jatuh cinta disebut
ngunggah-unggahi atau suwita, artinya mengabdi. Dan, kelak, bila sang pria
tak lagi berkenan, wanita rela saja diusir jauh-jauh.
Hubungan kesederajatan antara pria dan wanita, pendeknya, belum pernah
ada. Gagasan wanita ateges wani ditata, dan konsep ngunggah-unggahi atau
suwita dan ejekan awan dadi theklek, bengi dadi lemek jelas menggambarkan
adanya ideologi penindasan pria atas wanita.
Tapi tampaknya, di bawah penindasan itu wanita menemukan juga sejenis
kenikmatan. Mungkin karena ada sejenis sifat cenderung “menyiksa” diri,
mungkin juga karena ketakberdayaan. Atau jangan-jangan wanita-wanita
cenderung jadi Shinta?
Mungkin bukan. Barangkali, wanita adalah sebuah piala cantik yang
retak: ia terombang-ambing antara hasrat untuk tetap dalam posisi
“tradisional” di rumah sebagai wanodya ayu tama yang “mengabdi” dan
kecenderungan untuk menuntut kebebasan.
Mohammad Sobary, Tempo, 2 Mei 1992
Konsekuensi Sifat Takabur
Takabur adalah sifat atau perbuatan buruk yang paling dibenci Allah
SWT, selain perbuatan menyekutukan- Nya. Ada kesamaan di antara keduanya,
yaitu menganggap ada kekuatan di luar-Nya yang dapat dijadikan sebagai
sumber kekuatan dan kebanggaan.
Secara definitif, takabur adalah i’jabul marâ’i binafsihi ujub, sifat
terpesona dan membanggakan diri secara berlebihan. Dalam ilmu psikologi,
sifat ini disebut narsisisme atau sikap yang menempatkan ego sebagai
satu-satunya parameter untuk menilai segala bentuk kebenaran.
Jika manusia tertawan sifat ini, akan menjadi pihak yang merasa
paling dalam segala hal; paling mampu, paling pintar, paling hebat, paling
sempurna, paling kaya, paling berkuasa, dan sebagainya. Sifat ini sumber
malapetaka bagi manusia, karena dapat menjerumuskan ke api neraka.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya ada sebesar biji sawi (atom) dari kesombongan.” (HR Muslim).
Allah SWT mengutuk siapa saja yang memelihara sifat ini, karena
takabur penanda bagi pembangkangan Iblis terhadap kebesaran kekuasaan-Nya.
Sesaat setelah Allah SWT menciptakan Adam, Dia memerintahkan Iblis untuk
bersujud di hadapan Adam.
Namun, Iblis menolak melakukannya. Dengan congkak, Iblis berkata,
“Aku lebih baik daripada dia (Adam), karena aku Kau ciptakan dari api,
sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (QS Shaad [38]: 76).
Jika ada orang yang dengan congkak membanggakan dirinya, menganggap
dirinya ukuran untuk segala hal, dan merasa berdaulat sepenuhnya atas
hidupnya tanpa membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain, dia sebenarnya
telah memutuskan untuk bersekutu dengan Iblis.
Di akhirat kelak, orang dengan mental takabur seperti ini juga akan
menjadi teman bagi Firaun, Qarun, Namrud, dan manusia-manusia terkutuk
lainnya karena kecongkakannya.
Sungguh nyata dampak buruk dari sifat takabur. Bukan hanya api neraka
yang akan menunggu, tapi dalam kehidupan sosial sehari-hari pun, sifat ini
tentu akan melahirkan konsekuensi buruk. Misalnya membuat orang lupa diri,
serakah, egois, dan akan dimusuhi orang-orang di sekitar. Tentu saja ini
hanya sedikit dampak buruk sifat takabur.
Untuk itu, kiranya perlu kita teguhkan kembali pesan Ali bin Abi
Thalib RA agar terhindar dari sifat takabur. “Jika kau berjumpa dengan
orang yang lebih muda, berpikirlah pasti dosanya lebih sedikit. Dan, jika
kau berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah pasti amalnya lebih
banyak dari amalmu.” (EM/AA)
Tuhan Kepercayaan
Islam tidak memberikan konsepsi yang jelas tentang Tuhan yang bernama
Allah. Al-Quran dalam surat al-Ikhlas menjelaskan bahwa: “Allah itu esa,
semua makhluk bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan diperanakan dan
tidak sesuatupun yang menyerupainya.”. Di ayat yang lain dinyatakan bahwa,
Allah sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi leher manusia dan diayat
yang lain dinyatakan pula bahwa kemanapun juga kita menghadap disitulah
wajah Allah.
Jika kita tidak berhati-hati dalam memahami hal ini, bukan tidak
mustahil bahwa pemahaman kita tentang Allah adalah sama seperti pemahaman
kita tentang Tuhan seperti yang dimaksud Ibn al-Arabi. Ibn al-Arabi
menyatakan bahwa ketika kita berpikir tentang Tuhan, maka pikiran kita
menciptakan Tuhan kepercayaan. Dr Kautsar Azhari Noer menjelaskan pemikiran
Ibn al-Arabi sebagai berikut:
“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan atau pemikiran,
konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia
atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia
sebenarnya, Tuhan pada dirinya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang
diciptakan oleh manusia sesuai kemampuan, pengetahuan, penangkapan dan
persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia
dalam pemikiran, konsep, ide atau gagasannya dan “diikat”-nya dengan dan
dalam kepercayaannya.
“Bentuk”, “gambar”, atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan dan
diwarnai oleh persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Yang
diketahui diwarnai oleh yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan
al-Junaid, seorang sufi terkemuka, Ibn al-Arabi berkata: “Bentuk air adalah
bentuk bejana yang ditempatinya.” Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui
sebuah hadis qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang
Aku.” Tuhan disangka oleh manusia, bukan diketahuinya. Dengan kata lain,
Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui.
Teori Ibn al-Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada
sebuah hadis Nabi Muhammad SAW tentang penampakan diri Tuhan pada hari
kiamat. Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan
Diri-Nya kepada ummat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk
akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan diterima oleh
setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan
menyadari bahwa tidak satupun diantara bentuk-bentuk itu yang merupakan
Tuhan yang sebenarnya, dan akan menyadari pula bahwa sebenarnya Tuhan yang
menampakkan Diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu
juga, tidak lain.
“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran,
konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia.
Orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang
memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus
menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat
dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokan
dengan “kotak” akalnya. Orang seperti ini menolak bentuk Tuhan yang tidak
cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain
yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apapun sebagai
kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn
al-Arabi adalah hamba nalar bukan hamba Tuhan. (Dr Kautsar Azhari Noer)
http://takbermakna.blogspot.com,
Berlarilah Menuju Allah
Oleh : Dr. Jalaluddin Rahmat
Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Ibrahim as. Ibadat haji,
misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus
dilaksanakan. Demikian juga dengan ibadat kurban. Dalam ibadat salat, kita
mengakhiri salat kita dengan membaca salawat kepada Ibrahim dan
keluarganya, di samping kepada Muhammad saw dan keluarganya.
Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim.
Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada
Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir;
26) Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap
Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99)
Pertanyaan fa ayna tadzhabun, “Lalu ke mana kamu pergi?” juga dikenal
dalam istilah Latin yang menyebutnya, “Quo Vadis?” Istilah Latin itu
ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan
Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya
melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu
mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita.
Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.
Seperti jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah
mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam
hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.
Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari
kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau
saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan:
Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29)
Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia
menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran
basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh
Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk
kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah
kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.
Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju
Tuhan. Allah swt berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali
menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat; 50)
Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan
memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk
diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari
sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju
kepada satu, Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani
berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya
sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan
menyambutnya sambil berlari.” Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari
apa yang kita lakukan. Dalam Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga
berfirman: Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya
kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan
kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir
membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun,
kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?” Para sahabat menjawab,
“Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat
kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan
menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan
kalian?” Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.”
Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat
hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang
kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.”
Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang
yang kembali padanya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah
jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu
jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri -meninggalkan unsur
tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.
Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan
membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita
lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu
berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan
yang membawa harta dan anak-anaknya.
Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga
berarti “tumbuh”. Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang
diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang,
semakin tinggi pulalah derajatnya.
Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut
puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia
menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya
tazakka.
Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses
meninggalkan rumah kita. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari
rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu
kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah….(QS. Al-Nisa; 100).
Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan
mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah
dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu
sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita.
Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita
beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita
bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita
menunaikan salat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita
sering beribadat dengan ibadat para pedagang. Kita menjual ibadat kita
untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat, kita mengutamakan kepentingan
pribadi kita.
Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari “rumah”
mereka. Mereka beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa
terima kasih kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah
Allah kepada mereka. Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan
Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.
Al-Quran menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa
meninggalkan dirinya -karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang
telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia
mencintai Tuhan. Allah swt berfirman: Di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama
seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat
mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165)
Tulisan ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah
Ibrahim pula. Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail
datang untuk mencabut nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, “Mana mungkin
sang Khaliq mematikan kekasih-Nya?” Ibrahim seakan menggugat mengapa
seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, “Bagaimana
mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?” Mendengar
jawaban agung itu, Ibrahim berkata, “Kalau begitu, ambillah nyawaku
sekarang juga.”
Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan
seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: “Tidak
henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan
ibadat-ibadat nawafil (di samping ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya.
Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia
mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan
menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang
dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan
permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya.”
(HR. Bukhari)
Allah dalam Dimensi
Jaläliyah dan Jamäliyah
Oleh : Dr. Jalaluddin Rahmat
Dalam Al-Quran, Allah berfirman,’Qulid’ulläha,awidurrahmänaayyama
tad’uw, falahul as-mäul husnä. Berdoalah kamu dengan memanggil nama Allah,
atau memanggil Al-Rahman. Karena bagiNya ada nama-nama yang baik.’ (QS.
AI-Isra 110) Dari memperhatikan nama-nama Allah yang terdapat dalam
Al-Quran, kita mengenal dua wajah Allah. Wajah yang pertama, kita sebut
dengan wajah jalal-Nya; yakni nama-nama Allah yang menunjukkan
kebesaran-Nya, keagungan-Nya, kemahaperkasaan-Nya,
ketidak-dapat-terbantahan-Nya, dan kekuatanNya untuk memaksa kita. Ada
nama-nama dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa Tuhan itu sangat berat
dalam mengadzab. Misalnya syadidul’iqäb, atau Yang sangat berat
siksaan-Nya. Tuhan juga adalah Al-Muntaqim, Sang Pernbalas Dendam. Semua
nama itu membuat kita takut kepada-Nya.
Nama-nama yang membangkitkan rasa takut kepada-Nya dalam diri kita,
dalam tasawuf disebut sebagai dimensi jaläliyah dari asma Allah swt.
Menurut para sufi, dimensi jalähyah berkaitan dengan zat Allah. Kalau kita
berbicara Allah sebagai satu zat, maka hubungan kita dengan Allah adalah
hubungan yang jauh. Allah adalah zat yang tidak bisa kita bayangkan. Betapa
pun kita mencoba untuk membayangkan Allah, Dia tetap berada di luar apa
yang kita bayangkan. Karena itu, dalam Al-Quran sering disebut:
subhänallahi ta’äla ‘ammä yasifün, Mahasuci Allah Ta’ala dari apa yang
mereka sifatkan dan mereka bayangkan.
Seorang ulama pernah berkata, sekiranya kita melakukan shalat, lalu
kita ingin shalat secara khusyuk dan kita membayangkan Allah dengan bayangan
kita, maka kita telah melakukan suatu kemusyrikan. Kita menyembah bayangan
kita tentang Allah sedangkan Dia Mahasuci dari apa pun yang kita bayangkan,
subhänallahi ta’äla ‘ammä yasifün (QS. AI-Shafaat 159).
Kalau kita membayangkan Allah dari segi zat-Nya, maka yang harus kita
lakukan adalah tanzih, atau pembersihan. Kita membersihkan diri dari segala
bayangan apa pun tentang Allah. Karena Allah tidak bisa kita bayangkan.
Laisa ka mitslihi syaiun, tiada yang semisal Dia sedikit pun. (QS. Al-Syura
1 1) Wa lam yakun lahu kufuwan ahad, Dia tidak menyerupai siapa pun. (QS.
AI-Ikhlas 4) Jadi, sikap kita terhadap Allah dari segi zatnya adalah
membersihkan Allah dari segala yang kita sifatkan.
Para filsuf menyebut Allah dari sisi jaläliyah-Nya sebagai sesuatu yang
transenden, yang melintasi ruang dan waktu. Hal itu berada di luar
bayangan-bayangan kita, Karena Allah bersifat transenden, maka kesan yang
ditimbulkan dalam diri kita adalah zat Allah yang jauh (A1-Bu’d).
Sifat-sifat yang menggambarkan jaläliyah-Nya membuat kita takut kepada-Nya,
membuat kita jauh dari-Nya. Kita ingin lari dari-Nya. Dalam dimensi
jalaliyah, posisi kita terhadap Allah adalah sebagai hamba-Nya (‘abd).
Seperti ketika shalat kita nyatakan dengan ucapan: iyyäka na’budu.
Kepada-Mu kami menyembah. (QS. Al-Fatihah 5).
Wajah Allah yang lain adalah sisi yang menunjukkan keindahan-Nya.
Dimensi ini disebut dengan dimensi jamäliyah. Sachiko Murata dalam The Tao
of Islam, menerjemahkan kata jaläl dengan His Majesty dan kata jamal dengan
His Beauty. Jika jalal berhubungan dengan zat Allah, maka jamäl berhubungan
dengan sifat-sifat Allah.
Kita tidak bisa mengenal zat-Nya karena Dia berbeda dengan kita. Oleh
karena itu Allah memperkenalkan dirinya melalui sifat-sifat-Nya. Di antara
sifat-sifat Allah yang jamäl itu adalah kasih-sayang-Nya, anugerah-Nya
kenikmatan-Nya, karunia-Nya, dan pemeliharaan-Nya.
Hal yang menarik, dalam Al-Quran, jumlah asma Allah yang menunjukkan
dimensi jamäliyah lebih banyak dari jumlah asma Allah yang menunjukkan sisi
jalähyah. Menurut sebagian sufi, hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang
Allah itu jauh lebih besar daripada kemurkaannya. Allah itu lebih cepat
rida-Nya daripada murka-Nya.
Jika dalam dimensi jaläliyah, kita harus membersihkan diri kita dari
segala bayangan tentang Allah, maka dalam dimensi jamäliyah, kita harus
melakukan apa yang disebut dengan tasybih. Tasybih artinya kita harus
meniru Allah, menyerupai-Nya dalam sifat-sifat-Nya yang indah itu. Dalam
ilmu Tasawuf dikenal istilah AI-Takhalluq bi khulüqillah, berakhlak dengan
akhlak Allah. Kita mencoba menyerap sifat-sifat Allah itu di dalam diri
kita.
Dalam perwujudan jamäl, Allah tidak dirasakan jauh karena Dia seperti
kita. Peribahasa Inggris berbunyi like begets like, yang serupa itu akan
saling rnenarik satu sama lain. Ilmu psikologi modern juga mengenal teon.
bahwa manusia akan tertarik kepada orang-orang di sekitarnya bila di antara
mereka terdapat kesamaan. Hal itu kemudian dijadikan kiat dalam teknik ilmu
jiwa: Bila kita menginginkan agar orang suka pada kita, maka usahakan untuk
menunjukkan kesamaan kita dengannya.
Dalam perwujudan jaläl, Allah berada jauh dari kita sehingga perasaan
yang timbul dalam hati kita terhadap Dia adalah perasaan khauf (takut).
Adapun dalam perwujudan jamäl, Allah berada dekat dengan kita sebagai
akibat dari keserupaan kita dengan-Nya. Perasaan yang timbul di hati kita
adalah perasaan mahabbah (cinta). Mahabbah ditunjukkan dalam anugerah
Allah, kasih sayang, karunia, ampunan, dan pahala-Nya.
Menurut Sachiko Murata, dalam penciptaan manusia Allah menunjuk
kepada sifat jamäliyah-Nya. Seperti dalam surat Al-Rahman, ‘Al-Rahmän,
‘allamal Qur’än, khalaqal insän. Dialah sang Maha Pengasih, yang
mengajarkan Al-Quran, yang menciptakan insan.’ (QS. Al-Rahrnan 1-3).
Al-Rahman adalah asma Allah yang menggambarkan keindahanNya. Jadi,
penciptaan manusia itu lahir dari sifat jamäliyah Tuhan, dari kasih
sayang-Nya.
Karena itulah ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia tidak berkata
kepada para malaikat itu “Aku akan ciptakan seorang hamba di muka bumi
ini.’ Tapi Tuhan berfirman, ‘Inni jä’ilun fil ardhi khalifäh. Aku akan
jadikan di bumi seorang khalifah.’ (QS. AI-Baqarah 30).
Posisi kita terhadap Allah dalam dimensi jamäliyah bukan lagi posisi
seorang hamba tapi posisi seorang khalifah.
Murata mengatakan bahwa di antara seluruh hamba-hamba Tuhan yang Ia
ciptakan di alam semesta, yang Tuhan berikan jubah kehormatan adalah
manusia. Jubah kehormatan itu adalah kekhalifahan manusia. Manusia memikul
amanat yang besar untuk menjadi ‘wakil Tuhan’ di bumi. Di antara seluruh
makhluk-Nya, Tuhan melihat manusia sebagai satu-satunya makhluk yang berhak
mengenakan jubah kehormatan sebagai khalifah Tuhan.
Para malaikat lalu menanyakan kelayakan manusia untuk memakai jubah
kehormatan ini. Yang mereka persoalkan adalah akhlak manusia, bukan
komponen-komponen yang membentuk rnanusia. Malaikat bertanya, ‘Ataj’alu
fihä may yufsidu fihä wa yasyfikud dimä. Wa nahnu nusabbihu bihamdika wa
nuqadissulak. Akankah Engkau jadikan di bumi seorang khalifah yang nanti akan
berbuat kerusakan dan menumpahkan darah Padahal kami selalu bertasbih
kepadaMu dan mensucikan-Mu. Seakan-akan para malaikat berkata bahwa yang
paling layak menjadi khalifah adalah mereka karena kebiasaan mereka untuk
mensucikan Tuhan. Tetapi Allah berfir-man, ‘Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.’ (lihat QS. AI-Baqarah 30).
Jubah kekhalifahan adalah amanah. Dalam Al-Quran disebutkan ketika
amanah itu diberikan kepada langit, bumi, dan bukit-bukit, mereka sernua
bergetar ketakutan rnenolak amanat itu. Kernudian manusialah yang
menerimanya. Mengapa manusia dipilih sebagai khalifah dibandingkan
makhluk-makhluk lain? Karena pada manusialah dua wajah rnanusia itu bisa
bergabung.
Menurut IbnArabi, sernua makhluk itu hanya membawa satu saja dari dua
sifat Allah swt. Halilintar, misalnya, hanya membawa dalam dirinya sifat
jaläliyah Tuhan saja. Hujan hanya membawa sifat jamäliyah saja. Tapi pada
diri manusia ada potensi untuk menggabungkan kedua dimensi itu. Karena
manusia bukan saja khalifah tapi ia juga seorang abdi.
Dalam.posisinya sebagai hamba, manusia sama seperti makhluk-makhluk
Allah yang lain. Pada posisinya sebagai khalifah, ia menonjol dibandingkan
makhluk-makhluk yang lain. manusia memiliki berbagai keistimewaan.
Dalam ilmu-ilmu bantu Islam, yang mengambil wajah Allah dari segi
jaläliyah, adalah ilmu fikih. Pada ilmu fikih, Tuhan muncul dalam sosok
seorang hakim dengan palu di tangannya; jika Anda lakukan ini Anda masuk
surga dan jika tidak, Anda masuk neraka. Tuhan mempunyai dua tangan. Pada satu
tangan, Ia simpan surga dan pada tangan yang lain, Ia simpan neraka. Tuhan
menjadi hakim yang sangat adil.
Para sufi sering mengatakan bahwa yang mereka takutkan dari Tuhan itu
adalah keadilan-Nya. Dalam salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca
setiap hari Ahad, disebutkan: Dengan nama Allah yang tidak aku harapkan
kecuali karunia-Nya dan tidak aku takutkan kecuali keadilan-Nya. (lihat
Shahifah Sajjädiyah, Doa Hari Ahad.) Anugerah Allah adalah sisi jamäliyah
dan keadilan Allah adalah sisi jalähyah.
Satu ketika seorang cucu Rasulullah saw, Imam Ali Zainal Abidin as,
bertemu dengan Hasan Al-Bashri, seorang tabiin murid Imam Ali kw. Mereka
berdiskusi. Hasan Al-Bashri mengatakan, `Jika kita melihat apa yang
dilakukan manusia sehari-hari sekarang ini, tampaknya tidak bakal ada
seorang pun di antara manusia yang masuk surga.” Maksud Hasan Al-Bashri,
bila kita perhatikan hadis-hadis, sepertinya semua manusia akan masuk
neraka.
Misalnya ada hadis yang menyatakan tidak akan pernah masuk surga
seseorang yang dalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu. Dan
takabur di hati kita lebih dari sebesar debu, takabur kita sebesar gunung.
Padahal sebesar debu saja sudah diharamkan masuk surga. Ada pula hadis Nabi
yang menyatakan barangsiapa yang usianya lebih dari empat puluh tahun, lalu
kebaikannya tidak lebih besar dari keburukannya, maka setan akan menciumnya
di antara dua alisnya. Di dalam idiom bahasa Arab, mencium di antara dua
alis itu adalah ungkapan kasih sayang. Jadi, barangsiapa yang sudah berusia
empat puluh tahun sementara kebaikannya tidak lebih besar dari
keburukannya, hendaknya ia bersiap-siap untuk kedudukannya di neraka.
Bila kita simak hadis-hadis itu, rasanya kita sernua akan masuk
neraka.
Lalu Imam Ali Zainal Abidin berkata kepada Hasan Al-Bashri, ‘Kalau
kita perhatikan kasih sayang Allah swt, tampaknya tidak ada seorang pun
yang masuk neraka.’ Dari sini dapat kita lihat bahwa Ali Zainal Abidin
berada pada dataran jamäliyah Allah swt sementara Hasan AI-Bashri berada
pada dataran jaläliyah Allah swt.
Sekiranya kita hanya berpegang pada dimensi jamäliyah Tuhan dan tidak
memperhatikan sisi jaläliyah-Nya, kita akan menjadi orang yang sangat
longgar. Kita akan seenaknya saja berbuat maksiat karena kita beranggapan
toh Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kita akan melanggar
berbagai aturan-Nya, karena ampunan Allah lebih luas dari dosa-dosa kita.
Hukum Tuhan tidak akan bisa ditegakkan di muka bumi. Bila kita hanya
menyerap sifat-sifat jamäliyah, ketika kita dirampok dan dizalimi, kita akan
memaafkan saja. Karena Allah pun adalah Maha Pengampun. Dan kejahatan pun
akan berkembang luar biasa di bumi ini.
Oleh sebab itu, hal ini harus kita imbangi dengan keadilan Ilahi.
Keadilan Ilahi sangat ditakuti para sufi. Jika Allah itu adil dan mempertimbangkan
semua amal kita, maka kita semua akan masuk neraka. Jika Dia membalas kita
dengan balasan yang setimpal, celakalah kita. Jadi, keliru bila ada yang
mendoakan orang yang meninggal dunia dengan ucapan, ‘Semoga Allah memberi
balasan yang setimpal.’
Dalam salah satu doanya, Imam Ali Zainal Abidin berkata:
Ya Allah, setiap hari Engkau berkhidmat kepadaku
Seakan-akan tiada hamba yang lain selain aku
Padahal setiap hari pula para malaikat mengantarkan kemaksiatanku
kepada-Mu
Seakan-akan aku punya Tuhan yang lain selain Engkau
Kita membantah Tuhan seakan-akan ada Tuhan yang lain yang bisa kita
melarikan diri kepada-Nya. Kalau kita di-PHK dari Tuhan yang ini, kita bisa
pindah kepada Tuhan yang lain. Tapi Tuhan melayani kita seakan-akan kitalah
satu-satunya hamba-Nya.
Bila Allah membalas amal kita dengan keadilan-Nya, kita semua akan
celaka. Kita beramal saleh, tapi amalan kita yang sedikit itu banyak sekali
virusnya. Virus itu misalnya perasan riya’ (kurangnya keikhlasan) dan
perasaan ‘ujub (takjub akan kesalehan kita sendiri).
Suatu saat, seorang sufi di antara shalat malamnya mendengarkan
sebuah suara. Suara itu berkata, ‘Ya Aba Abdillah, kalau kejelekanmu aku
ungkapkan kepada manusia yang lain, mereka akan melempari kamu dengan
batu.’ Sufi itu menjawab, ‘Ya Allah, kalau Engkau ungkapkan kasih-sayang-Mu
kepada semua hamba-Mu, nanti tidak akan ada seorang pun yang menyembah-Mu.”
Lalu suara itu berkata, `Sudahlah, diamlah kamu supaya aku juga diam.’
Dialog itu mengkombinasikan jamäliyah dan jaläliyah Tuhan. Seorang sufi
adalah seorang yang menerima dimensi jaläliyah Allah, tetapi ia lebih
menitikberatkan pada dimensi jamäliyah-Nya.
Ilmu fikih berkaitan dengan hukum, keadilan, dan syariat. Ia
menggarisbawahi sifat-sifat jaläliyah Tuhan. Karena itu, bila tasawuf tidak
disertai dengan fikih akan lahir kelalaian dan kecenderungan untuk berbuat
maksiat. Para sufi mengatakan: Tarekat tanpa syariat itu bätil (sesat)
sedangkan syariat tanpa tarekat itu ‘ätil (kosong, tak berisi).
Ilmu Islam yang lain yang menekankan jaläliyah-Nya Allah Swt adalah
ilmu kalam (teologi). Para filosof Islam lebih menekankan jaläliyah Allah
Swt. Dulu ketika kita belajar sifat-sifat Allah, pelajaran yang kita
peroleh itu berasal dari ilmu kalam. Yang kita hafalkan sifat Allah itu ada
dua puluh. Kedua puluh sifat itu menunjukan perbedaan kita dengan Allah
swt. Seperti wujud, qidam, baqa, dan mukhlafatuhu lil hawaditsi, semua itu
menunjukan perbedaan. Sifat yang sama dengan kita hanya tiga yang terakhir:
mendengar, melihat, dan berbicara. Sifat-sifat yang awal itu menunjukan
sifat yang berbeda dengan kita. Bahkan ditegaskan dalam salah satu
sifat-Nya, mukhalafatuhu lil hawaditsi: Allah itu berbeda dengan
makhluknya. Itu semua berasal dari ilmu kalam.”
Etika Menolong Dalam Islam
Oleh : Dr. Jalaluddin Rahmat
Ada banyak nama untuk bulan Ramadhan. Nabi Muhammad SAW menyebutnya
Bulan Keberkahan, Bulan Kesabaran, Bulan Ampunan, dan Bulan Berbagi (Syahr
al-Muwasat). Pada bulan ini orang kaya bukan saja harus berbagi kekayaan
dengan orang miskin, ia juga harus ikut berempati dengan penderitaan
mereka. Orang beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan orang yang malang.
Perintah untuk berbagi ini diingatkan dengan doa yang harus dibaca
setiap selesai shalat wajib:
Ya Allah, masukkan kebahagiaan kepada para penghuni kubur
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit
Bersamaan dengan doa yang mereka lantunkan, semua Muslim harus
menjadi tangan-tangan Tuhan untuk memenuhi doa itu. “Puasa itu hanya untuk
Aku,” kata Tuhan. Puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak ada
persembahan yang paling agung selain perkhidmatan kepada makhluk-Nya.
Mencintai Tuhan hanya dapat dilakukan dengan mencintai sesama manusia.
Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan pada Bulan Berbagi bukanlah
ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi ibadah sosial yang
membagikan kebahagiaan kepada orang banyak.
Mencintai Tuhan dengan mencintai manusia digambarkan Leigh Hunt,
penyair Inggris, dalam kisah seorang sufi, Abou Ben Adhem, yakni Abou Ben
Adhem (semoga kabilahnya bertambah) satu malam terbangun dari mimpinya yang
indah. Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap
ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada
kitab emas. Ketenteraman jiwa membuat Abou berani berkata kepada sang Sosok
di kamarnya, “Apa yang sedang kamu tulis?”
Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang
lembut dan manis ia berkata, “Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan.”
“Adakah namaku di situ?” kata Abou. “Tidak. Tidak ada,” jawab malaikat.
Abou berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, “Kalau begitu aku
bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia.”
Malaikat menulis dan menghilang.
Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan
dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abou
Ben Adhem di atas semua nama.
Menolong mereka berarti menolong Aku
Abou Ben Adhem mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut
Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya,
Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya
kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan.
Bagi kita semua, Rumi mendendangkan lagu ini:
Marilah kita jatuh cinta lagi/ Dan sebarkan debu emas ke seluruh
penjuru Bumi/ Marilah kita menjadi musim semi baru/ Dan merasakan tiupan
lembut dalam wewangian surgawi/ Marilah kita busanai bumi dalam kehijauan/
Dan seperti getah pohon yang muda/ Biarkan berkat dari dalam mengaliri
kita/ Marilah kita ukir permata dari hati kita yang membatu/ Dan pancarkan
cahayanya untuk menyinari jalan cinta/ Lirikan cinta sejernih kristal dan
kita diberkati karena cahayanya.
Baik Abou Ben Adhem maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa
mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali
apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari
kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba- Nya.
Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Aku lapar, tapi
kamu tidak memberi makan kepada-Ku.” Ia berkata kepada yang lainnya, “Aku
haus, tapi kamu tidak memberiku minum.” Ia berkata kepada hamba-Nya yang
lainnya lagi, “Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku. ” Ketika
hamba-hamba- Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, “Sungguh si
fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku
bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan
Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan
menemukan Aku bersamanya.” (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam
Al-Futuhat al-Makkiyah) .
Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan
mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga
tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf bila ia lulus melewatinya.
Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua
beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita
tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama
manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya.
Abou Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali
mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan
seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, “Sejak dahulu
katak dapat melakukannya! ” Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang
dapat terbang, ia menjawab singkat, “Lalat dapat melakukannya lebih baik.”
Muridnya bertanya, “Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?” Ia menjawab,
“Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan perkhidmatan
sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam
hatinya.”
Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih,
tasawuf dianggap mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan agama Kristen.
Tor Andrae, pernah menjadi bishop Lutheran dari Linkvping, mengungkapkan
bagaimana Yesus sering dijadikan rujukan dalam ucapan-ucapan para sufi.
Mereka belajar dari Yesus bukan saja tentang kesederhanaan hidup yang
dijalankannya, tetapi juga perhatiannya untuk menolong orang lain.
Namun, kaum sufi bukan hanya merujuk kepada Kristus, mereka juga
belajar jalan cinta dari Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut
ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, “Wahai Musa, kami ingin
mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan
supaya Dia berkenan menerima undangan kami.”
Dengan marah Musa menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak
memerlukan makanan?” Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata
kepadanya, “Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu?
Hamba-hamba- Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan
datang pada pesta mereka Jumat petang.”
Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka
sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam
keadaan lelah dari perjalanan jauh. “Saya lapar sekali,” katanya kepada
Musa. “Berilah aku makanan.” Musa berkata, “Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin
akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus
memberikan bantuan.” Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta
makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari
makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka
anggap telah memperdayakan mereka.
Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, “Tuhanku, saya sudah
dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti
yang Engkau janjikan.” Tuhan menjawab, “Aku sudah datang. Aku telah menemui
kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau
menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau
menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku
dengan penghormatan. “
“Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi
ia hanyalah manusia biasa,” kata Musa.
“Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu
memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh
langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang
dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku
berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku.”
Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang.
Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya
berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.
Dalam Al-Quran juga ada perintah, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan
menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami
telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yang menghinakan. ”
(QS An Nisaa: 36-37)
Menolong Harus Tulus
Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini
berasal dari “shadaqa”, yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang
bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk
harta atau uang. “Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa
dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari jalanan,” kata Nabi
Muhammad SAW.
Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan
kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta
inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah
seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi.
Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang
sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal
saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk
daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul , Turki.
Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai
sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan
beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah
yang kering.
Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya,
ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik.
Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah
yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, “Saya tidak masuk surga
karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga karena
seekor semut.”
(Renungan ini semula berupa makalah dengan judul Die Ethik des
Helfens im Islam, yang disampaikan Jalaluddin Rakhmat pada seminar “Die
Ethik des Helfens aus der Sich verschiedener Religionen”, Basel, 8-13
September 2002)
Tuhan Kepercayaan
Islam tidak memberikan konsepsi yang jelas tentang Tuhan yang bernama
Allah. Al-Quran dalam surat al-Ikhlas menjelaskan bahwa: “Allah itu esa,
semua makhluk bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan diperanakan dan
tidak sesuatupun yang menyerupainya.”. Di ayat yang lain dinyatakan bahwa,
Allah sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi leher manusia dan
diayat yang lain dinyatakan pula bahwa kemanapun juga kita menghadap
disitulah wajah Allah.
Jika kita tidak berhati-hati dalam memahami hal ini, bukan tidak
mustahil bahwa pemahaman kita tentang Allah adalah sama seperti pemahaman
kita tentang Tuhan seperti yang dimaksud Ibn al-Arabi. Ibn al-Arabi
menyatakan bahwa ketika kita berpikir tentang Tuhan, maka pikiran kita
menciptakan Tuhan kepercayaan. Dr Kautsar Azhari Noer menjelaskan pemikiran
Ibn al-Arabi sebagai berikut:
“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan atau pemikiran,
konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia
atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia
sebenarnya, Tuhan pada dirinya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang
diciptakan oleh manusia sesuai kemampuan, pengetahuan, penangkapan dan
persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia
dalam pemikiran, konsep, ide atau gagasannya dan “diikat”-nya dengan dan
dalam kepercayaannya.
“Bentuk”, “gambar”, atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan dan
diwarnai oleh persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Yang
diketahui diwarnai oleh yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan
al-Junaid, seorang sufi terkemuka, Ibn al-Arabi berkata: “Bentuk air adalah
bentuk bejana yang ditempatinya.” Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui
sebuah hadis qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang
Aku.” Tuhan disangka oleh manusia, bukan diketahuinya. Dengan kata lain,
Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui.
Teori Ibn al-Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada
sebuah hadis Nabi Muhammad SAW tentang penampakan diri Tuhan pada hari
kiamat. Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan
Diri-Nya kepada ummat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk
akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan diterima oleh
setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan
menyadari bahwa tidak satupun diantara bentuk-bentuk itu yang merupakan
Tuhan yang sebenarnya, dan akan menyadari pula bahwa sebenarnya Tuhan yang
menampakkan Diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu
juga, tidak lain.
“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran,
konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia.
Orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang
memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus
menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat
dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokan
dengan “kotak” akalnya. Orang seperti ini menolak bentuk Tuhan yang tidak
cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain
yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apapun sebagai
kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn
al-Arabi adalah hamba nalar bukan hamba Tuhan. (Dr Kautsar Azhari Noer)
Memahami Nur Muhammad
Nur adalah cahaya. An-Nur adalah Sang Cahaya, salah satu Asmaul
Husna. Nur adalah cahaya ciptaan yang memancar dari Cahaya Allah Yang Tak
Tercipta. Ketika cahaya ini masuk ke dalam hati, ia menghilangkan tatanan
maujud (al kawn) yang menghilangkan mata bathin (al bashirah) sehingga ia
tidak menyaksikan sesuatu selain Allah.
Nur Muhammad adalah Cahaya Muhammad. Ini singkatan dari istilah
Bahasa Arab An-Nur Muhammadiyah artinya sebuah realitas dari Muhammad atau
realitas ke-muhammadan yang diciptakan sebelum penciptaan alam, yakni
ketika Tuhan menggenggam cahaya dan memerintahkan agar menjadi Muhammad.
Jadi dari Nur Muhammad ini alam diciptakan.
Nur Muhammad ini yang memungkinkan salik melanjutkan perjalanan
menuju Hakikat Muhammad. Karena sifatnya yang dingin sang salik bisa
mencapainya, kalau tidak dingin maka dia akan terbakar habis.
Dari kalangan Syiah, mereka menyebutnya dalam Bahasa Parsi, Nur
Muhammadi. Konsep ini dimaksudkan sebagai nilai kesempurnaan Imam mereka,
ini merupakan konsep penting dalam doktrin imamah mereka. Menurut Jaffar
AsShadiq “Cahaya Muhammad diwariskan kepada laki-laki terkemuka diantara keluarga
kami, dan bersinar kembali dalam diri sang Imam, dan dari kita seluruh ilmu
pengetahuan berasal… Al Mahdi adalah bukti kebenaran yang terakhir sebagai
penutup para imam..”.
Dari konteks kalimat di atas, konsep ini mendorong lahirnya paham
emanasionisme, iluminisionisme,dan pengetahuan pancaran.
Di kalangan suni, konsep ini memiliki pengertian berbeda, sebagai
fondasi sebuah konsep yang menyatakan bahwa rosul adalah manifestasi dari
being. Hal ini, disebutkan dalam filsafat Plato sebagai Intellect. (Source
: The Concise Encyclopaedia of Islam, Cyryll glasse), tetapi menurut Kamus
Filsafat, karya Lorens Bagus, mengungkapkan bahwa Intelek bersumber pada
Aristotles. Intellect berasal dari bahasa Latin, dari asal kata inter
artinya antara dan legere artinya mengumpulkan, menyerap atau membaca.
Jadi, maksudnya kemampuan untuk mengetahui secara konseptual dan
menghubungkan apa yang dimengerti.
Doktrin ini menjelaskan berasal dari mitos manichean tentang
penciptaan, dimana kreator mencipta karena serangan prinsip kejahatan yang
absolut. Tuhan menciptakan diri sebagai partikel cahaya yang kemudian
berhambur menjadi ciptaan sebagai sarana perlindungan. Menurut paham
manicheanisme, cahaya ini merupakan tuhan itu sendiri.
Paham tentang alam berawal dari cahaya, juga disampaikan oleh Pak
Subuh (Subud).
Lalu bagaimana pendapat dari kalangan alim ulama maupun para sufi
atau awliya, diantaranya Al Hallaj, Ibn Arabi, dan Al Jilli?
Konsep Al Hallaj
Nur Muhammad adalah adalah cahaya purba yang melewati dari Nabi Adam
ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali, cahaya
melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum), dan mengaruniai mereka
dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi.
Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam AS.
Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan mahluk lainnya, bahwa
“Inilah mahluk Allah yang paling mulia”.
Konsep Ibn Arabi
Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan
inspirasi. Melaluinyalah pengetahuan kudus itu diturunkan kepada semua
nabi, termasuk Muhammad dan santo-santo, hanya kepada Ruh Muhammad saja
diberikan jawami al kalim/averba dei/firman universal.
Konsep Al Jilli
Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia
disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada
kekuasaan mahluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia
kutub dari segenap falak.
Ia disebut al haqq al mahluq bih, (Al Haqq sebagai alat pencipta),
hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti.
Dia disebut Al Qalam Al A’la (pena tertinggi) dan al Aql Al Awal
(akal pertama) karena wadah pengetahuan tuhan terhadap alam maujud, dan
melalui tuhan menuangkan sebagian pengetahuannya kepada mahluk.
Adapun disebut Ar Ruh Al Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya
dengan ruh al Quds (ruh Tuhan), Al Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia
adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya.
Perbedaan antara Nur Muhammad dan Hakikat Muhammad terletak dalam
berbagai tingkatan kemenurunan (tanazul) wujud, dari kegaiban bathiniah
khazanah tersembunyi hingga manifestasi lahiriah kosmos.
Demikian penjelasan dari khazanah ulama/sufi manca negara, di daerah
Nusantara juga memiliki sudut pandang sendiri, seperti Ronggo Warsito dalam
kitab Wirid hidayat Jati, yang boleh jadi merupakan saduran dari Muhammad
Ibn Fadlilah dalam kitabnya Al tuhfah Al Mursalah ila Ruhin-nabi. Beberapa
aliran spiritualis juga memiliki konsep sendiri-sendiri walaupun secara
global mirip antara satu dengan yang lainnya.
Sumur Kering
Pernah saya baca kisah seorang ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah
sumur kering. Ia tak bisa naik. Ketika tampak olehnya orang bertopi
melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong.
“Tolonglah, keluarkan aku dari sini.”
“Oke,” jawab orang bertopi itu. Ia seorang sufi yang bermaksud
mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata
sang sufi lagi.
“Huss, logika bahasamu salah,” teriak si ahli bahasa. “Seharusnya kau
bilang tangga, baru kemudian tali,” katanya lagi.
Sufi kita, yang biasa berpikir tentang hakikat, tertegun sejenak. Ia
menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang bisa cerewet
mengenai persoalan “kulit” dan abai terhadap perkara “isi”. Tapi kemudian
ia menyahut lagi.
“Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau masih lebih
mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu, tunggulah lima
tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”
Sang sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan
tinggallah ahli bahasa kita, termenung – menung menyesali orientasinya yang
sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang kompleks dan
warna-warni itu.
Boleh jadi, ahli bahasa dan sufi dalam kisah ini tak pernah ada.
Kisah ini, dengan kata lain, bisa saja cuma sebuah rekaan belaka. Tapi
bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran seperti mereka itu ada di sekitar
kita, sebaiknya tak usah diragukan.
Saya pikir-pikir, kisah itu merupakan sebuah karikatur yang pas buat
dua orang tokoh di kampung saya: Haji Mangil dan Kang Kamidin. Haji Mangil
itu resminya imam masjid. Dalam urusan doa-doa, selamatan dan aneka ritus
agamis ia berada di “depan”. Orang banyak telah mengkiai-kan dia. Tetapi
kekuasaan real Haji Mangil jauh lebih besar lagi karena ia ternyata juga
dominan secara politis.
Kang Kamidin sebaliknya. Ia tak “tampak”. Kehadirannya dalam, dan
absennya dari, pertemuan, misalnya, tak menambah dan tak mengurangi arti
apa pun.
Pendeknya, ia tidak “dihitung”. Ia bukan pengikut yang baik. Diajak
tahlilan tidak mau. Diajak Yasinan tiap malam Jum’at sering mencolot
diam-diam, karena tidak hapal surat Yasin. Buat apa anggota macam dia?
Saya sendiri netral. Posisi “non-blok” ini membuat saya bisa luwes
berdialog dengan pihak mana pun.
Pernah suatu hari, setelah salat lohor di masjid, saya bertanya pada
“kiai” kita mengapa ia begitu menekankan perlunya menghapal doa dan
ayat-ayat.
“Kamu ini bagaimana, semuanya itu kunci pokok. Kita dilarang
melakukan suatu amal bila kita tak paham akan ilmunya. Ngerti?”
Karena saya kelihatan belum mengerti, Haji Mangil pun memberi contoh.
“Bila tak paham ilmu, kita beramal, itu ibarat tukang jahit memotong-motong
kain seorang pelanggan sebelum ditanya buat apa kain itu,” katanya.
“Dia potong buat jas, padahal pelanggan mau bikin celana. Kan kacau
jadinya?” kata Pak Haji lagi.
Saya tahu, Pak Haji menyindir Kang Kamidin yang rajin puasa
Senin-Kamis, rajin salat malam, tapi buta ayat dan doa-doa.
“Maksudnya, amal itu tak sampai pada Tuhan?”
“Jelas tidak. Amal begitu sama dengan surat tanpa alamat. Surat sudah
ditulis, sudah dimasukkan ke dalam amplop, sudah ada prangko, tapi tak ada
alamat. Ke mana tukang pos mau menyampaikannya, coba?”
Pak Haji seorang formalis. Ia bangga bahwa Islam tegas mengajarkan
sikap disiplin. Berulang-ulang dia anjurkan jamaah berdisiplin memegang
waktu, agar dalam salat jamaah ada di shaf paling depan.
“Shaf paling depan itu pahalanya paling besar: dapat unta,” katanya.
“Belakangnya cuma lembu. Belakangnya lagi kambing. Nah, terserah kita. Mau
pilih kelas unta apa puas dengan kelas kambing,” katanya lagi.
“Kalau begitu berarti Pak Haji selalu dapat unta, dan orang lain cuma
kambing, mungkin malah cuma burung emprit,” kata saya.
“Salah mereka sendiri, bukan, memilih kelas emprit?”
Para jamaah setuju seratus persen. Tapi Kang Kamidin, yang tidak
termasuk main stream itu, tentu tak akur dengan “kalkulasi” tersebut.
“Ibadah ya ibadah,” kata Kang Kamidin.
“Maksudnya?”
“Ibadah itu bukti ketulusan hati. Jadi tak usah dikaitkan dengan
pahala.”
“Tapi pahala kan memang dijanjikan?”
“Ya, bagi ‘anak kecil’ yang menyapu demi hadiah permen; bagi jiwa
yang sujud demi pahala.”
“Apakah berarti Haji Mangil salah?”
“Kita tak punya hak menilai ibadah orang lain. Itu urusan Tuhan.”
Saya pun bertanya, bagaimana sikapnya terhadap pandangan “kiai” kita
yang menganggap ibadah tanpa ilmu ibarat surat tanpa alamat.
“Tuhan tak sebodoh tukang pos, Mas,” katanya.
Lama saya berpikir. Di balik kesederhanaannya itu terselip
kecanggihan. Ia tidak mau terperosok ke dalam “sumur kering” penalaran yang
serba formal dan teknis.
Oma Irama pernah bilang bahwa lagu-lagunya keluar dari hati, dan
pasti akan sampai ke hati. Kang Kamidin tampaknya bersikap sama: ibadah
yang tulus dari hati, akan ketangkap juga oleh gelombang cahaya Tuhan, yang
mahabesar kasihnya, yang tak terhingga ampunannya, dan yang mahatahu pula,
betapa kita ini cuma boneka-boneka tolol, di mata-Nya.
Mohammad Sobary, Editor, No.52/Thn.IV/14 September 1991
Lima Pintu Menuju
Keindahan dan Kebahagiaan
Gede Prama memulai talkshow dengan bercerita tentang tokoh asal Timur
Tengah, Nasruddin. Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman
rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari jarum. Tetangganya
yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut. Tetapi selama
sejam mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.
Tetangganya bertanya, “Jarumnya jatuh dimana?”
“Jarumnya jatuh di dalam,” jawab Nasruddin.
“Kalau jarum bisa jatuh di dalam, kenapa mencarinya di luar?” tanya
tetangganya. Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, “Karena di
dalam gelap, di luar terang.”
More…Begitulah, kata Gede Prama, perjalanan kita mencari kebahagiaan
dan keindahan. Sering kali kita mencarinya di luar dan tidak mendapat
apa-apa. Sedangkan daerah tergelap dalam mencari kebahagiaan dan keindahan,
sebenarnya adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak ‘sumur’
kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu juga
mencarinya jauh-jauh, karena ‘sumur’ itu berada di dalam semua orang.
Sayangnya karena faktor peradaban, keserakahan dan faktor lainnya,
banyak orang mencari sumur itu di luar. Ada orang yang mencari bentuk
kebahagiaannya dalam kehalusan kulit, jabatan, baju mahal, mobil bagus atau
rumah indah. Tetapi kenyataannya, setiap pencarian di luar tersebut akan
berujung pada bukan apa-apa. Karena semua itu, tidak akan berlangsung lama.
Kulit, misalnya, akan keriput karena termakan usia, mobil mewah akan
berganti dengan model terbaru, jabatan juga akan hilang karena pensiun.
“Setiap perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan di luar, akan
selalu berujung pada bukan apa-apa, leads you nowhere. Setiap kekecewaan
hidup yang jauh dari keindahan dan kebahagiaan, berangkat dari mencarinya
di luar,” tegas Gede Prama. Untuk mencapai tingkatan kehidupan yang penuh
keindahan dan kebahagiaan, seseorang harus melalui 5 (lima) buah ‘pintu’
yang menuju ke tempat tersebut.
Pintu pertama adalah stop comparing, start flowing. “Stop
membandingkan dengan yang lain. Seorang ayah atau ibu belajar untuk tidak
membandingkan anak dengan yang lain. Karena setiap pembandingan akan
membuat anak-anak mencari kebahagiaan di luar,” ujar Gede Prama.
Setiap penderitaan hidup manusia, setiap bentuk ketidakindahan,
menurut Gede Prama, dimulai dari membandingkan. Gede Prama mencontohkan
orang kaya berkulit hitam yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia
berkulit hitam. Orang itu sering kali membandingkan dirinya dengan orang
kulit putih.
“Uangnya banyak, mampu mengongkosi hobinya untuk operasi plastik.
Sehingga orang yang hidup dari satu perbandingan ke perbandingan lain, maka
hidupnya kurang lebih sama dengan seorang orang kaya itu. Leads you
nowhere,” kata Gede Prama dengan logatnya yang khas.
Karena itu, Gede Prama mengajak peserta ke sebuah titik, mengalir (flowing)
menuju ke kehidupan yang paling indah di dunia, yaitu menjadi diri sendiri.
Apa yang disebut flowing ini sesungguhnya sederhana saja.
Kita akan menemukan yang terbaik dari diri kita, ketika kita mulai
belajar menerimanya. Sehingga kepercayaan diri juga dapat muncul.
Kepercayaan diri ini berkaitan dengan keyakinan-keyakinan yang kita bangun
dari dalam. “Tidak ada kehidupan yang paling indah dengan menjadi diri
sendiri. Itulah keindahan yang sebenar-benarnya!” kata Gede Prama.
Pintu kedua menuju keindahan dan kebahagiaan adalah memberi. Sebab
utama kita berada di bumi ini, kata Gede Prama, adalah untuk memberi.
“Kalau masih ragu dengan kegiatan memberi, artinya kita harus memberi lebih
banyak,” ujar Gede Prama.
“Saya melihat ada 3 tangga emas kehidupan; I intend good, I do good
and I am good. Saya berniat baik, saya melakukan hal yang baik, kemudian
saya menjadi orang baik. Yang baik-baik itu bisa kita lakukan, bila kita
konsentrasi pada hal memberi,” lanjut Gede Prama lagi. Memberi tidak harus selalu
dalam bentuk materi. Pemberian dapat berbentuk senyum, pelukan, perhatian.
Dan setiap manusia yang sudah rajin memberi, dia akan memasuki wilayah
beauty and happiness.
“Saya sering bertemu dengan orang-orang kaya. Ada yang suka memberi,
ada yang pelit. Saya melihat orang yang tidak suka memberi muka orang itu
keringnya minta ampun. Orang yang mukanya kering ini bertanya pada saya,
apa rahasia kehidupan yang paling penting yang bisa saya bagi ke saya.
Saya bilang sleep well, eat well,” ungkap Gede Prama sambil
tersenyum. Artinya memang, untuk ongkos untuk menjadi bahagia tidak mahal.
Hanya saja orang sering kali memperumit hal yang sudah rumit. Kalau kita
sederhanakan, sleep well, eat well akan jadi mudah jika diikuti dengan
kegiatan memberi.
Pintu ketiga untuk menuju keindahan dan kebahagiaan adalah berawal
dari semakin gelap hidup Anda, semakin terang cahaya Anda di dalam.
Perhatikanlah bintang di malam hari tampak bercahaya, jika langitnya gelap.
Sedangkan, lilin di sebuah ruangan akan bercahaya bagus, jika ruangannya
gelap. Artinya, semakin Anda berhadapan dengan masalah dan cobaan dalam
hidup, semakin bercahaya Anda dari dalam.
“Jika Anda punya suami yang keras dan marah-marah, jangan lupa
bersyukurlah. Karena suami yang keras dan marah-marah, membuat sinar dari
dalam diri Anda bercahaya. Anda punya istri cerewetnya minta ampun.
Bersyukurlah, karena orang cerewet adalah guru kehidupan terbaik. Paling
tidak dari orang cerewet kita belajar tentang kesabaran.
Jika Anda punya atasan diktatornya minta ampun. Bersyukurlah, karena
Anda dapat belajar tentang kebijaksanaan,” ujar Gede Prama membesarkan
hati.
Orang yang pada akhirnya menemukan keindahan dan kebahagiaan, menurut
Gede Prama, biasanya telah lulus dari universitas kesulitan. Semakin banyak
kesulitan hidup yang kita hadapi, semakin diri kita bercahaya dari dalam.
Mengutip perkataan Jamaluddin Rumi, semuanya dikirim sebagai pembimbing
kehidupan dari sebuah tempat yang tidak terbayangkan.
“Tidak hanya orang cantik saja yang berguna, orang jelek juga
berguna. Gunanya adalah karena orang jelek, orang cantik terlihat jadi
tambah cantik,” kata Gede Prama disambut tawa peserta. “Jadi semuanya ada
gunanya, untuk menghidupkan cahaya-cahaya beauty and happiness,” tegasnya.
Pintu keempat adalah surga bukanlah sebuah tempat, melainkan adalah
rangkaian sikap. “Bila Anda melihat hidup penuh dengan kesusahan dan
godaan, maka neraka tidak diketemui setelah mati. Neraka sudah ketemu
sekarang,” ujar Gede Prama.
Sedangkan Anda akan bertemu surga, jika hasil dari rangkaian sikap
Anda benar. Sikap ini dimulai dari berhenti mengkhawatirkan segala
sesuatunya, dan coba yakinkan diri bahwa everything will be allright.
Setiap kali kita melalukan ritual peribadatan, tetapi setiap kali pula kita
merasa takut. Padahal ketakutan adalah sebentuk ketidakyakinan terhadap
kebenaran.
“Kalau Anda melalukan ritual peribadatan tapi masih takut, mending
jangan melalukan ritual peribadatan, karena toh Anda tidak yakin terhadap
kebenaran,” kata Gede Prama.
“Segala sesuatunya menjadi baik-baik saja jika Anda mencintai yang
kecil,” sambung Gede Prama.
Pintu kelima menuju keindahan dan kebahagiaan yakni tahu diri kita
dan kita tahu kehidupan. Manusia-manusia yang tidak tahu diri adalah
manusia yang tidak pernah ketemu keindahan dan kebahagiaan dalam hidupnya.
“Sumur kehidupan yang tidak pernah kering berada di dalam. Sumur ini
hanya kita temukan dan kita timba airnya kalau kita bisa mengetahui diri
kita sendiri,” kata Gede Prama.
Seandainya diri sendiri telah ditemukan, maka artinya kita kemudian
mengetahui arti kehidupan.
Di Zawiyyah Sebuah Masjid
Oleh : Emha Ainun Nadjib, 1987
Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi
diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak
Kiai di zawiyyah sebuah masjid.
Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir,
melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin
belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di
pesantren.
“Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat
kembali ke Tuhannya,” berkata Pak Kiai kepada santri pertama, “apa yang
Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?”
“Agama,” jawab santri pertama.
“Berapa jumlahnya?”
“Satu.”
“Tidak dua atau tiga?”
“Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu
itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk
memberikan lebih dari satu macam tuntunan.”
Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, “Apa nama agama yang
dimaksudkan oleh temanmu itu?”
“Islam.”
“Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?”
“Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda.”
“Kenapa kau katakan demikian?”
“Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah
sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir
zaman, disediakan baginya sinar Islam.”
“Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?”
“Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia.”
**Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. “Allah mengajari Adam nama
benda-benda,” katanya, “bahasa apa yang digunakan?”
Dijawab oleh santri ketiga, “Bahasa sumber yang kemudian dikenal
sebagai bahasa Al-Qur’an.”
“Bagaimana membuktikan hal itu?”
“Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama
untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode
ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah
diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam
kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam.”
“Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?”
“Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap
tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah.”
“Maksudmu, Nak?”
“Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur’an.
Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, berlaku universal
secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang
kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap
seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur’anlah yang
merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi.”
”Temanmu tadi mengatakan,” berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri
keempat, “bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau
menjelaskan hal itu?”
“Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan,” jawab santri
keempat, “Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap
atau proses pertumbuhan.”
“Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain
Islam?”
“Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan
akidah.”
“Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?”
“Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama
itu –sebelum dimanipulasikan– sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya
pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui
Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum
Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama –dengan,
ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan– sebenarnya
yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan
rekayasa manusia.”
**Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima
sambil bertanya, “Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman
sebelum Muhammad?”
“Islam, Kiai.”
“Apa agama Ibrahim?”
“Islam.”
“Apa agama Musa?”
“Islam.”
“Dan agama Isa?”
“Islam.”
“Sudah bernama Islamkah ketika itu?”
“Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain
Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam
dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es
dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena
demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik
tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum.”
”Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?” Pak Kiai
langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.
“Membebaskan,” jawab santri itu.
“Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!”
“Menyelematkan, Kiai.”
“Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa
dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?”
“Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa’ atas
bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah
membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia
berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam –sistem nilai
hasil karya Allah yang dahsyat itu– dimaksudkan untuk membebaskan manusia
dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah.”
“Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?”
“Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang
sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah
beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar
membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah.”
**Pak Kiai menuding santri ketujuh, “Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?”
“Benar, Kiai,” jawabnya, “Islam ialah memasrahkan diri kepada
kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi
segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah.”
“Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?”
“Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat
suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di
setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran
pencarian yang tak ada hentinya.”
“Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?”
“Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang
kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda
kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara
orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi
pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari
situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari
diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang
terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses
masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam
kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya.”
”Cahaya Islam. Apa itu gerangan?”
Santri ke delapan menjawab, “Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam
diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang
kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra’.
Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi
yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia.”
“Pemikiranmu lumayan,” sahut Pak Kiai, “Cahaya Islam tentunya tak
dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya:
kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu.
Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan
cahaya mahacahaya itu?”
“Ya, Kiai.”
“Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?”
“Dinihari rekayasa teknologi.”
“Dari Nuh?”
“Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah.”
“Hud?”
“Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi
canggih.”
“Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi
jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?”
“Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras
pikiran dan pengalaman secara lebih detil.”
“Pada Ismail?”
“Pengurbanan dan keikhlasan.”
“Ayyub?”
“Ketahanan dan kesabaran.”
“Dawud?”
“Tangis, perjuangan dan keberanian.”
“Sulaiman?”
“Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan
ekologis dan keadilan.”
“Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!”
“Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan
dalam kepandaian.”
“Dari Zakaria?”
“Dzikir.”
“Isa?”
“Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub.”
“Adapun dari Muhammad, anakku?”
“Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya
yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya.”
Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. “Di tahap cahaya Islam yang
manakah kehidupan dewasa ini?”
“Tak menentu, Kiai,” jawab sanri terakhir itu, “Terkadang, atau
bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah
khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub –tetapi– yang kalah oleh sakit
berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian
kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan
kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam
sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah
dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang
berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir’aun atau membelah
kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu.”
Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, “Mungkin itu yang
menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing
yang menggantikan ketersembelihan kami.”
“Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa
menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan
dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan.”
Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.
“Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa
yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15
abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah
samudera.”
“Anakku,” Pak Kiai menyela, “pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih
dan juga semacam rasa putus asa.”
“Insyaallah tidak, Kiai,” jawab sang santri, “Cara yang terbaik untuk
menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju
ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula
berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut.
Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak
memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir’aun dan
menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada
Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar
berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami
memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu
dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak
Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti
bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan
unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta,
kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta
menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar,
hanyut dan tidak berjuang.”
Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika
tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.
“Sampai tahap ini,” kata Pak Kiai, “cukuplah itu bagi kalian, sesudah
dua pertanyaan berikut ini kalian jawab.”
“Kami berusaha, Kiai,” jawab mereka.
“Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan
masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?”
“Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga
benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan,” berkata salah seorang.
“Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung.
Harus pas. Tak lebih tak kurang,” sambung lainnya.
“Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke
tengah masyarakat,” sambung yang lain lagi.
“Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan
waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah.”
“Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan.”
“Hikmah, maw’idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan.”
“Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah
irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun
proses sejarah.”
“Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan
kembali ke Makkah untuk kemenangan.”
“Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan
daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah.”
Pak Kiai tersenyum, “Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub
lembek, anak-anakku?”
“Lentur, Kiai!” kesembilan santri itu menjawab serentak, karena
kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut
Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.
“Fal-yatalaththaf!” ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan
menyalami santri-santrinya satu per satu, “titik pusat Al-Qur’an!”
Ma’iyah Manembah
Oleh : Emha Ainun Nadjib
I
Barang siapa di antara hamba-hamba Allah yang tidak percaya kepada
kuasa dan kasih sayangNya, hendaklah cepat-cepat mencari tuhan yang lain
dan meminta perlindungan dari tuhannya itu
II
Barang siapa di antara hamba-hamba Allah yang cemas kepada nasibnya
karena ragu terhadap keindahan takdir Allah, hendaklah cepat-cepat
meninggalkan bumi dan alam semesta yang ini dan melamar untuk bertempat
tinggal di bumi dan alam semesta tuhannya itu
III
Barang siapa di antara hamba-hamba Allah yang merasa gugup akan
penghidupannya karena meremehkan kemuliaan Allah, hendaklah cepat-cepat
berhijrah dari hamparan rumah Allah dan memohon perlindungan dan sandang
pangan dari tuhannya itu
IV
Barang siapa di antara hamba-hamba, yang bersikap acuh tak acuh
kepada kekasih Allah, yang merendahkan wali dan auliya’ Allah, yang
meremehkan simpanan rahasia-rahasia Allah di balik segala sesuatu yang
diabaikan oleh manusia, hendaklah bersiap-siap untuk mendengar suara
genderang perang yang ditabuh oleh para Malaikat-Nya
V
Kalau di dalam kepalamu terdapat akal
Kalau engkau mempekerjakan pikiran sehingga engkau mengerti
bahwa engkau tidak sanggup menciptakan dirimu sendiri
bahwa engkau tidak sanggup menghidupkan jantungmu sendiri
tidak sanggup menggenggam dan menjaga nyawamu sendiri
tidak sanggup menumbuhkan barang sehelai rambutmu sendiri
tidak sanggup meramu barang setetes dari darahmu sendiri
tidak sanggup menguasai nasibmu sendiri
tidak sanggup mengetahui kapan engkau mati
Sebelum tiba sesuatu yang melumpuhkan kakimu
Sebelum tiba kejadian yang mengagetkan otakmu
Sebelum tiba peristiwa yang membuntu arah langkahmu
Sebelum tiba waqi’ah yang menggelapkan hidupmu
bersegeralah mengucapkan pengakuan –
VI
Barang siapa kakinya menapak di atas tanah
dan tidak ingat siapa yang menciptakannya
Barang siapa menghirup udara, menikmati hembusan angin
dan tidak ingat siapa yang meniupkannya
Barang siapa mereguk air
dan tidak ingat siapa pemiliknya
Barang siapa memetik buah dari tanam-tanaman
dan tidak ingat siapa yang menumbuhkannya
Barang siapa yang menggali tambang-tambang
dan tidak ingat siapa yang menyediakannya
Barang siapa menyalakan api dan menggali pancaran cahaya
dan tidak ingat siapa yang mengolah sumbernya
Barang siapa memandangi gunung, menatap langit
Barang siapa mengembarai ruang, menelusuri waktu
dan tidak ingat siapa pangkal muasal dan ujung tibanya
Sebelum tiba sesuatu yang tak pernah disangka-sangkanya
Sebelum tiba kejadian yang tak pernah diperhitungkannya
Sebelum tiba peristiwa yang membuatnya menangis sia-sia
Sebelum tiba waqi’ah yang mengiris meremas-remas nasibnya
Bersegeralah membungkukkan badan, menundukkan kepala
Memejamkan mata dan memerangi keangkuhan hatinya
VII
Siapa mengetahui Kekasih Sejati yang paling mencintainya
Bersegeralah menyatakan bahwa hanya Ia pulalah muara segala cintanya
Siapa maha penghibur hati yang senyata-nyatanya
Bersegeralah menyanyikan lagu-lagu yang diutamakan kepadaNya
Siapa mengetahui makhluk yang paling dicintai dan paling mencintainya
Sehingga cahaya cintaNya ditaburkan ke mahkota kemuliaan kekasihNya
itu
Sehingga nyatalah kepalsuan segala tokoh, berhala dan idola
Bersegeralah meniadakan diri sendiri, melebur jadi taburan cintaNya
yang merahmati seluruh semesta maupun ruang-ruang gaib di luarnya
Gusti Allah Tidak Ndeso
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,”
kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan
menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid
untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak
miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya, nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak
ngajak-ngajak. Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.”
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan
itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan:
kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau
menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi
makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana
dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca
al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang
tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana,
tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka
beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan
membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca
al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya
tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya
sembahyang dan membaca al-quran. Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya
diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat
dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan
hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis,
cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian,
tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih
sayang.
Sumber: Artikel lama, sudah beredar dari milis ke milis.
Sekedar Kata
Sombong tidak akan mampir ke diri kita, selama kita mau mengingat: “kita
diciptakan dari apa, di dalam diri kita ada apa, dan kelak kita menjadi
apa” Ahmad Mustofa Bisri -
Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh,
dan membuka pintu rezeki. Sementara, keburukan akan menggelapkan hati,
melemahkan tubuh, dan mempersulit datangnya rezeki. Hasan Al-Bashri
Hendaklah engkau selalu bersikap jujur, meskipun ia akan membunuhmu. Umar
bin Khaththab -
Dan janganlah engkau memalingkan mukamu (kerana memandang rendah)
kepada manusia, dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak
sombong; sesungguhnya Allah tidak suka kepada tiap-tiap orang yang sombong
takbur, lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah langkahmu semasa
berjalan, juga rendahkanlah suaramu (semasa berkata-kata), sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. Luqman:18-19 -
Seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, nasihatnya akan lenyap
dari hati orang yang mendengarnya sebagaimana hilangnya setetes embun di
atas batu yang halus. Malik bin Dinar -
Akhlak yang baik adalah wajah yang berseri-seri, kemurahan hati, dan
menahan diri dari perbuatan yang menyakiti orang lain. Hasan Al-Bashri -
Harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta
karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Ali bin Abi Thalib -
Bekerjalah kalian tanpa banyak bicara. Namun, itu hanya bisa
dikerjakan oleh orang yang berilmu dan bekerja karena Allah. Bagai rayap
yang terus menerus menggerogoti, tanpa kata-kata. Abdul Qadir Al-Jailani
Jagalah keadilan dalam pemerintahan dan tanamkan hal itu pada dirimu.
Karena ketidakpuasan rakyat akan membuat steril kepuasan segelintir elit,
sementara ketidakpuasan segelintir orang itu, akan lenyap dengan sendirinya
dalam kepuasan orang banyak. Ali bin Abi Thalib
Jika bekerja membuat seseorang menjadi lelah, tidak bekerja
menyebabkan seseorang menjadi hancur.
Mengajari Keledai Membaca
Raja menghadiahi Amirudin seekor keledai. Amirudin menerimanya dengan
senang hati. Tetapi Raja berkata, “Ajari keledai itu membaca. Dalam dua
Minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.”
Amirudin berlalu, dan dua Minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa
banyak bicara, Sang Raja menunjuk ke sebuah buku besar. Amirudin menggiring
keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya
dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman
akhir. Setelah itu si keledai menatap Amirudin.
“Demikianlah,” kata Amirudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.”
Sang Raja mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia
membaca ?”
Amirudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-
lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya.
Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji
gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik- balik halaman buku
dengan benar.”
“Tapi,” tukas Sang Raja tidak puas, “Bukankah ia tidak mengerti apa
yang dibacanya ?”
Amirudin menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya
membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku
tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?”
Sahabat :
Apa gunanya kita membaca buku tetapi tidak mengerti artinya ?..apa
gunanya kita membaca situasi, membaca tanda-tanda jaman, tetapi kita tidak
pernah bisa bahkan tidak pernah mau mengerti tentang apa yang sedang
terjadi.
Mungkin anda sudah sekian tahun di tempat anda sekarang, pernahkah
anda mengerti detail tentang bawahan anda, atasan anda, masalah yang
terjadi..kekuatan, kelemahan, tantangan dan kesempatan yang ada ?
Mengerti .. akan membuat langkah kita lebih mantap dan lebih yakin
tentang apa yang sedang dan akan kita kerjakan, lebih arif dan bijaksana
dalam bertindak dan bertutur kata..
Seorang yang tidak bisa dan tidak mau mengerti akan seperti orang
bermain sepak bola tanpa ada gawangnya asal nendang dan berputar-putar
saja. akan seperti seorang petinju yang sembarangan memukul tanpa tahu
kekuatan dan kelemahan lawan, akan seperti seorang petani yang tidak
mengerti cara bercocok tanam dan tidak tahu cuaca..pada dasarnya orang
orang seperti ini sudah kalah…
ISYARAT KEHANCURAN
(KH. Abdurrahman Arroisi)
Ada tiga sifat yang menimbulkan kerusakan terhadap sesama makhluk.
Sifat-sifat itu, menurut Rasulullah SAW, Pertama Syuhhun Mutha’un, Kedua
Hawan Muttaba’un, dan Ketiga I’jabul Mar-i bi Nafsihi.
Syuhhun Mutha’un berasal dari sifat kikir yang selalu ditaati. Naluri
kesetanan itu memang paling mudah bersenyawa dengan watak buruk manusia
yang lebih suka menerima daripada memberi, lebih gigih menuntut hak
ketimbang membayarnya. Maka berbiaklah sifat durjana: selalu ingin
menguasai, merampas segalanya, pantang memberi kesempatan pada orang lain.
Tanda-tanda sifat itu bisa disimak dari anak cucunya. Mereka, karena
begitu mudah mendapatkan uang, akan mempergunakannya untuk menyebarkan
kebinasaan dan kemaksiatan. Di belakang hari, nama besar pun takkan mampu
menghapus mereka dari catatan sejarah.
Adapun Hawan Muttaba’un merupakan sisi lain dari kepribadian ganda
manusia. Sebenarnya hawan atau nafsu adalah karunia Ilahi yang sangat mulia
bila disalurkan sesuai norma kebaikan. Dengan nafsu, manusia akan
menggerakkan akalnya untuk mencipta dan berkarya, menabur jasa bagi
kesejahteraan bersama.
Cuma sayangnya, semua keutamaan nafsu itu sering menyimpang dari rel,
melindas hak Allah dan hak makhluk, yakni jika dibiarkan bebas tanpa
kendali. Nafsu seperti itu akan mengubah manusia menjadi gergasi. Kata Nabi
Muhammad SAW, para pemimpin negara akan menjadi singa, para pemegang hukum
akan menjadi anjing, para menteri akan menjadi serigala, dan rakyat akan
teraniaya sebagai domba.
Sedangkan I’jabul Mar-i Binafsihi (bangga diri) bersumber dari
keangkuhan dan kesombongan manusia. Seolah sesuatu yang baik takkan
terwujud tanpa ”aku.” Ia hanya kagum akan dirinya, dan berpikir tak ada
orang lain yang mampu seperti dia. Hanya ”aku” yang tidak berdosa, hanya
”aku” yang jujur, hanya ”aku” yang mampu, meski sebetulnya ”aku” lah biang
segala kekacauan.
Allahu Akbar. Alangkah dahsyatnya kerusakan yang akan menimpa dunia,
jika ketiga sifat itu berkumpul pada satu orang. Sungguh tak terbayangkan.
Itu sebabnya Nabi Muhammad SAW memberi jalan keluar, seperti diingatkan
melalui Alquran. ”Wahai nafsu yang damai, kembalilah ke jalan Tuhanmu
dengan rela dan disukai.”
Bandingka sifat sang durjana itu dengan seorang pemimpin sederhana,
Sa’ad bin Abi Waqqash. Lantaran setianya kepada Rasulullah SAW, sahabat itu
dijamin akan dikabul semua doanya. Pantas kemudian ia menjadi gantungan
harapan dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Namun anehnya, ketika usianya kian lanjut, Sa’ad justru menderita
rabun mata sampai nyaris buta sama sekali. ”Hai Sa’ad,” orang menegurnya.
”Kenapa engkau tidak berdoa supaya Allah menyembuhkan penyakit matamu dan
memulihkan penglihatanmu? ” Dengan tawakal Sa’ad menjawab, ”Kerelaanku
menerima takdir Tuhan lebih mulia bagiku daripada melihat dunia dengan
mataku.”
|