Lailatul Qadar. Malam Seribu Bulan
Dan mengenai ketentuan waktu jatuhnya
lailatul Qadr ini terdapat banyak pendapat di kalangan ulama. Namun
mengenai indikasi-indikasi terkuat mengenai saat terjadinya lailatul Qadr
ini bahwa matahari terbit pada pagi harinya dengan cerah. Hikmah dari
disembunyikannya lailatul Qadr ini dari pengetahuan manusia, -wallaahu
a’lam- menunjukkan keagungan seluruh malam di bulan Ramadhan, dan agar
manusia bersungguh-sungguh dalam berharap untuk mendapatkannya sehingga
ganjaran yang diperolehnya semakin besar pula. Ibnul Jauzi rahimahullah
berkata, “Adapun hikmah dirahasiakannya lailatul Qadr ini, agar kesungguhan
para hamba dalam upaya meraih keutama-annya benar-benar terwujud secara
optimal, sebagaimana (hikmah) disembunyikannya waktu-waktu yang dikabulkan
pada hari Jum‘at... dan seterusnya. Maka, sudah menjadi keharusan bagi kaum
muslimin untuk mencari waktu (pada sepuluh malam terakhir-pen) sehingga
benar-benar tepat pada lailatul Qadar, kemudian memuliakannya dan
menghidupkannya dengan ibadah dan merendahkan diri kepada Allah dengan
do’a, dzikir dan istighfar serta memperbanyak ibadah-ibadah Sunnah kepada
Allah sehingga mereka mendapatkan ridha dari Allah Yang Mahatinggi dan Maha
Pemurah serta memberikan ganjaran dan pahala yang sangat banyak.
Keberkahan Makan Sahur
Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu
Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik adalah, bahwa keberkahan dalam
makan Sahur dapat diperoleh dari banyak segi, yaitu mengikuti Sunnah dan
menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang buruk yang
diakibatkan oleh kelaparan, menjadi sebab bersedekah kepada siapa yang
meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan, membuatnya
berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat
puasa bagi mereka yang melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied
berkata, ‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi karena
dengan menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang
dilakukan), begitu pula bisa saja berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti
kekuatan tubuh untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya
bagi orang yang melaku-kan puasa.’” Di antara keutamaan-keutamaan yang
ditambah bagi makan Sahur adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya
akan bershalawat bagi orang-orang yang makan Sahur, tidak dipungkiri bahwa
itu adalah keutamaan yang besar.
Ramadhan, Bulan Penuh Berkah
Bulan Ramadhan memiliki banyak
keberkahan, keutamaan dan berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
bulan-bulan lainnya. Keberkahan pertama, adalah bahwa puasa Ramadhan
merupakan penyebab terampuninya dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan.
Sebagaimana hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan
mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu. Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Shalat fardhu lima waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya,
dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan
di antara masa tersebut seandainya dosa-dosa besar dijauhkannya.”Keberkahan
kedua, pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu
bulan, yaitu malam lailatul Qadar. Namun mengenai hal ini akan dibahas
secara khusus dan tersendiri pada bab selanjutnya. Keberkahan ketiga,
terdapat banyak hadits lain yang menjelaskan keutamaan dan keistimeaan
bulan yang sangat barakah ini.
I'tikaaf
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan: Kebaikan hati dan kelurusannya dalam menempuh jalan Allah
tergantung pada totalitasnya berbuat karena Allah, dan kebulatannya secara
total hanya tertuju kepada Allah Azza wa Jalla. Ketercerai-beraian hati
tidak bisa disatukan kecuali oleh langkah menuju Allah Azza wa Jalla.
Berlebih-lebihan dalam makan, minum, pergaulan dengan manusia, pembicaraan
yang banyak dan kelebihan tidur, hanya menambah ketercerai-beraian hati
serta terserak di setiap tempat, memutusnya dari jalan menuju Allah, atau
melemahkan, merintangi, atau menghentikannya dari hubungan kepada Allah.
Adanya rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang kepada
hamba-hamba-Nya menuntut disyari'atkannya puasa bagi mereka yang dapat
menyingkirkan ketamakan hati dari gejolak hawa nafsu yang menjadi perintang
bagi perjalanan menuju Allah. Dia mensyari'atkan puasa sesuai dengan
kemaslahatan, dimana akan memberi manfaat kepada hamba-Nya di dunia dan
akhirat, serta tidak mencelakakannya dan juga tidak memutuskan dirinya dari
kepentingan duniawi dan ukhrawinya. Allah Azza wa Jalla juga mensyari'atkan
i'tikaaf bagi mereka, yang maksud dan ruhnya adalah keteguhan hati kepada
Allah Azza wa Jalla semata serta kebulatannya hanya kepada-Nya, berkhulwat
kepada-Nya, dan memutuskan diri dari kesibukan duniawi, serta hanya
menyibukkan diri beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata
Fidyah Di Dalam Puasa
Fidyah (فدية) atau fidaa (فدى) atau fida` (فداء) adalah satu makna. Yang artinya,
apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan
menyelamatkannya. Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan
istilah "ith'am", yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang
akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang
miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.
Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Beberapa hari yang
telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam
bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk
membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa
yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu
lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian,
jika kalian mengetahui". Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman
Allah : "(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)".
Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa
ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena
puasa telah memberatkan mereka.
Meraih Ampunan Allah Al-Ghafur Di
Bulan Ramadhan Yang Mulia
Di antara nama Allah Azza wa Jalla
adalah al-Ghafûr (Yang Maha Pengampun), dan di antara sifat-sifat-Nya
adalah maghfirah (memberi ampunan). Sesungguhnya para hamba sangat
membutuhkan ampunan Allah Azza wa Jalla dari dosa-dosa mereka, dan mereka
rentan terjerumus dalam kubangan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: "Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah
akan melenyapkan kalian, dan Dia pasti akan mendatangkan suatu kaum yang
berbuat dosa, lalu mereka akan memohon ampun kepada Allah, lalu Dia akan
mengampuni mereka". Dosa telah ditakdirkan pada manusia dan pasti
terjadi. Allah Azza wa Jalla telah mensyariatkan faktor-faktor penyebab
dosanya, agar hatinya selalu bergantung kepada Rabbnya, selalu menganggap
dirinya sarat dengan kekurangan, senantiasa berintrospeksi diri, jauh dari
sifat ‘ujub (mengagumi diri sendiri), ghurûr (terperdaya dengan amalan
pribadi) dan kesombongan. Dosa-dosa banyak diampuni di bulan Ramadhan,
karena bulan itu merupakan bulan rahmat, ampunan, pembebasan dari neraka,
dan bulan untuk melakukan kebaikan. Bulan Ramadhan juga merupakan bulan
kesabaran yang pahalanya adalah surga.
Hadits-Hadits Dhaif & Maudhu Yang
Banyak Beredar Pada Bulan Ramadhan
Dari Nadhir bin Syaibân, ia
mengatakan, 'Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman
rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, 'Ceritakanlah kepadaku sebuah
hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin
'Auf Radhiyallahu 'anhu) tentang Ramadhân.' Ia mengatakan, 'Ya, bapakku
(maksudnya Abdurraman bin 'Auf Radhiyallahu 'anhu) pernah menceritakan
kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut
bulan Ramadhân lalu bersabda, 'Bulan yang Allâh Azza wa Jalla telah
wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat
malamnya. Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam
dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla,
niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan
oleh ibunya". Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu
layyinul hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan oleh
al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga telah menilai hadits ini lemah dan beliau
rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang sah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
Amalan Puasa Ramadhan
Dalam melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat
tarawih) disyariatkan berjamaah. Bahkan berjamaah itu lebih utama
dibandingkan mengerjakannya sendirian, karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan
keutamaannya. Tersebut dalam hadits Abu Dzar: “Kami berpuasa Ramadhan
bersama Rasulullah. Beliau tidak mengimami shalat tarawih kami selama bulan
itu, kecuali sampai tinggal tujuh hari. Saat itu, Beliau mengimami kami
(shalat tarawih) sampai berlalu sepertiga malam. Pada hari keenam (tinggal
6 hari), Beliau tidak shalat bersama kami. Baru kemudian pada hari kelima
(tinggal 5 hari), Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu
separoh malam. Saat itu kami berkata kepada Beliau: ’Wahai Rasulullah.
Sudikah engkau menambah shalat pada malam ini’. Beliau
menjawab,’Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya sampai
selesai, niscaya ditulis baginya pahala shalat satu malam’. Lalu pada malam
keempat (tinggal 4 hari), kembali Beliau tidak mengimami shalat kami. Dan
pada malam ketiga (tinggal 3 hari), Beliau kumpulkan keluarga dan
istri-istrinya serta orang-orang, lalu mengimami kami (pada malam tersebut)
sampai kami takut kehilangan kemenangan”. Aku (perawi dari Abu Dzar)
berkata: “Aku bertanya,’Apa kemenangan itu?’.” Beliau (Abu Dzar)
menjawab,”Sahur.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
Sallam Di Bulan Ramadhan
Tamu agung nan penuh barakah akan
kembali mendatangi kita. Kedatangannya yang terhitung jarang, hanya sekali
dalam setahun menumbuhkan kerinduan mendalam di hati kaum Muslimin. Itulah
Ramadhân, bulan yang sangat dikenal dan benar-benar ditunggu kehadirannya
oleh kaum Muslimin. Kemuliaanya diabadikan dalam al-Qur'ân dan melalui
untaian-untaian sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allâh Azza
wa Jalla menjadikannya sarat dengan kebaikan, mulai dari awal Ramadhan
sampai akhir. Allâh Azza wa Jalla berfirman : "(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil)". Jiwa yang terpenuhi dengan keimanan tentu akan
segera mempersiapkan diri untuk meraih keutamaan serta keberkahan yang yang
ada didalamnya. Pada bulan ini Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur'ân.
Seandainya bulan Ramadhan tidak memiliki keutamaan lain selain turunnya
al-Qur'ân maka itu sudah lebih dari. Lalu bagaimana bila ditambah lagi
dengan berbagai keutamaan lainnya, seperti pengampunan dosa, peninggian
derajat kaum Mukminin, pahala semua kebaikan dilipatgandakan, dan pada
setiap malam Ramadhan, Allah Azza wa Jalla membebaskan banyak jiwa dari api
neraka. Pada bulan mulia ini, pintu-pintu Surga dibuka lebar dan
pintu-pintu neraka ditutup rapat, setan-setan juga dibelenggu. Pada bulan
ini juga ada dua malaikat yang turun dan berseru, "Wahai para pencari
kebaikan, sambutlah ! Wahai para pencari kejelekan, berhentilah !"
Tugas Mukmin Di Bulan Ramadhan
ecara umum, shiyâm (puasa) memiliki
keutamaan yang besar. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah. Semua
amal perbuatan bani Adam adalah kepunyaan bani Adam sendiri, kecuali puasa.
Puasa itu kepunyaanKu, dan Aku yang akan memberikan balasan. Maka, demi
Dzat yang nyawa Muhammad ada ditanganNya, sungguh di sisi Allâh, aroma
mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih harum daripada minyak kasturi.
Imam Mazari rahimahullah dalam kitab al Mu’lim Bifawâ-idi Muslim (2/41),
mengatakan, “Dalam hadits qudsi ini, Allâh Azza wa Jalla secara khusus
menyebut puasa sebagai “milikKu”, padahal semua perbuatan baik yang
dilakukan secara ikhlas juga milikNya; karena dalam puasa tidak mungkin
(kecil kemungkinan-red) ada riyâ’, sebagaimana pada perbuatan-perbuatan
selainnya. Karena puasa itu perbuatan menahan diri dan menahan lapar,
sementara orang yang menahan diri -baik karena sudah kenyang atau pun
karena miskin- zhahirnya sama saja dengan orang yang menahan diri dalam
rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Niat serta motivasi yang
tersimpan dalam hatilah yang memiliki peranan penting dalam masalah ini.
Sedangkan shalat, haji dan zakat merupakan perbuatan-perbuatan lahiriyah
yang berpotensi menimbulkan riya’ dan sum’ah . Oleh karena itu, puasa
dikhususkan sebagai milik Allâh sementara yang lainnya tidak."
Apakah Harus Di Bulan Ramadhan?
Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-Utsaimîn rahimahullah ditanya tentang sebagian kaum Muslimin yang kurang
perhatian terhadap ibadah shalat sepanjang tahun. Namun, ketika Ramadhan
tiba, mereka bergegas melakukan shalat, puasa dan membaca al-Qur’ân serta
mengerjakan berbagai ibadah yang lain. Terhadap orang seperti ini, Syaikh
rahimahullah mengatakan : “Hendaknya mereka senantiasa menanamkan ketakwaan
kepada Allah Azza wa Jalla di dalam hati mereka. Hendaklah mereka beribadah
kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan semua yang menjadikan
kewajiban mereka di setiap waktu dan dimanapun juga. Karena, tidak ada seorang
pun yang mengetahui kapan maut menjemputnya? Bisa jadi, seseorang
mengharapkan kedatangan bulan Ramadhan. Namun, ternyata dia tidak
mendapatkannya. Allah Azza wa Jalla tidak menentukan batas akhir ibadah
kecuali kematian. Allah Azza wa Jalla berfirman : "Dan sembahlah Rabb
kalian sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)". Pengertian
al-Yaqîn dalam ayat di atas adalah kematian." Bagi yang masih
bermalasan-malasan melakukan ibadah di luar bulan Ramadhan, hendaklah
ingatbahwa kematian bisa mendatangi seseorang dimana saja dan kapan saja.
Ketika kematian sudah tiba, kesempatan beramal sudah berakhir, dan tiba
waktunya mempertanggungjawabkan kesempatan yang Allah Azza wa Jalla berikan
kepada kita. Sudah siapkah kita mempertanggungjawabkan amalan kita, jika sewaktu-waktu
dipanggil oleh Allah Azza wa Jalla ?
Koreksi Terhadap Sebagian Adat Yang
Digiatkan Pada Bulan Ramadhan
Pada bulan Ramadhan, khususnya pada
awal-awal bulan, sering kita jumpai peledakan petasan yang sangat
berlebih-lebihan. Diantaranya dalam bentuk berikut ini: Pada waktu pagi,
ketika masih agak gelap (sesudah shalat shubuh). Banyak remaja putra dan
putri (dan terkadang ada orang dewasa dan yang sudah berumur tua) dari kaum
muslimin, secara beramai-ramai memenuhi jalanan umum. Mereka meledakkan
banyak jenis petasan, tanpa menghiraukan orang-orang yang lewat. Bahkan
banyak diantara mereka yang memang sengaja ingin mengagetkan atau
menakut-nakuti orang yang lewat; termasuk pengendara motor atau pejalan
kaki. Ada juga peledakan dalam bentuk lain, yaitu dengan cara bergantian
melemparkan petasan ke arah kelompok lain, seperti halnya orang berperang.
Ini dilakukan tanpa menghiraukan ketertiban jalanan, keamanan, kenyamanan
serta ketentraman lingkungan dan warga. Diantaranya banyak yang sengaja
menyiapkan petasan di jalanan. Jika mengetahui ada pengendara atau pejalan
kaki yang lewat, lalu diledakkanlah petasan yang sudah disiapkan tadi,
sehingga yang lewatpun terkejut. Mereka kemudian tertawa, dan bahkan
mengejeknya karena orang yang lewat tersebut terkejut.
Sikap Orang Terhadap Ramadhan?
Mereka menyambut Ramadhan dengan
banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-Qur‘ân dengan
rutin, melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar, dan memberikan sedekah
kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan dan dengan memberikan buka
kepada orang yang berpuasa. Karena dengan memberi makan orang yang
berpuasa, akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa. Mereka
menyibukkan diri mereka dengan cara berdzikir dan mengkhatamkan al-Qur‘ân.
Sehingga mereka mendapatkan pahala yang sempurna pada akhir bulan,
mendapatkan lailatul qadr dan mendapatkan kemenangan dengan pahala dari
Allah Azza wa Jalla. Mereka berharap mendapatkan ampunan dari berbagai
dosa. Setelah keluar dari Ramadhan, keadaan mereka seperti ketika
dilahirkan dari perut ibu mereka. Mereka mendapatkan pahala pada hari iedul
fitri. Mereka menyelesaikan Ramadhan dalam keadaan mendapat ampunan. Dan
mereka adalah orang-orang yang berdoa kepada Allah Azza wa Jalla selama
berbulan-bulan agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan; karena mereka
mengetahui keutamaan bulan itu. Ramadhan merupakan saat-saat kebaikan dan
berlomba-lomba dalam mendekatkan diri.
Hisab Dan Penentuan Awal Ramadhan Dan
Syawal
Hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka
dari bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali
dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya
langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang
dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan
mata. Rukyah (melihat hilal) lah yang menjadi dasar syar’i dalam hukum
puasa dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam
penentuan puasa menurut syari’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang
shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab.
Orang yang bersandara kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan
berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab
sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat
ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya. Imam
Ibnu Daqiqil Ied berkata: Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh
dijadikan sandaraan dalam puasa.
Beberapa Kekeliruan Kaum Muslimin
Seputar Lailatul Qadar
Keyakinan sebagian orang, bahwa
lailatul qadar itu memiliki beberapa tanda yang dapat diraih oleh sebagian
orang. Lalu orang-orang ini merangkai cerita-cerita khurafat dan khayal.
Mereka mengaku melihat cahaya dari langit, atau mereka dibukakan pintu
langit dan lain sebagainya. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar, ketika
beliau rahimahullah menyebutkan dalam Fathul Bari 4/266, bahwa hikmah
disembunyikannya lailatul qadar, ialah agar timbul kesungguh-sungguhan
dalam mencarinya. Berbeda jika malam qadar tersebut ditentukan, maka
kesungguhansungguhan hanya sebatas pada malam tertentu itu. Kemudian Ibnu
Hajar menukil riwayat dari Ath-Thabari rahimahullah, bahwa beliau
rahimahullah memilih pendapat (yang menyatakan, pent.), semua tanda itu
tidaklah harus terjadi. Dan diraihnya lailatul qadar itu tidak disyaratkan
harus dengan melihat atau mendengar sesuatu. Ath Thabari lalu mengatakan,
"Dalam hal dirahasiakannya lailatul qadar, terdapat bukti kebohongan
orang yang beranggapan, bahwa pada malam itu akan ada hal-hal yang dapat
terlihat mata, apa yang tidak dapat terlihat pada seluruh malam yang lain.
Jika pernyataan itu benar, tentu lailatul qadar itu akan tampak bagi setiap
orang yang menghidupkan malam-malam selama setahun, utamanya malam-malam
Ramadhan".
Tiga Ibadah Penting Dalam Bulan
Ramadhan
Adapun kepada para imam yang menjadi
imam dalam shalat terawih, hendaknya bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla
dalam menjalankannya. Seorang imam hendaklah tetap menjaga thuma’ninah dan
dengan perlahan-perlahan, sehingga para ma'mum memiliki kesempatan untuk
menjalankan hal-hal yang diwajibkan atau disunatkan, sesuai dengan kemampuannya.
Sungguh, pada masa sekarang ini, kita melihat fenomena yang amat
menyedihkan. Ada di antara para imam yang melaksanakan shalat tarawih
secara cepat, sehingga meninggalkan thuma’ninah. Padahal, thuma'ninah
merupakan salah satu rukun shalat. Pelaksanaan ibadah shalat yang tidak
memperhatikan thuma'ninah adalah haram. Hal ini disebabkan : Pertama,
karena ia meninggalkan thuma'ninah. Kedua, meskipun tidak sampai
meninggalkan thuma'ninah, akan tetapi perbuatan imam tersebut telah
menyebabkan orang-orang yang ma'mum kepadanya merasa kelelahan, dan tidak
bisa melaksanakan yang seharusnya mereka lakukan. Dan perlu diketahui,
orang yang menjadi imam dalam shalat, tidaklah sama dengan shalat
sendirian. Seorang imam wajib memperhatikan para ma'mumnya, menunaikan amanah
yang ada di pundaknya, serta melaksanakan shalat sebagaimana mestinya.
Menentukan Ramadhan
Oleh kerenanya Ibnu Taimiyah berkata:
Kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa termasuk dalam agama Islam, yaitu
beramal dengan melihat hilal puasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau
yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal. Adapun
pengambilan dengan cara mengambil berita orang yang menghitungnya dengan
hisab, baik dia melihat ataupun tidak, maka tidak boleh. Nash-nash yang
masyhur dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini cukup
banyak, dan kaum musliminpun telah Ijma’ atasnya, dan sama sekali tidak
diketahui adanya perselisihan baik (pada waktu) terdahulu ataupun sekarang,
kecuali sebagian mutafaqqihah mutaakhirin setelah tahun tiga ratusan,
(yang) menyatakan, jika hilal terhalang mendung, diperbolehkan al hasib
(orang yang bisa menghisab) beramal dengan hisab untuk dirinya sendiri.
Jika hisab menunjukkan ru’yah maka ia berpuasa, kalau tidak, maka tidak
boleh. Pendapat ini, walaupun terbatas pada keadaan mendung dan khusus
untuk orang yang menghisab saja, namun tetap merupakan pendapat syadz
(aneh) yang menyelisihi Ijma’ yang ada. Sedangkan mengikuti hisab pada
keadaan cerah, atau menentukan perkara syari’at umum yang lain dengan
hisab, maka ini tidak dikatakan oleh seorang muslimpun.
Macam-Macam Puasa
Setiap kewajiban memiliki satu
nafilah (sunnah) yang mempertahankan keberadaannya serta menyempurnakan
kekurangannya. Shalat lima waktu misalnya, memiliki shalat-shalat sunnah,
baik sebelum maupun sesudahnya. Demikian juga dengan zakat, yang memiliki
shadaqah sunnah. Haji dan umrah merupakan hal yang wajib dikerjakan sekali
seumur hidup, sedangkan selebihnya adalah sunnah. Puasa wajib dikerjakan
pada bulan Ramadhan, sedangkan puasa sunnah banyak sekali, di antaranya
puasa sunnah yang tidak pasti, seperti puasa bagi orang yang tidak mampu
me-nikah. Puasa sunnah yang ditentukan, misalnya puasa enam hari di bulan
Syawwal, karena barangsiapa mengerjakan puasa ini se-telah Ramadhan, maka
seakan-akan dia telah berpuasa sepanjang tahun. Hal tersebut didasarkan
pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan
Syawwal, maka ia seperti puasa ad-Dahr.
Macam-Macam Puasa : Puasa Sunnah Dan
Pengaruhnya Dalam Taqarrub Seorang Hamba Kepada Rabb-Nya
Setiap kewajiban memiliki satu
nafilah (sunnah) yang mempertahankan keberadaannya serta menyempurnakan
kekurangannya. Shalat lima waktu misalnya, memiliki shalat-shalat sunnah,
baik sebelum maupun sesudahnya. Demikian juga dengan zakat, yang memiliki
shadaqah sunnah. Haji dan umrah merupakan hal yang wajib dikerjakan sekali
seumur hidup, sedangkan selebihnya adalah sunnah. Puasa wajib dikerjakan
pada bulan Ramadhan, sedangkan puasa sunnah banyak sekali, di antaranya
puasa sunnah yang tidak pasti, seperti puasa bagi orang yang tidak mampu
menikah. Puasa sunnah yang ditentukan, misalnya puasa enam hari di bulan
Syawwal, karena barangsiapa mengerjakan puasa ini setelah Ramadhan, maka
seakan-akan dia telah berpuasa sepanjang tahun. Hal tersebut didasarkan
pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa
berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan
Syawwal, maka ia seperti puasa ad-Dahr."
Hukum Puasa Di Negara Yang Waktu
Siangnya Lebih Panjang Atau Lebih Pendek Atau Tidak Ada Siang Malam
Para ulama telah berbeda pendapat
tentang masalah perkiraan waktu di negara yang waktu siangnya cukup panjang
sedang waktu malamnya lebih pendek. Demikian juga di negara yang waktu
siangnya lebih pendek dari waktu malamnya. Demikian juga di negara-negara
kutub, di waktu malam berlangsung selama setengah tahun di kutub selatan,
selama masa itu pula terjadi siang hari di kutub utara. Di antara para
ulama itu ada yang berpendapat yang membolehkan dilakukannya perkiraan
waktu. Ada juga yang berpendapat yang mengharuskan puasa. Penjelasan
mengenai hal tersebut sebagai berikut. Mengenai pendapat pertama, sebagian
ulama mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di negara-negara tersebut
memiliki satu hukum, yaitu agar waktu-waktu shalat dan puasa diperkirakan
bagi mereka. Tetapi, mereka berbeda pendapat tentang di negara mana
perkiraan itu dilakukan.
Nasihat Bulan Ramadhan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda. “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan masih
juga melakukannya, serta melakukan perbuatan-perbuatan bodoh, maka Allah
tidak membutuhkan terhadap puasanya, meskipun ia meninggalkan makan dan
minumnya”. Yang amat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin yang berpuasa
pada bulan ini, perbuatan mereka tidak jauh berbeda dengan tatkala
hari-hari berbuka (saat tidak berpuasa). Terkadang antara mereka dijumpai
ada yang masih melalaikan kewajiban atau melakukan keharaman. Dan sekali
lagi, ini sangat disesalkan. Adapun mukmin yang berakal, ialah mereka yang
tidak menjadikan hari-hari puasanya sama seperti hari-hari berbukanya. Akan
tetapi (sudah menjadi keharusan), apabila pada hari-hari puasanya, ia
menjadi hamba yang lebih bertakwa dan lebih taat kepadaNya.
Puasa Berdasarkan Satu Ru'yat
[Penglihatan]
Para ahlul ilmi telah berbeda pendapat
dalam masalah ini, yaitu jika di suatu negara kaum muslimin telah terlihat
hilal, yang mana ru’yat itu telah memenuhi standar syar’iat, apakah kaum
muslimin lainnya harus mengikuti hasil ru’yat tersebut ? Di antara ahlul
ilmi ada yang mengatakan, bahwa itu mengharuskan kaum muslimin untuk
berpedoman pada hasil ru’yat tersebut. Mereka berdalih dengan keumuman
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian melihatnya (hilal
Ramadhan) maka berpuasalah”. Mereka mengatakan , “khitab ini bersifat umum,
berlaku untuk seluruh kaum muslimin”. Para ahlul ilmi lainnya berpendapat,
bahwa tempat-tempat munculnya hilal itu berbeda-beda, sehingga setiap
wilayah ada tempat sendiri-sendiri.
Hadits Kuraib Tentang Masalah Hilal
Shiyaam (Puasa) Ramadlan Dan Syawwal
Pertanyaan Kuraib : "Apakah
tidak cukup bagimu ru'yah/penglihatan dan puasanya Mu'awiyah" meskipun
penduduk Madinah belum melihat hilal Ramadlan, apakah ru'yah penduduk Syam
yang sehari lebih dahulu tidak cukup untuk diturut dan sama-sama berpuasa pada
hari Jum'at ?. Kalau pada zaman kita misalnya penduduk Saudi Arabia telah
melihat hilal Ramadlan/Syawwal pada malam Jum'at, sedangkan penduduk
Indonesia belum melihatnya atau baru akan melihatnya pada malam Sabtu.
Apakah ru'yah penduduk Saudi Arabia itu cukup untuk penduduk Indonesia ?
Jawaban Ibnu Abbas : "Tidak" yakni : Tidak cukup ru'yahnya
penduduk Syam bagi penduduk Madinah. Karena masing-masing negeri/daerah
yang berjauhan itu ada ru'yahnya sendiri "Begitulah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami".
Derajat Hadits Bacaan Waktu Berbuka
Puasa Dan Kelemahan Bebeberapa Hadits Keutamaan Puasa
Dibawah ini akan saya turunkan
beberapa hadits tentang dzikir atau do'a di waktu berbuka puasa Kemudian
akan saya terangkan satu persatu derajatnya sekalian. Maka, apa-apa yang
telah saya lemahkan (secara ilmu hadits) tidak boleh dipakai atau diamalkan
lagi, dan mana yang telah saya nyatakan syah (shahih atau hasan) bolehlah
saudara-saudara amalkan. Kemudian saya iringi dengan tambahan keterangan
tentang kelemahan beberapa hadits lemah/dla'if tentang keutamaan puasa yang
sering dibacakan di mimbar-mimbar khususnya di bulan Ramadhan, seperti
hadits : "Tidurnya orang yang berpuasa itu dianggap ibadah, dan
diamnya merupakan tasbih, dan amalnya (diganjari) berlipat ganda, dan
do'anya mustajab, sedang dosanya diampuni". Hadits ini derajadnya
sangat Dla'if atau Maudlu.
Hadits-Hadits Dhaif Yang Tersebar
Seputar Bulan Ramadhan
Sejak bertahun-tahun sunnah telah
tercampur dengan hadits-hadits yang dhaif, dusta, diada-adakan atau
lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf
dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna. Dan (yang termasuk) dari
hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia
di bulan Ramadhan. Diantaranya, "Kalaulah seandainya kaum muslimin
tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan
agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk
Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ...." Hingga akhir
hadits ini." Hadits ini maudhu' (palsu), penyakitnya pada Jabir bin
Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan
beliau berkata : "Mashur dengan kelemahannya". Juga dinukilkan
perkataan Abu Nua'im, " Dia suka memalsukan hadits", dan dari
Bukhari, berkata, "Mungkarul hadits" dan dari An-Nasa'i,
"Matruk" (ditinggalkan) haditsnya".
Zakat Fithri
Siapa Yang Wajib Zakat ? Zakat fithri
atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka
maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu
'anhuma. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat
fithri sebanyak satu gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan
orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin".
Sebagian ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir
karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. " Hamba tidak ada
zakatnya kecuali zakat fithri". Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat
fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal
itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik
menurut masyarakat maupun istilah. Zakat dikeluarkan berupa satu gantang
gandum, satu gantang korma, satu gantang susu, satu gantang anggur kering
atau salt, karena hadits Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu : Kami
mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam)
satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang
susu kering, satu gantang anggur kering"
Shalat Tarawih
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih
secara berjama'ah" Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka
berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah
disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan 'illat telah
hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya
atau tidak adanya. Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah
Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana
dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy beliau berkata
: "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu
malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok.
Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata :
"Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya
akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu
jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada
satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka.
I' t i k a f (Berdiam Diri)
Dan disyariatkannya i'tikaf bagi
mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah
Ta'ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan
memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada
Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan
kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya,
sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya
kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur
dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada
Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti
kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian
adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di
dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya,
dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain
daripada-Nya, maka inilah maksud dari i'tikaf yang agung itu". Makna
I'tikaf : Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi
orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya
sebagai mu'takif dan 'Akif. Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang
lainya sepanjang tahun.
Malam Lailatul Qadar
Keutamaannya sangat besar, karena
malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'an Al-Karim, yang membimbing
orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya
ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya
tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak
panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk
bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits
nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut. Sesungguhnya
malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya,
maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah
diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk
mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar)
bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam
Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang
besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah
dosa-dosanya yang telah lalu.
F i d y a h
Bagi Siapa Fidyah Itu ?, Diantaranya
: Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka
diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin,
dalilnya adalah firman Allah. "Dan orang-orang yang tidak mampu
berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang
miskin" Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan
hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini ? Tidak diragukan lagi beliau
mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati
oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh. Dari
Malik dari Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang
hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : "Berbuka dan
gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang
miskin". Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau
menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata : "Seorang wanita
hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha". Dari jalan lain
beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar,
beliau menjawab : "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap
harinya dan tidak perlu mengqadha".
K a f a r a t
Ada yang mengatakan : Kafarat jima'
itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang
dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan
tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya
lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat
tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasa karena
jima'. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan
orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap
lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati,
karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan
boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya. Barang siapa yang
telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak
ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan
(enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat,
karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan.
Q a d h a
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma,
ia berkata : "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat
dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya, hutang kepada
Allah lebih berhak untuk dibayar". Hadits-hadits umum ini menegaskan
disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh
macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm
(7/2,8). Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak
puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad
seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96
dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Tidak berpuasa
atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa
Ramadhan ?". Beliau menjawab, "Memberi makan". Inilah yang
menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh
pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu
haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama.
Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup
puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan
(fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan
Perkara-Perkara Yang Merusak Puasa
Banyak perbuatan yang harus dijauhi
oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari
bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya.
Perkara-perkara tersebu diantaranya adalah : Imam Syaukani berkata :
"Jima' dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya
bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima' tersebut terjadi
karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang
makan dan minum dengan tidak sengaja. Ibnul Qayyim berkata :
"Al-Qur'an menunjukkan bahwa jima' membatalkan puasa seperti halnya
makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini". Suntikan
yang mengandung makanan : Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan
maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa,
karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa Adapun jika suntikan
tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga
membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan
kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka
waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz
dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit
asma, inipun membatalalkan puasa.
Berbuka Puasa
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu
berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona
merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah
mengikuti sunnah Rasuullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma
dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam
menasehati mereka. Allah berfirman. "Sesungguhnya telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan
lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin". Karena memberikan ke
tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan
bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat
dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi
kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan
makanan. Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung
berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati
dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang
berittiba'.
Allah Menghendaki Kemudahan Dan Tidak
Menghendaki Kesukaran Bagimu
Banyak hadits shahih membolehkan
musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di
tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang berfirman. "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". Hamzah bin Amr Al-Aslami
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apakah
boleh aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan safar- maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Berpuasalah jika
kamu mau dan berbukalah jika kamu mau". Dari Anas bin Malik Radhiyallahu
'anhu berkata : "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak
mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang
afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdah adalah
berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Sesungguhnya Allah menyukai
didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang
melakukan maksiat"
Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang Yang
Puasa
Seorang hamba yang taat serta paham
Al-Qur'an dan Sunnah tidak akan ragu bahwa Allah menginginkan kemudahan
bagi hamba-hamba-Nya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan Rasul-Nya
telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa, dan tidak
menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya. Inilah
perbuatan-pebuatan tersebut beserta dalil-dalilnya, diantaranya : Memasuki
Waktu Subuh Dalam Keadaan Junub, Di antara perbuatan Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah masuk fajar dalam keadaan junub karena jima' dengan
isterinya, beliau mandi setelah fajar kemudian shalat. Bersiwak :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Seandainya tidak
memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali
wudlu". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan
bersiwak untuk orang yang puasa ataupun yang lainnya, hal ini sebagai dalil
bahwa bersiwak itu diperuntukkan bagi orang yang puasa dan selainnya ketika
wudlu dan shalat. Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu sebelum zawal
(tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu 'alam.
Yang Wajib Dijauhi Oleh Orang Yang
Puasa
Ketahuilah wahai orang yang diberi
taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla Sya'nuhu, yang dinamakan orang puasa
adalah orang yang mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa,
mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor dan keji, mempuasakan
lisannya dari perutnya dari makan dan minum dan mempuasakan kemaluannya
dari jima'. Jika bicara, dia berbicara dengan perkataan yang tidak merusak
puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih. Inilah
puasa yang disyari'atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata
serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari
dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan
minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya,
merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan seorang muslim yang
puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan
keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang
muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih
ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.
S a h u r
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat
sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin
Tsabit Radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang
waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca
lima puluh ayat di Kitabullah. Anas Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari
Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu. "Kami makan sahur bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau shalat" Aku
tanyakan (kata Anas), "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?"
Zaid menjawab, "kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an" Ketahuilah wahai
hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan,
minum, jima' selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan
Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi
jelas, karena Allah Jalla Sya'nuhu mema'afkan kesalahan, kelupaan serta
membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan
orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya
kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.
Waktu Puasa
"Dahulu sahabat Nabi Shalallahu
'alaihi wa sallam jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu
berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam
dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari
pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya
kemudian berkata : "Apakah engkau punya makanan ?" Isterinya
menjawab : "Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu" Dia
bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika
isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata " Khaibah"
untukmu" Ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian
menceritakan perkara tersebut kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
hingga turunlah ayat ini. "Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan
puasa bercampur (berjima') dengan isteri-isterimu". Dan turun pula
firman Allah. "Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang
putih dari benang hitam yaitu fajar". Inilah rahmat Rabbani yang
dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
hamba-hamba-Nya yang berkata : "Kami mendengar dan kami taat wahai
Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali"
Niat Puasa
Jika telah jelas masuknya bulan
Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan
bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap
muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Barangsiapa yang tidak
niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa
baginya". Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka
tidak ada puasa baginya". Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya
adalah bid'ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu
perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus
untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau
bersabda. "Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada
aku akan berpuasa" . Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat,
(seperti) Abu Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah Ibnul
Yaman Radhiyallahu 'anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam.
Menjelang Bulan Ramadhan
Umat Islam seyogyanya menghitung
bulan Sya'ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu
terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka
berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramdhan. Jika terhalang
awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena
Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat
tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak
akan lebih dari tiga puluh hari. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Puasalah
kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika
kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari"
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, (bahwasanya) Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Janganlah kalian puasa hingga
melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya (hilal). Jika
kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya'ban". Dari Adi bin Hatim
Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda. "Artinya : Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari,
kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ke tiga puluh".
Targhib Puasa Ramadhan
Allah dan Rasul-Nya memberikan
targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan
keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang
puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan
sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau
bersabda. "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh
iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu".
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, -Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam pernah bersabda. "Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at.
Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang
waktu tersebut jika menjauhi dosa besar". Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan
kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan
Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda. "Sesungguhnya Jibril 'Alaihis
salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan
Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah
jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan
Amin...."
Wajibnya Puasa Ramadhan
Allah mewajibkan kaum muslimin (untuk
melakukan ibadah) puasa Ramadhan, karena puasa memutuskan jiwa dari
syahwatnya dan menghalangi dari apa yang biasa dilakukan. (Puasa Ramadhan)
termasuk perkara yang paling sulit, karena itu kewajibannya-pun diundur
sampai tahun kedua hijriyah, setelah hati kaum muslimin kokoh dalam
bertauhid dan dalam mengangungkan syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing
mereka untuk melakukan puasa dengan bertahap. Pada awalnya mereka diberikan
pilihan untuk berbuka atau puasa serta diberi semangat untuk puasa, karena
puasa masih terasa berat bagi para shahabat. -semoga Allah meridhai mereka
semuanya-. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah
diperbolehkan, Allah berfirman : Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya" Barangsiapa yang
mendapatkan bulan ramadhan, hendaknya berpuasa. Kemudian turunlah
kelanjutan ayat tersebut yang menghapuskan hukum di atas, hal ini
dikhabarkan oleh dua orang sahabat yang mulia : Abdullah bin Umar dan
Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu anhuma, keduanya berkata : "Kemudian
dihapus oleh ayat : "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Keutamaan Puasa Ramadhan
Ramadhan adalah bulan kebaikan dan
barokah, Allah memberkahinya dengan banyak keutamaan sebagaimana dalam
penjelasan berikut ini. Pada bulan ini kejelekan menjadi sedikit, karena
dibelenggu dan diikatnya jin-jin jahat dengan salasil (rantai), belenggu dan
ashfad. Mereka tidak bisa bebas merusak manusia sebagaimana bebasnya di
bulan yang lain, karena kaum muslimin sibuk dengan puasa hingga hancurlah
syahwat, dan juga karena bacaan Al-Qur'an serta seluruh ibadah yang
mengatur dan mebersihkan jiwa. Allah berfirman. "Diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa. Maka dari itu ditutupnya pintu-pintu jahannam dan dibukanya
pintu-pintu surga, (disebabkan) karena (pada bulan itu) amal-amal shaleh
banyak dilakukan dan ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah (yakni
ucapan-ucapan yang mengandung kebaikan banyak dilafadzkan oleh kaum
mukminin-ed). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Jika datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga
(dalam riwayat Muslim : 'Dibukalah pintu-pintu rahmat") dan ditutup
pintu-pintu neraka dan dibelenggu syetan"
Keutamaan Puasa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk
menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa' bagi syahwat ini,
karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol,
menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek)
ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas
bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan
yang dhahir dan kekuatan bathin. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda. "Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa
di antara kalian telah mampu ba'ah hendaklah menikah, karena menikah lebih
menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum
mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus
syahwat) baginya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan
bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan
neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim-
sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat
yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang
puasa dari neraka.
Mukadimah Sifat Puasa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Wahai saudaraku mudah-mudahan Allah
mengumpulkan kita termasuk orang-orang yang mencintaiNya dan mengikuti
sunnah RasulNya, akan jelas bagi kita kedudukan puasa dalam Islam dan
pahala, keutamaan dan kemuliaan yang akan didapat oleh orang yang puasa
karena mengharapkan wajah Allah. Bahwa keutamaan tersebut berbeda-beda
besar kecilnya sesuai dengan dekat atau jauhnya orang yang puasa dari
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana telah
diriwayatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Berapa
banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dari
puasanya". Oleh karena itu mengetahui sifat-sifat puasa Nabi merupakan
satu hal yang harus dilakukan oleh kebanyakan orang, maka kami punya
pandangan untuk menyusun satu kitab yang mencakup seluruh masalah yang
berkaitan dengan sifat puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan
Ramadhan, untuk seluruh kaum muslimin yang tidak pernah mendahulukan
pendapat manusia di atas perkataan Allah dan RasulNya.
Tata Cara Puasa Enam Hari Bulan
Syawwal
Para ulama menganjurkan (istihbab)
pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari 'Idhul Fitri.
Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini
untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada
kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari
faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda. Syaikh
‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : "Dalam hadits ini
(yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash
yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah.
Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah
hari raya 'Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan
puasa tersebut setelah hari Raya 'Idul Fithri secara langsung atau sebelum
akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka
diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan
Syawal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk
tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.
Shahih Dan Dhaif Hadits Puasa Enam
Hari Bulan Syawwal
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu
diiringi dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka dia keluar dari
dosa-dosanya sebagaimana saat dilahirkan dari perut ibunya. Syaikh al
Albani mengatakan : Maudhu’ (palsu). Diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani
dalam kitab al Ausath melalui jalur Imran bin Harun, kami diberitahu oleh
Maslamah bin Ali, kami diberitahu oleh Abu Abdillah al Hamsh dari Nafi’
dari Ibnu ‘Umar secara marfu’, dan beliau rahimahullah (Ath Thabrani)
mengatakan : Hadits ini tidak diriwayatkan, kecuali oleh Abu Abdillah, dan
Maslamah menyendiri dalam membawakan riwayat ini. Syaikh al Albani
mengatakan : Orang ini (yakni Maslamah, Red) muttaham (tertuduh), ada
beberapa riwayat maudhu’nya sudah dibawakan di depan, yaitu hadits no. 141,
145 dan 151. Sedangkan Abu Abdillah al Hamsh, saya cenderung memandang
bahwa orang ini adalah Muhammad bin Sa’id al Asdiy al Mashlub al Kadzdzab (banyak
berdusta) al waddha’ (sering memalsukan hadits). Mereka merubah nama orang
ini menjadi sekitar seratus nama, untuk menutupi jati dirinya. Ada yang
memberinya kunyah Abu Abdirrahman, Abu Abdillah, Abu Qais. Tentang
nisbahnya, ada yang mengatakan, dia itu Dimasqiy (orang Damaskus), al
Urduni (orang Urdun). Dan ada yang mengatakan ath Thabariy. Maka saya
(Syaikh al Albani, Red) tidak menganggap mustahil, jika kemudian orang yang
tertuduh, yaitu Maslamah mengatakan tentang orang ini : Abu Abdillah al Hamshy.
Derajat Hadits Puasa Hari Tarwiyah
Sudah terlalu sering saya ditanya
tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) yang biasa
diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu
pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu
pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum
mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari
tarwiyah tersebut. Alhamdulillah, pada hari ini (3 Agustus 1987) saya telah
menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut. “Puasa pada hari
tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah
menghapuskan (dosa) dua tahun”. Saya berkata : Hadits ini derajatnya
maudlu’.
Puasa Tidak Wajib Bagi Anak Kecil,
Untuk Siapa Pahala Puasa Anak Kecil, Dalil Puasa Dawud
Allah Azza wa Jalla mewajibkan ibadah
atas seseorag jika dia memilki kecakapan untuk melaksanakannya (memenuhi
syarat taklif) yaitu berakal, sehingga mampu memahami segala sesuatu.
Adapun orang yang kehilangan akal, maka tidak wajib melaksanakan ibadah.
Berdasarkan ini, maka orang gila dan anak kecil yag belum mumayyiz (artinya
belum mampu membedakan antara yang yang baik dan buruk) tidak wajib
menunaikan ibadah. Ini satu bentuk rahmat Allah Azza wa Jalla. Demikian
juga Al-Ma’tuh (kurang waras) dibawah level gila, demikian juga orang tua
renta yang pikun, seperti yang dikemukakan penanya, maka dia tidak wajib
melaksanakan ibadah puasa, shalat dan thaharah (beruci). Orang pikun itu
layaknya anak kecil yang belum mumayyiz maka beban syari’at seperti
thaharah, shalat dan puasa gugur atasnya. Adapun kewajiban yang berkaitan
dengan harta benda, maka masih tetap berlaku meski dalam kondisi seperti
ini. Misalnya zakat wajib dikeluarkan dari hartanya yang telah sampai
nishan oleh orang yang mengurusnya. Sebab, zakat berhubungan dengan harta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”
Pendahuluan Buku Bolehkah Puasa Hari
Sabtu?
Untuk menunjukkan perbedaan dalam
masalah ini cukuplah aku sebutkan tiga kutipan: Imam ath-Thahawi dalam
kitabnya, Syarh Ma’aanil Aatsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits
(tentang larangan puasa sunnah pada hari Sabtu), ia berkata, “Sebagian kaum
(ulama) berpendapat dengan hadits ini, maka mereka membenci puasa sunnah
pada hari Sabtu.”. Ibnu Rusyd berkata dalam kitabnya Bidaayatul Mujtahid
(V/216-217), “Dan adapun hari-hari yang dilarang berpuasa di dalamnya, ada
yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Adapun yang disepakati adalah
berpuasa di hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, karena adanya
ketetapan larangan berpuasa pada dua hari tersebut. Adapun yang
diperselisihkan adalah hari Tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah.-pent), hari yang diragukan
(mengawali Ramadhan sudah masuk atau belum. -pent), hari Jum’at, hari
Sabtu, setengah bulan terakhir dari bulan Sya’ban dan puasa yang dilakukan
terus-menerus….” Lalu ia berkata (V/232), “Adapun hari Sabtu, maka sebab
perbedaan ulama adalah perbedaan mereka dalam penshahihan hadits yang
diriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali yang
diwajibkan atas kalian".
Apakah Imsak Memiliki Dalil Dari
As-Sunnah Ataukah Merupakan Bid'ah?
Hal ini termasuk bid’ah, tiada
dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah
berfirman di dalam kitabnya yang mulia. "Makan dan minumlah hingga
jelas bagimu benang merah dari benang putih yaitu fajar” . Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di
malam hari, makan dan minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan
adzan, karena dia tidak beradzan sampai terbit fajar” Imsak yang dilakukan
oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk
perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allah
Hukum Puasa Musafir, Melihat Realita
Sekarang Ini Puasa Tidak Memberatkan
Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum
bepergian bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian mereka ada
yang berpuasa, sebagian yang lain berbuka, orang yang berbuka tidak mencela
orang yang berpuasa, sebaliknya orang yang berpuasa tidak mencela orang
yang berbuka, sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di
waktu bepergian, Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Kami bepergian
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan yang sangat panas,
tiada seorangpun diantara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah” . Kaidah hukum bagi musafir
adalah dia disuruh memilih antara puasa dan berbuka, akan tetapi jika
berpuasa tidak memberatkannya maka puasa lebih utama.
Apa Saja Udzur Yang Membolehkan Orang
Berbuka Puasa ?
Udzur yang membolehkan seseorang
untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah : sakit, bepergian, seperti yang
diterangkan dalam Al-Qur’an, termasuk udzur pula seorang perempuan yang
hamil dan mengkhawatirkan keadaan dirinya dan janin yang dikandungnya. Termasuk
udzur pula seorang perempuan yang sedang menyusui, dia khawatir kalau dia
berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayi yang disusuinya, juga saat
seseorang membutuhkan untuk berbuka guna menyelamatkan orang yang
diselamatkan dari kematian, misalnya dia mendapati seseorang tenggelam di
laut, atau seseorang yang berada diantara tempat yang mengelilinginya yang
di dalamnya ada api sehingga dia butuh –dalam penyelamatannya- untuk
berbuka, maka dia diwaktu itu boleh berbuka dan menyelamatkan dirinya.
Suntikan Di Siang Hari Ramadhan,
Pemakaian Inhaler Dan Mengeluarkan Darah Dari Orangi Yang Berpuasa
Jika seseorang mengambil sedikit
darah yang tidak menyebabkan kelemahan pada tubuhnya, maka hal ini tidak
membatalkan puasanya, baik itu untuk pemeriksaan medis atau untuk transfuse
darah kepada orang lain ataupun untuk di donorkan kepada seseorang yang
membutuhkannya. Tapi jika pengambilan darah itu dalam jumlah banyak yang
menyebabkan kelemahan pada tubuh, maka hal itu membatalkan puasa. Hal ini
diqiyaskan kepada berbekam yang telah ditetapkan oleh As-Sunnah bahwa hal
itu membatalkan puasa. Berdasarkan ini, seseorang yang tengah melaksanakan
puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, tidak boleh mendonorkan darah dalam
jumlah banyak, kecuali bila terpaksa (darurat), karena dalam kondisi ini
berarti ia telah batal puasanya sehingga dibolehkan makan dan minum pada
sisa hari tersebut untuk kemudian mengqadha pada hari lain di luar bulan
Ramadhan.
Larangan Pengkhususan Puasa Hari
Jum'at, Hukum Puasa Asyura Dan Apa Puasa Wishal Itu ?
Hikmah dalam larangan pengkhususan
hari Jum'at dengan puasa adalah bahwa hari Jum'at merupakan hari raya dalam
sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang disyariatkan ;
karena Islam memiliki tiga hari raya yakni Idul Fitri dari Ramadhan, Idul
Adha dan Hari raya mingguan yakni hari Jum'at. Oleh sebab itu hari ini
terlarang dari pengkhususan puasa, karena hari Jum'at adalah hari yang
sepatutnya seseorang lelaki mendahulukan shalat Jum'at, menyibukkan diri
berdoa, serta berdzikir, dia serupa dengan hari Arafah yang para jama'ah
haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena dia disibukkan
dengan do'a dan dzikir, telah diketahui pula bahwa ketika saling
berbenturan beberapa ibadah yang sebagiannya bisa ditunda maka lebih didahulukan
ibadah yang tak bisa ditunda daripada ibadah yang masih bisa ditunda.
Bagaimana Menjalankan Puasa Syawal,
Puasa Sunnah Wanita Bersuami, Suami Melarang Puasa Syawal?
Cara yang paling utama adalah
berpuasa pada enam hari awal bulan syawal sesudah hari Idul Fithri secara
langsung, berturut-turut sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama,
karena cara itu lebih maksimal dalam mewujudkan pengikutan seperti yang
dituturkan dalam hadits, "Kemudian mengikutinya", dan karena cara
itu termasuk bersegera menuju kebajikan yang diperintahkan oleh dalil-dalil
yang menganjurkannya dan memuji orang yang mengerjakannya, juga hal itu
termasuk keteguhan hati yang merupakan bagian dari kesempurnaan seorang
hamba Allah, sebab kesempatan tidak selayaknya dibiarkan lewat percuma ;
karena seseorang tidak tahu apa yang dihadapkan kepadanya di kesempatan
yang kedua atau akhir perkara. Inilah yang saya maksudkan dengan bersegera
dalam beramal dan cepat-cepat mengambil kesempatan, sebaiknya seseorang
menjalankannya dalam segala urusannya di kala kebenaran telah jelas nampak
padanya.
Apakah Puasa Enam Hari Syawal
Diharuskan Terus Menerus ? Hukum Mengqadha Enam Hari Puasa Syawal ?
Seorang wanita sudah terbiasa
menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun
ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum
mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan
Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah
diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah
mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan
Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha
puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus
menerus atau tidak ?
Apakah Lailatul Qadar Itu Sudah Pasti
Pada Suatu Malam Atau Berpindah-Pindah Pada Setiap Tahunnya
Tidak diragukan lagi bahwa Lailatul
Qadar terjadi pada bulan Ramadhan. Allah berfirman. "Sesungguhnya kami
telah menurunkan (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan". Allah Subhanahu wa
Ta'ala juga menjelaskan dalam ayat yang lain bahwa Dia telah menurunkan
Al-Qur'an pada bulan Ramadhan. " (Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan)
Al-Qur'an". Rasulullah pernah beri'tikaf pada sepuluh malam pertama
bulan Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar, lalu beri'tikaf pada sepuluh
malam pertengahan, hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat
Lailatul Qadar ini pada sepuluh malam terkahir pada bulan Ramadhan.
Apa Hikmah Diwajibkan Puasa ?
Apa bila kita membaca firman Allah
Azza wa Jalla. "Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas
kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertakwa". Pasti kita mengetahui apa hikmah diwajibkan puasa,
yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, takwa
adalah meninggalkan keharaman, istilah itu secara mutlak mengandung makna
mengerjakan perintah, meninggalkan larangan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda. "Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta
dan mengerjakan kedustaan, maka Allah tidal butuh kepada amalannya dalam
meninggalkan makanan dan minumannya". Berdasarkan dalil ini
diperintahkan dengan kuat terhadap setiap yang berpuasa untuk mengerjakan
segala kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang haram.
Apa Sajakah Adab Dalam Berpuasa
Termasuk salah satu adab berpuasa
adalah membiasakan diri bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, sesuai
dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". Sesuai pula dengan sabda
Nabi. "Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan
mengerjakan kedustaan, maka Allah tidak butuh kepada amalannya dalam
meninggalkan makanan dan minumannya".Termasuk adab dalam berpuasa
lainnya adalah memperbanyak sedekah, amal kebaikan, berbuat baik kepada
orang lain, terutama di bulan Ramadhan.
Apa Yang Lazim Dan Yang Wajib
Dilakukan Orang Yang Berpuasa ? Dan Adakah Nilai Sosial Puasa
Yang lazim bagi orang yang berpuasa
adalah memperbanyak ketaatan dan menghindari semua larangan. Sedangkan yang
wajib atasnya adalah memelihara kewajiban-kewajiban dan menjauhi hal-hal
yang diharamkan. Adapun nilai sosial puasa, yaitu puasa memiliki
nilai-nilai sosial, di antaranya melahirkan rasa persamaan di antara sesama
kaum muslimin, bahwa mereka adalah umat yang sama, maka di waktu yang sama
dan berpuasa di waktu yang sama pula. Yang kaya merasakan ni'mat Allah
sehingga menyayangi yang fakir. Menghindari perangkap-perangkap setan yang
ditujukan kepada manusia.
Tanda Subuh Adalah Terbitnya Fajar,
Apa Hukum Makan Dan Minum Ketika Muadzin Adzan
Batas yang menghalangi seseorang yang
berpuasa dari makan dan minum adalah terbitnya fajar, berdasarkan firman
Allah Ta'ala. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam. Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangakan
adzan. Perawi hadits ini menyebutkan, Ibnu Ummi Maktum adalah seorang
laki-laki buta, ia tidak mengumandangkan adzan kecuali diberitahukan
kepadanya, Engkau telah masuk waktu subuh, engkau telah masuk waktu subuh.
Jadi, tandanya adalah terbitnya fajar. Jika muadzinnya seorang yang tepat
waktu (fajar) apabila ia adzan maka yang mendengarnya wajib menahan diri
dari hal-hal yang membatalkan puasa.
Puasanya Orang Yang Meninggalkan
Shalat, Berpuasa Tapi Tidak Shalat
Orang yang meninggalkan shalat berarti
kafir, keluar dari agama Islam, dan orang kafir itu, Allah tidak akan
menerima puasanya, shadaqahnya, hajinya dan amal-amal shalih lainnya. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta'ala. Dan tidak ada yang menghalangi mereka
untuk diterima dari mereka dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena
kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat,
melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka,
melainkan dengan rasa enggan. Karena itu, jika anda berpuasa tapi tidak shalat,
maka kami katakana bahwa puasa anda batal, tidaj sah dan tidak berguna di
hadapan Allah serta tidak mendekatkan anda kepadaNya.
Makan Dan Minum Ketika Mendengar
Adzan Subuh Pada Bulan Ramadhan
Seorang mukmin wajib menahan dirinya
dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum dan lain-lain) apabila
fajar benar-benar telah terbit. Terutama apabila puasa tersebut hukumnya
wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa kifarat. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman. Makan dan minumlah kalian sampai terlihat
jelas oleh kalian garis putih dari garis hitam yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa kalian sampai malan (maghrib). Apabila seseorang mendengar adzan dan dia yakin
adzannya tersebut berpatokan terbitnya fajar (masuk waktu), maka dia wajib
menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa. Tapi apabila adzan
tersebut dikumandangkan sebelum terbit fajar, kita masih boleh makan dan
minum sampai fajar benar-benar terbit.
Shaum Dan Berbuka Mengikuti Negeri
Tempat Tinggal Seseorang
Saya berasal dari Timur Asia, bulan
Hijriyah di tempat kami terlambat satu hari dari Arab Saudi. Kami adalah
mahasiswa yang akan melakukan safar di bulan Ramadhan tahun ini, sedangkan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Shaumlah karena melihat
hilal (masuk bulan), dan berbukalah karena melihat hilal.." dan
seterusnya. Kami telah memulai shaum di Saudi, kemudian safar di bulan
Ramadhan hingga penghabisan bulan, sehingga kami shaum selama tiga puluh
satu hari. Pertanyaan saya, bagaimana hukum shiyam kami tersebut dan berapa
hari mestinya kami harus shaum ? Kemudan Kami akan terbang dengan pesawat
atas ijin Allah pada bulan Ramadhan kira-kita satu jam sebelum adzan
maghrib. Maka adzan akan berkumandang di saat saya berada di atas udara.
Apakah kami boleh berbuka ?
Jika Orang Yang Shaum Mimpi Basah Di
Siang Hari Ramadhan, Apakah Shaumnya Batal ?
Mimpi basah tidak membatalkan shaum,
karena hal itu terjadi tanpa unsur kesengajaan dari orang yang shaum
tersebut. Dan dia wajib mandi janabah ketika melihat keluarnya air mani.
Jika seseorang mimpi basah setelah shalat shubuh lalu dia mengakhirkan
mandinya hingga menjelang dhuhur maka tidak apa-apa. Demikian pula jika
seseorang menggauli istrinya di waktu malam dan dia belum mandi hingga
terbitnya fajar, hal itu tidak mengapa, karena disebutkan dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ketika subuh Nabi masih dalam keadaan
junub karena jima (di malam hari), kemudian beliau mandi dan shaum.
Demikian pula halnya dengan orang yang haidh dan nifas, seandainya keduanya
telah suci di malam hari lalu baru mandi setelah terbit fajar, hal itu
tidak mengapa.
Orang
Yang Mendapatkan Bulan Ramadhan, Tapi Masih Punya Hutang Puasa Ramadhan
Tahun Sebelumnya
Orang yang mempunyai hutang puasa
Ramadhan dia wajib mengqadlanya sebelum Ramadhan berikutnya. Dan dia boleh
mengakhirkan puasa qadha tersebut sampai bulan Sya'ban. Jika Ramadhan
berikutnya telah tiba sementara dia belum mengqadla puasa Ramadhan tahun
lalu tanpa alasan yang syar'i, maka dia berdosa. Dalam hal ini dia harus
mengqadla puasa tersebut dan memberi makanan kepada fakir miskin, satu hari
satu orang. Hal ini bedasarkan fatwa sejumlah shahabat Radhiyallahu 'anhum.
Adapun jumlah makanan pokok tersebut adalah setengah sha' makanan pokok
setempat untuk satu hari puasa. Diberikan kepada orang-orang miskin. Adapun
jika keterlambatan mengqadla tersebut disebabkan karena sakit atau safar
(musafir), maka dia hanya wajib mengqadla saja.
Menggunakan Hisab Di Dalam Menentukan
Awal Bulan Ramadhan
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
telah menyuruh kaum muslimin untuk berpuasa dengan cara melihat hilal dan
menyudahi puasanya dengan cara melihat hilal pula. Dan jika cuaca mendung,
kita genapkan bulan tersebut menjadi 30 hari. Beliau Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda. "Sesungguhnya kita adalah umat yang buta huruf, tidak
bisa menulis dan tidak menguasai ilmu hisab (ilmu perhitungan bulan). Maka
satu bulan adalah sekian dan sekian dan sekian dan beliau melipat satu
jempolnya pada kali yang ketiga. Kemudian beliau bersabda lagi ; sebulan
adalah sekian dan sekian dan sekian dan beliau mengisyaratkan sepuluh
jarinya (tanpa melipat satu jempolnya)".
Hukum Orang Yang Berpuasa Ramadhan
Selama Tiga Puluh Hari Terus Menerus
Berdasarkan hadits-hadits shahih yang
sangat terkenal dan berdasarkan ijma' para shahabat Radhiyallahu anhum dan
para ulama yang mengikuti mereka dengan baik, jumlah hari dalam satu bulan
adalah kadang-kadang 30 dan kadang-kadang 29. Maka barangsiapa yang (setiap
tahun) terus menerus berpuasa Ramadhan selama 30 hari tanpa melihat hilal ;
maka dia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah dan ijma'
dan dia telah mengada-adakan bid'ah dalam agama ini yang tidak pernah
diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Ikutilah apa yang telah diturunkan dari Rabb kalian dan janganlah
kalian mengikuti selain itu".
Beberapa Tahun Yang Lalu Tidak
Berpuasa Ramadhan Karena Haid Dan Belum Mengqadhanya
Segera mengqadha puasa berdasarkan
perkiraan Anda dalam menentukan jumlah harinya, karena Allah Subhanahu wa
Ta'ala tidak membebani seseorang kecuali apa yang disanggupinya. Berapa
jumlah hari yang telah Anda tinggalkan menurut dugaan Anda, maka sejumlah
hari itulah yang harus Anda qadha. Jika Anda perkirakan bahwa puasa yang
harus Anda qadha itu sepuluh hari, maka hendaklah Anda berpuasa sepuluh
hari, dan jika Anda menduga bahwa jumlah lebih banyak atau kurang dari itu,
maka berpuasalah Anda berdasarkan dari sepuluh hari makan berpuasalah Anda
dengan berpatokan pada dugaan Anda itu, berdasarkan firman Allah.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuatu dengan
kesanggupannya"
Tidak Mampu Mengqadha Puasa
Orang sakit yang menyebabkan sulit
baginya untuk berpuasa disyari'atkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah
memberinya kesembuhan maka ia harus mengqadha puasanya itu berdasarkan
firman Allah. "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 185]. Dan
Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam
kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari
Allah bagi orang yang sakit serta orang yang musafir, dan Allah suka jika
rukkhshah-Nya itu dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan
maksiat dilakukan.
Seorang Pria Musafir Tiba Di Rumahnya
Siang Hari Ramadhan Lalu Ingin Menggauli Istrinya
Bahwa seorang musafir jika ia telah
sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa maka ia harus
imsak (menahan dari yang membatalkan) sebagai penghormatan terhadap hari
itu, walaupun puasanya itu tidak dihitung karena ia diharuskan mengqadha
puasa pada hari itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat : Bahwa seorang
musafir jika telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak
berpuasa, maka tidak diharuskan baginya untuk berpuasa dan boleh baginya
untuk makan pada sisa hari itu. Kedua pendapat ini diriwayatkan dari Imam
Ahmad, pendapat yang paling benar di antara kedua pendapat ini adalah tidak
diwajibkan baginya untuk berpuasa pada sisa hari itu, karena jika ia
berpuasa pada sisa hari itu maka puasanya tidak mendatangkan faedah apapun.
Memaksa Istri Untuk Tidak Berpuasa
Dengan Cara Mencampurinya
Jika seorang pria memaksa istrinya
untuk bersenggama saat keduanya berpuasa, maka puasa sang istri sah dan
tidak dikenakan kaffarah (tebusan) baginya, namun sang suami dikenakan
kaffarah karena persetubuhan yang ia lakukan itu jika dilakukan pada siang
hari di bulan Ramadhan. Kaffarahnya adalah memerdekakan seorang hamba
sahaya, jika ia tidak menemukan hamba sahaya maka hendaknya ia berpuasa
selama dua bulan berturut-turut, jika ia tidak sanggup maka hendaknya ia
memberi makan orang miskin sebanyak enam puluh orang berdasarkan hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan dalam Ash-Shahihain, dan
bagi sang suami harus mengqadha puasanya.
Meninggalkan Puasa Dengan Sengaja
Selama Enam Hari Di Bulan Ramadhan Karena Ujian Sekolah
Hendaknya Anda bertaubat kepada Allah
dan mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda tinggalkan, Allah akan
memberikan taubat kepada orang yang telah bertaubat kepada-Nya. Hakikat
taubat yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa, adalah
meninggalkan perbuatan dosa sebagai pengagungan terhadap Allah, takut kepada
siksa-Nya, menyesali perbuatannya yang telah lalu, dan bertekad untuk tidak
mengulangi perbuatan itu, jika perbuatan itu berupa kezaliman terhadap
sesama manusia, maka untuk menyempurnakan taubatnya adalah dengan
mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi.
Bila Wanita Hamil Dan Menyusui Tidak
Berpuasa Di Bulan Ramadhan
Jika wanita hamil itu khawatir kepada
dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan Ramadhan, maka hendaknya ia
tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasanya saja. Statusnya
saat itu adalah seperti orang yang tidak kuat untuk berpuasa atau takut
akan timbulnya bahaya pada dirinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala. "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain" [ Al-Baqarah : 185] Begitu juga halnya
wanita yang menyusui, jika ia khawatir pada dirinya bila menyusui anaknya
sambil berpuasa di bulan Ramadhan, atau khawatir pada anaknya jika ia
berpuasa lalu tidak dapat menyusui, maka boleh baginya berbuka, dan wajib
baginya mengqadha saja
Hukum Mengisi Bulan Ramadhan Dengan
Begadang, Berjalan-Jalan Di Pasar Dan Tidur
Yang disyari'atkan bagi kaum Musimin
baik pria mupun wanita adalah menghormati bulan Ramadhan, dengan
menyibukkan dirinya pada perbuatan-perbuatan ketaatan serta menjauhi
perbuatan-perbuatan maksiat dan pekerjaan buruk lainnya di setiap waktu,
lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan karena kemuliaan Ramadhan. Begadang
untuk menonton film atau sinetron yang ditayangkan televisi atau video atau
lewat parabola atau mendengarkan musik dan lagu, semua perbuatan itu adalah
haram dan merupakan perbuatan maksiat, baik di bulan Ramadhan ataupun
bukan. Dan jika perbuatan itu dilakukan di bulan Ramadhan maka dosanya akan
lebih besar.
Mengeluarkan Darah Selama Tiga Tahun,
Apa Yang Harus Dilakukan Di Bulan Ramadhan
Wanita seperti ini, yang menderita
pendarahan, hukumnya yaitu meninggalkan shalat dan puasa pada masa-masa
haidhnya dahulu sebelum datangnya penyakit yang ia derita saat ini. Jika
kebiasaan haidhnya datang di awal bulan selama enam hari misalnya, maka ia
harus meninggalkan puasa dan shalat setiap awal bulan selama enam hari,
selesai enam hari itu ia harus mandi, shalat dan berpuasa. Adapun shalat
wanita ini adalah, terlebih dahulu mencuci kemaluannya hingga bersih atau
memberi pembalut kemudian berwudhu, dan hal itu dilakukan setelah masuk
waktu shalat wajib, bagitu juga jika ia ingin melakukan shalat sunat di
luar waktu shalat wajib. Dalam keadan seperti ini untuk tidak menyulitkan
maka ia diperbolehkan menjama' shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan
Maghrib dengan shalat Isya.
Mencegah Haid Agar Boleh Berpuasa,
Mengkonsumsi Pil Pencegah Haid Agar Dapat Berpuasa
Saya katakan kepada wanita-wanita ini
dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haidh di bulan Ramadhan, bahwa
haidh yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haidh itu
mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur'an dan ibadah-ibadah
lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita
bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haidh :
"Sesungguhnya haidh itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan
kepada kaum wanita". Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haidh
yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum
wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan
dirinya ke dalan bahaya
Mengobati Pilek Dengan Obat Yang
Dihirup Melalui Hidung, Menggunakan Kecantikan Modern Saat Berpuasa
Obat pengakit pilek yang digunakan
oleh penderita penyakit itu dengan cara menghirupnya melalui hidung lalu
masuk ke dalam paru-paru melalui rongga tempat berlalunya pernafasan dan
tidak menuju ke tempat perut besar, maka hal ini tidak dinamakan memakan
atau meminum atau yang serupa dengan keduanya. Cara pengobatan seperti itu
sama halnya dengan meneteskan obat melalui suntikan untuk menuju pada badan
tanpa menggunakan mulut atau hidung. Mengenai masalah ini para ulama
berbeda pendapat, apakah pengobatan dengan cara itu dapat membatalkan puasa
atau tidak, sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak
membatalkan puasa, walaupun demikian mereka semua bermufakat bahwa hal
tersebut tidak dinamakan makan ataupun minum.
Suami Mencium Dan Mencumbui Istrinya
Di Siang Ramadhan, Mencampuri Istri Tanpa Mengeluarkan Mani
Bersetubuh di siang hari Ramadhan
saat suami berpuasa dan tidak dalam perjalanan maka dia dikenakan Kaffarah,
yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika hal itu tidak didapatkan dipenuhi
maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika hal itu tidak
sanggup dilakukan maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang
miskin. Kaffarah yang sama juga dikenakan bagi istrinya, jika ia melakukan
hal itu dengan rela, namun jika dilakukan dengan terpaksa maka wanita itu
tidak dikenakan apapun. Adapun bila keduanya itu dalam keadaan musafir maka
tak ada dosa, tak ada kaffarah dan tidak perlu berpuasa pada sisa hari itu
melainkan keduanya harus mengqadha puasa hari itu saja, karena orang
musafir tidak diwajibkan untuk berpuasa.
Iti'kaf Dan Syarat-Syaratnya,
Bolehkah Iti'kaf Selain Tiga Masjid Dan Beriti'kaf Sambil Mengajar ?
Iti'kaf pada bulan Ramadlan adalah
sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta para istrinya setelah
beliau tiada. Bahkan ulama sepakat bahwa itikaf disunnatkan. Tetapi
sepatutnya itikaf dilakukan sesuai dengan yang diperintahkan, yakni
seseorang selalu berada di masjid untuk ta'at kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengan meninggalkan kegiatan duniawinya dan mengerjakan berbagai keta'atan
berupa shalat, dzikir atau lainnya. Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
beritikaf dalam rangka menemukan malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Yang
sedang itikaf itu menjauhi segala aktivitas dunia ; tidak jual atau beli,
tidak keluar masjid, tidak mengantar jenazah dan tidak menengok yang sakit.
Orang Tua Yang Tidak Mengijinkan
Anaknya Beri'tikaf, Dan Yang Beri'tikaf Meninggalkan Tugas
I'tikaf itu sunnat hukumnya. Sedang berbakti
kepada kedua orang tua adalah wajib. Perkara sunnat tak bisa menggugurkan
yang wajib, sebab yang wajib mesti diutamakan. Dalam hadits Qudsy, Allah
berfirman : "Tidaklah hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang lebih Ku-senangi kecuali pada apa-apa yang Aku wajibkan
kepadanya". Apabila ayahmu melarangmu beri'tikaf dengan alasan-alasan
yang menurutmu untuk tidak beri'tikaf karena kamu dibutuhkan, maka
pertimbangannya berada di tangan ayahmu, bukan pada kamu. Sebab bisa jadi
pertimbanganmu tak tepat ketika ingin beri'tikaf. Jika alasan ayahmu dapat
diterima, maka saya sarankan kamu jangan beri'tikaf. Tetapi jika ayahmu tak
menyebutkan alasan yang jelas, maka larangannya tak mesti diikuti agar kamu
tak kehilangan suatu manfa'at.
Kaffarat Orang Yang Menyetubuhi
Istrinya, Bolehkah Memberi Makan Kepada Selain Kaum Muslimin ?
Bolehkah dirinya berkaffarat dengan
cara memberi makan enam puluh orang miskin ?" Kami jawab : "Jika
masih kuat berpuasa, maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut".
Puasa dua bulan akan ringan bila seseorang bertekad ingin melakukannya
kecuali jika malas. Segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan bagi kita
beberapa hal yang jika dilakukan akan dapat menghapus siksa akhirat. Karena
itu, kepada saudara penanya, kami sarankan hendaklah saudara berpuasa
berturut-turut jika tak ada hamba sahaya untuk di merdekakan. Puasa
kaffarat tersebut boleh dilakukan pada musim hujan biar udara dingin dan
sejuk. Kewajiban kaffarat tersebut berlaku pula bagi istrinya, jika
bersetubuh atas kehendaknya sendiri, kecuali jika dipaksa. Bagi yang
dipaksa tak wajib kaffarat dan qadla serta puasanya tetap sempurna.
Qadla Bagi Yang Tidak Berpuasa
Beberapa Tahun Dan Wajibkah Qadla Bagi Yang Tidak Pernah Berpuasa ?
Seorang lelaki yang mengaku dirinya
tersesat dan lalu diberi hidayah oleh Allah, maka kami mohon kepada-Nya,
semoga ia diberi keteguhan agar selalu mampu menghadapi hawa nafsu dan
syaitan. Hal itu merupakan ni'mat Allah. Tidak ada yang memahami kesesatan
selain yang mengalaminya setelah ia mendapatkan hidayah. Orang tak akan
tahu batas keislaman kecuali bila mengetahui batas kekafiran. Kami
sampaikan kepada lelaki seperti itu : "Semoga ananda mendapatkan
anugrah Allah agar tetap dalam pendirian (istiqamah). Juga kita memohon
kepada-Nya agar kita diberi keteguhan dalam menjalankan kebenaran dan
ketaatan yang pernah kita tinggalkan ; puasa, shalat, zakat atau lainnya,
namun tak perlu diqadla, sebab sudah tertambal taubat. Jika ananda telah
bertaubat kepada Allah lalu beramal sholeh, maka cukuplah hal itu sebagai
pengganti yang hilang.
Hikmah Dari Diwajibkan Mengqadha
Puasa Tanpa Mengqadha Shalat Bagi Wanita Haidh
Telah diketahui bahwa kewajiban
seorang muslim adalah melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah
kepadanya dan menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang Allah, baik ia
tahu ataupun tidak tahu hikmah dari perintah dan larangan itu, yang
disertai dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan memerintahkan hamba-Nya
melainkan dalam perintah itu terdapat kebaikan bagi mereka, dan Allah tidak
akan melarang mereka dari sesuatu melainkan karena yang dilarang itu
mengandung bahaya bagi mereka. Semua ketetapan yang terdapat dalam syari'at
Allah pasti memiliki hikmah yang telah diketahui Allah, yang diantaranya
ditampakkan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hama-Nya.
Tidak Pernah Mengqadha Puasa Yang
Ditinggalkannya Karena Haid Sejak Diwajibkan Baginya Berpuasa
Kami menyesalkan hal ini masih sering
terjadi di kalangan wanita beriman, sebab tidak melaksanakan qadha itu,
adalah suatu musibah, baik itu karena ketidaktahuan ataupun karena
kelalaian. Obat kebodohan adalah tahu dan bertanya, sementara obat
kelalaian adalah bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mendekatkan
diri kepada-Nya, takut terhadap siksa-Nya dan bersegera melakukan perbuatan
yang mendatangkan keridhaan-Nya. Hendaknya wanita ini bertaubat kepada
Allah dan memohon ampun atas apa yang telah diperbuatnya, dan hendaknya
pula ia memperkirakan hari-hari yang telah ia tinggalkan karena haidh kemudian
mengqadha jumlah hari puasa itu.
Bulan Ramadhan Kedua Telah Datang
Tapi Ia Belum Mengqadha Puasa Ramadhan Yang Lalu
Yang wajib mereka lakukan adalah
bertobat kepada Allah dari perbuatan ini, karena sesungguhnya tidak boleh
bagi seseorang untuk menunda qadha puasanya hingga datangnya bulan Ramdhan
kedua tanpa adanya udzur (halangan), berdasarkan ucapan Aisyah Radhiaalahu
'anhu : "Saya mempunyai utang puasa yang harus saya lunasi dan saya
tidak bisa mengqadha puasa itu kecuali di bulan Sya'ban", hal ini
menunjukkan bahwa tidak boleh mengqadha puasa hingga datangnya bulan
Ramadhan berikutnya. Karena itu hendaknya para wanita itu bertobat kepada
Allah atas apa yang telah mereka perbuat, dan mengqadha puasa tersebut
setelah bulan Ramadhan kedua.
Bagaimana Hukumnya Wanita Hamil Yang
Tidak Puasa Karena Khawatir Terhadap Janinnya
Pendapat yang masyhur dalam madzhab
Imam Ahmad adalah bahwa, jika seorang wanita hamil tidak berpuasa karena
khawatir terhadap anaknya saja, maka ia harus mengqadha puasanya karena ia
tidak berpuasa, dan bagi orang yang bertanggung jawab pada anaknya harus
memberi makan seorang miskin setiap harinya, karena wanita itu tidak
berpuasa untuk kemaslahatan anaknya. Sebagian ulama berpendapat : Yang
wajib bagi wanita hamil itu adalah mengqadha puasanya saja, baik tidak
berpuasanya itu karena khawatir pada dirinya atau khawatir kepada anaknya
atau khawatir kepada keduanya, dan wanita itu dikategorikan sebagai orang
yang sakit.
Bolehkah Wanita Hamil Tidak Berpuasa
Apakah ada rukhsah bagi wanita hamil
di bulan Ramadhan untuk tidak berpuasa, jika rukhsah itu ada baginya,
apakah itu berlaku pada bulan-bulan tertentu saja di masa hamil yang
umumnya sembilan bulan itu, ataukah keringanan itu hanya berlaku pada masa
hamil. Jika rukhsah itu ada baginya, apakah wajib qadha baginya ataukah
boleh memberi makan orang miskin dan berapakah ukuran memberi makan itu ?
Kemudian, karena kita tinggal di daerah yang panas, apakah puasa itu dapat
berpengaruh terhadap wanita hamil .?
Bagaimana Hukumnya Wanita Hamil Dan
Menyusui Jika Tidak Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Wanita menyusui dan wanita hamil ini
bisa disamakan atau diartikan sebagai orang sakit, akan tetapi jika udzur
kedua wanita itu karena ada rasa khawatir terhadap bayi atau janin yang
dalam perut maka di samping mengqadha puasa, kedua wanita itu diharuskan
memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya berupa makanan pokok,
bisa berupa gandum, beras, korma atau lainnya. Sebagian ulama lainnya
berpendapat : Tidak ada kewajiban bagi kedua wanita itu kecuali mengqadha
puasa, karena tentang memberi makan orang miskin. tidak ada dalilnya dalam
Al-Kitab maupun As-Sunnah, ini adalah madzhab Abu Hanifah dan merupakan
pendapat yang kuat.
Mendapat Kesucian Dari Nifas,
Kemudian Berpuasa, Setelah Itu Darah Datang Lagi, Apakah Berpuasa ?
Jika seorang wanita mendapat
kesuciannya dari nifas sebelum empat puluh hari lalu ia puasa beberapa
hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum empat puluh hari, maka
puasanya itu sah dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada
hari-hari ketika darah itu keluar lagi, karena darah itu dianggap darah
nifas hingga ia suci atau hingga sempurna empat puluh hari. Dan jika telah
mencapai empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu
masih tetap keluar, karena empat puluh hari adalah akhir masa nifas menurut
pendapat yang paling benar diantara dua pendapat ulama, dan setelah itu
hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti
mengalir darinya.
Mendapatkan Kesucian Dari Haid Atau
Nifas Sebelum Fajar Dan Mandi Setelah Fajar, Apakah Puasanya Sah
Ya, sah puasa wanita itu yang
mendapat kesucian dari haidh sebelum fajar dan belum mandi kecuali setelah
terbitnya fajar, begitu pula wanita yang mendapat kesuciannya dari nifas,
karena pada saat itu ia telah termasuk pada golongan orang yang wajib
puasa, dan dia sama halnya dengan orang yang junub di waktu fajar, orang
yang junub di waktu fajar puasanya sah berdasarkan firman Allah. "Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar"
Tidak Berpuasa Selama Masa Haid, Ia
Memberi Makan, Apakah Wajib Qadha Puasa Baginya
Yang wajib dilakukan oleh ibu Anda
adalah mengqadha hari-hari puasa yang telah ia tinggalkan dengan tidak
berpuasa di bulan Ramadhan selama masa haidh, sekalipun itu terjadi
berulang-ulang selama beberapa kali bulan Ramadhan. Hendaklah ia menghitung
hari-hari tersebut dan mengqadha puasa sejumlah hari-hari itu, bersamaan
dengan mengqadha puasa itu ia diwajibkan memberi makan seorang miskin
setiap hari selama hari-hari puasa yang diqadha, sebesar satu setengah sha'
setiap harinya sebagai kafarat (penebus) penundaan qadha puasa dari waktu
yang seharusnya.
Jika Mendapatkan Kesucian Setelah
Shubuh, Apakah Harus Tetap Berpuasa
Tidak wajib baginya berpuasa pada
hari itu, karena pada permulaan hari itu ia dalam keadaan haid yang
menjadikan bukan termasuk golongan orang-orang yang wajib berpuasa,
sehingga dengan demikian (bila ia berpuasa maka) puasanya itu tidak sah,
jika puasanya itu tidak sah maka tidak ada faedah baginya melakukan puasa
pada hari itu, juga dikarenakan pada hari ini ia diperintahkan untuk tidak
berpuasa pada permulaan hari itu, bahkan haram baginya berpuasa pada hari
itu.
Perempuan Berumur Tiga Puluh Tahun,
Tetapi Menderita Penyakit Syaraf Dan Tidak Berpuasa
Saya mempunyai anak perempuan yang
berumur tiga puluh tahun dan telah mempunyai beberapa orang anak, sejak
empat belas tahun lalu ia mengalami gangguan pada otaknya. Dulu penyakit
ini dialaminya sebentar, kemudian berhenti, dan kali ini penyakit itu telah
menjangkitinya lagi sehingga ia berperilaku yang tidak biasanya, dengan
demikian ia tidak bisa melakukan shalat dan wudhu dengan baik. Ketika datang
bulan Ramadhan yang penuh berkah ia melaksanakan puasa selama satu hari
saja, itupun tidak dilakukan dengan baik, sedangkan hari-hari yang
selebihnya, ia tidak berpuasa.
Telah Baligh Pada Umur Dua Belas
Tahun Namun Baru Berpuasa Pada Umur Empat Belas Tahun
Seorang wanita menjadi mukallaf
(terkena beban ketentuan syari'at) dengan beberapa syarat, yaitu : Beragama
Islam, berakal, dan telah baligh. Wanita dianggap baligh jika ia telah
mengalami haidh atau bermimpi hingga mengeluarkan mani, atau telah tumbuh
bulu kasar di sekitar kemaluannya, atau ia telah mencapai umur lima belas
tahun. Jika ketiga syarat itu telah terpenuhi, maka wajib baginya untuk
berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ditinggalkan
selama ia telah dikategorikan terkena beban ketentuan syari'at.
Telah Mengalami Haid Tapi Tidak
Berpuasa Dan Kapan Remaja Putri Diwajibkan Untuk Berpuasa
Selasa, 12 Oktober 2004 19:56:34 WIB
Jika ia mendapatkan haidh pada umur
empat belas tahun dan tidak mengetahui bahwa datangnya haid merupakan tanda
bahwa ia telah baligh, maka tidak ada dosa baginya meninggalkan puasa pada
tahun itu karena tidak mengetahuinya, sebab tidak ada dosa bagi orang yang
tidak mengetahui hukum. Akan tetapi jika ia telah mengetahui bahwa wajib
bagi dirinya untuk berpuasa, maka hendaknya ia bersegera untuk mengqadha
puasa Ramadhan yang dialaminya setelah ia mengalami haidh, karena jika
seorang wanita telah baligh maka wajib baginya untuk berpuasa.
Wanita Haid Dan Puasa
Seorang wanita yang terburu-buru
berpuasa sebelum yakin dirinya telah berhenti haid. Ketika telah yakin tak
berhaid, barulah berniat puasa walau mandi haidnya dilakukan setelah fajar.
Tetapi sebaiknya setelah haid berhenti, hendaklah seorang wanita cepat
mandi untuk segera shalat fajar tepat pada waktunya, sebab wanita haid
wajib segera mandi untuk shalat pada waktunya bahkan ia berhak
mempersingkat mandinya. Juga ia tak dilarang untuk menambah kebersihannya
setelah terbit matahari. Hal seperti ini berlaku pula bagi yang junub, baik
wanita atau laki-laki.
Kelompok-Kelompok Manusia Dalam
Berpuasa : Puasa Bagi Yang Sakit Terus Menerus, Puasa Bagi Anak-Anak
Anak kecil dan belum dewasa tak wajib
berpuasa. Tetapi jika ia mampu dan tak ada masalah bagi kesehatannya, ia
hendaknya disuruh, sebab para shahabat pun telah menyuruh anak-anaknya agar
berpuasa, sampai-sampai ketika ada yang menangis maka diberinya mainan
hingga mereka asyik bermain, kecuali jika membahayakan dirinya. Apabila
kita dilarang Allah agar jangan memberikan harta milik anak yang masih kecil
agar tidak terjadi kerusakan, maka menjaga keselamatan badan tentu lebih
utama. Maka melarang anak kecil berpuasa harus dengan halus tak perlu
kasar.
Kelompok-Kelompok Manusia Dalam
Berpuasa : Puasa Wanita Hamil, Wanita Tua Renta, Puasa Bagi Sopir
Wanita hamil tak luput dari kedua hal
; Wanita yang segar dan kuat berpuasa sehingga tak akan mengganggu dirinya
dan kandungannya. Maka ia wajib berpuasa ; Wanita hamil yang tak sanggup
berpuasa karena kandungannya atau lemah fisiknya. Maka sebaiknya tak berpuasa
apalagi sampai memadaratkan bayinya. Dalam keadaan ini ia dipandang punya
udzur dan wajib qadla jika udzurnya telah hilang, yakni ketika telah
melahirkan dan besuci dari nifas. Namun dalam kenyataan, orang telah
melahirkan mengalami banyak halangan, umpamanya masalah menyusui anaknya
yang membutuhkan makan dan minum secara teratur terutama pada musim panas.
Maka wanita yang menyusui hendaknya tak berpuasa agar mampu memberi ASI
kepada anaknya. Setelah itu ia wajib qadla atas puasanya.
Kelompok-Kelompok Manusia Dalam
Berpuasa : Orang Yang Tidak Niat Mukim Hukumnya Sama Dengan Musafir
Berniat untuk bermukim dalam waktu
dan tujuan tertentu namun tak diketahui pasti kapan mereka akan pulang ke
negerinya, contohnya seperti para pedagang yang datang dan pergi untuk
membeli barang atau para peneliti pemerintahan yang tak diketahui kapan
berakhirnya tujuan mereka hingga kembali ke negerinya masing-masing. Maka
mereka termasuk kelompok musafir, boleh berbuka puasa, qashar shalat dan
menyapu kedua sepatu selama tiga hari walau perjalanan tersebut beberapa
tahun lamannya. Inilah pendapat jumhur ulama bahkan menurut Ibnu Mundhir
termasuk ijma'.
Kelompok-Kelompok Manusia Dalam
Berpuasa : Berbuka Puasa Bagi Musafir,
Perjalanan yang membolehkan buka
puasa dan qashar shalat adalah perjalanan berjarak sekitar 83 setengah Km.
Ada sebagian ulama yang tidak menentukan jaraknya, tetapi terserah kepada
kebiasaan masyarakat. Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qashar
shalat ketika menempuh perjalanan tiga farsakh. Yang jelas perjalanan haram
tak membolehkan qashar shalat atau buka puasa, sebab perjalanan maksiat tak
pantas mendapat keringanan hukum (rukhsah). Tetapi ada pula sebagian ulama
yang tak membedakan antara perjalanan yang dibenarkan dengan yang tidak karena
mereka menganggap dalil yang bersangkutan berlaku umum.
Bimbingan Berhari Raya Iedul Fithri
Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang
kembali dan berulang-ulang. Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu
tempat atau waktu. Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan
kebaikan dengan berbuka, setelah kita berpuasa dan membayar zakat fithri.
Dan dengan disempurnakannya haji, setelah diperintahkan thawaf dan
menyembelih binatang kurban. Karena, biasanya pada waktu-waktu seperti ini
terdapat kesenangan dan kebahagiaan. As Suyuthi rahimahullah berkata,”’Id
merupakan kekhususan umat ini. Keberadaan dua hari ‘Id, merupakan rahmat
dari Allah kepada ummat ini. Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah
mempunyai dua hari raya. Pada masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari
raya tersebut. Beliau bersabda, ’Aku datang dan kalian mempunyai dua hari,
yang kalian bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang
lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri". Pada
hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin
akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun,
apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al
Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.
Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya
Disyariatkan?
Akan tetapi, amal shaleh yang agung
ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan
cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada
waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang
pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka
hari raya Idul Fithri dan Idul Adha. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang
jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua
bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”. Kalau
ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang
sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat
mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam
keterangan diatas ? Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal
tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu,
tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena,
jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka
berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.
Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal
Konon, tradisi halal bi halal
mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang
terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu,
tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan
pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di
balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem
kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa
itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal
bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal
bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk
agama. Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan
penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga
menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia
dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia. Namun dalam
kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena
semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan
keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan
mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan
tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat.
Idul Fithri Dan Halal Bi Halal
Idul Fithri adalah salah satu di
antara dua hari raya besar yang ada dalam Islam. Biasanya dalam Idul
Fithri, di negeri tercinta ini, selalu identik dengan acara halal bihalal.
Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi tradisi itu telah berlangsung sejak
lama. Yang jelas, hari Idul Fithri adalah hari dimana kaum muslimin
merayakan kegembiraannya pasca Ramadhan. Bahkan hari itu kaum muslimin
diperbolehkan bersukaria sebagai ungkapan syukur kepada Allah dengan
melakukan kegaiatan apa saja yang menyenangkan hati sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab
membawakan perkataan Ibu al-A’rabiy : “Hari Raya (‘Id) dinamakan ‘Id,
karena hari itu selalu berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang selalu
baru”. Al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah mengatakan, “Hari raya disebut
dengan sebutan ‘Id, karena di hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki
berbagai macam kebaikan yang samua kebaikan itu kembali kepada para
hamba-Nya. Antara lain : (Kebaikan) berbuka puasa setelah sebelumnya ada
larangan makan, demikian pula zakat fithri. Juga menyempurnakan ibadah haji
(pada Idul Adha) dengan thawaf ziarah, makan daging kurban, dan lain-lain.
Karena kebiasaannya pada hari itu berisi kegembiraan, kesenangan, dan
keriangan.
Orang Yang Berbahagia Di Hari Raya
Hendaknya shalat ied itu dilaksanakan
di lapangan luas, yang dekat perumahan penduduk; sebagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengerjakan shalat tersebut di luar
daerah. Dan tidak ada satu nukilan pun yang menyebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ied di masjid jika tidak
ada udzur (kondisi darurat). Ini merupakan syiar Islam yang paling agung.
Maka, tidak layak bagi seorang Muslim bermalas-malasan untuk mendatanginya
serta mengucilkan diri dari jama‘ah kaum Muslimin. Dan yang ketiga: hari
besar Islam yang Allah Azza wa Jalla syariatkan adalah Iedul Adha. Dan hari
raya ini merupakan yang terbesar dan paling afdhal. Allah Azza wa Jalla
mensyariatkannya setelah menyempurnakan ibadah haji yang merupakan rukun
Islam kelima. Tidak ada dalam Islam hari raya selain ketiga hari raya di
atas. Tidak ada hari raya maulid nabi ulang tahun atau selainnya. Karena
hal itu adalah bid‘ah atau tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan musyrik.
Berapa banyak kaum Muslimin mendapatkan kemenangan yang agung dan mereka
tidak membuat hal yang baru dengan membuat hari raya yang tidak pernah
disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Penyimpangan Seputar Shalat Ied
Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya dan
bertakbir hingga sampai ke lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila
telah selesai, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghentikan takbir.
Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya perbuatan yang dilakukan
oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika berjalan
menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini, hingga
sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir tidak bisa
ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama mereka, serta
malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini. Ironisnya, diantara mereka
ada yang bertugas memberi bimbingan serta mengajarkan kepada manusia.
(Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan mereka terbatas pada transfer
ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk
diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian mereka. Bahkan mereka menganggap
pembahasan serta pemberian peringatan dalam masalah ini, baik dengan
perkataan maupun perbuatan sebagai perbuatan sia-sia, yang tidak pantas
untuk diperhatikan dalam tindakan dan pengajaran. Innalillahi wa inna
ilaihi raji’un. Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan
takbir tidak disyari’atkan secara bersama dengan satu suara, sebagaimana
dilakukan oleh sebagian orang.
Menyatukan Hari Raya
Menggunakan hisab untuk membuat
sebuah hukum dalam syari’at dan meninggalkan ru’yah hilal, ditakutkan
terkena ancaman dari ayat Allah, yaitu orang-orang yang berpecah-belah dan
berselisih setelah datang kebenaran, dan juga jatuh ke dalam takwil
Rasulullah bahwa umat Islam akan mengikuti perjalanan umat terdahulu
(tasyabbuh), baik secara disengaja ataupun tidak. Syaikhul Islam Ibnu
Tamiyah rahimahullah berkata : “Telah sampai kepada saya, bahwa syari’at
sebelum kita juga mengaitkan hukum dengan hilal. Kemudian terjadi perubahan
karena ulah tangan-tangan jahil dari para pengikut syari’at itu sendiri,
sebagaimana telah diperbuat oleh Yahudi dalam bertemunya dua bujur, serta
menjadikan sebagian hari raya mereka dengan menggunakan tahun Masehi,
sesuai dengan kejadian yang dialami Al-Masih. Begitu juga dengan kaum
Shabi’ah, Majusi dan dari kalangan kaum musyrikin lainnya dalam penggunaan
ishtillah (penanggalan).
Pemerintah Dan Penentuan Hari Raya
Lebih tegas lagi Syaikhul Islam
menyebutkan : Jika dikatakan “Bisa saja pemerintah diserahi untuk
menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang
terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa
saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah
dengan mereka. Atau sebab-sebab lain yang tidak disyari’atkan. Atau karena
pemerintah bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat
hilal”. Maka dikatakan (kepada mereka) : Hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah (dengan cara apapun, pen) tidak akan berbeda dengan orang yang
mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal ; baik sebagai mujtahid
yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai. Sebagaimana telah
disebutkan dalam Shahih, bahwa Nabi bersabda tentang para penguasa :
“Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian
dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya
untuk mereka”.
Hukum Takbir Jama'i Di Masjid-Masjid
Sebelum Shalat Ied Dan Hari-Hari Tasyriq
Dan sifat takbir yang masyru, ialah
setiap muslim bertakbir dan mengeraskan suaranya sehingga orang-orang
mendengarkan takbirnya, lalu merekapun mencontohnya dan ia mengingatkan
mereka dengan takbir. Adapun takbir jama’i yang mubtada’ (yang bid’ah),
ialah adanya sekelompok jama’ah –dua orang atau lebih banyak- mengangkat
suara semuanya. Mereka memulai bersama-sama dan berakhir bersama-sama dengan
satu suara serta dengan cara khusus. Amalan ini tidak mempunyai dasar serta
tidak ada dalilnya. Hal seperti itu merupakan bid’ah dalam cara bertakbir.
Allah tidak menurunkan dalil keterangan untuknya. Maka, barangsiapa yang
mengingkari cara takbir yang seperti ini, berarti dia berpihak kepada yang
haq, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa yang
mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu
ditolak”.
Hukum Takbir Bersama-Sama Dengan Satu
Suara
Takbir di syariatkan pada malam Iedul
fithri dan Iedul adha dan setiap sepuluh Dzulhijjah secara mutlaq (umum).
Juga setelah setiap shalat dari fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari
tasyriq. Dan telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia ditanya : “Hadits apa
yang anda pegangi sehingga beranggapan, bahwa takbir dimulai dari shalat
fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq?” Dia menjawab, “Dengan
landasan ijma (kesepakatan ulama)”. Tapi takbir bersama dengan satu suara
tidak disyariatkan. Bahkan cara itu merupakan bid’ah. Amalan itu tidak
pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari kalangan
sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu sebagai
teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida
(mengada-ada) terhadap agama ini.
Takbir Pada Idul Fithri Dan Idul Adha
Allah Ta'ala berfirman : "Dan
hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian
mau bersyukur". Telah pasti riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam : "Beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir
hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat.
Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir".
Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani : "Dalam hadits ini ada dalil
disyari'atkannya melakukan takbir secara jahr (keras/bersuara) di jalanan
menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun
banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir
sunnah ini sekedar menjadi berita ...
Bagaimana Pendapat Islam Tentang
Perselisihan Hari Raya Kaum Muslimin, Idul Fithri Dan Idul Adh-ha?
Sebagai dasar dalam masalah ini,
adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Berpuasalah
tatkala kalian melihatnya (hilal) dan berbukalah tatkala kalian
melihatnya”. Perintah dalam hadits ini adalah untuk umat (Islam) secara
keseluruhan, baik yang ada di timur ataupun di barat. Akan tetapi penerapan
masalah ini kala itu tidaklah semudah hari ini. Adapun hari ini, sangat
dimungkinkan untuk menetapkan penglihatan hilal di seluruh dunia hanya
dalam waktu satu jam. Ketika telah terlihat maka wajib bagi seluruh kaum
muslimin yang mendengar berita ini untuk berpuasa. Ini lebih baik bagi
mereka daripada mereka berpecah belah dan terjadi banyak kekecauan di
berbagai negeri disebabkan karena ada yang berpuasa lebih dahulu dan ada
yang belakangan dan hal ini tidak mungkin lepas dari urusan pemerintah
Islam. Maka pemerintahlah yang wajib menyeragamkan awal puasa, sehingga
selamatlah kaum muslimin dari kekacauan ini.
Tidak Ada Shalat 'Ied Di Perjalanan
Tidak disyariatkan shalat 'Ied di
tengah perjalanan. Sebab, tidak pernah ada riwayat yang dinukil menyebutkan
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan banyaknya perjalanan dan
ekspedisi yang beliau lakukan, mengerjakan atau menyuruh mengerjakan shalat
'Ied di perjalanan. Dan inilah yang menjadi pendapat Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad di dalam dua riwayat yang paling jelas. Dapat saya katakan :
"Jika seorang musafir berada di luar negerinya, maka dia harus
mengerjakan shalat 'Ied bersama penduduk negeri tersebut, karena seluruh
kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan, mereka ikut menyaksikan shalat
'Ied bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa adanya
perbedaan sama sekali.
Jika Tertinggal Mengerjakan Shalat
'Ied
Penyebutan beliau pada hari-hari
tersebut sebagai hari raya menunjukkan bahwa hari-hari tersebut sebagai
waktu pelaksanaan shalat ini, karena shalat tersebut memang disyri'atkan
untuk dikerjakan pada hari itu. Sehinga dapat diambil kesimpulan bahwa pada
hari-hari tersebut berlangsung pelaksanaan, dan waktu pelaksanaan itu
berlangsung di akhir, yaitu akhir hari-hari Mina untuk hari raya 'Idul Adha.
Dari Ubaidillah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik, pembantu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia bercerita : "Jika Anas tertinggal
mengerjakan shalat 'Ied bersama imam, maka dia akan mengumpulkan
keluarganya dan shalat bersama mereka seperti shalatnya imam pada shalat
'Ied. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi.
Shalat 'Ied Di Tanah Lapang Adalah
Sunnat
Disunnahkan bagi imam atau wakilnya
untuk berangkat menunaikan shalat 'Ied di tanah lapang dan tidak ke masjid,
kecuali karena alasan tertentu. Dan dikecualikan dari demikian yaitu yang
berdiam di Makkah yang semoga Allah tambahkan padanya kemuliaan. Oleh
karena itu tidak pernah sampai kepada kita satu (riwayat) pun dari
pendahulu mereka, bahwa mereka shalat kecuali di masjid mereka (Masjidil
Haram). Dan dalil shalat dua hari raya di lapangan diantaranya : Riwayat
yang telah lewat pada hadits Ummu 'Athiyyah mengenai perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar (shalat) ke lapangan.
Bagaimana Tata Cara Shalat 'Ied ? Apa
Hukum Banyaknya Tempat Shalat 'Ied Di Suatu Daerah ?
Cara shalat 'Ied yaitu imam berdiri
mengimami manusia melakukan shalat dua rakaat. Dimulai dengan takbiratul
ihram, setelah itu bertakbir 6 kali, lalu membaca Al-Fatihah dilanjutkan
dengan membaca surat Al-Qaf. Pada rakaat ke dua setelah bangkit dari sujud
dengan mngucap takbir lalu dilanjutkan dengan bertakbir 5 kali. Kemudian
membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Qamar. Itulah dua surat yang dibaca
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat hari raya. Ia juga bisa
membaca surat Al-A'la dan Al-Ghasiyah pada rakaat berikutnya. Ketahuilah
bahwa ada persamaan dan perbedaan tentang surat yang dibaca pada shalat
Jum'at dan shalat hari raya. Persamaannya yaitu jika membaca surat Al-A'la
dan Al-Ghasiyah, sedang perbedaannya jika membaca surat Qaf dan surat
Al-Qamar pada hari raya,
Apa Hukum Keluarnya Wanita Untuk
Shalat Ied ? Bolehkah Kita Melarang Wanita Mengerjakan Shalat Ied?
Sebagian ahlul ilmi yang lain
berpendapat, bahwa shalat Ied hukumnya fardhu 'ain seperti halnya shalat
Jum'at, maka tidak ada satupun laki-laki mukallaf yang merdeka dan muqim,
yang boleh meninggalkannya. Pendapat ini lebih selaras dengan dalil-dalil
dan lebih mendekati kebenaran. Dan disunnahkan bagi para wanita untuk
menghadirinya dan menyaksikannya dengan tetap berhijab dan tidak mengenakan
wewangian. Hal ini berdasarkan riwayat dalam Ash-Shahihaian dari Ummu
Athiyyah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata : "Kami diperintahkan
untuk menyuruh keluar (menuju tempat pelaksanaan) shalat Ied, wanita-wanita
pingitan yang merdeka dan juga yang sedang haidh, agar mereka (para wanita)
menyaksikan kebaikan dan sebagai dakwahnya kaum muslimin".
Apa Hukum Shalat 'Ied ?
Yang saya pahami bahwa shalat ied
adalah fardhu ain, sehingga tidak boleh bagi kaum laki-laki untuk
meninggalkannya. Mereka harus menghadirinya, karena Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam memerintahkannya, bahkan beliau juga memerintahkan para gadis
pingitan untuk ikut keluar menuju shalat ied. Bahkan beliau juga
memerintahkan orang yang haidh untuk datang juga meskipun mereka harus
menjauh dari tempat shalat. Hal ini menunjukkan pentingnya perkara
tersebut. Pendapat yang saya sebutkan inilah yang rajih dan diambil oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Tetapi sebagaimana shalat Jum'at
jika tidak mengerjakannya, seseorang tidak perlu mengqadhanya, sebab tidak
ada dalil yang menunjukkan kewajibannya.
Kemungkaran-Kemungkaran Yang Bisa
Terjadi Pada Hari Raya
Ketahuilah wahai saudaraku muslim
-semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya
kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa
atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang
ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan
dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka
telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk
menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi
peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan
mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya.
Ucapan Selamat Pada Hari Ied
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya
tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab : "Ucapan
pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika
bertemu setelah shalat Ied : "Taqabbalallahu minnaa wa minkum "
[Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian]. Dan para imam memberi
rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi
Imam Ahmad berkata : Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada
seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku
menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah
sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa
mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya
baginya juga ada contoh, wallahu a'lam.
Bertepatannya Hari Raya Ied Dengan
Hari Jum'at
Telah meriwayatkan Abu Daud (1070),
An-Nasa'i (3/194), Ibnu Majah (1310), Ibnu Khuzaimah (1461), Ad-Darimi
(1620) da Ahmad (4/372) dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami ia berkata.
"Aku menyaksikan Mua'wiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin
Arqam, ia berkata : "Apakah engkau pernah menyaksikan bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertemunya dua hari raya pada satu
hari ?" Zaid berkata : "Ya". Mu'awiyah berkata : "Lalu
apa yang beliau lakukan ?". Zaid menjawab : "beliau shalat Id
kemudian memberi keringanan (rukhshah) untuk shalat Jum'at, beliau bersabda
: "Siapa yang ingin shalat maka shalatlah"
Khutbah Setelah Shalat Ied
Termasuk sunnah dalam khutbah Ied
adalah dilakukan setelah shalat. Dalam permasalahan ini Bukhari membuat bab
dalam kitab 'Shahih'nya : "Bab. Khutbah Setelah Shalat Ied". Ibnu
Abbas berkata : "Aku menghadiri shalat Ied bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu
'anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah". Ibnu Umar
berkata : "Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar
dan Umar menunaikan shalat Idul Fithri dan Idul Adha sebelum khutbah"
.Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan ketika mengomentari bab yang dibuat
Bukhari di atas "Yakni : Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
yang diamalkan Al-Khulafaur Rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun
perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari
shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum'at- merupakan perbuatan
bid'ah"
Tata Cara Shalat Ied
Jumlah raka'at shalat Ied ada dua
berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu. "Shalat safar itu ada dua
raka'at, shalat Idul Adha dua raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at.
dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam" . Rakaat pertama, seperti halnya semua
shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak
tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak
termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan
lain,-pent). Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata :
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam
shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali
dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku"
Shalat Ied Tanpa Azan Dan Iqomah
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu
'anhu ia berkata : " Aku pernah shalat dua hari raya bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa
dikumandangkan azan dan tanpa iqamah". Ibnu Abbas dan Jabir
Radhiyallahu 'anhum berkata : " Tidak pernah dikumandangkan azan
(untuk shalat Id -pent) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha" . Berkata
Ibnul Qayyim : "Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila tiba di
mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah,
dan tidak pula ucapan "Ash-Shalatu Jami'ah". Yang sunnah semua
itu tidak dilakukan.
Keluar Menuju Mushala [Tanah Lapang
Yang Digunakan Untuk Shalat Ied]
Dari Abu Said Al Khudri Radliallahu
'anhu, ia berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa
keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha,
maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat ...". Berkata
Al-Alamah Ibnul Hajj Al Maliki : "Sunnah yang telah berlangsung dalam
pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah
lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Shalat
di masjidku ini (masjid Nabawi -pen) lebih utama dari seribu shalat yang
dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Harram". Kemudian,
walaupun ada keutamaan yang besar seperti ini, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam tetap keluar ke mushalla (tanah lapang) dan meninggalkan
masjidnya.
Berpenampilan Indah Pada Hari Raya
Berkata Ibnul Qayyim dalam
"Zadul Ma'ad". "Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus
untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha.
Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan
pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris
yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan
burdah berwarna merah, namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka
sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang
beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris
dari Yaman".
Rahmat Allah Bagi Umat Muhammad
Dengan Dua Hari Raya [Idul Fithri Dan Idul Adha]
Idul Fihtri dan hari raya Kurban
ditetapkan oleh Allah Ta'ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan
karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu haji
dan puasa. Pada dua hari tersebut, Allah mengampuni orang-orang yang
melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan
rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan
Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu yang tentunya
disesuaikan dengan zaman, selera dan semisalnya dari keistimewaan yang akan
pudar. Maka perbedaan keistimewaan dari Idul Fithri dan Idul Adha dengan
hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya.
Makna Id [Hari Raya]
Ketahuilah wahai saudaraku muslim
semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk taat kepadaNya,
hari-hari raya yang Allah tetapkan untuk hamba-hambaNya telah jelas dan
diketahui, yang menjadi topik bahasan dari kitab yang ada dihadapanmu ini.
Adapun pada masa sekarang, perayaan hari raya itu sangat banyak hingga
tidak bisa dihitung di setiap tempat negeri Islam lebih-lebih di luar
negeri Islam. Engkau bisa melihat adanya perayaan hari raya untuk pendirian
bangunan, untuk kuburan tertentu, individu-individu, perayaan untuk negara
dan lain-lain dari hari raya yang sama sekali tidak Allah perkenankan.
Sampai-sampai didapatkan pada sebagian data statistic bahwa kaum muslimin
di India memiliki 144 hari raya dalam setiap tahun.
Makna Idul Fihtri/Adlha
Pada setiap kali menjelang Idul
Fithri seperti sekarang ini (Ramadhan 1412H) atau tepat pada hari rayanya,
seringkali kita mendengar dari para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar
menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka-
ialah "Kembali kepada Fitrah", Yakni : Kita kembali kepada fitrah
kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita. Penjelasan
mereka di atas, adalah batil baik ditinjau dari jurusan lughoh/bahasa
ataupun Syara'/Agama. Kesalahan mana dapat kami maklumi -meskipun umat
tertipu- karena memang para khatib tersebut (tidak semuanya) tidak punya
bagian sama sekali dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah
bagi kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib
dituruti Insya Allahu Ta'ala.
Hukum Shalat 'Ied Wajib Atau Sunnah
Ada tiga pendapat yang masyhur di
kalangan Ulama mengenai Shalat 'Ied : Shalat 'Ied hukumnya sunnah. Ini
adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama. Fardhu Kifayah, artinya (yang
penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari
segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi
adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok
orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat 'Ied itu
telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di
kalangan madzhab Hambali. Fardhu 'Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala),
artinya ; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat
madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Kapan Disunnahkan Makan Pada Hari
Idul Fithri Dan Idul Adha ?
Dari Anas Radliallahu anhu, ia
berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pergi (ke
tanah lapang) pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir
kurma". Berkata Imam Al Muhallab : "Hikmah makan sebelum shalat
(Idul Fithri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa
hingga dilaksankan shalat Ied, seolah-olah beliau ingin menutup jalan
menuju ke sana" Dari Buraidah Radliallahu anhu ia berkata : "Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga
beliau makan, sedangkan pada hari Raya Kurban beliau tidak makan hingga
kembali (dari mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya".
Al-Allamah Ibnul Qoyyim berkata : "Adapun dalam Idul Adha, beliau
tidak makan hingga kembali dari Mushalla, lalu beliau makan dari hewan
kurbannya"
Tentang Keutamaan Beribadah Pada
Malam Hari Raya
Dari ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu
anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
yang melaksanakan shalat (pada) malam (hari raya) ‘Idul Fitri dan ‘Idhul
Adhâ, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati (manusia)”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabarâni rahimahullah melalui
sanadnya dari Sahabat ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini adalah hadits yang sangat lemah
atau bahkan palsu, dalam sanadnya terdapat perawi bernama ‘Umar bin Hârun
al-Balkhi. Imam Yahya bin Ma’în rahimahullah berkata tentang perawi ini :
“Dia adalah pendusta yang buruk, hadits (yang diriwayatkan)nya tidak ada
nilainya”. Imam ‘Ali bin al-Madîni rahimahullah berkata: “Dia sangat lemah
(riwayat haditsnya)”. Imam an-Nasâ’i rahimahullah, Shâlih bin Muhammad
rahimahullah dan Abu ‘Ali al-Hâfizh rahimahullah berkata: “Dia ditinggalkan
(riwayat) haditsnya”. Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang lemah oleh
Imam al-‘Irâqi rahimahullah dan al-Haitsami rahimahullah, serta dihukumi
sebagai hadits palsu oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah.
Mandi Sebelum Shalat Ied
Dari Nafi' ia berkata :
"Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke
mushallah". Imam Said Ibnul Musayyib berkata : "Sunnah Idul
Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum
keluar ke mushalla dan mandi". Aku katakan : Mungkin yang beliau
maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk
mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hal demikian. Berkata Imam Ibnu Qudamah :
"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar
biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali
Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha',
An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul
Mundzir"
Waktu Pelaksanaan Shalat Ied
Abdullah bin Busr sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul
Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata :
"Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian
itu tatkala tasbih". Berkata Ibnul Qayyim : "Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat
Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti
sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit". Shiddiq Hasan Khan
menyatakan : "Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah
tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi
ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits,
sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya
adalah saat tergelincir matahari".
Hukum Sholat Ied
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
: "Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Ied hukumnya wajib bagi
setiap individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan
selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i
dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Adapun pendapat
orang yang menyatakan bahwa shalat Ied tidak wajib, ini sangat jauh dari
kebenaran. Karena shalat Ied termasuk syi'ar Islam yang sangat agung.
Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada berkumpulnya mereka
untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan pula takbir di dalamnya. Sedangkan
pendapat yang menyatakan bahwa shalat Ied hukumnya fardhu kifayah adalah
pendapat yang tidak jelas.
Pengertian
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar
dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa
Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka
memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak
sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri
dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan
memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”.
Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di
dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita
memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir
(belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di
dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan
melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran
Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya
bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah
(sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya
(setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran
Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta
ke-zuhudan Budha....”
Definisi
Salaf , Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah
al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang
masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan
tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini
diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah
Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin
Sinan dan yang lainnya. Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah
berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat
seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan
Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga
pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha
mereka.” Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah
menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu
adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena
sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan
setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih.
Kaidah
Dan Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Dalam Mengambil Dan Menggunakan Dalil
Yang menjadi rujukan dalam memahami
Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah nash-nash (teks Al-Qur-an maupun hadits)
yang menjelaskannya, pemahaman Salafush Shalih dan para Imam yang mengikuti
jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Jika hal
tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang
berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa. Prinsip-prinsip utama dalam
agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Siapa pun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang
tidak ada contoh se-belumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian
dari agama. Allah telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah terputus dan
kenabian telah ditutup, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian
darinya, maka amalannya tertolak.
Setiap
Sunnah Yang Shahih Yang Berasal Dari Rasulullah Wajib Diterima, Walaupun
Sifatnya Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari
syarat-syarat mutawatir. Para ulama ummat ini pada setiap generasi, baik
yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang
berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan zhann, mereka berijma’ (sepakat)
atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih di antara
mereka melainkan kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti
Mu’tazilah dan Rafidhah. Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi
rahimahullah (wafat th. 1393 H) mengatakan: “Ketahuilah, bahwa penelitian
yang kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya bahwa hadits ahad yang
shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia
diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang
datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang
shahih mengenai Sifat-Sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan
keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Mahasempurnaan dan ke-Maha-agungan-Nya
sebagaimana firman-Nya: “...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Mahamelihat.”
Dalil
‘Aqli (Akal) Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli/Nash Yang Shahih
Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa
mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i
yang tertuang dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan
akal menurut Mu’tazilah adalah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para
ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan
(mengalahkan) dalil-dalil syar’i. Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal
bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah
dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh
para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-masalah
yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli
(dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka. Imam
Abul Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah (wafat th. 489 H) berkata:
“Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengata-kan bahwa akal tidak
mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta
tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana
juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk.
Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang
suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”
Setiap
Perkara Baru Yang Tidak Ada Sebelumnya Di Dalam Agama Adalah Bid'ah
Imam asy-Syathibi rahimahullah (wafat
tahun 790 H): Beliau menyatakan: “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang
dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Ungkapan: “Cara baru dalam
agama,” maksudnya bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya
kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar
pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di
antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman dalam syari’at, tetapi juga ada
cara yang tidak mempunyai pedoman dalam syari’at. Maka, cara dalam agama
yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak
ada dasar-nya dalam syari’at. Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat
tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar
dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at. Ungkapan “menyerupai
syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu
pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan
syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu
yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu
yang tidak ada ketentuannya dalam syari’at.
Beberapa
Karakteristik Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Tidak ada kerancuan pada ‘aqidah
Islamiyyah yang murni ini, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu
karena ‘aqidah tersebut bersumber dari wahyu, kekuatan hubungan para
penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyyah (penghambaan) hanya
kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan
mereka terhadap al-haqq (kebenaran) yang mereka miliki. Orang yang meyakini
‘aqidah Salaf tidak akan ada kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat
di dalam beragama. Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan
sasaran mereka tidak pernah lepas dari penyakit bingung, cemas, ragu, rancu
dan mengikuti kesamaran. Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah
keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka
mutakallimin (ahli kalam), tokoh filosof dan para tokoh Shufi sebagai
akibat dari sikap mereka menjauhi ‘aqidah Salaf. Dan sebagian mereka
kembali kepada taslim dan pengakuan terhadap ‘aqidah Salaf, terutama ketika
usia mereka sudah lanjut atau mereka menghadapi kematian, sebagaimana yang
terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H) rahimahullah.
Beliau telah merujuk kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
(‘aqidah Salaf) sebagaimana yang dinyatakan di dalam kitabnya, al-Ibaanah
‘an Ushuuliddiyaanah.
Kewajiban
Ittiba' (Mengikuti Jejak) Salafush Shalih Dan Menetapkan Manhajnya
Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah
Radhiyallahu anhu : “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan
memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang menjadikan air mata
berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai
Rasulullah nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah,
maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah,
tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang
budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian
setelahku akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian
berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat
petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan
jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena
sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah
itu adalah sesat.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan
terjadinya perpecahan dan perselisihan pada ummatnya, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar untuk selamat dunia
dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum
Agama
Islam Adalah Agama Yang Haq Yang Dibawa Oleh Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi wa Sallam
Islam secara bahasa (etimologi)
adalah berserah diri, tunduk, atau patuh. Adapun menurut syari’at
(terminologi), definisi Islam berada pada dua keadaan: Pertama: Apabila Islam
disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam
mencakup keseluruhan agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang),
seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi
pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah pengakuan dengan lisan,
meyakininya dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas
semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan. Kedua: Apabila Islam
disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud dengan Islam
adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang diri dan hartanya terjaga
dengan perkataan dan amal-amal tersebut, baik dia meyakini Islam ataupun
tidak. Sedangkan kalimat iman berkaitan dengan amalan hati. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami
telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah: ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum ma-suk ke dalam
hatimu...” Dengan Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri serta
menyempurna-kan agama-Nya yang dianut ummat sebelumnya untuk para
hamba-Nya. Dengan Islam pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan
kenikmatan-Nya dan meridhai Islam sebagai agama. Agama Islam adalah agama
yang benar dan satu-satunya agama yang diterima Allah, agama (kepercayaan)
selain Islam tidak akan diterima Allah.
Makna
Dua Kalimat Syahadah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini
bahwa dua kalimat syahadah merupakan dasar sah dan diterimanya semua amal.
Kedua kalimat ini memiliki makna, syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus
diketahui, diyakini, diimani dan diamalkan oleh seluruh kaum Muslimin.
Makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa
ilaaha illallaah) adalah:“Tidak ada sesembahan yang berhak di ibadahi
dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Ada beberapa penafsiran
yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa
ilaaha illallaah), dan kesalahan tersebut telah menyebar luas. Di antara
kesalahan tersebut adalah: Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada yang diibadahi kecuali
Allah), padahal makna tersebut rancu karena jika demikian, maka setiap yang
diibadahi, baik benar maupun salah, berarti Allah. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah),
padahal makna tersebut merupakan sebagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dan ini masih berupa Tauhid
Rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Inilah yang diyakini juga oleh
orang-orang musyrik. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ اللهُ
(tidak ada hakim (penguasa) kecuali Allah), pengertian ini pun tidak
mencukupi karena apabila mengesakan Allah hanya dengan pengakuan atas sifat
Allah Yang Maha Penguasa saja namun masih berdo’a kepada selain-Nya atau
menyelewengkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum
termasuk definisi yang benar.
Tauhid
Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah berarti
mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik
mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta bahwasanya Dia
adalah Raja, Penguasa, dan Yang mengatur segala sesuatu. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak
Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” Dan Allah Azza wa Jalla
berfirman : “...Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah Rabb-mu, milik-
Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah,
tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” Tauhid Rububiyyah ini
tidak bermanfaat bagi seseorang yang mengimaninya, kecuali dia diberi
petunjuk untuk beriman kepada dua macam tauhid lainnya, yaitu tauhid Uluhiyyah
dan tauhid al-Asma’ wash Shifat. Karena Allah telah memberitakan kepada
kita bahwa orang-orang musyrikin telah mengenal tauhid Rububiyyah yang
dimiliki Allah, namun demikian tidak memberikan manfaat kepada mereka,
sebab mereka tidak mengesakan-Nya dalam beribadah. Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata: “Seandainya keimanan kepada tauhid Rububiyyah ini
saja dapat menyelamatkan, tentunya orang-orang musyrik telah diselamatkan.
Akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi penentu adalah keimanan kepada
tauhid Uluhiyyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musyrikin dan
orang-orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala.”
Tauhid
Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah dikatakan juga
Tauhiidul ‘Ibaadah yang berarti mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka dapat
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apabila hal itu
disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap),
mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (meminta
pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah
(meminta perlindungan), dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan
Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan
ikhlas karena-Nya, dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada
selain Allah. Sungguh, Allah tidak akan ridha jika dipersekutukan dengan
sesuatu apapun. Apabila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah,
maka pelakunya jatuh kepada syirkun akbar (syirik yang besar) dan tidak
diampuni dosanya. Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata: “Bahwasanya Allah itu tunggal
Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu
bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, maupun Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada
yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara, dan
tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta
ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya
yang berhak untuk diibadahi.
Tauhid
Al-Asma’ Wash Shifat. Kaidah Tentang Sifat-Sifat Allah Jalla Jalaluhu
Menurut Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
tetapkan atas Diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan,
sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Nama dan
Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah, dan
tidak boleh ditakwil. Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik
bin Anas, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan ats-Tsauri tentang
berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab :
“Perlakukanlah Sifat-Sifat Allah secara apa adanya dan janganlah engkau
persoalkan (jangan engkau tanyakan tentang bagaimana sifat itu).” Imam
asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku beriman kepada Allah dan kepada
apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya dan
aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau,
sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah”. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah
mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang telah
Allah tetapkan atas Diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam bagi-Nya, tanpa tahrif dan ta’thil serta tanpa takyif dan
tamtsil.
Syirik
Dan Macam-Macamnya
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat
bahwa syirik merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar kepada Allah
Azza wa Jalla, syirik merupakan sebesar-besar kezhaliman, sebesar-besar
dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Syirik adalah
menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Rububiyyah dan
Uluhiyyah serta Asma dan Sifat-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Syirik ada dua macam; pertama syirik dalam Rububiyyah, yaitu menjadikan
sekutu selain Allah yang mengatur alam semesta, sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah,
mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di
bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit
dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu
bagi-Nya.’” Kedua, syirik dalam Uluhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada
selain Allah, baik dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah.” Umumnya
yang dilakukan manusia adalah menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah adalah
dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo’a kepada
selain Allah di samping berdo’a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk
ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a, dan sebagainya
kepada selain-Nya. Karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada
selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan
memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang
paling besar.
Pilar-Pilar
Ibadah Dalam Islam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat
bahwa manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk beribadah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya serta meneladani Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, setiap Muslim dan Muslimah harus
mengetahui hakikat ibadah yang sebenarnya agar amalan yang dikerjakannya
diberikan ganjaran kebaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah secara
bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sendangkan
menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi
makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah: Ibadah adalah
taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para
Rasul-Nya. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu
tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan)
yang paling tinggi. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang
di-cintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau
perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Inilah definisi yang paling
lengkap. Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa
khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyyah qalbiyyah
(lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah
badaniyyah qalbiyyah (fisik dan hati).
Mengambil
Lahiriyah Al-Qur'an Dan As-Sunnah Merupakan Prinsip Dasar Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan
Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dasar pertama bagi mereka, karena Al-Qur-an
dan As-Sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil atau mempelajari
‘aqidah Islam. Seorang Muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang
lain. Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur-an dan
As-Sunnah wajib diterima dan ditetapkan oleh seorang Muslim, dan apa yang
dinafikan (ditolak) oleh keduanya, maka wajib bagi seorang Muslim untuk
menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan melainkan dengan
cara berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah. Allah Azza wa Jalla
berfirman:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia
telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” Sikap orang yang beriman kepada
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus
mendengar dan taat, serta tidak boleh menolak apa yang datang dari Allah
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa
Jalla menyatakan bahwasanya orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dikatakan beriman
Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah Menetapkan Sifat Al-‘Uluw (Ketinggian) Bagi Allah Azza
Wa Jalla
Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu
dari Sifat-Sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dari-Nya.
Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini -sebagaimana sifat Allah lainnya-
diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur-an dan As-Sunnah),
akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur-an
dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di
atas seluruh makhluk-Nya. Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Ketinggian
Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur-an dan As-Sunnah ditetapkan pula
melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah mealui akal dapat
ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian
Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada
Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya
menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi.
Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang
yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun
seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun
dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke
arah kiri dan kanan atau ke bawah.”
Ahlus Sunnah Menetapkan Istiwa'
(Bersemayam). Ahlus Sunnah
Menetapkan
Ma‘iyyah (Kebersamaan Allah)
Termasuk iman kepada Allah adalah
iman kepada apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an yang
telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam serta yang telah disepakati oleh generasi pertama dari ummat ini
(para Sahabat Radhiyallahu anhum) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di
atas semua langit, bersemayam di atas ‘Arsy, Mahatinggi di atas segala
makhluk-Nya, Allah tetap bersama mereka dimana saja mereka berada, yaitu
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya:“Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah berkata: “...Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan
masalah ini adalah pandangan Salafush Shalih seperti Imam Malik, al-Auza’i,
ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq bin
Rahawaih dan Imam-Imam lainnya sejak dahulu hingga sekarang, yaitu
mem-biarkannya seperti apa adanya, tanpa takyif (mempersoalkan
kaifiyahnya/hakikatnya), tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa ta’thil (penolakan).
Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut faham
musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut sangat
jauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang
menyerupai-Nya. Seperti yang difirmankan-Nya:‘Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan-Nya. Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’
Ahlus
Sunnah Mengimani Tentang an-Nuzul (Turunnya Allah ke Langit Dunia)
Ibnu Khuzaimah rahimahullah (wafat
th. 311 H) berkata: “Pembahasan tentang kabar-kabar yang benar sanadnya dan
shahih penopangnya telah diriwayatkan oleh ulama Hijaz dan Irak, dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam tentang turunnya Allah Azza wa Jalla ke langit
dunia (langit terendah) pada setiap malam, yang kami akui dengan pengakuan
seorang yang mengaku dengan lidahnya, membenarkan dengan hatinya serta
meyakini keterangan yang tercantum di dalam kabar-kabar tentang turunnya
Allah Azza wa Jalla tanpa menggambarkan kaifiyahnya (bagaimananya), karena
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memang tidak menggambarkan kepada kita
tentang kaifiyah (cara) turunnya Khaliq kita ke langit dunia dan beliau
Shallallahu alaihi wa sallam hanya memberitahukan kepada kita bahwa Rabb
kita turun. Sementara itu, Allah Azza wa Jalla dan Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam tidak menjelaskan bagaimana Allah turun ke langit dunia. Oleh
karena itu, kita mengatakan dan membenarkan apa-apa yang terdapat di dalam
kabar-kabar ini perihal turunnya Rabb, tanpa memaksakan diri membicarakan
sifat dan kaifiyatnya, sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memang
tidak mensifatkan kepada kita tentang kaifiyah turun-Nya. Lalu setelah itu
Ibnu Khuzaimah pun menyebutkan sejumlah hadits yang berisi keterangan
tentang hal itu, yaitu hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di atas.
Ru'-yatullaah
(Melihat Allah Pada Hari Kiamat). Iman kepada Malaikat
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani
bahwasanya kaum Muslimin akan melihat AllahSubhanahu wa Ta’ala pada hari
Kiamat secara jelas dengan mata kepala mereka sebagaimana melihat matahari
dengan terang, tidak terhalang oleh awan sebagaimana mereka melihat bulan
di malam bulan purnama. Mereka tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya.
Rasulullahu Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya kalian
akan melihat Rabb kalian, sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan
purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika
melihat-Nya. Dan jika kalian sanggup untuk tidak dikalahkan (oleh syaithan)
untuk melakukan shalat sebelum Matahari terbit (shalat Subuh) dan sebelum
terbenamnya (shalat ‘Ashar), maka lakukanlah.”Kaum Mukminin akan melihat
Allah Subhanahu wa Ta’ala di padang Mahsyar, kemudian akan melihat-Nya lagi
setelah memasuki Surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.”
Melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan kenikmatan yang paling dicintai
bagi penghuni Surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Bagi orang-orang
yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.”
Iman
Kepada Kitab-Kitab. Ahlus Sunnah Mengimani Bahwa Al-Qur-anul Karim Adalah
Kalamullah
Termasuk iman kepada Allah dan
Kitab-kitab-Nya, yaitu mengimani bahwa Al-Qur-an adalah Kalamullah yang
diturunkan (dari-Nya), bukan makhluk. Al-Qur-an berasal dari-Nya dan akan
kembali kepada-Nya. Al-Qur-an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah benar-benar
kalamullah, bukan perkataan makhluk-Nya, serta tidak boleh berpendapat
bahwa Al-Qur-an itu hikayat (cerita) atau ibarah (terjemah) dari kalamullah
atau majaz (kiasan). Pendapat ini adalah sesat dan menyimpang bahkan dapat
menyebabkan kekufuran. Syaikh Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 449 H)
rahimahullah berkata: “Ahlus Sunnah bersaksi dan berkeyakinan bahwa
Al-Qur-an adalah kalamullah, kitab, firman dan wahyu yang diturunkan-Nya,
bukan makhluk. Barangsiapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa Al-Qur-an
adalah makhluk, maka ia kafir menurut pandangan mereka (Ahlus Sunnah).
Al-Qur-an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan oleh Allah melalui
perantaraan Malaikat Jibril Alaihissallam kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan bahasa Arab, untuk orang-orang yang berilmu,
sebagai peringatan sekaligus kabar gembira. Sebagaimana yang difirmankan
oleh Allah Azza wa Jalla :“Dan sesungguhnya Al-Qur-an ini benar-benar
diturunkan oleh Rabb semesta alam, ia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di
antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.
Iman
Kepada Rasul-Rasul Allah
Ahlus Sunnah beriman kepada
Rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Ar-Rusul (الرُّسُلُ) bentuk jamak dari kata rasul (رَسُوْلٌ), yang berarti orang yang diutus
untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud ‘rasul’ di sini adalah
orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada ummat. Rasul yang pertama
adalah Nabiyyullah Nuh Alaihissallam, dan yang terakhir adalah Nabiyyullah
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-Nabi yang kemudian...” Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu dalam hadits syafa’at menceritakan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: “Nanti orang-orang akan datang
kepada Nabi Adam Alaihissallam untuk meminta syafa’at. Nabi Adam
Alaihissallam meminta maaf kepada mereka, seraya berkata: ‘Datangilah Nuh
Alaihissallam.’ Lalu mereka mendatangi Nabi Nuh Alaihissallam dan berkata:
Allah Jalla Jalaluhu berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi dan adalah
Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”
Iman
Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin
‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushayy bin
Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu-ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin
Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan, dan ‘Adnan adalah salah satu putera Nabi Allah
Isma’il bin Ibrahim al-Khalil - salam terlimpah atas Nabi kita dan atas
keduanya-. Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul, serta utusan Allah
kepada seluruh manusia. Beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, dan
Rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau adalah sebaik-baik makhluk,
makhluk yang paling utama dan paling mulia di hadapan Allah Ta’ala,
derajatnya paling tinggi, dan kedudukannya paling dekat kepada Allah. Beliau
diutus kepada manusia dan jin dengan membawa kebenaran dan petunjuk, yang
diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagaimana
firman-Nya:“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” Allah menurunkan Kitab-Nya kepadanya, mengamanahkan
kepadanya atas agama-Nya, dan menugaskannya untuk menyampaikan risalah-Nya.
Allah telah melindunginya dari kesalahan dalam menyampaikan risalah ini,
sebagaimana firman-Nya: “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).”
Wajibnya
Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad. Wajibnya
Mentaati
Dan Meneladani Nabi
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan
dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti
mencintai dan mengagungkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb
yang mengutusnya. Ummatnya mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah
sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah.” ‘Amr bin al-‘Ash -sebelum ia
masuk Islam- berkata: “Sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang
lebih aku benci dari-pada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Namun
setelah ia masuk Islam, tidak ada seorang manusia pun yang lebih ia cintai
dan lebih ia agungkan daripada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan:
“Seandainya aku diminta untuk menggambarkan pribadi beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada kalian tentu aku tidak mampu melakukannya sebab
aku tidak pernah menajamkan pandanganku kepada beliau sebagai pengagunganku
kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.” ‘Urwah bin Mas’ud berkata
kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra,
kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang
diagungkan oleh segenap rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat
Radhiyallahu anhum kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demi
Allah, mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk
pengagungan mereka kepadanya Shallallahu 'alaihi wa sallam."
Anjuran
Bershalawat Kepada Nabi. Larangan Ghuluw Dan Berlebih-Lebihan Dalam Memuji
Nabi
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti:
“Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami,
engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang
yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah
makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun
demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui
batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau
dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di
dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu
adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah). Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu
wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar
larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka
berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya
serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh di-minta kecuali kepada
Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana
mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hak Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
|