Isra'
Mi’raj
Ahlus Sunnah mengimani bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah di-isra’-kan oleh Allah dari
Makkah ke Baitul Maqdis lalu di-mi’raj-kan (naik) ke langit dengan ruh dan
jasadnya dalam keadaan sadar sampai ke langit yang ke tujuh, ke Sidratul
Muntaha. Kemudian (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) memasuki Surga,
melihat Neraka, melihat para Malaikat, mendengar pembicaraan Allah, bertemu
dengan para Nabi, dan beliau mendapat perintah shalat yang lima waktu
sehari semalam. Dan beliau kembali ke Makkah pada malam itu juga. Dari Anas
bin Malik Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah bersabda: “(Jibril) telah datang kepadaku bersama Buraq, yaitu
hewan putih yang tinggi, lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari
kuda, yang dapat meletakkan kakinya (melangkah) sejauh pandangannya.”
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Maka aku menaikinya hingga
sampailah aku di Baitul Maqdis, lalu aku turun dan mengikatnya dengan tali
yang biasa dipakai oleh para Nabi.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata: “Kemudian aku masuk ke masjid al-Aqsha dan aku shalat dua raka’at
di sana, lalu aku keluar. Kemudian Jibril Alaihissallam membawakan kepadaku
satu wadah khamr dan satu gelas susu, maka aku memilih susu, lalu Jibril
berkata kepadaku: ‘Engkau telah memilih fitrah (kesucian).’”
Tanda-Tanda
Kiamat
Tentang datangnya hari Kiamat, maka
tidak ada seorang pun yang mengetahui, baik Malaikat, Nabi, maupun Rasul,
masalah ini adalah perkara ghaib dan hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala
sajalah yang mengetahuinya. Meskipun waktu terjadinya hari Kiamat tidak ada
yang mengetahuinya, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan
kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang tanda-tanda Kiamat
tersebut. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan
kepada ummatnya tentang tanda-tanda Kiamat. Para ulama membaginya menjadi
dua: (pertama) tanda-tanda kecil dan (kedua) tanda-tanda besar. Tanda-tanda
kecil sangat banyak dan sudah terjadi sejak zaman dahulu dan akan terus
terjadi di antaranya adalah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, munculnya banyak fitnah, munculnya fitnah dari arah timur (Iraq),
timbulnya firqah Khawarij, munculnya orang yang mengaku sebagai Nabi,
hilangnya amanah, diangkatnya ilmu dan merajalelanya kebodohan, banyaknya
perzinaan, banyaknya orang yang bermain musik , banyak orang yang minum
khamr (minuman keras) dan merebaknya perjudian, masjid-masjid dihias,
banyak bangunan yang tinggi, budak melahirkan tuannya, banyaknya
pembunuhan, banyaknya kesyirikan, banyaknya orang yang memutuskan
silaturrahim, banyaknya orang yang bakhil, wafatnya para ulama dan
orang-orang shalih, banyaknya orang yang belajar kepada Ahlul Bid’ah,
banyaknya wanita yang berpakaian tetapi telanjang ,dan lain-lainnya.
Munculnya
Imam Mahdi. Keluarnya Dajjal
Salah satu tanda Kiamat yang besar
adalah munculnya Imam Mahdi. Ahlus Sunnah memahami Imam Mahdi sebagai
berikut: Di akhir zaman akan muncul seorang laki-laki dari Ahlul Bait.
Allah memberi kekuatan kepada agama Islam dengannya. Dia memerintah selama
7 tahun, memenuhi dunia dengan keadilan setelah (sebelumnya) dipenuhi oleh
kezhaliman dan kezhaliman. Ummat di zamannya akan diberikan kenikmatan yang
belum pernah diberikan kepada selainnya. Bumi mengeluarkan
tumbuh-tumbuhannya, langit menurunkan hujan, dan dilimpahkan harta yang
banyak. Orang ini mempunyai nama seperti nama Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan nama ayahnya seperti nama ayah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Jadi, namanya Muhammad atau Ahmad bin ‘Abdullah. Dia
dari keturunan Fathimah binti Muhammad dari anaknya Hasan bin ‘Ali
Radhiyallahu anhum. Di antara ciri-ciri fisiknya adalah lebar dahinya, dan
mancung hidungnya. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Al-Mahdi
akan muncul dari arah timur, bukan dari Sirdab Samira’ sebagaimana yang
disangka oleh kaum Syi’ah (Rafidhah). Mereka menunggu sampai sekarang,
padahal persangkaan mereka itu adalah igauan semata, pemikiran yang sangat
lemah dan gila yang dimasukkan oleh syaithan. Persangkaan mereka tidak
mempunyai alasan baik dari Al-Qur-an maupun As-Sunnah, bahkan tidak sesuai
dengan akal yang sehat.”
Turunnya
Nabi ‘Isa Alaihissallam Di Akhir Zaman
Ahlus Sunnah mengimani tentang
turunnya Nabi ‘Isa Alaihissallam di akhir zaman. Sifat-sifat Nabi ‘Isa
Alaihissallam yang tercantum di berbagai riwayat adalah beliau seorang
laki-laki, berperawakan tidak tinggi juga tidak pendek, kulitnya
kemerah-merahan, rambut-nya keriting, berdada bidang, rambutnya meneteskan
air seolah-olah beliau baru keluar dari kamar mandi, beliau membiarkan
rambutnya terurai memenuhi kedua pundaknya. Setelah keluarnya Dajjal dan
terjadinya kerusakan di muka bumi, maka Allah mengutus Nabi ‘Isa
Alaihissallam untuk turun ke bumi. Beliau Alaihissallam turun di Menara
Putih yang terletak sebelah timur kota Damaskus di Syam (Syiria). Beliau Alaihissallam
menggunakan dua pakaian yang dicelup sambil meletakkan kedua tangannya pada
sayap dua Malaikat, apabila beliau menundukkan kepala, maka (seolah-olah)
meneteskan air, apabila beliau mengangkat kepala maka (seolah-olah)
berjatuhanlah tetesan-tetesan itu bagai manik-manik mutiara. Dan tidak
seorang kafir pun yang mencium nafasnya melainkan akan mati padahal
nafasnya sejauh mata memandang. Beliau turun di tengah golongan yang
dimenangkan (ath-Thaa-ifatul Manshuurah) yang berperang di jalan haq dan berkumpul
untuk memerangi Dajjal. Beliau turun pada waktu didirikannya shalat Shubuh
dan shalat di belakang pemimpin golongan tersebut.
Keluarnya
Ya'juj Dan Ma'juj Di Akhir Zaman. Terbitnya Matahari Dari Barat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj sedang berusaha keras
melubangi dinding setiap hari, sampai apabila mereka melihat cahaya
matahari, pemimpin mereka berkata: ‘Pulanglah, kalian akan melubanginya
besok.’ Kemudian esok harinya mereka kembali melubangi dinding itu dan
bekerja lebih kuat dari yang kemarin, sehingga jika waktunya telah tiba,
Allah akan mengirimkan mereka kepada manusia sesuai dengan keinginan-Nya.
Sehingga apabila mereka melihat cahaya matahari, pemimpin mereka berseru:
‘Pergilah, kalian akan melubanginya besok, insya Allah, -bisa juga kiranya
dia mengucapkan kata pujian itu-.’ (Namun ketika) mereka kembali hendak
melubanginya, ternyata dinding itu sudah seperti keadaan semula saat mereka
tinggalkan (kemarin). Tapi mereka terus melubanginya dan (akhirnya)
berhasil keluar menyerbu manusia. Mereka mengeringkan air dan orang-orang
berlindung di benteng-benteng. Mereka melepaskan anak panahnya ke langit,
lalu anak-anak panah itu kembali dengan berlumuran darah. Mereka berkata
dengan sombong: “Kita telah mengalahkan penduduk bumi dan langit.” Kemudian
Allah mengirimkan sejenis ulat pada tengkuk mereka hingga mereka mati.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Demi yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya binatang melata di bumi akan
menjadi kenyang dan gemuk karena dapat makan daging dan darah mereka.
Ahlus Sunnah Mengimani Adanya Yaumul
Akhir
Disebut sebagai hari Akhir karena
tidak ada hari lagi setelahnya dan itulah akhir perjalanan hidup manusia.
Termasuk iman kepada hari Akhir, yaitu mengimani tentang adanya fitnah
kubur, adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di padang Mahsyar,
ditegakkannya Mizan (timbangan), dibukakannya catatan-catatan amal, adanya
Hisab, al-Haudh (telaga), Shirath (jembatan), Syafa’at, serta Surga dan
Neraka. Ahlus Sunnah meyakini tentang adanya fitnah kubur, yaitu adanya
pertanyaan yang diajukan kepada mayit oleh dua Malaikat yang bernama Munkar
dan Nakir. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hadits yang panjang, ringkasnya beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “…Bahwa manusia di dalam kuburnya akan ditanyakan
kepadanya: ‘Siapa Rabb-mu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?’ Orang-orang Mukmin
akan dikaruniai keteguhan dengan perkataan yang teguh di dunia dan di
akhirat, sehingga ia akan menjawab: ‘Allah adalah Rabb-ku, Islam adalah
agamaku, dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabiku.’
Sedangkan orang yang ragu akan menjawab: ‘Ha, ha, aku tidak tahu, aku
mendengar orang mengatakannya, lalu aku pun mengatakannya.’ Maka dipukullah
ia dengan satu batang besi, sehingga ia berteriak sekeras-kerasnya yang
dapat didengar oleh setiap makhluk, kecuali manusia dan jin, dan seandainya
manusia mendengarnya niscaya ia akan jatuh pingsan.”
Ahlus
Sunnah Meyakini Adanya Hisab. Al-Mizan. Mengimani al-Haudh. Mengimani
Adanya ash-Shirath
Ahlus Sunnah meyakini tentang ditegakkannya
اَلْمِيزَانُ
(timbangan) dan dibukanya catatan-catatan amal. Secara bahasa (etimologi)
arti mizan adalah alat (neraca) untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat
dan ringan. Secara istilah (terminologi), mizan adalah sesuatu yang Allah
letakkan di hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya, sebagaimana yang
telah ditunjukkan oleh Al-Qur-an, As-Sunnah dan ijma’ Salaf. Sebagaimana
firman-Nya: “Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka
itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan
timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya
sendiri, mereka kekal di dalam Neraka Jahannam. Wajah mereka dibakar api
Neraka dan mereka di Neraka itu dalam keadaan cacat.” “Dan setiap manusia
telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari
Kiamat, Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. ‘Bacalah
kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab atas
dirimu.’”Allah Ta’ala berfirman: “Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan
melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di
dalamnya. Mereka berkata: ‘Celakalah kami, kitab apakah ini yang tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat
semuanya....
Ahlus
Sunnah Mengimani : Adanya Syafa’at, Surga dan Neraka, Tidak Ada Lagi
Kematian
Syafa’at pertama : Yaitu
asy-syafaa’atul ‘uzhmaa (syafa’at yang agung), yaitu syafa’at yang beliau
berikan kepada ummat manusia di Mauqif (saat kritis), ketika manusia
seluruhnya dikumpulkan Allah di padang Mahsyar. Matahari didekatkan kepada
mereka (dengan jarak satu mil), sehingga mereka berada dalam keadaan susah
dan sedih yang luar biasa. Pada saat seperti itu, mereka mendatangi Nabi
Adam, kemudian Nuh, Ibrahim, Musa, lalu ‘Isa bin Maryam untuk meminta
syafa’at, namun mereka semua menolak-nya. Dan terakhir kalinya mereka
datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, untuk meminta
syafa’at darinya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam -dengan
izin Allah Azza wa Jalla- memberikan syafa’at kepada ummat manusia, agar
mereka diberi keputusan. Syafa’at kedua : Yaitu syafa’at yang beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berikan kepada para ahli Surga untuk memasuki
Surga. Kedua syafa’at tersebut adalah khusus bagi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Syafa’at ketiga : Yaitu syafa’at yang diberikan kepada
orang-orang yang berhak masuk Neraka. Syafa’at ini untuk Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Nabi, para shiddiqin, dan yang lain
dari kalangan kaum Mukminin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan
memberi syafa’at kepada orang yang semestinya masuk Neraka untuk tidak
masuk Neraka, serta memberi syafa’at kepada orang yang sudah masuk Neraka
untuk dikeluarkan dari api Neraka.
Iman
Kepada Qadar(Takdir) Baik Dan Buruk
Golongan yang selamat, Ahlus Sunnah
wal Jama’ah beriman kepada qadar yang baik maupun buruk. Iman kepada qadar
meliputi iman kepada setiap nash tentang qadar serta tingkatannya. Tidak
ada seorang pun yang dapat menolak ketetapan Allah Azza wa Jalla. Iman
kepada qadar memiliki empat tingkatan: Pertama: Al-‘Ilmu (Ilmu). Yaitu,
mengimani bahwa Allah dengan ilmu-Nya, yang merupakan Sifat-Nya yang azali
dan abadi, Allah Mahamengetahui semua yang ada di langit dengan seluruh
isinya, juga semua yang ada di bumi dengan seluruh isinya, serta apa yang
ada di antara keduanya, baik secara global maupun secara rinci, baik yang
sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Allah Mahamengetahui tentang daun
yang kering ataupun basah, biji-bijian yang tumbuh dan lainnya. Allah
Mahamengetahui semua yang ghaib dan Dia Mahamengetahui segala amal
perbuatan makhluk-Nya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat,
maksiat, rizki, ajal, bahagia dan celaka. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib;
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Mahamengetahui
apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia menge-tahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Ahlus
Sunnah Adalah Ahlul Wasath
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul
Wasath (ummat yang pertengahan di antara firqah-firqah yang menyimpang).
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan ummat (Islam) ini
sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua
ummat manusia, sebagaimana firman-Nya: “Dan demikian pula telah Kami
jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu.” Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan di antara
firqah-firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam
‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th.
195 H) bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber
perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu: Rafidhah. Khawarij.
Qadariyyah. Murji'ah. Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul
Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu bukan
ummat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.”. Jahmiyyah adalah
aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir
kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh
pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada
tahun 128 H.
Prinsip
Ahlus Sunnah Tentang Dien Dan Iman
Iman adalah meyakini dengan hati,
mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan. Amal
perbuatan -dengan keseluruhan jenis-jenisnya yang meliputi amalan hati dan
amalan anggota badan- adalah termasuk hakekat iman. Ahlus Sunnah tidak
mengeluarkan amalan sekecil apa pun dari hakekat iman ini, apalagi
amalan-amalan besar dan agung. Bukan termasuk pemahaman Ahlus Sunnah bahwa
iman adalah pembenaran dengan hati saja! Atau pembenaran dengan pengucapan
lisan saja! Tanpa amalan anggota badan! Dan barangsiapa berpendapat
demikian, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Sesungguhnya pemahaman
seperti ini berasal dari kejelekan faham kaum Murji’ah. Iman memiliki
cabang-cabang serta tingkatan-tingkatan. Sebagian di antaranya jika
ditinggalkan, maka menjadikan kufur, sebagian yang lain jika ditinggalkan
adalah dosa -kecil atau besar-, dan sebagian yang lain jika ditinggalkan
akan menyebabkan hilangnya kesempatan memperoleh pahala dan menyia-nyiakan ganjaran.
Iman dapat bertambah dengan ketaatan hingga mencapai kesempurnaan, dan
dapat berkurang karena kemaksiatan hingga sirna dan tidak tersisa sedikit
pun.
Prinsip
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Terhadap Masalah Kufur Dan Takfir (Pengkafiran)
Pengkafiran adalah hukum syar’i dan
tempat kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara
meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya kecuali dengan
sebab yang meyakinkan pula. Tidak setiap ucapan dan perbuatan yang
disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan kekafiran yang besar (kufur
akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya
kekafiran itu ada dua macam; kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar
(akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini
sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan
hukum-hukum yang mereka keluarkan. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir
kepada seorang Mus-lim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan
mantap dari Al-Qur-an dan As-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam
permasalahan ini tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan)
saja. Ahlus Sunnah tidak menghukumi pelaku dosa besar tersebut dengan
kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman
apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya.
Pembatal-Pembatal Keislaman
Imam asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali
asy-Syaukani, hidup tahun 1173-1250 H) rahimahullah berkata: “Menghukumi
seorang Muslim keluar dari agama Islam dan masuk dalam kekufuran tidak
layak dilakukan oleh seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir, melainkan dengan bukti dan keterangan yang sangat jelas -lebih jelas
daripada terangnya sinar matahari di siang hari-. Karena sesungguhnya telah
ada hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat,
bahwa apabila seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka
(ucapan itu) akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Dan pada
lafazh lain dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim dan selain keduanya
disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau
berkata musuh Allah padahal ia tidak demikian maka akan kembali kepadanya.’
Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat
yang besar, agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir mengkafirkan.”
Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang
bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa dalam
menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari Islam.
Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum.
Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya.
Nifaq;
Definisi Dan Jenisnya
Nifaq I’tiqadi (Keyakinan) : Yaitu
nifaq besar, di mana pelakunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan
kekufuran. Jenis nifaq ini menjadikan pelakunya keluar dari agama dan dia
berada di dalam kerak Neraka. Allah menyifati para pelaku nifaq ini dengan
ber-bagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok dan
mencaci agama dan pemeluknya serta kecenderungan kepada musuh-musuh untuk
bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam. Orang-orang munafiq jenis ini
senantiasa ada pada setiap zaman. Lebih-lebih ketika tampak kekuatan Islam
dan mereka tidak mampu membendungnya secara lahiriyah. Dalam keadaan
seperti itu, mereka masuk ke dalam agama Islam untuk melakukan tipu daya
terhadap agama dan pemeluknya secara sembunyi-sembunyi, juga agar mereka
bisa hidup bersama ummat Islam dan merasa tenang dalam hal jiwa dan harta
benda mereka. Karena itu, seorang munafiq menampakkan keimanannya kepada
Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya dan Hari Akhir, tetapi dalam
batinnya mereka berlepas diri dari semua itu dan mendustakannya. Nifaq
jenis ini ada empat macam, yaitu: Pertama : Mendustakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mendustakan sebagian dari apa yang
beliau bawa. Kedua : Membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau
membenci sebagian apa yang beliau bawa. Ketiga : Merasa gembira dengan
kemunduran agama Islam. Keempat : Tidak senang dengan kemenangan Islam.
Al-Wa’du
Dan Al-Wa’iid
Ahlus Sunnah tidak memastikan adzab
bagi setiap orang yang diancam dengan siksaan (kecuali bagi orang yang
mengerjakan kekufuran). Karena bisa jadi Allah mengampuni dengan sebab
ketaatannya, taubatnya, musibah-musibah yang dialaminya dan sakit yang
dapat menghapuskan dosa-dosanya dan yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Mahapengampun lagi Mahapenyayang.’” Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa
setiap makhluk mempunyai ajal kematian. Dan setiap yang bernyawa tidak akan
mati kecuali dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan
waktunya. Apabila telah datang ajalnya, maka tidak dapat ditangguhkan dan
disegerakan sesaat pun juga. Maka sesungguhnya kematiannya akan datang pada
waktu yang telah ditentukan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Sesuatu
yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya....”
Berhukum
Dengan Apa Yang Diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Keadaan orang yang menghukumi dengan
selain yang diturunkan Allah Azza wa Jalla adalah sebagai berikut: Kalau ia
meninggalkan hukum Allah Azza wa Jalla dan menganggap halal perbuatannya
itu, atau karena memandang bahwa ia dibebaskan memilih dalam masalah ini,
atau berpendapat bahwa hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak layak untuk
mengurusi problem masyarakat, atau bahwa hukum selain hukum Allah lebih
baik bagi mereka, maka dia adalah kafir keluar dari agama setelah terpenuhi
syarat-syarat dan tidak adanya penghalang. Ini sesuai dengan apa yang
difatwakan para ulama yang lurus dalam pemahaman agama. Kalau ia
meninggalkan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala karena hawa nafsu, maslahat,
rasa takut, atau karena suatu penafsiran sementara ia mengakui hukum Allah
Subhanahu wa Ta'ala itu dan ia yakin bahwa ia salah dan menyimpang, maka ia
terjatuh pada kufur ashgar (kekufuran kecil) dan dianggap melakukan
perbuatan yang lebih besar dosanya daripada makan riba, dan lebih besar
pula dari zina, lebih keras dari minum khamr, tetapi kekafirannya adalah
kufrun duna kufrin (kekafiran di bawah tingkat kekafiran sesungguhnya/
kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam) sebagaimana yang disampaikan
oleh para Imam Salaf dan ulama-ulama mereka.
Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah Mengikuti Sunnah Rasulullah Secara Lahir Dan Bathin
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah, ketika menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam
masalah-masalah prinsip tertentu, beliau menyebutkan manhaj yang menyeluruh
dalam agama ini, baik masalah ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), bahwa
mereka (Ahlus Sunnah) itu menempuh jalan yang lurus dan pegangan yang
bermanfaat dari al-Kitab dan As-Sunnah, mereka mengikuti orang yang paling
tahu tentang Islam dan paling dalam ilmunya, serta paling ittiba’ kepada
Al-Qur-an dan As-Sunnah, yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka
mengikuti Khulafaur Rasyidin secara khusus, serta mereka berjalan di jalan
Allah dengan diiringi prinsip-prinsip yang mulia ini. Apapun yang dikatakan
manusia atau merupakan pendapat-pendapat madzhab di mana orang
mengikutinya, maka Ahlus Sunnah menimbang dengan tolok ukur Al-Qur-an,
As-Sunnah dan ijma’ Sahabat dari generasi terbaik umat ini, maka luruslah
jalan mereka. Ahlus Sunnah selamat dari bid’ah-bid’ah perkataan yang
menyalahi apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para Sahabat dalam masalah i’tiqad, sebagaimana mereka selamat dari
bid’ah-bid’ah amaliyah, mereka tidak beribadah dan tidak mengadakan
syari’at melainkan dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ahlus
Sunnah Memuliakan Para Sahabat Radhiyallahu Anhum
Termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah yaitu menjaga hati dan lisan mereka terhadap para Sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka menerima apa yang
datang dari Al-Qur-an, As-Sunnah dan Ijma’ tentang keutamaan-keutamaan dan
kedudukan mereka. Ahlus Sunnah juga mengakui keutamaan seluruh Sahabat,
karena mereka (para Sahabat Radhiyallahu anhum) adalah ummat yang paling
tinggi akhlak dan perangainya. Meskipun demikian Ahlus Sunnah tidak
melewati batas terhadap para Sahabat, dan mereka tidak mempunyai keyakinan
tentang kema’shuman para Sahabat, bahkan mereka melaksanakan hak-hak para
Sahabat dan mencintainya, karena mereka mempunyai hak yang besar atas
seluruh ummat ini, kita dianjurkan untuk mendo’akan mereka. Sebagaimana
yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan: “Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) berdo’a: ‘Ya Rabb kami, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang lebih dahulu beriman dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi
Mahapenyayang.’” Do’a ini adalah do’anya orang-orang yang mengikuti kaum
Muhajirin dan Anshar dengan kebaikan, yang menunjukkan atas kesempurnaan
cinta mereka kepada para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Karamah
Para Wali
Tentang karamah para wali, telah
dibahas oleh para ulama Ahlus Sunnah karena ada golongan yang mengingkari
tentang adanya karamah para wali. Mereka adalah golongan Mu’tazilah,
Jahmiyyah dan sebagian dari Asy’ariyyah. Ada juga golongan yang ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam menetapkan karamah, mereka meyakini dan mengatakan
bahwa setiap yang luar biasa adalah karamah, meskipun itu adalah sihir dan
kedustaan. Mereka adalah golongan thariqat Shufiyyah dan penyembah kubur.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan karamah para wali sesuai dengan ketentuan
al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih. Yang
dimaksud dengan karamah adalah apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
karuniakan melalui tangan para wali-Nya yang mukmin berupa keluarbiasaan,
seperti ilmu, kekuasaan dan lainnya. Misalnya makanan yang Allah berikan
kepada Maryam binti ‘Imran , naungan yang Allah Azza wa Jalla berikan
kepada ‘Usaid bin Hudhair ketika membaca Al-Qur-an, serta berita-berita
mengenai para pemuka dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan
generasi berikutnya dari ummat Islam. Karamah tersebut akan tetap ada pada
umat ini sampai datangnya hari Kiamat.
Pernyataan
Tentang Hakekat dan Syari’at
Tidak ada jalan selain jalan yang
dilalui Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak ada hakekat selain
hakekat yang dibawa beliau dan tidak ada syari’at selain syari’at beliau.
Begitu juga tidak ada keyakinan, melainkan keyakinan yang beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam yakini. Tidak ada seorang pun yang dapat
menemui Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencapai keridhaan-Nya, Surga
dan kemuliaan dari-Nya, melainkan hanya dengan mengikuti Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, secara lahir maupun batin. Barangsiapa yang belum
membenarkan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kabarkan dan
tidak konsekuen dalam mentaati apa yang beliau perintahkan, baik itu
berkaitan dengan amalan batin yang terdapat di hati, ataupun amalan lahir
yang dilakukan oleh tubuh, maka ia belum dapat menjadi Mukmin sejati,
apalagi menjadi wali Allah, meskipun ia memiliki kemampuan luar biasa
bagaimana pun wujudnya! Barangsiapa yang beranggapan bahwa orang yang
berbuat hal-hal aneh dan berlebih-lebihan dalam beribadah itu wali Allah,
padahal mereka tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, baik dalam ucapan maupun perbuatannya, bahkan menganggap mereka
mempunyai kelebihan dibanding dengan orang-orang yang ittiba’ (mengikuti)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia (orang yang berkeyakinan
seperti itu) adalah ahli Bid’ah.
Larangan
Mendirikan Masjid Di Atas Kuburan
Disebutkan pula oleh Syaikh Salim bin
‘Ied al-Hilali dalam kitabnya, bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah
termasuk dosa besar, dengan sebab: Orang yang melakukannya mendapat laknat
Allah, Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek makhluk,
Menyerupai orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya
haram. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya,
Zaadul Ma’ad : “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun
di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus
dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak
boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang
lain harus tiada. Mana yang terakhir didirikan itulah yang dibongkar. Jika
didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pem-bangunannya, dan
wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak
boleh shalat di dalamnya (yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya)
berdasarkan larangan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
laknat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang
menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah
dienul Islam yang Allah turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun dianggap asing oleh manusia
sebagaimana yang engkau saksikan.”
Ziarah
Kubur
Ziarah kubur yang syirik, yaitu
ziarah yang bertentangan dengan tauhid, misalnya mempersembahkan suatu
macam ibadah kepada ahli kubur, seperti berdo’a kepadanya sebagai-mana
layaknya kepada Allah, meminta bantuan dan per-tolongannya, berthawaf di
sekelilingnya, menyembelih kurban dan bernadzar untuknya dan lain
sebagainya. Seorang Mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain
Allah, perbuatan ini adalah syirkun akbar dan mengeluarkan seseorang dari
Islam bila sudah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Seluruh
ibadah dan harus kita lakukan hanya kepada Allah saja dengan ikhlas tidak
boleh menjadikan kubur sebagai perantara menuju kepada Allah, karena ini
adalah perbuatan orang kafir Jahiliyah. Sesuatu yang menjadi wasaa-il
(sarana) dihukumi berdasar-kan tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang
menjadi sarana me-nuju syirik dalam ibadah kepada Allah atau menjadi sarana
me-nuju bid’ah, maka wajib dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru
(yang tidak ada dasarnya) dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah kesesatan. Di muka bumi tidak ada satu pun kuburan yang mengandung
berkah sehingga sia-sia orang yang sengaja ziarah menuju kesana untuk
mencari berkah. Dalam Islam tidak dibenarkan sengaja mengadakan safar
(perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti
kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat (tujuan) mencari keramat
dan berkah serta mengadakan ibadah di sana
Hukum
Wasilah (Tawassul)
Tawassul dengan meminta do’a kepada
orang mati tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar.
Karena mayit tidak mampu berdo’a seperti ketika ia masih hidup. Demikian
juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma dan para
Sahabat yang bersama mereka, juga para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan
baik ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan,
bertawassul, dan meminta syafa’at kepada orang yang masih hidup, seperti
kepada al-‘Abbas bin ‘Abdil Muthalib dan Yazid bin al-Aswad. Mereka tidak
bertawassul, meminta syafa’at dan memohon diturunkannya hujan melalui Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik di kuburan beliau atau pun di
kuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti (dengan orang yang
masih hidup). ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, ‘Ya Allah,
dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaran Nabi-Mu, sehingga
Engkau menurunkan hujan kepada kami dan kini kami bertawassul kepada paman
Nabi kami, karena itu turunkanlah hujan kepada kami.’ Ia (Anas) berkata:
‘Lalu Allah menurunkan hujan.’ Mereka menjadikan al-‘Abbas Radhiyallahu
anhu sebagai pengganti dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi
bertawassul kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ahlus
Sunnah Senantiasa Melakukan Tashfiyah dan Tarbiyah Bagi Kembalinya
Kemuliaan Islam
Penyebab tetapnya kaum Muslimin pada
kondisi mereka yang terpuruk berupa kehinaan dan penindasan kaum kafir
terhadap sebagian dunia Islam, penyebabnya bukanlah karena mayoritas ulama
Islam tidak memahami fiqhul waqi’ (fiqih realita) atau tidak mengetahui
rencana-rencana dan tipu daya orang-orang kafir sebagaimana anggapan
sebagian orang. Adalah sebuah kesalahan yang sangat nyata dan kekeliruan
yang amat jelas apabila mencurahkan perhatian secara berlebihan terhadap
fiqhul waqi’, hingga menjadikannya sebagai manhaj bagi para da’i dan
generasi muda, di mana mereka membina dan terbina di atasnya dengan
menganggapnya sebagai ‘jalan keselamatan’?! Sedangkan suatu hal yang telah
menjadi kesepakatan para fuqaha' dan tidak terdapat perbedaan di antara
mereka, bahwa penyebab yang paling mendasar bagi kehinaan kaum Muslimin
sehingga terhenti perjalanan mereka (untuk terus maju) adalah:
Kejahilan/kebodohan kaum Muslimin terhadap Islam yang diturunkan Allah
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mayoritas kaum Muslimin
yang mengetahui hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan berbagai
kepentingan mereka, tidak melaksanakannya, mereka cenderung meremehkan,
menggampangkan dan menyia-nyiakannya.
Manhaj
Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi
suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya: ‘Maka yang pertama kali
engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata) (juga
lafazh lainnya adalah: ‘Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya
yang berhak diibadahi) apabila mereka mentaati-mu karena yang demikian itu
(dalam suatu riwayat: Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka
beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu
karena yang demikian itu, maka beritahukan-lah kepada mereka bahwa
sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah yang diambil dari
orang-orang yang kaya di antara mereka lalu dibagikan kepada orang-orang
yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian
itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik dan takutlah kamu
terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a
orang yang di-zhalimi dengan Allah.”’
Keutamaan
Dakwah Tauhid
Berdasarkan apa yang disebutkan di
atas, maka semua gerakan dakwah yang berdiri tegak di atas dakwaan dan
simbol ishlah (perbaikan), namun tidak memfokuskan perhatian dan tidak
bertolak dari upaya perbaikan tauhid, tentunya akan terjadi penyelewengan
dan penyimpangan sesuai dengan kejauhannya dari pokok yang sangat penting
ini. Sebagaimana perbuatan orang-orang itu telah menghabiskan usia mereka
dalam mem-perbaiki mu’amalah antara manusia, namun mu’amalah mereka
terhadap al-Khaliq (Allah) atau ‘aqidah mereka terhadap-Nya menyimpang jauh
dari petunjuk Salafush Shalih. Sama halnya dengan mereka yang telah
menghabiskan umurnya dalam upaya menempati dan menduduki sistem
pemerintahan dengan harapan akan mampu mengadakan perbaikan pada manusia
melalui jalur tersebut atau dengan mengerjakan berbagai kegiatan politik
untuk mengejar dan meraih kekuasaan, namun demikian mereka tidak menaruh
perhatian untuk memperbaiki kerusakan ‘aqidah mereka dan kerusakan ‘aqidah
orang-orang yang menjadi objek dakwah mereka.
Syarat Dan Kaidah Dalam Dakwah
(Mengajak) Manusia Kepada Agama Islam Yang Benar
Berdakwah mengajak manusia kepada
Islam yang benar, yaitu mengajak manusia kepada cara beragama yang benar,
baik tentang ‘aqidah, manhaj, ibadah, akhlak, dan yang lainnya menurut
pemahaman Salafush Shalih. Dakwah ini harus memenuhi tiga syarat: Pertama: سَلاَمَةُ الْمُعْتَقَدِ (‘Aqidahnya Benar). Selamat ‘aqidahnya. Maksudnya
seseorang yang berdakwah harus meyakini kebenaran ‘aqidah Salaf tentang
Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan
dengan masalah ‘aqidah dan iman. Kedua: سَلاَمَةُ الْمَنْهَجِ
(Manhajnya Benar). Yaitu memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah sesuai dengan
pemahaman Salafush Shalih. Mengikuti prinsip dan kaidah yang telah
ditetapkan ulama Salaf. Ketiga: سَلاَمَةُ الْعَمَلِ (Beramal dengan Benar). Seorang yang
berdakwah, mengajak umat kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal
dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allah dan ittiba’
(mengikuti) contoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak
mengadakan bid’ah baik i’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.
Tabarruk
(Mencari Berkah)
Keberkahan berasal dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Namun Allah Azza wa Jalla mengkhususkan sebagian
berkah-Nya kepada seorang hamba atau makhluk tertentu yang dikehendaki-Nya.
Oleh karena itu, seseorang atau suatu makhluk atau benda tidak boleh
dinyatakan mempunyai berkah kecuali berdasarkan dalil (dari Al-Qur-an atau
as-Sunnah yang shahih). Berkah artinya kebaikan yang banyak atau kebaikan
yang tetap dan tidak hilang. Al-Qur-an Kitabullah dikatakan mengandung
berkah apabila dibaca, difahami dan diamalkan. Ada pula waktu-waktu yang
mengandung berkah seperti malam Lailatul Qadar. Tabarruk dengan Lailatul
Qadar yaitu dengan melaksanakan ibadah pada 10 malam terakhir pada bulan
Ramadhan dengan ibadah yang sesuai dengan Sunnah-sunnah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Adapun tempat yang ada berkahnya seperti Masjidil Haram,
Masjid Nabawi , dan Masjid al-Aqsha. Ada beberapa hal yang mengandung
berkah, baik berbentuk benda yang ada berkahnya seperti air Zamzam, atau
amal yang ada berkahnya, yaitu setiap amal shalih yang dikerjakan dengan
ikhlas dan ittiba’ kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau
berbentuk pribadi yang ada berkahnya seperti tubuh para Nabi.
Hukum
Sihir Dan Tukang Sihir
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat
bahwa sihir itu memiliki hakekat dan meyakini bahwa hak ini benar-benar
ada, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaithan-syaithan
pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu
mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya
syaithan-syaithan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan
sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang Malaikat di
negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan
(sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya
cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari
dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan
antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin
Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan
tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah
baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.”
Dukun,
Tukang Ramal Dan ‘Orang Pintar’
Kahin (dukun) adalah orang yang
mengambil informasi dari syaithan yang mencuri pendengaran dari langit.
Atau dapat dikata-kan bahwa dukun adalah orang yang memberitahukan tentang
perkara-perkara ghaib yang akan terjadi di masa yang akan datang atau yang
memberitahukan tentang perkara-perkara yang tersimpan dalam hati seseorang.
Sebelum bi’tsah (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus), dukun-dukun tersebut
berjumlah sangat banyak, tetapi setelah bi’tsah jumlah mereka berkurang
(sedikit), karena Allah menjaga langit dengan adanya bintang-bintang.
Kebanyakan yang terjadi pada ummat ini adalah apa yang dikabarkan oleh jin
kepada antek-anteknya -dari golongan manusia- tentang berita ghaib yang
terjadi di bumi, maka orang bodoh mengira bahwasanya itu adalah kasyf
(penyingkapan sesuatu yang ghaib) dan karamah! Sungguh telah banyak orang
yang tertipu dengan hal itu. Mereka menganggap orang yang menyampaikan kabar
dari jin itu adalah wali Allah, padahal sebenarnya ia adalah wali
syaithan!! ‘Arraf (tukang ramal) yaitu orang yang mengaku mengetahui
tentang suatu hal dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan
barang curian, atau tempat barang hilang dan semacamnya. Sering disebut
sebagai tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan sejenisnya.
Ahlus
Sunnah Melarang Nusyrah (Mengobati Sihir Dengan Sihir)
Dalam Islam dilarang mengobati sihir
dengan sihir atau dengan mendatangi dukun, karena dukun hanyalah mengusir
syaithan sihir dengan syaithan sihir yang lain. Maka, ibarat mengusir
maling dengan meminta bantuan perampok atau penjarah. Ibnul Jauzi (wafat
th. 597 H) rahimahullah berkata: “Nusyrah adalah membuka sihir dari orang
yang terkena sihir, dan hampir tidak ada orang yang mampu melakukannya
kecuali oleh orang yang mengetahui sihir.” Dari Jabir bin ‘Abdillah
Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang nusyrah, maka beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab: ‘Nusyrah itu termasuk perbuatan syaithan.’”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullah menjelaskan:
“Nusyrah adalah penyembuhan terhadap seseorang yang terkena sihir. Caranya
ada dua macam: Pertama: Dengan menggunakan sihir pula, dan inilah yang
termasuk perbuatan syaithan. Kedua: Penyembuhan dengan menggunakan ruqyah,
ayat-ayat ta’awwudz (perlindungan), obat-obatan, dan do’a-do’a yang
diperkenankan. Cara ini hukumnya jaiz (boleh).”
Ilmu
Nujum (Ilmu Perbintangan)
Munajjim (ahli nujum) juga termasuk
dalam kategori peramal menurut apa yang diistilahkan oleh sebagian ulama.
Di dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim, dari hadits Zaid bin Khalid
al-Juhani, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengimami
kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah setelah semalamnya turun hujan. Ketika
usai shalat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berbalik menghadap kepada
para Sahabat Radhiyallahu anhum lantas bersabda: ‘Tahukah kalian apa yang
difirmankan Rabb-mu?’ Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab: ‘Allah dan
Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: ‘Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: ‘Di kala pagi ini, di
antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir.’
Adapun orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia
dan rahmat Allah’, ia telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada
bintang-bintang. Sedangkan orang-orang yang berkata: ‘Telah turun hujan
kepada kita karena bintang ini atau bintang itu,’ maka ia kafir kepada-Ku
dan beriman kepada bintang-bintang.
Al-Istisqa’
Bil Anwa’ (Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang)
“Di antara hamba-Ku ada yang menjadi
beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan:
‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah
orang yang beriman kepada-Ku dan kafir ter-hadap bintang-bintang. Sedang
orang yang mengatakan: ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka
itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’”
Jika ia percaya bahwa bintang adalah pelaku atau faktor yang mempengaruhi
turunnya hujan, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik besar.
Dan jika ia percaya bahwa bintang menyertai turunnya hujan sehingga dapat dijadikan
isyarat -walaupun dengan meyakini bahwa turunnya hujan itu dengan izin
Allah Azza wa Jalla- maka perbuatan itu tetap haram dan pelakunya
dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik kecil yang bertentangan dengan
kesempurnaan tauhid. Menisbatkan sesuatu kepada selain Allah sebagai
pencipta, baik sebagai pelaku, faktor yang mempengaruhi atau faktor
penyerta adalah perbuatan syirik yang kini telah banyak tersebar di
kalangan masyarakat. Inilah syirik yang sangat dikhawatirkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
Hukum
Thiyarah (Tathayyur, Menganggap Sial Karena Sesuatu)
Ahlus Sunnah tidak percaya kepada
thiyarah atau tathayyur. Tathayyur atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial
karena sesuatu. Diambil dari kalimat: زَجَرَ الطَّيْرَ (menerbangkan burung). Ibnul Qayyim
(wafat th. 751 H) rahimahullah berkata: “Dahulu, mereka suka menerbangkan
atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan, maka mereka
menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke kiri, mereka
namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut ‘na-thih’, dan
manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’. Sebagian kaum bangsa
Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya terbang ke kiri) dan
menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang ke kanan) dan ada lagi
yang berpendapat lain.” Tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada
terbangnya burung saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang
cacat dan sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan
dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal
tersebut membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi
keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla.
Ahlus Sunnah Melarang Memakai Jimat
Kata tamaa-im adalah bentuk jamak
dari tamimah, yaitu sesuatu jimat yang dikalungkan di leher atau bagian
dari tubuh seseorang yang bertujuan mendatangkan manfaat atau menolak
mudharat, baik kandungan jimat itu adalah Al-Qur-an, atau benang atau kulit
atau kerikil dan semacamnya. Orang-orang Arab biasa menggunakan jimat bagi
anak-anak mereka sebagai perlindungan dari sihir atau guna-guna dan
semacamnya. Jimat terbagi menjadi dua macam: Pertama: Yang tidak bersumber
dari Al-Qur-an. Inilah yang dilarang oleh syari’at Islam. Jika ia percaya
bahwa jimat itu adalah subjek atau faktor yang berpengaruh, maka ia
dinyatakan musyrik dengan tingkat syirik besar. Tetapi jika ia percaya
bahwa jimat hanya menyertai datangnya manfaat atau mudharat, maka ia
dinyatakan telah melakukan syirik kecil. Hadits Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam Shahiihul Bukhari dari Sahabat Abu Basyir
al-Anshari bahwa beliau pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam satu perjalanan, lalu ia berkata: “Lalu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengutus seseorang, kemudian beliau bersabda: ‘Jangan
sisakan satu kalung pun yang digantung di leher unta melainkan kalungnya
harus dipotong.’”
Ahlus Sunnah Membolehkan Ruqyah
Syar’iyyah Dan Melarang Ruqyah Yang Ada Kesyirikan Dan Bid'ah
Ar-ruqa’ (اَلرُّقَى) adalah bentuk jamak dari kata
ruqyah (رُقْيَةٌ).
Artinya adalah do’a perlindungan yang biasa dipakai sebagai jampi bagi
orang sakit. Do’a itu bisa berasal dari Al-Qur-an atau As-Sunnah atau
selain dari keduanya yang dikenal mujarab dan dibolehkan secara syar’i.
Ruqyah dibolehkan dalam syari’at Islam berdasarkan hadits ‘Auf bin Malik
Radhiyallahu anhu dalam Shahiih Muslim, ia berkata: “Di masa Jahiliyyah
kami biasa melakukan ruqyah, lalu kami bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‘Bagaimana menurutmu, wahai Rasulullah?’
Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Tunjukkanlah kepadaku
ruqyah kalian. Tidaklah mengapa ruqyah yang di dalamnya tidak mengandung syirik.’”
Al-Khaththabi (wafat th. 388 H) rahimahullah berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan melakukan ruqyah dan
membolehkannya.” Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam ruqyah yang
dibolehkan: Hendaklah ruqyah dilakukan dengan Kalamullaah (Al-Qur-an) atau
Nama-Nya atau Sifat-Nya atau do’a-do’a shahih yang diriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada penyakit tersebut. Harus
dilakukan dengan bahasa Arab. Hendaklah diucapkan dengan makna yang jelas dan
dapat difahami.
Ahlus Sunnah Melarang Memakai Gelang,
Kalung Atau Benang Untuk Mengusir Atau Menangkal Bahaya
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini
bahwa manfaat dan mudharat itu ada di tangan Allah. Hanya Allah sajalah
yang sanggup mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman: “Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang
kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan
kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu.’”
Juga firman-Nya: “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka
tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah
menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya.
Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Memakai benda apa saja, dengan keyakinan bahwa ia adalah subjek atau faktor
yang berpengaruh dalam mendatangkan manfaat atau menolak mudharat (bahaya)
adalah termasuk melakukan syirik besar. Jika ia percaya bahwa benda itu
hanya menyertai datangnya manfaat atau mudharat, maka ia termasuk melakukan
syirik kecil.
Al-Wala' wal Bara'
Salah satu dari prinsip ‘aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah, yaitu
men-cintai dan memberikan wala' (loyalitas) kepada kaum Mukminin, membenci
kaum musyrikin dan orang-orang kafir serta berpaling (bara') dari mereka.
Al-Wala' dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain; mencintai,
menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata
al-muwaalaah (الْمُوَالاَةُ)
adalah lawan kata dari al-mu’aadaah(الْمُعَادَاةُ)
atau al-‘adawaah(الْعَدَوَاةُ)
yang berarti permusuhan. Dan kata al-wali (الْوَلِى) adalah lawan kata dari al-‘aduww (الْعَدُوُّ) yang berarti musuh. Kata ini juga
digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia
merupakan kata yang mengandung dua arti yang saling berlawanan. Dalam
terminologi syari’at Islam, al-Wala' berarti penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan,
kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah
mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah, ia
condong dan melakukan semua itu dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang
yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta membenci orang yang
dibenci Allah, seperti orang kafir.
Hak-Hak Al-Bara'
Tidak menyandarkan hukum kepada
mereka, atau tidak setuju dengan hukum yang dibuat oleh mereka, serta tidak
mengikuti ajakan mereka untuk meninggalkan hukum Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami
telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi
oleh pada Nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim
mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara Kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena
itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan
janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-oang yang kafir.”. Tidak memulai mengucapkan salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi
dan Nasrani, apabila kalian berjumpa dengan salah seorang di antara mereka,
maka desaklah ia ke tepi (jalan) yang paling sempit.”
Hukum Bermu’amalah Dengan Orang Kafir
Ahlus Sunnah membolehkan bermu’amalah
dengan orang-orang kafir, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Di antara mu’amalah
yang dibolehkan menurut syar’i adalah: Boleh melakukan transaksi dengan
mereka dalam perdagangan, sewa menyewa dan jual beli barang, selama alat
tukar, dan barangnya dibenarkan menurut syari’at Islam. Wakaf mereka
dibolehkan selama pada hal-hal di mana wakaf terhadap kaum Muslimin
dibolehkan. Misalnya, derma terhadap fakir miskin, perbaikan jalan, derma
terhadap Ibnu Sabil dan semacamnya. Boleh memberi pinjaman dan atau
meminjam dari mereka walaupun dengan cara menggadaikan barang. Sebab
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat sedangkan baju perangnya digadaikan kepada seorang Yahudi
dengan 30 sha' gandum. Haram mengizinkan mereka untuk membangun rumah
ibadah bagi mereka di negeri Muslim. Kaum Muslimin dan para pejabat Muslim
tidak boleh sekali-kali mengizinkan membangun rumah ibadah orang kafir,
apakah gereja, kelenteng, atau yang lainnya.
Perbedaan Antara Al-Bara' Dengan
Keharusan Bermu’amalah Yang Baik
Sikap permusuhan terhadap orang kafir
tidak berarti bahwa kita boleh bersikap buruk dan sewenang-wenang terhadap
mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Seorang Muslim bahkan harus
berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang masih musyrik. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...”
Kebencian itu juga tidak boleh mencegah kita untuk melaku-kan apa yang
menjadi hak-hak mereka, menerima kesaksian-kesaksian sebagian mereka atas
sebagian yang lain serta berbuat baik terhadap mereka sesuai ketentuan yang
dibenarkan menurut syari’at Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” Hukum ini berlaku untuk orang kafir yang mempunyai perjanjian damai
dan jaminan dari kaum Muslimin dan tidak berlaku bagi orang kafir yang
berstatus ahlul harb (yang memerangi kaum Muslimin).
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Ahlul
Bid’ah
Termasuk prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah mereka membenci para pengekor hawa nafsu dan ahli
bid’ah, yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, tidak simpatik
kepada mereka, tidak berteman dengan mereka, tidak sudi mendengarkan ucapan
mereka, tidak duduk di dalam majelis mereka, tidak berdiskusi atau tukar
pikiran dengan mereka, dan tidak mau dialog dengan mereka. Ahlus Sunnah
menjaga telinga mereka dari ucapan-ucapan bathil ahlul bid’ah yang
terkadang terdengar selintas lalu, kemudian membuat was-was dan merusak.
Ahlus Sunnah menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan hawa nafsu mereka serta
memperingatkan ummat agar berhati-hati terhadap mereka, dan agar ummat
tidak menimba ilmu dari mereka. Imam asy-Syathibi (wafat th. 790 H)
rahimahullah menjelaskan bahwa dosa ahli bid’ah itu tidaklah satu tingkat,
namun tingkatannya berbeda-beda. Perbedaan itu datang melalui sisi yang
berbeda-beda pula, sebagaimana berikut: Dari sisi keberadaan pelaku bid’ah
itu sendiri, apakah ia sekedar bertaqlid atau seorang yang berijtihad.
Penjelasan Tentang Keharusan Menjauhi
Ahli Bid’ah
Imam asy-Syaukani rahimahullah (wafat
th. 1250 H) berkata: “Dalam ayat ini terdapat nasihat yang agung bagi orang
yang masih memperbolehkan untuk duduk bersama ahli bid’ah yang mereka itu
mengubah Kalam Allah, dan mempermainkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah sesuai
dengan hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan sesuai dengan bid’ah-bid’ah
mereka yang rusak. Maka sesungguhnya jika seseorang tidak dapat mengingkari
mereka dan tidak dapat mengubah keadaan mereka, maka minimalnya ia harus
meninggalkan duduk dengan mereka, dan yang demikian itu mudah baginya dan
tidak sulit. Bisa jadi para ahli bid’ah itu memanfaatkan hadirnya seseorang
di majelis mereka, meskipun ia dapat terhindar dari syubhat yang mereka
lontarkan, tetapi mereka dapat mengkaburkan dengan syubhat tersebut kepada
orang-orang awam, maka hadirnya seseorang dalam majelis ahli bid’ah
merupakan kerusakan yang lebih besar dari sekedar kerusakan berupa
mendengarkan kemunkaran. Dan kami telah melihat di majelis-majelis
terlaknat ini yang jumlahnya banyak sekali dan kami bangkit untuk membela
kebenaran, melawan kebathilan semampu kami, dan mencapai kepada puncak
kemampuan kami.
Nasihat Para Ulama Salaf Agar
Menjauhi Ahlul Bid’ah
Imam al-Barbahari (wafat th. 329 H)
rahimahullah juga mengatakan: “Jika engkau melihat suatu kebid’ahan pada
seseorang, jauhilah ia sebab yang ia sembunyikan darimu lebih banyak dari
apa yang ia perlihatkan kepadamu.” Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang akan terjadinya
perpecahan pada ummat Islam ini, timbulnya pengekor hawa nafsu dan bid’ah
di antara mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah
menjelaskan jalan menuju keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti Sunnah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnah para Sahabat Radhiyallahu
anhum. Oleh karena itu wajib bagi seorang Muslim apabila melihat seseorang
yang melakukan sesuatu berdasarkan hawa nafsu dan perbuatan bid’ah yang
diyakininya, maka janganlah memberi salam kepadanya dan apabila ia
mengucapkan salam janganlah dijawab sampai akhirnya ia mau meninggalkan
perbuatan bid’ahnya dan kembali kepada kebenaran.” Beliau rahimahullah juga
mengatakan: “Telah berlalu Sunnah para Sahabat, Tabi’in serta orang-orang
yang mengikutinya. Dan seluruh ulama Ahlus Sunnah telah sepakat untuk
memusuhi ahlul bid’ah dan menghajr (mengisolasi) mereka.”
Hukum Shalat Di Belakang Ahlul Bid’ah
Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110
H) rahimahullah pernah ditanya tentang boleh atau tidaknya shalat di
belakang ahlul bid’ah, beliau menjawab: “Shalatlah di belakangnya dan ia
yang menanggung dosa bid’ahnya.” Imam al-Bukhari memberikan bab tentang
perkataan Hasan al-Bashri dalam Shahiihnya (bab Imamatul Maftuun wal
Mubtadi’ dalam Kitaabul Aadzaan). Ketahuilah bahwasanya seseorang boleh
shalat bermakmum kepada orang yang tidak dia ketahui bahwa ia memiliki
kebid’ahan atau kefasikan berdasarkan kesepakatan para ulama. Ahli bid’ah
maupun pelaku maksiyat, pada asalnya shalatnya adalah sah. Apabila
seseorang shalat bermakmum kepadanya, shalatnya tidak menjadi batal. Namun
ada ulama yang menganggapnya makruh. Karena amar ma’ruf nahi munkar itu
wajib hukumnya. Di antaranya bahwa orang yang menampakkan kebid’ahan dan
kefasikannya, jangan sampai ia menjadi imam rutin (rawatib) bagi kaum
Muslimin. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Bahwa shalat di belakang
orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat
kami telah berkata: ‘Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram
akan tetapi makruh, demikian juga dimakruhkan shalat di belakang ahli
bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur
Ahlus Sunnah Menyuruh Yang Ma’ruf Dan
Mencegah Yang Munkar Menurut Ketentuan Syari’at
Definisi ma’ruf menurut penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu suatu nama yang mencakup apa-apa yang
dicintai Allah dari iman dan amal shalih. Adapun munkar yaitu, suatu nama
yang mencakup bagi setiap apa-apa yang tidak disukai Allah dan yang
dilarang-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Kalian adalah
sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah yang munkar.” “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian
melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak
mampu lakukanlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu juga, maka dengan
hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” Hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah
fardhu kifayah, dan pelakunya harus memenuhi ketentuan berikut ini:
Ahlus Sunnah Melaksanakan Ibadah
Bersama Ulil Amri
Ahlus Sunnah berbeda dengan Ahlul
Bid’ah. Ahlus Sunnah menegakkan ibadah bersama ulil amri, meskipun mereka
orang-orang fasiq. Dari zaman Sahabat Radhiyallahu anhum -dan seterusnya-,
ulil amri senantiasa memimpin ibadah, baik ibadah shalat, puasa, haji dan
yang lainnya. Ahlus Sunnah berbeda dengan firqah Khawarij yang mengkafirkan
penguasa fasiq (zhalim). Kita diperintahkan untuk taat kepada ulil amri
meskipun fasiq, selama kefasikannya tidak membawa dirinya kepada kekafiran
yang jelas. Ahlus Sunnah juga berbeda dengan Syi’ah yang mengatakan tidak
ada haji dan jihad bersama ulil amri, karena imam (sebagai ulil amri) yang
ditunggu belum datang. Ahlus Sunnah melaksanakan ibadah bersama ulil amri,
karena menyalahi ulil amri adalah maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga akan membawa kepada fitnah (kekacauan)
yang lebih besar. Adapun yang berkaitan dengan kejahatan, kezhaliman, dan
kefasikan ulil amri, maka mereka harus dinasihati dengan cara yang baik.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah selalu menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan
berjama’ah, sebagaimana yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur-an: “Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’.”
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menegakkan
Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri
Jihad adalah salah satu syi’ar Islam
yang terpenting dan merupakan puncak keagungannya. Kedudukan jihad dalam
agama sangat penting dan senantiasa tetap terjaga. Jihad fii sabiilillaah
tetap ada sampai hari Kiamat. Empat Imam Madzhab dan lainnya telah sepakat
bahwa jihad fii sabiilillaah hukumnya adalah fardhu kifayah, apabila
sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang
lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakan-nya maka berdosa semuanya. Para
ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:
Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan kafirin (orang-orang kafir) bertemu
dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang
mundur atau berbalik. Kedua: Apabila musuh menyerang negeri Muslim yang
aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar
memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan
anak-anak. Ketiga: Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa
orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalilnya adalah surat
at-Taubah ayat 38-39.
Agama Adalah Nasihat
Sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah
nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya: ‘Untuk
siapa, wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau
Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”. Syaikh Muhammad Hayat
as-Sindi (wafat th. 1163 H) rahimahullah berkata: “Nasihat kepada Allah
maksudnya adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada
Rabb-nya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Esa dalam Uluhiyyah-Nya,
dan bersih dari noda syirik, tandingan dan penyerupaan, serta apa-apa yang
tidak pantas bagi-Nya. Allah mempunyai sifat segala kesempurnaan yang
sesuai dengan keagungan-Nya, dan seorang muslim harus mengagungkan-Nya
dengan sebesar-besarnya pengagungan, dan mengamalkan amalan zhahir dan
batin yang Allah cintai dan menjauhi apa-apa yang Allah benci dan dia cinta
kepada apa-apa yang dicintai oleh Allah dan benci kepada apa-apa yang Allah
benci, dan dia meyakini apa-apa yang Allah jadikan sesuatu itu benar
sebagai suatu kebenaran, dan yang bathil itu sebagai suatu kebathilan.
Ahlus Sunnah Menasihati Pemerintah
Dengan Cara Yang Baik, Tidak Mengadakan Provokasi Dan Penghasutan
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada
penguasa meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan
provokasi baik dari atas mimbar, tempat khusus atau pun umum dan media
lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan Salafush Shalih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia
menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu
menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu
yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka
sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.”
Jika sudah ada dalil yang shahih, maka wajib bagi seorang Muslim untuk taat
kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hujjah itu
terdapat pada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih
dan tidak boleh menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan beralasan kepada perkataan ulama atau perbuatan satu kaum atau siapa
saja.
Ahlus Sunnah Taat Kepada Pemimpin
Kaum Muslimin
Ahlus Sunnah memandang bahwa maksiat
kepada seorang amir (pemimpin) yang muslim merupakan perbuatan maksiat
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam:“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia
telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia
telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang
muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku,
maka ia maksiat kepadaku.” Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi
al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H)
rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak
dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari
ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda
dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap
kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala.
Ahlus Sunnah Melarang Memberontak
Kepada Pemerintah (1)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang
kaum Muslimin keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin
apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak
termasuk amalan kufur . Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wajibnya taat kepada mereka dalam
hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran
yang nyata. ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullah
memanggil kami, lalu kami membai’at beliau. Di antara yang beliau tekankan
kepada kami adalah, agar kami selalu mendengar dan taat (kepada penguasa)
dalam keadaan suka maupun tidak suka dalam kesulitan atau pun kemudahan, bahkan
dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya mengalahkan kepentingan kami
sekalipun (tetap wajib taat). Dan tidak boleh kami mempersoalkan suatu
perkara yang berada di tangan ahlinya (penguasa). Selanjutnya beliau
bersabda: ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian
memiliki bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu.”
Ahlus Sunnah Melarang Memberontak
Kepada Pemerintah (2)
Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H)
berkata dalam kitabnya Talbiis Ibliis: “Khawarij yang pertama dan paling jelek
adalah Dzul Khuwaishirah.” Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata: “'Ali pernah
mengirim sepotong emas dalam kantong kulit yang telah disamak dari Yaman
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaiahi wa sallam, dan emas itu belum
dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
membaginya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid
al-Khail, dan ‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Maka, seseorang dari
sahabat mereka mengatakan: “Kami lebih berhak dengan (harta) ini dibanding
mereka.” Ucapan itu sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
beliau bersabda: “Apakah kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah
kepercayaan Dzat yang ada di langit (yakni Allah), wahyu turun kepadaku
dari langit di waktu pagi dan sore.” Kemudian datanglah seorang laki-laki
yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol
kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya dan tergulung sarungnya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah Menjaga
Ukhuwwah (Persaudaraan) Sesama Mukminin
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Barangsiapa menghilangkan satu kesulitan seorang Mukmin
dari kesulitan-kesulitan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesulitan darinya
dari kesulitan-kesulitan di hari Kiamat. Dan barangsiapa memudahkan urusan
seorang Mukmin, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.
Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi
aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya
selama hamba itu menolong saudaranya.” Ahlus Sunnah menganjurkan
tolong-menolong sesama kaum Muslimin dalam kebaikan dan taqwa berdasarkan
timbangan syari’at, bukan timbangan para pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Ahlus Sunnah Menyuruh Kaum Muslimin
untuk Sabar Ketika Mendapat Ujian Atau Cobaan
Sebagaimana yang disebutkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di
perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Sungguh menakjubkan urusan
seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu
tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia
mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan
jika ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya”
Begitu juga tentang orang-orang yang sabar lagi bersyukur kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberinya
petunjuk di dunia dan di akhirat. Menurut para ulama: “Bahwasanya iman itu
ada dua bagian, sebagian adalah sabar dan sebagian lagi adalah syukur.”
Para ulama salaf berkata: “Sabar adalah sebagian dari iman.”
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Mengajak
Manusia Kepada Akhlak Yang Mulia Dan Amal-Amal Yang Baik
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam diutus untuk mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah Azza
wa Jalla saja dan memperbaiki akhlak manusia. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
baik. ”Sesungguhnya antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat hubungan yang
sangat kuat sekali. Karena akhlak yang baik sebagai bukti dari keimanan dan
akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman, semakin sempurna akhlak
seorang Muslim berarti semakin kuat imannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang
akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara
kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.” Akhlak yang baik
adalah bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki
bobot yang berat dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan akhlak yang baik adalah salah
satu penyebab seseorang untuk dapat masuk Surga.
Persatuan Ummat Islam
Namun wajib diketahui bahwa persatuan
itu dibangun di atas ittiba’ (ketaatan) kepada As-Sunnah bukan di atas
bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan
mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah
golongan yang menyelesihi mereka meskipun golongan itu berada di atas
kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan adalah kembali
kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah
menyimpang dari jalan ash-Shirath al-Mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh
karena itu apabila terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allah
dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush
Shalih. Ahlus Sunnah menyuruh kepada persatuan ummat Islam atas dasar
Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan. Ahlus Sunnah
juga menyuruh ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh-musuh
mereka. Adapun kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan
bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah merupakan penyebab
timbulnya perpecahaan dan fitnah (pertikaian)
Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga
Sakinah
Persoalan pernikahan adalah persoalan
yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan
ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi, akan
tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang “luhur” dan “sentral”, yaitu rumah
tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan
martabat manusia dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Sentral, karena lembaga
ini merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya bani Adam, yang kelak
mempunyai peranan dan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di
bumi ini. Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci
terhadap persoalan pernikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih
pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagai-mana mendidik
anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah
tangga, sampai dalam proses nafaqah (pemberian nafkah) dan harta waris,
semua diatur oleh Islam secara rinci, detail dan gamblang. Islam telah
membahas masalah pernikahan secara panjang lebar. Mulai dari bagaimana
mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya di kala telah resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam
telah menunjukkan kiat-kiat dan tuntunannya. Begitu juga Islam mengajarkan
bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap
mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan Sunnah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Pernikahan Adalah Fitrah Bagi Manusia
Agama Islam adalah agama fitrah, dan
manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh
karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia untuk menghadapkan diri
mereka ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan
sehingga manusia tetap berjalan di atas fitrahnya. Pernikahan adalah fitrah
manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah
merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah
(naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka
ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah
hitam. Firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah, disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” An-Nikaah menurut bahasa Arab berarti adh-dhamm (menghimpun).
Kata ini dimutlakkan untuk akad atau persetubuhan. Adapun menurut syari’at,
Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah menurut syari’at adalah akad
perkawinan. Ketika kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu
bermakna demikian selagi tidak ada satu pun dalil yang memalingkan
darinya.” Al-Qadhi rahimahullaah mengatakan, “Yang paling sesuai dengan prinsip
kami bahwa pernikahan pada hakikatnya berkenaan dengan akad dan
persetubuhan sekaligus.
Pernikahan Yang Dilarang Dalam
Syari’at Islam
Allah tidak membiarkan para hamba-Nya
hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan
berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi
seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya. Nikah dengan wanita-wanita yang
diharamkan karena senasab atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan :
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Diharamkan atas kamu (menikahi)
ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu,
anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari
saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan
yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan
dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu
ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”
Tujuan Pernikahan Dalam Islam
Pernikahan adalah fitrah manusia,
maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah
(melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan
menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran,
kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah
menyimpang dan diharamkan oleh Islam. Sasaran utama dari disyari’atkannya
pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat
manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak
martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan
keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari
kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di
antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu
lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum
itu dapat mem-bentengi dirinya.” dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam
membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup
lagi menegakkan batas-batas Allah.
Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan
menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena
dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam
melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh
orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang
sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang
meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu
meninggalkannya atau mengizinkannya.” Disunnahkan melihat wajah wanita yang
akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk
menikahi wanita itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia
bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah!” Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang
seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya:“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk
melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” Imam at-Tirmidzi
rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini
bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi
tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”
Syarat, Rukun Dan Kewajiban Dalam
Aqad Nikah
Yang dikatakan wali adalah orang yang
paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan
wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh
juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara
seayah, kemudian paman. Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para
ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik,
ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam
pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara
ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak
wali.” Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali
bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa
depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi
wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya.
Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi
maka tidak sah pernikahannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka
nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil.
Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar
dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan
(penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”
Walimatul Urus (Pesta Pernikahan)
Walimatul 'urus (pesta pernikahan)
hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan
menyembelih seekor kambing” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya
mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang
miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah
sejelek-jelek hidangan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang
orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” Sebagai catatan penting, hendaknya yang
diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau bergaul melainkan dengan
orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang
bertaqwa” Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk
memenuhi undangan tersebut. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah,
maka datangilah!” Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang
yang diundang sedang berpuasa.
Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria
menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal,
sebagai berikut: Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya
pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu menikahi
wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah
‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya
Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku
berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” Kedua:
Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari
ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in). Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang
telah dimerdekakan) Abu Usaid. Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih
seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di
antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu
‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami
shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu
Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju
mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak.
Pelanggaran Seputar Pernikahan :
Pacaran. Tukar Cincin. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus
lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara, dan adat istiadat yang bertentangan
dengan Islam, maka wajib untuk diting-galkan dan dihilangkan. Sebagian
ummat Islam dalam cara pernikahan selalu meninggikan dan menyanjung adat
istiadat setempat, sehingga Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan. Padahal Sunnah Rasul
shallal-laahu ‘alaihi wa sallam merupakan cahaya dalam agama ini. Di antara
contoh upacara-upacara adat yang jelas-jelas syirik seperti upacara
menginjak telur, pasang sesaji, pasang janur, dan lainnya dengan tujuan
untuk mengusir jin dan menganggap supaya “berkah”. Ada pula yang
mengharuskan berpakaian adat yang membuat mempelai wanita dan para
pendampingnya memamerkan aurat, memamerkan rambut, bahu dan bagian tubuh
lainnya kepada hadirin. Perbuatan ini adalah maksiat. Ingat, setiap wanita
yang sudah baligh maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan kedua
telapak tangan. Ada juga ritual “sungkeman”, yaitu kedua mempelai berlutut
menghadap kepada orang tua mereka untuk meminta maaf dan memohon restu yang
biasanya dilakukan seusai akad nikah. Padahal, perbuatan ini mengajarkan
orang untuk tunduk dan sujud kepada selain Allah, bahkan dapat
menjerumuskan seseorang kepada kesyirikan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengajarkan hormat kepada orang tua, akan tetapi bukan dengan cara
ruku’, berlutut atau bersujud.
Pelanggaran Seputar Pernikahan :
Ikhtilat, Musik, Meninggalkan Shalat Wajib
Ikhtilath adalah berbaurnya laki-laki
dan wanita sehingga terjadi pandang-memandang, sentuh menyentuh, jabat
tangan antara laki-laki dan wanita. Padahal, laki-laki dan wanita
diperintahkan untuk menunduk-kan pandangan, berdasarkan firman Allah:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara ke-maluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.’” Begitu pun menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita yang
bukan mahram adalah diharamkan dalam syari’at Islam, sebagaimana Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak menjabat
tangan wanita. Sesungguhnya ucapanku kepada seratus wanita sama halnya
dengan ucapanku kepada seorang wanita.” Dalam hadits yang lain, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, ditusuknya kepala salah
seorang di antara kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada
dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” Menurut syari’at Islam,
antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah sehingga apa yang kita
sebutkan di atas dapat dihindari semuanya. Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah
berkata, “Di antara perkara munkar yang diadakan manusia pada zaman ini
adalah meletakkan pelaminan pengantin di tengah-tengah kaum wanita dan
menyandingkan suaminya di sisinya, dengan dihadiri wanita-wanita yang
berdandan dan bersolek.
Rumah Tangga Yang Ideal
Menurut ajaran Islam, rumah tangga
yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketentraman jiwa),
mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman.
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” Dalam rumah tangga yang Islami,
seorang suami atau isteri harus saling memahami kekurangan dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajiban serta memahami tugas
dan fungsinya masing-masing, serta melaksanakan tugasnya itu dengan penuh
tanggung jawab, ikhlas serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah
Ta’ala. Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang
mendapat keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan. Akan
tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan
kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia,
maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram dan bahagia
mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.
Hak Dan Kewajiban Suami Isteri
Menurut Syari’at Islam Yang Mulia
Suami isteri yang belum dikaruniai
anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat secara medis yang dibenarkan menurut
syari’at, juga menkonsumsi obat-obat, makanan dan minuman yang menyuburkan.
Juga dengan meruqyah diri sendiri dengan ruqyah yang diajarkan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan terus menerus istighfar (memohon ampun)
kepada Allah atas segala dosa. Serta senantiasa berdo’a kepada Allah di tempat
dan waktu yang dikabulkan. Seperti ketika thawaf di Ka’bah, ketika berada
di Shafa dan Marwah, pada waktu sa’i, ketik awuquf di Arafah, berdo’a di
sepertiga malam yang akhir, ketika sedang berpuasa, ketika safar, dan
lainnya. Apabila sudah berdo’a namun belum terkabul juga, maka ingatlah
bahwa semua itu ada hikmahnya. Do’a seorang muslim tidaklah sia-sia dan
Insya Allah akan menjadi simpanannya di akhirat kelak. Janganlah
sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya ia
senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan baginya,
maka itulah yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang kepada
hamba-hamba-Nya, Maha-bijaksana dan Mahaadil. Bagi yang belum dikaruniai
anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk berbuat banyak kebaikan yang
sesuai dengan syari’at, setiap hari membaca Al-Qur-an dan menghafalnya,
gunakan waktu untuk membaca buku-buku tafsir dan buku-buku lain yang
bermanfaat, berusaha membantu keluarga, kerabat ter-dekat,
tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin, mengasuh anak yatim, dan
sebagainya.
Engkau Memberinya Makan Apabila
Engkau Makan
Memberi makan merupakan istilah lain
dari memberi nafkah. Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika sang suami
akan melaksanakan ‘aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, seperti yang
tersurat dalam Al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 233. Allah berfirman
"…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara
yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” Bahkan
ketika terjadi perceraian, suami masih berkewajiban memberikan nafkah
kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddahnya dan nafkah untuk
mengurus anak-anaknya. Barangsiapa yang hidupnya pas-pasan, dia wajib
memberikan nafkah menurut kemampuannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
"...Dan orang yang terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang
melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” Ayat yang mulia ini
menunjukkan kewajiban seseorang untuk memberikan nafkah, meskipun ia dalam
keadaan serba kekurangan, tentunya hal ini disesuaikan dengan kadar rizki
yang telah Allah berikan kepada dirinya. Berdasarkan ayat ini pula, memberikan
nafkah kepada isteri hukumnya adalah wajib. Sehingga dalam mencari nafkah,
seseorang tidak boleh bermalas-malasan dan tidak boleh menggantungkan
hidupnya kepada orang lain.
Engkau Memberinya Pakaian Apabila
Engkau Berpakaian
Seorang suami haruslah memberikan
pakaian kepada isterinya sebagaimana ia berpakaian. Apabila ia menutup
aurat, maka isterinya pun harus menutup aurat. Hal ini menunjukkan
kewajiban setiap suami maupun isteri untuk menutup aurat. Bagi laki-laki
batas auratnya adalah dari pusar hingga ke lutut (termasuk paha).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda. "Paha itu aurat.”.
Sedangkan bagi wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak
tangannya. Termasuk aurat bagi wanita adalah rambut dan betisnya. Jika
auratnya sampai terlihat oleh selain mahramnya, maka ia telah berbuat dosa,
termasuk dosa bagi suaminya karena telah melalaikan kewajiban ini.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada dua golongan
penghuni Neraka, yang belum pernah aku lihat keduanya, yaitu suatu kaum
yang memegang cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia, dan
wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, ia berjalan
berlenggak-lenggok dan kepalanya dicondongkan seperti punuk unta yang
condong. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aroma Surga,
padahal sesungguhnya aroma Surga itu tercium sejauh perjalanan begini dan
begini.” Beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam berpakaian
(busana) muslimah yang sesuai dengan syari’at Islam, yaitu: Menutupi Seluruh
Tubuh, Kecuali Wajah Dan Kedua Telapak Tangan.
Jangan Memukul Wajahnya. Janganlah
Sekali-Kali Engkau Menjelekkan Isteri
Di antara hak yang harus dipenuhi
seorang suami kepada isterinya ialah tidak memukul wajah isterinya, meski
terjadi perselisihan yang sangat dahsyat, misalnya karena si isteri telah
berbuat durhaka kepada suaminya. Memukul wajah sang isteri adalah haram
hukumnya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla. "Laki-laki (suami)
itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suami-nya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah
kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur
(pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh,
Allah Mahatinggi, Mahabesar.” Dalam ayat ini, Allah membolehkan seorang
suami memukul isterinya. Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dengan
sungguh-sungguh tentang bolehnya memukul adalah harus terpenuhinya
kaidah-kaidah sebagai berikut, yaitu: Setelah dinasihati, dipisahkan tempat
tidurnya, namun tetap tidak mau kembali kepada syari’at Islam. Tidak
diperbolehkan memukul wajahnya.
Mengajarkan Ilmu Agama. Menasehati
Isteri Dengan Cara Yang Baik
Di antara hak seorang isteri yang
harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam
perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman. "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka
kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Menjaga keluarga dari api
Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada Allah
‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan
kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para
Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai
berikut: Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah agama
kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.” Qatadah
rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian untuk taat kepada Allah!
Cegah mereka dari berbuat maksiyat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah
Allah dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiyat,
maka cegah dan laranglah mereka!”
Suami Harus Dapat Berlaku Adil
Terhadap Isterinya, Jika Ia Mempunyai Isteri Lebih Dari Satu.
Kecintaan suami terhadap isterinya
dan kecintaan isteri terhadap suaminya tidak boleh menjadikan keduanya
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan menghalalkan apa yang telah
Allah haramkan, atau melakukan dosa-dosa dan maksiat karena ingin mendapat
keridhaan masing-masing dari keduanya atas yang lain. Allah Ta’ala pernah
menegur Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Dia berfirman.
"Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah
bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu
membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha
Mengetahui, Mahabijak-sana.” Di dalam ash-Shahiihain dari hadits ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah minum madu di tempat Zainab binti Jahsyi dan tinggal bersamanya. Aku
dan Hafshah bersepakat untuk mengatakan kepada beliau apabila beliau
menemui salah seorang dari kami, ‘Apakah engkau telah memakan maghafir?
Sungguh aku mendapati darimu aroma maghafir.’ Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, tetapi tadi aku minum madu di rumah
Zainab binti Jahsyi dan aku tidak akan mengulanginya dan aku bersumpah.
Jangan engkau beberkan hal ini kepada seorang pun.’ Maka turunlah ayat ini.
Ketaatan Isteri Kepada Suaminya
Setelah wali atau orang tua sang
isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada suami
menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada
Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Seandainya aku boleh menyuruh
seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita
sujud kepada suaminya.” Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadits
tersebut di atas mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas
ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata: “Seandainya aku boleh...,”
menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya
haram. Sang isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf
(mengandung kebaikan dalam agama). Misalnya ketika diajak untuk jima’
(bersetubuh), diperintahkan untuk shalat, berpuasa, shadaqah, mengenakan
busana muslimah (jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu, dan
bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan
syari’at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan Surga bagi dirinya,
seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila seorang
isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan,
menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya,
niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.”
Isteri Harus Banyak Bersyukur Dan
Tidak Banyak Menuntut
Seorang isteri diperintahkan untuk
bersyukur kepada suaminya yang telah memberikan nafkah lahir dan batin
kepadanya. Karena dengan syukurnya isteri kepada suaminya dan tidak banyak
menuntut, maka rumah tangga akan bahagia. Isteri yang tidak bersyukur
kepada suaminya dan banyak menuntut merupakan pertanda isteri tidak baik
dan tidak merasa cukup dengan rizki yang Allah karuniakan kepadanya.
Perintah syukur ini sangat ditekankan dalam Islam, bahkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengancam dengan masuk Neraka bagi para wanita yang tidak
bersyukur kepada suaminya, dan pada hari Kiamat Allah Ta’ala pun tidak akan
melihat seorang wanita yang banyak menuntut kepada suaminya dan tidak
bersyukur kepadanya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Diperlihatkan Neraka kepadaku dan aku melihat kebanyakan penghuninya
adalah kaum wanita, mereka kufur.” Para Shahabat bertanya: “Apakah
disebabkan kufurnya mereka kepada Allah?” Rasul menjawab: “(Tidak), mereka
kufur kepada suaminya dan mereka kufur kepada kebaikan. Seandainya seorang
suami dari kalian berbuat kebaikan kepada isterinya selama setahun,
kemudian isterinya melihat sesuatu yang jelek pada diri suaminya, maka dia
mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu sekalipun.’”
Isteri Diperintahkan Untuk Tinggal Di
Rumah Dan Mengurus Rumah Tangga Dengan Baik
Perbuatan ihsan (baik) seorang suami
harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik.
Isteri harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus
anak-anaknya menurut syari’at Islam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla telah
mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah
tangganya, mengurus anak-anaknya. Menurut ajaran Islam yang mulia, isteri
tidak dituntut atau tidak berkewajiban ikut keluar rumah mencari nafkah,
akan tetapi ia justru diperintahkan tinggal di rumah guna menunaikan
kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Isu emansipasi yang
digembar-gemborkan telah menjadikan sebagian besar kaum wanita terpengaruh
untuk keluar rumah dan melalaikan kewajiban yang paling utama sebagai
seorang isteri dan ibu rumah tangga. Bahkan, mereka berani berdalih dengan
tidak cukupnya penghasilan yang diperoleh suaminya, meskipun dia telah
memiliki rumah atau kendaraan atau harta lainnya yang banyak. Hal ini menjadi
sebab timbulnya malapetaka di dalam rumah tangga,
Isteri Harus Berhias Dan Mempercantik
Diri Untuk Suami. Seorang Istri Tidak Boleh Menyakiti Suami
Seorang isteri tidak boleh meremehkan
kebersihan dirinya, sebab kebersihan merupakan bagian dari iman. Dia harus
selalu mengikuti sunnah, seperti membersihkan dirinya, mandi, memakai
minyak wangi dan merawat dirinya agar ia selalu berpenampilan bersih dan
harum di hadapan suaminya, hal ini menyebabkan terus berseminya cinta kasih
di antara keduanya dan kehidupan ini akan terasa nikmat. Berhias untuk
suami adalah dianjurkan selagi dalam batas-batas yang tidak dilarang oleh
syari’at, seperti mencukur alis, menyambung rambut, mentato tubuhnya dan
lainnya. Seorang isteri ideal selalu nampak ceria, lemah lembut dan
menyenangkan suami. Jika suami pulang ke rumah setelah seharian bekerja,
maka ia mendapatkan sesuatu yang dapat menenangkan dan menghibur hatinya.
Jika suami mendapati isteri yang bersolek dan ceria menyambut
kedatangannya, maka ia telah mendapatkan ketenangan yang hakiki dari
isterinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
isteri adalah yang menyenangkan jika engkau melihatnya, taat jika engkau
menyuruhnya, serta menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.
Nasihat Untuk Suami Isteri
Ketika Allah Ta’ala menyebutkan
tentang orang-orang yang bahagia, yang pertama disebutkan adalah
orang-orang yang bershadaqah. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang bersedekah, baik laki-laki maupun perempuan, dan
meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan
(balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan bagi wanita untuk banyak
shadaqah, karena kaum wanita paling banyak menjadi penghuni Neraka. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Wahai kaum wanita,
bershadaqahlah! Meskipun dengan perhiasan kalian. Sesungguhnya pada hari
Kiamat kalian adalah penghuni Neraka yang paling banyak.” Juga sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. “Wahai wanita, bersedekahlah dan
perbanyaklah beristighfar (minta ampun kepada Allah) karena sungguh aku
melihat kalian sebagai penghuni Neraka yang paling banyak. Sesungguhnya
kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari kebaikan. Belum pernah aku melihat
orang yang kurang akal dan agama dapat mengalahkan laki-laki yang ber-akal
daripada kalian. Adapun kurangnya akal karena persaksian dua orang wanita
setara dengan persaksian seorang laki-laki, inilah kekurangan akalnya. Dan
seorang wanita berdiam diri selama beberapa malam dengan tidak shalat serta
tidak berpuasa di bulan Ramadhan (karena haidh), inilah kekurangan dalam
agamanya.”
Nasihat Khusus Untuk Suami Dan Isteri
Apa yang memberatkanmu -wahai hamba
Allah- untuk tersenyum di hadapan isterimu ketika engkau masuk menemuinya,
agar engkau memperoleh ganjaran dari Allah Ta’ala?!! Apa yang membebanimu
untuk bermuka cerah ketika engkau melihat isteri dan anak-anakmu?!!! Engkau
akan dapat pahala!! Apa sulitnya apabila engkau masuk ke rumah sambil mengucapkan
salam secara sempurna: “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh”,
agar engkau memperoleh tiga puluh kebaikan?!! Apa yang kira-kira akan
menimpamu jika engkau berkata kepada isterimu dengan perkataan yang baik,
sehingga dia meridhaimu, sekalipun dalam perkataanmu tersebut agak sedikit
dipaksakan?!! Apakah menyusahkanmu -wahai hamba Allah- jika engkau berdo’a:
”Ya Allah. Perbaikilah istriku, dan curahkan keberkahan padanya.” Tahukah
engkau bahwa ucapan yang lembut merupakan shadaqah ?!! Apa yang memberatkanmu
untuk membawa hadiah (oleh-oleh) untuk isteri dan anak-anakmu, ketika
engkau pulang dari safar? Luangkan waktumu untuk menemani isterimu membaca
Al-Qur-an, membaca buku-buku yang bermanfaat, dan mendatangi majelis ilmu
(majelis ta’lim) yang mengajarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman
para Shahabat.
Ketika Si Buah Hati Hadir
Jumhur ulama berpegang dengan hadits
‘Aisyah bahwa ‘aqiqah anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing dan
‘aqiqah anak perempuan adalah dengan seekor kambing. Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani rahimahullaah setelah membawakan kedua hadits di atas beserta
hadits-hadits lainnya, beliau berkata, “Semua hadits yang semakna dengan
ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara anak laki-laki
dan anak perempuan (dalam masalah ‘aqiqah).” Beliau melanjutkan, “Meskipun
riwayat Abu Dawud adalah tsabit (shahih), akan tetapi tidak menafikan
hadits-hadits shahih lainnya yang menentukan dua ekor kambing bagi anak
laki-laki. Maksud hadits itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya ber’aqiqah
dengan seekor kambing bagi anak laki-laki...” Syaikh Abu Muhammad ‘Isham
bin Mar’i berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bolehnya ber’aqiqah dengan
seekor kambing bagi anak laki-laki, walaupun sunnahnya adalah dengan dua
ekor kambing sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sunnah ini
hanya berlaku bagi orang tua yang tidak mampu melakukannya, karena tidak
semua orang tua mampu meng’aqiqahi anak laki-lakinya dengan dua ekor
kam-bing. Inilah pendapat wasath (pertengahan) yang meng-himpun berbagai
dalil.” Jenis kelamin kambing ‘aqiqah adalah boleh jantan atau pun betina.
Hal ini berdasarkan hadits yang di-riwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2835),
at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya.
Kewajiban Mendidik Anak
Setiap rumah tangga haruslah memiliki
keinginan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Sehingga setiap anggota keluarga harus memiliki peran dan menjalankan
amanah tersebut. Sang suami sebagai kepala rumah tangga haruslah memberikan
teladan yang baik dalam mengemban tanggung jawabnya karena Allah ‘Azza wa
Jalla akan mempertanyakannya di hari Akhir kelak. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:“Kamu sekalian adalah pemimpin,
dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang
Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya,
dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Kamu
sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta
pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” Juga sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin
tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia pelihara ataukah ia sia-siakan,
hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.” Seorang suami harus berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang shalih, dengan mengkaji
ilmu-ilmu agama, memahaminya serta mengamalkan apa-apa yang diperintahkan
oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, serta menjauhkan diri dari setiap
yang dilarang oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Menggapai Ridha Allah Dengan Berbakti
Kepada Orang Tua
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan
ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap
kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah
gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati
keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus
mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang
dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).
Sedangkan 'uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak
terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan
berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata dengan kalimat
yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain.
Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul
dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh
untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan.
Kedudukan Wanita Dalam Islam
Sesungguhnya nikah itu bukan
kenikmatan jasadi (fisik) semata, akan tetapi dibalik itu terdapat
ketentraman dan kedamaian jiwa, di samping kenikmatan mempunyai anak. Dan
anak di dalam Islam tidak seperti anak dalam sistem-sistem kehidupan buatan
lainnya, karena kedua ibu bapaknya mempunyai hak atas anak. Apabila seorang
wanita dikarunia beberapa anak, lalu ia dididik dengan sebaik-baiknya, maka
mereka menjadi buah hati dan penghibur baginya. Maka pilihan mana yang
terbaik bagi wanita; hidup di bawah lindungan suami yang melindungi,
mendampingi dan memperhatikannya serta dikaruniai anak-anak yang apabila
dididik dengan baik akan menjadi buah dan penghibur hati baginya, atau
memilih hidup sebatang kara dengan nasib tiada menentu lagi
terpontang-panting kesana-kemari?!. Sesungguhnya pandangan Islam adalah
pandangan yang adil lagi seimbang. Islam memandang kepada wanita secara
keseluruhan dengan adil, dan pandangan yang adil itu mengatakan bahwa
sesungguhnya memandang kepada wanita secara keseluruhan dengan mata
keadilan.
Hukum Shalat Jum'at, Apa Yang Harus
Dilakukan Oleh Orang Yang Tertinggal Shalat Jum'at?
Ini benar, hanya saja seperti yang
telah diketahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan praktek
shalat Jum’at dengan yang lainnya, karena telah tetap di dalam satu riwayat
bahwa shalat berjama’ah didirikan di beberapa masjid di Madinah. Di antara
dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Mu’adz bin Jabal
Radhiyallahu anhu melakukan shalat ‘Isya di belakang Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, lalu beliau pergi kepada kaumnya dan memimpin shalat
mereka, shalat itu sunnah baginya dan wajib bagi kaumnya, adapun shalat
Jum’at sama sekali tidak berbilang tempat pelaksanaannya waktu itu, bahkan
jama’ah masjid yang lainnya datang ke masjid beliau Shallalllahu 'alaihi wa
sallam dan melaksanakan shalat Jum’at di sana. Sikap Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang membedakan praktek kedua shalat tersebut sama sekali
tidaklah sia-sia, bahkan merupakan hal yang perlu dicermati dengan seksama,
hal tersebut walaupun tidak menunjukkan hukum atas syarat yang telah
dibantah oleh penulis dalam penafiannya, maka sekurang-kurangnya hal ini
merupakan sebuah amal yang menyelisihi as-Sunnah bila terdapat beberapa
tempat pelaksanaan shalat Jum’at jika tidak bersifat darurat. Jika demikian
adanya, maka hendaknya diusahakan agar tidak memperbanyak tempat pelaksanaan
shalat Jum’at pada satu wilayah, dan hendaklah berusaha semaksimal mungkin
untuk menyatukan jama’ah sebagai perwujudan mengikuti Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dan para Sahabat yang ada setelahnya.
Hukum Shalat Jum'at Pada Hari Raya,
Hukum Mandi Untuk Shalat Jum'at
Hadits-hadits shahih yang
diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain dan yang lainnya dari jalan sejumlah
Sahabat memastikan bahwa mandi pada hari Jum’at wajib hukumnya, akan tetapi
ada pula riwayat yang menunjukkan tidak wajib, sebagaimana diriwayatkan
oleh Ash-haabus Sunan, yang masing-masing riwayat di dalamnya saling
menguatkan. Maka kewajiban yang diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain wajib
ditakwil dengan Ta-kiidul Masyru’iyyah, (peribadatan yang sangat dianjurkan
untuk dilakukan-pent.) dengan cara penggabungan berbagai hadits, walaupun
kata wajib tidak dapat dipalingkan dari makna yang sebenarnya, kecuali jika
ada dalil yang memalingkannya sebagaimana yang kami ungkapkan, akan tetapi
menggabungkan di antara hadits lebih didahulukan dari pada cara tarjih
(mengambil dalil yang paling kuat dan mengamalkannya-pent.), walaupun harus
dengan sudut pandang yang jauh. Dan ketahuilah sesungguhnya hadits: “Jika
salah satu di antara kalian akan datang untuk melakukan shalat Jum’at, maka
mandilah.” Menunjukkan bahwa mandi tersebut untuk shalat Jum’at, dan
barangsiapa melakukannya untuk tujuan lain, maka dia belum mengamalkan
sesuatu yang disyari’atkan di dalam hadits ini. Sama saja dia melakukannya
di awal hari, pertengahan atau dipenghujungnya. Ungkapan di atas diperkuat
oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan
yang lainnya secara Marfu.
Hukum Khutbah Jum'at, Sifat Khutbah
Jum'at Dan Hal-Hal Yang Patut Diketahui Di Dalamnya
Sungguh telah diriwayatkan dalam
riwayat yang shahih bahwa Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum’at sesuai dengan yang telah disyari’atkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangkaian shalat Jum’at. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memerintahkan di dalam Kitab-Nya yang mulia untuk bersegera di
dalam mengingat-Nya, sedangkan khutbah termasuk dari mengingat Allah dan
jika khutbah tersebut tidak sesuai dengan maksud untuk mengingat Allah,
maka menjadi sunnah hukumnya dan bukan wajib. Adapun jika khutbah dikatakan
sebagai syarat shalat Jum’at, maka tidak demikian pengertiannya, karena
kami belum pernah mendapatkan satu huruf pun di dalam as-Sunnah
al-Muthahharah atau sebuah ungkapan yang mengandung arti wajibnya khutbah,
apalagi syarat. Yang ada hanyalah perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dikisahkan bahwa beliau pernah berkhutbah, dan di dalam
khutbahnya itu beliau mengatakan ini dan itu, juga membaca surat ini dan
itu. Maksimal semua riwayat itu menunjukkan bahwa khutbah sebelum shalat
Jum’at hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib apalagi jika dikatakan
sebagai syarat bagi shalat Jum’at. Untuk lebih jelas lagi bahwa prilaku
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilaksanakan secara
terus-menerus tidak berarti wajib akan tetapi sunnah yang diperkuat
ditekankan (dianjurkan).
Pendeknya Shalat Jum'at Dan
Panjangnya Shalat Jum'at, Shalat Tahiyatul Masjid Ketika Khatib Khutbah
Jika ada kebutuhan mendadak atau ada
seseorang yang bertanya, maka beliau menghentikan khutbahnya atau menjawab
pertanyaan tersebut, kemudian melanjutkan khutbah kembali. Demikian pula
jika beliau melihat seseorang yang fakir atau yang memiliki kebutuhan, maka
beliau memerintahkan untuk memberikan shadaqah kepadanya dan memberi
moti-fasi orang lain untuk melakukannya. Adalah beliau jika menyebutkan
Nama Allah, maka ia akan memberikan isyarat dengan jari telunjuknya. Saya
(al-Albani) katakan, “Seolah-olah masalah ini mengisyaratkan kepada hadits
‘Ammarah bin Ruaibah, bahwa ia melihat Bisyir bin Marwan mengangkat kedua
tanganya di atas mimbar di saat khutbah, lalu ‘Ammarah berkata kepadanya,
‘Semoga Allah menjelekkan kedua tanganmu ini, karena saya telah melihat
Rasulullah tidak menambah atas apa yang diucapkannya selain memberikan
isyarat dengan telunjuk.’ Diriwayatkan oleh Muslim (III/13) dan selainnya.
Riwayat ini memiliki penguat dari hadits Sahl bin Sa’d yang semakna, ia
berkata, ‘Dan Nabi pun mengisyaratkan dengan jari telunjuknya sambil
melekatkan dari tengah dengan ibu jari.’ Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan
sanad yang hasan. Kedua riwayat di atas juga dikeluarkan dalam kitab
al-Irwaa’ (III/77).” Jika para jama’ah telah berkumpul, maka dia akan
keluar untuk menyampaikan khutbah, tanpa didampingi seorang penjaga dan
pembantu, tidak juga termasuk ke dalam kebiasaan beliau memakai kain tutup
kepala, jubah hijau atau pakaian yang berwarna hitam.
Shalat Sunnah Qobliyah Jum'at..?
Sebagian orang beranggapan, bahwa
shalat qabliyah (sebelum) Jum’at ada dan berasal dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebiasaan ini dilakukan setelah adzan
pertama dikumandangkan, yaitu ketika khatib belum naik mimbar. Ironisnya,
shalat ini dikomando oleh muadzin dengan menyerukan shalat sunnah Jum’at.
Benarkah perbuatan ini berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa pada
hari Jum’at, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu keluar dari
rumahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan naik ke mimbar. Setelah muadzin
mengumandangkan adzan lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah.
Andaikan shalat sunnah sebelum Jum’at benar adanya, niscaya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang pertama yang melakukannya serta
memerintahkan kepada para sahabat Radhiyallahu anhum setelah adzan
dikumandangkan. Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada
adzan selain ketika khatib di atas mimbar. Imam Syafi’i rahimahullah
berkata,”Dan aku menyukai satu adzan dari seorang muadzin ketika (khatib)
di atas mimbar, bukan banyak muadzin,” kemudian beliau menyebutkan dari As
Saib bin Yazid, bahwa pada mulanya adzan pada hari Jum’at dilaksanakan
ketika seorang imam duduk di atas mimbar. (Ini terjadi) pada masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar.
Apakah Setelah Shalat Jum’at Harus
Shalat Dhuhur? Mandi Jum'at, Udzur Meninggalkan Shalat Jum'at
Apabila seseorang telah melakukan
shalat jum’at, padahal ia adalah kewajiban yang terkait dengan waktu yaitu
waktu dhuhur, maka ia tidak perlu lagi shalat dhuhur. Shalat dhuhur setelah
shalat jum’at adalah perbuatan bid’ah, karena ia tidak bersumber dari
Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu
wajib dilarang. Sampai meskipun jama’ah yang mengadakan jum’atan ada
beberapa tempat maka tetap tidak diperintahkan untuk melakukan shalat
dhuhur setelah shalat jum’at, bahkan adalah bid’ah yang munkar. Karena
Allah tidak memerintahkan dalam satu waktu kecuali sekali shalat yaitu
shalat jum’at yang telah dilaksanakannya. Adapun alasan orang yang
memerintahkan hal itu karena menurut mereka banyaknya tempat melakukan
shalat jum’at adalah tidak boleh. Dan jika tempatnya banyak maka yang
bernilai jum’at adalah masjid yang paling pertama melakukannya, sedangkan
untuk mengetahui mana yang paling pertama adalah sulit sehingga hal ini
menyebabkan batalnya semua orang yang melakukan shalat jum’at, sehingga
mereka harus melakukan shalat dhuhur setelah itu.
Kategori Fiqih : Shalat Jum'at
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata,”Aku menyukai imam berkhutbah dengan (membaca) hamdallah, shalawat
atas RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, nasihat, bacaan (ayat Al
Qur’an), dan tidak lebih dari itu.” Syaikh Masyhur Hasan Salman
berkata,”Sebagian orang yang mulia telah berkata: Khutbah yang paling tepat
adalah yang sesuai dengan zaman, tempat, dan keadaan. Ketika ‘Idul Fithri,
khathib menjelaskan hukum-hukum zakat fithrah. Di daerah yang penduduknya
berselisih, menjelaskan persatuan. Atau orang-orang malas menuntut ilmu,
khathib mendorong mereka menuntut ilmu. Orang tua-orang tua membiarkan
pendidikan anak-anak, khathib mendorong mereka untuk itu, dan lain-lain
yang sesuai dengan keadaan orang banyak, selaras dengan pendapat
(kebutuhan) mereka, dan sesuai tabi’at mereka. Seseorang hendaklah
berkhutbah sesuai dengan tempat dan keadaannya, memperhatikan keadaan
manusia, memperhatikan perbuatan mereka, dan kejadian-kejadian setiap
pekan. Kemudian, ketika naik mimbar, melarang mereka dari (kemungkaran) dan
mengingatkan mereka terhadap kejadian-kejadian itu. Semoga mereka
mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus.
Jum'at : Sifat Khutbah Jum'at
Sesungguhnya khutbah Jum’at merupakan
kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan membimbing manusia menuju
keridhaan Allah. Hal itu, jika khutbah dimanfaatkan sebaik-baiknya, dengan
menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah agama
mereka, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik
serta tidak membosankan, sebagaimana dicontohkan telah Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah,
bahwa khutbah Jum’at memiliki kedudukan yang agung dalam syari’at Islam,
sehingga sepantasnya seorang khatib melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya. Seorang khathib harus memahami aqidah yang shahihah
(benar), sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan orang lain. (Seorang
khatib seharusnya) memahami fiqih, sehingga mampu membimbing manusia dengan
cahaya syari’at menuju jalan yang lurus. (Seorang khatib harus)
memperhatikan keadaan masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari
penyimpangan-penyimpangan dan mendorong kepada ketaatan. Seorang khathib
sepantasnya juga seorang yang shalih, mengamalkan ilmunya, tidak melanggar
larangan, sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar.
Jum'at : Jumlah Dalam Menegakkan
Shalat Jum'at, Kapan Dianggap Mendapatkan Shalat Jum'at
Telah jelas dari pembahasan di atas,
bahwa menghadiri khutbah bukan merupakan syarat Jum’at, sehingga seseorang
yang mendapatkan shalat Jum’at bersama Imam, berarti telah mendapatkan
shalat Jum’at sempurna. Lalu kapan seseorang dikatakan telah mendapatkan
shalat Jum’at bersama imam? Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih
pendapat. Pertama : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at, bila mendapatkan
satu raka’at bersama Imam. Demikian pendapat jumhur Ulama, berdalil dengan
hadits Abu Hurairah :"Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari
shalat Jum’at, maka ia mendapatkannya". Pendapat ini dirajihkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Kedua : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at,
selama mendapatkan shalat bersama Imam walaupun hanya sedikit, seperti
dalam tasyahud saja. Demikian pendapat madzhab Abu Hanifah, An Nakha’i dan
Hamad; berdalil dengan Qiyas terhadap shalat musafir yang mendapatkan Imam
muqim, maka musafir tersebut -walaupun hanya mendapat sedikit dari shalat Imam
muqim tersebut- maka ia wajib menyempurnakan shalat dengan sempurna.
Jum'at : Hukum Dan Waktu Shalat
Jum'at, Siapakah Yang Diwajibkan Shalat Jum'at
Hari Jum’at merupakan hari yang
penting bagi kaum muslimin. Hari yang memiliki kekhususan dan keistimewaan
yang tidak dimiliki hari-hari lain. Allah memerintahkan kaum muslimin untuk
berkumpul pada hari itu untuk menunaikan ibadah shalat di masjid tempat
berkumpulnya penduduk. Disana kaum muslimin saling berkumpul dan bersatu,
sehingga dapat terbentuk ikatan kecintaan, persaudaraan dan persatuan.
Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan berkata,”Hari Jum’at merupakan hari
terbaik dan termulia, yang Allah khusukan untuk umat Islam. Pada hari itu
Allah mensyari’atkan kaum muslimin untuk berkumpul. Diantara hikmahnya,
yaitu menjadi sarana perkenalan, persatuan, saling mencintai dan kerjasama
diantara mereka. Jadilah hari Jum’at sebagai hari raya pekanan dan menjadi
hari terbaik.” Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata,”Jum’at
-dengan didhammahkan huruf jim-nya dan disukunkan huruf mim-nya- berasal
dari kata al jam’u. Dinamakan demikian, karena Allah telah mengumpulkan
beberapa perkara kauniyah dan syar’iyah yang tidak ada dihari lainnya.
Terdapat padanya penyempurnaan penciptaan langit dan bumi, penciptaan Adam
dan terjadinya hari kiamat dan kebangkitan manusia. Juga pada hari itu
manusiapun berkumpul.”
Jum'at : Hakikat, Keutamaan Dan
Syari'at
Kata (الْجُمُْعَة) dalam bahasa Arab berasal dari kata (جَمَعَ الشَّيْءَ) yang berarti mengumpulkan sesuatu yang terpisah
menjadi satu. Dan kata (الْجَمْعُ)
bisa bermakna jama’ah, yakni kumpulan manusia. Dan Muzdalifah disebut (الْجَمْعُ) karena manusia (orang-orang yang
berhaji) berkumpul di tempat tersebut. Demikian pula hari dikumpulkannya
manusia pada hari kiamat disebut (يَوْم الْجَمْعِ). Semua yang berasal dari kata ini,
kembali kepada makna “mengumpulkan” atau “berkumpul”. Dan hari Jum’at –yang
sebelumnya oleh orang-orang Arab disebut ‘Arubah- dinamakan (الْجُمُعَة) karena manusia (kaum muslimin)
berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at. Kata (الْجُمُعَةُ) juga sering digunakan untuk
mengungkapkan kata shalat yang dilakukan pada hari Jum’at (waktu Dhuhur).
Yang dimaksud dengan Jum’at di sini, yaitu nama salah satu hari dari tujuh
hari dalam satu pekan yang berada antara hari Kamis dan hari Sabtu. Hari
Jum’at ini adalah hari yang agung dan termulia diantara hari-hari lain.
Pada hari itu terdapat keistimewaan dan keutamaan serta keterkaitan dengan
sebagian hukum-hukum dan adab-adab syari’at sebagaimana akan dijelaskan
berikut ini.
Orang Yang Diwajibkan Shalat Jum’at
Dengan demikian, sungguh amat
mengherankan sebagian orang pada masa sekarang ini yang mewajibkan shalat
Jum’at bagi wanita, dengan hanya berpegang teguh kepada keumuman firman
Allah dalam surat Jum’at tersebut. Bukankah sebaiknya mereka melihat
pendapat para ulama tentang masalalah ini sebelum berfatwa?! Namun bila
menghadiri shalat Jum’at, maka shalatnya sah. Ibnu Qudamah berkata,”Kami
tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini,” kemudian ia
menukilkan pernyataan Ibnu Al Mundzir “Yang kami ketahui, para ulama telah
Ijma’, bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at pada wanita dan (telah)
Ijma’, jika mereka menghadirinya dan shalat Jum’at, maka hal itu sah,
karena tidak diwajibkan pada mereka untuk memberikan keringanan. Jika
mereka mampu dan shalat, maka shalat mereka sah, seperti orang sakit.”
Namun yang sesuai dengan Sunnah, hendaklah mereka shalat Dhuhur di rumahnya
dan tidak shalat Jum’at di masjid. Bila shalat Jum’at dengan jama’ah, maka hendaklah
menutupi auratnya dan tidak menggunakan wangi-wangian serta mendengarkan
faidah dari khutbah Jum’at.
Kategori Fiqih : Shalat Jum'at
Shalat Sunnat Jum'at
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Apabila
salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at, maka hendaklah
dia mengerjakan shalat empat raka’at setelahnya”. Diriwayatkan oleh Muslim.
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan. “Barangsiapa di antara kalian akan
mengerjakan shalat setelah shalat Jum’at, maka hendaklah dia mengerjakan
empat rakaat” . Dapat saya katakan, kedua hadits di atas menunjukkan
disyariatkannya shalat dua atau empat rakaat setelah Jum’at. Dengan
pengertian, seorang muslim bisa mengerjakan salah satu dari keduanya. Dan
yang lebih afdhal adalah shalat empat rakaat setelah shalat Jum’at. Hal itu
sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, yang merupakan ketetapan dalam bentuk ucapan mengenai hal tersebut.
Sunnat shalat ini –baik dikerjakan dua rakaat ataupun empat rakaat- lebih
baik dikerjakan di rumah secara mutlak tanpa adanya pembedaan di dalam
mengerjakannya
Khatib Memanjangkan Khutbah Dan
Memendekkan Shalat, Khatib Mengangkat Kedua Tangan Ketika Berdo'a
Sebagian khatib ada yang memanjangkan
khutbahnya sampai terasa membosankan sehingga bagian terakhir lupa pada
bagian awalnya. Dan dengan demikian, akhirnya dia memendekkan shalat.
Padahal jika melakukan sebaliknya, maka hal itu telah sesuai dengan Sunnah
Nabi. Muslim telah meriwayatkan: “Dari Washil bin Hayyan, dia berkata, Abu
Wa’il berkata, ‘Ammar pernah memberi khutbah kepada kami dengan singkat dan
padat isinya. Dan ketika turun, kami katakan kepadanya, ‘Wahai Abu Yaqzhan,
sesungguhnya engkau telah menyampaikan dan menyingkat khutbah, kalau saja
engkau memanjangkannya". Maka dia menjawab, sesungguhnya aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
panjangnya shalat seseorang dan pendek khutbahnya menjadi ciri pemahaman yang
baik dalam agama. Oleh karena itu, perpanjanglah shalat dan perpendeklah
khutbah, dan sesungguhnya di antara bagian dari penjelasan itu mengandung
daya tarik
Jama'ah Tidur Sementara Khatib
Menyampaikan Khutbahnya, Tidak Menghadapkan Wajahnya Kepada Khatib
Sebagian orang tertidur sementara
khatib sudah berada di atas mimbar. Dan ini jelas salah dan dia harus
dibangunkan untuk mendengarkan nasihat. Ibnu Sirin mengatakan, “Mereka
memakruhkan tidur ketika khatib khutbah. Dan mereka berkata tegas mengenai
hal tersebut". Dan disunnahkan bagi orang yang dihinggapi rasa kantuk
untuk pindah dari tempatnya ke tempat lain di masjid. Mengenai hal tersebut
telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban
dengan sanad shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. "Jika salah seorang di antara
kalian mengantuk di tempat duduknya pada hari Jum’at, maka hendaklah dia
pindah (bergeser) dari tempat itu ke tempat lainnya"
Bersiwak Dan Bersalaman Pada Saat Khutbah
Berlangsung, Do'a Muadzin Diantara Dua Khutbah
Di antara kesalahan yang tersebar
luas di antara kaum muslimin adalah bersalaman saat khutbah Jum’at tengah
berlangsung. Di mana Anda bisa dapatkan seseorang yang menyalami orang di
sampingnya. Dan jika dia melihat orang yang dikenalnya, maka dia akan
memberikan isyarat tangan kepadanya. Semuanya itu dilakukan saat khatib
tengah berada di atas mimbar sehingga dikhawatirkan hal itu dapat
melengahkan dan dapat mengurangi pahala Jum’at dan berubah menjadi shalat
Zhuhur saja. Hal tersebut didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Ibnu Khuzaimah yang dinilai hasan oleh al-Albani dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda: “Barangsiapa lengah dan melangkahi pundak orang-orang, maka
shalat Jum’atnya itu menjadi shalat Zhuhur baginya
Tidak Menempati Barisan (Shaff)
Pertama Meski Datang Lebih Awal, Berbicara Saat Khutbah Berlangsung
Di antara jama’ah ada yang datang ke
masjid lebih awal dan mendapati barisan pertama masih kosong, tetapi dia
malah memilih untuk menempati barisan kedua atau ketiga agar bisa bersandar
ke tiang misalnya, atau memilih barisan belakang sehingga dia bisa
bersandar ke dinding misalnya. Semuanya itu bertentangan dengan perintah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menduduki barisan pertama
yang didapatinya selama dia bisa sampai ke tempat tersebut, karena agungnya
pahala yang ada padanya serta banyaknya keutamaan yang terkandung padanya.
Dan seandainya dia tidak bisa sampai ke tempat itu kecuali dengan cara
undian, maka hendaklah dia melakukan hal tersebut sehingga dia tidak
kehilangan pahala yang melimpah itu. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya orang-orang itu
mengetahui apa yang terdapat pada seruan adzan dan shaff pertama kemudian
mereka tidak mendapatkan jalan, kecuali harus melakukan undian, niscaya
mereka akan melakukannya.”
Shalat Sunnah Qabliyah Jum'at,
Meninggalkan Shalat Sunnah Ba'diyah Jum'at
Di antara kaum muslimin ada yang
setelah mendengar adzan pertama langsung berdiri dan mengerjakan shalat dua
rakaat sebagai shalat sunnah Qabliyah Jum’at. Dalam hal ini perlu saya
katakan, saudaraku yang mulia, shalat Jum’at itu tidak memiliki shalat
sunnah Qabliyah, tetapi yang ada adalah shalat Ba’diyah Jum’at. Memang
benar telah ditegaskan bahwa para Sahabat jika salah seorang dari mereka
memasuki masjid sebelum shalat Jum’at, maka dia akan mengerjakan shalat
sesuai kehendaknya, kemudian duduk dan tidak berdiri lagi untuk menunaikan
shalat setelah adzan. Mereka mendengarkan khuthbah dan kemudian mengerjakan
shalat Jum’at. Dengan demikian, shalat yang dikerjakan sebelum shalat
Jum’at adalah shalat Tahiyyatul Masjid dan shalat sunnat mutlaq. Dan
hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah
Jum’at adalah dha’if, tidak bisa dijadikan hujjah (argumen), karena suatu
amalan Sunnah itu tidak bisa ditetapkan, kecuali dengan hadits yang shahih
lagi dapat diterima.
Tidak Memisahkan Antara Shalat Jum'at
Dan Shalat Sunnah, Tidak Mengerjakan Tahiyyatul Masjid
Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah
mengutusnya menemui as-Saib, anak dari saudara perempuan Namr untuk
menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dilihatnya dari Mu’awiyah dalam
shalat, maka dia menjawab, ‘Ya, aku pernah mengerjakan shalat Jum’at
bersamanya di dalam maqshurah. Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung
berdiri di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga
ketika dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata,
‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah
mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu
shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita
berbicara atau keluar.
Meninggalkan Shalat Jum'at, Mengulur
Waktu Datang Ke Masjid, Tidak Mandi, Tidak Pakai Wangi-Wangian
Sebagian kaum muslimin ada yang
meninggalkan shalat Jum’at karena sikap meremehkannya serta lengah untuk
menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar agama Allah, yang dalam hal itu Dia telah
menyatakan dengan firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan
barang-siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar agama Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati.” . Dan hendaklah orang yang suka mengabai-kan
shalat Jum’at mengetahui bahwa dengan demikian itu dia telah melakukan perbuatan
dosa besar sekaligus kejahatan yang besar. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan mengadzabnya dengan mengunci mati hatinya, sehingga dia tidak akan
pernah tahu suatu kebaikan dan tidak juga dapat mengingkari ke-mungkaran.
Dia pun tidak akan pernah merasakan nikmatnya Islam serta tidak pula
merasakan manisnya iman.
Apakah Yang Harus Dilakukan Oleh
Orang Yang Tertinggal Shalat Jum'at?
Barangsiapa berpendapat bahwa hukum
asal shalat pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at dan orang yang
ketinggalan melakukannya atau orang yang tidak wajib atasnya shalat Jum’at
-seperti orang yang sedang dalam perjalanan dan wanita-, maka wajib baginya
hanya melakukan dua raka’at shalat Jum’at, sungguh orang yang berpendapat
demikian telah menyalahi nash tanpa alasan. Kemudian saya melihat
ash-Shan’ani menuturkan (II/74) seperti itu dan sesungguhnya orang yang
ketinggalan dan tidak melakukan shalat Jum’at, maka ia harus melakukan
shalat Zhuhur menurut kesepakatan para ulama, karena ia adalah
penggantinya, dan inilah pendapat yang disepakati (ijma’). Demikianlah yang
beliau ucapkan, dan kami telah mentahqiqnya di dalam risalah tersendiri.
Hukum Shalat Jum'at, Jumlah Jama'ah
Pada Shalat Jum'at
Shalat berjama’ah sah dilakukan
walaupun hanya dengan seorang (makmum) bersama seorang imam, sedangkan
shalat Jum’at merupakan salah satu dari shalat-shalat wajib lainnya.
Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan yang ada pada shalat
berjama’ah, maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya
dia tidak akan mendapatkan dalilnya. Anehnya banyak sekali pendapat tentang
bilangan tersebut hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil
yang dijadikan landasan oleh mereka kecuali satu pendapat saja.
Sesungguhnya shalat Jum’at sama dengan jumlah pada shalat-shalat
(berjama’ah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan syarat hanya bisa
tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa suatu ibadah
tidak sah kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan syarat seperti
ini (jumlah tertentu) sama sekali tidak berlandaskan atas sebuah dalil.
Menjama Shalat Ashar Dengan Shalat
Jum'at, Shalat Jum'at Di Laut
Tidak boleh menjama (menggabungkan)
shalat Ashar dengan shalat Jum’at ketika diperbolehkan menjama antara
shalat Ashar dan Dzuhur (karena ada alasan syar’i, seperti perjalanan,-red)
. Seandainya seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh melintasi
suatu daerah, lalu dia melakukan shalat Jum’at bersama kaum muslimin
disana, maka (dia) tidak boleh menjama Ashar dengan shalat Jum’at.
Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga diperbolehkan untuk
menjama shalat, (lalu ia) menghadiri shalat dan mengerjakan shalat Jum’at,
maka dia tidak boleh menjama shalat Ashar dengan shalat Jum’at. Dalilnya
ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”
Tindakan Sebagian Kaum Muslimin
Menghiasi Diri Dengan Kemaksiatan Dalam Shalat Jum'at
Hari Jum’at merupakan hari raya bagi
kaum muslimin. Oleh karena itu, disunnahkan bagi mereka pada hari itu untuk
mandi, mengena-kan pakaian yang bagus, serta memakai minyak wangi, dan
bersiwak, juga berpenampilan dengan penampilan yang sebaik-baiknya:
“Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai keindahan.” Tetapi sebagian kaum
muslimin menghiasi diri pada hari itu dengan beberapa kemaksiatan yang
mereka anggap sebagai keindahan, padahal ia termasuk perbuatan yang sangat
buruk, bahkan ia termasuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Se-mentara maksiat
itu dapat menghitamkan wajah, menggelapkan hati, sekaligus menjauhkan diri
dari Rabb Subhanahu wa Ta'ala. Di antara kemaksiatan tersebut adalah
memperindah diri dengan mencukur jenggot. Padahal Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah melarang hal tersebut, sebagaimana yang beliau
sabdakan: “Cukurlah kumis dan panjangkanlah jenggot.” Para ulama empat
madzhab telah menyatakan haram terhadap pencukuran jenggot ini.
Meninggikan Mimbar Lebih Dari Tiga
Tingkat, Membuatkan Pintu Untuk Mimbar
Di antara umat manusia ada yang
membuat mimbar masjid sangat tinggi sekali. Dan ini jelas salah dengan dua
alasan: Pertama: Hal tersebut bertentangan dengan mimbar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tingginya hanya tiga tingkat (anak
tangga) saja. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahiihnya dari Sahl bin Sa’ad
Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
mengutus seseorang kepada seorang wanita seraya berkata, “Perintahkan
budakmu yang ahli kayu untuk membuatkan untukku mimbar dari kayu untuk aku
perguna-kan berbicara kepada orang-orang dari atas mim-bar tersebut.” Lalu
dia membuatkan mimbar itu tiga tingkat dan kemudian Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan supaya diletakkan di masjid, maka mimbar
itu diletakkan di tempat itu. Ada juga dalil lain yang menunjukkan bahwa
mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tiga tingkat saja.
Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan dinilai hasan oleh
al-Albani rahima-humullah:
Tidak Berdo'a Pada Saat-Saat Yang
Dikabulkan Pada Hari Jum'at
Hadits ini secara jelas menyebutkan
bahwa waktu itu adalah saat terakhir setelah Ashar dan sebelum Maghrib.
Oleh karena itu, hendaklah seorang muslim bersegera sesaat sebelum Maghrib
berwudhu’ dan pergi ke masjid lalu mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid
[4], lalu duduk di masjid sambil memohon kepada Rabb-nya seraya menundukkan
diri kepada-Nya sambil menunggu shalat Maghrib, karena barangsiapa duduk di
masjid untuk me-nunggu shalat, maka dia berada dalam shalat dan berdo’a
kepada Rabb-nya sesuai dengan keinginannya berupa kebaikan dunia dan
akhirat, yang ia berada pada waktu yang sangat agung lagi berharga, saat di
mana Allah akan mengabulkan do’a. Yaitu saat di mana Allah melimpahkan
karunia kepada hamba-hamba-Nya. Orang yang diharamkan adalah yang
diharamkan dari kebaikannya dan yang berbahagia adalah yang memanfaatkannya
dan menyibukkan diri di dalamnya serta menyiapkan diri menyambutnya.
Sehingga Allah tidak melihat Anda pada waktu itu dalam keadaan lengah dan
lalai.
Tindakan Imam Memulai Shalat Sebelum
Barisan Lurus Dan Rapat
Di antara imam ada yang mengatakan:
“Istawuu wa’tadiluu (lurus dan rapatkan).” Dan setelah itu langsung takbir
dan masuk shalat, padahal barisan masih bengkok bahkan bisa jadi masih
terdapat barisan yang kosong (renggang). Lalu di antara para imam itu ada
yang mengerjakan shalat dengan barisan yang berantakan dan tidak lurus. Dan
ada juga di antara jama’ah yang masih terus meluruskan barisannya sampai
imam sudah selesai membaca al-Fatihah. Dan itu jelas kesalahan yang parah
dari seorang imam. Seharusnya dia sendiri yang melurus-kan barisan atau
mewakilkan kepada seseorang untuk merapikan dan meluruskan barisan. Dan
baru setelah barisan lurus dan rapat, maka dia bisa mulai beri’tidal,
bertakbir dan masuk shalat. Yang demikian itu karena pelurusan dan
pe-rapian barisan termasuk bagian dari shalat yang memang diperintahkan
melalui firman Allah Ta’ala berikut ini: “... Dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
munkar...”
Berusaha Keras Shalat Jum'at Di
Masjid Ada Kuburannya, Jual Beli Setelah Adzan Shalat Jum'at
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,
“Madzhab Malik adalah jual beli itu harus ditinggalkan jika shalat sudah
diserukan. Dan transaksi jual beli yang terjadi pada saat itu menjadi
batal. Tetapi tidak batal pemerdekaan budak, pernikahan, perceraian, dan lain-lainnya
yang terjadi pada saat itu, karena bukan menjadi kebiasaan orang untuk
menyibukkan diri dengan hal ter-sebut, berbeda halnya dengan kesibukan jual
beli yang biasa mereka lakukan. Mereka mengatakan, “Demikian halnya dengan
syirkah, hibah, shadaqah, yang jarang sekali terjadi pada waktu itu,
sehingga tidak batal.” Ibnu al-Arabi al-Maliki rahimahullah mengatakan,
“Yang benar adalah batalnya semua urusan yang terjadi pada saat itu, jual
beli itu dilarang karena kesibukan terhadapnya, sehingga segala urusan yang
menyibukkan dan melalaikan shalat Jum’at adalah haram menurut syari’at dan
pasti batal.” Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah rusak
dan batalnya transaksi itu. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan
yang bukan dari ajaran kami, maka ia tertolak.”
Tidak Bershadaqah Pada Hari Jum'at,
Mengkhususkan Hari Jum'at Berpuasa
Dan menurut riwayat ath-Thabrani dan
al-Baihaqi, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya shadaqah
itu dapat memadamkan panas kuburan dari penghuninya. Dan sesungguhnya orang
mukmin pada hari Kiamat kelak akan bernaung di bawah naungan shadaqahnya.”
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan, “Pernah dikatakan
kepadaku bahwa seluruh amal perbuatan akan merasa bangga sehingga shada-qah
akan berkata, ‘Aku yang lebih utama dari kalian.’” Ini salah satu bagian
dari keutamaan shadaqah pada setiap harinya. Sedangkan shadaqah pada hari
Jum’at memiliki keutamaan khusus dari hari-hari lainnya. Telah diriwayatkan
oleh Imam ‘Abdurrazzaq ash-Shan’ani rahimahullah dari Imam Sufyan
ats-Tsauri, dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
'anhuma, dia berkata, Abu Hurairah dan Ka’ab pernah ber-kumpul. Lalu Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya pada hari Jum’at itu
terdapat satu waktu yang tidaklah seorang muslim bertepatan dengannya dalam
keadaan memohon kebaikan kepada Allah Ta’ala melainkan Dia akan
men-datangkan kebaikan itu kepadanya.”
Hukum Bepergian Pada Hari Jum'at,
Musafir Dan Shalat Jum'at
Tidak ada ketarangan shahih dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melaksanakan shalat
Jum'at saat dalam perjalanan, bahkan riwayat menyebutkan bahwa beliau
menjama' (mengumpulkan) dua shalat –dhuhur dan ashar- saat di Arafah dan
itu terjadi pada hari Jum'at. Oleh karena itu ada keterangan-keterangan
dari Shahabat yang menguatkannya. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa
Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di
selalu shalat dua raka'at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat
jum'at. Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata "Tidak ada shalat Jum'at
bagi Musafir". Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata : "Keterangan
yang dapat dijadikan dalil gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir
yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa kali
perjalanan-perjalanan beliau - Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada
kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at
Makna Dekatnya Allah (Pada Surat Qaaf
: 16 Dan Al-Waqi'ah : 85)
Ketika ada seorang berbicara dalam
bahasa Arab : بعين
(bi’aini, dengan huruf ba’), tidak seorangpun yang memahami bahwa Fulan
berjalan di dalam matanya. Tetapi yang dipahaminya ialah Fulan berjalan di
bawah pengawasan (mata)nya. Begitu pula ketika ada seseorang yang berbicara
dalam bahasa Arab : عل عين (‘ala ‘aini, dengan ‘ala), juga
tidak ada seorangpun yang memahami bahwa Fulan telah lulus dalam keadaan ia
naik di atas mata orang yang berbicara. Tetapi yang dipahaminya ialah bahwa
Fulan telah lulus si bawah pengawasan (mata)nya. Jika ada orang yang nekad bahwa
pemahamannya terhadap dhahir suatu perkataan adalah seperti pemahaman di
atas, maka tentu akan ditertawakan oleh orang-orang bodoh sekalipun.
Apalagi oleh orang-orang yang berakal. Bahwa pemahaman terhadap dhahirnya
ayat dengan pemahaman seperti di atas, adalah sangat mustahil. Tidak
mungkin orang yang betul-betul memahami Allah dan mengerti ke Maha Luhuran
Allah, mempunyai pemahaman demikian, sebab Allahg Subhanahu wa Ta’ala
bersemayam di atas Arsy, berada tinggi di atas segenap makhluk-Nya. Tidak
ada sesuatupun di antara makhluk-Nya yang menempel pada Allah dan tidak
pula Allah menempati sesuatupun di antara makhluk-Nya. Maha Suci Allah dari
semuanya itu.
|