Ahli ilmu telah meriwayatkan tentang
karamah itu bagi sebagian orang salaf yang shaleh yang mereka dapatkan
setelah mereka meninggal. Orang-orang yang bisa dipercaya telah menuqil
karamah-karamah itu dari orang-orang yang bisa dipercaya lainnya yang
melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri, dan sebagian dari karamah itu
dari Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, dia berkata dalam kitab Ahkam Tamanni
Al Maut (Hukum mengharap kematian) yang terkandung didalam kumpulan karangan
dia:
Shalat didalam Kubur
Dari Ahmad dari ‘Affan dari Hammad
dari Tsabit, dia berkata, “Ya Allah, jika Engkau memberikan kepada
seseorang bisa shalat didalam kuburnya maka berikanlah aku karunia untuk
shalat didalam kuburku.”
Dari Abu Na’im dari Jubair, dia
berkata, “Aku –demi Allah dzat yang tiada Tuhan selain Dia- telah
memasukkan Tsabit Al Bunnani kedalam liang kuburnya dan bersamaku adalah
Hamid al Thawil. Ketika aku memeratakan batu bata yang belum dibakar (gelu:
jawa) salah satu dari batu bata itu terjatuh dan ternyata aku melihat dia
sedang shalat didalam kuburnya.”
Membaca Al Qur’an
Dari Abu Na’im dan Ibnu Jarir dari
Ibrahim bin al Mahlabi, dia berkata, “Telah bercerita kepadaku orang-orang
yang telah melewati makam diwaktu sahur. Mereka berkata, “Ketika kami
sedang melewati makam Tsabit al Bunnani, kami mendengar bacaan Al Qur’an
dari dalam kuburnya.”
Dari al Tirmidzi dan dia
menghasankannya dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Sebagian sahabat Nabi saw
telah membangun tendanya diatas makam dan dia tidak menyangka kalau itu
adalah sebuah makam. Dan ternyata didalamnya terdapat seseorang yang sedang
membaca surat al Mulk hingga selesai. Kemudian dia mendatangi Nabi saw dan
menceritakan kejadian itu kepada beliau lalu beliau bersabda, (“Surat al Mulk
adalah yang mencegah dan yang menyelamatkan. Surat itu menyelamatkan dia
dari siksa kubur.”).
Dari al Nasa’i dan al Hakim dari
Aisyah, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda, yang artinya :
(“Aku
tertidur kemudian aku melihat diriku berada disurga, –Lafal Al Nasa’i: aku
masuk surga- lalu aku mendengar suara orang yang sedang membaca. Aku
bertanya, “Siapa dia?” Para penghuni surga menjawab, “Dia adalah Haritsah
bin Al Nu’man.”) Lalu Rasulullah saw bersabda, (“Akan seperti itulah orang
yang berbakti kepada orang tuanya.”), Kalimat itu beliau ucapkan sebanyak
tiga kali. Dan Haritsah bin Al Nu’man adalah orang yang paling berbakti
kepada ibunya.”
Dari Ibnu Abu al Dunia dari al hasan,
dia berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa seorang mukmin ketika meninggal
dan dia belum hapal al Qur’an, maka malaikat penjaganya akan disuruh untuk
mengajarkan kepada dia al Qur’an didalam kuburnya hinnga Allah
membangkitkan dia dihari kiamat beserta keluarganya.” Dan dari Ibnu Abu al
Dunia dari Yazid al Raqasyi semisal cerita itu dan al Salafi telah
meriwayatkan cerita yang semakna dengan cerita itu dari marasil-nya
Athiyyah al ‘Aufa.
Saling Berkunjungnya Para Penghuni
Kubur
Dari Ibnu Abu Syaibah dari Ibnu
Sirin, dia berkata, “Dia sangat meyukai kain kafan yang bagus.” Dia
berkata, “Mereka –para penghuni kubur- saling berkunjung dengan memakai
kafan mereka.” Arti cerita itu, seperti dijelaskan dalam Musnad Ibnu Abu
Usamah dari Jabir secara marfu’, adalah mereka saling membanggakan kain
kafannya dan saling berkunjung didalam kuburnya.
Dari al Tirmidzi, Ibnu Maajah dan
Muhammad bin Yahya al Hamdani dalam shahihnya dari Abu Qatadah secara
marfu’, (Ketika salah satu dari kalian menjadi wali dari saudaranya maka
perbaguslah kain kafannya, karena mereka -para penghuni kubur- akan saling
berkunjung didalam kuburnya.)
Kiriman Dari Dunia Ke alam Barzah
Bersama Mayit
Ibnu Abu al Dunia telah mengeluarkan
dengan sanad yang tidak ada cacat didalamnya dari Rasyid bin Sa’ad,
Sesungguhnya seseorang telah meninggal istrinya lalu didalam mimpinya dia
melihat banyak wanita, namun dia tidak melihat istrinya bersama mereka. Dia
bertanya kepada mereka tentang keadaan istrinya dan mereka menjawab,
“Kalian telah sangat pendek dalam mengkafani dia, makanya dia malu untuk
keluar bersama kami.” Lalu orang itu mendatangi Nabi saw dan menceritakan
kejadian itu kepada beliau. Beliau bersabda, (“Lihatlah apakah ada orang
bisa dipercaya untuk bisa menyampaikannya?”) Dia lalu mendatangi seorang
lelaki dari Anshor yang sedang sakaratul maut. Dia lalu bercerita kepada
orang itu tentang kejadian yang telah menimpa kepadanya. Lelaki Anshor itu
lalu berkata, “Jika ada seseorang yang bisa menyampaikan kepada orang yang
sudah mati, maka pasti aku akan menyampaikannya.” Orang Anshor itu kemudian
meninggal. Kemudian orang itu datang dengan membawa dua kain kafan baru
yang diberi minyak za’faran lalu dia menaruh kain itu dikafan orang Anshor
yang baru meninggal itu. Ketika malam tiba, dia melihat para wanita dan ada
bersama mereka istrinya dengan memakai dua baju kuning.”
Ibnu Al Juzy telah meriwayatkan
cerita dari Muhammad bin Yusuf al Faryabi tentang perempuan yang melihat
ibunya didalam mimpi yang mengadukan kafannya kepada dia. Perempuan itu
lalu mengadukannya kepada Muhammad dan bertanya kepadanya. Dalam cerita itu
ibunya bertanya kepada dia, “Belikan kain kafan untukku dan kirimkan kain
itu bersama Fulanah.” Al Faryabi berkata, “Lalu aku ingat pada hadits,
(“Sesungguhnya mereka saling berkunjung dengan memakai kafan mereka.”)
Kemudian aku berkata, “Belikan untuknya kain kafan kemudian titipkan kepada
perempuan itu.” Kemudian seorang wanita dihari yang sang ibu sebut itu
meninggal, lalu perempuan itu menaruh kafan itu bersamanya.
Cahaya Diatas Kubur
Dari Ibnu Abu al Dunia dari Abu
Ghalib -teman Abu Umamah- Sesungguhnya seorang pemuda di Syam sedang
sakaratul maut. Dia berkata kepada pamannya, “Beritahu aku kalau Allah
menyerahkan aku kepada ibuku, maka apa yang akan dia perbuat?” Dia
menjawab, “Ketika itu benar terjadi, demi Allah, dia akan memasukkan kamu
kedalam surga.” Pemuda itu berkata, “Demi Allah, Sesungguhnya Allah adalah
dzat yang lebih sayang kepadaku dibandingkan ibuku.” Pemuda itu kemudian
meninggal. Aku dan pamannya yang memasukkan dia kedalam liang kuburnya lalu
aku berkata, “Berikan batu bata mentah kepadaku.” Kami pun menatanya
kemudian sebuah batu bata jatuh dan pamannya melompat kebelakang dan aku
berkata kepadanya, “Ada apa denganmu?” Dia menjawab, “Kubur dia dipenuhi
dengan cahaya dan Allah telah melonggarkan kuburnya sepanjang mata memandang.”
Dari Abu Daud dan lainnya dari
Aisyah, dia berkata, “Ketika al Najasyi meninggal, kami sedang berbincang:
“Tidak henti-hentinya cahaya berada diatas kuburnya.”
Dalam Tarikh Ibnu ‘Asakir dari
Abdurrahman bin Ammarah, dia berkata, “Telah datang jenazahnya al Ahnaf bin
Qays dan aku termasuk orang yang turun kedalam kuburnya. Ketika aku
memeratakannya aku melihat kuburnya telah menjadi longgar sepanjang mata
memandang. Kemudian aku menceritakan kejadian itu kepada teman-temanku dan
mereka tidak pernah melihat apa yang telah aku lihat.”
Dari Ibrahim al Ahnafi, dia berkata,
“Ketika Mahan al Hanafi disalib dipintunya, maka kami melihat cahaya berada
disisinya dimalam hari.”
|
Al Qur'an Bukan Makhluk
Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah,
beriman bahwa al-Qur`an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari
Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya,
Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an
yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini
adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak
boleh melepaskan kata-kata bahwa al-Qur`an adalah hikayat dari kalam Allah
atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau
menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Qur`an tetap tidak keluar dengan
demikian dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya
suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak
semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya
sebagai penyampai. Al-Qur`an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun
makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan
bukan pula makna-makna saja tanpu huru
Penulisan Al-Qur'an Dan Pengumpulannya
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada
tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada
dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada
di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan
menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk
mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum
muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah. Dalam kitab Shahih Bukhari
disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap
Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan
Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan
Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini
sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti
perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!”
Surat-Surat Makkiyah Dan Madaniyah
Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas
karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya
cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir
dan surat Al-Qamar. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan
konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima
dan taat. Baca surat Al-Maa’idah. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah
ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari,
sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat
Ath-Thuur. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat
pendek, penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena
disesuaikan dengan kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang
hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.
Israiliyyat
Israiliyyat adalah : berita-berita yang dinukil dari Bani Israil,
kebanyakan dari Yahudi atau dari Nasrani. Ini terbagi menjadi tiga macam,
misalnya, Israiliyyat yang diakui dan dibenarkan oleh Islam, maka hal itu
benar. Contohnya : Riwayat Bukhari dan selainnya dari Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Datang salah seorang Habr kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan : “Wahai Muhammad,
sesungguhnya kami mendapati (dalam Kitab kami) bahwasanya Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikan langit-langit pada satu jari, bumi-bumi di satu jari,
pohon-pohon di satu jari, air dan hasil bumi di satu jari, dan seluruh
makhluk di satu jari, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Akulah Raja”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga
terlihat gigi gerahamnya karena membenarkan perkataan sang Habr.
Bentuk-Bentuk Ayat Mutasyabih Dalam Al-Qur'an
Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam, yang pertama ;
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti
hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna
dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan
bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” . Oleh karena itu
ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala. “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”,
Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam ? Beliau menjawab :
“Bersemayam menurut bahasa telah diketahui artinya, hakikatnya tidak
diketahui, iman kepadanya hukumnya wajib dan mempertanyakannya adalah
bid’ah”
Al-Qur'an Muhkam Dan Mutasyabih
Dilihat dari sisi pandang, muhkam dan mutasyabih, Al-Qur’an terbagi
dalam tiga bentuk. Pertama : Muhkam. Umumnnya merupakan ciri Al-Qur’an
secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Alif
Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu” . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan
sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi
Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung
hikmah” . Artinya adalah indah dalam bentuk dan susunan kata serta
maknanya. Al-Qur’an berada di puncak nilai kefasihan dan sastra ;
berita-beritanya secara keseluruhan adalah benar dan bermanfaat, tidak ada
dusta, kontradiksi dan main-main yang tidak ada manfaatnya, hukum-hukumnya
secara keseluruhan adalah adil, tidak ada kedzaliman, kontradiksi atau
kesalahan.
Bolehkah Menafsirkan Al-Qur'an Al-Karim Dengan Teori Ilmiah?
Menafsirkan Al-Qur’an dengan teori ilmiah mengandung bahaya. Karena,
jika kita menafsirkan Al-Qur’an dengan teori tersebut kemudian datang teori
lain yang menyelisihinya, maka konsekwensinya adalah Al-Qur’an menjadi
tidak benar dalam pendangan musuh-musuh Islam. Adapun dalam pandangan kaum
muslimin, mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak pada orang yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan teori tadi, akan tetapi musuh-musuh Islam akan
selalu menunggu kesempatan. Oleh karena itu, saya mengingatkan dengan amat
sangat agar tidak tergesa-gesa dalam manafsirkan Al-Qur’an dengan teori
ilmiah ini. Apabila Al-Qur’an terbukti dalam realita maka kita tidak perlu
mengatakan bahwa Al-Qur’an telah menetapkan realita itu.
Apakah Pemberian Sakl [Harakat Tanda Baca] Dan Titik Dalam Al-Qur'an
Termasuk Bid'ah?
Umat Islam diperintahkan untuk menjaga Al-Qur’an, baik dalam penulisan
maupun tilawah, dan membacanya sesuai dengan cara yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh dahulu bahasa para
sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bahasa Arab yang salimah (baik dan
benar) karena sangat sedikit orang dari luar Arab di antara mereka.
Perhatian mereka dengan tilawah (bacaan) seperti yang diturunkan sangat
luar biasa. Yang demikian itu berlangsung terus sampai masa Al-Khulafa
Ar-Rasyidin dan belum dikhawatirkan terjadi lahn (kesalahan) dalam membaa
Al-Qur’an. Pada masa itu tulisan masih asli tanpa titik dan harakat dan
bukan suatu yang sulit bagi mereka untuk membacanya. Akan tetapi, ketika
sampai pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dan semakin banyak kaum
muslimin dari luar Arab maka mulai dikhawatirkan terjadi lahn dalam
membaca.
Mengompromikan Antara Dua Ayat Yang Berlawanan ?
Kedua ayat tersebut sama sekali tidak berlawanan. Karena ayat pertama
menerangkan tentang orang yang mati dalam keadaan musyrik dan belum
bertaubat. Orang seperti ini tidak akan diampuni oleh Allah dan tempatnya
adalah neraka sebagaimana firman Allah. "Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidaklah ada bagi
orang-orang dzalim itu seorang penolongnya". Dan firman Allah.
"Seandainya mereka berbuat syirik niscaya hapuslah seluruh amalan yang
telah mereka kerjakan". Dan ayat-ayat yang semakna dengan ayat
tersebut jumlahnya cukup banyak.
Kilas Kontradiksi Dalam Al-Qur'an
Kontradiksi dalam Al-Qur'an adalah jika ada dua ayat yang saling
bertolak-belakang, yaitu petunjuk ayat yang satu menjadi penghalang bagi
petunjuk ayat yang lain, seperti jika ayat yang satu menetapkan akan
sesuatu hal sementara ayat yang lain meniadakannya. Tidak akan mungkin
terdapat dalam Al-Qur'an kontradiksi antara dua ayat yang petunjuknya
adalah berita, karena hal itu mengharuskan salah satunya adalah dusta dan
itu mustahil terjadi pada berita-berita Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan
tidak mungkin juga terjadi kontradiksi dalam Al-Qur'an antara dua ayat yang
petunjuknya adalah penetapan hukum, karena ayat yang paling akhir adalah
nasikh bagi ayat yang datang sebelumnya.
Hukum Sesuatu Yang Tidak Terdapat Dalam Al-Qur'an
Sesungguhnya merupakan sesuatu hal yang wajib diketahui bahwa agama
Islam disyari'atkan sejak diutusnya Nabi hingga datangnya hari kiamat.
Seandainya setiap kejadian yang terjadi itu dinashkan dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah, maka tentulah Al-Qur'an akan menjadi berjilid-jilid tanpa batas,
dan As-Sunnah pun akan menjadi seperti itu. Akan tetapi syariat Islam
-salah satu kekhususannya- adalah ia merupakan kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip umum. Dan masuklah ke dalam kaidah dan prinsip umum ini
berbagai masalah (juz'iyat) yang tak dapat dihitung kecuali oleh Allah Azza
wa Jalla. Maka (dalam masalah rokok ini) hendaklah kita merujuk kepada
firman Allah Azza wa Jalla.
Apa Yang Harus Dilakukan Untuk Dapat Menafsirkan Al-Qur'an ?
Metode menafsirkan Al-Qur'an adalah. Pertama : Adalah dengan sunnah.
Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kedua. : Adalah dengan penafsiran
para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhu. Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu
memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur'an serta cara memahaminya dan
juga cara menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah
berkata : "Dia adalah penerjemah Al-Qur'an". Oleh karena itu
tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang
dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran
sahabat yang lain.
Apa Hukumnya Mencium Mushaf Al-Qur'an Yang Sering Dilakukan Sebagian
Kaum Muslimin ?
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan
perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an. Betul
...!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an.
Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan
cara seperti itu dibenarkan .? Seandainya mencium mushaf itu baik dan
benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan
dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang
dipegang oleh para ulama salaf. "Seandainya suatu perkara itu baik,
niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah
lebih dulu melakukannya" Itulah patokan kami. Pandangan berikutnya
adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau
dilarang?"
Bagaimana Memahami Ayat : Kami Jadikan Dalam Hati Mereka Penghalang
Untuk Memahami Al-Qur'an
Kehendak Allah itu dibagi dua : Kehendak Syari'at (Ira'dah Syari'at)
Adalah kehendak Allah yang telah Allah syariatkan kepada hambanya. Kehendak
ini berupa amal-amal wajib dan amal-amal sunnah. Allah berkehendak dan
menyukai hamba-hamba-Nya untuk melakukan shalat, puasa, sedekah, jihad, dan
lain-lain. Kehendak Kauni (Ira'dah Kauniyah). Adalah kehendak Allah yang
pasti terjadi di dunia ini. Kejadian ini kadang-kadang berupa sesuatu yang
diridhai oleh Allah dan kadang-kadang berupa sesuatu yang dibenci oleh
Allah. Istilah Kehendak Kauni ini diambil dari Al-Qur'an :
"Sesungguhnya Allah itu apabila menghendaki sesuatu, Dia mengatakan
Kun (=jadilah). Maka jadilah apa yang Dia kehendaki". Kata 'sesuatu'
dalam ayat tersebut bentuknya nakiroh (bersifat umum). Bisa berupa ketaatan
atau bisa pula berupa kemaksiatan, bisa sesuatu yang diridhai atau bisa
pula berupa sesuau yang dibenci Allah.
Bagaimana Caranya Kita Memahami Dua Ayat Yang Seolah-Olah Bertentangan
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat Al-Imran
ayat 85 . :" Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan
diterima". Sementara dalam surat Al-Maidah ayat 69 disebutkan. :
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Shabi'in, dan orang-rang Nasrani apabila mereka beriman kepada
Allah dan hari akhir serta beramal shalih, maka tidak ada ketakutan dan
kesedihan yang akan menimpa mereka". Bagaimana caranya kita memahami
dua ayat yang seolah-olah bertentangan ini ?
Penjelasan : Orang-Ornag Kafir Itu Membuat Tipu Daya Dan Allah Membalas
Tipu Daya Mereka
Dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala, insya Allah masalah tersebut
mudah dipahami. Sebagaimana kita tahu bahwa tipu daya itu tidak selamanya
jelek dan tercela dan sebaliknya tidak selamanya baik. Misalnya ada seorang
kafir yang akan membuat tipu daya terhadap seorang muslim, tetapi karena si
muslim ini kebetulan seorang yang cerdik dan selalu waspada, maka dia balik
membikin tipu daya agar niat jahat si kafir tersebut tidak sampai mengenai
dirinya. Dalam keadaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan bahwa si
muslim ini telah berbuat kesalahan dan melanggar syari'at. Hal ini akan
lebih jelas ketika kita perhatikan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam. "Perang adalah tipuan". Kata "tipuan" dalam
hadits ini sama sifatnya dengan kata "tipu daya" pada ayat di
atas.
Dalam Pertemuan Diperdengarkan Bacaan Al-Qur'an Dan Yang Hadir Tidak
Menyimak, Siapakah Yang Berdosa
Apabila majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu yang di dalamnya
ada tilawah Al-Qur'an maka siapaun yang hadir dalam majelis tersebut wajib
diam dan menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja
mengobrol dan tidak menyimak bacaan tersebut. Dalilnya adalah surat
Al-A'raf : 204. "Apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan
diamlah agar kalian mendapat rahmat". Adapun jika majelis tersebut
bukan majelis ilmu dan zikir serta bukan majelis tilawah Al-Qur'an akan
tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi, bekerja, belajar
atau pekerjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti ini tidak boleh kita
mengeraskan bacaan Al-Qur'an baik secara langsung ataupun lewat pengeras
suara (kaset), sebab hal ini berati memaksa orang lain untuk ikut
mendengarkan Al-Qur'an.
Sebagian Orang Berkata, Apabila Hadits Shahih Bertentangan Dengan
Al-Qur'an, Maka Hadits Itu Ditolak
Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila terdapat sebuah hadits
yang bertentangan dengan ayat Al-Qur'an maka hadits tersebut harus kita
tolak walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah hadits.
"Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari
keluarganya". Mereka berkata bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah
Radhiyallahu 'anha dengan sebuah ayat dalam Al-Qur'an surat Fathir : 18.
"Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain". Bagaimana kita
membantah pendapat mereka itu ?. Mengatakan ada hadits shahih yang
bertentangan dengan Al-Qur'an adalah kesalahan yang sangat fatal. Sebab
tidak mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus oleh
Allah memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah yang
mengutus beliau.
Penjelasan : Dan Segala Sesuatu Telah Kami Terangkan Dengan
Sejelas-Jelasnya
"Dan segala sesuatu telah kami terangkan dengan
sejelas-jelasnya". Menurut keterangan dari Allah dan Rasul-Nya
(Al-Qur'an dan Hadits) makna dari ayat ini ada dua macam :1. Secara
tafshil, yaitu terperinci (seperti : Shalat, zakat, haji, dan seterusnya),
2. Secara mujmal, yaitu garis besarnya saja atau
kaidah-kaidah/batasan-batasannya saja, (seperti masalah khamr, masalah
bid'ah, tasyabuh, dan lain-lain). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda. "Tidak ada satupun perintah Allah yang belum aku sampaikan
kepada kalian, begitu juga tidak ada satupun larangan Allah yang belum aku
sampaikan kepada kalian". Padahal kalau kita lihat hari ini, jenis
khamr dan bid'ah barangkali jumlahnya mencapai puluhan bahkan mungkin
ratusan. Apakah ini semuanya diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam satu persatu ?
Ambillah Apapun Dari Al-Qur'An Untuk Keperluan Apapun Yang Engkau
Inginkan, Apakah Hadits Shahih ?
Hadits tersebut cukup terkenal terutama lewat khutbah-khutbah dan
ceramah-ceramah. Tetapi sayang sekali hadits tersebut termasuk hadits yang
tidak ada asal-usulnya dalam sunnah. Oleh karena itu kita tidak boleh
meriwayatkannya atau menyandarkan perkataan tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari segi makna, hadits tersebut sangat
bertentangan dengan syari'at Islam. Coba kita renungkan. "Ambillah
(ayat) apapun dari Al-Qur'an untuk keperluan apapun yang engkau
inginkan". Misalnya, seandainya kita duduk-duduk saja di salah satu
ruangan di rumah kita, tidak bekerja dan tidak melakukan aktifitas apapun,
sementara kita mengharapkan Allah menurunkan rezeki dari langit, dengan
alasan kita mengambil Al-Qur'an untuk medapatkan rezeki dengan cara seperti
ini. Apakah kita yang berakal sehat melakukan hal seperti ini .?
Menjaga Ukhuwah Tanpa Cacian Dan Ghibah
Akan tetapi amat disayangkan, sebagian penuntut ilmu mengajak orang
lain untuk bertakwa, namun ia sendiri mengabaikan takwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Dia mengajak orang lain untuk bertakwa, selalu
mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan orang supaya
bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan
kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia
tekankan kepada orang lain. Hal paling penting lainnya dalam hidup, sebagai
salah satu konsekuensi takwa, ialah bahwasanya harus ada hubungan
persaudaraan yang kuat, khususnya antar para penuntut ilmu. Ukhuwah diniyah
(Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan ini. Setiap kawan
(shadîq), setiap muslim akan memiliki pengaruh jelas bagi kawannya dalam hidup.
Apabila seorang muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini akan
berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang
tidak baik, orang yang kegiatannya tidak mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, tidak juga dekat dengan (ajaran) Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal-hal buruk ini pun akan berpengaruh
pada dirinya. Maka, perhatikanlah oleh seseorang, siapa yang akan ia
jadikan kawan dekatnya.
Tiga Nasihat Dan Wasiat Syaikh Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Baaz
Saudara-saudaraku, bergegaslah untuk membaca Kitab Rabb kalian,
mentadabburi (merenungi dan memperhatikan) maknanya, memanfaatkan waktu dan
majlis untuk itu. Al Qur`an al Karim merupakan tali Allah yang kuat, dan
jalanNya yang lurus. Orang yang berpegang teguh dengan al Qur`an, dia bisa
sampai kepada Allah dan Surga. Dan barangsiapa yang berpaling darinya, dia
akan sengsara di dunia dan akhirat. Waspadalah terhadap segala yang dapat
menghalangi kalian dari Kitabullah dan yang bisa melalaikan kalian dari
dzikir, yaitu yang berupa selebaran-selebaran, majalah-majalah atau
sejenisnya yang lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Jika memang
perlu untuk menelaah majalah-majalah atau selebaran-selebaran itu, maka
jadwalkan waktu khusus dan lakukanlah seperlunya. Hendaklah juga
menyediakan waktu khusus untuk membaca atau mendengarkan Kitabullah dari
orang yang membacanya, untuk mengobati penyakit hati dengannya, supaya
terpacu untuk taat kepada khaliqnya, Rabb yang memiliki manfaat, madharat,
hak memberi dan hak tidak memberi, tidak ada ilah yang berhak diibadahi
kecuali Allah.
Penuntut Ilmu Harus Bertaqwa Kepada Allah, Menghormati Guru, Tunduk
Kepada Kebenaran
Seorang penuntut ilmu wajib menghormati ustadz (guru)nya yang telah
mengajarnya, wajib beradab dengan adab yang mulia, juga harus berterima
kasih kepada guru yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepadanya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Tidak termasuk
golongan kami; orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak
menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak seorang ulama” Syaikh
al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullaah berkata,
“Seorang penuntut ilmu harus memperbaiki adabnya terhadap gurunya, memuji
Allah yang telah memudahkan baginya dengan memberikan kepadanya orang yang
mengajarkannya dari kebodohannya, menghidupkannya dari kematian (hati)nya,
membangunkannya dari tidurnya, serta mempergunakan setiap kesempatan untuk
menimba ilmu darinya. Hendaklah ia memperbanyak do’a bagi gurunya, baik
ketika ada maupun ketika tidak ada.
Penuntut Ilmu Tidak Boleh Futur, Tidak Boleh Putus Asa Dan Waspada
Terhadap Bosan
Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup
membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara
pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada
beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan
terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah.
Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang
ketika mereka menuntut ilmu. ‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama
madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang
bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia
menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal.
Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa
yang ia dapatkan?Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i.
Dahulunya ia seorang Nashrani. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an
dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia
mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”
Penuntut Ilmu Harus Berusaha Mencari Nafkah Dan Tidak Menjadi Beban
Orang Lain
Hendaknya para penuntut ilmu mencari nafkah untuk biaya hidupnya
terutama bagi mereka yang telah berumah tangga bahkan wajib hukumnya bagi
mereka. Ia tidak boleh malas bekerja dan menjadi beban orang lain, apalagi
dengan meminta-minta. Sebab, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mengecam perbuatan itu dalam sabda beliau. “Seseorang senantiasa
meminta-minta kepada manusia hingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam
keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya". Seorang penuntut ilmu
harus mencari nafkah guna menjaga kehormatannya meskipun harus dengan
menjual kayu bakar di pasar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda. “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa
seikat kayu bakar di atas punggungnya kemudian ia menjualnya sehingga
dengannya Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik baginya daripada ia
meminta-minta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak memberinya
Nasehat Untuk Pendiri Organisai,
Jama'ah Dan Partai
Lembaga Dakwah pada zaman sekarang
menyebar di mana-mana. Mereka mendirikan organisasi, partai dan beberapa
jama’ah, mereka berdalih untuk memperjuangkan Islam. Akan tetapi kenyataan
yang ada, mereka saling berpecah-belah. Mereka merasa kelompoknya yang
paling benar, para pengikutnya pun merasa bangga dengan pemimpinnya,
keputusan pemimpin seperti wahyu ilahiah yang tidak boleh dibantah dan
harus ditaati, terancam jiwanya bila dikritik karena salah keputusannya,
mau mengkritik akan tetapi tidak mau dikritik, kadang kala menolak da’i
yang bukan golongannya apabila dianggap merugikan kelompoknya sekalipun
da’i itu benar, mereka merasa sedih bila anggotanya keluar. Inilah
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bagi orang yang tahu hakikatnya.
Benarkah demikian cara kita memperjuangkan Islam? Ibnu Katsit rahimahullah
berkata : “Pemeluk agama sebelumnya berselisih satu sama lain di dalam pola
berfikir. Masing-masing mengaku bahwa kelompoknya yang benar, umat ini pun
berselisih satu sama lain di dalam beragama, semuanya tersesat kecuali satu
yaitu Ahlus Su’nnah wal Jama’ah, yaitu mereka yang berpegang teguh dengan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan generasi
pertama dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan para tabi’in dan para
ulama kaum muslimin (salaf) dahulu dan sekarang
|
73
Keutamaan Berdzikir
Dzikir atau mengucapkan kata-kata pujian yang
mengingat kebesaran Allah SWT, adalah amalan istimewa Nabi Muhammad SAW dan
para sahabatnya. Dzikir merupakan media yang membuat kehidupan Nabi dan
para sahabat benar-benar hidup.
Ibnu al-Qoyyim Rahimahullah mengatakan bahwa
dzikir memiliki tujuh puluh tiga manfaat yaitu:
- Mengusir setan dan menjadikannya kecewa.
- Membuat Allah ridah.
- Menghilangkan rasa sedih,dan gelisah dari
hati manusia.
- Membahagiakan dan melapangkan hati.
- Menguatkan hati dan badan.
- Menyinari wajah dan hati.
- Membuka lahan rezeki.
- Menghiasi orang yang berdzikir dengan pakaian
kewibawaan, disenangi dan dicintai manusia.
- Melahirkan kecintaan.
- Mengangkat manusia ke maqam ihsan.
- Melahirkan inabah, ingin kembali kepada
Allah.
- Orang yang berdzikir dekat dengan Allah.
- Pembuka semua pintu ilmu.
- Membantu seseorang merasakan kebesaran Allah.
- Menjadikan seorang hamba disebut disisi
Allah.
- Menghidupkan hati.
- Menjadi makanan hati dan ruh.
- Membersihkan hati dari kotoran.
- Membersihkan dosa.
- Membuat jiwa dekat dengan Allah.
- Menolong hamba saat kesepian.
- Suara orang yang berdzikir dikenal di langit
tertinggi.
- Penyelamat dari azab Allah.
- Menghadirkan ketenangan.
- Menjaga lidah dari perkataan yang dilarang.
- Majlis dzikir adalah majlis malaikat.
- Mendapatkan berkah Allah dimana saja.
- Tidak akan merugi dan menyesal di hari
kiamat.
- Berada dibawah naungan Allah dihari kiamat.
- Mendapat pemberian yang paling berharga.
- Dzikir adalah ibadah yang paling afdhal.
- Dzikir adalah bunga dan pohon surga.
- Mendapat kebaikan dan anugerah yang tak
terhingga.
- Tidak akan lalai terhadap diri dan Allah pun
tidak melalaikannya.
- Dalam dzikir tersimpan kenikmatan surga
dunia.
- Mendahului seorang hamba dalam segala situasi
dan kondisi.
- Dzikir adalah cahaya di dunia dan ahirat.
- Dzikir sebagai pintu menuju Allah.
- Dzikir merupakan sumber kekuatan qalbu dan
kemuliaan jiwa.
- Dzikir merupakan penyatu hati orang beriman
dan pemecah hati musuh Allah.
- Mendekatkan kepada ahirat dan menjauhkan dari
dunia.
- Menjadikan hati selalu terjaga.
- Dzikir adalah pohon ma’rifat dan pola hidup
orang shalih.
- Pahala berdzikir sama dengan berinfak dan
berjihad dijalan Allah.
- Dzikir adalah pangkal kesyukuran.
- Mendekatkan jiwa seorang hamba kepada Allah.
- Melembutkan hati.
- Menjadi obat hati.
- Dzikir sebagai modal dasar untuk mencintai
Allah.
- Mendatangkan nikmat dan menolak bala.
- Allah dan Malaikatnya mengucapkan shalawat
kepada pedzikir.
- Majlis dzikir adalah taman surga.
- Allah membanggakan para pedzikir kepada para
malaikat.
- Orang yang berdzikir masuk surga dalam
keadaan tersenyum.
- Dzikir adalah tujuan prioritas dari kewajiban
beribadah.
- Semua kebaikan ada dalam dzikir.
- Melanggengkan dzikir dapat mengganti ibadah
tathawwu’.
- Dzikir menolong untuk berbuat amal ketaatan.
- Menghilangkan rasa berat dan mempermudah yang
susah.
- Menghilangkan rasa takut dan menimbulkan
ketenangan jiwa.
- Memberikan kekuatan jasad.
- Menolak kefakiran.
- Pedzikir merupakan orang yang pertama bertemu
dengan Allah.
- Pedzikir tidak akan dibangkitkan bersama para
pendusta.
- Dengan dzikir rumah-rumah surga dibangun, dan
kebun-kebun surga ditanami tumbuhan dzikir.
- Penghalang antara hamba dan jahannam.
- Malaikat memintakan ampun bagi orang yang
berdzikir.
- Pegunungan dan hamparan bumi bergembira
dengan adanya orang yang berdzikir.
- Membersihkan sifat munafik.
- Memberikan kenikmatan tak tertandingi.
- Wajah pedzikir paling cerah didunia dan
bersinar di ahirat.
- Dzikir menambah saksi bagi seorang hamba di
ahirat.
- Memalingkan seseorang dari membincangkan
kebathilan.
Sungguh luar biasa
manfaatnya…. tetapi orang tidak akan yakin dengan manfaat-manfaat diatas
kecuali yang telah merasakan dan menikmatinya….. Mari kita coba memulainya
dari sekarang
|
Mengenal
Para Imam Ahlussunnah Ashabul Hadits
Sesungguhnya
tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan Sunnah dengan
pemahaman salaful ummah. Tapi kita tidak mungkin mendengar sunnah dan
pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad (rantai para rawi). Dan sanad
termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil Dien kalian.
Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah Ahlul Hadits. Maka
dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya kedudukan mereka
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Allah
membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami, kemudian
menyampaikannya.” (Hadits Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Hadits ini adalah
SHAHIH, diriwayatkan oleh: Imam Ahmad dalam Musnad 5/183, Imam Abu Dawud
dalam As-Sunan 3/322, Imam Tirmidzi dalam As-Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah
dalam As-Sunan 1/84, Imam Ad-Darimi dalam As-Sunan 1/86, Imam Ibnu Abi
Ashim dalam As-Sunan 1/45, Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil Ilmi wa
Fadhlihi 1/38-39, lihat As-Shahihah oleh Al-’Allamah Al-Albani (404) yang
diriwayatkan dari banyak jalan sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin
Muth’im, dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhum.”
Hadits
ini dinukil oleh beliau (Syaikh Rabi’) dalam kitab kecil yang berjudul
Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahlul Hadits), yaitu ketika menukil ucapan
Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dari
kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang artinya “Kemuliaan Ashabul Hadits.”
Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat
Ahlul Hadits. Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan
usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam
bid’ah. Di antara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan: “Sungguh
Allah telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits) sebagai tonggak syari’at.
Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap keburukan bid’ah.
Merekalah kepercayaan Allah di antara makhluk-makhluk-Nya, sebagai
perantara antara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan umatnya. Dan
merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya
mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda mereka jelas, madzhab
mereka unggul, hujjah mereka tegas….”
Setelah
mengutip hadits di atas, Al-Khatib rahimahullah menukil ucapan Sufyan bin
Uyainah rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan: “Tidak
seorangpun mencari hadits (mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada
kecerahan karena ucapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam: (kemudian
menyebutkan hadits di atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits
tentang wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memuliakan Ashabul
Hadits, beliau meriwayatkan hadits berikut:
“Islam
dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing, maka berbahagialah
orang-orang yang (dianggap) asing.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu
Majah)
Syaikh
Rabi’ berkata: “Hadits ini SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahihnya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/398, Imam Tirmidzi dalam
Sunannya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnahnya 2/1319, dan Imam Ad-Darimi
dalam Sunannya 2/402.”
Setelah
meriwayatkan hadits ini, Al-Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari
Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu: “Mereka adalah Ashabul
Hadits yang pertama.” Kemudian meriwayatkan hadits:
“Umatku
akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka
kecuali satu.”
Syaikh
Rabi’ berkata: “Hadits SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad
2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Mustadrak 1/128.
Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh kita, Al-’Allamah Al-Albani (203).”
Beliau
(Al-Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah bahwa dia berkata: “Tentang golongan yang selamat,
kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka.” (Hal 13,
Syarafu Ashhabil Hadits oleh Al-Khatib). Kemudian Syaikh Al-Khatib
menyebutkan hadits tentang thaifah yang selalu tegak dengan kebenaran:
“Akan
tetap ada sekelompok dari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka
orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong) mereka sampai
datangnya hari kiamat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh
Rabi’ berkata: “Hadits ini SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahihnya 3/1523, Imam Ahmad dalam Musnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam
Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak
4/449-450, Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 7643, dan At-Thayalisi dalam
Musnad hal. 94 No. 689. Lihat As-Shahihah oleh Al-’Allamah Al-Albani
270-1955.”
Kemudian
berkata (Al-Khatib Al-Baghdadi): Yazid bin Harun berkata: “Kalau mereka
bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka.” Setelah itu, beliau
meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia
berkata: “Mereka, menurutku, adalah Ashabul Hadits.” Kemudian meriwayatkan
juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa
mereka berkata: “Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, ahli Ilmu, dan
Atsar.” (Hal. 14-15)
Demikianlah,
para ulama mengatakan bahwa Firqah Najiyah (golongan yang selamat) yaitu
golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah
Manshurah), yaitu orang-orang yang asing (Ghuraba’) di tengah-tengah kaum
muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid’ah dan penyelewengan
dari manhaj As-Sunnah adalah Ashabul Hadits.
Siapakah
Ashabul Hadits?
Hadits
yang pertama yang kita sebut menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, yaitu
mendengarkan hadits dan menyampaikannya. Dengan demikian, mereka bisa kita
katakan sebagai para ulama yang mempelajari hadits, memahami sanad,
meneliti mana yang shahih mana yang dhaif, kemudian mengamalkannya dan
menyampaikannya. Merekalah pembela-pembela As-Sunnah, pemelihara Dien dan
pewaris Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah tidak mewariskan
dirham atau dinar, tetapi mewariskan ilmu yang kemudian dibawa oleh Ahlul
Hadits ini. Seorang Ahli Fiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis)
dan Ahli Tafsir tanpa ilmu hadits adalah Ahli Takwil.
Imam
Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata: “…
Adapun Ashabul Hadits, sesungguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang
benar dan mengikutinya dari tempatnya. Mereka mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya serta mencari
jejak-jejak dan berita-beritanya (Hadits, red.), baik itu di darat dan di
laut, di Timur maupun di Barat. Salah seorang dari mereka (bahkan) mengadakan
perjalanan jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari satu berita atau
satu hadits, agar dia mengambilnya langsung dari penukilnya (secara dialog
langsung). Mereka terus menyaring dan membahas berita-berita
(riwayat-riwayat) tersebut sampai mereka memahami mana yang shahih dan mana
yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh, dan mengetahui siapa-siapa dari
kalangan fuqaha yang menyelisihi berita-berita tersebut dengan pendapatnya
(ra’yunya), lalu memperingatkan mereka. Dengan demikian, Al-Haq yang tadinya
redup menjadi bercahaya, yang tadinya bercerai-berai menjadi terkumpul.
Demikian pula, orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah menjadi terikat
dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat padanya, dan yang dulunya
berhukum dengan ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan ucapan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Ta’wil Mukhtalafil Hadits dalam
Muqaddimah)
Imam
Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban bin Muadz bin Ma’bad bin Said At-Tamimi
(wafat 354 H) berkata: “…Kemudian Allah memilih sekelompok manusia dari
kalangan pengikut jalan yang baik dalam mengikuti sunnah dan atsar untuk
memberi petunjuk kepada mereka agar selalu taat kepada-Nya. Allah indahkan
hati-hati mereka dengan keimanan, dan memberikan pada lisan-lisan mereka
Al-Bayan (keterangan), yaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya,
mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang
panjang, meninggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan
sunnah-sunnah dan menolak hawa nafsu (bid’ah). Mereka memperdalam sunnah
dengan menjauhi ra’yu …” Pada akhirnya, beliau mengatakan: “Hingga Allah
memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum muslimin dan melindunginya dari
rongrongan para pencela. Allah menjadikan mereka sebagai imam-imam
(panutan-panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat terjadi perselisihan
dan menjadikan mereka sebagai pelita malam di kala terjadi fitnah. Maka
merekalah pewaris-pewaris para nabi dan orang-orang pilihan…” (Al-Ihsan
1/20-23)
Imam
Abu Muhammad Al-Hasan Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramhurmuzi (wafat 360
H) berkata: “Allah telah memuliakan hadits dan memuliakan golongannya
(Ahlul Hadits). Allah juga meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas
seluruh aliran. Didahulukannya ia (hadits) di atas semua ilmu serta
diangkatnya nama-nama para pembawanya yang memperhatikannya. Maka jadilah
mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat bercahayanya hujjah. Bagaimana
mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak berhak mendapatkan kedudukan
tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga-penjaga Dien ini atas umatnya…”
(Al-Muhadditsul Fashil 1-4)
Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi (wafat 405)
berkata setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul
Hadits (yang artinya): Umar bin Hafs bin Gayyats berkata: Aku mendengar
ayahku ketika dikatakan kepadanya: “Tidaklah engkau melihat Ashabul Hadits
dan apa yang ada pada mereka?” Dia berkata: “Mereka sebaik-baik penduduk
bumi.” Dan riwayat dari Abu Bakar bin Ayyasy: “Sungguh aku berharap Ahli
Hadits adalah sebaik-baik manusia.” Kemudian beliau (Abu Abdullah Al-Hakim)
berkata: “Keduanya telah benar bahwa Ashabul Hadits adalah sebaik-baik
manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankan dunia
seluruhnya di belakang mereka. Kemudian menjadikan penulisan sebagai
makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulang sebagai
istirahat mereka…” Dan akhirnya beliau mengatakan: “Maka akal-akal mereka
dipenuhi dengan kelezatan kepada sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan
keridhaan dalam segala keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari
sunnah. Hobi mereka adalah majelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah
seluruh Ahlus Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul
Bid’ah.” (Ma’rifatu Ulumul Hadits 1-4)
Berkata
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali tentang Ashabul Hadits: “Mereka adalah
orang-orang yang menjalani manhaj para shahabat dan tabi’in, yang mengikuti
mereka dengan ihsan dalam berpegang dengan Kitab dan Sunnah, dan menggigit
keduanya dengan geraham mereka, mendahulukan keduanya di atas semua ucapan
dan petunjuk, apakah itu dalam masalah akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak,
politik, ataukah sosial.
Oleh
sebab itu, mereka adalah orang-orang yang mantap dalam dasar-dasar dan
cabang-cabang Dien ini, sesuai dengan apa yang Allah turunkan dan wahyukan
kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan para hamba-Nya. Mereka
tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh
dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan membersihkannya dari penyelewengan
orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan-kedustaan orang-orang
bathil dan dari takwil-takwilnya orang-orang bodoh. Oleh karena itu, mereka
selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari
manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji’ah,
Qadariyyah, dan setiap firqah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap
zaman dan di setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang
yang mencela…”
Beliau
pun akhirnya menyebut mereka sebagai golongan yang selamat (Firqah Najiyah)
yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala (Thaifah Manshurah) kemudian berkata: “Mereka, setelah shahabat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan pimpinan mereka Al-Khulafa’ur
Rasyidin, adalah para tabi’in. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah:
-
Sa’id bin Musayyab (wafat setelah 90 H)
-
Urwah bin Zubair (wafat 94 H)
- Ali
bin Husain Zainal Abidin (wafat 93 H)
-
Muhammad Ibnul Hanafiyah (wafat 80 H)
-
Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H)
-
Al-Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (wafat 106 H)
-
Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H)
-
Muhammad bin Sirrin (wafat 110)
-
Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H)
-
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 125 H) dan lain-lain.
Kemudian
di antara tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in) tokoh-tokoh mereka adalah:
-
Imam Malik (wafat 179 H)
-
Al-Auza’i (wafat 198 H)
-
Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H)
-
Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H)
-
Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H)
-
Al-Laits bin Sa’d (wafat 175 H)
- Abu
Hanifah An-Nu’man (wafat 150 H) dan lain-lain.
Setelah
para tabi’ut tabi’in adalah pengikut mereka, di antaranya:
-
Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H)
-
Waqi’ bin Jarrah (wafat 197 H)
-
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat 204 H)
-
Abdurrahman bin Mahdi (198 H)
-
Yahya bin Said Al-Qattan (wafat 198 H)
-
Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain.
Kemudian
pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka di antaranya:
-
Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H)
-
Yahya bin Ma’in (wafat 233 H)
- Ali
Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain.
Kemudian,
murid-murid mereka seperti:
-
Al-Bukhari (wafat 256 H)
-
Muslim (wafat 261 H)
- Abu
Hatim (wafat 277 H)
- Abu
Zur’ah (wafat 264 H)
- Abu
Dawud (wafat 275 H)
-
At-Tirmidzi (wafat 279)
-
An-Nasa’i (wafat 303 H), dan lain-lain.
Setelah
itu, orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:
-
Ibnu Jarir At-Thabari (wafat 310 H)
-
Ibnul Khuzaimah (wafat 311 H)
-
Ad-Daruquthni (wafat 385 H)
-
Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H)
- Abdul Ghani Al-Maqdisi dan Ibnul
Qudamah (wafat 620 H)
-
Ibnu Shalih (wafat 743 H)
-
Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)
-
Al-Muzzi (wafat 743 H)
-
Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
-
Ibnu Katsir (wafat 774)
- Dan
ulama yang seangkatan di zaman mereka.
Kemudian
yang setelahnya yang mengikuti jejak mereka dalam berpegang dengan kitab
dan sunnah sampai hari ini. Mereka itulah yang kita maksud dengan Ashabul
Hadits.
Pembelaan
Mereka terhadap Aqidah
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Mereka membelanya dan membersihkannya dari
penyelewengan, kedustaan, dan takwil-takwil Ahli Bid’ah.
Maka,
ketika muncul Ahli Bid’ah yang pertama yaitu Khawarij, Ali radhiallahu anhu
dan para shahabat bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan
mengambil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam riwayat-riwayat yang
menyuruh untuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka
adalah sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. (Lihat Mawaqifus Shahabah
fil Fitnah Bab 3 juz 2 hal 191 oleh Dr Muhammad Ahmazun)
Ketika
Syiah muncul, Ali radhiallahu anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan
dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali
cambukan. Dan orang-orang ekstrim dari kalangan mereka yang mengangkat Ali
sampai ke tingkat Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar dengan api. (lihat Fatawa
Syaikhul Islam)
Demikian
pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar radhiallahu anhu berita tentang
suatu kaum yang menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut
mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan
kepada pembawa berita tersebut: “Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah
pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara`) dari mereka dan mereka berlepas
diri dariku! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka
memiliki emas segunung Uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah
tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dengan taqdir baik dan
buruknya.” (HR. Muslim 1/36)
Imam
Malik pun ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al-Qur`an itu
makhluk, maka beliau berkata: “Dia menurut pendapat adalah kafir, bunuhlah
dia!” Juga Ibnul Mubarak, Al-Laits bin Sa’d, Ibnu Uyainah, Hasyim, Ali bin
Ashim, Hafs bin Gayats maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya.
Pendapat yang seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Tsauri, Wahab bin
Jarir dan Yazid bin Harun. (Mereka semua mengatakan): orang-orang itu
diminta untuk taubat. Kalau tidak mau, dipenggal kepala mereka. (Syarah
Ushul I’tikad 494, Khalqu Af’alil Ibad hal 25, Asy’ariyah oleh Al-Ajuri hal
79, dan Syarhus Sunnah/Al-Baghawi 1/187)
Rabi’
bin Sulaiman Al-Muradi, shahabat Imam Syafi’i, berkata: “Ketika Haf
Al-Fardi mengajak bicara Imam Syafi’i dan dia mengatakan Al-Qur`an itu
makhluk, maka Imam berkata kepadanya: ‘engkau telah kafir kepada Allah yang
maha Agung.” Imam Malik pernah ditanya tentang bagaimana istiwa` Allah di
atas ‘Arsy-Nya, maka dia mengatakan: “Istiwa` sudah diketahui (maknanya),
sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan pertanyaan tentang itu adalah
bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid’ah!” Kemudian (orang yang
bertanya itu) diperintahkan untuk keluar dan beliau menegaskan bahwa
sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau juga pernah mengeluarkan
seseorang dari majelisnya karena dia seorang Murji’ah. (Syarah Ushul
I’tiqad 664)
Said
bin Amir berkata: “Al-Jahmiyyah lebih jelek ucapannya daripada Yahudi dan
Nasrani. Yahudi dan Nasrani dan seluruh penganut agama (samawi) telah
sepakat bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka
(Al-Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy.” (Khalqu
Af’alil Ibad hal 15)
Ibnul
Mubarak berkata: “Kami tidak mengatakan seperti ucapan Jahmiyyah bahwa Dia
(Allah) itu di bumi. Tetapi (kami katakan) Allah di atas Arsy-Nya
beristiwa.” Ketika ditanyakan kepadanya: “Bagaimana kita mengenali Rabb
kita?” Beliau berkata: “Di atas Arsy… Sesungguhnya kami bisa mengkisahkan
ucapan Yahudi dan Nasrani, tapi kami tidak mampu untuk mengkisahkan ucapan
Jahmiyyah.” (Khalqu Af’alil Ibad/Bukhari hal 15, As-Sunnah/Abdullah bin
Ahmad bin Hambal 1/111 dan Radd Alal Jahmiyyah/Ad-Darimi hal. 21 dan 184)
Imam
Bukhari berkata: “Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nasrani dan Majusi. Tetapi
aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran selain mereka (Jahmiyah)
dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa yang tidak mengkafirkan mereka
kecuali yang tidak mengetahui kekufuran mereka.” (Khalqu Af’alil Ibad hal
19)
Dikeluarkan
oleh Baihaqi dengan sanad yang baik dari Al-Auza’i bahwa dia berkata: “Kami
dan seluruh tabi’in mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya
dan kami beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan dalam sunnah.” Abul
Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin Hasan As-Syaibani bahwa
dia berkata: “Seluruh fuqaha (ulama) di timur dan di barat telah sepakat
atas keimanan kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits yang dibawa oleh rawi-rawi
yang tsiqah (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang
sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta’ala tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa
tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan sesuatu daripadanya dan
mengucapkan seperti ucapan Jahm (bin Sufyan), maka dia telah keluar dari
apa yang ada di atasnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para
shahabatnya, dan dia telah memisahkan diri dari Al-Jama’ah karena telah
mensifati Allah dengan sifat yang tidak ada.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus
Sunnah 740)
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi’i dari Yunus bin Abdul A’la: Aku
mendengar Imam Syafi’i berkata: “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat
yang tidak seorangpun bisa menolaknya. Barangsiapa yang menyelisihinya
setelah tetap (jelas) baginya hujjah, maka dia telah kafir. Adapun jika
(menyelisihinya) sebelum tegaknya hujjah, maka dia dimaklumi karena bodoh.
Karena ilmu tentangnya tidak bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak pula
dengan pemikiran. Oleh sebab itu, kami menetapkan sifat-sifat ini dan
menafikan tasybih sebagaimana Allah menafikan dari dirinya sendiri.” (Lihat
Fathul Bari 13/406-407)
Abu
Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits
tentang Allah menerima sedekah dengan tangan kanannya (muttafaqun alaih),
katanya: “Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu (ulama) yang telah berkata
tentang hadits ini dan yang mirip dengan ini dari riwayat-riwayat tentang
sifat-sifat Allah seperti turunnya Allah tabaraka wa Ta’ala setiap malam ke
langit dunia. Mereka semuanya mengatakan: Telah tetap riwayat-riwayat
tentangnya, diimani dengannya, tidak menduga-duga dan tidak mengatakan
“bagaimana”. Demikian pula ucapan seluruh ahli ilmu dari kalangan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.”
Demikianlah
contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang
bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah
menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud Al-Khuraibi bahwa Ashabul
Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan-kepercayaan Allah atas
Dien-Nya dan penjaga-penjaga sunnah nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal.
Ditegaskan oleh Imam Ats-Tsauri rahimahullah: “Malaikat adalah
penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.”
Ibnu Zurai’ rahimahullah juga menambahkan: “Setiap Dien memiliki pasukan
berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ahlul
Hadits).” Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam
Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan
kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits
menulis kitab-kitab tentang aqidah Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan
pemahaman-pemahaman bid’ah dan sesat, baik itu fuqaha (ahli fiqih) mereka,
mufasir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan
mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan
amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari
dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis,
riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka
periksa.
Akhirnya,
marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini: “Jika aku
melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka aku seakan-akan melihat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam hidup kembali.” (HR. Al-Khatib dengan sanad
SHAHIH, Syaraf Ashabul Hadits hal 26)
Wahai
Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman
daripada kami. Dan janganlah Kau jadikan di hati kami kebencian atau
kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun dan Maha Penyayang.
|
FIR'AUN
YANG DITENGGELAMKAN
(Keadaan
mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta
orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka
Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami Tenggelamkan
Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang
zalim.( QS Al Anfal 54).
Peradaban
Mesir kuno berada dalam waktu yang sama dengan negara kota yang berada di
Mesopotamia, dikenal sebagai satu diantara peradaban tertua di dunia dan
dikenal dengan pengorganisasian negara dan paling maju dalam tatanan sosial
dijamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan tulisan/huruf pada milinium
3 SM dan menggunakannnya, bahwa mereka juga memanfaatkan sungai Nil dan
mereka terselamatkan dari berbagai bahaya luar dalam kaitannya dengan
setting alamiah negara tersebut, nyata-nyata telah memberikan sumbangan
yang besar terhadap bangsa Mesir dalam peningkatan peradaban mereka.
Namun,
masyarakat yang "beradab" ini, pada masa berlakunya "pemerintahan
Fir'aun (Pharaoh)" menggunakan system kafir yang disebutkan secara
jelas dalam Aal qur'an dalam bahasa yang amat jelas dan lugas. Mereka
bersifat congkak, angkuh dengan kebanggaan diri, mengesampingkan dan
mengutuk. Dan akhirnya baik peradaban mereka yang maju, tatanan sosial
politik bahkan dengan tentara yang kuat sekalipun tidak bisa menyelamatkan
ketika mereka dihancurkan.
Wewenang
Sang Fir'aun (Pharaoh)
Peradaban
bangsa Mesir sangat mendasarkan pada kesuburan sungai Nil. Bangsa Mesir
telah menetap di lembah Nil dikarenakan melimpahnya air di sungai ini dan
karena mereka bisa mengolah tanah dengan persediaan air yang telah
diberikan oleh sungai yang tidak tergantung kepada musim hujan. Ahli
sejarah Ernest H Gombrich mengaakan dalam tulisannya bahwa Afrika sangatlah
panas dan terkadang tidak pernah sama sekali turun hujan selama
berbulan-bulan. Inilah sebabnya mengapa banyak daerah di benua yang besar
ini sangat luar biasa keringnya. Bagian-bagian dari benua ini tertutup oleh
lautan pasir yang sangat luas. Di kedua sisi sungai Nil juga tertutup oleh
pasir dan di Mesir sendiripun jarang terjadi hujan. Namun di negeri ini
hujan tidaklah terlalu dibutuhkan karena sungai Nil yang mengalir melintas
ditengah-tengah seluruh negara .1
Jadi
siapapun yang nenguasai sungai Nil yang sangtlah penting tersebut maka
dialah yang bisa menguasai asset terbesar perdagangan dan pertanian Mesir.
Pharaoh bisa melangengkan dominasinya atas Mesir dengan jalan ini.
Bentuk
sungai Nil yang sempit dan memanjang di Lembah Nil tidak memungkinkan
unit-tunit kependudukan yang berada disekitar sungai untuk terlalu
mengembangkan wilayahnya. Itulah sebabnya bangsa Mesir lebih memilih untuk
membentuk sebuah peradaban yang terdiri dari kota-kota kecil dan
perkampungan daripada kota-kota besar. Faktor inilah yang memperkuat
dominasi Pharaoh atas masyarakatnya.
Raja
Menes dikenal sebagai pharaoh Mesir pertama yang menyatukan seluruh Mesir
kuno untuk pertama kalinya dalam sejarah dalam sebuah negara persatuan
kurang lebih 3000 SM. Kenyaaan bahwa istilah "Pharaoh " asal
usulnya merujuk pada istana dimana raja Mesir berada, namun pada saat itu
menjadi gelar dari raja-raja Mesir. Inilah sebabnya mengapa raja yang
memerintah Mesir kuno mulai disebut " Pharaoh".
Sebagai
pemilik, pengatur dan penguasa dari seluruh negara dan wilayah-wilayahnya,
maka Pharaoh diterima sebagai pengejawantahan dari dewa yang terbesar dalam
kepercayaan Mesir kuno yang Politheistik dan menyimpang. Administrasi dari
wilayah Mesir, pembagian mereka, pendapatan mereka, singkatnya, seluruh
pertanian, jasa dan produksi dalam batas-batas wilayah negara dikelola
dalam kekuasan Pharaoh.
Absolutisme
dalam masa kepemimpinannya telah melengkapi penguasaannya terhadap negara
dengan kekuasaan yang dapat melakukan semua hal sesuai dengan
keinginannnya. Tepat pada dinasti pertama kekuasaannya Menes yang menjadi
raja Mesir yang berhasil menyatukan Hulu dan Hilir Mesir, Sungai Nil
diserahkan kepada publik dengan menggunakan saluan-saluran air. Disamping
itu seluruh produksi berada dibawah penguasaan dan seluruh produksi barang
dan jasa diberikan untuk kepentingan sang raja. Rajalah yang
mendistribusikan dan membagi barang dan jasa dalam proporsi yang diinginkan
oleh rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja yang telah memiliki suatu kekuasaan
di daeah tersebut untuk menempatkan rakyat dalam kepatuhan Raja Mesir atau
yang nantinya bernama Pharaoh dan dia mengaku dirinya sebagai Makhluk suci
yang memegang kekuasan yang besar dan mencakupi semua kebutuhan rakyatnya
dan ia mengubah dirinya menjadi tuhan. Para Pharaoh benar-benar percaya
bahwa diri mereka adalah tuhan.
Kata-kata
Pharaoh (Fir'aun) disebutkan dalam al Qur'an yang digunakan dalam
percakapannya dengan Musa, hal ini membuktikan bahwa mereka percaya atas
ketuhanan Pharaoh. Ia mencoba mengancam Musa dengan mengatakan ;"
Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan
menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan". ( QS Asy-Syu'ara
29), dan berkata Fir-aun kepada orang-orang di sekelilingnya ;" Hai
Pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku". (QS Al
Qashas 38).
Ia
mengatakan ini semua karena menganggap dirinya adalah tuhan.Kepercayaan
relijius bangsa Mesir kebanyakan
berdasarkan kepada pengabdian
terhadap tuhan-tuhan mereka.
”Perantara” antara tuhan-tuhan ini dengan manusia adalah para pendeta yang merupakan bagian dari para
pemuka masyarakat.
Karena
berurusan dengan ilmu magis dan
sihir, para pendeta menjadi kelas
penting yang digunakan oleh para
fir’aun untuk menjaga kepatuhan rakyatnya. Kepercayaan Agama Menurut
Herodotus seorang ahli sejarah, Mesir kuno adalah umat yang paling beriman
di dunia. Namun agama mereka bukanlah agama yang sejati, namun merupakan
sebuah bentuk politheisme yang sesat. Dan mereka tidak bisa meningalkan
agama sesat mereka karena mereka orang-orang yang sangat kolot
(konservatif).
Bangsa
Mesir kuno sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana mereka hidup.
Keadaan alam Mesir menjaga negara tersebut terhadap serangan dari luar
secara sempurna. Mesir dikelilingi oleh gurun pasir, pegunungan dan lautan
disemua sisi. Serangan mungkin dilakukan terhadap negara tersebut hanya
dengan kemungkinan dua jalan, namun mereka dapat dengan mudah
mempertahankan diri. Bangsa Mesir menjadi terisolasi dari dunia luar berkat
faktor-faktor alam ini. Namun dengan sifat fanatik yang berlebihan sehingga
bangsa Mesir memperoeh cara berpikir yang membelenggu mereka terhdap
perkembangan dan hal-hal yang baru dan mereka sangatlah kolot terhadap
agama mereka. Agama nenek moyang mereka yang disebutkan berkali-kali dalam
Al Qur'an menjadi nilai yang paling penting bagi mereka.
Inilah
sebabnya Fir'aun dan lingkungan dekatnya mengingkari Musa dan Harun ketika
mengumumkan Agama Sejati dengan mengatakan ;
Mereka
berkata; "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari
apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu
berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?, kami tidak akan mempercayai kamu
berdua".(QS. Yunus: 78)
Agama/kepecayaan
dari bangsa Mesir kuno dibagi ke dalam cabang-cabang, yang paling utama
menjadi agama resmi negara adalah kepercayaan terhadap orang-orang dan
adanya kehidupan setelah kematian.
Menurut
agama resmi negara, Fir'aun (Pharaoh) adalah mahkluk suci, dia adalah
pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan tujuannya adalah
untuk menyelenggarakan keadilan dan melindungi mereka di dunia.
Kepercayaan
yang berkembang luas dikalangan masyarakat sangatlah rumit dan unsur-unsur
yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan
Fir'aun. Pada dasarnya mereka percaya kepada banyak tuhan dan tuhan ini
biasanya digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.
Kehidupan
setelah mati merupakan bagian terpenting dalam kepercayaan bangsa Mesir.
Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup setelah jasad mati. Sesuai dengan
hal ini roh-roh dari orang mati dibawa oleh malaikat-malaikat tersebut
kepada tuhan sebagai hakim dan 4 saksi hakim lainnya, sebuah skala derajat
tersusun dipertengahan dan jantung dari ruh/jiwa ditimbang dalam skala ini.
Bagi mereka yang mati dengan timbangan kebaikan lebih banyak hidup dalam
keadaan penuh dengan keindahan dan hidup dalam kebahagiaan, bagi mereka
yang timbangannya lebih berat dengan kejahaan dikirim ke satu tempat dimana
mereka mendapatkan siksaan yang berat. Disana mereka disiksa dalam
keabadian oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan "Pemakan
Kematian".
Kepercayaan
bangsa Mesir terhadap kehidupan di hari kemudian jelas-jelas menunjuukan
paralelisme (kesamaan padangan) dengan kepercayaan monotheistik dan agama
sejati (yang benar). Dan perintah-perintah suci telah mencapai peradaban
Mesir kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan dari monotheisme berubah
menjadi Pholytheisme. Seperti telah diketahui bahwa para pemberi peringatan
menyerukan orang-orang untuk meng-Esakan Allah dan memerintahkan mereka untuk
menjadi hamba-Nya, diutus di Mesir dari masa ke masa sebagaimana mererka
diutus untuk seluruh penduduk dunia pada satu waktu atau waktu yang lain.
Salah satunya adalah Nabi Yusuf yang kehidupannya secara terperinci
diceritakan dalam Al Qur'an. Sejarah Nabi Yusuf adalah sangat penting
karena terdapat kehadiran anak-anak Israel di Mesir dan bagaimana mereka
menatap disana.
Sebaliknya
dalam sejarah terdapat keterangan yang menyatakan bahwa banyak orang Mesir
yang menyerukan orang-orang terhadap kepercayaan -kepercayaan Monotheistik
bahkan sebelum nabi Musa sekalipun, salah satu dari mereka adalah
Pharaoh(Fir'aun) yang paling penting dalam sejarah Mesir, dia adalah
Amenhotep IV.
Fir'aun
Amenhotep IV Yang Monotheistik
Fir'aun-fir'aun
Mesir pada umumnya bersifat brutal, menindas, suka berperang dan
orang-orang yang bengis. Secara umum menereka mengadopsi agama politheisme
Mesir dan mendewa-dewakan diri mereka sendiri melalui agama ini.
Namun
terdapat seorang Fir'aun dalam sejarah Mesir yang sangat-sangat berbeda
dengan yang lainnya. Fir'aun ini mempertahankan kepercayan terhadap sang
pencipta Yang Tunggal dan karenanya ia mendapakan perlawanan yang sangat
kuat dari para pendeta Amon, yang mereka itu mendapatkan keuntungan dari
agama politheisme dan dengan beberapa prajurit yang membantu mereka,
sehingga akhirnya Fir'aun itu terbunuh. Fir'aun ini adalah Amenhotep IV
yang mulai berkuasa di abad XIV SM.
Ketika
Fir'aun Amenhotep IV dinobatkan sebagai raja pada 1375 SM, ia menjumpai
kekolotan (konservatisme) dan tradisionalisme yang telah berlangsung selama
berabad-abad, sehingga susunan masyarakat dalam hubungannya dengan istana
kerajaan terus berlanjut tanpa adanya perubahan. Masyarakat menutup pintu
rapat-rapat terhadap peristiwa dari luar dan kemajuan agama. Konservatisme
yang sangat keras ini juga dikatakan oleh para pengembara Yunani kuno
sebagai diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir seperti disebutkan
diatas.
Sesuai
dengan ketentuan Fir'aun, agama resmi menuntut kepercayaan yang tidak
terbatas dalam segala hal yang lama dan tradisional. Namun Amenhotep IV
tidak menyetujui agama resmi tersebut. Ahli sejarah Ernst Gombrich menulis
:
Amenhotep
IV melakukan banyak perubahan terhadap banyak kebiasaan yang disucikan oleh
tradisi tua dan tidak ingin untuk melakukan penyembahan terhadap tuhan yang
berbentuk dalam berbagai simbol yang aneh dari kaumnya. Baginya hanya satu
Tuhan yang perkasa yaitu Aton, yang disembahnya dan yang diejawantahkannya
dalam bentuk matahari Ia menyebut dirinya setelah tuhannya, sebagai
Akhenaton, dan ia memindahkan istananya menjauh dari jangkauan para pendeta
dari tuhan-tuhan yang lain ke suatu tempat yang sekarang disebut dengan
El-Amarna .2
Setelah
kematian ayahnya, Amenhotep IV muda mendapatkan tekanan yang hebat. Tekanan
ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia membangun sebuah agama yang
berdasarkan paham monotheisme dengan mengubah agama tradisional politheisme
Mesir dan memcoba untuk melakukan perubahan-perubabahan yang radikal dalam
berbagai bidang. Namun para pemimpin Thebes tidak memperbolehkannya untuk
menyampaikan pesan dari agama ini. Amenhotep IV dan orang-orangnya kemudian
berpindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Disini mereka membangun
sebuah kota baru yang modern yang dinamakan "Akh-et-aton".
Amenhotep IV mengubah namanya yang berarti "kesenangan/kesayangan dari
sang Amon" menjadi Akh-en-aton yang berarti "Tunduk kepada sang
Aton". Amon adalah nama yang diberikan untuk patung (totem) yang
terbesar dalam kepercayaan politheisme bangsa Mesir. Menururt Amenhotep IV,
Aton adalah "pencipta dari surga dan dunia", penyamaan nama
sebutannya untuk Allah.
Merasa
terganggu dengan perkembangan ini, maka para pendeta Amon ingin merenggut kekuatan
Akhenaton dengan menciptakan krisis ekonomu di negaranya. Akhenaton
akhirnya terbunuh dengan cara diracun oleh para komplotan yang ingnin
menghancurkannya. Para Fir'aun berikutnya merasa khawatir dan merekapun
tenggelam dalam pelukan pengaruh para pendea tersebut.
Setelah
Akhenaton, muncullah Fir'aun yang berkuasa dengan kekuatan militer. Hal ini
sekali lagi mengakibatkan tradisi lama politheisme menjadi berkembang luas
dan adanya usaha untuk kembali ke masa lalu. Beberapa abad kemudian, Ramses
II yang berkuasa paling lama dalam sejarah Mesir diangkat menjadi raja.
Menurut banyak ahli sejarah, Ramses II adalah Fir'aun yang menyiksa Bani
Israel dan berperang terhadap Nabi Musa . 3
CATATAN
1.
Ernst H. Gombrich, Gençler için Kisa Bir Dünya Tarihi, (Translated into
Turkish by Ahmet Mumcu from the German original script, Eine Kurze
Weltgeschichte Für Junge Leser, Dumont Buchverlag, Köln, 1985), Istanbul:
Inkilap Publishing House, 1997, hlm. 25
2. Ernst H.
Gombrich, The Story of Art, London MCML, The Phaidon Press Ltd., hlm. 42
3. Eli
Barnavi, Historical Atlas of The Jewish People, London: Hutchinson, 1992,
hlm. 4; "Egypt", Encyclopedia Judaica, Vol. 6, hlm. 481 and
"The Exodus and Wanderings in Sinai", Vol. 8, hlm. 575; Le Monde
de la Bible, No:83, July-August 1983, hlm. 50; Le Monde de la Bible,
No:102, January-February 1997, hlm. 29-32; Edward F. Wente, The Oriental
Institute News and Notes, No:144, Winter 1995; Jacques Legrand, Chronicle
of The World, Paris: Longman Chronicle, SA International Publishing, 1989,
hlm. 68; David Ben Gurion, A Historical Atlas Of the Jewish People, New
York: Windfall Book, 1974, hlm. 32
|
|