Bagaimana (Penjelasan Mengenai) Allah
Menghendaki Sesuatu, Sedangkan Dia Tidak Menyukainya?
Sebab, sehat itu adakalanya mendorong
kepada keburukan, kesombongan, dan kagum dengan diri sendiri, karena
seseorang merasa giat, kuat, tentram keadaannya, dan hidupnya
menyenang-kan. Jika dibatasi dengan ujian dan sakit, maka jiwanya menangis,
hatinya menjadi lembut, dan bersih dari noda-noda akhlak yang tercela serta
sifat-sifat yang buruk, seperti sombong, congkak, ‘ujub (kagum dengan diri
sendiri), dengki, dan sifat lainnya. Sebagai gan-tinya ialah ketundukan
kepada Allah, menangis di hadapan-Nya, tawadhu’ (rendah hati) kepada
manusia, dan tidak congkak terhadap mereka. Al-Munbaji rahimahullah
berkata, “Orang yang tertimpa musibah hendaknya mengetahui bahwa seandainya
tidak ada ujian dunia dan berbagai musibahnya, niscaya manusia tertimpa
penyakit sombong, ‘ujub, congkak, dan keras hati, yang merupakan sebab
kebinasaannya, segera maupun tertunda. Di antara rahmat sebaik-baik Dzat
Yang Maha Penyayang ialah, Dia memberikan kepadanya -kadangkala- berbagai
macam obat berupa musibah, yang akan menjadi pelindung baginya dari
penyakit-penyakit ini, memelihara kebenaran ibadahnya, serta mengenyahkan
berbagai unsur yang merusak, hina, dan membinasakan.
Apakah Keburukan Dapat Dinisbatkan
Kepada Allah Ta’ala?
Jika seseorang bertanya: Kita beriman
kepada qadar, baik dan buruknya, yang berasal dari Allah, tetapi apakah
dibenarkan menisbatkan keburukan kepada Allah Ta’ala? Apakah ada hal yang
buruk dalam perbuatan-perbuatan-Nya? Jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah Mahasuci dari keburukan, dan tidak berbuat kecuali kebaikan. Qadar
yang dinisbatkan kepada Allah tidak berisikan keburukan dalam satu segi
pun. Sebab, ilmu Allah, pencatatan, masyii-ah dan penciptaan-Nya, semuanya
itu murni kebaikan dan sempurna dari segala segi. Keburukan tidak boleh
dinisbatkan kepada Allah dari satu segi pun, tidak dalam Dzat-Nya, tidak
dalam Asma (nama-nama) dan Sifat-Nya, serta tidak pula dalam
perbuatan-perbuatan-Nya. Seandainya Dia melakukan keburukan, niscaya telah
terambil suatu nama dari keburukan tersebut untuk-Nya, dan tidak akan pula
semua Asma-Nya itu husna (indah), tetapi niscaya akan tertuju kepadanya
hukum dari keburukan. Mahatinggi dan Mahasuci Allah (dari semua itu).
Keburukan hanyalah ada pada makhluk-Nya. Keburukan itu berada dalam apa
yang ditentukan (al-maqdhi), bukan ada dalam ketentuan (al-qadha').
Kehendak Allah (al-Iraadah
ar-Rabbaaniyyah)
Iraadah kauniyyah adakalanya disukai
Allah dan diridhai-Nya, dan adakalanya tidak disukai dan tidak
diridhai-Nya. Adapun iraadah syar’iyyah adalah dicintai Allah dan
diridhai-Nya, karena iraadah kauniyyah itu semakna dengan masyii-ah
(kehendak), sedang-kan iraadah syar’iyyah itu semakna dengan mahabbah
(cinta). Iraadah kauniyyah adakalanya dimaksudkan untuk yang lain, misalnya
penciptaan iblis dan seluruh keburukan, agar dengan sebab itu diperoleh
berbagai perkara yang dicintai, seperti taubat, mujahadah, dan istighfar.
Adapun iraadah syar’iyyah ditujukan untuk dzatnya itu sendiri, sebab Allah
menghendaki ketaatan dan mencintainya, mensyari’at-kan, dan juga meridhai
dzatnya itu sendiri. Iraadah kauniyyah pasti terjadinya, karena jika Allah
telah menghendaki sesuatu, maka pasti terjadi, seperti menghidupkan
seseorang atau mematikannya, atau selain itu. Adapun iraadah syar’iyyah,
seperti Islam misalnya, maka tidak harus terjadi, tapi bisa terjadi dan
bisa tidak terjadi. Seandainya pasti terjadinya, niscaya manusia seluruhnya
telah menjadi muslim. Iraadah kauniyyah adalah berkenaan dengan rububiyyah
Allah dan penciptaan-Nya, sedangkan iraadah syar’iyyah berkenaan dengan
uluhiyyah Allah dan syari’at-Nya.
Kapan Dibolehkan Berdalih Dengan
Qadar?
Diizinkan berdalih dengan qadar pada
saat musibah menimpa manusia, seperti kefakiran, sakit, kematian kerabat,
matinya tanaman, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan
sejenisnya, karena hal ini merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah
sebagai Rabb. Maka berdalih dengan takdir hanyalah terhadap musibah, bukan
pada perbuatan aib. “Orang yang berbahagia, ia akan beristighfar dari
perbuatan aib dan bersabar terhadap musibah, sebagaimana firman-Nya: ‘Maka
bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah
ampunan untuk dosamu… ." Sedangkan orang yang celaka, ia akan bersedih
ketika menghadapi musibah, dan berdalih dengan qadar atas perbuatan aib
(yang dilakukannya).” Contoh berikut ini akan menjelaskan hal itu:
Seandainya seseorang membunuh orang lain tanpa disengaja, kemudian orang
lain mencelanya dan ia berargumen dengan takdir, maka argumennya tersebut
diterima, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk diberi sanksi.
(Bolehkah) Beralasan Dengan Takdir
Atas Perbuatan Maksiat Atau Dari Meninggalkan Kewajiban
Keimanan kepada qadar tidaklah
memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban
yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Tidak boleh seseorang berdalih dengan
takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (ulama) kaum
muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal. Seandainya
hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang
kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya, seperti
membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi,
kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan dengan
takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan
takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan
yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan
dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal".
Apakah Melakukan Sebab-Sebab Dapat
Manafikan Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar?
Melakukan sebab-sebab itu tidak
menafikan iman kepada qadar, bahkan melakukannya merupakan kesempurnaan
iman kepada qadha' dan qadar. “Karena itu, hamba berkewajiban -disamping
beriman kepada qadar- untuk bersungguh-sungguh dalam pekerjaan, menempuh
faktor-faktor kesuksesan, dan bersandar kepada Allah Subhanahuwa Ta’ala
agar memudahkan baginya sebab-sebab kebahagiaan, serta menolongnya atas hal
itu.”. Nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah berisikan perintah untuk melakukan
upaya-upaya yang disyari’atkan dalam berbagai urusan kehidupan:
memerintahkan bekerja, berusaha mencari rizki, me-nyiapkan peralatan untuk
menghadapi musuh, berbekal untuk perjalanan, dan lain sebagainya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi…"
Apakah Iman Kepada Qadar Menafikan
Kehendak Hamba Dalam Berbagai Perbuatan Yang Dapat Dipilihnya?
Iman kepada qadar -sebagaimana yang
telah disinggung- tidak menafikan keadaan hamba dalam memiliki kehendak
pada perbuatan-perbuatan yang dipilihnya dan mempunyai kuasa terhadapnya.
Hal itu ditunjukkan oleh syari'at dan fakta. Dalam syari'at, dalil-dalil
mengenai hal itu sangat banyak sekali, di antaranya firman Allah Ta'ala.
"...Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan
kembali kepada Rabb-nya". Juga firman-Nya yang lain. "...Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki.." Juga firman-Nya. "Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya...". Sedangkan berdasarkan
fakta, maka setiap manusia mengetahui bahwa dia mempunyai kehendak dan
kemampuan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, serta mampu
membedakan antara apa yang terjadi dengan kehendaknya, seperti berjalan,
dan apa yang terjadi dengan selain kehendaknya, seperti gemetar.
Apa Kewajiban Hamba Berkenaan Dengan
Masalah Takdir?
Kewajiban seorang hamba dalam masalah
ini ialah mengimani qadha' Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at,
perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar
(berita) dan mentaati perintah. Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia
memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun
kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha' Allah
dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa,
maka dia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk
kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka
Allah melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai
dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan
dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis.
Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan
orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis.
Macam-Macam Takdir
At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang
bersifat umum). : Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia
mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah
Ta'ala: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah. Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin
'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000
tahun sebelum menciptakan langit dan bumi." Beliau bersabda, "Dan
adalah 'Arsy-Nya di atas air". at-Taqdiirul Basyari (takdir yang
berlaku untuk manusia). Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji
atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka
sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu.
Tingkatan-Tingkatan Qadar : Tingkatan
Ketiga Al-Masyii-ah, Tingkatan Keempat Al-Khalq
Al-Masyii-ah (Kehendak). Tingkatan
ini mengharuskan keimanan kepada masyii-ah Allah yang terlaksana dan
kekuasaan-Nya yang sempurna. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa
yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, dan bahwa tidak ada gerak
dan diam, hidayah dan kesesatan, melainkan dengan masyii-ah-Nya. “Tingkatan
ini ditunjukkan oleh Ijma’ (kesepakatan) para Rasul, sejak Rasul pertama
hingga terakhir, semua kitab yang diturunkan dari sisi-Nya, fitrah yang
padanya Allah menciptakan makhluk-Nya, serta dalil-dalil akal dan logika.”
Nash-nash yang menunjukkan dasar ini sangat banyak sekali dari al-Qur-an
dan as-Sunnah, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. "Dan
Rabb-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya… ." Firman
Allah yang lain: "Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam."
Tingkatan-Tingkatan Qadar : Tingkatan
Pertama Al-Ilmu, Tingkatan Kedua Al-Kitaabah
Al-Ilmu, yaitu, beriman bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu, baik secara global maupun terperinci, azali
(sejak dahulu) dan abadi, baik hal itu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan-Nya
maupun perbuatan-perbuatan para hamba-Nya, sebab ilmu-Nya meliputi apa yang
telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi yang
seandainya terjadi, bagaimana terjadinya. Dia mengetahui yang ada, yang
tidak ada, yang mungkin, serta yang mustahil, dan tidak luput dari ilmu-Nya
seberat dzarrah pun di langit dan di bumi. Dia mengetahui semua ciptaan-Nya
sebelum Dia menciptakan mereka. Dia mengetahui rizki, ajal, ucapan,
perbuatan, maupun semua gerak dan diam mereka, juga siapakah ahli Surga
ataupun ahli Neraka. Tingkatan ini -yaitu ilmu yang terdahulu- disepakati
oleh para Rasul, sejak Rasul yang pertama hingga yang terakhir.
Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Secara Umum Tentang Qadar
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah ditanya tentang qadar, maka beliau menjawab dengan jawaban
panjang lebar, yang berisi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara umum
mengenai masalah ini. Di antara pernyataannya: “Madzhab Ahlus Sunnah wal
Jama’ah mengenai masalah ini dan yang lainnya ialah (sesuai dengan) apa
yang ditunjukkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah serta apa yang diikuti para
as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta
segala sesuatu, Rabb, dan Yang menguasainya. Termasuk juga di dalamnya
semua benda yang berdiri sendiri dan sifat-sifatnya yang menyatu dengannya,
berupa perbuatan-perbuatan hamba dan selain perbuatan-perbuatan hamba. Apa
yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya
tidak akan terjadi.
Dalil-Dalil Iman Kepada Qadha Dan
Qadar
Adapun berdasarkan fitrah, bahwa iman
kepada qadar adalah sesuatu yang telah dimaklumi secara fitrah, baik dahulu
maupun sekarang, dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali sejumlah kaum
musyrikin. Kesalahannya tidak terletak dalam menafikan dan mengingkari
qadar, tetapi terletak dalam memahaminya menurut cara yang benar. Karena
itu, Allah Azza wa Jalla berfirman tentang kaum musyrikin:
"Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah
menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya...
.’". Mereka menetapkan kehendak (masyii-ah) bagi Allah, tetapi mereka
berargumen dengannya atas perbuatan syirik. Kemudian Dia menjelaskan bahwa
ini merupakan keadaan umat sebelum mereka, dengan firman-Nya: "…
Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para
Rasul)… ."
Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar
: Mengetahui Hikmah Allah, Ketenangan Hati Ketentraman Jiwa
Tidak ada yang mengetahui
perkara-perkara ini, tidak ada yang merasakan manisnya, dan tidak ada yang
mengetahui hasil-hasilnya, kecuali orang yang beriman kepada Allah beserta
qadha' dan qadar-Nya. Orang yang beriman kepada qadar hatinya tenang,
jiwanya tentram, keadaannya tenang, dan tidak banyak berpikir mengenai
keburukan yang bakal datang. Kemudian, jika keburukan tersebut datang,
hatinya tidak terbang tercerai-berai, tetapi dia tabah terhadap hal itu
dengan mantap dan sabar. Jika sakit, sakitnya tidak menambah keraguannya.
Jika sesuatu yang tidak disukai datang kepadanya, dia menghadapinya dengan
ketabahan, sehingga dapat meringan-kannya. Di antara hikmahnya ialah agar
manusia tidak menghimpun pada dirinya antara kepedihan karena khawatir
terhadap datangnya keburukan dengan kepedihan karena mendapatkan keburukan.
Tetapi dia berbahagia, selagi sebab-sebab kesedihan itu jauh darinya. Jika
hal itu terjadi, maka dia menghadapinya dengan keberanian dan keseimbangan
jiwa.
Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar
: Qana'ah Dan Kemuliaan Diri, Bertekad Dan Bersungguh-Sungguh
Seseorang yang beriman kepada qadar
mengetahui bahwa rizkinya telah tertuliskan, dan bahwa ia tidak akan
meninggal sebelum ia menerima sepenuhnya, juga bahwa rizki itu tidak akan
dicapai oleh semangatnya orang yang sangat berhasrat dan tidak dapat
dicegah oleh kedengkian orang yang dengki. Ia pun mengetahui bahwa seorang
makhluk sebesar apa pun usahanya dalam memperoleh ataupun mencegahnya dari
dirinya, maka ia tidak akan mampu, kecuali apa yang telah Allah tetapkan
baginya. Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan,
kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan
kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka. Hal tersebut tidak berarti
bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemuliaan, tetapi yang dimaksudkan
dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh
usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar
: Syukur, Kegembiraan, Rendah Hati, Kemurahan Dan Kedermawanan
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullahu
“Hal yang dapat memutuskan rasa takut adalah berserah diri kepada Allah.
Maka, barangsiapa yang menyerahkan diri dan tunduk kepada Allah, mengetahui
bahwa apa pun yang menimpanya tidak akan luput darinya, sedangkan apa pun
yang luput darinya tidak akan pernah menimpanya, dan juga mengetahui bahwa
tidak akan menimpanya, kecuali apa yang telah dituliskan baginya, maka
tidak akan tersisa tempat pada hatinya untuk takut kepada para makhluk.
Sesungguhnya, jiwanya yang ia khawatirkan keselamatanya, sebenarnya telah berserah
diri kepada Pelindungnya, dan mengetahui bahwa tidak akan menimpa jiwa itu,
kecuali yang telah dituliskan, dan bahwa apa pun yang telah dituliskan
baginya pasti menimpanya. Jadi pada hakikatnya, tidak pantas ada rasa takut
kepada selain Allah itu.”
Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar
: Kesabaran Dan Ketabahan, Memerangi Keputusasaan, Ridha
Berbeda dengan orang yang lemah
keimanannya kepada qadar, yang tidak kuat untuk bersabar dan tidak bersabar
terdapat suatu masalah yang paling kecil pun yang dihadapinya, karena
kelemahan imannya, kelembekan jiwanya, dan kecemasannya yang besar terhadap
sesuatu yang kecil. Ketika dia tertimpa sesuatu yang remeh, Anda melihatnya
sempit dadanya, sedih hatinya, murung wajahnya, tertunduk penglihatannya,
kesedihan menghimpit dadanya, lalu semua hal itu membuatnya tidak bisa
tidur dan memeluhkan keningnya. Musibah itu -bahkan yang lebih besar
darinya- sekiranya menimpa orang yang lebih kuat keimanan dan ketabahan
musibah itu daripadanya, maka dia tidak akan menghiraukannya, hal itu tidak
mengusik jiwanya, kelopak matanya masih bisa terpejam, hatinya ridha, dan
dirinya pun tetap tenang.
Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar
: Terbebas Dari Syirik, Ikhlas, Tawakkal, Takut Kepada Allah
Orang yang beriman kepada qadar akan
berprasangka baik kepada Allah dan sangat berharap kepada-Nya, karena dia
mengetahui bahwa Allah tidak menetapkan suatu ketentuan pun melainkan di
dalamnya berisikan kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan.
Ia tidak menghujat Rabb-nya mengenai berbagai qadha' dan qadar yang
ditentukan atasnya, dan hal itu mengharuskannya untuk konsisten di sisi-Nya
dan ridha kepada apa yang dipilihkan Rabb-nya untuknya, sebagaimana
mengharuskan untuknya menunggu kelapangan. Hal itu dapat meringankan beban
yang berat, terutama bila disertai harapan yang kuat atau yakin dengan
adanya kelapangan. Ia mencium dalam bencana itu udara kelapangan dan jalan
keluar, baik berupa kebaikan yang tersembunyi dan baik berupa kelapangan
yang disegerakan.
Definisi Qadha' Dan Qadar Serta
Kaitan Di Antara Keduanya
Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan
qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’ ialah penciptaan,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’al. "Maka Dia menjadikannya
tujuh langit… ." Yakni, menciptakan semua itu. Qadha' dan qadar adalah
dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang
lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar,
dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha'.
Barangsiapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia
bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. Dikatakan pula
sebaliknya, bahwa qadha' ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya
Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan
sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya.
Hukum Membicarakan Permasalahan Qadar
Sebelum membicarakan secara
terperinci tentang qadha' dan qadar, ada baiknya membicarakan mengenai
masalah yang tersiar di masa dahulu dan di masa sekarang, yang intinya
adalah bahwa tidak boleh membicarakan tentang masalah-masalah takdir secara
mutlak. Alasannya bahwa hal itu dapat membangkitkan keraguan dan
kebimbangan, dan bahwa masalah ini telah menggelincirkan banyak telapak
kaki dan menyesatkan banyak pemahaman. Pernyataan demikian, secara mutlak
adalah tidak benar, hal itu dikarenakan beberapa alasan, di antaranya
yaitu: Iman kepada qadar adalah salah satu rukun iman. Iman seorang hamba
tidak sempurna kecuali dengannya. Bagaimana hal ini akan diketahui, jika
tidak dibicarakan dan dijelaskan perkaranya kepada manusia? Iman kepada
qadar telah disebutkan dalam hadits teragung dalam Islam, yaitu hadits
Malaikat Jibril Alaihissalam, dan hal itu terjadi di akhir kehidupan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Dia adalah Malaikat Jibril, ia datang kepada kalian
untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian"
Tingkatan Qadha' Dan Qadar
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah
qadha' dan qadar mempunyai empat tingkatan: Pertama: Al-'Ilm (pengetahuan),
yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah Mahatahu atas segala sesuatu. Dia
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terinci,
baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada
sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya. Kedua: Al-Kitabah (penulisan), yaitu
mengimani bahwa Allah telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh
Mahfuzh yang ada disisiNya. Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah
dalam firmanNya: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah".
Sanggahan Terhadap Mereka Yang
Menetapkan Kemampuan Manusia Dan Meniadakan Kehendak Allah
Mereka yang menganut pendapat ini
sebenarnya telah mengingkari salah satu aspek dari rububiyah Allah, dan
berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki
dan tidak diciptakanNya. Padahal Allah-lah yang menghendaki segala sesuatu,
menciptakannya dan menentukan qadar (taqdir)nya. Sekarang, kalau semuanya
kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan allah, lalu
apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah
ditakdirkan Allah tersesat dan tidak mendapat petunjuk? Jawabnya : bahwa
Allah menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan
orang-orang yang patut menjadi sesat. Firman Allah : "Maka tatkala
mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah
tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik."
Sanggahan Terhadap Mereka Yang
Ekstrim Dalam Menetapkan Qadar Dan Menolak Adanya Kehendak Makhluk
Seandainya kita mengambil dan
mengikuti pendapat golongan pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam
menetapkan qadar, niscaya sia-sialah syari'at ini dari semula. Sebab bila
dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya,
berarti tidak perlu dipuji atas perbuatan yang terpuji dan tidak perlu
dicela atas perbuatan yang tercela. Karena pada hakikatnya perbuatan
tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan dirinya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa Allah Tabaraka wa Ta'ala -Mahasuci Allah dari pendapat
dan pemahaman yang demikian ini- adalah zhalim jika mengadzab dan menyiksa
orang yang berbuat maksiat, sebab perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan
dengan kehendak dan keinginanny.
Pengertian Tauhid Dan
Pendapat-Pendapat Tentang Qadar
Umat Islam dalam masalah qadar ini
terpecah dalam tiga golongan, diantaranya : Mereka yang ekstrim dalam
menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka
berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan
keinginan, dan hanyalah disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon
yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang
terjadi dengan kemauannya dan perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya.
Tentu saja mereka ini keliru dan sesat, karena sudah jelas menurut agama,
akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan
yang dikehendaki dan perbuatan yang terpaksa.
Kategori Kitab : Qadha & Qadar
Kesaksian Yang Benar Dari Kalangan
Non Muslim Terhadap Qadha Dan Qadar
Keimanan kaum muslimin kepada qadha'
dan qadar telah mencengangkan banyak kalangan non muslim, lalu mereka
menulis tentang perkara ini untuk mengungkapkan ketercengangan mereka dan
mencatatkan kesaksian mereka tentang kekuatan tekad kaum muslimin,
kebesaran jiwa mereka, dan penyambutan mereka yang baik terhadap berbagai
kesulitan hidup. Ini adalah kesaksian yang benar dari kaum yang tidak
beriman kepada Allah serta kepada qadha' dan qadar-Nya. Di antara
orang-orang yang menulis tentang masalah ini ialah penulis terkenal, R.N.S.
Budly, penulis buku Angin di Atas Padang Pasir dan ar-Rasuul, serta 14 buku
lainnya. Dan juga orang yang mengemukakan pendapatnya yaitu Del Carnegie
dalam bukunya, Tinggalkan Kegalauan dan Mulailah Kehidupan, dalam artikel
yang berjudul, Aku Hidup Dalam Surga Allah.
Hujjah Orang Yang Melakukan Maksiat
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang
berhujjahnya orang yang melakukan maksiat รข€“apabila dilarang berbuat
maksiat dengan firman Allah : "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang". Jawaban pertanyaan seperti itu adalah : Apabila ia
berhujjah dengan ayat tadi, maka hujjah kita adalah dengan firman Allah
Ta'ala : "Beritahukan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan bahwa siksaKu adalah siksa yang pedih". Dan
dengan firmanNya. "Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya. Dan
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Jadi apabila
didatangkan ayat-ayat yang mengandung pengharapan, datangkan saja ayat-ayat
yang mengandung ancaman.
Sabda Nabi Tentang Orang Yang Di
Lapangkan Rezki Dan Panjang Umur
Maknanya bukan berarti manusia
memiliki dua umur ; satu umur bila ia menyambung tali silaturahim dan satu
umur lagi bila ia tidak menyambungnya. Karena umur itu hanya satu dan yang
ditetapkan juga satu. Dan manusia yang ditetapkan oleh Allah akan
menyambung tali silaturahim, ia pasti akan menyambungnya dan orang yang
ditetapkan oleh Allah akan memutuskannya, pasti ia akan memutuskannya,
tidak bisa tidak. Akan tetapi Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bermaksud
menganjurkan umat ini untuk melakukan sesuatu yang mengandung kebaikan.
Seperti kita mengatakan ; siapa yang ingin memiliki anak, hendaklah ia
menikah. Nikah telah ditetapkan, demikian pula anak telah ditetapkan. maka
apabila Allah menghendaki anda memiliki anak, berarti Dia menghendaki anda
menikah. Demikian pula rizki telah ditetapkan sejak azali dan juga telah
ditetapkan bahwa anda akan menyambung tali silaturahim. Akan tetapi anda
tidak mengetahui tentang persoalan ini, maka Nabi memotivasi dirimu.
Orang Yang Marah Bila Ditimpa Musibah
Tingkatan manusia dalam menghadapi
musibah diantaranya ridha : Yakni manusia ridha dengan musibah yang
menimpanya. Ia berpandangan bahwa ada dan tidaknya musibah sama saja
baginya, sehingga adanya musibah tadi tidak memberatkannya. ia pun tidak
merasa berat memikulnya. Ini dianjurkan dan tidak wajib menurut pendapat
yang kuat. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya nampak jelas
karena adanya musibah dan tidak adanya sama saja dalam tingkatan ridha.
Adapun pada tingkatan sebelumnya, jika ada musibah dia merasakan berat,
namun ia tetap bersabar. Kemudian, ini merupakan tingkatan yang paling
tinggi. Di sini seseorang bersyukur atas musibah yang menimpanya karena ia
memahami bahwa musibah ini menjadi sebab pengampunan kesalahan-kesalahannya
bahkan mungkin malah menambah kebaikannya.
Bagaimana Allah Menetapkan Yang Tidak
Disukainya
Kerusakan di muka bumi dzatnya
dibenci oleh Allah Ta'ala karena Allah tidak menyukai kerusakan dan
orang-orang yang melakukannya. Tetapi hukum yang dikandungnya disukai oleh
Allah Azza wa Jalla dari satu sisi, demikian juga berlaku sombong di muka
bumi. Misalnya kekurangan hujan, paceklik, sakit dan fakir yang ditetapkan
Allah Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya tidak disukai oleh Allah pada dzatnya, karena
Allah tidak suka menyakiti hamba-hamba-Nya dengan sesuatu dari hal-hal itu,
sebaliknya Dia menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya. Tetapi Dia
mentaqdirkan hukum yang timbul karena musibah tadi, sehingga dicintai Allah
dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain. Allah Ta'ala berfirman.
"Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan
tangan-tangan manusia, agar Dia merasakan kepada mereka sebahagian yang
mereka kerjakan mudah-mudahan mereka kembali"
Hikmah Adanya Kemaksiatan Dan
Kekufuran
Terjadinya berbagai kemaksiatan dan
kekufuran memiliki hikmah yang banyak, antara lain. Pertama.
"Menyempurnakan kalimat Allah Ta'ala, di mana Dia menjanjikan neraka
untuk dipenuhinya. Allah berfirman"."Artinya : Tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Rabb-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabb-mu telah
ditetapkan : Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan
manusia semuaya". Kedua. "Menampakkan hikmah Allah Ta'ala dan
kekuasan-Nya, di mana Dia membagi hamba-hamba-Nya menjadi dua golongan ;
yang taat dan durhaka. Pembagian ini menjelaskan hikmah Allah Azza wa
Jalla, keta'atan ada yang melakukannya dan merekalah ahlinya. Demikian pula
kemaksiatan ada yang melakukannya dan merekalah ahlinya. Allah Ta'ala
berfirman. "Allah lebih mengetahui di mana Dia meletakkan tugas
kerasulan"
Cara Menanggapi Orang Yang Berbuat
Maksiat
Jawabannya sederhana saja ; apakah
kamu melihat yang ghaib atau kamu telah mengambil kesepakatan dengan Allah
? Jika ia menjawab : Ya, berarti ia kufur, karena ia mengaku mengetahui
perkara yang ghaib. Dan jika ia menjawab : Tidak, ia kalah. Jika kamu tidak
mengetahui bahwa Allah belum menetapkan hidayah kepadamu, maka mintalah
hidayah, karena Allah tidak menahan hidayah kepadamu, bahkan Dia menyerumu
kepada hidayah, Dia berkeingiinan agar kamu memperoleh hidayah seraya
mengingatkanmu dari kesesatan dan melarangmu dari padanya. Dan Allah tidak
berkehendak meninggalkan hamba-hamba-Nya dalam kesesatan selama-lamanya.
Dia berfirman. "Allah menerangkan kepadamu supaya kamu tidak
sesat"
Cara Mengkonpromikan Firman Allah
Dalam Surat Al-An'am : 125
Mengkompromikan di antara kedua ayat
itu adalah sebagai berikut ; Allah Ta'ala memberitahukan dalam sebagian
ayat-Nya bahwa semua urusan ada dalam kekuasaan-Nya. Dan dalam sebagian
ayat lainnya memberitahukan bahwa semua perkara itu kembali kepada
mukallaf. Mengkompromikannya begini : setiap mukallaf memiliki kehendak,
ikhtiar dan kemampuan. Sementara yang menciptakan kehendak, ikhtiar dan
kemampuan tersebut adalah Allah Azza wa Jalla. Maka tidak mungkin seorang
makhluk memiliki kehendak kecuali dengan kehendak Allah. Allah Ta'ala
berfirman tentang penjelasan kompromi ini. " Yaitu bagi siapa di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta
alam"
Sesungguhnya Manusia Beramal Dengan
Amalan Jannah
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-'Utsaimin ditanya : " Tentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam : 'Sesungguhnya seseorang selalu beramal dengan amalan ahli jannah
sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan jannah kecuali hanya
sehasta. Namun ketetapan telah mendahuluinya sehingga ia melakukan amalan
ahli neraka, lalu iapun memasukinya. Dan seorang yang senantiasa beramal
dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan
neraka kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah mendahuluinya, sehingga
ia melakukan amalan ahli jannah dan iapun memasukinya". Apakah hadits
ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang yang membaguskan amalannya"
Jika Perbuatan Orang Kafir Telah
Ditulis Mengapa Dia Disiksa
Mereka disiksa karena hujjah telah
sampai kepada mereka, jalan kebenaran telah dijelaskan, lalu para rasul
telah diutus kepada mereka, kitab-kitabnyapun telah diuturunkan. Juga telah
dijelaskan petunjuk dan kesesatan dan mereka diberi motivasi untuk menempuh
jalan petunjuk, sekaligus menjauhi jalan yang sesat. Mereka memiliki akal
dan kehendak ; mereka memiliki kemampuan untuk berikhtiar. Oleh karena itu
kita mendapati orang-orang kafir ini dan juga selain mereka, berusaha
meraih kemaslahatan dunia dengan kehendak dan ikhtiarnya. Kita tidak
mendapati seorangpun dari mereka berupaya meraih sesuatu yang membahayakan
di dunia atau meremehkan dan bermalas-malasan dalam perkara yang bermanfaat
baginya, lalu ia mengatakan : ini telah tertulis sebagai jatahku. Maka
selalunya setiap orang akan berusaha meraih manfaat bagi dirinya. Dengan
demikian, seharusnya mereka berusaha meraih manfaat dalam urusan-urusan
agama mereka sebagaimana mereka berusaha keras meraih manfaat dari urusan
dunianya.
Apakah Rezki Dan Jodoh Telah Ditulis
Di Lauh Mahfudz
Segala sesuatu sejak awal terciptanya
Qalam sampai tiba hari Qiyamat telah tertulis di Lauh Mahfudz, karena sejak
permulaan menciptakan Qalam Allah telah berfirman kepadanya :
"Tulislah", Dia (Qalam) bertanya : "Wahai Rabb-ku, apa yang
harus aku tulis?" Allah berfirman : "Tulislah segala sesuatu yang
terjadi". Kemudian dia (Qalam) menulis segala sesuatu yang terjadi
sampai hari kiamat. Juga diriwayatkan dari Nabi : "Sesungguhnya janin
yang ada dalam kandungan ibunya ketika telah melewati umur empat bulan, maka
Allah mengutus Malaikat kepadanya yang meniupkan roh dan menulis rizqi,
ajal, amal dan apakah dia celaka atau bahagia". Rezqi juga telah
tertulis dan ditakdirkan beserta sebab-sebabnya, tidak bertambah dan tidak
berkurang. Sebagian dari sebab-sebab (rezqi) adalah pekerjaan manusia untuk
mencari rezqi.
Bagaimana Allah Menyiksa Manusia
Sedang Itu Sudah Ditentukan Allah
Sebenarnya hal ini bukanlah polemik.
Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah
persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah
langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang
mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan : "Lakukanlah perbuatan
munkar itu", akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri.
Allah telah berfirman. "Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk
kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan
adakalanya dia kufur". Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun
yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang
benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan
sebagian lagi ada yang tidak memilihnya.
Apakah Do'a Bisa Merubah Ketentuan
Tidak diragukan lagi bahwa do'a
berpengaruh dalam merubah apa yang telah tertulis. Akan tetapi perubahan
itupun sudah digariskan melalui do'a. Janganlah anda menyangka bila anda
berdo'a, berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do'a anda
telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga tertulis. Oleh karena
itu, kita menemukan seseorang yang mendo'akan orang sakit, kemudian sembuh.
juga kisah kelompok sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu
kaum. Akan tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah
mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka. Lalu mereka mencari orang
yang bisa membaca do'a kepadanya (supaya sembuh).
Hukum Ridha' Terhadap Qadar
Ridha pada Qadar hukumnya wajib,
karena hal itu termasuk kesempurnaan ridha akan rububiyah Allah. Maka
setiap mu'min harus ridha pada Qadha' Allah. Akan tetapi Muqadha (sesuatu
yang diqadha') masih perlu dirinci, karena sesuatu yang diqadha berbeda
dengan Qadha itu sendiri. Qadha adalah perbuatan Allah, sedangkan sesuatu
yang diqadha' adalah sesuatu yang dikenai Qadha'. Maka Qadha' yang
merupakan perbuatan Allah harus kita relakan dan dalam kondisi apapun kita
tidak boleh membencinya selamanya. Adapun sesuatu yang diqadha' terbagi
menjadi tiga macam : "Wajib direlakan". "Haram
direlakan". "Disunnahkan untuk direlakan". Sebagai contoh,
perbuatan maksiyat adalah sesuatu yang diqadha oleh Allah dan ridha pada
kemasyiatan hukumnya haram, sekalipun dia terjadi atas Qadha Allah.
Apakah Manusia Diberi Kebebasan
Memilih
Penanya seharusnya bertanya pada diri
sendiri ; Apakah dia merasa dipaksa oleh seseorang untuk menanyakan
pertanyaan ini, apakah dia memilih jenis mobil yang dia inginkan ? dan
berbagai pertanyaan semisalnya. Maka akan tampak jelas baginya jawaban
tentang apakah dia dijalankan atau dibebaskan memilih. Kemudian hendaknya
dia bertanya kepada diri sendiri ; Apakah dia tertimpa musibah atas dasar
pilihannya sendiri ? Apakah dia tertimpa penyakit atas dasar pilihannya ?
Apakah dia mati atas dasar pilihannya sendiri ? dan berbagai pertanyaan
semisalnya. Maka akan jelas baginya jawaban tentang apakah dia dijalankan
atau dibebaskan memilih. Jawabnya : Sesungguhnya segala perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat jelas dia lakukan atas dasar
pilihannya. Simaklah firman Allah. "Maka barangsiapa menghendaki, maka
dia mengambil jalan menuju Rabb-Nya"
Segala Sesuatu Telah Ditentukan Dan
Manusia Diberi Pilihan
Masalah ini (Qadar) memang menjadi
pusat perdebatan di kalangan umat manusia sejak zaman dahulu. Oleh karena
itu, dalam hal ini mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok,
yaitu dua kelompok saling kontroversial dan satu kelompok sebagai penengah.
Kelompok Pertama. "Memandang pada keumuman Qadar Allah, sehingga dia
buta tentang kebebasan memilih hamba. Dia mengatakan : "Sesungguhnya
dia dipaksa dalam segala perbuatannya dan tidak mempunyai kebebasan memilih
jalannya sendiri. Maka jatuhnya seseorang dari atap bersama angin dan
sebagainya sama dengan turun dari atap tersebut dengan tangga sesuai dengan
pilihannya sendiri". Kelompok Kedua. "Memandang bahwa seorang
hamba melakukan dan meninggalkan sesuatu dengan pilihannya sendiri,
sehingga dia buta dari Qadar Allah. Dia mengatakan bahwa seorang hamba
bebas memilih semua perbuatannya dan tidak ada hubungannya dengan Qadar
Allah". Kelompok Penengah. "Maka mereka melihat dua sebab. Mereka
memandang pada keumuman Qadar Allah dan sekaligus kebebasan memilih
hamba-Nya.
Adakah Tingkat Keimanan Kepada Qadha'
Dan Qadar
Iman kepada Qadar adalah salah satu
dari enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam kepada malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman. Iman kepada
Qadar adalah masalah yang sangat penting. Banyak orang yang telah
memperdebatkan tentang Qadar sejak zaman dahulu, sampai hari inipun mereka
masih memperdebatkan. Akan tetapi kebenaran masalah tersebut, walillah
al-Ham, sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kemudian yang
dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya)
bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya.
"Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sunggung telah
menetapkannya". Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu
sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia yang mengikutinya serta
berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan
(dunia) maupun akhiratnya.
Adakah Kekhususan Tentang Qadha' Dan
Qadar
Istilah Qadha' bila dimutlakkan, maka
memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka
memuat makna Qadha', Akan tetapi bila dikatakan "Qadha-Qadar",
maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa
Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna
khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat dikatakan.
"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka
bersatu". Maka kata Qadha' dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti
ini, artinya bila kata Qadha' dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat
Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha') maka
memuat makna Qadha'.
Kategori Kitab : Qadha & Qadar
Apakah Perbedaan Antara Qadha Dan
Qadar ?
Para ulama' berbeda pendapat tentang
perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan bahwa Qadar
adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya),
sedangkan Qadha' adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu
terjadi. Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya,
ketentuan ini disebut Qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah
ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut Qadha'.
Masalah ini (Qadha') banyak sekali disebut dalam Al-Qur'an, seperti firman
Allah. " Sesuatu itu telah diqadha". Dan firman-Nya. "Allah
mengqadha' dengan benar".
Siapa Yang Tidak Wajib Mempelajari
Aqidah Khususnya Tentang Qadar
Masalah ini sebagaimana masalah
penting lainnya harus dipahami oleh manusia untuk agama dan dunianya. Dia
harus mendalami dam memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar
mampu memahami dan meyakininya sehingga permasalahannya menjadi sangat
jelas. Karena seseorang tidak boleh meragukan sedikitpun tentang
masalah-masalah penting seperti ini. Adapun masalah yang tidak merusak
agama bila ditunda dan tidak dikhawatirkan menjadi sebab berpalingnya
seseorang (dari agama), maka boleh ditunda selama masih ada hal yang lebih
penting daripadanya. Masalah Qadar adalah masalah yang wajib dipahami oleh
setiap hamba (Allah) sehingga dapat menghantarkannya pada keyakinan yang
mendalam. Sebenarnya masalah tersebut tidaklah sulit, segala puji hanya
bagi Allah.
|