Rabi‘ah binti Ismail al-Adawiyah,
berasal dari keluarga miskin. Dari kecil ia tinggal di Bashrah. Di kota ini
namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan seorang pengkhotbah.
Dia sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Mengenai kematiannya
ada berbagai pendapat: tahun 135 H/752 M atau tahun 185 H/801 M.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur
hidupnya tidak pernah menikah, dianggap mempunyai saham yang besar dalam
memperkenalkan cinta Allah ke dalam Islam tashawuf. Orang-orang mengatakan
bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerussalem.
RABI’AH, LAHIR DAN MASA
KANAK—KANAKNYA
Jika seseorang bertanya: ”Mengapa
engkau mensejajarkan Rabi’ah dengan kaum lelaki?”, maka jawabanku adalah
bahwa Nabi sendiri pernah berkata: “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa
kamu” dan yang menjadi masalah bukanlah bentuk, tetapi niat seperti yang
dikatakan Nabi, “Manusia-manusia akan dimuliakan sesuai dengan niat di
dalam hati mereka”. Selanjutnya, apabila kita boleh menerima dua pertiga
ajaran agama dari ’Aisyah, maka sudah tentu kita boleh pula menerima
petunjuk-petunjuk agama dari pelayanan pribadinya itu. Apabila seorang
perempuan berubah menjadi ”seorang lelaki” pada jalan Allah, maka ia adaIah
sejajar dengan kaum lelaki dan kita tidak dapat menyebutnya sebagai seorang
perempuan lagi.
Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke atas
dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat: ditemukan di dalam
rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah
bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar
puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk
menyelimuti Rabi’ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah
adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah
(artinya ke-empat).
“Pergilan kepada tetangga kita si anu
dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu” isterinya
berkata kepadanya.
Tetapi si suami telah bersumpah bahwa
ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia,
pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu
kembali Iagi ke rumahnya.
“Mereka tidak mau membukakan pintu”
ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah.
Isterinya yang malang menangis sedih.
Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan
kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat
Nabi. Nabi membujuknya: “JanganIah engkau bersedih, karena bayi perempuan
yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah
bagi 70 ribu orang di antara kaumku”.
Kemudian Nabi meneruskan; “Besok,
pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai
kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ’Setiap malam engkau mengirimkan
shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali.
Kemarin adalah malam jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai
penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang
telah engkau peroleh secara halal’ “.
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah
Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah
dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui
pengurus rumahtangga istana.
“Berikanlah dua ribu dinar kepada
orang-orang miskin”, gubernur memberikan perintah setelah membaca surat
tersebut, ”sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian
berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: ’Aku
harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun
tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku. Lebih
baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan
janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa
pun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku’ “.
Ayah Rabi’ah menerima uang emas
tersebut dan membeli sesuatu yang dirasa perlu.
Ketika Rabi’ah menanjak besar, sedang
ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kata Bashrah,
dan ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah
keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya
kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya
menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Pada suatu hari ketika ia
berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah
melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir.
Rabi’ah menangis sambil mengantuk-antukkan kepalanya ke tanah: “Ya Allah,
aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang
tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cidera. Namun semua itu tidak
membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi
kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak”.
“Rabi’ah, janganlah engkau berduka”,
sebuah suara berkata kepadanya. “Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga
malaikat-malaikat iri kepadamu”.
Rabi’ah kembali ke rumah tuannya. Di
siang hari ia terus berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malam
hari ia berdoa kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam. Pada
suatu malam tuannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihatlah
olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasyrat
hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. jika
aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat
barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan
diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu”.
Demikianlah kata-kata yang diucapkan
Rabi’ah di dalam doanya itu.
Dengan mata kepalanya sendiri si
majikan menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas
kepala Rabi’ah sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan
peristiwa ini, ia merasa takut. Ia lalu beranjak ke kamar tidurnya dan
duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil
Rabi’ah, barsikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya.
“Izinkanlah aku pergi”, Rabi’ah
berkata.
Tuannya memberikan izin. Rabi’ah lalu
meninggalkan rumah tuannya menuju padang pasir mengadakan perjalanan menuju
sebuah pertapaan di mana ia untuk beberapa lama membaktikan diri kepada
Allah. Kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah haji. Maka berangkatlah
ia menempuh padang pasir kembali. Barang-barang miliknya dibuntalnya di
atas punggung keledai. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir,
keledai itu mati.
“Biarlah kami yang membawa
barang-barangmu”, lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa
mereka.
“Tidak! Teruskanlah perjalanan
kalian”, jawab Rabi’ah. ”Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian”.
Rombongan itu meneruskan perjalanan
dan meninggalkan Rabi‘ah seorang diri.
“Ya AlIah”, Rabi’ah berseru sambil
menengadahkan kepala.
”Demikiankah caranya raja-raja
memperlakukan seorang wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing
baginya?. Engkau telah me-
manggilku ke rumah—Mu, tetapi di
tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku dan meningalkanku sebatangkara
di tengah-tengah pada pasir ini”.
Belum lagi Rabi’ah selesai dengan
kata-katanya ini, tanpa diduga-duga keledai itu bergerak berdiri. Rabi’ah
meletakkan barang-barang-nya ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan
perjalanannya. (Tokoh yang meriwayatkan kisah ini mengatakan bahwa tidak
berapa lama setelah peristiwa itu, ia melihat keledai kecil tersebut sedang
dijual orang di pasar).
Beberapa hari lamanya Rabi’ah
meneruskan perjalanannya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti, ia berseru
kepada Allah:
“Ya Allah, aku sudah letih. Ke arah
manakah yang harus kutuju? Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah-Mu
terbuat dari batu. Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu, tunjukkanlah diri-Mu”.
Allah berkata ke dalam hati sanubari
Rabi’ah: “Rabi’ah, engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan
belas ribu alam/dunia.
Tidakkah engkau ingat betapa Musa
telah bermohon untuk melihat wajah-Ku dan gunung-gunung terpecah-pecah
menjadi empat puluh keping. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan
nama-Ku saja!
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI RABI’AH
Pada suatu malam ketika Rabi’ah
sedang shalat di sebuah pertapaan, ia merasa sangat letih sehingga ia jatuh
tertidur. Sedemikian nyenyak tidurnya sehingga ketika matanya berdarah
tertusuk alang-alang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak
menyadarinya.
Seorang maling masuk menyelinap ke
dalam pertapaan itu dan mengambil cadar Rabi’ah. Ketika hendak menyingkir
dari tempat itu didapatinya bahwa jalan ke luar telah tertutup.
Dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu dan ternyata jalan
keluar telah terbuka kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi, tetapi jalan
keluar tertutup kembali. Sekali lagi dilepaskannya cadar itu. Tujuh kali
perbuatan seperti itu diulanginya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah
suara dari pojok pertapaan itu.
“Hai manusia, tiada gunanya engkau
mencoba-coba. Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepada Kami. Syaithan
sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling
memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia
jahannam! Tiada gunanya engkau mencoba-coba lagi jika seorang sahabat
sedang tertidur maka Sang Sahabat-nya bangun dan berjaga-jaga”.
Dua orang pemuka agama datang
mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. ”Mudah-mudahan Rabi’ah akan
menyuguhkan makanan kepada kita”, mereka berkata. “Makanan yang disuguhkan
Rabi’ah pasti diperolehnya secara halal”.
Ketika mereka duduk, di depan mereka
telah terhampar serbet dan di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini
mereka sangat gembira. Tetapi saat itu pula seorang pengemis datang dan
Rabi’ah memberikan kedua potong roti itu kepadanya. Kedua pemuka agama itu
sangat kecewa, namun mereka tidak berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian
masuklah seorang pelayan wanita membawakan beberapa buah roti yang masih
panas.
“Majikanku telah menyuruhku untuk
mengantarkan roti-roti ini kepadamu”, si pelayan menjelaskan. Rabi’ah
menghitung roti-roti tersebut. Semua berjumlah delapan belas buah. “Mungkin
sekali roti-roti ini bukan untukku”, Rabi’ah berkata.
Si pelayan berusaha meyakinkan
Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali.
Sebenarnya yang telah terjadi adalah bahwa pelayan itu telah mengambil dua
potong untuk dirinya sendiri. Kepada nyonya majikannya, ia meminta dua
potong roti lagi kemudian kembali ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung
oleh Rabi’ah, ternyata semuanya ada dua puluh buah dan setelah itu barulah
ia mau menerimanya.
“Roti-roti ini memang telah
dikirimkan majikanmu untukku”, kata Rabi’ah.
Kemudian Rabi’ah menyuguhkan
roti-roti tersebut kepada kedua tamunya tadi. Keduanya makan namun masih
dalam keadaan terheran-heran.
“Apakah rahasia di balik semua ini?”,
mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tetapi
engkau memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan
kepada si pelayan tadi bahwa kedelapan belas roti itu bukanlah dimaksudkan
untukmu. Tetapi kemudian ketika semuanya berjumlah dua puluh buah barulah
engkau mau menerimanya”.
Rabi’ah menjawab: “Sewaktu kalian
datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku
sendiri, betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang
pemuka yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis tadi
datang, aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan berkata
kepada Allah Yang Maha Besar, ’Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Engkau
akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji—Mu itu kupegang
teguh. Kini telah kusedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan hati-Mu,
semoga Engkau berkenan untuk memberikan dua puluh potong sebagai
imbalanya’. Ketika kedelapan belas potong roti itu diantarkan kepadaku,
tahulah aku bahwa sebagian daripadanya telah dicuri atau roti-roti itu bukan
untuk disampaikan kepadaku”.
Pada suatu hari pelayan wanita
Rabi`ah hendak memasak sup bawang karena telah beberapa lamanya mereka
tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang. Si pelayan
berkata kepada Rabi’ah: “Aku hendak meminta bawang kepada tetangga
sebeIah”.
“Tetapi Rabi’ah mencegah: “Telah
empat puluh tahun aku berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun
kecuali kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu”.
Segera setelah Rabi’ah berkata
demikian, seekor burung meluncur dari angkasa, membawa bawang yang telah
terkupas di paruhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.
Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah
berkata: “Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat”.
Rabi’ah tidak mau menyentuh sup
bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya.
Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke
atas gunung. Segera ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks
(sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keledai liar.
Binatang-binatang ini menatap Rabi’ah
dan hendak menghampirinya; Tanpa disangka-sangka Hasan al-Bashri datang
pula ke tempat itu.
Begitu melihat Rabi’ah segera ia
datang menghampirinya. Tapi setelah melihat kedatangan Hasan,
Binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan Rabi’ah. Hal ini
membuat Hasan kecewa, “Mengapakah binatang-binatang itu menghindari diriku
sedang mereka begitu jinak terhadapmu?”, Hasan bertanya kepada Rabi’ah.
“Apakah yang telah engkau makan pada
hari ini?”, Rabi’ah balik bertanya.
“Sup bawang”.
“Engkau telah memakan lemak
binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan
melihatmu”.
Di hari lain, ketika Rabi’ah lewat di
depan rumah Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis
dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi’ah. Mula-muIa Rabi’ah
mengira hujan turun, tetapi setelah ia menengadah ke atas dan melihat
Hasan, sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.
“Guru, menangis adalah pertanda dari
kelesuan spiritual”, ia berkata kepada Hasan. “TahanIah air matamu. Jika
tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat
mencari dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Maha Perkasa”.
Teguran itu tidak enak didengar
Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu dengan
Rabi’ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadahnya di atas air
dan berkata kepada Rabi’ah, “Rabi’ah, marilah kita melakukan shalat sunnat
dua raka’at di atas air! “.
Rabi’ah menjawab: “Hasan, jika engkau
mempertontonkan kesaktian-kesaktianmu di tempat ramai ini, maka
kesaktian-kesaktian itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain”.
Sesudah berkata Rabi’ah melemparkan
sajadahnya ke udara, kemudian ia melompat ke atasnya dan berseru kepada
Hasan: “Naiklah ke mari Hasan, agar orang-orang dapat menyaksikan kita”.
Hasan yang belum mencapai kepandaian
seperti itu tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian Rabi’ah mencoba
menghiburnya dan berkata: “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat pula
dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat pula dilakukan
oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian•keahIian seperti itu.
Kita harus mengabdikan diri kepada
Hal-hal Yang Terpenting itu”.
Pada suatu malam Hasan beserta dua
tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap,
tiada berlampu. Mereka senang sekali seandainya pada saat itu ada lampu.
Maka Rabi’ah meniup jari tangannya. Sepanjang malam itu hingga fajar, jari
tangan Rabi’ah memancarkan cahaya terang benderang bagaikan lentera dan
mereka duduk di dalam benderangnya.
Jika ada seseorang yang bertanya:
“Bagaimanakah hal seperti itu bisa terjadi?”, maka jawabanku adalah:
“Persoalannya adalah sama dengan tangan Musa”. jika ia kemudian menyangkal:
“Tetapi musa adalah seorang Nabi!”, maka jawabanku: “Barangsiapa yang
mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sepercik kenabian, seperti yang
pernah dikatakan Nabi Muhammad sendiri, ’Barangsiapa yang menolak harta
benda yang tidak diperoleh secara halal, walaupun harganya satu sen,
sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian. Nabi Muhammad juga
pernah berkata, ’Sebuah mimpi yang benar adalah seperempat puluh dari
kenabian “
Pada suatu ketika Rabi’ah mengirimkan
sepotong lilin, sebuah jarum dan sehelai rambut kepada Hasan, dengan pesan:
“Hendaklah engkau seperti sepotong
lilin, senantiasa menerangi dunia walaupun dirinya sendiri terbakar.
Hendaklah engkau seperti sebuah jarum, senantiasa berbakti walaupun tidak
memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan, maka bagimu
seribu tahun hanyalah seperti sehelai rambut ini”.
“Apakah engkau menghendaki agar kita
menikah?” tanya Hasan kepada Rabi’ah.
“Tali pernikahan hanyalah untuk
orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini keakuan telah sirna, telaha
menjadi tiada dan hanya ada melalui Dia. Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di
bawah naungan-Nya. Engkau harus melamar diriku kepada-Nya, bukan langsung
kepada diriku sendiri”.
“Bagaimanakah engkau telah menemukan
rahasia ini, Rabi’ah?”, tanya Hasan.
“Aku lepaskan segala sesuatu yang
telah kuperoleh kepada-Nya”, jawab Rabi’ah.
“Bagaimana engkau telah dapat
mengenal-Nya?”
“Hasan, engkau lebih suka bertanya,
tetapi aku lebih suka tafakkur”, jawab Rabi’ah.
Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan
seseorang yang kepalanya dibalut.
“Mengapa engkau membalut kepalamu?”,
tanya Rabi’ah
“Karena aku merasa pusing”, jawab
lelaki itu.
“Berapakah umurmu?”, Rabi’ah bertanya
Iagi.
“Tiga puluh tahun”, jawabnya.
“Apakah engkau banyak menderita sakit
dan merasa susah di dalam hidupmu?”
“Tidak,” jawabnya lagi.
“Selama tiga puluh tahun engkau
menikmati hidup yang sehat, engkau tidak pernah mengenakan selubung
kesyukuran, tetapi baru malam ini saja kepalamu terasa pusing, engkau telah
mengenakan selubung keluh kesah”, kata Rabi’ah.
Suatu ketika Rabi’ah menyerahkan uang
empat dirham kepada seorang lelaki.
“Berikanlah kepadaku sebuah selimut”,
kata Rabi’ah, “karena aku tidak mempunyai pakaian lagi”.
Lelaki itupun pergi, tetapi tidak
lama kemudian ia kembali dan bertanya kepada Rabi’ah: “Selimut berwarna
apakah yang harus kubeli?”
“Apa perduliku dengan warna?!”
Rabi`ah berkata. “Kembalikan uang itu kepadaku kembali”.
Diambilnya keempat buah dirham perak
itu dan dilemparkannya ke sungai Tigris.
Suatu hari di musim semi, Rabi’ah
memasuki tempat tinggalnya, kemudian melongok ke luar karena pelayannya
berseru: “Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa yang telah dilakukan oleh Sang
Pencipta”.
“Lebih baik engkaulah yang masuk ke
mari”, Rabi’ah menjawab, “dan saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri. Aku
sedemikian asyik menatap Sang Pencipta sehingga apakah perduliku Iagi
terhadap ciptaan-ciptaan-Nya?”.
Beberapa orang datang mengunjungi
Rabi’ah dan menyaksikan betapa ia sedang memotong sekerat daging dengan
giginya.
“Apakah engkau tidak mempunyai pisau
untuk memotong daging itu?”, mereka bertanya. , “Aku tak pernah menyimpan pisau
di dalam rumah ini karena takut terluka”, jawab Rabi`ah
Rabi’ah berpuasa seminggu penuh.
Selama berpuasa itu ia tidak makan dan tidak tidur. Setiap malam ia tekun
melaksanakan shalat dan berdoa. Lapar yang dirasakannya sudah tidak
tertahankan lagi.
Seorang tamu masuk ke rumah Rabi’ah
membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi
meng-
ambil lampu. Ketika ia kembali ternyata
seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu.
“Akan kuambilkan kendi air dan aku
akan berbuka puasa”, Rabi’ah berkata. Ketika ia kembali dengan sekendi air
ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam
kegelapan, tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah
berantakan. Rabi’ah meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati seolah- olah
sebagian rumahnya telah dimakan api.
Rabi’ah menangis: “Ya Allah, apakah
yang telah Engkau per- buat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya ini?”
“Berhati-hatilah Rabi’ah”, sebuah
seruan terdengar di telinganya, “janganlah engkau sampai mengharapkan bahwa
Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga pengabdianmu
kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian kepada-Ku dan
kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu hati.
Rabi’ah, engkau menginginkan suatu hal sedang
Aku menginginkan hal yang lain
Hasrat-Ku dan hasratmu tidak dapat dipadukan di dalam satu hati”.
Setelah mendengar celaan ini, Rabi’ah
mengisahkan, “kulepaskan hatiku dari dunia dan kubuang segala hasrat dari
dalam hatiku sehingga selama tiga puluh tahun yang terakhir ini, apabila
melaku kan shalat, maka aku menganggapnya sebagai shalatku yang terakhir”.
Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah
untuk mengujinya. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang
tidak dipikirkannya terlebih dahulu.
“Segala macam kebajikan telah
dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki”, mereka berkata. “Mahkota
kenabian telah ditaruh di kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan
di pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat
Allah menjadi Nabi”.
“Semua itu memang benar”, jawab
Rabi’ah. “Tetapi egoisme, memuja diri sendiri dan ucapan ’Bukankah aku
Tuhanmu Yang Maha
Tinggi?” tidak pernah membersit di
dalam dada perempuan. Dan tak ada seorang perempuan pun yang banci. Semua
ini adalah bagian
kaum lelaki”.
Ketika Rabi’ah menderita sakit yang
gawat. Kepadanya ditanya- kan apakah penyebab penyakitnya itu. “Aku telah
menatap surga”, jawab Rabi’ah, “dan Allah telah menghukum diriku”.
Kemudian Hasan al-Bashri datang untuk
mengunjungi Rabi’ah. “Aku mendapatkan salah seorang di antara pemuka-pemuka
kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan
sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis”, Hasan mengisahkan. “Aku
bertanya kepadanya: ’Mengapakah engkau menangis?’. ’Aku menangis karena
wanita suci zaman ini’, jawabnya.
’Karena jika berkah kehadirannya tidak
ada lagi, celakalah ummat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk
biaya perawatannya’, ia melanjutkan, ‘tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah
tldakmau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uangini’ “.
Maka masuklah Hasan ke dalam
pertapaan Rabi’ah dan mem- bujuknya untuk mau menerima uang itu. Rabi’ah
menatap Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang
menghujjah- Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang
mencintai- Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia ciptaan-Nya.
Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, maka
betapakah aku dapat menerima pemberiannya?
Pernah aku menjahit pakaian yang
robek dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi
akhirnya akupun sadar. Pakaian itu kurobek kembali pada bagian-bagian yang
telah kujahit itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak
membuat hatiku lengah lagi”.
Abdul Wahid Amir mengisahkan bahwa ia
bersama Shofyan ats-Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit, tetapi karena
me- nyeganinya mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah. “Engkaulah
yang berkata”, kataku kepada Shofyan.
’”Jika engkau berdoa”, Shofyan
berkata kepada Rabi’ah,
“niscaya penderitaanmu ini akan
hilang”.
Rabi’ah menjawab: “Tidak tahukah
engkau siapa yang meng-
hendaki aku menderita seperti ini?
Bukankah Allah?”
“Ya”, Shofyan membenarkan.
“Betapa mungkin, engkau mengetahui
hal ini, menyuruhku
untuk memohonkan hal yang
bertentangan dengan kehendak-Nya?
Bukankah tidak baik apabila kita
menentang Sahabat kita sendiri?”
“Apakah yang engkau inginkan,
Rabi’ah?”, Shofyan bertanya
pula.
“Shofyan, engkau adalah seorang yang
terpelajar! Tetapi meng- apa engkau bertanya ‘Apakah yang engkau
inginkan?’. Demi kebesaran Allah”, Rabi’ah berkata tandas, “telah dua belas
tahun lamanya aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di
kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku
tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seorang
hamba untuk menginginkan sesuatu? Jika aku menginginkan sesuatu sedang
Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan
segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi
hamba-Nya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jlka Tuhan sendiri
mem-
berikannya”.
Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata
kepada Rabi’ah: “Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka
engkaulah yang berbicara mengenai diriku”. “Engkau adalah manusia yang baik
kecuali dalam satu hal: engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan
hadits-hadits”. Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan maksud bahwa membacakan
hadits-hadits tersebut adalah suatu perbuatan yang mulia.
Shofyan sangat tergugah hatinya dan
berseru: “Ya Allah, kasihilah aku!”
Tetapi Rabi’ah mencela: “Tidak
malukah engkau mengharapkan kasih Allah Sedang engkau sendiri tidak
mengasihi-Nya?”
Malik bin Dinar berkisah sebagai
berikut: Aku mengunjungi Rabi’ah. Kusaksikan dia menggunakan gayung pecah
untuk minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang
kadang-kadang dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hatiku
men- jadi sedih.
“Aku mempunyai teman-teman yang
kaya”, aku berkata kepada Rabi’ah. ”Jika engkau menghendaki sesuatu akan
kuminta- kan kepada mereka”.
“Malik, engkau telah melakukan
kesalahan yang besar”, jawab
Rabi’ah. ”Bukankah“ yang menafkahi
aku dan yang menafkahi
mereka adalah satu?”
“Ya”, jawabku.
”Apakah yang menafkahi orang-orang
miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan
apakah Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka?”, tanya Rabi’ah.
“Tidak”, jawabku.
“Jadi”, Rabi’ah meneruskan, “karana
Dia mengetahui keadaanku, bagaimanakah aku harus mengingatkan-Nya? Beginilah
yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki_Nya”.
Pada suatu hari, Hasan al-Bashri,
Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi mengunjungi Rabi’ah yang sedang
terbaring dalam keadaan sakit. , “Seorang manusia tidak dapat dipercaya
kata-katanya jika ia tidak tabah menangung cambukan Allah”, kata Hasan
memulai pembicaraan. “Kata-katamu itu berbau egoisme”, Rabi’ah membalas.
Kemudian giliran Syaqiq untuk
mcncoba: “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak
bersyukur karena cambukan Allah”.
“Ada yang lebih baik daripada itu”,
jawab Rabi”ah.
Malik bin Dinar maju: “Seorang
manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak: merasa bahagia
ketika menerima cambukan Allah?
“Masih ada yang lebih baik daripada
itu”, Rabi’ah mengulangi
jawabannya. “Jika demikian, katakanlah
kepada kami”, mereka mendesak Rabi’ah. Maka berkatalah Rabi’ah: ”Seorang
manusia tidak dapat dipcercaya kata-katanya jika ia tidak lupa kepada
cambukan Allah, ketika ia merenungkan-Nya”.
Seorang cendekia terkemuka di kota
Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring sakit. Sambil duduk di
sisi tempat tidur Rabi’ah ia mencaci maki dunia. Rabi’ah berkata kepadanya:
“Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. jika engkau tidak
mencintai dunia tentu engkau tidak akan menyebut-nyebutnya berulangkali
seperti ini.
Seorang pembelilah yang senantiasa
mencela barang-barang yang hendak dibelinya. jika engkau “tidak merasa
berkepentingan dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau
memburuk-burukkannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah
peribahasa, ’barangsiapa mencintai sesuatu hal maka ia sering
menyebut-nyebutnya”.
Ketika tiba saatnya Rabi’ah harus
meninggalkan dunia fana’ ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan
kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka
mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada
Tuhanmu, dengan berbahagia”.
Beberapa saat kemudian tak ada lagi
suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar
itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang.
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada
yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Kepadanya ditanyakan, “Bagaimanakah
engkau menghadapi Munkar dan Nakir?”.
Rabi’ah menjawab: “Kedua malaikat itu
datang kepadaku dan bertanya: ’Siapakah Tuhanmu?’. Aku menjawab: Pergilah
kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya: ’Dia antara beribu-ribu makhluk yang
ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya
memiliki Engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah
Engkau mengirim utusan
sekedar menanyakan ’siapakah Tuhanmu’
kepadaku?’ “
DOA-DOA RABI’AH
“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa
pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti,berikanlah kepada
sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku”.
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku
menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga;
tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan
memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku”.
”Ya Allah, semua jerihpayahku dan
semua hasratku di antara segala kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk
mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan
akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku,
seperti yang telah kukatakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau
kehendaki”.[]
CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT
“Kelahiran Rabi’ah”: T.A., I, 59-61.
Tampaknya Attar telah menemukan sebuah monografi mengenai kehidupan dan
perbuatan-perbuatan Rabi’ah yang selama ini dianggap hilang. Hal ini jelas
terlihat karena banyak detail-detail di dalam biografl ini tidak dapat kita
jumpai di dalam sumber-sumber yang lain.
“Anekdot-Anekdot Mengenai Rabi’ah:
T.A., I, 63-66, 68-72. Klsah seorang maling yang hendak mencuri cadar Rabi’ah
diulangi lagi oleh Attar di dalam karyanya yang berjudul Mushibat-nama
(Teheran, 1338), halaman 335.
Kisah Hasan yang menyaksikan Rabi’ah
sedang dikerumuni binatang-binatang buas, diuIangi di dalam Ilahi-nama
(Iihat halaman 7 untuk data-data publikasi-nya), halaman 96-97; dan di
dalam karya terjemahannya pada halaman 166-167). “Pada Raja Yang Maha
Perkasa”`adalah ayat aI-Qur`an, 54: 55. Kisah seorang yang bertamu pada
suatu hari di musim semi, diulangi Attar di dalam Mushibat-nama, halaman
198. Kisah mengenai lampu, tempayan dan kucing diulangi di dalam
Ilahi-nama, halaman 128-129; dan di dalam karya terjemahan nya halaman
208-209. ”Bukankah Aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi” adalah dari aI-Qur’an, 79;
24, yaitu kata-kata yang diucapkan Fir’aun. Kisah Rabi’ah yang dinasehati
ketika sakit dapat diketemukan di dalam karya aI-Qushairi, op.cit, halaman
136. Kisah mengenai Rabi’ah yang “menjahit pakaian” berasal dari karya
al-Qushairi, op.cit., halaman 64. Betapa Rabi’ah tidak menyetujui Shofyan
ats-Tsauri yang menghapal hadits-hadits Nabi disebutkan di dalam karya Abu
Thalib aI-Makkiy yang berjudul Quthul Qulub, (Cairo, 1310 H), I, 156.
“Wahai jiwa yang tenteram damai’
adalah dari aI-Qur’an, 89: 27. Munkar dan Nakir adalah dua malaikat yang
akan menginterograsi manusia yang baru mati di dalam kubur.
”Doa-Doa Rabi’ah”: T.A., I, 73.
Rabiah adalah salah satu tokoh sufi
wanita pada zamannya,beliau dilahirkan di kota Basrah tahun 95 hijriyah,dan
putri ke 4 dari seorang lelaki bernama,Ismail Adawiyah.Beliau hidup dalam
kemiskinan dan lingkungan yang serba kurang bahkan ketika Rabiah lahir
lampu untuk menerangi saat kelahirannyapun tidak ada. Rabiah yang lahir
dalam keadaan miskin tapi kaya akan iman dan peribadatan kepada Allah.
Ayahnya hanya seorang yang bekerja
mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam
pemerintahan Bani Umaiyah, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan mulai
berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari
kekayaan. Sebab itu kejahatan dan maksiat tersebar luas.
Pekerjaan menyanyi, menari dan
berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan
zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali. Namun begitu,
Allah telah memelihara sebahagian kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke
dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang
dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya
terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan waktu dan tenaga
untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi
mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat. Ayahanda
Rabi’ah merupakan hamba yang sangat taat dan taqwa,hidup jauh dari
kemewahan dunia dan tidak pernah berhenti bersyukur kepada Allah. Beliau
mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan
yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi’ah
sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berhasil
menghafal kandungan al-Quran.
Sejak kecil Rabi’ah sudah berjiwa
halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam.
Memasuki masa kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit,dan semakin
sulit setelah beliau ditinggal ayah dan ibunya,dipanggil Allah. Dan ujian2
lain yang menguji keteguhan imannya,sampai dia sanggup,untuk menjadi hamba
sahaya dari seorang kaya raya pada zaman itu,dan ini terjadi karena
penderitaan kemiskinan yang dideritanya.
Cobaan demi cobaan dilalui Rabiah
dalam menjalani hidupnya yang sarat akan penderitaan dan karena beliau
pinter memainkan alat musik, maka majikannya semakin menjadikannya sumber
mencari uang dengan keahlian yang dimiliki Rabiah.
Dalam keadaan hidup yang keras dan
serba terkekang sebagai hamba sahaya,membuat Rabiah mendekatkan diri kepada
Allah, dan selalu menyempatkan waktunya yang luang untuk terus bermohon
kepada Allah, baik pagi maupun petang,malam dan siang. Amalannya tidak
hanya sebatas berdoa saja tapi sepanjang hari dan sepanjang ada waktu dia
senantiasa selalu berzikir dan berdoa, dan selalu melaksanakan
amalan-amalan sunat lainnya dan saat melakukan sholat sepanjang sholat
airmatanya selalu membasahi sajadahnya, air mata kerinduan kepada Allah
sang Khaliq yang di rinduinya.
Ada riwayat yang mengatakan beliau
telah terjebak dalam dunia maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah,
dengan dasar keimanan yang kuat dan belum padam di hatinya, dia
dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Saat2 taubat inilah yang
mungkin dapat menyadarkan serta mendorong hati bagaimana merasai cara
berkomunikasi yang baik antara seorang hamba rabiah dengan sang Khaliq
Allah swt dan selayaknya seorang hamba bergantung harapan kepada belas
ihsan Rabbnya.
Kecintaan Rabiah kepada Allah
mengalahkan hidup dan kecintaannya kepada dunia dan isinya, hari-harinya
habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya adalah
milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya di tolaknya dengan
halus.
Beliau selalu berbicara dengan Allah
seolah-olah dekat sekali dengan Allah dengan bahasa yang indah dan doa-doa
yang sangat menyentuh hati dan kata pujian seperti layaknya kerinduan
seseorang kepada kekasih hatinya.Salah satu kata-kata Rabiah ketika ber
munajat sambil air matanya mengalir. “Kekasihku tiada menyamai kekasih lain
biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat
manapun, Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan
tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
Ya Tuhanku!
Tenggelamkanlah aku di dalam
kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan
aku daripada-Mu.”
Rabiah banyak menolak lamaran yang
datang kepada nya, dengan inilah alasannya: “Perkawinan itu memang perlu
bagi siapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk
diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak
mempunyai apa-apa pun.” Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain
daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata- mata.
Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah.
Rabi’ah telah mematikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada
akhirat semata-mata.
Selam 30 tahun selalu doa ini yang
senantiasa di ulang-ulang ketika dalam sholatnya “Ya Tuhanku!
Tenggelamkanlah aku di dalam
kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat
memalingkan aku daripada-Mu.”
Di
antara syairnya yang masyhur berbunyi:
“Kekasihku tiada menyamai kekasih
lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat
manapun, Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
Rabi’ah sangat luar biasa di dalam
mencintai Allah. Beliau menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu
cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Beliau memulaikan pemahamannya
tentang sufinya dengan menanamkan rasa takut dari murka Allah seperti yang
pernah ungkapkannya dalam doa-doa beliau.
“Wahai Tuhanku!
Apakah Engkau akan membakar
dengan api hati yang mencintai-Mu
dan lisan yang menyebut- Mu dan
hamba yang takut kepada-Mu?”
Kecintaan Rabi’ah kepada Allah bukan
karena pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata,tapi sudah
menjadi kewajiban baginya
“Jika aku menyembah-Mu kerana takut
daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku
menyembah-Mu kerana mengharap syurgaMu maka jauhkan aku dari syurgaMu !
Tetapi jika aku menyembah- Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah
aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan
Maha Mulia itu.”
Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah
yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-
Nya.
Rabi’ah meninggal dunia pada 135
Hijrah yaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meridha
beliau, amin.
Untuk itu mari kita merenung adakah
kita sadar akan sebuah hakikat yang ada di sebut dalam surat al Imran ayat
142, ”Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga padahal belum nyata
bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang
sabar.”(QS. Ali-Imron[3]:142)
Bagaimana perasaan kita apabila orang
yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Adakah kita terus berkecil hati
dan meletakkan kesalahan kepada orang tesrbut? Tidakkah terpikir oleh kita
untu merasakan dalam hati dan berdoa, “Ya Allah! Ampunilah aku.
Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya
kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu saja yang kekal.
Selamatkanlah aku dari tipu daya yang mengasyikkan.”
Sesungguhnya hendaklah kecintaan
kepada Allah benar-benar dapat kita tanamkan kepada diri kita bukan hanya
sekedar sholat dan puasa atau ibadah ritual lainnya tapi yakin kan diri
semakin kita mengenal Allah dengan dekat maka semakin ingin kita bertemu
dan akan ada kerinduan untuk bertemu sang Khaliq.
BIBLIOGRAFI
M.
Smith, Rabi’a the Mystic: and her Fellow-saints in Islam, (Cambridge,
1928).
‘L.Massignon,
Essay, halaman 193-197.
Ibnu
Khallikan, Wafayatul A’yan, (Cairo, 1948), no. 217.
Al-Yafi’i,
op.cit., I, 281.
jami,
Nafahatul Uns, (Tcheran, 1336), halaman 615-616.
Ibnul
’Imad, Shadaratudz Dzahab, (Cairo, 1350-1351 H), I, 193.
|