Seorang sahabat yang kerap disebut-sebut di
dunia sufi adalah Nasrudin. Bagi sebagian orang Nasrudin adalah simbolik
dari hal-hal lucu, menghibur. Bagi sebagian yang lain Nasrudin adalah
simbolik hidup yang genius. Karena dari dia sering lahir kearifan kehidupan
mengagumkan.
Suatu hari Nasrudin lari terbirit-birit menemui
gurunya. Begitu bertemu dengan gurunya Nasrudin langsung minta tolong.
“tolong guru, rumah saya jadi neraka. Istri crewet, mertua yang banyak
maunya, putra-putri beserta sepupunya yang ribut lari kesana kemari. Apa
pun saran guru akan saya lakukan , asal nerakanya hilang surganya datang”.
Yakin Nasrudin akan memenuhi janji, gurunya
bertanya, “apakah kamu punya binatang peliharaan?” Nasrudin menyebut ada
empat angsa, enam ayam, tujuh kambing, delapan kelinci, serta sejumlah
burung. Karena itu sang guru menyuruh Nasrudin memasukan semua manusia dan
binatang peliharaan ke dalam rumah ke dalam rumah, pimtu dan jendela
ditutup rapat-rapat, selama sebelas hari tidak ada satu pun manusia atu
bintang keluar dari rumah.
“Tapi..., tapi...” Sahut Nasrudin dengan nada
gugfup. Dengan sigap gurunya menjawab,
“jangan lupa kamu sudah janji !”. nasrudin terpaksa kembali ke
rumah, melaksanakan perintah gurunya.
Sebelas hari kemudian, Nasrudin datang dengan
langkah lebih kacau dari sebelumnya. “Tolong guru, jangnkan manusia,
kambing pun sudah mau gila sebelas hari di rumah”. Dengan tersenyum dan
bijaksana gurunya berucap “sekarang keluarkanlah semua binatang, bergotong
royong penuh gembira, bersihkan rumah”.
Beberapa waktu kemudian Nasrudin mendatangi
rumag gurunya dengan wajah gembira, “terima kasih guru, rumahnya telah
menjadi surga”.
Inilah cerita manusia dari dulu hingga sekarang.
Banyak rumah kehidupan yang berubah menjadi neraka sampai saling benci dan
memarahi. Saat diakhiri, rumah dengan manusia dan binatang yang sama pun
jadi surga.
Ternyata menemukan surga hanyalah masalah
memilih pembanding. Bila pembandingnya tepat (dalam kisah Nasrudin
pembandingnya adalah rumahnya yang penuh dengan binatang), surga terbuka.
Jika pembandingnya yang serba lebih (lebih kaya, lebih cantik, lebih
tampan, lebih terkenal, lebih bijaksana) surga tidak akan terbuka.
Akhirnya hidup adalah persoalan sikap. Surga maupun
neraka ternyata hasil ikuitan dari sikap. Bila sikapnya keluhan dan kekurangan,
neraka yang terlihat. Jika sikapnya bersabar dan bersyukur, surga yang
tampak.
Matahari
pencerahan
Mungkin karena persoalan sikap inilah, kemudian
sejumlah guru menyempurnakan hidup dengan sikap penuh keindahan. Awalnya memang
terpaksa. Apa indahnya dihina dan dicewrca? Dimana letak keuindahan
bencana?.
Seperti menggosok gigi awalnya terpaksa. Begitu melihat
giginya putih, sehat, menggosok gigi menjadi kebiasaan yang membadan. Keindahan
juga serupa.
Chogyal Namkhai Norbu (Dzogchen : The Self
Perfected State) adalah salah satu contoh guru yang sudah sampai di dunia
keindahan. Menurut guru asli Tibet ini, tidak ada yang perlu diubah, tidak
juga memerlukan pelepasan. Tugas murid Dzogechen hanya satu, melihat! Persisnya,
melihat dengan kesadaran, bukan melihat dengan pengetahuan.
Kebahagiaan datang lihatlah. Kesedihan berkunjung lihatlah!. Kegagalan bertemu
lihatlah!. Siapa saja yang tekun berlatih melihat akan mengalami hidup
diterangi cahaya kesadaran.
Deepak Chopra (How to know God : The soul’s
jouney into the mysteri of mysteries), menulis the only clear path to God
is path of constant awareness. Kesadaran adalah jalan terang menuju Tuhan.
Lex Hixon (Coming home the experience of enlightenment in sacred
tradition), adalah juga merupakan contoh guru lain yang menemukan
keindahan. Kebanyakan orang mudah tergoda, begitu bercerita tradisi sendiri,
maka ceritanya menjadi indah berlebihan. Begitu bercerita tradisi orang
lain, ceritanya pun menjadi miring berlebihan. Hixon bercerita sama
indahnya baik ketika bercerita soal Heidegger, Krishnamurti, Ramakrishna,
Ramana Haharshi, Zen, I Ching,
Advaita Vedanta, sampai dengan guru sufi Bawa Muhaiyaddeen.
Seperti semua sungai yang mengalir ke samudera. Sebelum
sampai di samudera sungai-sungai berbeda. Namun ketika sampai semuanya
berwajah sama. Warnanya biru, bergelombang, rasanya asin, begitu ombak
menyentuh pantai ia berwarna putih. Sulit untuk menyebutkan bahwa
agama-agama dunia sama, sama sulitnya untuk memaksakan sungai harus sama.
Namun begitu tercerahkan (Hixon menyebutnya
coming home), ada hal yang sama yaitu keindahan.
Meminjam pengalaman pencerahan Zen, Hixon
menulis. “enlightenment is simply the blue lake and the green mountain”. Pencerahan
sesederhana danau biru dan bukit hijau. Sederhana, murah, meriah, indah.
Cerita yang sama ditemukan Stephen Mitchell (The
enlightened heart : an anthology of sacred poetry). Kendati bercerita dalam
spektrum tradisi yang demikian luas (dari Upanishad, Lau-Tzu, Izumi
Shikibu, Santo Franciscus, Rumi, Kabir, William Shakespeare, Bibi Hayati
sampai dengan Robinson Jeffers), semua terangkum ke dalam cerita dari
keiondahan untyuk keindahan.
Itui sebabnya setiap kali murid-murid kritis,
skeptis, apatis, sampai dengan yang suka menyerang orang lain, bertemu
guru-guru tercerahkan, mereka senantiasa dinasehati untuk melanjutkan
pertumbuhan, melanjutkan perjalanan. Seperti air sungai yang sedang
mengalir, terus mengalir, temukan samudera yang berwajah, bergelombang,
berasa, berwarna sama.
Seperti para pendaki gunung di pagi hari. Ketika
ditanya matahari terbit di sebelah mana, yang mendaki dari barat menyebutr
di depan. Pendaki dari timur menyebut di belakang. Keduanya memiliki
jawaban bertentangan. Meswki demikian ketika sampai di puncak, mereka akan
tertawa dengan pertentangan yang mereka dialami’
Dalam tawa yang penuh persahabatan inilah
terlihat keindahan yang menawan. Dan hidup pun memasuki wilayah dari
keindahan yang menawan. Dan hidup pun memasuki keindaghan untuk keindahan. Dalam
bahasa Lex Hixon “once enlightenment has dawned, we are at home every where”
|