Abstrak:
Filsafat manusia menurut Ali Shariati mencakup
beberapa ide. Pembahasannya tentang filsafat manusia didahului dengan
penjelasan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an banyak menggunakan bahasa simbol.
Simbol-simbol dalam Al-Qur’an inilah yang ditafsirkan oleh Shariati untuk
mengungkapkan konsep filsafat manusia.
Sejarah penciptaan Adam yang memuat peristiwa
kemampuan Adam dalam menyebut nama-nama merupakan simbol yang menunjukkan
kemampuan intelektual manusia. Sujudnya para malaikat kepada Adam karena
kemampuan intelektualnya itu , menunjukkan penghargaan Islam atas humanisme
(kemanusiaan). Pernyataan Al-Qur’an bahwa spirit manusia diciptakan dari
bagian RuhNya ditafsirkan bahwa manusia dikaruniai kemampuan iradah (dalam
batas-batas tertentu) yang sebenarnya merupakan sifat Allah. Dengan intelektualitas
dan kemampuan iradah inilah manusia ditunjuk sebagai khalifahNya di muka
bumi.
Ali Shariati menyatakan bahwa manusia adalah
mahluk dua dimensional. Kesimpulan ini merupakan penafsiran dari ayat-ayat
Al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah liat (simbol
kerendahan) dan dari bagian RuhNya (simbol kesucian). Agar tidak terjebak
dalam salah satu kutub ekstrem maka manusia memerlukan agama, Tuhan, Kitab
dan Nabi yang dua dimensional yang bersifat keduniawian sekaligus keakhiratan.
Agama dengan karakteristik seperti ini adalah Islam.
Pembahasan selanjutnya tentang filsafat manusia
adalah tentang proses men-jadi (human becoming). Dijelaskan bahwa spirit
manusia dapat ber-evolusi, men-jadi dan mengarah pada kualitas-kualitasNya
daripada hanya sekedar ada (being) sebagaimana flora dan fauna. Proses
men-jadi akan berhasil apabila manusia mengembangkan tiga talenta yang ada
pada dirinya yaitu kesadaran diri, kehendak bebas (kemampuan iradah) dan
daya cipta. Namun adakalanya tiga talenta manusia ini tidak berkembang dan
terjebak dalam empat penjara yaitu materi, alam, sejarah dan masyarakat.
Manusia dapat keluar dari kekuatan alam dengan penguasaan atas ilmu dan
teknologi sehingga dalam batas-batas tertentu justru manusialah yang dapat
mengendalikan dan mengatasi alam. Kekuatan sejarah dan masyarakat dapat
dipatahkan dengan pemahaman atas sejarah dan kemasyarakatan. Sedangkan ego
manusia yang cenderung pada materi dapat dibebaskan dengan cinta, yang
dimaksud dengan cinta disini adalah cinta dengan kemampuan memberi tanpa
berharap kompensasi, cinta yang dapat meruntuhkan ego dan berkorban untuk
suatu cita-cita. Walaupun Shariati mengakui pengaruh materi, alam, sejarah
dan masyrakat terhadap karakter manusia tetapi kadangkala empat kekuatan
deterministik ini meghalangi manusia untuk berproses (men-jadi) mendekati
sifat-sifat dan kualitasNya
A.
Pendahuluan
Suatu wacana yang selalu aktual dibicarakan dan
selalu menjadi pembahasan yang menarik adalah masalah manusia. Walaupun
manusia sudah berkembang demikian modern, tetapi manusia modern belum mampu
mencapai kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri.
Pertanyaan sentral tentang “apakah manusia
itu”sangat penting untuk dijawab karena apabila manusia tidak dimengerti
dan didefinisikan secara meyakinkan maka pendidikan bagaimanapun modernnya
tidak akan menghasilkan kesuksesan dan manfaat yang sesungguhnya.
Berbagai konsep tentang manusia telah dipaparkan
demi untuk menemukan jati diri manusia yang sesungguhnya. Mengutip
pandangan Sartre tentang manusia, ia berpendapat bahwa eksistensi manusia
mendahului esensinya. Hal ini tentu
berbeda dengan mahluk lain yang esensinya mendahului eksistensi. Sebuah
benda jika akan dibuat maka telah ditentukan dahulu fungsinya (esensi) baru
kemudian benda itu bereksistensi jika ia sudah ada dalam bentuk konkrit.
Tetapi manusia bereksistensi (ada) dahulu, kemudian ia melakukan pencarian
esensinya. Dari pendapat Sartre ini dapatlah dimengerti mengapa manusia
tidak pernah berhenti bertanya dan mencari tentang dirinya sendiri.
Para pemikir Muslim dari zaman ke zaman telah
banyak membahas tentang manusia dalam konsep yang sistematis. Tentu saja
konsep manusia yang mereka paparkan merupakan usaha menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkaitan dengan manusia. Para pemikir Muslim yang banyak
membahas masalah manusia diantaranya adalah Ibnu Khaldun, Al Ghazali, Ar Raniry, Iqbal, Morteza
Mutahari, Ali Shariati, dan Hossain Nasr.
Aspek jasmani manusia tidak banyak dibicarakan
karena dapat ditangkap panca indera dan dengan mudah dapat dijadikan objek
penyelidikan. Aspek rohaniah manusialah yang banyak diperdebatkan karena
ilmu pengetahuan tidak dapat membahasnya secara tuntas. Al Ghazali membahas
masalah ruh dan nafs (jiwa) untuk mencari kejelasan tentang kecenderungan-kecenderungan
manusia yang melatarbelakangi sikap dan perilakunya[9]. Sedangkan para
pemikir Muslim modern telah banyak membahas tentang kesadaran manusia.
Tentang masalah manusia ini Iqbal dan Nasr lebih banyak melihat dari sudut
perkembangan rohaniahnya karena pengaruh sufisme sedangkan Shariati dan
Mutahhari lebih banyak melihatnya dari kacamata sosiologi,
Tulisan ini khusus membahas filsafat manusia
menurut Ali Shariati. Penjelasan-penjelasannya tentang sejarah penciptaan
Adam, keberadaan manusia sebagai mahluk dua dimensional dan talenta-talenta
yang dimiliki manusia menunjukkan kekuatan dan keunggulan manusia diantara
mahluk Allah lainnya. Pembahasan Ali Shariati bermuara pada satu pemahaman
bahwa manusia berkualitas yang mampu mengembangkan spiritnya akan membawa
peradaban kearah yang lebih baik.
B.
Hidup dan Pendidikan Ali Shariati
Di Iran, sejak periode kedua abad ke 19 dikenal
istilah raushanfikr, yang secara harfiah diartikan sebagai permikir yang
cemerlang . Raushanfikr pada mulanya terbatas pengertiannya sebagai kaum
intelektual yang berpaham modernis dan cenderung ke arah liberal, yang
bekerja dan berfikir secara profesional tetapi terpanggil untuk melakukan
perubahan-perubahan politik, sosial atau kultural. Secara historis istilah
ini menunjuk pada pengertian tentang kaum “intelektual sekuler” di Iran.
Jelas ini berbeda dengan para mullah atau ahli agama.
Ali Shariati sebenarnya termasuk dalam lapisan
raushanfikr, karena ia telah banyak belajar teori-teori modern dan lama
menuntut ilmu di negara Barat. Tetapi pada kenyataannya ia melepaskan diri
dari identitas raushanfikr pada umumnya. Ia adalah seorang intelektual
Muslim yang justru menentang dan tidak setuju kepada pemikir-pemikir Islam
yang terbaratkan. Bahkan Ali Shariati banyak melakukan komunikasi dan
kerjasama dengan para mullah (sekalipun para mullah tidak terlepas dari
kritik-kritiknya).
Ali Shariati lahir pada tahun 1933 di dekat
Masyhad, Iran. Ayahnya bernama Sayyid Taqi Shariati adalah seorang guru
pendiri Markas Nasyr An Haqa’iq Islamiyyah (pusat penyebaran
kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad. Sayyid Taqi Shariati telah
memberikan pengabdian yang amat berharga kepada dakwah dan pencerdasan
pemikiran ilmiah dalam Islam yang seirama dengan kemajuan zaman. Ia juga
merupakan orang yang giat mencerdaskan para pemuda alumni pendidikan tinggi
agar mereka bersikap kritis terhadap konsep Barat dan materialisme serta
berpegang teguh pada Islam.
Dikatakan oleh Ali Shariati bahwa ayahnya adalah
orang yang pertama meletakkan batu pertama bagi wawasan nasionalisme dalam
jiwanya[12]. Juga ayahnya yang mengajarnya sejak dini tentang pemikiran dan
seni kemanusiaan (artinya bagaimana menjadi manusia), tentang kebebasan,
harga diri dan kesucian jasmani dan rohani, kesanggupan menanggung ujian,
keteguhan iman, kemerdekaan kalbu dan ketidakraguan serta mendorongnya
untuk membaca buku-buku milik ayahnya dan sahabat-sahabat ayahnya.
Kecendekiawan Ali Shariati bukan semata-mata
pengaruh dari kebesaran Taqi Shariati, tetapi juga mewarisi kecendekiawanan
kakek dan paman ayahnya. Kakek ayahnya adalah seorang filosof bernama
Akhund. Ali Shariati menyatakan bahwa ia seperti merasakan kehadirannya
sebelum ia lahir karena merasakan perwujudan dirinya dalam diri filosof
Akhund. Paman ayahnya adalah seorang murid pemikir terkemuka dan sastrawan
Naisaburi yang paling menonjol. Ali Shariati mewarisi peninggalan tradisi
keilmuan dan kemanusiaan kakek dan paman ayahnya.
Seperti anak-anak sebayanya, Ali Shariati
melalui jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di tengah pendidikannya itu
ia dengan tekun belajar bahasa Arab dan ilmu keagamaan. Kemudian ia
melanjutkan pendidikan ke akademi guru, sesuai dengan minatnya. Demikianlah
sepanjang tahun 1940 Ali Shariati aktif di organisasi Markas Nasyr An
Haqa’iq Islamiyyah. Satu dekade kemudian ia mendirikan persatuan pelajar
Islam di Masyhad dan mulai belajar di Universitas Masyhad.
Ternyata Ali Shariati bukan hanya menggeluti
bidang keilmuan yang teoritik. Ia pun terjun dalam bidang politik secara
tidak langsung. Karena aktivitas politiknya itu (ceramah-ceramahnya sering
dianggap revolusioner dan radikal) ia dipenjarakan oleh Pemerintah Iran
rezim Syah Reza Pahlevi pada tahun 1957.
Setelah keluar dari penjara dan menikah, pada
tahun 1958 Ali Shariati mendapat kesempatan untuk belajar di Universitas
Paris, Perancis. Masa belajar selama lima tahun di Perancis digunakan untuk
membebaskan diri dari incaran dan ancaman penguasa Iran sejalan dengan
aktivitasnya yang tidak pernah henti dalam pengkajian dan penelaahan. Di
Paris inilah Ali Shariati melakukan penelaahan atas referensi-referensi dan
buku-buku yang tidak dapat ia peroleh di Iran. Selain itu Ali Shariati
dapat mengenal berbagai macam aliran pemikiran baik sosial maupun filsafat,
bertemu dengan tokoh-tokoh terkemuka dan mempelajari kajian-kajian yang
ditulis oleh para filosof, cendekiawan dan penulis seperti Henry Bergson,
Albert Camus, Jean Paul Sartre dan sosiolog seperti Ghorvitz, Jean Berck
serta orientalis terkemuka Louis Massignon.
Keberadaan Ali Shariati di Paris bersamaan pula
dengan kebangkitan baru dalam mengembangkan sayap-sayap gerakan keagamaan
di dalam negeri Iran. Ali Shariati melalui kerjasamanya dengan
sahabat-sahabatnya yang mempunyai kesamaan berfikir berhasil mejadikan
sebagian besar koran Iran yang ada di Eropa dapat diterbitkan dalam bahasa
Perancis. Koran-koran ini dijadikan sebagai pembawa aspirasi, pendukung dan
penjelas hakikat-hakikat kebenaran gerakan kebangsaan di Iran[16]. Ini
dilakukan dengan cara menyeiramakan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh
kaum terpelajar Iran yang berada di dalam negeri. Bersamaan dengan Ali
Shariati di Perancis untuk melanjutkan studinya terjadi aktivitas-aktivitas
yang mengukuhkan posisinya di kalangan masyarakat di luar negeri.
Masa-masa Ali Shariati di Perancis ini bersamaan
pula dengan bergolaknya revolusi di Aljazair. Ali Shariati menaruh
perhatian yang tinggi pada revolusi di Aljazair dan menganggap bahwa
peristiwa di Aljazair ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
perjuangan kaum Muslimin. Revolusi Aljazair dipandangnya sebagai prototipe
perjuangan menentang imperialisme karena belum pernah ada revolusi seperti
itu. Pada tahun 1964,– sesudah berpisah dengan negerinya selama 5 tahun –
Ali Shariati kembali ke Iran. Kedatangannya di Iran melalui lapangan udara
lokal Bazargan yang terletak antara Turki dan Iran. Ia segera ditangkap dan
dipenjarakan. Begitu ia dibebaskan dari penjara, ia segera ditugaskan untuk
mengajar di sekolah menengah dan Akademi Pertanian, suatu jabatan yang
persis sama sebelum ia meninggalkan negerinya dan meraih gelar doktor.
Kemudian Ali Shariati menjadi dosen di Masyhad beberapa tahun lamanya,
tanpa boleh menjadi pembimbing mahasiswa sebagai guru besar. Selain itu Ali
Shariati juga aktif memberikan kuliah-kuliahnya di Institut Hosseiniye
Ershad, suatu lembaga diskusi dan pengajaran agama tempat ia memberikan
kuliah-kuliah terpentingnya kepada pengunjung yang meluap. Disinilah –
kira-kira tahun 1969 – tahun-tahun produktif Ali Shariati. Ia memulai
kebangkitan kembali Islam. Pada tahun 1973 lembaga ini ditutup oleh rezim
Shah (segera dibuka kembali pada tahun 1979 setelah revolusi Islam Iran).
Jabatannya sebgai pengajar di Masyhad dan
aktivitasnya di Institut Hosseiniye Ershad banyak memberinya peluang untuk
menulis berbagai analisis dan interpretasi-interpretasi dan akibatnya ia
kembali harus mendekam dalam penjara pada tahun 1972. Pada tahun 1975
organisasi-organisasi internasional, kalangan intelektual di Paris dan
Aljazair membajiri Teheran untuk petisi kebebasan bagi Ali Shariati. Kemudian
Ali Shariati dibebaskan dan dikenakan tahanan rumah. Pada tahun 1977
meninggalkan Iran menuju Inggris dan meninggal secara misterius di rumah
kerabatnya, kemudian dikebumikan di Damaskus.
C.
Karya dan Kelebihan Ali Shariati
Semasa hidupnya Ali Shariati banyak menghasilkan
karya tulis yang berisi ide-ide orisinil dan menarik. Penguasaannya dalam
bahasa Perancis dan Arab memungkinkan ia menerjemahkan buku-buku berbahasa
asing tersebut. Karya-karya Ali Shariati banyak dikenal bersifat radikal
dan revolusioner. Karya-karyanya ini tentu merupakan manifestasi dari
proses berfikirnya yang dipengaruhi oleh keyakinannya, tradisi intelektual,
ketajaman nalar dan kepekaan pengamatannya terhadap lingkungan serta latar
belakang pengetahuan dan pengalamannya.
Ketajaman nalarnya yang merupakan cermin
kecerdasannya sudah dapat dilihat sejak Ali Shariati memasuki sekolah
menengah. Ia jauh melampaui kawan-kawannya. Dari karya-karya hasil
pemikiran Ali Shariati aspek yang menonjol adalah kesadaran yang tinggi dan
keberanian mengemukakan pendapat.
Setelah banyak belajar dan membaca dalam suatu
lingkungan yang mendukung pengembangan intelektual dan emosi keagamaannya,
Ali Shariati segera menyadari tentang adanya jarak yang jauh sekali antara
Islam ideal dan Islam faktual serta kekuatan–kekuatan yang mengancan Islam.
Kesadaran Ali Shariati ini mendorong dirinya untuk segera mengetahui apa
yang harus ia lakukan. Keberaniannya mengungkapkan pendapat yang kadang
kontroversial mungkin diwarisi dari ayahnya yang sejak semula dianggap oleh
Ali Shariati sebagai orang yang keluar dari tradisi.
Latar belakang keilmuannya banyak mempengaruhi
karya-karyanya. Filsafat, sejarah dan sosiologi dijadikannya sebagai
kerangka untuk menjelaskan pemikiran-pemikirannya. Ali Shariati banyak membedah
masalah filsafat dan kemanusiaan yang dianut oleh Eropa. Kemudian
menjelaskan secara metodologik tentang suatu “teori model” timbulnya
agama-agama (sejarah agama) dan banyak menerangkan tentang individu dan
masyarakat – terutama dalam konteks perjuangan Islam – dalam kerangka
sosiologi.
Sebelum Ali Shariati masuk Perguruan Tinggi, ia
telah sempat menerjemahkan beberapa kitab dari bahasa Arab dan Perancis ke
dalam bahasa Persia, antara lain Abu Dzar Al-Ghifari (dari bahasa Arab) dan
Al-Du’a (dari bahasa Perancis)[19]. Dalam kedua buku itu pun Ali Shariati
memberikan kata pengantar yang cukup berbobot. Kemudian ketika ia berada di
Perancis ia mengenal Franz Fanon[20], seorang pejuang Aljazair. Ali
Shariati menulis sebuah artikel tentang Franz Fanon dan dipublikasikan oleh
mahasiswa Iran yang ada di Eropa. Artikel ini memuat kajian penting tentang
Fanon, yang dari sini buku Fanon berjudul Mu’addzibu Al-Ardh (Para Penyiksa
Dunia) menjadi terkenal sebagai analisis mendalam tentang kondisi sosial psikologis
revolusi Aljazair. Ali Shariati juga berjasa dalam memperkenalkan
karya-karya para pemikir revolusioner dari benua Afrika, antara lain Ustman
Ozaghon yang menulis buku Afdhal Al-Jihad.
Banyak karya-karya Ali Shariati yang
menggambarkan kedalaman dan kecemerlangan pikiran-pikirannya. Karya-karya
itu berupa buku-buku dan makalah-makalah serta kuliah-kuliahnya.
Karya-karyanya itu antara lain Al-Khilafah wa Al-Wilayah di Al-Qur’an wa
Al-Sunnah, Al Wahyu wa Al-Nubuwwah, Ali Syahid Al-Risalah, Maw’ud Al-Umam,
Fa’idah wa Iqtidha, Al Din, Al Iqtishad Al Islami dan Al Tafsir Al Jadid.
Menurut Ali Shariati pengetahuan yang benar
tentang Islam dapat dicapai dengan cara memahami filsafat sejarah yang
didasarkan pada tauhid dan pandangan sosiologis mengenai syirik, dan itu
merupakan alat dalam menggali kebenaran-kebenaran sosial. Analisis historis
ditetapkan oleh Ali Shariati dalam bukunya yang berjudul Al-Husain Warisu
Adam. Tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya yang berjudul Al Tasyasyu Al
‘Alawi wa Al Tasyasyu Al Shafawi, Abu Dzarr Al Ghifari, Salman AL Farisi,
Al Syahadah dan Mas’uliyat Al Tasyasyu menjelaskan tentang tanggung jawab
seorang imam untuk memikul amanat ketauhidan setelah para nabi. Analisis
realistis dan kritis terhadap masyarakat zaman modern dituangkan oleh Ali
Shariati dalam tulisannya yang berjudul Sosiologi Kemusyrikan dan
tulisannya yang berjudul Kajian Tentang Pengaruh Kemusyrikan dalam
Masyarakat. Shariati yakin sepenuhnya bahwa manusia modern, manakala tidak
memiliki ketauhidan hanya akan menjadi mahluk “yang tidak mengenal dirinya
sendiri”. Pandangan ini ia ungkapkan dalam tulisan-tulisannya yang berjudul
Al-Ilm wa Al Madaris Al Jadidah (Ilmu Pengetahuan dan Isme-isme Modern), Al
Hadharah wa Al Tajdid (Peradaban dan Modernisasi), Al Insan Al-Gharih ‘an
Nafsih (Manusia yang Tidak Mengetahui Dirinya Sendiri), Al Mustaqqaf wa
Mas’uliyyatuh Fi Al-Mujtama’ (Tanggung Jawab Cendekiawan di Masyarakat), Al
Wujudiyyah wa Al Firagh Al-Fikri (Eksistensialisme dan Kekosongan
Pemikiran).
Penerjemahan dan duplikasi atas konsep-konsep
dan istilah-istilah sosiologi Barat dan yang merupakan ungkapan-ungkapan
dari hasil analisis masyarakat industri abad ke 17 di Eropa dan masyarakat
kapitalis pada paruh pertama abad ke 20 tetap tidak akan ada manfaatnya
bagi ummat Islam, sebab unsur-unsur yang ada di dalamnya tidak banyak
memiliki kesamaan dengan kehidupan ummat Islam di zaman modern. Ummat Islam
harus mengadakan analisis interaksi yang berkembang di masyarakat Islam dan
yang sesuai dengan perilaku sosial serta fakta-fakta yang terjadi di
masyarakatnya sendiri. Untuk itu Ali Shariati membuka kemungkinan untuk
menganalisis permasalahan-permasalahan dengan bertitik tolak dari
istilah-istilah yang berkaitan dengan kemasyarakatan Islam, yang
tulisan-tulisannya diantaranya berjudul Al-‘Ummah wa Al-Imamah (Umat dan
Imamah), Al ‘Adalah (Keadilan), Al-Syahadah (Kesyahidan), Al Taqwa
(Ketakwaan), Al-Ghaibah (Kegaiban), AL Taqlid (Ketaklidan), Al Shabr
(Kesabaran), Al Syafa’ah (Syafaat), Al Hijrah (Hijrah), Al Kufur (Kekufuran),
Al Syirk (Kemusyrikan) dan Al Tauhid (Ketauhidan).
Apa yang ditulis oleh Ali Shariati lewat
buku-bukunya menggambarkan kupasan yang luas dan tuntas tentang manusia,
Islam dan kehidupannya, Ia merambah kajian tentang filsafat, sosiologi dan
politik, kebudayaan dan spiritual manusia. Ia mencoba untuk mengadakan
penafsiran “baru” tentang sejarah dan kisah-kisah Islam, juga mengadakan
kritik terhadap berbagai aliran sekuler. Jelas di dalam uraiannya Ali
Shariati tidak mengumbar apologi-apologi untuk Islam dan
prasangka-prasangka buta terhadap aliran sekuler. Tetapi ia menguraikan
secara metodologik, ilmiah dan argumentatif.
Tentang manusia Ali Shariati menguraikan
bagaimana alirann-aliran tertentu dan kondisi-kondisi masyarakat tertentu
telah menghambat potensi kreatif manusia. Dengan uraiannya itu maka Ali
Shariati menjawabnya dengan konsep “Human Becoming” (manusia yang men-jadi)
yang ia kaitkan dengan suatu kenyataan bahwa manusia adalah mahluk dua
dimensional dan manusia memerlukan agama yang memiliki dua dimensi pula,
itulah Islam. Menurut Shariati, manusia men-jadi tersebut adalah artis
kreatif dengan 3 talenta utama yaitu kesadaran, kemampuan iradah dan daya
cipta[25]. Dalam perspektif sosiologis, Ali Shariati menguraikan tentang
kelompok-kelompok yang menduduki suatu posisi dalam lapisan-lapisan
masyarakat. Terhadap kelompok intelektual atau cendekiawan, Ali Shariati
mengkritik sikap mereka yang tidak berpartisipasi menghadapi dekadensi dan
takut melakukan sesuatu karena ancaman dan penindasan. Mereka ini disebut
oleh Ali Shariati sebagai “para pemikir akomodatif yang terpasung”. Ali
Shariati juga mengkritik para cendekiawan yang sibuk dengan “bahasa mereka”
tanpa memiliki komitmen terhadap masyarakat (terutama masyarakat kelas
bawah) dan para intelektual yang termakan oleh konsep-konsep Barat. Menurut
Shariati masyarakat harus memiliki kesadaran berideologi dan kaum
intelektualah yang harus menumbuhkan kesadaran masyarakat tersebut. Problem
antar kelas dalam masyarakat sering digambarkan oleh Ali Shariati sebagai
pertentangan antara para penindas (mala’ dan mutrat) dan kelas tertindas
(mustadh’afin).
Kritik Ali Shariati terhadap Marxisme terutama
pada penolakan aliran ini terhadap dimensi spiritual manusia yang cenderung
melarutkan individu dalam (tirani) masyarakat atau negara. Sementara
orang-orang yang membaca karya Ali Shariati mungkin akan salah tafsir bahwa
Ali Shariati adalah seorang marxis. Memang ada beberapa unsur dalam
pemikiran Ali Shariati yang telah menggiringnya kepada kemiripan dengan beberapa
gagasan kaum marxis, yaitu pribadinya yang revolusioner, penentangannya
terhadap penindasan manusia atas manusia (explotation de lhome par l’home).
Pembaca pikiran-pikiran Ali Shariati akan merasakan kesan penonjolan atas
apa yang sekarang biasa disebut sebagai rekayasa sosial politik (social
political angineering) yang seolah-olah menjadikan ideal kehidupan lebih
bersifat sosial ketimbang individual. Ia malah cenderung memandang bahwa
keduanya secara dikotomis yang demikian pula kaum sosialis cenderung
berpendapat masyarakatlah yang justru memiliki eksistensi otentik, bukan
individu. Tetapi prasangka bahwa Shariati adalah seorang sosialis
terbantahkan dengan buku Ali Shariati yang berjudul Kritik Islam Atas
Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya yang mengkiritik dengan gigih aliran
marxis.
Kepada kapitalis, Ali Shariati mengungkapkan
kritik diantaranya tentang sepak terjang para kapitalis dalam mengubah
tradisi, cara konsumsi dan kehidupan material yang lama kepada yang baru.
Semuanya menyinggung unsur agama, sejarah dan kebudayaan satu bangsa
sehingga bangsa tersebut kehilangan identitasnya. Bahaya kapitalis ini akan
merenggut generasi muda Islam yang kehilangan komitmennya terhadapa agama,
seperti orang-orang kapitalis Eropa yang sekuler.
Ali Shariati memang lebih menonjol sebagai ahli
sosiologi dan sejarah. Ia telah menulis tentang agama-agama, sejarah
peradaban dan sejarah Islam. Ia juga menulis tentang renaisance dan
akar-akar sosial ekonominya. Tetapi Ali Shariati juga menulis tentang agama
(yaitu yang berkaitan dengan ibadah ritual). Ia mengupas hakikat dan makna
sholat dan doa. Ia juga telah mengupas surat Ar Rum yang dikaitkannnya
dengan tanggung jawab intelektual. Bukunya yang berjudul Hajj menjelaskan
tentang seluruh makna rukun demi rukun ibadah haji. Juga menjelaskan makna
benda-benda seperti Ka’bah, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim dan sebagainya.
Ali memiliki kesadaran dan intuisi yang tajam,
keberanian berpikir serta ketinggian jiwa. Orang yang mengenal Ali Shariati
lewat tulisan-tulisannya niscaya dapat menangkap dengan baik bahwa bukan
sekedar tulisan-tulisannya dan pemikiran-pemikirannya yang konstruktif saja
yang membangkitkan pemikiran banyak orang, tetapi perjalanan hidupnya
sendiri terbilang sebagai pedoman bagi orang lain untuk menarik kesimpulan
yang benar tentang hakekat alam ini – suatu kesimpulan yang lahir dari
keimanan yang jernih.
Seringkali Ali Shariati dianggap radikal karena
revolusioner dalam menanggapi fakta-fakta sosial – karena itu mendapat
sorotan dari rezim Shah – dan berani dalam mengungkapkan ide-idenya. Bahkan
dalam pembahasan tentang Islam yang ia bahas dalam kerangka keilmuan
sosiologis dan filsafat, kadang terkesan kontroversial sehingga dapat
menimbulkan salah pengertian bagi orang yang membaca karya-karyanya.
Ali Shariati tidak pernah membuat pernyataan
tentang kesengsaraan politik, ekonomi dan lain-lainnya pada masa
pemerintahan Shah. Tetapi pidato-pidato dan tulisan-tulisannya dapat
membangkitkan minat dan kepercayaan baru terhadap Islam, yang bukan
semata-mata sebagai bentuk peribadatan pribadi, tetapi sebagai pandangan
dunia total dan otonom. Karya-karya dan ide-ide Ali Shariati banyak
terdengar pada khutbah-khutbah yang membangkitkan semangat ummat Islam
untuk mencari kesyahidan. Kalimat-kalimat yang mengesankan dari tulisannya
menjadi slogan revolusi. Tulisan-tulisan tersebut dicantumkan pada
bendera-bendera yang selalu dibawa pada setiap demonstrasi besar yang
dilakukan selama revolusi Iran, seperti: “Syuhada adalah jantung sejarah!”,
“Setiap hari adalah Asyuro, setiap tempat adalah Karbala”[28].
Secara tegas Ali Shariati mengkritik sikap para
mullah yang melepaskan diri dari politik dan mengkritik keras para
cendekiawan muslim yang kebarat-baratan. Yang sangat berkaitan dengan
politik yang akhirnya membangkitkan pemikiran dan menggerakkan
pribadi-pribadi Muslim Iran adalah uraiannya tentang ideologi. Uraian
tentang ideologi ini dilatarbelakangi dengan keterangannya tentang hakekat
manusia, kebebasan dan kemerdekaannya. Ali Shariati betul-betul mampu
mengangkat revolusi intelektual dan pemikiran yang pada akhirnya ide-idenya
dapat mengilhami revolusi Islam Iran.
Ali Shariati banyak mengenal tokoh ulama dan
tokoh intelektual Iran. Ketika bergabung dengan Gerakan Pembebasan
(Nihdati-Izadi) Ali Shariati berkawan dengan tokoh Ayatullah Taliqani yang
dikenal sebagai seorang ulama dan Dr Mehdi Bazargan seorang tokoh
intelektual. Ketika ia aktif di Pusat Islam Husainiya-yi Irsyad ia
bekerjasama dengan ayatullah terkemuka Murtadha Mutahhari. Ali Shariati
memiliki ide politik yang sama dengan Murtadha Mutahhari maupun Ayatullah
Khomaeni. Pada waktu di Perancis Ali Shariati diduga banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Franz Fanon, seorang tokoh pejuang revolusi Aljazair.
D.
Penciptaan Adam dan Humanisme dalam Islam
Menurut Shariati, kitab suci Islam dan Ibrahim
menceritakan dalam bahasa simbolik, bahasa dari semua agama semitik adalah
simbolik dimana Islam merupakan kulminasi dan perfeksi. Bahasa simbolik
menyatakan maknanya lewat simbol-simbol dan imaji. Bahasa simbolik merupakan
bahasa yang paling indah dan halus dari seluruh bahasa yang pernah
dikembangkan manusia. Dibandingkan bahasa eksposisi, bahasa simbolik jauh
lebih mendalam, lebih universal dan lebih abadi. Bahasa eksposisi mungkin
merupakan sarana komunikasi yang baik tetapi tidak lestari dan abadi
seperti bahasa simbolik. Karena hakekatnya bahasa eksposisi yang satu
dimensi, tidak simbolik dan tidak mistis, selalu terbatas pada waktu.
Menurut filosof Mesir, Abdur Rahman Badawi, suatu agama atau filsafat yang
mencoba mengemukakan seluruh makna dan konsep-konsepnya dengan bahasa yang
langsung ke sasaran dan bahasa dengan satu tingkatan, pasti tidak akan
bertahan lama[29]. Mengapa? Karena yang dituju oleh agama selalu mewakili
berbagai tipe dan kelas manusia yang terentang dalam sejarah, masa kini dan
masa depan dengan kapasitas intelektual dan spiritual yang berlainan,
dengan sudut pandang, pengalaman, bentuk-bentuk sosial serta persepsi yang
beragam. Selain itu pemeluk keyakinan tidak terbatas pada suatu generasi
atau zaman tetapi merupakan berbagai generasi dalam rentang sejarah
manusia. Oleh karena itu bahasa yang digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan haruslah merupakan bahasa simbolik dan bermulti muka agar
bahasa tidak cepat usang dan kehilangan makna.
Agama yang ditujukan kepada berbagai generasi
bermacam-macam manusia dan berbagai kelas sosial haruslah menggunakan
bahasa simbolik. Apalagi dalam proses perkembangannya agama melewati lintas
antar budaya dan peradaban. Jika agama memakai bahasa awam, ia tidak akan
memiliki arti baru dan kehilangan makna pada masa-masa berikutnya. Banyak
makna-makna dalam agama yang tidak jelas pada masa pemunculannya tetapi
justru menjadi semakin penuh makna sejalan dengan kemajuan intelektualitas
dan pandangan manusia. Ali Shariati berpendapat bahwa mitos penciptaan Adam
juga bermakna simbolik[30]. Adam adalah manusia simbolik yang diceritakan
dengan cara simbolik. Karena itulah hingga sekarang setelah empat belas
abad, cerita Adam tetap bernilai untuk dibaca. Bahkan dalam kemajuan ilmu
dan kemajuan sosial sekarang ini, mitos penciptaan Adam mendapatkan
makna-makna baru yang cukup berarti.
Dalam Islam, penciptaan Adam dimulai ketika
Tuhan menyatakan kepada para malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakilNya
di muka bumi. Dari pernyataan Tuhan tentang misi manusia terlihatlah betapa
mulia nilai manusia dalam pandangan Islam ini, demikian tinggi, bahkan
humanisme Eropa pasca Renaisance yang kini berkembang dalam humanisme
masyarakat Barat yang liberal tidak mampu memberikan kemuliaan dan kesucian
demikian besar. Setelah Tuhan menciptakan Adam kemudian Tuhan mengajarkan
nama-nama pada Adam. Apa yang dimaksud dengan pelajaran tentang nama-nama?
Apapun penafsiran tentang “nama-nama” tersebut, yang jelas pengajaran
tentang nama-nama menyiratkan gagasan tentang pendidikan. Jadi guru pertama
manusia adalah Tuhan itu sendiri dan pendidikan manusia yang pertama
bermula dengan menyebutkan nama[31]. Karena merasa terganggu dengan
perlakuan istimewa Tuhan kepada manusia maka para malaikat memprotes bahwa
mereka diciptakan dari cahaya. Tetapi Tuhan mengatakan bahwa Ia lebih
mengetahui, kemudian Tuhan memerintahkan para malaikat bersujud kepada
manusia[32].
Demikianlah Islam mengangkat derajat manusia,
menempatkan diatas para malaikat walaupun secara inheren sebenarnya para
malaikat lebih unggul karena diciptakan dari cahaya. Inilah makna
sebenarnya dari humanisme dalam Islam. Dalam Islam karunia intelektual
manusia dibuktikan lebih unggul daripada para malaikat dan terbukti bahwa
manusia adalah mahluk superior diantara segala ciptaan. Tuhan menguji
malaikat untuk menyebutkan nama-nama, tetapi mereka tidak mengetahui
nama-nama sedangkan Adam dapat mengingat semuanya. Dengan demikian malaikat
dikalahkan dalam ujian itu dan Adam memperoleh kemenangannya atas para
malaikat dalam ilmu pengetahuan. Jadi pengetahuan menjadi sumber keunggulan
manusia. Sujudnya malaikat di hadapan Adam membuktikan kenyataan bahwa
dalam pandangan Islam keluhuran esensial manusia dan keunggulannya atas
para malaikat terletak pada ilmu pengetahuannya bukan pada pertimbangan
rasial apapun juga[33].
Adapun tentang penciptaan wanita, Ali Shariati
memiliki penafsiran yang berbeda dari penafsiran yang pada umumnya dipahami
oleh orang. Menurut Ali Shariati, perempuan bukanlah diciptakan dari tulang
“rusuk” Adam dalam pengertian yang literal, sebagaimana diterjemahkan dari
bahasa Arab ke bahasa Persi. Dalam naskah-naskah kitab suci dari dua bahasa
itu kata ini bermakna “hakekat” atau “esensi”. Jadi Hawa (perempuan)
diciptakan dari esensi yang sama dengan Adam, Ali Shariati menegaskan bahwa
Al-Quran tidak menyebut penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam.
Penafsiran yang dilakukan Ali Shariati tentang
penciptaan perempuan lagi-lagi memberikan pemahaman bukan saja tentang
humanisme dalam Islam tetapi pemahaman tentang kesamaan derajat laki-laki
dan perempuan.
E.
Manusia Mahluk Dua Dimensional
Dalam memilih manusia sebagai wakilNya di muka
bumi, Tuhan menganugerahkan status spiritual tertinggi bagi manusia. Dengan
demikian tugas manusia adalah mengemban misi untuk mewakili Tuhan dan
mencerminkan kualitas-kualitasNya. Dan ini merupakan sifat utama terpenting
manusia yang dimilikinya diantara segala mahluk yang telah diciptakan
Tuhan.
Mula-mula Tuhan menciptakan manusia, wakil dan
khalifahNya dari tanah liat hitam atau lempung yang berbau yang merupakan
bentuk paling rendah dari tanah, di dalam Al-Qur’an dinyatakan “Dialah yang
telah menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakannya dan ia telah memulai
pembuatan manusia dari tanah, kemudian ia jadikan turunan (manusia) itu
dari air mani, kemudian ia sempurnakan kejadiannya dan ia tiupkan padanya
sebagian dari ruh (spirit)Nya” [34]
Dengan demikian manusia diciptakan dari dua
hakekat yang berbeda. Tanah lumpur adalah simbol dari kerendahan dan kenistaan.
Tak ada sesuatu yang lebih rendah dari tanah. Dan kemudian ia tiupkan
sebagian dari RuhNya sendiri pada tanah liat tersebut sehingga lahirlah
manusia. Dalam setiap mahluk, bagian yang paling murni dan suci adalah
spirit atau RuhNya. Maka spirit yang paling mulia dan sempurna tentu
merupakan milik sang pencipta (khaliq). Dari spirit yang paling tinggi dan
sempurna inilah diturunkan kepada spirit manusia. Gabungan dua kutub
ekstrem ini berpadu dalam kedirian mahluk yang bernama manusia, sehingga
manusia memang diciptakan sebagai mahluk dua dimensional dengan dua arah
kecenderungan.
Salah satu keistimewaan manusia adalah
kesanggupan dan kemampuannya untuk menjadi pemegang dan pengemban Amanat
Tuhan. Ketika Tuhan menawarkan tugas ini kepada seluruh mahlukNya, langit,
bumi, gunung, flora, fauna dan seluruh fenomena alam, maka tidak ada yang
sanggup menerima Amanat tersebut.
Karena manusia memiliki keyakinan dan kemampuan
untuk menjadi pengemban Amanat Tuhan, penjaga karuniaNya yang paling
berharga, maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi keberanian dan
keutamaan seta kebijakan di alam semesta. Apa pengertian Amanat itu? Ali
Shariati menyetujui pendapat Jalal al Din Rumi bahwa yang diamaksud amanah
itu atas kehendak bebas (free will) manusia[35].
Kehendak bebas atau kekuatan iradahnya manusia
inilah yang merupakan kemampuan paling menonjol dari manusia selain
intelektualitasnya. Dengan memiliki kehendak bebas ini, manusia merupakan
satu-satunya mahluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya dimana
hewan maupun tumbuh-tumbuhan hidup semata-mata mengikuti dorongan
instingnya maka manusia dapat melakukan perbuatan yang melawan dorongan
instingnya seperti berpuasa, bunuh diri atau memilih apakah akan bertindak
rasional atau irrasional.
Dengan demikian pernyataan Tuhan bahwa manusia
lahir atau diciptakan dari bagian Ruh Tuhan ditafsirkan sebagai adanya
kesamaan antara mahluk dan khalik yaitu kehendak bebas. Tuhan satu-satunya
Zat dengan kemauan mutlak yang memiliki kemampuan apa saja dengan hukum alam,
telah meniupkan sebagian RuhNya kepada manusia dan mengantarkan manusia
kepada kehidupan ini agar manusia dapat memanifestasikan sifat-sifatNya di
muka bumi. Jadi manusia dapat berbuat mirip Tuhan tetapi dalam batas-batas
tertentu[36]. Jadi kedekatan manusia dengan Tuhan berasal dari keutamaan
yang sama yaitu kehendak bebas.
Dalam pemahaman yang lengkap dapatlah
disimpulkan bahwa amanatNya kepada manusia berupa kehendak bebas tersebut.
Dengan kehendak bebas (free will) inilah manusia menjadi khalifah di muka
bumi selain bahwa manusialah satu-satunya mahluk Tuhan yang memiliki
kemampuan intelektual.
Seperti dibahas dalam penjelasan sebelumnya
bahwa sujudnya para malaikat kepada Adam disebabkan Adam mampu mempelajari
nama-nama yang telah diajarkan Tuhan. Sujudnya para malaikat kepada Adam
adalah simbol dari penghargaan Islam atas kemanusiaan (humanisme).
Sedangkan nama-nama itu sendiri merupakan simbol dari fakta-fakta alamiah.
Mempelajari tanda-tanda dari fakta-fakta alamiah tersebut membimbing
manusia ke arah pemahaman dan penemuan kebenaran-kebenaran faktual yang ada
dalam alam semesta. Hal ini berarti penguasaan atas fakta-fakta ilmiah.
Penguasaan atas fakta-fakta ilmiah inilah yang merupakan dasar dari
kualitas intelektualisme manusia.
Manusia sebagai mahluk dua dimensional
(bidimensional) mengungkapkan kenyataan bahwa kehidupan manusia memuat
jarak yang sangat jauh yaitu antara lumpur (tanah liat) sampai kepada
kesucian (bagian dari RuhNya). Dalam keberadaannya yang demikian manusia
memiliki dua arah kecenderungan yaitu kepada stagnasi sedimenter, pada
tingkat yang paling rendah (tanah) dan kemudian membeku (stagnan) tidak
berkembang dan hina atau kepada dimensi spiritualnya yang cenderung naik
(mendekati) ke puncak tertinggi yaitu Zat Yang Maha Suci. Jadi manusia
adalah mahluk dengan dua unsur yang kontradiktif. Dikaruniainya manusia
dengan kehendak bebas, menyebabkan manusia memiliki kebebasan untuk memilih
salah satu kutub; apakah memilih kutub kehinaan atau kutub kesucian. Kedua
kutub ini potensial ada pada diri manusia, saling tarik-menarik
terus-menerus. Perjuangan dan peperangan antara dua kutub dalam diri
manusia ini pada akhirnya memaksa manusia untuk memilih salah satu kutub
yang dapat menentukan nasibnya. Akan tetapi pilihan manusia atas nasibnya
sendiri ini akan dimintai pertanggung jawabannnya.
Dengan dua kutub ekstrem yang ada pada diri
manusia, kadang membuat manusia terjebak dalam salah satu kutub saja.
Sejarah membuktikan bahwa masyarakat dan peradaban manusia cenderung
mengarah pada keduniawian saja atau keakhiratan saja. Peradaban Cina
mula-mula condong ke keduniaan, mengutamakan kenikmatan dan keindahan dan
mengijinkan sepenuhnya pada karunia alam yang tergambar dalam aristokrasi
kuno di Cina. Tetapi ketika Lao-Tse datang membawa satu agama baru maka
kehidupan Cina berubah mengarah kepada keakhiratan dan memajukan kehidupan
spiritual, dengan kehidupan kependetaan dan kesufian. Setelah itu muncul
Kong-Hu-Cu yang menghapuskan kultus pada kehidupan keakhiratan dan memimpin
bangsa Cina kembali ke alam. Demikian pula yang terjadi di India dimana
kesenangan duniawi yang semula mewarnai masyarakat, beralih kepada
kehidupan asketik dengan adanya ajaran Weda dan Budha.
Di Eropa, pemerintahan dan masyarakat terus
memuaskan diri dengan kenikmatan dan kemewahan yang berlebihan. Eropa
memiliki nafsu imperialisme terhadap Asia dan Afrika dengan menghalalkan
pembunuhan dan kejahatan serta mengutamakan kenikmatan fisik. Ketika
Kristus datang, kehidupan dan peradaban Eropa berubah menjadi asketisisme dan
monastisisme (hidup merana dan mementingkan keakhiratan semata-mata) akan
tetapi kehidupan seperti itu ternyata terasa membelenggu sehingga
renaisance datang ke Eropa mengubah Eropa abad pertengahan yang monastik
menjadi suatu dunia yang sekuler. Namun sekarang ini peradaban Eropa yang
berdasarkan prinsip-prinsip sekuler renaisance telah begitu materialistik
dan telah membuat kemanusiaan bergantung pada kenikmatan dan kemewahan
hidup. Ali Shariati mengutip Profesor Chandel bahwa dunia sekarang ini
memusatkan seluruh usahanya untuk menciptakan sarana-sarana kehidupan dan
ini adalah kebodohan dan filsafat hidup manusia modern, teknologi yang
tanpa arah dan peradaban yang kosong dari cita-cita[37].
Dari fakta sejarah dan peradaban manusia ini
jelaslah bahwa manusia senantiasa lari dari satu kutub ekstrem kepada kutub
ekstrem yang lain. Manusia adalah mahluk dua dimensional sehingga ia
memerlukan suatu agama dengan dua dimensi serupa yang dapat menyeimbangkan
dan menyerasikan dimensi-dimensi yang saling bertentangan yang ada di dalam
diri manusia dan masyarakatnya. Agama yang memiliki karakteristik seperti
itu (dua dimensi) adalah Islam. Karena Islam memiliki Tuhan, Kitab Suci,
Nabi dan tokoh-tokoh yang dua dimensi.
Tuhan dalam Islam adalah Tuhan dua dimensional
dengan dua wajah yaitu wajah Jehovah[38] dan wajah Tuhan Yesus[39]. Seperti
Jehovah Ia seolah-olah berwatak social minded, mendunia, praktis, tegas dan
membalas setiap perbuatan dengan keras. Seperti Tuhan Yesus karena Ia lemah
lembut, penyayang dan pemaaf. Sifat-sifat Tuhan dalam Islam ini ada dalam
Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagaimana halnya Taurat adalah suatu
kitab tentang hukum-hukum dan peraturan-peraturan sosial dan politis.
Al-Qur’an berisi instruksi tentang perang dan damai. Ia juga menunjukkan
perhatian yang besar dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Disamping itu, Al-Qur’an juga merupakan kitab suci yang sangat
memperhatikan penjernihan dan pensucian jiwa, kesalehan dan kesempurnaan
moral manusia.
Nabi Islam juga seseorang dengan dua wajah yang
kontras. Wajah dunianya terlihat dalam perang dan aksi-aksi sosial dalam
rangka memerangi kekuatan-kekuatan yang dekstruktif di tengah masyarakat.
Sedangkan dimensi sucinya nampak dalam caranya menyampaikan amanat Allah
bagi manusia. Dalam dirinya kenabian dan kepemimpinan menyatu dengan sangat
serasi yaitu sebagai penuntun dan pembimbing masyarakat dan sebagai seorang
hamba yang saleh, yang berdoa dan mengabdi. Sedangkan sahabat-sahabat Nabi
adalah manusia-manusia dua dimensi yang patut diteladani. Mereka adalah
manusia-manusia yang senantiasa hadir dalam wilayah pendidikan dan
intelektualitas. Di samping itu sahabat-sahabat Nabi adalah orang-orang
yang menjunjung kesucian spiritual dan kesalehan dan sungguh-sungguh dalam
mendedikasikan dirinya pada keyakinannya.
F.
Tiga Talenta Manusia dan Empat Penjara Manusia
Menurut Ali Shariati dari segi kualitasnya
manusia dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu basyar dan insan[40]. Basyar
adalah mahluk yang sekedar berada (being). Manusia dalam keadaannya sebagai
basyar tidak akan mengalami perubahan, ia tetap sebagai mahluk berkaki dua
yang berjalan tegak. Secara demikian ia tetap memiliki definisi yang sama
sepanjang sejarah yaitu memiliki karakteristik dan perilaku yang sama,
tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan secara kualitatif. Fenomena
ini tidak berbeda dengan mahluk lain seperti semut atau monyet yang memilih
kebiasaan yang sama dan tetap sepanjang waktu. Sedangkan insan adalah
mahluk yang “menjadi” (human becoming). Dalam insan manusia didefinisikan
sebagai kualitas-kualitas ideal dan luhur. Dan untuk mencapai kualitas
ideal ini manusia senantiasa harus bergerak maju atau “menjadi”. Men-jadi
(becoming) adalah bergerak, maju, mencari kesempurnaan, merindukan
keabadian, tidak pernah menghambat dan menghentikan proses terus-menerus ke
arah kesempurnaan. Hal ini berarti secara mental spiritual manusia
senantiasa mengalir ber-evolusi mengarah pada kesempurnaan.
Azas men-jadi yang menunjukkan evolusi tanpa
henti dari manusia ke arah yang tanpa batas terdapat pada makna ilaihi yang
banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut Ali Shariati ilaihi
memiliki makna kepadaNya bukan di dalamNya. Artinya men-jadi (becoming)
adalah bergeraknya manusia secara permanen kearah Tuhan, kearah
kesempurnaan ideal. Oleh karena itu bergeraknya manusia ke arah Dia berarti
gerakan terus-menerus tanpa henti ke arah tahap-tahap evolusi dan
kesempurnaan inilah gagasan pokok Ali Shariati tentang manusia men-jadi
(human becoming).
Manusia men-jadi (becoming) adalah manusia
dengan tiga talenta utama yaitu kesadaran, kemampuan iradah (kehendak
bebas) dan daya cipta. Pada dasarnya sifat-sifat (talenta) tersebut
merupakan sifat-sifat mirip Tuhan dan menjadi mikro kosmosNya di muka bumi.
Sesungguhnya manusia dihimbau agar “menyesuaikan sifatnya sengan
sifat-sifat Allah”. Tetapi hanya insan sajalah yang dapat menyesuaikan
sifat-sifat mirip Tuhan dan menjadi wakilNya di muka bumi, bukan basyar.
Hanya insan yang mampu memiliki kesadaran, mampu memilih dan dan mencipta.
Sifat-sifat ini terdapat pada Tuhan dalam bentuk absolut (mutlak). Bila
dekat denganNya manusia dapat memanifestasikan sifat-sifatNya dalam bentuk
relatif.
Manusia adalah satu-satunya mahluk di dalam alam
yang telah meraih kesadaran. Dalam kisah Adam di surga menguraikan tentang
tumbuhnya kesadaran diri manusia ini. Selama hidup di surga manusia hidup
tanpa salah dan ini tidak manusiawi. Ketika ia tahu bahwa ia ditakdirkan
tidak produktif dan tanpa salah ia memberontak dengan jalan memakan buah
pengetahuan, buahnya pemberontakan dan kesadaran. Manusia diusir dari surga
yang penuh kesenangan, kemudahan, konsumsi murni dan kepuasan fisik. Di
muka bumi manusia merasakan tanggung jawab atas diri dan kehidupannya dan
memulai kehidupan baru dengan perasaan tanggung jawab. Kesadaran diri
manusia mencakup pengalaman tentang kualitas dan esensi dirinya dan
hubungannya dengan alam, kesadaran diri inilah ciri pertama manusia dan
memungkinkannya melampaui insting hewaniah.
Talenta kedua yang dimiliki manusia adalah bahwa
ia bebas untuk memilih (kemampuan iradah, kehendak bebas). Manusia adalah
satu-satunya yang dapat memilih bagi dirinya sendiri dan pilihan tersebut
dapat bertentangan dengan instingnya, dorongan fisiologi dan psikologisnya.
Kemampuan untuk memilih yang bertentangan dengan alam, sesungguhnya milik
Tuhan, tetapi manusia dikaruniai keistimewaan ini.
Talenta ketiga yang dimiliki manusia adalah daya
ciptanya. Ia dapat menciptakan barang-barang dalam berbagai bentuk dan
ukuran yang berbeda. Manusia lebih dari sekedar mahluk pembuat alat.
Manusia pencipta dan pembuat barang-barang yang belum terdapat di alam.
Manusia diciptakan untuk menjadi daripada sekedar mahluk fisik belaka.
Selama manusia merasa bahwa alam sudah serba cukup, maka ia tidak akan
lebih dari seekor binatang dalam mencari makanan hariannya di atas alam.
Tetapi ketika ia mendapatkan alam tidak mampu memenuhi kerinduan-kerinduan
luhurnya dan tujuan yang lebih tinggi maka ia mulai berjalan melampaui
tahap rendah sebagai mahluk fisik belaka.
Menurut Ali Shariati terdapat empat kekuatan
deterministik yang cenderung membatasi kesadaran diri, kemampuan iradah dan
daya cipta manusia yaitu materi, alam, sejarah dan masyarakat. Empat
kekuatan deterministik yang memenjarakan ini muncul dengan selubung baju
ideologi.
Materialisme (materi) beranggapan bahwa
kecerdasan dan substansi manusia adalah berasal dari materi. Materialisme
tidak mempercayai evolusi metafisis manusia dan melihat manusia layaknya
binatang fenomenal yang terbatas membuat materialisme menjadi penghambat
bagi peningkatan potensi manusia dari mahluk yang rendah. Sebagai suatu
ideologi materialisme merupakan suatu usaha untuk menindas kemajuan
spiritual manusia.
Naturalisme adalah ideologi lain yang memandang
manusia sebagai mahluk yang ditentukan oleh alam. Manusia tumbuh dari alam,
makan dari alam dan tergantung pada alam. Naturalisme beranggapan bahwa
manusia tidak dapat mengatasi alam, menguasainya atau melampauinya walaupun
kaum naturalis memposisikan manusia sebagai mahluk paling maju di alam, tetapi
mereka mensubordinasikan (meletakkan manusia pada derajat yang lebih
rendah) terhadap alam dan kekuatan-kekuatan alamiah. Sebagai sebuah
ideologi, naturalisme telah mereduksi atau mengurangi kebebasan memilih
manusia, kesadaran dan daya ciptanya.
Faktor penghambat pengembangan talenta-talenta
manusia tidak hanya terbungkus dalam paham ideologi tetapi juga pada mazhab
berfikir. Historisme merupakan salah satu mazhab berfikir yang melihat
manusia sebagai produk sejarah. Ia menganggap sejarahlah yang membuat
manusia, menentukan apa yang harus ditempuh olehnya dan bagaimana manusia
harus mengarah. Historisme beranggapan bahwa semua dilahirkan dan
dibesarkan dalam masyarakat yang telah ditentukan dan dipola menurut
sejarah. Historisme berkeyakinan apabila iklim dan faktor-faktor alamiah
lainnya menentukan warna kulit, maka sejarah membentuk pola-pola spirit
manusia. Dengan demikian historisme menghambat manusia untuk memilih dan
memiliki kemauan bebas atas nasibnya sendiri.
Sosiologisme merupakan mazhab berfikir yang
menganggap bahwa kepribadian dan nasib manusia ditentukan oleh masyarakat.
Hubungan sosial, hubungan antar kelas sosial, tradisi, keyakinan dan
praktek moral serta religi merupakan unsur-unsur yang membentuk suatu
masyarakat dan merupakan faktor-faktor yang menentukan kepribadian dan
nasib manusia. Ini berarti bahwa seorang individu tidak dapat dimintai
tanggung jawab atas tindakannya yang baik maupun yang buruk, karena
lingkungan sosial itulah yang menentukan tindakan dan wataknya.
Ali Shariati menyatakan bahwa ia tidak
menginginkan pengaruh materi, alam, sejarah dan masyarakat atas manusia. Ia
meyakini bahwa manusia adalah fenomena natural, fenomena fisis, fenomena
historis dan fenomena yang terbentuk oleh lingkungan sosialnya. Tetapi
Shariati berkeyakinan bahwa manusia dalam perjalanan evolusinya,
sesungguhnya mampu melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan determinisme ini.
Manusia dapat keluar dari determinisme
naturalisme jika ia mengetahui dan memahami alam. Semuanya dapat dilakukan
dengan penguasaan ilmu. Pada batas-batas tertentu kekuatan alam telah dapat
dikendalikan. Gaya tarik bumi dapat diatasi dengan adanya penerbangan,
pertanian tak lagi mengandalkan curah hujan. Dengan ilmu dan teknologi
manusia dapat megatasi dan mengendalikan alam pada batas-batas tertentu.
Sedangkan salah satu cara untuk membebaskan diri
dari penjara sejarah adalah dengan menyadari bahwa manusia dapat menjadi
mainan kekuatan sejarah. Dengan bantuan ilmu dan filsafat sejarah, kemudian
menemukan gerak sejarah dan hukum-hukumnya dan memahami bahwa semuanya
dapat mempengaruhi struktur mental persepsional, moral dan kesadarannya
makan manusia dapat membebaskan diri dari jerat kekuatan sejarah ini.
Determinisme sosiologis sebenarnya mulai
kehilangan kekuatannya. Lewat sosiologi dan ilmu-ilmu sosial anggota
masyarakat dapat memahami realitas dan determinisme sosial dan
menghadapinya dengan cara yang konstruktif.
Bagaimana manusia dapat melepaskan diri dari
materialisme? Sebagian dari diri manusia adalah materi, maka ia cenderung
mengarah pada materi. Pada zaman sekarang ini peradaban, kebudayaan,
teknologi dibangun berdasarkan kecendrungan materialisme ini. Semua
diciptakan dan ditujukan untuk menghasilkan sarana-sarana bagi kemudahan
hidup manusia. Pada dasarnya kecendrungan ini alamiah (wajar) tetapi
menurut pandangan Ali Shariati manusia menaruh perhatian yang berlebihan
terhadap cita-cita materialisme sehingga menghasilkan lenih banyak frustasi
dan kesia-siaan. Hanya dengan cinta manusia dapat melepaskan diri dari cita-cita
materialistiknya. Cita-cita materialistik ini membelenggu ego manusia.
Cinta yang dalam pengertian sebenarnya adalah memberi bukan mengambil dan
tanpa berharap kompensasi. Namun jika cinta diambil untuk mengabdi suatu
kepentingan pribadi, memenuhi suatu keinginan atau memuaskan harapan itu
bukan cinta namanya. Cinta yang sebenarnya adalah kekuatan yang mampu
mempunyai kekuatan yang mendorong kita, menolak diri kita sendiri dan
mengorbankan kehidupan kita untuk suatu cita-cita untuk orang lain. Menurut
Ali Shariati bila manusia dapat mengalahkan egonya dan cita-cita
materialistiknya dengan memiliki cinta ini maka manusia ada pada tahap
puncak men-jadi.
G.
Kesimpulan
Ali Shariati berpendapat bahwa bahasa simbol
lebih fleksibel dan dapat mengatasi jarak ruang dan waktu. Hal ini berbeda
dengan bahasa eksposisi yang langung mengarah pada tujuan dan karena itu
sangat temporal. Kebanyakan kitab-kitab suci Islam memakai bahasa simbolik
dan ini dapat dipahami karena kitab suci islam ditujukan untuk berbagai zaman,
berbagai budaya dan kelas sosial.
Dalam pembahasan filsafat manusia, Ali Shariati
banyak menafsirkan bahasa-bahasa simbolik yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Dalam sejarah penciptaan Adam, peristiwa malaikat sujud kepada Adam
dilakukan setelah Adam mampu menyebut nama-nama (sesuatu yang tidak dapat
dilakukan malaikat). Nama adalah simbol dari fakta alamiah, sehingga hanya
Adamlah yang memiliki kemampuan menalar dan intelektual. Sujudnya malaikat
pada Adam merupakan penghargaan Islam terhadap humanisme. Sedangkan
pernyataan dalam Al-Qur’an yang menyatakan ruh manusia merupakan bagian
dari Ruh Allah memiliki makna bahwa manusia memiliki iradah (kehendak
bebas) yang sebetulnya merupakan sifat Allah dan manusia diberi karunia
iradah dalam batas-batas tertentu.
Mahluk dua dimensional meruapakan pembahasan
manusia dari sisi yang lain. Shariati berpendapat bahwa kedirian manusia
membentang diantara dua titik ekstrim yaitu tanah liat yang merupakan
simbol kerendahan dan bagian dari RuhNya yang merupakan simbol dari spirit
kesucian. Untuk menyeimbangkan kehidupan manusia maka diperlukan agama,
Tuhan, Kitab dan Nabi yang semuanya dua dimensional dan ini adalah Islam.
Pembahasan Shariati tentang manusia juga
menyangkut tipe-tipe manusia. Ada manusia yang berhenti berkembang dan
hanya sekedar ada (being) dan terdapat manusia dengan kemampuan ber-evolusi
(human becoming). Evolusi spiritnya ini mengarah pada kulitas-kualitasNya
pada batas-batas tertentu dan ini hanya dapat dilakukan apabila manusia
berhasil mengembangkan tiga talentanya yaitu kemampuan iradah, kesadaran
diri dan daya cipta. Tetapi tiga talenta manusia ini kadang tidak
berkembang karena terpenjara dalam materi, sejarah, masyarakat dan alam.
Cara membebaskan diri dari penjara-penjara ini adalah dengan ilmu sejarah,
teknologi dan cinta.
Penjelasan filsafat manusia yang disampaikan Ali
Shariati dapat memberi panduan bagi setiap individu untuk memaknai kembali
langkah hidupnya dan memberi arah agar dapat berkembang, bukan dalam
pengertian kemapanan ekonomi, sosial, politik budaya tetapi lebih dari itu
adalah pengembangan spirit manusia. Pengembangan spirit manusia (human
becoming) inilah yang dapat menciptakan peradaban yang lebih baik.
|