Pesantren
merupakan sistem pendidikan yang sudah berkembang sejak jauh sebelum negeri
ini merdeka, bahkan sebelum kerajaan Islam berdiri. Pendidikan yang sering
disebut sebagai tradisional itu, bersama madrasah dan pendidikan swasta
lain, telah berjasa besar di dalam menumbuhkan masyarakat swadaya dan
swasembada. Masyarakat inilah yang bersama kekuatan sosial lainnya, menjadi
tulang punggung dan basis perjuangan kemerdekaan yang kemudian hari bisa menjadi
basis masyarakat sipil atau masyarakat madani.
Bersamaan
dengan tumbuh dan berkembangnya masyarakat dunia dan Indonesia sebagai
bangsa, pesantren dan madrasah terus
mengalami tekanan dan proyek peradaban yang disebut modernisasi. Hal ini
terjadi ketika proyek ini tidak diletakkan pada akar basis kekuatan
tradisional masyarakatnya. Di dalam jangka waktu tertentu, modernisasi
bidang pendidikan, memang berhasil menyediakan Sumber Daya Manusia yang
diperlukan bagi birokrasi pemerintahan, dan bagi berbagai lembaga sosial dan
ekonomi yang diperlukan bagi Indonesia merdeka. Namun, orientasi berlebihan
terhadap pertumbuhan, telah menyebabkan dunia pendidikan gagal menumbuhkan
manusia kreatif yang berswadaya dan berswasembada.
Selama
proses modernisasi tersebut, berbagai madrasah bersama pendidikan swasta
lainya, diubah menjadi madrasah dan sekolah negri. Sekolah swasta dan
madrasah, yang tetap bertahan, tidak mempunyai pilihan kecuali menjadi
bagian korporasi pemerintah yang berkuasa. Pesantren pun mengikuti
modernisasi dengan mengubah diri sebagai lembaga pendidikan penyedia tenaga
birokrasi, dan bagi kepentingan lembaga sosial dan ekonomi modern. Berbagai
jenis sekolah dan madrasah didirikan oleh lembaga pesantren. Pada
gilirannya, ciri khas pesantren ini pun memudar di dalam gerak dinamika
lembaga pendidikan formal di bawah sistem pembelajaran, kurikulum, dan
evaluasi yang telah di tetapkan di jakarta. Keterlibatan warga dalam
penyelenggaraan pendidikan teru menyusut seiring sentralisasi dan
birokratisasi pendidikan nasional tersebut.
Setengah
abad setelah proyek modernisasi pendidikan, bangsa ini mulai menemui badai
menghadapi persoalan serius yang sering muncul bersamaan globalisasi
peradaban. Tatanan global melahirkan dunia kompetitif yang memerlukan sumberdaya
manusia yang bebas , kreatif, berswadaya dan berswasembada dari swatu tatya
kehidupan bangsa. Sementara itu, kebijakan pendidikan nasional lebih
cenderung melahirkan manusia ‘’ peniru ‘’, yang selain selalu ketinggalan
dari perkembangan IPTEK dengan daya kompetensi rendah, juga menyebabkan
kepercayaan diri dan etos kemajuan warga bangsa ini menghilang dan tidak
tumbuh.
Kesadaran
atas cacat perkembangan ( modernisasi ) dari kebijakaan pendidikan yang
sentralistik, mulai tumbuh meluas sesudah gerakan reformasi menyebabkan
jatuhnya pemerintah Order Beru pada tanggal 321 Mei 1998. Namun demikian,
upaya untuk menysun menyusun kebijakan sosial, ekonomi, politik,
kebudayaan, dan pendidikan, yang cukup segnifikan bagi penyelesaian beragam
krisir nasional, menghadapi ketersediaan sumberdaya daya manusia berswadaya
dan berswasembada yang sendah tersebut. Konsep pendidikan yang kompatibel bagi penyelesaian krisis
secara fundamental dan penyiapan warga bangsa bagi tatanan indonesia baru
di masa depan, tampaknya masih belum bebas dari pradima lama yang
birokratis, korporatif, dan senrtalistik.
Para
perancang pendidikan nasional, tampak gagal memahami pesantren dan fungsi
lembaga pengembangan swadaya dan swasembada rakyat seperti terlihat dalam
penyempurnakan Undang – Undang sistem pendidikan Nasional ( UUSPN ) Nomor 2
Tahun 1989. Dalam UUSPN yang telah di sempurnakan itu, pesantren di letakan
sebagai suatu lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah dan luar
sekolah. Dalam naskah akademik penyempurnaan UUSPN yang disusun KRP (Komite
Reformasi Pendidikan) dinyatakan, Pesantren merupakan Pendidikan Islam
jalur sekolah dan luar sekolah secara terpadu pada jenjang pendidikan
dasar, menengah dan tinggi.
Berkaitan
dengan gagasan di atas, kiranya perlu dibedakan pesantren sebagai
penyelenggara pendidikan dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan pendidikan non formal dan
luar sekolah. Sementara pesantren sebagai penyelenggaraan pendidikan itulah
yang kemudian mendirikan sekolah atau madrasah diniyah. Pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan jalue sekolah dan luar sekolah bisa dilakukan
secara terpadu. Namun yang perlu disadari ialah keterpaduan di pesantren
lebih lebih karena peserta didik, sekolah dan juga peserta didik luar
sekolah yang diselenggarakan pesantren, menyebabkan kekhasan pesantren
dalam tujuan kurikulum, sistem dan evaluasi pembelajaran akan bisa
menghilang.
Selama
dekade terakhir, di berbagai pesantren berdiri diniyah, madrasah dan
sekolah di tingkat dasar, menengah dan tinggi. Namun hal itu tidak berarti
pesantren mengubah diri menjadi diniyah, madrasah, dan sekolah. Pesantren
memiliki sistem sendiri dalam pembelajaran dan evaluasi, rekruitmen peserta
dan pengajarannya. Pesantren inilah yang kemudian mengembangkan fungsinya
dengan mendirikan berbagai lembaga pendidikan formal tersebut.
Konseptualisme
pesantren sebagai lembaga pendidikan formal jalur sekolah dan luar sekolah
di atas akan menempatkan pemerintah harus bertanggungjawab terhadap
kehidupan pesantren dalam bentuk anggaran pendidikan. Namun pada sisi lain,
konsep demikian akan mengubur pesantren sebagai lembaga pendidikan mandiri.
Pesantren yang secara khusus mengembangkan kemandirian santri dalam
berbagai pengembangan ilmu tauhid, fiqih, tafsir, akhlak, hadis, tasawuf
dan bahasa, serta ilmu lainnya, selain praktek ibadah, selama ini mendorong
tumbuhnya sikap mandiri para santrinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemampuan
santri dalam memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri itulah yang perlu
dikembangkan pemerintah. Penempatan pesantren sebagai pendidikan formal
jalur sekolah, justru bisa menghilangkan fungsi tradisionalnya yang kini
semakin tragis dan diperlukan bagi pengembangan swadaya dan swasembada
rakyat. Saat ini, walau pengembangan keswasembadaan dan keswadayaan rakyat
melalui sistem pendidikan pesantren, tentu berbeda dengan orientasi
pesantren yang selama ini terfokus pada dunia pertanian. Pengembangan
kemampuan di bidang agroindustri, arobisnis dan berbagai kertampilan
mengolah hasil tani bisa dijadikan alternatif. Di kawasan kota diarahkan
bagi kemampuan bidang-bidang yang berkait dengan tekhnologi berorintasi
rakyat. Selain ilmu-ilmu yang selama menjadi ciri khas pesantren,
pendidikan ketrampilan di berbagai bidang kerja, bisa dikembangkan bagi
pesantren dalam fungsuinya, sebagai pendidikan non formal dan luar sekolah.
Selain
pesantren konseptualisasi madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam,
juga mengundang berbagai masalah. KRP mengatakan, madrasah merupakan
pendidikan umum berciri khas Islam jalur sekolah “ sementara itu diniyah
(madrasah) dinyatakan sebagai pendidikan Islam jalur sekolah pada jenjang
...”. Penamaan diniyah sebagai pendidikan Islam jalur sekolah ... dan
madrasah sebagai pendidikan umum berciri khas Islam jalur sekolah” tersebut
justru bisa membingungkan. Lembaga-lembaga ini menjadi tumpang tindih
dengan sekolah yang dikelola atau organisasi Islam yaitu, yayasan Islam
yang juga jelas berciri khas Islam. Lebih tepat jika, madrasah dinyatakan
sebagai nama suatu bagi lembaga sekolah, dan diniyah sebagai lembaga
pendidikan khusus jalur sekolah.
Persoalan
yang kalah rumit adalah pendidikan tinggi yang secara khusus memfokuskan
diri pada suatu bidang ilmu. IAIN adalah, lembaga pendidikan tinggi yang
khusus mempelajari bidang ilmu yang selama ini disebut “ nadi Islam”. Hal
in i mengundang maslah berkaitan pembidangan ilmu yang disebut “ilmu umum”.
Selama ini ilmu-ilmu dibebankan atara ilmu murni dan ilmu terapan, ilmu
alam, ilmu sosial, dan humaniora. Di mana letak “Study Islam”, dalam
pembidangan ilmu : termasuk ilmu alam sosial atau humaniora, ilmu murni
atau terapan, selain itu pertanyaan yang penting adalah dari jenjang mana
peserta didik yang boleh dan mengikuti pendidikan tinggi di IAIN; apakah
dari madrasah, diniyah, pesantren sekolah umum atau sekolah yang dikelola
dari yayasan Islam ?.
Problem
pembidangan ilmu di atas adalah perlu dijelaskan secara jernih di dalam
pengembangan madrasah sekolah swasta Islam, diniyah, dan tentunya
pesantren. Gagasan Islamisasi ilmu tidak cukup menjawab problem pembidangan
ilmu secara dikotomik; ilmu agama sdan ilmui umum. Lebih tepat jika yang
selama ini di letakan kedalam ilmu agama dam di sebut study Islam, di sebut
dengan bidang ilmu – ilmu itu dengan ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu ahlak,
ilmu tasawuf, ilmu tafsir, dan dan seterusnya. Dengan demikian, ilmu – ilmu
ini bisa di letakkan di dalam setruktur ilmu yang berlaku umum yang Universal.
Selain
pelatihan ritual ( ibadah dan akhlak, pesantren yang secara khusus
mempelajari ilmu – ilmu di atas melalui model jalur, model jalur luar
sekolah atau non-formal, bisa secara jernih dan jelas menfaatkan jasa ilmu
terapan ( bidang sosial, alam, dan mumaniora ). Tujuan utamanya adalah
pengembangan kemampuan santri dalam bersembada dan berswadaya. Lebih
strategis jika pesantren bisa di kembangkan sebagai pusat [pendidikan
swadaya masyarakat yang selama ini di perankan LSM ( lembaga swadaya
masyarakat ).
Gagasan
tentang masyarakat sipil ( cipil society ) yang sering di terjemahkan dengan
masyarakat madani, bertumpu dari kemampuan warga di dalam memenuhi kebutuan
hidup secara mandiri dan swadaya. Bagi kepentingan inilah lembaga pesantren
bisa mengambil peran dengan tetap meletakan dirinya sebagai pendidikan
non-formal atau pendidikan di jalur luar sekolah. Masalah yang perlu di
pecahkan adalah konseptualisasi tujuan sepesifik, model pembelajaran yang
lebih sistematis dan rasional bagi pencfapaian tujuan tersebut, dan
kurikulum serta sistem efaluasi yang khas pula.
Karena
itu jika di fungsikan,bagi pengembangan kemampuan ekonomi warga yang
mandiri, kreatif, dan produktif, pesantren akan merupakan lembaga
pendidikan alternatif bagi penyelesaian banyak persoalan ekonomi nasional
di masa depan. Realisasi gagasan ekonomi kerakyatan, bisa dimulai dengan
pengembangan fungsi pesantren yang terbesar di seluruh sudut negeri ini
dari kota hingga pelosok desa,dan kawasan terpencil. Saat ini jumlah
pesantren di tanah air mencapai 7.000 buah dengan sekitar 2 juta
santri.Jika di tambah siswa diniyah dan madrasah, jumlah peserta pendidikan
Islam itu akan mencapai sekitar 10 juta orang.
Pesantren,
diniyah dan madrasah tersebut di atas lebih banyak berkembang dikawasan
pedesaan di banding yang tumbuh di perkotaan. Dalam hubungan itu, maka
pembaruan diniyah, madrasah, dan khususnya pesantren, cukup segnifikan bagi
usaha pemecahan langsung masalah kemiskinan yang di derita lebih 50 %
penduduk indonesia. Kemiskinan tidak bisa dipecahkan hanya oleh pemerintah,
tapi perlu melibatkan masyarakat yang bisa dilakukan secar khusus oleh
lembaga pesantren untuk suatu tujuan spesifik pemberdayaan rakyat.
Selain
itu, praktek ritual dan ahlak, bisa difungsikan bagi pengaturan etika
kebangsaan sebagai jawaban degradasi moral yang membuat indonesia ini
sebagai bangsa yang tergolong korup di dunia. Kekhasan, sekaligus keunikan
setiap pesantren dalam mengelola media dan sumber belajar bagi usaha
mencapai tujuan tersebut, perlu tetap terus di pelihara sebagai kekayaan
tradisi pendidikan nasional, Khususnya tradisi pendidikan islam di negeri
ini. Disini pulalah terletak pentingnya bagi pesantren untuk percaya diri
dan konsisten pada jati diri sendiri sebagai lembaga pendidikan non formal
dan sebagai pendidikan jalur keswasembadaab masyarakat sebagai basis
tumbuhnya masyarakat madani.
|