FILSAFAT HIKMAH





FILSAFAT HIKMAH




Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan
Musa Kazhim Habsyi

Sebelum berbicara tentang hikmah mutaaliyah (selanjutnya kita sebut sebagai filsafat hikmah), saya perlu mengemukakan sejumlah pendahuluan berikut. Pertama, manusia adalah makhluk yang secara intrinsik (fitriah) mencari kesempurnaan. Fitrah ini mendorong manusia untuk terus-menerus berevolusi dan menyempurna. Kedua, dalam mencari kesempurnaan ini manusia akan mengandalkan pelbagai daya yang telah dimilikinya. Ketiga, pengetahuan dalam pengertian luas adalah kriteria untuk mengukur tingkat evolusi dan kesempurnaan manusia. Keempat, setidaknya ada enam kategori pengetahuan manusia:

a. Pengetahuan hudhuri/badihi (fitrah);
b.Pengetahuan rasional (akal);
c. Pengetahuan indrawi (panca indra);
d. Pengetahuan mistis/emosional (hati);
e. Pengetahuan imajiner (imajinasi);
f. Pengetahuan keagamaan (wahyu/teks suci).

Kelima, pengetahuan hudhuri merupakan pijakan dasar bagi seluruh tindak pengetahuan manusia. Untuk jenis pengetahuan ini, manusia hanya perlu untuk menyadarinya secara langsung dan introspektif. Dalam pengetahuan ini tidak ada jarak antara subjek dan objek, ranah ontologis dan epistemologis melebur jadi satu.

Keenam, pengetahuan rasional berpusat pada akal, dengan sifat yang universal dan abstrak. Ketujuh, pengetahuan indrawi diperoleh lewat panca indra. Pengetahuan ini bersifat spasio-temporer, partikular dan berubah-ubah, sesuai dengan hukum-hukum yang mengatur alam fisik.

Kedelapan, pengetahuan mistis/hati (marifah qalbiyah) adalah pengetahuan yang bersumber dari lintasan-lintasan hati. Pengetahuan ini memiliki sejumlah kendala yang berasal dari watak-watak yang merusak (al-malakat al-fasidah). Sifat pengetahuan ini adalah partikular abstrak.

Kesembilan, pengetahuan imajiner bersumber pada daya imajinasi dan angan-angan manusia. Imajinasi berperan menghidupkan dan mengembangkan kognisi manusia tentang objek-objek partikular. Kesepuluh, pengetahuan keagamaan bersumber pada teks-teks suci. Al-Quran dan hadis adalah dua sumber utama pengetahuan keagamaan dalam konteks Islam. Pemahaman atas al-Quran mestilah berangkat dari al-Quran itu sendiri atau dari hadis-hadis yang mendampinginya.
Filsafat Hikmah

Bertolak dari sepuluh pendahuluan di atas, kita bisa memahami proyek filsafat hikmah secara utuh dan ringkas. Untuk menjelaskan proyek filsafat hikmah, makalah ini akan berpijak pada rumusan-rumusan Mulla Shadra dan Allamah Thabathabai. Ada beberapa langkah menarik yang diambil oleh Mulla Shadra, untuk merumuskan kompleksitas proyek filsafat hikmah dengan segenap implikasinya.

Pertama, meletakkan sistem filsafat hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri/badihi, sambil menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self-evident). Dasar-dasar swabukti tidak memerlukan pembuktian (burhanah) atau pengukuhan (itsbat), melainkan hanya memerlukan pemaparan atau penjelasan.

Kedua, menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.

Ketiga, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber pada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Kategori pengetahuan ini juga sering disebut dengan ilmu gaib atau ilmu laduni.

Keempat, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan memperluas bangunan filsafat hikmah.

Kelima, mengajukan metodologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara teoritis dan praktis.

Dalam karya utamanya yang berjudul Hikmah Mutaaliyah fi al-Asfar al-Arbaah (Hikmah yang Mengemuncak dalam Empat Perjalanan Manusia), Mulla Shadra secara panjang-lebar memaparkan lima langkah yang telah diambilnya untuk menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran utuh, yang tidak sekedar bersifat rasional-filosofis, mistis-emosional, tekstual-keagamaan, tetapi juga kebenaran dalam pengertian realisasi langsung (tahaqquq).

Dalam pengantar al-Asfar, Mulla Shadra menyatakan:

Teori-teori diskursif hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan. Kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga. Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya). (QS. al-Araf [7]: 38)[1]

Persis dalam pengantar ini, dia mulai melancarkan pukulan bertubi-tubi pada kalangan Paripatetik yang bersikukuh memegang akal dan prinsip-prinsip rasional sebagai satu-satunya alat penyingkap kebenaran. Menurut Mulla Shadra, akal punya keterbatasan, sebagaimana alat-alat pengetahuan manusia lainnya. Karena itu, diperlukan suatu metodologi yang mensinergikan semua potensi yang ada, sehingga masing-masing potensi itu dapat mengambil perannya dalam mengantarkan manusia kepada kebenaran seutuhnya dan puncak kesempurnaannya.
Selanjutnya, dalam Mafatih al-Ghayb, Mulla Shadra menuturkan:

Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) yang dicapai oleh para ahli suluk dan ahli makrifat (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua kategori ilmu lain) dengan mengatakan. Apakah ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir dan bernalar?[2]

Kemudian dia memaparkan bukti-bukti filosofis untuk menepis keragu-raguan semacam itu. Seperti biasa, dia membingkai bukti-bukti filosofisnya dengan dalil-dalil tekstual yang melimpah ruah.

Dalam sistem filsafat hikmah, metode rasional-filosofis tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan akan terjadi.

Mulla Shadra menyatakan,Kaum sufi biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan pada bukti-bukti demonstratif (burhan).[3]

Kemudian Mulla Shadra meneruskan, Janganlah engkau peduli pada pelbagai kepura-puraan puak sufi, dan jangan pula engkau gandrung pada pelbagai celoteh para filosof gadungan. Hati-hatilah wahai sahabatku, atas kejahatan kedua puak ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita dan mereka walau hanya sekejap mata.[4]

Di tempat lain, dia menyimpulkan, Oleh sebab itu, yang paling tepat adalah kembali kepada metode kami dalam memperoleh makrifat dan pengetahuan dengan memadu-padankan metode para filosof yang bertuhan (mutaallih) dan para mistikus yang beragama Islam.[5]

Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode rasional-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam sesungguhnya berangkat dari keyakinannya pada keunggulan Islam. Baginya, keunggulan Islam yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya bisa dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang.

Dalam al-Mabda wa al-Maad, Mulla Shadra secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, al-Asfar, secara ekstensif ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan ajaran-ajaran Islam. Ia menandaskan, Adalah mustahil hukum-hukum syariat yang hak, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-Quran dan sunah.[6]
Dasar-dasar

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, prinsip-prinsip utama filsafat hikmah semuanya bersifat hudhuri (swabukti atau self-evident), sehingga pengukuhan filsafat ini dapat dilakukan secara introspektif. Berikut adalah sebagian dari prinsip-prinsip utama filsafat hikmah:

Pertama, para pendukung filsafat ini menyatakan bahwa wujud atau ada merupakan konsep sederhana yang secara langsung bisa dimengerti tanpa perantara konsep lain (badihah mafhum al-wujud).[7]

Kedua, wujud merupakan konsep yang berlaku secara umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal (mafhum al-wujud musytarakun manawi).[8]

Ketiga, prinsip yang disebut dengan ashalah al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya.[9] Di luar itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah rekaan manusia (itibariyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan konseptual atau ilustrasi dari wujud.[10]

Keempat, untuk menjelaskan keberagaman wujud yang kita saksikan secara langsung di alam raya ini, filsafat hikmah mengajukan prinsip yang disebut dengan tasykik al-wujud. Intinya, wujud yang mutlak itu merupakan kenyataan atau realitas yang bertingkat-tingkat.[11] Contoh yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebertingkatan itu adalah cahaya sebagai realitas yang bergradasi.

Kelima, setiap titik dalam wujud yang bertingkat-tingkat itu mengalami proses evolusi yang terus-menerus dalam suatu gerakan substansial. Perlu dicatat bahwa dalam wacana filsafat, gerak (harakah) diartikan sebagai proses aktualisasi potensi (khuruj al-quwwah ila al-fili). Inilah prinsip yang disebut dengan al-harakah al-jauhariyyah.

Keenam, gerakan substansial dalam konteks manusia terjadi melalui hubungan subjek dengan objek. Subjek di sini adalah ruh, jiwa atau akal, sementara objek adalah pengetahuan yang dicerapnya (ilm). Jadi, pertumbuhan ruh manusia ditentukan oleh objek-objek pengetahuan yang dicerapnya, persis sebagaimana pertumbuhan tubuh ditentukan oleh gizi yang dimakannya. Makin tinggi nilai objek-objek pengetahuannya, makin subur dan sehat ruh itu. Sebaliknya, makin rendah nilai objek-objek pengetahuannya, makin lemah, sakit, dan surut ruh itu. Inilah prinsip yang dalam filsafat hikmah disebut dengan ittihad al-aqil bi al-maqul.

Beberapa Implikasi

Filsafat hikmah merupakan pengembangan atas pesan-pesan al-Quran dan sunah. Dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sang jurubicara ulung sangat berbangga karena dapat merumuskan sistem filosofis yang sepenuhnya berpijak di atas dasar teks-teks al-Quran dan sunah. Seperti telah kita kutip di atas, Mulla Shadra mengecam spekulasi filosofis liar yang tidak berpijak pada wahyu Ilahi. Baginya, semua spekulasi filosofis yang tidak bermuara pada teks-teks suci hanya akan berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang membingungkan dan menyesatkan. Penegasan tersebut merupakan langkah besar dalam sejarah panjang filsafat Islam, mengingat hal itu berarti berita tentang lahirnya filsafat Islam yang sebenarnya.

Atas dasar itu, Mulla Shadra menyebut filsafatnya dengan al-hikmah atau al-hikmah al-Ilahiyyah. Hikmah merupakan istilah yang secara khas dipakai oleh al-Quran dan sunah dalam bermacam makna. Al-Quran menyebutkan tugas kenabian sebagai pengajaran al-Quran dan hikmah (QS. 2: 129, 3; 48, 3: 164, dan sebagainya). Lantas, Allah meminta Nabi Muhammad saw untuk menyeru ke jalan-Nya dengan al-hikmah (QS 16: 125). Dalam surah al-Baqarah ayat 269, al-Quran menyebut al-hikmah sebagai anugerah kebaikan yang besar.

Filsafat hikmah tidak mengajak orang untuk sekadar berwacana, tetapi bergerak secara konstan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang bercirikan hikmah (kebijaksanaan, ketegasan, kepastian). Dalam wujud yang luas ini, filsafat hikmah menempatkan manusia sebagai entitas unik yang dapat berkembang sedemikian sehingga substansinya terus meninggi (atau menurun). Filsafat hikmah mengapresiasi proses evolusi manusia ini dengan mendayagunakan semua potensi yang telah dimilikinya.

Dalam pelbagai karya mereka, para pendukung filsafat hikmah selalu menggambarkan bahwa manusia adalah suatu kemenjadian yang secara konstan mengalir tanpa henti. Manusia bukan merupakan entitas yang mandeg, melainkan terus bergerak menaiki atau menuruni deretan tak-terbatas dari tingkatan-tingkatan wujud. Pernyataan seperti ini sebenarnya menjelaskan ajaran pokok semua agama mengenai manusia sebagai makhluk unik yang bergerak dalam suatu gerakan yang tak-terelakkan melewati kematian menuju surga ataupun neraka.

Berdasarkan prinsip-prinsip filsafat hikmah, kita dapat menghayati teks-teks suci, khususnya yang berbicara tentang hal-hal gaib, dalam bentuk yang lebih filosofis. Umpamanya, dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sering mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw atau pun para imam Syiah mengenai hubungan satu amalan kecil dengan pahala besar yang dihasilkannya. Hubungan-hubungan antara alam gaib dan alam fisik ini dijelaskan sebagai hubungan antara satu tingkat dengan tingkat lain dalam piramida wujud yang tunggal.

Filsafat hikmah menyadarkan kita bahwa semua kerja manusia punya nilainya yang tersendiri, betapa pun tidak berartinya nilai itu dalam perskeptif suatu tingkatan wujud tertentu. Di dalam wujud yang bergerak secara konstan ini, hal-hal kecil akan berpengaruh terhadap proses evolusi manusia selanjutnya. Manusia yang berpikir tentang batu pasti akan dipengerahui oleh citranya tentang batu, sampai akhirnya ia akan menyerap sifat-sifat batu itu secara total.

Oleh sebab itu, para pendukung filsafat hikmah sangat menekankan pentingnya kita untuk mengkaji teks-teks suci sebagai satu-satunya rujukan pasti mengenai hubungan-hubungan alam fisik dan alam gaib. Setiap tindakan fisik kita akan mempunyai dampak terhadap dimensi ruhani-gaib kita yang pada gilirannya akan kembali menghantui kita sehingga kita melakukan hal-hal lain yang akan berpengaruh terhadap dimensi ruhani-gaib kita dan begitulah seterusnya. Hubungan-hubungan yang saling berjalin-berkelindan ini dijelaskan dalam filsafat hikmah berdasarkan bukti-bukti filosofis yang diperkuat oleh teks-teks suci dan penyingkapan mistis.

Catatan Akhir

Kebangkitan atau renaisans Islam tidak boleh diukur dari kemajuan dalam bidang-bidang teknis-perindustrian, lantaran manusia menuju puncak kesempurnaannya justru melalui pembebasan dirinya dari kondisi-kondisi alam yang melingkupinya. Makin sempurna manusia, makin bebas ia dari hal-hal material dan makin bertumpu ia pada kekuatan kemanusiaannya.

Dengan kata lain, kesempurnaan manusia ditentukan oleh ciri khasnya sebagai manusia, yaitu kesempurnaan daya-daya intelektual dan spiritualnya. Oleh karena itu, langkah manusia menuju kesempurnaan berbanding lurus dengan langkah pembebasannya dari materi dan pendekatannya ke arah pengetahuan, keruhaniaan dan keimanan.

Maksud ungkapan bebas dari materi bukanlah hidup dalam kevakuman yang jauh dari alam materi, melainkan penguasaan dan pengendalian manusia atas kondisi-kondisi material dan bukan sebaliknya. Kalau di masa-masa lampau manusia sedemikian bergantung pada kondisi-kondisi material yang mengurungnya, maka di masa-masa mendatang ia pasti akan makin mandiri dari lingkungan materialnya. Manusia masa depan akan makin sanggup mengendalikan dan memanfaatkan semua potensi dan kapasitas material untuk pergerakan substansialnya mendaki puncak-puncak kesempurnaan manusiawinya yang hakiki.

Oleh sebab itu, agama masa depan mestilah merupakan pandangan dunia yang memiliki sendi logis-rasional yang utuh, sendi emosional-spiritual yang kaya, mengandung gagasan-gagasan yang mendalam dan menghunjam, tidak saling beradu dan berbenturan, serta mengandung cita-cita besar yang luhur dan suci.

Agama masa depan mesti mampu menjelaskan semua ajarannya dalam bentuk penuturan logis-filosofis yang lancar dan memuaskan, tidak dalam bentuk yang dipaksakan dan dibuat-buat. Agama yang demikian ini juga harus bisa menghadirkan harapan dan kegairahan spiritual bagi manusia, sedemikian sehingga manusia dapat merasakan adanya makna di balik perjalanan hidupnya yang serba-singkat dan sarat-penderitaan ini.

Salah satu implikasi terbesar dari kehadiran filsafat hikmah di tengah-tengah umat adalah munculnya kesadaran bahwa Islam memiliki semua syarat dan kelayakan untuk menjadi agama masa depan. Tidak berlebihan bila saya katakan bahwa filsafat hikmah yang sepenuhnya bersumber pada al-Quran dan sunah ini menggugah kita untuk kembali menghayati ajaran-ajaran Islam. Bagaimana tidak! Filsafat hikmah telah berhasil menampilkan Islam sebagai puncak dari ribuan tahun tradisi agama semitik, rasionalisme Yunani, dan mistisisme Timur yang telah banyak menyumbang perkembangan peradaban manusia di muka bumi.

Catatan Kaki:

[1]. Mulla Shadra, al-Asfar, Maktabah al-Mushthafawi, 1378 H, Qum, Bagian Pengantar.
[2]. Mulla Shadra, Mafatihul Ghayb, Muassasah Muthalaat va Tahqiqat Farhanggi, Tehran, tanpa tahun, hal.48.
[3]. Ibid, hal.55.
[4]. Ibid, hal.56.
[5]. Ibid, hal.56.
[6]. Op.Cit, hal.23.
[7]. Thabathabai, Bidayatul Hikmah, Muassasah an-Nasyr al-Islami, 1422 H., Qum, hal.11.
[8]. Ibid, hal.12.
[9]. Ibid, hal.14.
[10]. Ibid, hal.20.
[11]. Ibid, hal.24.


Pasted From :








SI CEBOL





SI CEBOL
Sebuah Nasihat




Juzaimah raja perkasa di negeri Hirah, 200 tahun SM, bersaiang memperebutkan wilayah kekuasaan dengan Raja Ameer, penguasa negeri Syam di Kawasan Irak-Syiria sekarang ini. Dalam peprangan Amer dapat dikalahkan dan tewas karena luka-luka yang mencederainya dirinya.

Jauh sebelum ia meninggal ia telah meninggalkan kepada calon penggantinya, putrinya sendiri yang cantik dan menawan, cerdas yang saat wasiat itu diberikan dirinya masih belasan tahun namanya zaba. Pesan wasiatnya adalah harapan agar kelak Zaiba mampu membalas dendam ayahnya kepada Juzaimah.

Ketika suasana kian reda pemerintah telah normal kembali dan rasa dendam itu telah  tiada, Zaiba mulai merencanakannya. Zaba mulai melakukan perkenalan dengan Juzaimah dengan menulis sepucuk surat.

Paduka yang mulia ...
Kini permusuhan sudah tidak ada gunanya lagi
Permusuhan hanya akan menyengsarakan rakyat kita
Alangkah indahnya bila kita menjalin cinta
Baginda sebagai raja, dan aku sebagai permaisurinya
Negeri disatukan, dan kita bangun bersama
Untuk itu, bila berkenan
Kami mengundang Baginda Raja untuk menerimanya

Surat itu benar-benar mengena. Bagi Juzaimah ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Dan sudah beberapa lama membayangkan wilayah yang semakin luas, bersanding dengan wanita cantik jelita. Apalagi hampir semua Penasehat dan Wazir mendukungnya. Hanya si cebol (Qushair) yang memberi pertimbangan, agar sebaiknya Zaiba yang datang menghadap Juzaimah, bukan dirinya yang menghadap zaba. Ingatlah, darah ayahnya tertumpah karena paduka.

Tapi nasehat ini tidak dihiraukan. Apa lagi Amer bin Adiy, masih anak saudara perempuan Juzaimah, orang dekat yang sangat dipercaya, sependapat dengan Raja.

Keberangkatan pengantin yang penuh kebesaran pun di atur. Selama melawat, ditunjuk Raja Ad Interim, Amer bin Adiy. Si Cebol sendiri ikut dalam iring-iringan Juzaimah.

Saat rombongan mendekati kerajaan Syam, penjemputannya pun sudah disiagakan sebagai penyambutan yang luar biasa, dengan mengerahkan pasukan pengawal yang gagah perkasa. Raja menoleh kepada si Cebol. Bagaimana pendapatmu ?

Kata Qushair, saya tidak ragu, tentara Zaiba segera datang. Bila mereka menyanbut, lalu berada di depan untuk menunjukkan jalan, kita aman. Tetapi kalau mereka di belakang, lebih-lebih kalau mereka mengambil posisi di samping, Baginda harus cepat melompat ke kuda, dan lari menyelamatkan diri.

Tetapi pada saat pembicaraan masih belum selesai, tentara Zaiba sudah mengepung. Qushair sempat melompat dan lari menuju Hira, lapor kepada Adiy. Juzaimah pun dieksekusi secara khusus, dan seluruh pengawalnya habis dibantai.

Kini posisi Hira dan Syam kosong-kosong, tetapi Ratu zaiba tidak kehilangan kewaspadaan. Dibangunnya pertahanan dan keamanan dengan sangat kuat. Dibangun juga tempat-tempat rahasia, lobang-lobang rahasia, tempat persembunyian khusus yang dapat menyelamatkan diri untuk lari dan meloloskan diri jika situasi dalam keadaan genting dan tidak menguntungkan.

Setelah situasi terasa aman, damai dan mengendap, di Hira, si Cebol sedang mencari akal. Ia pun menghadap Raja Adiy dan berkata:

-Tolonglah, potong hidung dan telinga saya.
-Saya tidak mungkin berbuat itu kepadamu
-Kalau baginda tidak bersedia saya akan lakukan sendiri.

Si Cebol pun lari menghadap saba. Ia bercerita, bahwa dirinya disiksa Juzaimah karena disalhkan menasehati Juzaimah untuk datang kemari dan menemui ajalnya. Ratu Zaba percaya, dan si Cebol diberi suaka politik. Diberi tempat di lingkungan istana dan dapat bertemu ratu kapan saja.

Satu hari ia pamitan akan ke Hira untuk mengambil hartanya yang sangat banyak. Padahal disana ia menemui Adiy mengatur siasat rahasia. Kembali ke Syam, memang membawa  raja-brana yang sangat dikagumi dan disukai Sang Ratu. Ratu pun memberikan izin dan tidak menaruh kecurigaan yang lain, padahal kepergianyya itu hanya semata akan berunding dengan Raja Hira agar harta itu dikirim dengan ribuan onta. Dipunggungnya digantung karung-karung berisi tentara. Raja Adiy ditugasi menyamar dan menjaga pintu lobang pengungsian rahasia.

Waktu barisan onta dengan muatan sarat tampak tampak di tengah sahara, Ratu zaba kagum melihat harta begitu banyaknya. Tetapi saat kuli membuka glangsing, berhamburanlah tentara dengan sepenuh senjata. Ratu zaba pun lari pontang-panting ke terowongan rahasianya. Di sana Adiy sudah menunggunya. Sebelum pedang menghujam Zaba menelan Racun: “Saya mati dengan tanganku sendiri, bukan dengan raja Hira”.

Beberapa orang ingin berkuasa dan mendapat kedudukan dengan berbagai strategi dan politik. Segala upaya dan kekuatan barangkali harus dipersiapkan untuk dapat meraih kemenangan. Jangan meremehkan peran Si Cebol. Dia lompat kesana dan kemari tanpa diketahui orang. Dia lah yang pasti menjadi pemenangnya

Disalin dari majalah Aula No. 01 Tahun XXVI Januari 2004





Saya makan dari hasil kerja saya sendiri, saya mengenakan pakaian yang saya beli sendiri, saya tidak benci dengan orang lain, saya tidak iri dengan kebahagiaan orang lain, senang pada nasib orang lain dan puas dengan kerugian yang saya alami (Shakespeare)