Prosesi Jamasan Pusaka Peninggalan Amangkurat 1
Langgar Jimat itu hanya dibuka setahun sekali. Isinya berupa ratusan
benda pusaka. Konon, benda pusaka yang dijamas di depan langgar Jimat
Kalisalak, merupakan senjata peninggalan Raja Amangkurat 1. Uniknya, meski
dibuka setahun sekali, jumlah benda pusaka terus berubah tiap tahunnya.
Ribuan orang berjubel di pelataran Langgar Jimat di Kalisalak,
Kecamatan Kebasen, rela berpanasan di terik matahari hanya untuk sekedar
melihat prosesi Jamasan Jimat Kalisalak. Dari puluhan Jimat yang dijamas,
dengan lontar bertuliskan sastera Jawa yang paling ditunggu-tunggu. Sebab
tulisan dan maknanya dalam daun
lontar, bagi sebagian orang dipercaya sebagaian orang sebagai tanda zaman.
“Subosito bujokromo podho baliyo marang piwulang budi pekerti luhur”,
begitulah tulisan sastera Jawa yang ada di lembaran daun lontar saat dibaca
Gusti Kanjeng Ratu Alit dan Kanjeng Pangeran Haryo Aipati Sosronegoro.
Sementara, tulisan di daun lontar yang satunya lagi adalah “pakerti mrih
rahayu”.
Bagi Gusti Kanjeng Ratu Alit dan Kanjeng Pangeran Haryo Adipati
Sosronegoro, dua tulisan sastera itu Ajaib sebab, meski terpisah dan
diambil dari tempat yang berbeda, namun memiliki makna yang sama. Dua
lembar daun lontar ini diambil dari juru kunci langgar Kalisalak, Ki Mad
Daslam. Keduanya lalu menerjemahkan dalam Jawa Modern agar mudah dimengerti
oleh masyarakat.
KPH Adipati Sosronegoro, menafsirkan bahwa “Subosito bujokromo podho
baliyo marang piwulang budi pekerti luhur”, memiliki makna ajakan untuk
kembali kepada ajaran budi pekerti yang luhur. Manusia diajak untuk
berperilaku yang baik, bijaksana, dan manusiawi dalam kehidupan
sehari-hari. Semakna dengan melakukan perbuatan yang membawa ketentraman.
Dengan demikian, jika dua tulisan dalam daun lontar digbungkan,
mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi membawa
ketentraman dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak ingin disakiti,
janganlah menyakiti orang lain. Tindak tanduk yang baik, maka lingkungan
juga akan baik.
Dalam jamasan juga muncul sebuah benda yang sebelumnya tidak
ditemukan di setiap penjamasan yang dilakukan. Benda tersebut adalah Lis
Kuda atau Lis Turangga. Lis adalah benda yang dipasang pada kanan dan kiri
mulut kuda agar bisa dikendalikan saat menarik delman. Namun, Lis yang
semestinya berjumlah dua ini, hanya ditemukan satu buah.
KPH Adipati Sosronegoro menafsirkan munculnya satu buah “Lis Kuda”
sebagai penanda peringatan agar masyarakat waspada terhadap sesuatu yang
kemungkinan tidak bisa dikendalikan. Karena itu, dia mengimbau masyarakat
dan pejabat untuk bisa mengendalikan diri sehingga dapat tercipta
ketentraman.
Lis mengartikan pada kondisi tidak bisa dikendalikan. Umumnya, lis
berjumlah dua. Fungsinya untuk mengatur tengok kanan dan kiri kuda sehingga
jalannya menjadi benar. Tetapi ini hanya satu.
Salah satu kerabat Keraton Solo, Kanjeng Pangeran Haryo Kusumo alias
Yatman menafsirkannya Lis dengan
melihat kondisi negara saat ini. Menurunya jika lis itu dua maka semua
permasalahan dapat dikendalikan.
Juru bicara Langgar Jimat Kalisalak, Ilham Triyono mengakui, fenomena
dalam prosesi jamasan seringkali diyakini masyarakat sebagai suatu pertanda
zaman. Namun demikian, dia mengatakan, enggan menafsirkan secara gamblang
makna dari fenomena-fenomena tersebut. Kata dia biar masyarakat menafsirkan
sesuai keyakinan masing-masing.
Ilham mengatakan, ada salah satu fenomena dalam jamasan kali ini
berupa “jenu”. Semula Jenu tersimpan di wadah dari anyaman bambu berukuran
kecil, dan berisi uang kuno. Tapi kemudian pindah ke piti yang ukurannya
lebih besar yang juga berisi uang.
Kalau dulu saat masih di piti kecil, kenyataannya banyak pejabat yang
terjerat kasus korupsi. Kalau sekarang berada di piti yang besar apakah ini
sebagai pertanda kasus korupsi akan semakin meluas. Selain itu ada hal yang
aneh pula. Mata uang (India Batavia 1818) yang berjumlah 60 keping dengan
keadaan 15 diikat dan 45 lpas, saat jamasan kali ini terlepas semua dari
ikatan.
Jamasan Jimat Kalisalak merupakan tradisi tahunan yang digelar setiap
Bulan Maulud berdasarkan hitungan Aboge (Alif, Rebo Wage). Oleh karena itu
merupakan tahun Jim Akhir, prosesi jamasan digelar pada Jum’at Wage
bertepatan dengan tanggal 25 Januari 2013.
Konon benda-benda yang dijamas adalah peninggalan Amangkurat I yang
ditinggalkan di desa Kalisalak agar tidak membebani perjalanan menuju
Batavia.
Amangkurat I menuju ke Batavia untuk meminta bantuan VOC lantaran
dikejar-kejar pasukan Trunojoyo yang memberontak sekitar tahun 1646-1677.
Amangkurat I adalah Raja Mataram yang bertahta pada 1646-1677. Ia
adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Raden Ayu Wetan ( Kanjeng
Ratu Kulon), putri keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki
Ageng Pemanahan.
Selain itu benda pusaka yang dianggap jimat yang mengalami perubahan
lainnya adalah Apus Buntut ( dari tiga menjadi sembilan), bahan pakaian
(dari 1 buah menjadi banyak dan berwarna warni), bekong (dari basah menjadi
kering), benting (dari 1 menjadi enam), bumbung (dari 9 buah dimana hanya 5
berisi menjadi 11 buah dimana hanya empat yang berisi), gabah hitam (dari
yang tadinya tidak ada menjadi ada empat buah dimana ada satu gabah
cemerlang), huruf Arab (dari tadinya 5 buku dan posisi lepas, sekarang
rusak, kanthong beras (dari 15 dimana 5 isi menjadi dua dimana 1 kecil dan
isi) dan lain-lain.
|