Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering
disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang
pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan
Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad
yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu
cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan
bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan
Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil
Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan
Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil
Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya
Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa
Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku)
adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah
cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa
para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah,
selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di
Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta.
Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh
di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah
Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia
kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh
Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut
penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil
Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan
hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar)
dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina
Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Jafar ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah,
Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan),
Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo
memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga
putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim
Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di
Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah
di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam
Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan
beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para
mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat
tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di
Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum
dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat
riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa
Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum
dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di
Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin.
Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal
Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari
Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut
dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah
Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang,
anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan
halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa
Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga
Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang
selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa,
Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad
memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia
bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena
didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana),
yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan
raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya
Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu
Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif
Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Makam Syekh
Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung
Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh
Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan
adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad
Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah
seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad
Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit
hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus
dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir
yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati
Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan
Pangeran Sabrang Lor
|