Alun-alun Demak menjulang, orang-orang masih
berdesakan. Mereka tak percaya sesuatu yang terlihat oleh mata, Malang
Sumirang raganya tidak tersentuh oleh amukan api. Sang tanur menjadi
mahligai elok berhias permai dikelilingi pertamanan. Bertabur kembang
lengkap dengan hamparan mutiara. Busana dari surga yang teramat wangi harum
semerbak laksana busana Nabi Ibrahim yang diturunkan dari surga.
“Lihat! Sunan tidak terbakar. Bisa mati di dalam
hidup, dan hidup dalam mati.”
“Memancar cahaya kemilau dan bau harum
semerbak.”
Orang-orang berguman dalam hati, Malang Sumirang
diuji dengan dibakar hidup-hidup, tetapi terus hidup. Dalam semarak amukan
api, Malang Sumirang menulis suluk dengan pembuka Dhandhanggula. Malang
Sumirang telah menaiki burung Sadrah kerena begitu mendalamnya rindu dalam
pencarian ilmu kesejatian hidup yang sempurna.
Malang Sumirang nyata lahir batinnya keliputan
sanyata wali, mulia pikirannya tiada batas jadi barang yang diinginkannya
sempurna sampai hakikat rasa puncaknya ilmu. Ilmu sejati rasa yang meliputi
rasa. Rasa yang sejati.
Sejatinya rasa. Bukan rerasan yang diucapkan,
bukan rasa yang ke enam, bukan pula rasa yang tercecap di lidah. Bukan rasa
yang terbersit di hati, bukan rasa yang ciptakan, bukan pula rasa yang
dirasakan tubuh. Bukan rasa yang dirasakan suara dan bukan pula rasa
kenikmatan dan derita sakit. Sejatinya rasa yang meliputi rasa, rasa
pusarnya rasa.
Para wali yang telah menjatuhkan hukuman mati
dengan dibakar hidup-hidup, hanya terbengong. Sunan Kudus, kemenakannya,
menjadi limbung. Bingun melihat kenyataan yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Para wali telanjur menghukum Malang Sumirang, karena dituduh
telah menyebarkan ilmu sesat.
Gemar memelihara anjing dan dilatih untuk menurut
sampai mengerti bahasa manusia. Tidak saja menghindari shalat di masjid,
malah sering mencemari masjid membawa anjing piaraan, binatang yang sangat
jorok, liurnya najis.
Jalan yang ditempuh Malang Sumirang “alan
kegilaan”, Tariq Majnun Rabbani. Gila karena tergila-gila kepada Tuhan.
Linglang-linglung lupa daratan, terbenam senang dalam nikmat dahsyat.
Kegilaannya itu pada mulanya ditujukan oleh ketidaktifannya sendiri, sikap
acuh tak acuh pada hukum. Para wali menunduh Malang Sumirang telah menyingkir
dari ajaran agama, tata syariat dilalaikan.
Para santrinya malah menyebutnya, Sunan
Panggung. Sunan yang hidup di tengah hutan dengan pohon-pohon berbatang
besar, pang-gung atau cabang besar. Sunan, Susuhunan, Susunan, atau
Sinuhun, “Dia yang Dijunjung”. Gelar ini sesungguhnya khusus untuk hierarki
wali Islam yang memiliki wilayah perdikan dan sebutan bagi penguasa
tertinggi Mataram. Para santrinya sangat menghormati, tunduk dengan segala
perintah dan mengikuti semua ajarannya. Para santri diajari mencari
kehidupan yang sempurna, kesempurnaan yang benar-benar sempurna.
“Manusia tidak lain hanyalah jasad-jasad mati
yang dipenuhi oleh nafsu lauwamah, amarah, sufiah dan mutmainah. Kita
lepaskan nafsu-nafsu itu karena di tengah-tengah nafsumu bertakhta sirr atau
rahasia yang tersembunyi, roh dalam jiwa, kesempurnaan yang benar-benar
sempurna.”
“Inggih, Sunan.”
“Wayang dan bayangan harus menyatu dalam satu
jiwa. Roh dalam jiwa memainkan mahkluk-makhluk atas kehendak-Nya.”
“Inggih, Sunan.”
“Sejatinya yang memerintah kita bukanlah tubuh
kita, tetapi roh dalam jiwa.”
“Inggih, Sunan.”
“Seperti Kresna yang memerintah kerajaan,
hakikatnya bukan Kresna. Tetapi Kresna Dwarawati. Kresna yang di dalamnya
bertakhta roh Wisnu. Kresna titisan Wisnu.”
“Inggih, Sunan.”
“Bebaskan roh kalian dari ikatan hukum-hukum
yang menghalangi kebebasan roh yang menuju dan menyatu dengan Tuhan.”
“Inggih, Sunan.”
“Hakikat hidup abadi baru dimulai sesudah mati.”
Mendengar kalimat terakhir, para santri secara
serentak tiba-tiba memukuli dirinya sendiri. Menyiksa dirinya sendiri,
membentur-benturkan kepalanya di sembarang tempat sambil berteriak, “Aku
ingin mati….aku ingin mati!”
“Aku ingin bunuh diri!”
Desa Ngundung, daerah tempat tinggal Malang
Sumirang, menjadi gempar. Para santri Malang Sumirang mencari mati. Mencari
orang yang mau menolong untuk membunuhnya. Semua orang diteror agar
penduduk menjadi marah, ini suatu jalan untuk mencari kematian. Melihat
tingkah santri-santrinya, Malang Sumirang menjadi bingung, dia berlarian mengejar
dan memanggil para santri, sambil berteriak, “Bunuh diri dosa besar!”
Teriakan Malang Sumirang, menghentikan polah dan
perilaku para santri. Secara serentak para santri menghambur mendekati
Malang Sumirang dan berlutut mengelilingi. Para santri merunduk dan
terdiam, suasana menjadi hening. Beberapa saat setelah larut dalam diam,
Malang Sumirang mengajak santri-santri melepaskan roh dari badannya.
Kesengsaraan dunia ini tidak lain suatu
kegilaan, orang-orang mencari kebutuhan badaniah tanpa memperhatikan
kebutuhan rohani. Orang-orang mencari kenikmatan, namun hanya penderitaan
yang dijumpai. Manusia bingung karena tidak mengenal dirinya sendiri,
karena dijadikan buta oleh hawa nafsu.
Mencari ilmu suci tidak mungkin diperoleh dengan
alat panca indra, karena sifatnya yang kotor, najis dan palsu. Kebaruan
adalah kepalsuan, kekotoran dan kenajisan, yang segera hancur bersama-sama
tibanya ajal. Hidup sesudah lahir adalah kebaruan maka itu palsu, najis,
dan kotor. Hidup sesudah kelahiran adalah kematian yang sesungguhnya.
Kedaaan kematian itulah yang membuat manusia
tidak bisa bebas dari nafsu, kebohongan, kebutuhan kekuasaan, makan, minum,
bahkan shalat, puasa, zakat, haji. Kembalinya manusia ke asal dari mana ia
lahir, sesudah ajal tiba nantilah hidup yang sesungguhnya, ketika manusia
tidak lagi membutuhkan apa pun, termasuk keinginan, karena keinginan adalah
awal dari kesengsaraan.
Di mata Malang Sumirang para wali telah keliru
memanjakan pemerintahan yang tidak adil, menindas dan korup. Makna tidak memiliki
kekayaan apa-apa dalam bahasan dan perenungan tanpa adanya pemikiran. Syeh
Siti Jenar, sebuah perlawanan terhadap para wali yang mendukung Demak.
Maka oleh penguasa ajaran Syeh Siti Jenar
dianggap bukan hanya sesat tetapi juga mengganggu ketenteraman masyarakat
dan mengancam stabilitas kerajaan Raden Patah. Karena gagal membujuk, atas
nama Raja Demak, Dewan Agama menetapkan hukuman mati bagi Siti Jenar.
“Berbadan roh”. Malang Sumirang berguman seperti
mendengung. Para santri menirukan apa yang diucapkan Malang Sumirang secara
bersama dan berulang seperti berzikir.
“Berbadan roh”
“Aku bukan Siti Jenar, aku Malang Sumirang,
kesempurnaan yang benar-benar sempurna. Para wali mengajarkan hukum syar’i,
tetapi tidak memahami lambang-lambang.”
Para santri tenggelam dalam ekstase kegilaan,
jagad suwung, angin seperti berhenti berembus lari ke awang-awang dan
uwung-uwung. Jagad menjadi pertapaan sunyata, bumi resah! Malang Sumirang
mencari ilmu kesejatian. Berguru pada Sunan Giri Prampen, tatkala diajari ilmu
sejati, usianya baru tujuh belas tahun. Sejak saat itu sering menyiksa
raga, bertapa. Malang Sumirang mengaku berbadan rohani. Para wali menyebut
Malang Sumirang sebagai orang yang tidak senonoh, tak pantas, dan anarkis,
bahkan teroris, menjadi simbol antitatanan.
Pengakuan Malang Sumirang dan perilaku
santri-santrinya membuat para wali geram. Para wali menuduh Malang Sumirang
mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan atas nama anarki jalan
kegilaan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang tersembunyi.
Setelah mempertimbangkan pendapat para wali
Sultan Demak, memutuskan Malang Sumirang dihukum dengan dibakar, pati
obong, di Alun-alun Demak. Mendengar keputusan majelis para wali Malang
Sumirang tidak menampakan ketakutan, bahkan menantang keponanakannya, Sunan
Kudus, untuk segera menyalakan unggun.
Sebelum berjalan menuju api pembakaran, Malang
Sumirang minta disediakan tinta dan kertas dua bendel. Sultan Demak dan
para wali semakin bingung, permintaan Malang Sumirang sangat aneh.
Malang Sumirang berjalan menuju api pembakaran,
tidak ada kata lain yang terucap dari mulutnya selain kata, kebenaran. Api
membubung ke angkasa, Malang Sumirang bergegas naik ke atas unggun dan dua
anjingnya yang setia mengikuti, terjun ke dalam api.
Matahari semakin mengecil, Gunung Muria kembali
menyembul, angin bergegas dari awang-awung dan uwung-uwung melintasi
Alun-alun Demak. Kobaran api semakin menggila, Malang Sumirang tidak
tersentuh amukan api.
“Lihat! Di dalam api dengan enaknya Sunan
menulis. Api terus menjilat, menyala lama namun Sunan tetap tenteram seakan
bernaung di kolam bening. Raganya tak mempan amukan api.”
” Ya, seperti Sinta…’
“Seperti Nabi Ibrahim…”
Orang-orang terperanjat dan mundur beberapa
langkah melihat dua sosok keluar dari amukan api. Dua anjing Malang
Sumirang keluar dari unggun membawa lembaran kertas yang telah tertulis
suluk Seh Malang Sumirang. Lembaran kertas itu dibagikan pada semua yang
ada di Alun-alun Demak, termasuk para wali, Sultan Demak dan para petinggi
kerajaan lain.
Beberapa saat ketika orang-orang belum selesai
membenahi keterperanjatannya, Malang Sumirang keluar dari api unggun.
Seluruh tubuh dan baju yang dikenakan tidak ada tanda-tanda tersentuh oleh
jilatan api. Orang-orang semakin takjub, berusaha menahan kedipan mata.
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan
jalannya, sesungguhnya dia tidak memahami karena hanya sibuk menghitung
dosa-dosa kecil yang diketahui. Tentang hal kufur-kafir yang ditolaknya
itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya.
Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya
dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah
ditentukan Tuhan. Sembah puji puasa yang ditekuni, membuat orang justru
lupa akan sangkan paran. Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa-dosa
besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur-kafir yang dijauhi justru
membuatnya bingung.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak
menyentuh. Tidak saling mendekati sehingga buta orang itu. Takdir dianggap
tidak terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Mencipta dan
Maha Memelihara “.
Suluk Seh Malang Sumirang tercipta dari amukan
api yang tiada mampu menyentuh jasad Malang Sumirang. Suluk sang sufi gila,
sosok antitatanan yang tidak terjangkau poros kekuasaan. Malang Sumirang
mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan. Menyingkap tabir rahasia,
menyurat yang tersembunyi. Suluknya lebih tajam dari pedang Sultan Demak…
“…Manusia, sebelum tahu maknanya Alif, akan
menjadi berantakan…Alif menjadi panutan sebab huruf, Alif adalah yang
pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah.
Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif lapat.
Sebelum itu jagad ciptaan-Nya sudah ada. Lalu Alif menjadi gantinya, yang
memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini
harus dijaga betul sebab tidak ada yg mengaku tingkahnya. Alif wujud adalah
Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yg merupakan kesejatian rasa. Jenis ada
lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syariat.
Allah itu penjabarannya adalah Zat yang Maha
Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu
Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan
merupakan ganti Alif. Allah itulah adanya.
Alif penjabarannya adalah permukaan pada
penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Zat itu,
merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu.
Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita
di dunia ini merupakan cahaya yang terang-benderang, itu memiliki seratus
dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang
tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan zat yang
mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut zikir sejati, laa ilaaha
illallah.”
Sultan Demak dan para wali tercengang, membaca
keelokan suluk Malang Sumirang, elok susah untuk kisahkan. Sultan Demak
membisik pada Sunan Kudus menyarankan Malang Sumirang, untuk menyingkir dan
menjauh dari Negeri Demak.
Dengan langkah ragu, Sunan Kudus mendekat Malang
Sumirang. Berusaha menyembunyikan Wajahnya yang nampak pucat, Sunan Kudus
berkata sambil menunduk, “Paman telah terbukti benar sungguh benar tanpa
batas di dunia tiada tara di seluruh ciptaan. Paman tercipta sempurna,
jiwa-raga titis terus tertembus sempurna nyata sunyata. Namun Paman,
jagalah derajat agama, hormatilah batasnya, singkirkan kesalahan, patuhlah
pada syariat untuk menjaga makna.
”Dalam tatanan yang menata negeri aturan agama
bertakhta dengan syariat. Lebih baik Paman jauh dari negeri. Jangan sampai
membawa kekacauan dengan pembangkangan. Menguraikan ikatan menjarangkan
pagar, memecahkan baris, merobohkan bendera. Kemanapun Paman pergi,
padepokan mana yang pantas ditempati, tempat keramat mana yang menjadi
pilihan, adalah kewajiban negeri melengkapi apa yang harus dilengkapi.”
Malang Sumirang tak gimir dengan tawaran pertapa
yang mewah. Malang Sumirang memilih pergi ke hutan angker, Kalampisan,
tempat wingit, sunyi, jauh dari manusia. Para wali hanya bisa menggelengkan
kepala tanpa suara.
Matahari telah surup orang-orang hanya
terbengong melihat Malang Sumirang meninggalkan Alun-alun Demak. Malang
Sumirang pergi meninggalkan teka-teki, sufi gila antitatanan memiliki
keberanian yang tak tertundukan oleh kekuasaan. Mengungkap rahasia
kesempurnaan yang benar-benar sempurna. Tetapi sejarah selalu berpihak pada
penguasa.
|