ALI BIN ABI THALIB, RA


ALI BIN ABI THALIB RA
Berbicara Pada Penghuni Kubur





                              
Sid bin Musayyab menceritakan bahwa ia dan para sahabat menziarahi makam-makam di Madinah bersama `Ali bin Abi Thalib k.w. Ali lalu berseru, “Wahai para penghuni kubur, semoga dan rahmat dari Allah senantiasa tercurah kepada kalian, beritahukanlah keadaan kalian kepada kami atau kami akan memberitahukan keadaan kami kepada kalian.”Lalu terdengar jawaban, “Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah senantiasa tercurah untukmu, wahai amirul mukminin. Kabarkan kepada kami tentang hal-hal yang terjadi setelah kami.” Ali berkata, “Istri-istri kalian sudah menikah lagi, kekayaan kalian sudah dibagi, anak-anak kalian berkumpul dalam kelompok anak-anak yatim, bangunan-bangunan yang kalian dirikan sudah ditempati musuh-musuh kalian. Inilah kabar dari kami, lalu bagaimana kabar kalian?”

Salah satu mayat menjawab, “Kain kafan telah koyak, rambut telah rontok, kulit mengelupas, biji mata terlepas di atas pipi, hidung mengalirkan darah dan nanah. Kami mendapatkan pahala atas kebaikan yang kami lakukan dan mendapatkan kerugian atas kewajiban yang yang kami tinggalkan. Kami bertanggung jawab atas perbuatan kami.” (Riwayat Al-Baihagi)

Karomah Abu Bakar Assidiq Mengetahui Kematiannya
                              
‘Aisyah bercerita, ‘Ayahku ( Abu Bakar Shiddiq) memberiku 20 wasaq kurma (1 wasaq = 60 gantang) dari hasil kebunnya di hutan. Menjelang wafat, beliau berwasiat, `Demi Allah, wahai putriku, tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai ketika aku kaya selain engkau, dan lebih aku muliakan ketika miskin selain engkau. Aku hanya bisa mewariskan 20 wasaq kurma, dan jika lebih, itu menjadi milikmu. Namun, pada hari ini, itu adalah harta warisan untuk dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuanmu, maka bagilah sesuai aturan Al-Qur’an.’ Lalu aku berkata, `Ayah, demi Allah, beberapapun jumlah harta itu, aku akan memberikannya untuk Asma’, dan untuk siapa lagi ya?’ Abu Bakar menjawab, `Untuk anak perempuan yang akan lahir.”‘ (Hadis sahih dari `Urwah bin Zubair)

Menurut Al Taj al-Subki, kisah di atas menjelaskan bahwa Abu Bakar r.a. memiliki dua karamah. Pertama, mengetahui hari kematiannya ketika sakit, seperti diungkapkan dalam perkataannya, “Pada hari ini, itu adalah harta warisan.” Kedua, mengetahui bahwa anaknya yang akan lahir adalah perempuan. Abu Bakar mengungkapkan rahasia tersebut untuk meminta kebaikan hari `Aisyah r.a. agar memberikan apa yang telah diwariskan kepadanya kepada saudara-saudaranya, memberitahukan kepadanya tentang ketentuan-ketentuan ukuran yang tepat, memberitahukan bahwa harta tersebut adalah harta warisan dan bahwa ia memiliki dua saudara perempuan dan dua saudara laki-laki. Indikasi yang menunjukkan bahwa Abu Bakar meminta kebaikan hati ‘Aisyah adalah ucapannya yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang ia cintai ketika ia kaya selain `Aisyah (putrinya). Adapun ucapannya yang menyatakan bahwa warisan itu untuk dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuanmu menunjukkan bahwa mereka bukan orang asing atau kerabat jauh.

Ketika menafsirkan surah Al-Kahfi, Fakhrurrazi sedikit mengungkapkan karamah para sahabat, di antaranya karamah Abu Bakar r.a. Ketika jenazah Abu Abu Bakar dibawa menuju pintu makam Nabi Saw., jenazahnya mengucapkan “Assalamu alaika ya Rasulullah, Ini aku Abu Bakar telah sampai di pintumu.” Mendadak pintu makam Nabi terbuka dan terdengar suara tanpa rupa dari makam, “Masuklah wahai kekasihku ( Abu Bakar )”

Karomah Abu Bakar ra, Makanan Jadi Lebih Banyak
                              
Kisah ini diceritakan oleh ‘Abdurrahman bin Abu Bakar r.a. , bahwa ayahnya datang bersama tiga orang tamu hendak pergi makan malam dengan Nabi Muhammad Saw. Kemudian mereka datang setelah lewat malam. Istri Abu Bakar bertanya, “Apa yang bisa kau suguhkan untuk tamumu?” Abu Bakar balik bertanya, “Apa yang kau miliki untuk menjamu makan malam mereka?”

Sang istri menjawab, ‘Aku telah bersiap-siap menunggu engkau datang.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan bisa menjamu mereka selamanya.” Abu Bakar mempersilakan para tamunya makan. Salah seorang tamunya berujar, “Demi Allah, setiap kami mengambil sesuap makanan, makanan itu menjadi bertambah banyak. Kami merasa kenyang, tetapi makanan itu malah menjadi lebih banyak dari sebelumnya.”

Abu Bakar melihat makanan itu tetap seperti semula, bahkan jadi lebih banyak, lalu dia bertanya kepada istrinya, “Hai ukhti Bani Firas, apa yang terjadi?” Sang istri menjawab, “Mataku tidak salah melihat, makanan ini menjadi tiga kali lebih banyak dari sebelumnya.” Abu Bakar menyantap makanan itu, lalu berkata, “Ini pasti ulah setan.”

Akhirnya Abu Bakar membawa makanan itu kepada Rasulullah Saw dan meletakkannya di hadapan beliau. Pada waktu itu, sedang ada pertemuan antara katun muslimin dan satu kaum. Mereka dibagi menjadi 12 kelompok, hanya Allah Yang Maha Tahu berapa jumlah keseluruhan hadirin. Beliau menyuruh mereka menikmati makanan itu, dan mereka semua menikmati makanan yang dibawa Abu Bakar. (HR Bukhari dan Muslim)

Kisah Karomah Utsman bin ‘Affan r.a.

Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj al-Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. ‘Utsman berkata kepada laki-laki itu, “Aku melihat ada bekas zina di matamu.” Laki-laki itu bertanya, “Apakah wahyu masih diturunkan sctelah Rasulullah Saw wafat?” `Utsman menjawab, “Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin.” `Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.

Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti ‘Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.

Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa Jahjah al- Ghifari mendekati ‘Utsman r.a. yang sedang berada di atas mimbar. Jahjah merebut tongkat ‘Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)

Ali bin Abi Thalib Menyembuhkan Orang Lumpuh

                              
Kisah Ali bin Abi Tholib ini terdapat dalam kitab Al-Tabaqat, Taj al-Subki meriwayatkan bahwa pada suatu malam, `Ali dan kedua anaknya, Hasan dan Husein r.a. mendengar seseorang bersyair :

“Hai Zat yang mengabulkan doa orang yang terhimpit kezaliman, Wahai Zat yang menghilangkan penderitaan, bencana dan sakit,  Utusan-Mu tertidur di rumah Rasulullah sedang orang-orang kafir mengepungnya, Dan Engkau Yang Maha Hidup lagi Maha Tegak tidak pernah tidur Dengan kemurahan-Mu, ampunilah dosa- dosaku. Wahai Zat tempat berharap makhluk di Masjidil Haram, Kalau ampunan-Mu tidak bisa diharapkan oleh orang yang bersalah, Siapa yang akan menganugerahi nikmat kepada orang-orang yang durhaka.”

`Ali lalu menyuruh orang mencari si pelantun syair itu. Pelantun syair itu datang menghadap Ali seraya berkata, “Aku, ya Amirul mukminin!” Laki- laki itu menghadap sambil menyeret sebelah kanan tubuhnya, lalu berhenti di hadapan Ali. Ali bertanya, “Aku telah mendengar syairmu, apa yang menimpamu?” Laki-laki itu menjawab, “Dulu aku sibuk memainkan alat musik dan melakukan kemaksiatan, padahal ayahku sudah menasihatiku bahwa Allah mcmiliki kekuasaan dan siksaan yang pasti akan menimpa orang-orang zalim. Karena ayah terus-menerus menasihati, aku memukulnya. Karenanya, ayahku bersumpah akan mendoakan keburukan untukku, lalu ia pergi ke Mekkah untuk memohon pertolongan Allah. Ia berdoa, belum selesai ia berdoa, tubuh sebelah kananku tiba-tiba lumpuh. Aku menyesal atas semua yang telah aku lakukan, maka aku meminta belas kasihan dan ridha ayahku sampal la berjanji akan mendoakan kebaikan untukku jika Ali mau berdoa untukku. Aku mengendarai untanya, unta betina itu melaju sangat kencang sampai terlempar di antara dua batu besar, lalu mati di sana.”

`Ali lalu berkata, “Allah akan meridhaimu, kalau ayahmu meridhaimu.” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, demikianlah yang terjadi.” Kemudian ‘Ali berdiri, shalat beberapa rakaat, dan berdoa kepada Allah dengan pelan, kemudian berkata, “Hai orang yang diberkahi, bangkitlah!” Laki-laki itu berdiri, berjalan, dan kembali sehat seperti sedia kala.  ”Jika engkau tidak bersumpah bahwa ayahmu akan meridhaimu, maka aku tidak akan mendoakan kebaikan untukmu.” `Kata Ali bin Abi Tholib

Aasma’ Binti Umais

Ibn Katsir menulis di dalam kitabnya Bidayah wan Nahiyah beliau ialah  Asma binti Umais bin Maadd bin Tamin al Khatsamiyyah adalah isteri Khalifah Abu Bakar ra yang sebelumnya diperisterikan oleh Jafar bin Abi Talib.

Dari perkawinan dengan Jafar bin Abi Talib beliau  melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan Aunan.[ kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi ]

Perkahwinan dengan Abu Bakar ra beliau melahirkan Muhammad bin Abu Bakar ra. Apabila Asma berkahwin dengan Ali ra, maka Muhammad bin Abu Bakar menjadi anak tiri atau anak angkat kepada Ali ra.

Setelah Abu Bakar ra meninggal dunia beliau berkahwin pula dengan Ali bin Abi Talib , adek suaminya yang pertama.[Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini] Beliau adalah isteri ke enam bagi Ali ra.

Perkhwinan dengan Ali melahirkan Yahya dan Muhammad al Ashgar.Ibn Katsir mengambil riwayat ini dari Ibnul Kalbi. Bagaimanapun Ibn Katsir mengatakan al Waqidi mengatakan “ Beliau memperoleh dua orang putra darinya, Yahya dan Aun, adapun Muhammad al Ashghar berasal dari ummul walad[Ummul walad adalah hamba wanita]. Dalam hal ini kita dapati ada perselisihan pendapat penulis sejarah.

FITNAH PERIHAL RENGGANGNYA KELUARGA ABU BAKAR RA. DENGAN KELUARGA ALI RA.

Suatu yang istimewa dengan Asma binti Umais, beliau adalah sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Fatimah r.a. dengan setia dan melayaninya dengan penuh kasih-sayang  semasa sakit  hingga detik-detik terakhir hayatnya.[Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini]

Kalau demikian rapat hubungan Asma ra  dengan Fatimah ra bermakna rapat jugalah hubungan dengan Abu Bakar ra , kerana masa itu Asma adalah isteri Khalifah Abu Bakar. Perlu diingat Fatimah ra meninggal dunia enam bulan selepas Rasullah saw meninggal dunia. Jadi bagaimana boleh timbul fitnah kerengangan hubungan Fatimah ra dan Ali ra dengan Abu Bakar ra.? Dikatakan berita kewafatan Fatimah ra. telah dirahsiakan dari pengetahuan Abu Bakar ra.

Rumah Fatimah r.a @ Ali r.a  hanya ditepi masjid Nabawi, dan ABu Bakar adalh Imamnya – mungkinkah kematian Fatimah r.a menjadi rahsia? Asma bt Umais r.a yang menguruskan jenazah Fatimah r.a adalah sahabat baik Fatimah r.a adalah isteri Abu Bakar r.a!

HIJRAH ASMA’ KE MADINAH

PERJALANAN dari Habsyah ke Madinah terasa begitu lama. Rindu pada insan mulia, anak saudara suaminya sendiri, membuak-buak di hatinya. Meskipun hidup di Habsyah aman dan tenang di bawah pemerintahan Najasyi yang adil serta terhindar daripada gangguan kafir Quraisy, hatinya tetap rindu bagi bersama insan mulia dalam menegakkan agama Islam.

"Jauh lagikah? Saya tidak sabar tiba di Madinah. Inilah yang saya harapkan sekian lama;' kata Asma' binti Umais pada suaminya, Jaafar bin Abi Talib yang mengetuai penghijrahan kaum Muslimin ke Habsyah.

"Insya-Allah tidak lama lagi;' jawab J aafar lirih.

Jaafar memandang ketiga-tiga anaknya yang dilahirkan di Habsyah iaitu Muhammad, Abdullah dan Aun. Mereka masih kecil dan belum mengerti apakah yang sedang bergolak di hati ibu dan ayah mereka. Mereka belum tahu erti perjuangan menegakkan agama Islam.

Namun, di bawah didikan Rasulullah nanti, Jaafar mahu melihat mereka membesar menjadi pejuang-pejuang agama yang memiliki iman yang kental.

Jaafar kemudian menoleh pada isterinya. "Tidak sedihkah meninggalkan anak susuanmu Abdullah?" Jaafar cuba menduga hati Asma'.

Asma' termenung mendengar pertanyaan suaminya itu. Tujuh tahun lamanya dia tinggal di Habsyah sesudah berhijrah ke sana bersama segelintir kaum Muslimin yang lain demi menyelamatkan diri daripada gangguan kafir Quraisy.

Selama tujuh tahun, mereka begitu akrab dengan Najasyi yang begitu baik kepada mereka. Selepas Najasyi masuk Islam di tangan Jaafar, Asma' mendapat tempat yang istimewa dalaM keluarga raja itu.

Ini terbukti apabila Najasyi menamakan puteranya nama yang serupa dengan anaknya, Najasyi meminta Asma' menyusukan puteranya bersama-sama anaknya.

"Abdullah anak susuan saya dan bumi Habsyah tetap saya ingati. Namun, rindu saya pada Rasulullah dan negara Islam Madinah, tidak ada tolak bandingnya;' jawab Asma'.

Jaafar terangguk-angguk mendengar kata-kata isterinya. "Saya mendapat khabar Rasulullah sedang menunggu kepulangan kita. Beliau juga begitu merindui kita semua kata Jaafar.

Selepas menempuh perjalanan yang lama, akhimya rombongan mereka tiba di Madinah. Ketika itu, kaum Muslimin sedang meraikan kemenangan mereka mengalahkan kafir Quraisy dalam perang Khaibar.

"Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!" Rasulullah dan kaum Muslimin bertakbir memuji kebesaran Allah atas kemenangan mereka itu.

Muslimah Pilihan

Ketika itulah Jaafar dan rombongannya tiba di hadapan Rasulullah.

Sebaik sahaja beliau melihat Jaafar, beliau begitu gembira. Beliau segera memeluk Jaafar dan mencium dahinya.

"Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakan diriku, kedatangan Jaafar atau kemenangan Khaibar kata Rasulullah kepada seluruh hadirin.

Asma' dan Jaafar tinggal di Madinah dengan penuh bahagia di samping menimba ilmu yang berharga daripada Rasulullah.

"Isteriku, saya telah mendapat perintah daripada Rasulullah supaya berangkat ke Syam memerangi tentera Byzantine;' ujar Jaafar kepada Asma' pada suatu hari.

"Siapakah yang memimpin tentera Muslimin?" soal Asma'.

"Zaid bin Harisah. Akan tetapi, sekiranya dia syahid, sayalah yang menggantikan tempatnya jawab Jaafar, "Pergilah suamiku. Semoga Allah memberi kemenangan ke atas kaum Muslimin” kata Asma' kepada suaminya.

Seluruh umat Islam temanti-nanti kepulangan kaum Muslimin. Belum ada khabar berita sama ada kaum Muslim memperoleh kemenangan atau sebaliknya.

Hati Asma' bergetar apabila Rasulullah datang ke rumahnya. Rasulullah mendekati ketiga-tiga anak Asma', lalu mencium mereka dengan , mata berlinangan.

"Wahai Rasulullah, apakah yang membuatkan anda menangis? Adakah anda telah mendapat khabar tentang Jaafar dan sahabat-sahabatnya?" soal Asma'.

"Benar, dia telah gugur syahid hari ini” jawab Rasulullah ringkas.

Mendengar jawapan Rasulullah itu, Asma' tidak dapat menahan rasa sedihnya. Dia menangis teresak-esak di samping anak-anaknya. Namun, dia tetap sabar demi mengharapkan reda Allah .

ASMA’ MENJADI ISTERI ABU BAKAR AS-SIDDIQ

Tidak lama sesudah itu, Asma' berkahwin dengan Abu Bakar as-Siddiq selepas isteri beliau, Ummu Rumaan meninggaI. Asma' terus setia di samping Abu Bakar, sehingga beliau dilantik menjadi khalifah selepas Rasulullah wafat. Asma' juga bersabar ketika menghadapi saat-saat Abu Bakar sakit kuat.

"Asma', apabila aku meninggal dunia, mandikanlah jasadku. Dan bukalah puasamu agar dirimu lebih kuat:” pesan Abu Bakar apabila dia merasakan maut semakin menghampirinya.

"Baiklah:” jawab Asma' sambil matanya tidak lepas memandang suaminya yang berada di ambang sakaratul maut.

Tidak lama kemudian, lnnalillahi wainna ilaihirojiun.

Asma' berasa sedih dengan kematian Abu Bakar. Namun begitu, dia segera menunaikan wasiat Abu Bakar agar memandikan jenazahnya.

Asma' kembali bersendirian membesarkan anak-anaknya. Dia mendidik mereka dengan memohon kepada Allah agar memperbaiki anak-anaknya sehingga mereka akhirnya menjadi imam bagi orang-orang bertakwa.

ASMA’ MENJADI ISTERI ALI BIN ABI TALIB

Sedih yang dialami oleh Asma' segera diubati oleh Ali bin Abi Talib. Beliau datang meminang Asma' selepas Fatimah az-Zahra meninggal.

Ketika Ali bin Abi Talib dilantik sebagai khalifah yang keempat, Asma' turut memikul tanggungjawab sebagai isteri khalifah bagi kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar.

Demikianlah Asma' binti Umais, wanita yang menjadi pendamping kepada tiga pemimpin besar kaum Muslimin iaitu Jaafar bin Abi Talib, Abu Bakar bin Siddiq dan Ali bin Abi Talib. Semoga Allah merahmatinya.

Asma' amat mencintai ketiga-tiga suaminya. Katanya, "Aku tidak melihat seorang pemuda daripada bangsa Arab yang lebih baik daripada Jaafar, dan aku tidak melihat seorang setengah baya yang lebih baik daripada Abu Bakar, dan Ali tidak kurang kebaikannya dibandingkan kedua-duanya".
                              







0 Comments:

Post a Comment