Garis Keturunannya:
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul
ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn
Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn
Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam
Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn
Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina Fatimah binti
Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanzy karena dinisbahkan kepada nama desa pengarang
yang terletak di Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama
aslinya ‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian
ulama menyatakan bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid
anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi
Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Beliau dilahirkan di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal
bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal Al-Quran 30
Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh
Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan
‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid nabawi Madinah Al Munawwarah dan
tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf,
mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah,
ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu
hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari selama beliau ikut
duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika umurnya
mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang
yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanji” ini telah disyarahkan oleh al-’Allaamah
al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan
panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang memadai,
cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid
al-Barzanji” yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan
pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya
ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili
al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji”. Beliau
ini adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab
Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir
pada tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal
sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya,
yaitu Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad
Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi “Mawlid
al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya “Madaarijush Shu`uud ila
Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid
Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan
suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, telah juga
menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang dinamakannya
“al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”. Sayyid
Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif.
Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau
banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il
Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj
‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis
sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya
Sayyid Ja’far al-Barzanji dalam kitabnya “ar-Raudhul A’thar fi Manaqib
as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai
mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam
masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu,
akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya.
Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada musim-musim
kemarau. Diceritakan bahawa satu ketika di musim kemarau, sedang beliau
sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau
beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa
memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun
dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah berlaku
pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan peristiwa tersebut,
maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait
syair yang berbunyi:
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa`
memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanji wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di
Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak
perempuan Junjungan Nabi s.a.w. Karangannya membawa umat ingatkan Junjungan
Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat
rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali karangannya dibaca, pasti
sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak
lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa menyebarkan keharuman
pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu …
Allah.
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah
nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
Dalam bukunya, Dan
Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi SAW dalam Islam
(1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel, menerangkan
bahwa teks asli karangan Ja’far al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya
berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu
menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika,
tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa
Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca
versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan HAA Dahlan
atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab
kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji
merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya
ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19
subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada
tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW,
mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala
paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16
subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya
keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian
“Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan:
Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut
dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan
lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan
disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar
metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan
sebagai “untaian mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh.
Dalam karya Ja’far al-Barzanji pun, ada bagian-bagian deskriptif yang
mungkin terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana yang
diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita mendapatkan lukisan demikian: Dan
setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan
Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang
lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama
menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadis,
dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian
kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi
puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji
adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya
sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah
ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara
umat Islam di berbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi
Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya
mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang
bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran
dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam
membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid
Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab
Syafiiyah di kota madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan
al-Barzanji adalah MUFTI ASY-SYAFI`IYYAH di Kota Madinah al-Munawwarah.
Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau
meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash”
menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana Imam az-Zubaidi pernah
berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi
yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal
dan paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun
di Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang
menghafalnya dan mereka membacanya dalam waktu-waktu tertentu. Kandungannya
merupakan khulaashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah lahir
baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak, peperangan
sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4
Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama
keluarga Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah
(dijelaskan) oleh ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad
‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari yang mengarang kitab
“al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz,
Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud ila
Iktisaa-il Buruud”. (Mh/MM)
Sejarah Al-Barzanjiy
Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu
do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa
dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan
Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja,
dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa
untuk dijadikan teladan umat manusia.
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya,
seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad
Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan
terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya
berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid
An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di
Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika
Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap
Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini
termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas
tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan
banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya
dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah
(ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau,
pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah
tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas
Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul
Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan
Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’
besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang
termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya
ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan
keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih,
sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan
Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam
membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn
Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul
ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim
ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail
ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad
Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran
dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan
dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara
guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim
Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi.
Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya:
Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh,
Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh,
Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal,
Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi
(hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah
seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul
bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji
(1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah.
Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak,
lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di
sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh
Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi,
Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian
ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad
At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri,
Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang
sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di
dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu,
akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya.
Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim
kemarau.
Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan
dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk
yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada
mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu
itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan
tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The
Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem
dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan
semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat
Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada
satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana,
namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam
literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang
pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun
1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia
setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal
dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir,
dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung
Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan
kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka.
Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi
Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini
harus dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni
Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi
Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi
maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya
sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat
lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid
nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan
meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari
Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada
musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai
penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan
instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman
masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja
berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan
sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan
semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh
para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada.
Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul
Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa
perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama,
bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan
bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh
Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184
(580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta
puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan
sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang
menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang
diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif.
Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin
berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem
direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi
masjid kembali, sampai hari ini.
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk
meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat.
Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam
bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis
besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah
Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul
Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar
bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada
dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia
12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat
menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu
hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya
dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran
kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat
itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi
Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya
menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang
lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang
bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat
belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan,
dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan
Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama
ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap
prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau
mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di
Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya
yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak
mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta
kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di
atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat
sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu
meletakkannya di Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan
adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak
mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang
lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di
tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan
memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat
sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas
tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut
dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw
tersebut.
Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah
bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi
Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb
salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai
Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi
dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan
Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak
hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja.
Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat
Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”
Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie
Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan
terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli
karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa.
Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian
syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw
terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk
pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai
negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh
umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di
India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski
kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya
terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa
karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam
garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar
terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah
bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi
Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga
masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom
terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah
rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik
itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak
Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan
kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di
atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya
ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama,
cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah
sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga
melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi
sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini
sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok
tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang
erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian
mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi,
diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah
yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan
dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini
tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala
potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan
mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai
negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan
oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang
terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu
syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl
Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya
di Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para
ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh
Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari
dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah
seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi
Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun
1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang
terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak
karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi
Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud
ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin
Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang
merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga
telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya
‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid
Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif.
Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau
banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail
Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj
‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis
sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya
Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib
As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab)
dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca
lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang
beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang),
nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan
masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan
perasaan yang dalam.
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji
lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi.
Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta
salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan,
dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair
Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala
menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji
dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk
pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi,
upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan,
syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama
berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai
kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil
berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari
para muballigh atau da’i.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan
kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal
kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari
kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai
hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang
hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa
tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di
rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di
mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara
besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi
ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun
termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam.
Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun
sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan,
tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri
sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.
Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji
dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu
aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab
secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir
Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
|