PENDIRIAN IPNU IPPNU KOMISARIAT

                      

PENDIRIAN IPNU-IPPNU KOMISARIAT






PANDUAN PENDIRIAN KOMISARIAT
IPNU DI SEKOLAH MA’ARIF


Komisariat sebagai Aktualisasi Khittah IPNU

Kebangkitan bangsa Indonesia pada pra kemerdekaan RI, salah satunya adalah karena kebangkitan dan bersatunya pemuda, pelajar, dan  Indonesia. Akan tetapi sejalan dengan era Orde Baru, persatuan pelajar, santri  dan pemuda Indonesia telah disalah artikan sebagian kalangan, yakni menjadi tidak bolehnya keragaman dan perbedaan di antara mereka. Hal ini tampak seperti keharusan siswa masuk dalam satu organisasi (bentukan pemerintah), misalnya: OSIS di SLTP/A, SMPT di Perguruan Tinggi, atau Karang Taruna tingkat kelurahan /desa, dll. Sementara untuk aktif di IPNU, ,   IRM, PII, dst tidak diperbolehkan.

Senafas dengan bergulirnya reformasi tahun 1998, hal di atas sudah tidak lagi relevan, sekalipun aturan hukum “kekuasaan“ tersebut belum dicabut, Sekarang hampir seluruh masyarakat telah menyadari kesalahan tersebut. Berangkat dari gagasan inilah maka pada Kongres ke-13 di Makassar (2000) dan kemudian ditegaskan dalam Kongres ke-14 di Surabaya, IPNU sepakat mengubah  akronim ‘P’ dari ‘Putra’ menjadi ‘Pelajar’. IPNU kembali pada jati dirinya yakni khittah 1954; yang berorientasi gerakan palajar, santri pelajar dan  NU, baik berada di pesantren, sekolah, atupun perguruan tinggi

Kembali pada visi awal pendiriannya itu berarti IPNU telah mengamalkan satu prinsip budaya yang dipegang NU atau kelompok Ahlussunnah wal Jamaah al-muhafadzatu ‘ala al-qadimish al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-aslah (melestarikan tradisi, karya cipta yang baik dan mengambil  tradisi baru, kreasi manusia yang lebih baik lagi ). Ukhuwah jam’iyyah dan jama’ah (persaudaraan  lembaga dan kemasyarakatan adalah salah satu tradisi yang perlu dilestarikan. Adapun tradisi baru yang lebih baik lagi, misalnya IPNU perlu membentuk komisariat-komisariat diberbagai tempat  strategis lembaga pendidikan yang sebelumnya belum ada.

Memasuki wilayah pendidikan tersebut dengan tanpa bermaksud melakukan gerakan tandingan -sekalipun diperbolehkan- seperti OSIS (organisasi intra sekolah) atau organisasi kampus yang sudah eksis selama ini  (baca: PMII, HMI, GMNI dst.), maka IPNU perlu didirikan dalam tempat strategis tersebut. Inilah urgensi pendirian IPNU di komisariat – komisariat, sebagaimana pada masa awal kelahiran IPNU. Utamanya di pesantren, sekolah Ma’arif NU, Perguruan Tinggi NU atau Madrasah Diniyyah , dimana secara cultural bernuansa NU, maka pendirian struktur IPNU secara formal organisatoris perlu dilakukan, jika bukan suatu keharusan  Tak berlebihan bial upaya demikian disebut sebagai renaissance, aufklarung (pencerahan kembali) IPNU, sehingga muncul generasi yang dicerahkan.

Selaras dengan renaissance IPNU, juga karena pertimbangan the lost generation (terputusnya kader ) selama lebih kurang 15 tahun lalu dari lembaga pendidikan tersebut. Termasuk untuk  penataan kader-kader NU di berbagai tempat itu. Hal ini penting, untuk masa depan, demi pengembangan dan pembaharuan warga NU sebagai kader khalifah organisasi NU sendiri.  Khittah NU 1926 bagi IPNU berfungsi dalam konteks ini dan era pasca transisi menuju demokrasi negeri ini.

Arus deras globalisasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan tidak dapat dielakkan. Baik dalam wacana global (baca: konsep, pemikiran) ataupun ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Keberadaan IPNU jika tidak ingin ditinggal dunia global pun demikian. Maka, ini adalah tantangan lain yang mesti dipecahkan bersama dengan warga dunia lainya. Rincianya, antara lain terwujud nilai-nilai universal, seperti kebebasan berpendapat, menghormati kemajemukan, berfikir dan bertindak inklusif (mengakui kelompok lain dan bersedia bekerja sama), demokratisasi dan seterusnya. Semua itu, jika tidak mampu diterima dan dijalankan, dapat pula sebagai tantangan IPNU.

Sebenarnya, untuk menghadapi dunia global tersebut, IPNU sebagai organisasi berhaluan ahlusunnah wal jama’ah (Aswaja), telah mempunyai nilai-nilai dasar untuk hal tersebut. Seperti lima prinsip dasar Aswaja (asal al khomsah); tasamuh (toleransi) tawasuth (tengah-tengah) tawazun (seimbang) dan I’tidal (konsisten). IPNU, sebagaimana NU penting untuk memegang dan mengendalikan prinsip tersebut, khususnya dalam menghadapi globalisasi dalam segala bentuknya.

Dengan demikian, diharapkan pendirian IPNU di berbagai komisariat, baik yang sebelumnya sudah ada lalu mati, atau belum pernah ada, dapat mengembalikan jati diri perjuanganya (khittah) secara pas, sehingga dapat meneruskan garis perjuangan NU, dengan menjadi lokomotif kehidupan demokrasi bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Khususnya, bagi kemunculan kader-kader NU diberbagai tempat yang secara cultural (kebiasaan beribadah) menggunakan tradisi NU. Sekaligus, dapat menjadi kader yang dapat mengantisipasi perkembanganya zamanya.        

Sekilas kelahiran IPNU, 1954

1373 H. atau bertepatan dengan 1954 M. adalah babakan new era bagi perjalanan generasi muda NU yang tergabung dalam IPNU. Sebelum menggunakan nama IPNU, kegiatan mereka di berbagai tempat bermacam-macam. Sebagian melakukan rutinitas keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, diba’/ berjanji, dst. Kelompok pelajar seperti itu lebih banya ditemui di pesantran-pesantren dan di kampong-kampung. Sebagian lagi, kelompok muda NU mengadakan di Sekolah-Pesantren, Sekolah Umum dan Perguruan Tinggi. Sekalipun tergolong masih kecil jumlahnya.

Pendirian IPNU pada tahun tersebut, bukan tanpa proses. Beberapa kegiatan yang telah disebut  di atas. Sisi lainya adalah dengan melalui musyawarah yang intensif, antara para kyai pesantren, pengurus NU dan lembaga pendidikan Ma’arif NU.  Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah kontribusi pemikiran aktivis kaum pelajar NU, lebih khusus di Pesantren atau Sekolah.

Pilihan nama organisasi juga melalui proses. Bukti historis proses tersebut sebagai berikut: beberapa tahun sebelumnya terdapat keragaman nama  bagi perkumpulan pelajar NU, seprti Tsamratul Mustafidin di Surabaya tahun 1936, PERSANO (Persatuan Santri Nahdlotul  Oelama) tahun 1945, Persatuan Murid NU tahun 1945 di Malang, Ijtima-ulth Tholabiyyah tahun 1945 di Madura, ITNO (Ijtimatul Tholabah NO) tahuan 1946 di SUmbawa, PERPENO (Persatuan Pelajar NO) di Kediri 1953, IPINO (IKatan Pelajar NO) dan IPENO  tahun 1954 di Medan, dll.

Mengingat perkumpulan tersebut satu sama lain kurang saling mengenal, karena kelahiran mereka atas inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri. Maka, maka dibutuhkan wadah yang sama dan satu induk. Satu hal yang sewarna dan sejalan adalah pijakan pada dasar keyakinan Islam Ahlusunnah Wal jama’ah. Juga atas dasar kebersamaan dan persatuan (ukhwah) sesama umat Islam pemegang tradisi. Karena itu, IPNU merupakan induk dan satu-satunya organisasi NU yang menangani kaum muda NU tingkat pelajar NU, termasuk di Perguruan Tinggi. Ini juga yang membedakan dengan PMII, yang lahir pada tahun 1960 dari Departemen Perguruan Tinggi PP IPNU.

Tepat tanggal 24 Pebruari 1954 M. bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H. di Semarang, pada konferensi besar Ma’arif NU se-Indonesia menyepakati nama IPNU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama sebagai satu-satunya wadah berhimpun dan berkreasi Pelajar, , Santri dan remaja baik di Pesantren, Madrasah/sekolah maupun Perguruan Tinggi. Mohammad Tolchah Mansur ditetapkan sebagai ketua ummnya.

Menindaklanjuti ketetapan Konbes Ma’arif itu, para pengurus mengadakan konferensi lima daerah; Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Jombang dan Kediri. Di Surakarta tanggal 29 April – 1 Mei  1954. putusan-putusan penting pun dihasilkan; selain merumuskan tujuan, juga menetapkan Tolcha  Mansur sebagai ketua umum Pimpinan Pusat IPNU dan menetapkan kota Yogyakarta sebagai kantor pusat organisasi. Mendapat pengakuan resmi sebagai bagian NU pada Muktamar ke 20 di Surabaya, 9-14 September 1954, setelah ketua umum menyampaikan gagasan IPNU dihadapan peserta MUktamar NU.

Untuk memperkokoh organisasi, IPNU melaksanakan Muktamarnya (baca: Kongres) yang pertama pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa Timur. Ikut hadir dalam perhelatan Nasional itu adalah presiden RI Soekarno. Hal ini juga sekaligus pengukuhan IPNU sebagai bagian organisasi pemuda di Indonesia. IPNU pun mulai populer di tengah masyarakat Indonesia. Lebih-lebih, surat kabar dan radio  memberitakan pidato Bung Karno pada Muktamar IPNU tersebut.

Sebagai organisasi pelajar dan terpelajar, beberapa tokoh pendiri IPNU adalah orang-orang yang masih berpendidikan, seperti Mohammad Tolchah Mansur ( UGM Yogyakarta), dan Ismail ( IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta). Di daerah-daerah juga, para pengurus IPNU saat itu banyak yang dipegang oleh para , seperti Mahbub Djunaedi dan M. Sahal Makmun di Jakarta ( UI). Beberapa kader IPNU lainya di Pesantren adalah Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur (Ketua Tanfidziyah PBNU 1984-1999) dan Ilyas Ru’yat dari Jawa Barat (Rais ‘Am 1994-1999).

IPNU Pasca Kongres Jombang 1988 

Perubahan zaman memang tidak bisa dihindari, tetapi dihadapi dan dilaksanakan , pernyataan itu, berlaku untuk siapa dan apa saja, termasuk juga organisasi IPNU. Tahun 1998, saat kongres ke-10 di jombang, IPNU harus menghadapi perubahan zaman. Hal ini cukup berdampak luas bagi keberadaan (eksistensi) IPNU ke depan. Perubahan ini, setidaknya bersumber awal dari UU nomor 8 tahun 1985 yang ‘membabi buta’  dalam penerapan aturan tentang keormasan di Indonesia. Azas dan Nama perubahan, karena tuntutan UU itu, seperti juga pada NU, tapi, hakekatnya tetap, seperti  tujuan, sasaran kelompok dll.

Kependekan nama IPNU dari IKatan Pelajar Nahdlatul Ulama berubah menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Bahkan ketika itu, tidak saja perubahan kependekan ‘P’ termasuk dua huruf dilakangnya ( NU) juaga harus dihapuskan. Karena, hal itu dianggap sebagi bawahan ( underbouw) partai tertentu ( ingat, tahun 1950-an NU menjadi partai sendiri ). Syukur Alhamduliilah, pada kongres itu akhirnya diputuskan untuk tetap menjadi IPNU, hanya ‘P’-nya saja berubah ; dari Pelajar menjadi Putra. Hal serupa juga, terjadi pada organisasi pelajar manapun, selain PII, Pelajar Islam Indonesia.

Dengan berubahnya kependekan “P”, berubah pula orentasi dan sasaran binaanya IPNU. Dari pelajar dan  sebagai sasaran utama, berubah untuk dapat membina juga remaja yang tidak sekolah. Dapat disebut, setelah kongres Jombang tahun 1988 hingga Kongres Garut tahun 1996 adalah masa Transisi yang bekepanjangan. Satu misal adalah tidak pernah sampainya pemahaman yang sema tentang orentasi bidang garap IPNU, berikut skala prioritasnya. Pada masa itulah terjadi tarik menarik antara kepentingan politik praktis (politisasi IPNU) dengan prioritas program untuk membenahai warga IPNU sector awal berdirinya IPNU; santri dan pelajar. Hal ini, ternyata berdampak pada proses pengkaderan yang pelan-pelan semakin hilang dari pesantren atau sekolah ma’arif NU.

Khittah IPNU: Deklarasi Makasar 2000

Melihat kenyataan IPNU yang masih dalam masa transisi  diatas, maka dalam menyambut millennium ke III, tahun 2000 di Kongres IPNU ke 13 di Makasar, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama (common sense)

secara kolektif. Seakan-akan ada hal yang baris telah kembali lagi, yakni sesuatu yang terasa hilang, yakni pada tahun 1988. sesuai deklarasi Makasar 2000 dan hasil Kongres 13, adalah bahwa IPNU kembali pada visi kepelajaran, lalu menumbuh-kembangkan IPNU pada basis perjuangan; Sekolah dan Pondok Pesantren, dan terakhir mengembalikan CBP (Corp Brigade Pembangunan) yang lahir 1965 sebagai kelompok kedisiplinan, kepanduan dan kepecinta alaman. Semua itu dalam rangka mencapai tujuan IPNU, yaitu terbentuknya Pelajar-Pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak muli dan berwawasan kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syariat  Islam menurut faham Ahlussunnah waljamaah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kongres XIV 2003 (Surabaya): Menegaskan Khittah 1954

Deklarasi Makasar 2000 sebagai tonggak awal mengembalikan IPNU pada orentasi garapan ternyata belum mampu mengakhiri problematika tersebut. Pada Kongres IPNU ke 14 di Surabaya, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama. Kesadaran itu adalah untuk merubah nama dan sekaligus visi kepelajaran dan orientasi pengkaderan IPNU, khususnya di Pesantren dan sekolah-sekolah. Artinya kongres telah mengembalikan IPNU pada garis perjuangan yang semestinya. Secara popular, hal tersebut dikenal dengan nama Khittah 1954. dengan demikian, perlahan tapi pasti, IPNU berkesempatan untuk mengembalikan masa keemasan yang telah hilang, seperti 15 tahun yang lalu. Akan tetapi, kesadaran itu pun sebenarnya rentan, bahaya bila momen itu tidak digunakan dengan sebaik-baiknya dan seoptimal mungkin oleh semua jajaran NU, khususnya IPNU, lebih khusus lagi pesantren (baca: RMI) dan Ma’arif.

Karena itu pimpinan Pusat IPNU masa Khidmad 2003-2006, kini tengan memusatkan pikiran, sembari mengajak bergandeng tangan dan merapatkan barisan pada semua eleman NU, khususnya, untuk mengaktualisasikan kongres 2003 (khittah 1954), hingga benar-benar nyata hasilnya bagi keluarga besar NU. Sehingga, bahwa IPNU sebagai kader NU kawah candra dimuka atau garda terdepan dapat benar-benar menjadi kenyataan. Jangan sampai terjadi lagi, IPNU dijadikan sebagai lompatan politik praktis. Sebab IPNU diharapkan hanya dijadikan lompatan untuk menciptakan kader NU yang terbaik dan maslahat bagi bangsa Indonesia, pada umumnya. Hanya melalui pendirian komisariat-komisariat, gagasan IPNU tersebut dapat direalisasikan dengan benar dan tepat.

Eksplorasi Kader IPNU antara Struktur dan Kultur

Akhir-akhir ini, utamanya setelah sekian tahun masa transisi dalam tubuh IPNU, sejak kongres Jombang1988, warga NU yang tergolong dalam kaum mudanya, telah merasa gelisah dengan pengkaderan. Seperti disinggung sebelum pembahasan ini, IPNU telah kehilangan kader ditempat-tempat yang sesungguhnya adalah milik NU atau strategis untuk didirikannya IPNU. Mengingat hal ini, maka penting untuk dipetakan secara sederhana dengan memetakan antara kader structural dan kader cultural IPNU. Pembuatan kedua tipe ini, agar tidak terkesan saling menyalahkan atau merasa benar sendiri (truth claim).

Kader struktutral adalah kader yang telah mengikuti pola pengkaderan IPNU dan atau mereka yang duduk dalam kepengurusan IPNU. Kelompok ini, jumlah kadernya lebih sedikit dibanding dengan kader kultural. Karena, kader cultural ini sejak dini sudah merasa menjadi NU, tapi tidak terlibat di Struktur IPNU atau semacam ini, disebabkan oleh latar belakang keluarganya, pendidikan di pesantren, lingkungan tradisi yang memakai budaya dan kebiasaan dengan mencontoh para ulama NU. Umpamanya, tahlilan, Qunut, Marhabanan, Barzanji, dsi. Mereka ini, jauh lebih banyak dari pada kader structural. Maka, wajar jika IPNU merasa tidak punya kader secara formal organisatoris.

Jika demikian halnya, maka banyak pertanyaan untuk eksistensi IPNU, baik aktivis IPNU maupun system pengkaderanya. Seperti, bagaimana dengan system rekrutmen kadernya, apakah SDM nya kurang berkualitas atau manajemennya lemah, dst, begitu pula dengan system pengkaderan IPNU, tidak relevan lagi, kurang efektif, atau kurang tersosialisasinya system pengkaderan hingga ke akar rumput (grass root) dst. Lepas dari itu semua, jangan-jangan orang-orang khususnya warga NU telah mempunyai image jelek (negative thingking) terhadap IPNU itu sendiri. Mengingat, misalnya karena IPNU tidak pernah melakukan kegiatan yang langsung dapat dirasakan anggota masyarakat. Jadi, terkesan, pengurusnya itu elitis dan ekslusif (tidak mau berbaur dengan mass), yang penting jika ada kegiatan tingkat nasional atau semacamnya IPNU ikut terlibat. Urusan kegiatan dan program, tak perlu dipikirkan IPNU.

Soal-soal diatas, penting untuk dipikirkan dan diperbaharui demi masa depan IPNU, khusunya dan NU pada umumnya. Apalagi untuk membuat dan mendirikan IPNU diberbagai komisariat. Bisa dikatakan, selain untuk introspeksi, juga untuk evaluasi, efektivitas tidaknya pendirian komisariat itu. Apakah hanya akan memperbanyak intitusi organisasi, tapi kosong isinya. Atau sebaliknya, tidak perlu organisasi, tapi yang penting roh dan isinya, yakni tetap menjadi warga NU atau IPNU dengan kreativitas mereka sendiri, yang penting NU dan IPNU cultural.

Tipologi kader cultural dan structural penting di sini. Bagi kader kulturar, kesan-kesan simbolis formalis yang mengharuskan pakai nama IPNU dengan beragam alasannya. Tentu tidak mau. Inilah yang menggejala, sebelum IPNU kembali ke Khittahnya. Seringkali, kegiatan IPNU tidak menyentuh konstituenya (anggota yang sealiran dalam tradisinya), tapi kegiatan IPNU hanya dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu saja, biasanya hanya para pengurus yang duduk di struktur IPNU. Karena itu, kader cultural leboh memilih aktif di tempat-tempat yang seringkali sesuai dengan potensi, kemampuan yang dimilikinya. Umpamanya, aktif diskusi diberbagai kelompok diskusi sekolah, mushola, aktif diperkumpulan remaja masjid, aktif di pramuka, OSIS, KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), PMR, Pencak Silat, PII, dll.

Kegiatan-kegiatan  yang disebut tadi, dalam tubuh IPNU selama ini, seringkali ditinggalkan dan dijauhi, jika tidak dimasukkan dalam program IPNU. Namun demikian, hal itu bukan semata-mata kesalahan IPNU secara organisatoris saja. Tapi juga, karena telah munculnya Undang-Undang pemerintahan yang dianggap telah memasung kreatifitas para siswa, dan remaja pada umumnya, untuk tidak aktif pada organisasi yang tidak bentukan pemerintah seperti, OSIS, Senat , Karang Taruna, Pramuka dll. Maka, kader kutural mengambil posisi untuk tidak aktif dalam organisasi formal terebut, termasuk IPNU di dalamnya.

Zaman telah berubah dengan cepat di Indonesia ini. Pemerintah yang telah memasung kreativitas masyarakat selama 30-an tahun lebih telah berakhir, lalu muncul presiden RI ke 4, KH Abdurrahman Wahid, mantan ketua Umum PBNU, yang memberikan kebebasan masyarakatnya, juga telah dipaksa mundur. Terlepas dari kepentingan politik kelompok, semua itu kerena bangsa ini masih dalam masa transisi atau lebih enak disebut era reformasi.

Menyemangati positive thingking kondisi tersebut, maka pimpinan pusat IPNU periode 2003-2006 atau era khittah IPNU 1954, telah berketetapan hati untuk menjadi IPNU sebagai organisasi kader yang sebenarnya. Maksudnya, coba menggali dan mengembangkan warga NU yang muda-muda untuk berkiprah di IPNU sesuai dengan kemampuanya, dan IPNU telah menyiapkan wadahnya. Misalnya, bagi para siswa yang inggin aktif di kepanduan (baca: pramuka) IPNU, Kepalangmerahan IPNU, KIR IPNU, dapat masuk dalam wadah CBP (Corp Brigade Pembangunan) sebagai lembaga semi otonom IPNU yang mengembangkan potensi warga NU sesuai dengan kualitas dan keinginan untuk ahli dalam bidang-bidang tertentu. Sementara itu IPNU sendiri menjadi wadah berhimpun semua komponen yang ada, tidak membeda-bedakan kemampuanya.

Adapun pengembangan IPNU secara organisasi melalui pembentukan komisariat, dapat juga memberikan kesempatan pada semua lembaga pendidikan dan pesantren milik NU untuk menjadikan IPNU sebagai organissi resmi dalam lembaga itu. Sekalipun, tidak menutup kemungkinan untuk didirikanya IPNU di luar lembaga tersebut, seperti SMU Negeri, MA Negeri.

Dengan program dan orentasi IPNU yang demikian, bukan berarti menafikan adanya kader cultural untuk menghilangkanya. Justru, sebaliknya, yaitu antara kader cultural dan structural tidak adanya saling bersitegang dan saling menyalahkan. Diharapkan, dapat menjadi sinergi antara dua kader tersebut. Ikhtiar IPNU, melalui mengembalikan IPNU sebagai organisasi kader formal NU, kiranya dapat terwujud dengan baik. Sehingga, tidak ada lagi kesan IPNU eksklusif atau pengurus IPNU yang elitis, dan kurang bersentuhan dengan keinginan warganya.

Jika demikan halnya, maka soal apakah system pengkaderan IPNU masih relevan atau tidak, dapat dilihat setelah pelaksanaan khittah IPNU tersebut. Begitu juga dengan para aktivis IPNU, dituntut untuk selalu dekat dengan masyarakatnya. Jadi, mengembalikan IPNU pada khittahnya, sama dengan menjadikan IPNU jauh dari negative thingking yang selama ini ditujukan pada IPNU, termasuk para aktivisnya. Termasuk dengan pembentukan komisariat-komisariat IPNU di lembaga pendidikan pesantren.

Dengan membentuk komisariat IPNU di tempat startegis itu, ditinjau dari pembentukan masyakat warga (civic society) yang demokratis, adil, dan beradab, maka IPNU telah meletakakn sendi-sendi masyarakat yang benar-benar tepat. Seperti, tidak memaksakan kehendak dan bebas menentukan pilihanya. Apalagi, NU adalah entitas (bagian dari lingkungan) civil islam dan civil society yang cukup signifikan (menentukan) di Indonesia, saat ini.

Sekali lagi, IPNU adalah organisasi kader NU. Apakah memilih menjadi kader kultufral atau structural, adalah hak setiap warga NU. Tapi, akan lebih efektif bila dilakukan secara kolektif dan organisasional sebagaimana yang tengah berjalan selama ini. Karena itu, auto kritik dan korelasi kontruksi internal bagi IPNU sangat penting.

Akhirnya, berkhidmat dengan IPNU sama dengan khidmat dengan NU. Mencintai IPNU juga berarti mencintai NU. Saat ini masuk di IPNU, besok masuk di NU. Dulu kader cultural, tiba saatnya menjadi kader structural. Semua itu, tentu demi tegaknya islam (aswaja yang dipegangi NU) dan masa depan pemimpin bangsa in Indonesia yang tercerahkan.

Diharapkan, dengan paparan diatas, IPNU telah menanam banih dan tunas-tunas kader. Karena itu, semoga benar-benar menjadi kader yang handal dan mumpuni.








0 Comments:

Post a Comment