Di antara empat disiplin keilmuan Islam tradisional: fiqh,
kalam, tasawuf dan falsafah, yang disebutkan terakhir ini barangkali adalah
yang paling sedikit dipahami, bisa juga berarti paling banyak disalahpahami,
sekaligus juga yang paling kontroversial. Sejarah pemikiran Islam ditandai
secara tajam antara lain oleh adanya polemik-polemik sekitar isi, subyek
bahasan dan sikap keagamaan falsafah dan para failasuf. Karena itu
pembahasan tentang falsafah dapat diharapkan menjadi pengungkapan secara
padat dan mampat tentang peta dan perjalanan pemikiran Islam di antara
sekalian mereka yang terlibat.
Sebelum yang lain-lain, di sini harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal
tolak falsafah dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat
dalam al-Qur'an dan Sunnah. Para failasuf dalam lingkungan agama-agama yang
lain, sebagaimana ditegaskan oleh R.T. Wallis, adalah orang-orang yang
berjiwa keagamaan (religious), sekalipun berbagai titik pandangan keagamaan
mereka cukup banyak berbeda, jika tidak justru berlawanan, dengan yang
dipunyai oleh kalangan ortodoks._1 Dan tidak mungkin menilai bahwa falsafah
Islam adalah carbon copy pemikiran Yunani atau Hellenisme._2
Meskipun begitu, kenyataannya ialah bahwa kata Arab "falsafah"
sendiri dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal,
"philosophia", yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom).
Dengan sedikit perubahan, kata "falsafah" itu di-Indonesia-kan
menjadi "filsafat" atau, akhir-akhir ini, juga
"filosofi" (karena adanya pengaruh ucapan Inggris,
"philosophy"). Dalam ungkapan Arabnya yang lebih
"asli", cabang ilmu tradisional Islam ini disebut 'ulum al-hikmah
atau secara singkat "alhikmah" (padanan kata Yunani
"sophia"), yang artinya ialah "kebijaksanaan" atau,
lebih tepat lagi, "kawicaksanaan" (Jawa) atau "wisdom"
(Inggris). Maka "failasuf' (ambilan dari kata Yunani
"philosophos", pelaku filsafat), disebut juga
"al-hakim" (ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk
jamak "al-hukama".
Dari sepintas riwayat kata "filsafah" itu kiranya menjadi jelas
bahwa disiplin ilmu keislaman ini, meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam
sumber-sumber ajaran Islam sendiri, banyak mengandung unsur-unsur dari
luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.[3]
Disinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah:
sampai di mana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar, khususnya
jika datang dari kalangan yang tidak saja bukan "ahl al-kitab"
seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan dari orang-orang Yunani kuna
yang "pagan" atau musyrik (penyembah binatang). Sesungguhnya
beberapa ulama ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi
(salah seorang pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang
Yunani itu sebagai salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah.
Tetapi sebelum membahas lebih jauh segi-segi polemis ini, lebih dahulu
dibahas pertumbuhan falsafah dalam sejarah pemikiran Islam.
Pertumbuhan
Falsafah tumbuh sebagai
hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa
sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di
sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia.
Interaksi itu berlangsung setelah adanya pembebasan-pembebasan (al-futuhat)
atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., dibawah para
khalifah. Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu
adalah daerah-daerah yang telah lama mengalami Hellenisasi. Lebih dari itu,
kecuali Persia, daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban
Islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu mengalami
Kristenisasi. Bahkan sebenarnya daerah-daerah Islam sampai sekarang ini,
sejak dari Irak di timur sampai ke Spanyol di barat, adalah praktis bekas
daerah agama Kristen, termasuk heartlandnya, yaitu Palestina. Daerah-daerah
itu, dibawah kekuasaan pemerintahan orang-orang Muslim, selanjutnya memang
mengalami proses Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka waktu
yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai. Bahkan daerah-daerah
Kristen itu tidak hanya mengalami proses Islamisasi, tetapi juga Arabisasi,
disamping adanya daerah-daerah yang memang sejak jauh sebelum Islam secara
asli merupakan daerah suku Arab tertentu seperti Libanon (keturunan suku
Bani Ghassan Yang Kristen, satelit Romawi). Namun berkat politik keagamaan
para penguasa Muslim berdasarkan konsep toleransi Islam, sampai sekarang
masih banyak kantong-kantong minoritas Kristen dan Yahudi yang tetap
bertahan dengan aman. Karena adanya konsep Islam tentang kontinuitas
agama-agama (yaitu, bahwa agama Nabi Muhammad adalah kelanjutan agama para
nabi sebelumnya, khususnya Nabi-nabi Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub atau
Isra'il, Musa dan Isa-Yahudi dan Kristen),[4] orang-orang Muslim menyimpan rasa dekat
atau afinitas tertentu kepada mereka itu. Dan rasa dekat itu ikut
melahirkan adanya sikap-sikap toleran, simpatik dan akomodatif terhadap
mereka dan pikiran-pikiran mereka. (Toleransi dan sikap akomodatif Islam
ini ternyata kelak menimbulkan situasi ironis di zaman moderen, akibat
adanya kolonialisme Barat, seperti adanya hubungan tidak mudah antara kaum
Muslim dengan kaum Yahudi di Palestina, dengan kaum Maronite di Libanon,
dan dengan kaum Koptik di .Mesir).
Toleransi dan keterbukaan orang-orang Islam dalam melihat kaum agama lain,
khususnya Ahli Kitab tersebut mendasari adanya interaksi intelektual yang
positif di kalangan mereka, dengan sedikit sekali kemasukan unsur prasangka
yang berlebihan. Disamping itu, dan sebagaimana telah dikemukakan dalam
pembahasan kita tentang Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan yang lalu,
kelebihan orang-orang Muslim Arab itu ialah kepercayaan kepada diri sendiri
yang sedemikian mantap. Kemantapan itu kemudian memancar pada sikap-sikap
mereka yang positif kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya lain, dengan
kesediaan yang besar untuk menyerap dan mengadopsinya sebagai milik
sendiri. Posisi psikologis yang menguntungkan itu berada tidak hanya dalam
hubungannya dengan kaum Ahli Kitab yang memang dekat dengan orang-orang
Muslim, tetapi juga dengan kelompok-kelompok keagamaan lain seperti kaum
Majusi (orang-orang Persi pengikut ajaran Zoroaster) dan kaum Sabean dari
Harran, di utara Mesopotamia. Sebab sekalipun ilmu pengetahuan Yunani
merupakan bagian paling penting ilmu pengetahuan yang diserap orang-orang
Muslim Arab, namun mereka ini juga dengan penuh kebebasan dan kepercayaan
diri menyerap dari orang-orang Majusi dan Sabean tersebut tadi, bahkan juga
dari orang-orang Hindu dan Cina. Karena futuhat, bangsa-bangsa non-Muslim
itu berada dibawah kekuasaan politik orang-orang Arab Muslim. Tetapi
biarpun orang-orang Arab itu memiliki keunggulan militer dan politik,
mereka tetap menunjukkan sikap-sikap penuh penghargaan dan pengertian
kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk agama-agama) yang mereka
kuasai. Hasilnya ialah, seperti dikatakan Halkin sebagai berikut (kutipan
yang penting untuk memahami pembahasan):
...It is to the credit of the Arabs
that although they were the victors militarily and politically, they did
not regard the civilization of the vanquished lands with contempt. The
riches of Syrian, Persian, and Hindu cultures were no sooner discovered
than they were adapted into Arabic. Caliphs, governors, and others
patronized scholars who did the work of translation, so that a vast body of
non-Islamic learning became accessible in Arabic. During the ninth and
tenth centuries, a steady flow of works on Greek medicine, physics,
astronomy, mathematics, and philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu
mathematics and astronomy poured into Arabic._5
(...Adalah jasa orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu para pemenang
secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri
yang mereka taklukkan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria,
Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab segera setelah diketemukan.
Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana
yang melakukan tugas penterjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan-Islam yang
luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Selama abad-abad kesembilan dan
kesepuluh, karya-karya yang terus mengalir dalam ilmu-ilmu kedokteran,
fisika, astronomi, matematika, dan filsafat dari Yunani, sastra dari
Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa
Arab).
Interaksi intelektual orang-orang Muslim dengan dunia pemikiran Hellenik
terutama terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan
Ephesus (Syria), Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia). Di
tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan
penterjemahan karya-karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan Yunani kuna,
yang kelak kemudian didukung dan disponsori oleh para penguasa Muslim.
Suatu hal yang patut sekali mendapat perhatian lebih besar di sini ialah
suasana kebebasan intelektual di zaman klasik Islam itu. Interaksi positif
antara orang-orang Arab Muslim dengan kalangan bukan-Muslim itu dapat
terjadi hanya dalam suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan.
Sebab meskipun orang-orang Arab itu mempunyai ajaran agamanya yang sangat
tegas dan gamblang, dengan penuh lapang dada membiarkan semua kegiatan
intelektual di pusat-pusat yang ada sejak sebelum kedatangan dan pembebasan
oleh mereka. Seperti dikatakan oleh C.A. Qadir:
"...the centers of learning led
by the Christians continued to function unmolested even after they were
subjugated by the Muslims. This indicates not only the intellectual freedom
that prevailed under Muslim rule in those days, but also testifies to the
Muslims' love of knowledge and the respect they paid to the scholars irrespective
of their religion."[6]
(...pusat-pusat pengajaran yang dipimpin oleh orang-orang Kristen terus
berfungsi tanpa terusik bahkan setelah mereka itu ditaklukkan oleh orang-orang
Muslim. Ini menunjukkan tidak saja kebebasan intelektual yang terdapat di
mana-mana di bawah pemerintahan Islam zaman itu, tetapi juga membuktikan
kecintaan orang-orang Muslim kepada ilmu dan sikap hormat yang mereka
berikan kepada para sarjana tanpa mempedulikan agama mereka).
Interaksi intelektual itu memperoleh wujudnya yang nyata semenjak masa dini
sekali sejarah Islam. Disebut-sebut bahwa al-Harits ibn Qaladah, seorang
Sahabat Nabi, sempat mempelajari ilmu kedokteran di Jundisapur, Persia, tempat
berkumpulnya beberapa failasuf yang dikutuk gereja Kristen karena dituduh
telah melakukan bid'ah. Disebut-sebut juga bahwa Khalid ibn Yazid (ibn
Mu'awiyah) dan Ja'far al-Shadiq sempat mendalami alkemi (al-kimya) yang
menjadi cikal-bakal ilmu kimia modern._7 Bahkan seorang khalifah Bani
Umayyah, Marwan ibn al-Hakam (683-685 M), memerintahkan agar buku
kedokteran oleh Harun, seorang dokter dari Iskandaria Mesir, diterjemahkan
dari bahasa Suryani (Syriac) ke bahasa Arab._8
Harus diketahui bahwa dalam pembagian ilmu pengetahuan zaman itu, baik ilmu
kedokteran maupun alkemi, sebagaimana juga metafisika, matematika,
astronomi, bahkan musik dan puisi, dan seterusnya, termasuk falsafah. Sebab
istilah falsafah itu, dalam pengertiannya yang luas, mencakup bidang-bidang
yang sekarang bisa disebut sebagai "ilmu-pengetahuan umum",
yakni, bukan "ilmu pengetahuan agama", yaitu dunia kognitif yang
dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang dari penalaran
deduktif maupun yang dari penyimpangan empiris. Ini penting disadari,
antara lain untuk dapat dengan tepat melihat segi-segi mana dari sistem
falsafah itu yang kontroversial karena dipersoalkan oleh kalangan ortodoks.
Umumnya mereka ini, seperi Ibn Taymiyyah dan lain-lain, menolak yang
bersifat penalaran murni dan deduktif, dalam hal ini khususnya metafisika
(al-falsafah al-ula), karena dalam banyak hal menyangkut bidang yang bagi
mereka merupakan wewenang agama. Tetapi mereka membenarkan yang induktif
dan empiris.
Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme)
adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam.
Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan
rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi
sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M),
sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran
Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang
mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang
"yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber
penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai
seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis",
"occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi
dalam artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah
mengalami penyatuan dengan Tuhan atau "Kenyataan Mutlak."[9] Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran
Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato,
Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.
Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas,
intelligibles) dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan
pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga
yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep
tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut
sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang
Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang
tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.
Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil
kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang
menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya. Disamping
membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau
ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang
immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada
sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence
immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.
Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin
tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles
mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal),
sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak
mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa
"dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung
dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari
kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial,
adalah identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.
Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut
Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep
tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran
kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang
mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya._10
Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan
menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas
materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa._11
Aristotelianisme
Telah dinyatakan bahwa
Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya
Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang
sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan unsur-unsur kuat
Aristotelianisme. Bahkan sebetulnya para failasuf Muslim justru memandang
Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal), yang
menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga
pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang
menonjol dalam falsafah Islam.
Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya
Iskandaria di tangan orang-orang Arab Muslim pada tahun 642._12 Sebab sejak
itu yang ada secara dominan ialah falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya
meliputi hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.
Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu
bergulat dan berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama
Kristen itu tidak mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah
seorang tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta Nestorius,
patriark Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan melawan
ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di
Persia._13
Sebenarnya Neoplatonisme sebagai filsafat musyrik memang mendapat perlakuan
yang berbeda-beda dari kalangan agama. Orang-orang Kristen zaman itu,
dengan doktrin Trinitasnya, tidak mungkin luput dari memperhatikan betapa
tiga hypostase Plotinus tidak sejalan, atau bertentangan dengan Trinitas
Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah mendapatkan jalannya ke
penulisan. Maka orang-orang Muslim, melalui tulisan-tulisan dalam bahasa
Suryani yang disalin ke Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang
berbeda, yaitu Neo-platonisme dengan unsur kuat Aristotelianisme._14
Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist oleh Ibn al-Nadim,
The Arab version of the arrival of
the Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the discovery
of manuseripts in a deserted house. Even if true, the story omits two very
important details which may be supplied from the sequel: first, the
manuseripts were certainly not written in Arabic; second, the Arabs
discovered not only Aristotle but a whole series of commentators as
well._15
(Versi Arab tentang datangnya karya-karya Aristoteles di dunia Islam ada
kaitannya dengan diketemukannya naskah-naskah di suatu rumah kosong.
Seandainya benarpun, kisah itu menghilangkan dua rinci penting yang bisa
melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu pastilah tidak tertulis
dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab itu tidak hanya menemukan
Aristoteles tetapi seluruh rangkaian para penafsir juga).
Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan
orang-orang Muslim sudah tidak "asli" lagi, melainkan telah
tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena itu, meskipun orang-orang
Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan menamakannya
"guru pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya
pikiran-pikiran dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah
pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran Aristoteles.
Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh besar kepada
falsafah dalam Islam, tetapi Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa
orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah
fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus
tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria.
Menurut Peters lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi
"eksistensial" filsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada
orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi lebih berorientasi pedagogik,
bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan metafisik. Khususnya
logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada
pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran
logis menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak
sekitar abad VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga
sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, al-kalam al-thabi'i,
sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang
Muslim._16
Penutup
Sebagaimana telah
diisyaratkan, orang-orang Muslim berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam
bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan itu
berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Maka cukup menarik bahwa
sementara orang-orang Muslim begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang
mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar, atau
sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis didalamnya. Ini
menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling
berpengaruh kepada falsafah Islam itu, karena memang terkait satu sama
lainnya.
Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas
Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan
jelas dalam berbagai paham Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan
seorang Neoplatonis, disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani
menuju Tuhan seperti yang dimuat dalam kitabnya, Isharat. Dan memang
Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke
dalam ajaran-ajaran Sufi. Yang paling menonjol ialah yang ada dalam ajaran
sekelompok orang-orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa
(secara longgar: Persaudaraan Suci)._17
Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar
Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak
memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (silogisme)
Aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran Aristoteles
ini ialah populernya ilmu mantiq di kalangan orang-orang Islam. Sampai
sekarang masih ada dari kalangan 'ulama' kita yang menulis tentang mantiq,
seperti K.H. Bishri Musthafa dari Rembang, dan ilmu mantiq masih diajarkan
di beberapa pesantren. Memang telah tampil beberapa 'ulama' di masa lalu
yang mencoba meruntuhkan ilmu mantiq (seperti Ibn Taymiyyah dengan
kitabnya, Naqdl al-Manthiq dan al-Suyuthi dengan kitabnya, Shawn al-Mantiq
wa al-Kalam 'an Fann al-Manthiq wa al-Kalam). Tetapi bahkan al-Ghazali pun,
meski telah berusaha menghancurkan falsafah dari segi metafisikanya, adalah
seorang pembela ilmu mantiq yang gigih, dengan kitab-kitabnya seperti
Mi'yar al-Ilm dan Mihakk al-Nadhar. Bahkan kitabnya, al-Qisthas
al-Mustaqim, dinilai dan dituduh Ibn Taymiyyah sebagai usaha
pencampur-adukan tak sah ajaran Nabi dengan falsafah Aristoteles, karena
uraian-uraian keagamaannya, dalam hal ini ilmu fiqh, yang menggunakan
sistem ilmu mantiq.
Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah
Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi,
tetapi semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu
pengetahuan, dan, karena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang
kenabian seperti yang dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal,
Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas
kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam
Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para
failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa,
tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan
(determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu
merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat
hal serupa dalam Hellenisme._18
Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu,
lagi-lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari
falsafah. Justru dalam ilmu kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata.
Seperti dikatakan William Lane Craig,
... the kalam argument as a proof for
God's existence originated in the minds of medieval Arabic theologians, who
bequeathed to the West, where it became the center of hotly disputed
controversy. Great minds on both sides were raged against each other:
al-Ghazali versus Ibn Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus
Aquinas. The central issue in this entire debate was whether the temporal
series of past events could be actually infinite._19
(...argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal dari dalam pikiran
para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di mana ia
menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir
dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd,
Saadia lawan Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas. Persoalan pokok
dalam seluruh debat itu ialah apakah rentetan zaman dari kejadian masa
lampau itu dapat secara aktual tak terbatas).
Ilmu kalam adalah unik dalam pemikiran umat manusia. Ia merupakan sumbangan
Islam dalam dunia kefilsafatan yang paling orisinil. Argumen-argumen yang
dikembangkan dalam ilmu kalam menerobos dunia pemikiran Barat, sebagaimana
banyak pikiran-pikiran Islam yang lain, meskipun hanya sedikit dari
orang-orang Barat yang mengakuinya. Berkenaan dengan ini, Craig mengatakan
lebih lanjut:
The Jewish thinkers fully
participated in the intellectual life of the Muslim society, many of them
writing in Arabic and translating Arabic works into Hebrew. And the
Christians in turn read and translated works of these Jewish thinkers. The
kalam argument for the beginning of the universe became a subject heated
debate, being opposed by Aquinas, but adopted and supported by Bonaventure.
The falsafa argument from necessary and possible being was widely used in
various forms and eventually became the key Thomist argument for God's
existence. Thus it was that the cosmological argument came to the
Latinspeaking theologians of the West, who receive in our Western culture a
credit for originality that they do not fully deserve, since they inherited
these arguments from the Arabic theologians and philosophers, whom we tend
unfortunately to neglect._20
(Para pemikir Yahudi berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan intelektual
masyarakat Muslim, banyak di antara mereka yang menulis dalam Bahasa Arab
dan menterjemahkan karya-karya Arab ke dalam Bahasa Ibrani. Dan orang-orang
Kristen kemudian membaca dan menterjemahkan karya-karya para pemikir Yahudi
itu. Argumen kalam bagi permulaan adanya alam raya menjadi perdebatan yang
panas, karena ditentang oleh Aquinas namun digunakan dan didukung oleh
Bonaventure. Argumen falsafah dari wujud pasti (wajib) dan wujud mungkin
(mumkin) banyak digunakan dalam berbagai bentuk dan akhirnya menjadi kunci
argumen Thomis untuk adanya Tuhan. Begitulah, bahwa argumen kosmologis itu
sampai ke para teolog berbahasa Latin, yang dalam budaya Barat kita mereka
itu menerima pengakuan untuk orisinalitas, yang mereka sendiri tidak
sepenuhnya berhak, karena mereka mewarisi argumen-argumen itu dari para
teolog dan failasuf Arab, yang sayangnya cenderung kita lupakan).
Sebagaimana telah menjadi pokok pembicaraan buku William Craig yang dikutip
itu, argumen-argumen kosmologis kalam ternyata kini banyak mendapatkan
dukungan temuan-temuan ilmiah moderen. Teori big bang dari Chandrasekhar
(pemenang hadiah Nobel), dan dikatakan dengan temuan-temuan astronomi
moderen, begitu pula konsep waktu dari Newton dan Einstein, semuanya itu,
menurut Craig, mendukung argumen kosmologi ilmu kalam tentang adanya Tuhan
dan "personal", yang telah menciptakan alam raya ini:
We have thus concluded to a personal
Creator of the universe who exists changelessly and independently prior to
creation and in time subsequent to creation. This ia a central core of what
theists mean by "God"...The kalam cosmological argument leads us
to a personal Creator of the universe…_21
(Dengan begitu kita telah menyimpulkan adanya Khaliq yang personal bagi
alam raya, yang ada tanpa berubah dan berdiri sendiri sebelum penciptaan
alam dan dalam waktu sesudah penciptaan itu. Inilah inti pusat apa yang
oleh kaum teist dimaksudkan dengan "Tuhan"...Argumen kosmologi
kalam membimbing kita ke arah adanya Khaliq yang bersifat pribadi alam
raya...)
Adakah membuktikan adanya Tuhan yang personal itu yang menjadi titik
perhatian sentral falsafah dan kalam? Setelah membuktikan dengan
dalil-dalil dan argumen-argumen yang mantap, para failasuf dan mutakallim
beralih ke usaha memahami makna wujudnya Tuhan itu bagi manusia, kemudian
dikembangkan menjadi dalil-dalil dan argumen-argumen untuk mendukung
kebenaran agama. Seperti ditegaskan oleh Ibn Rusyd dalam Fashl al-Maqal,
kegiatan berfalsafah adalah benar-benar pelaksanaan perintah Allah dalam
Kitab Suci. Maka, kata Ibn Rusyd, falsafah dan agama atau syari'ah adalah
dua saudara kandung, sehingga merupakan suatu kezaliman besar jika antara
keduanya dipisahkan. Hanya memang, kata Ibn Rusyd lagi, terdapat halangan
agama yang karena ketidak-tahuannya memusuhi falsafah, dan terhadap
kalangan falsafah yang juga karena ketidak-tahuannya memusuhi syari'ah. Ibn
Rusyd sendiri adalah seorang failasuf yang amat mendalami syari'ah.
|