Antara Maqashid Syariah dan
Karakter Umat
oleh:
Dr. Elly Warti Maliki, MA
AKHIR-akhir akhir ini wajah peradaban Islam dihiasi oleh stigma
kekerasan. Ajaran Islam dituduh sebagai sumber terorisme. Departemen
pendidikan di beberapa negara Islam diminta mengubah kurikulum
pendidikannya. Gerakan dakwah dilumpuhkan dengan cara memboikot bantuan
dana yang biasanya mengalir dari negara-negara petro dolar. Setiap orang yang membawa identitas Islam
dimata-matai. Mereka tidak diizinkan bepergian ke negara-negara Barat
modern, kecuali dengan persyaratan yang sangat ketat.
Tak terkecuali, wanita muslimah dilarang memakai jilbab disaat HAM
dan kebebasan diusung sebagai slogan. Dan, partai politik di beberapa
negara yang membawa bendera Islam, terus menerus berada dibawah tekanan.
Sekalipun menang dalam pemilihan umum, mereka tidak akan dibiarkan
mengelola pemerintahan.
Dari sisi lain masyarakat Islam diwarnai stagnasi dan ketidak
berdayaan karena sikap defensif yang mereka gunakan dalam berinteraksi,
baik dengan non-muslim ataupun ketika berkomunikasi dengan sesama saudara
mereka kaum muslimin.
Perilaku defensif merupakan salah satu fenomena sosial dalam
masyarakat Islam yang harus dikaji, dicari penyebabnya sekaligus diketahui
bahayanya terhadap masa depan Islam. Apakah yang dimaksud dengan perilaku
defensif tersebut? Dari mana perilaku ini bersumber? Apa pengaruhnya dalam
berkomunikasi? Dan, apa dampak negatifnya terhadap masa depan peradaban
umat?
Perilaku Defensif dan Interaksi sosial
Perilaku adalah tindakan individu terhadap suatu stimulus yang dapat
diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan, baik disadari
maupun tidak.
Perilaku makhluk hidup ada yang "fitrah" yaitu yang
bersumber dari insting atau naluri, dan ada juga yang muwajjah (terarah) yaitu yang bersumber
dari akal fikiran. Perilaku yang bersumber dari insting terdapat pada
manusia dan hewan. Hanya saja, perilaku muwajjah atau muktasab yang
bersumber dari akal fikiran hanya terdapat pada manusia saja. Allah S.W.T
telah menganugerahkan akal kepada manusia sehingga perilakunya dapat
diarahkan dan dikendalikan. Perilaku terarah ini dapat dibentuk melalui
pendidikan, tradisi, konsep pemikiran dan lain-lain. Karena itu manusia
berbeda dengan binatang, manusia adalah makhluk hidup yang berakal.
Akhir-akhir ini perbincangan mengenai umat moderat di kalangan
pemikir Islam mulai menghangat. Berbagai tulisan baik dalam bentuk artikel,
buku, majalah dan lain sebagainya banyak bermunculan. Tidak kurang,
Al-Ittihad Al-Alami Li Ulama Al-Muslimin (International Union for Muslim
Scholars) yang menjadikan ‘umat moderat’ sebagai agenda utamanya
menerbitkan majalah yang diberi nama "Ummat Al-Wasath" (umat
moderat). Dalam rangka menetralisir perilaku defensif dalam membentuk
karakter umat moderat, sebagai khairu ummatin (umat terbaik) yang
dikehendaki Allah S.W.T menjadi saksi bagi sekalian manusia, tulisan ini
mencoba membuat pendekatan melalui maqashid syariah.
Dalam ungkapan populernya Ibnu Khaldun mengatakan, "Al-Insaanu
Madaniyyun Bi Al-Thab'i" (Manusia adalah makhluk sosial). Artinya
manusia senantiasa hidup dalam komunitas yang terus menerus berinteraksi
dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Individu ataupun
masyarakat tidak mungkin hidup menyendiri jauh dari yang lainnya. Hal
tersebut terlihat sangat jelas diera global ini. Akibat revolusi informasi,
batas-batas wilayah negara hampir tidak lagi menjadi penghalang bagi
manusia untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Semua serba mengglobal.
Sekalipun manusia berbeda dari makhluk lainnya karena memiliki akal
yang mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk, mampu berfikir
dan berkarya, hanya saja sebagai makhluk hidup manusia tetap terikat dengan
instingnya. Di antara insting ini adalah hasrat berkuasa dan menguasai
orang lain.
Jika hasrat berkuasa dan menguasai orang lain merupakan ciri khas
manusia, sementara arus informasi tidak lagi dapat dibendung, wajar adanya
jika kaum muslimin merasa khawatir dan cemas terhadap pemikiran-pemikiran
dan nilai-nilai baru yang mengalir dari Barat dan bertentangan dengan apa
yang selama ini mereka yakini dan mereka jalankan dari generasi ke
generasi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa makhluk hidup ketika diserang
atau merasakan adanya bahaya yang mengancam, seluruh tubuhnya siap
melakukan pertahanan, baik dengan cara melakukan perlawanan, ataupun
melarikan diri dari serangan tersebut. Hal ini berlaku juga pada benda
mati, hanya saja benda mati tidak mungkin lari dari serangan. Kadangkala ia
menang, dan kadangkala kalah dan menyerah.
Sebagai contoh, seseorang melempar bola ke dinding. Dinding akan
mempertahankan karakteristik dan eksistensinya dengan cara bereaksi. Jika
reaksinya sama kuat dengan lemparan tersebut, bola akan dipantulkan kembali
sehingga dinding tidak rusak. Jika kekuatan dinding berada dibawah kekuatan
lemparan bola, dinding akan rusak.
Rusaknya dinding karena lemparan bola bukan berarti bahwa dinding
tidak melakukan pertahanan, akan tetapi serangan balik yang ia lakukan
tidak cukup untuk mengalahkan kekuatan lemparan bola tersebut. Di sini
muncul apa yang disebut dengan, "Yang kuat akan bertahan, sedangkan
yang lemah akan kalah".
Revolusi informasi dan media akibat kemajuan teknologi, HAM,
kebebasan, demokrasi, dan segala yang diusung globalisasi bukanlah perkara
yang harus diperdebatkan untuk diterima atau ditolak, karena itu merupakan
realita dan fenomena masa dimana kita hidup. Jika tidak ingin seperti benda
mati, yang hanya mengandalkan kekuatan pertahanan, Islam dituntut
untuk berinteraksi dengan realita.
Tidak hanya menunggu lemparan dan bertahan tetapi juga membuat
lemparan-lemparan yang berkekuatan melebihi lemparan lawan. Memandang sinis
realita, lalu mengucilkan diri dan duduk dipinggiran sambil mencela,
bukanlah sikap pribadi yang positif. Tidak ada jalan lain bagi ‘umat
moderat’ kecuali berinteraksi dengannya, dan berupaya semaksimal mungkin
agar dapat mempengaruhi lebih banyak dan dipengaruhi lebih sedikit.
Jika yang kuat yang akan tetap bertahan, maka kekuatan pertahanan
harus berada di atas kekuatan lemparan. Namun, bertahan menangkal semua
serangan, atau bereaksi hanya ketika terjadi lemparan bukanlah jalan untuk
menjadi kuat. Untuk dapat menguasai fenomena masa, umat moderat dituntut
untuk proaktif, bergerak dinamis menjemput bola agar mampu berinteraksi
dengan realita, untuk kemudian mengunggulinya, jika tidak maka ia akan
menemukan dirinya tertinggal di makan masa. */bersambung ke bagian dua
Penulis adalah WNI, doktor Bidang Fiqh Islam Universitas Al Azhar,
Kairo. Meraih cumlaude dengan disertasi berjudul, “Al-Ahkam As-syar’iyah
Al-musthambathah min Qaidah Saddizara’i fi Fiqhil Mar’ah wa Taksyiruhu
‘alal binail Mujtama.” (Hukum-hukum syari’ah Islam yang diprediksikan dari
Kaidah Saddizara’i dalam Fiqih Wanita dan penerapannya terhadap pembinaan
masyarakat). Disertasinya itu bahkan direkomendasikan untuk dicetak oleh
Universitas Al-Azhar
Bagian pertama
Maqashid Syariah, HAM dan
al-Quran
Perilaku negative thinking
umumnya melahirkan sikap "defense behavior" yang membuat
pelakunya menjadi lemah dan sulit berkembang. Karena tidak mampu menghadapi
perubahan, biasanya pribadi defensif akan lari dari kenyataan. Ia akan
mencela semua yang baru, yang bertentangan dengan alam fikirannya. Fenomena
inilah yang mendominasi kehidupan umat Islam pada era ini.
Dalam kehidupan terisolir inilah muncul persepsi bahwa globalisasi
telah membuat masyarakat Islam jatuh ke jurang jahiliyah modern, karena itu
globalisasi harus dilawan sekuat tenaga.
Pertanyaanya, mampukah maqashid syariah menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan masalah atas semua ini?
Maqashid syariah artinya tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan
hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an
dan Al Sunnah, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia. Maqashid Syariah adalah salah satu teori dalam disiplin ilmu
keislaman, dan merupakan prestasi gemilang di bidang pemikiran yang telah
dicapai oleh ulama Islam beberapa abad yang lalu.
Jauh sebelum globalisasi mengenal istilah hak asasi manusia (HAM),
para ulama telah memperkenalkan dan membincangkan bahwa ada lima hal
menyangkut kehidupan yang harus dipelihara. Yakni; menjaga agama, jiwa,
akal, harta dan kehormatan. Hanya saja sebagian besar dari mereka ini
membatasi pandangannya pada sisi defensif saja dan mengabaikan sisi
ofensifnya.
Ketika berbicara tentang tujuan syariat, para ahli usul fikih umumnya
memandang tujuan syariat dari sisi pemeliharaan atau penjagaan. Karena itu
ketika menderivasi hukum perhatian mereka terfokus kepada penjagaan lima
hal diatas yang membuat maqashid syariah tidak efektif dalam membangun
masyarakat, akibatnya umat menjadi lemah baik dari segi intelektual, maupun
menejerial.
Imam Al-Syathiby telah melihat maqashid syariah dari dua sisi:
"wujud" dan "adam" atau "the presence and the
absence". Dalam bukunya Al-Muwafaqat beliau mengatakan bahwa:
"Menjaga maqashid syariah harus dengan dua hal. Pertama, menegakkan
pondasi dan tiangnya sebagai bentuk perhatian terhadap al-wujud. Kedua,
menangkal kerusakan yang akan terjadi atau diperkirakan akan terjadi sebagai
bentuk perhatian terhadap al-'adam". Hanya saja ide dasar ini masih
memerlukan uraian, penjelasan dan penjabaran yang dapat menghubungkannya
dengan realita kehidupan umat dari masa ke masa.
Di antara ulama yang melihat maqashid syariah dengan cara pandang
"double vision correlation" adalah Imam Ibnu Taimiyah.
Dalam pandangan beliau membangun al-wujud adalah dasar, sedangkan
menjaga al-'adam merupakan pelengkap. Sisi pertama adalah tujuan utama,
sedangkan sisi kedua adalah tujuan pelengkap.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan syariat,
ibarat sebuah gedung maka fisik bangunan harus dibangun terlebih dahulu,
kemudian baru maintenance atau pemeliharaannya.
Ibnu Taimiyah selanjutnya mengatakan: "Sebagian ulama membatasi
maslahat pada penjagaan agama, jiwa, harta, kehormatan, akal dan badan.
Padahal seharusnya bukan demikian. Maslahat yang sebenarnya ada pada
pencapaian manfaat dan pencegahan mudarat. Kelima Maqashid Syariah yang
mereka sebutkan baru merupakan satu bagian saja. Mereka yang membatasi maslahat pada
sangsi kriminal yang merupakan pencegahan terhadap kerusakan berarti mereka telah mengkerdilkan syariat itu
sendiri".
Jika memandang Maqashid Syariah secara defensif merupakan
pengkerdilan terhadap syariat sehingga masyarakat Islam menjadi lemah dan
terbelakang, maka untuk dapat mengungguli perubahan sudah seharusnya
"negative thinking" dirubah menjadi "positive thinking"
melalui perubahan cara pandang terhadap maqashid syariah dari defensif
kepada ofensif, sekaligus sebagai bentuk pengembangan terhadap teori
maqashid yang telah dicetuskan para ulama semisal Al-Syathiby, Ibnu
Taimiyah dan yang lainnya. Hal tersebut tentunya mencakup kelima bagian
dasar yang telah disebutkan di atas.
Jika tinjauan dari sisi defensif menggunakan kata "hifzh"
atau "menjaga" maka dari sisi ofensif dapat diungkapkan dengan menggunakan kata
"hak", karena hak adalah sesuatu yang secara legitimis harus
direalisir. Hak dalam Islam merupakan pemberian Allah S.W.T. yang telah
ditetapkan di dalam al-Qur'an dan dijelaskan oleh Al-Sunnah. Sumber hak
adalah Allah S.W.T. karena Allahlah penentu dan penetap bagi sesuatu. Hak
dalam syariat Islam mempunyai dua sisi kewajiban.
Kewajiban umum kepada manusia untuk menghormati hak seseorang, dengan
tidak merampas dan tidak menghalanginya, dan kewajiban khusus bagi pemilik
hak untuk menggunakannya tanpa mengganggu hak orang lain.
Jika dari sisi pandang al-'adam, maqashid syariah diungkapkan dengan
istilah menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta dan
menjaga kehormatan, maka dari sisi al-wujud dapat diungkapkan dalam istilah
kontemporer dengan hak beragama, hak hidup, hak berpendidikan, hak bekerja
dan hak pengakuan eksistensi kemanusiaan. Kelima hak ini telah mencakup
semua hak dasar yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
Pertama: Hak beragama sebagai dasar untuk menjaga agama
Hukuman bagi orang murtad, peringatan bagi orang musyrik, dan
memerangi lawan dalam peperangan disyariatkan untuk menjaga agama. Maka
menjalankan ibadah dan melaksanakan perintah agama merupakan hak beragama.
Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan Al-Sunnah
menjelaskannya.
Allah S.W.T. berfirman: "Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka.
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah
2:193).
Hal ini dijelaskan oleh Al-Sunnah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Mas'ud: "Saya diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik
sehingga mereka mengucapkan La Ilaha Illa Allah, mendirikan shalat, dan
membayarkan zakat. Jika mereka melakukannya berarti mereka telah
menyelamatkan nyawa dan harta mereka, sedangkan ganjarannya Allah S.W.T.
yang akan memberikan." (Shahih Bukhari hadis no. 25)
Adapun yang berhubungan dengan hak beragama, Allah S.W.T. telah
memerintahkan kaum muslimin untuk menjalankan ibadah berupa shalat, puasa,
zakat, haji ke baitulllah dan ibadah vertikal lainnya karena manusia
diciptakan tiada lain adalah untuk menyembah Allah. “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Al-Zariyat
51:56).
Untuk menjaga agama, Allah S.W.T juga telah memerintahkan kaum
muslimat untuk memakai hijab (jilbab), menjaga pandangan mata dan segala
bentuk ibadah horizontal lainnya.
Jika makna "hak beragama" difahami dengan arti yang
sebenarnya, maka kebutuhan seseorang dalam menjalankan ibadah baik vertikal
maupun horizontal, menjadi kewajiban bagi yang lain untuk tidak
menghalanginya. Atas dasar ini, tidak ada alasan bagi siapapun untuk
melarang wanita berjilbab melintasi negara manapun. Ini juga sesuai dengan
resolusi PBB tentang kebebasan beragama. Sebuah pemerintahan yang melarang
warga negaranya menggunakan jilbab, sebagimana yang terjadi di Tunis saat
ini, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM yaitu hak
menjalankan perintah agama. Begitulah
cara berpikirnya.*/bersambung
Kedua: Hak hidup sebagai dasar untuk menjaga jiwa
Jika hukuman mati dan segala bentuk sanksi fisik disyariatkan untuk
menjaga jiwa, maka memenuhi kebutuhan hidup seperti makan dan minum,
pakaian dan tempat tinggal, kesehatan dan keamanan merupakan hak hidup yang
harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan
al-Sunnah.
"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah
2:179).
Hal ini kemudian dijelaskan oleh Al-Sunnah: "Barang siapa
membunuh dengan sengaja maka ia harus dihukum qishash.” (Hadis riwayat Abu
Daud).
Adapun yang berhubungan dengan hak hidup, Islam telah mengatur
kebutuhan manusia terhadap materil sedemikian rupa, mulai dari cara
mendapatkannya, pendistribusiannya sampai kepada pemanfaatannya. Mulai dari
sandang, pangan dan papan sampai kepada kenyamanan dan ketentraman hidup.
Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk mencari harta yang
halal, kemudian menafkahkannya sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan Allah di dalam al-Qur'an, membayarkan zakat, infaq dan sedekah
kepada fakir miskin dan golongan lain yang berhak menerimanya, sehingga
tidak ada orang yang hidup terlantar.
Sehubungan dengan cara mendapatkan harta kekayaan dan
pendistribusiannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya Allah S.W.T.
berfirman: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba". (QS. Al-Baqarah 2:275).
Pada ayat lain Allah S.W.T. berfirman: "Sesungguhnya zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Taubah 9:60).
Solidaritas sosial ini selanjutnya ditegaskan oleh Al-Sunnah, di
antaranya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w: “Demi Allah
tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya:
“Siapa, ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Orang yang tidur dalam keadaan
kenyang sedangkan tetangganya lapar dan dia mengetahuinya." (Hadis
riwayat Anas bin Malik).
Hak hidup di sini mengandung makna bahwa setiap orang di dunia ini
berhak untuk hidup layak, cukup pangan, sandang dan papan, bebas dari
kemiskinan dan penindasan. Untuk itu, sistim ekonomi dan politik dunia,
harus dapat membuat tatanan masyarakat dunia yang bebas dari kemiskinan dan
hidup penuh rasa nyaman serta bebas dari rasa takut dan tekanan.
Dengan demikian, kekayaan dunia yang hanya awalnya dipegang
segelintir orang dan terfokus dinegara-negara maju dapat didistribusikan
secara merata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup manusia secara
keseluruhan. Konsep ini sejalan dengan resolusi PBB yang belakangan
diterapkan, tentang penghapusan kemiskinan yang tercantum dalam butir
pertama Mellenium Development Goals dan ditargetkan tercapai menjelang
tahun 2015. Padahal, ini telah disampaikan dalam al-Quran belasan abad
Islam.
Ketiga: Hak berpendidikan sebagai dasar untuk menjaga akal
Jika larangan meminum khamar dan semua minuman yang memabukkan
disyariatkan untuk menjaga akal, maka mengembangkan fungsi akal melalui
pendidikan formal dan non-formal, penyediaan bahan bacaan, penelitian dan
berbagai bentuk kegiatan yang dapat mengoptimalkan fungsi akal merupakan
hak pendidikan yang harus dipenuhi.
Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah
menjelaskannya.
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS.
Al-Maidah 5:90).
Adapun yang berhubungan dengan hak pendidikan, Allah S.W.T. telah
memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu, dan menempatkan orang yang
berilmu lebih tinggi beberapa derajat.
Allah S.W.T. berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepadamu:` Berlapang-lapanglah dalam majelis `, maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan:` Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan". (QS. Al-Mujadilah 58:11).
Al-Sunnah menegaskan: "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim
baik laki-laki maupun perempuan". (Hadis riwayat Ibnu Majah).
Hak berpendidikan berarti bahwa setiap orang di dunia ini berhak
mendapatkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuannya. Pihak manapun –
baik pemerintah ataupun non-pemerintah, individu ataupun organisasi – tidak
boleh melarang atau menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya badan-badan ini harus
menyediakan berbagai fasilitas untuk mencapainya. Dengan cara ini, arah
maqashid syariah telah dirubah dan dikembangkan dari sekedar menjaga
struktur akal kepada mengoptimalkan fungsi akal tersebut.
Pendidikan berkualitas merupakan dasar bagi pembangunan ekonomi
sosial untuk mengakhiri kemiskinan dan keterbelakangan. Jika di tingkat
"alam Islamy" (dunia Islam) para cendekiawan dan hartawan dapat
melakukan kerjasama untuk memberantas buta huruf dan kebodohan dikalangan
umat Islam, kemudian bersama-sama mengembangkan teknologi menuju
kemandirian iptek untuk mengurangi ketergantungan kepada negara maju,
maka akan terbentuklah "khairu ummatin" yang berkualitas, yang
lebih berpendidikan dan lebih berilmu pengetahuan.
Hal ini juga sejalan dengan program "Pendidikan Untuk
Semua" yang dicanangkan PBB melalui "Millennium Development
Goals". Atas dasar ini, dunia
Islam yang merupakan pihak yang sangat berkepentingan dalam memajukan
pendidikan masyarakatnya, diharapkan ikut berpartisipasi aktif dalam
mendorong dan merealisir tercapainya tujuan tersebut.
Keempat: Hak bekerja sebagai dasar untuk menjaga harta
Jika hukuman bagi pencuri dan sanksi serta tuntutan jaminan bagi
perampas kekayaan disyariatkan untuk menjaga harta, maka bekerja, berkarya,
mendorong orang untuk mendapatkan kekayaan yang halal, menginvestasikannya,
dan juga menyediakan lapangan kerja merupakan hak bekerja yang harus
dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut juga terdapat di dalam al-Qur'an dan
al-Sunnah menjelaskannya.
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana". (QS. Al-Maidah 5:38). Hal ini kemudian dijelaskan oleh
Al-Sunnah bahwa pada zaman Rasulullah s.a.w, baginda tidak memotong tangan
seseorang yang mencuri kurang dari harga sebuah perisai". (Hadis
riwayat Aisyah r.a).
Adapun yang berhubungan dengan hak bekerja, Allah S.W.T. telah
memerintahkan kaum muslimin untuk giat bekerja dan mendapatkan kekayaan
secara halal.
Allah S.W.T. berfirman: "Apabila telah ditunaikan sembahyang,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung". (QS.
Al-Jumuah 62:10).
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (QS. Al-Baqarah: 2/148).
Dorongan untuk giat bekerja kemudian ditegaskan Rasulullah saw
melalui sabdanya: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
Allah dari pada mukmin yang lemah”. (Hadis riwayat Abu Hurairah).
Dengan dimasukannya hak bekerja sebagai hak asasi bagi manusia, orang
akan terdorong untuk bekerja dan meningkatkan taraf hidupnya, yang pada
gilirannya akan melahirkan sikap optimis untuk terus melakukan
penemuan-penemuan. Hal ini sekaligus dapat memotivasi orang untuk selalu
berfikir produktif dan membuat karya-karya baru, yang dapat meningkatkan
kemandirian ekonomi sehingga setiap saat siap menghadapi perubahan
pasar. Karena kerja merupakan wujud
keberadaan manusia di muka bumi dan seseorang dikenal dan diperhitungkan
berdasarkan kerja yang dilakukan, maka fighting spirit (semangat bersaing)
yang diberikan Islam untuk melakukan kebaikan, seharusnya dapat
mengantarkan umat ini mencapai kejayaan.
Selain pekerjaan itu sendiri, hak bekerja berarti juga bahwa setiap
pekerja berhak mendapatkan standar gaji minimum, asuransi kesehatan,
keselamatan kerja, jaminan hari tua dan fasilitas lainnya sesuai tingkat
pendidikan dan kemampuannya.
Tidak ada negara yang dapat berbuat sewenang-wenang terhadap pekerja.
Negara yang berbuat sewenang-wenang terhadap pekerja dan tidak memberikan
haknya dapat dikategorikan sebagai pelanggar HAM dan dapat dikenakan
sangsi. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan
dikembangkan dari sekedar menjaga harta yang ada kepada upaya untuk
mendapatkan, sekaligus mengembangkannya.
Kelima: Hak pengakuan eksistensi sebagai dasar untuk menjaga harga
diri.
Jika hukuman bagi penuduh dan sangsi bagi penghasut, penggunjing dan
pencela disyariatkan untuk menjaga harga diri manusia, maka pengakuan
eksistensi kemanusiaan melalui persamaan, keadilan dan persaudaraan merupakan
hak kemanusiaan yang harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut terdapat di
dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya.
Sehubungan dengan hukuman bagi penuduh Allah S.W.T. berfirman:
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik". (QS. Al-Nuur 24:4).
Adapun yang berhubungan dengan penghormatan, persamaan dan keadilan,
Allah S.W.T. telah memuliakan anak Adam yaitu seluruh manusia dan
memerintahkan untuk berbuat adil kepada siapapun tanpa kecuali, baik kepada
orang yang disukai ataupun terhadap orang yang dibenci. Allah S.W.T.
berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan". (QS. Al-Isra' 17:70).
Dalam ayat lain Allah S.W.T. berfirman: "Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (QS. Al Maidah:
5/8).
Keadilan sebagai asas masyarakat Islam ditegaskan Rasulullah dalam
sabda beliau: ”Demi Allah, jikalau Fatimah binti Muhammad mencuri, akan aku
potong tangannya.” (Hadis Riwayat Aisyah r.a.).
Hak pengakuan terhadap eksistensi diri manusia berarti bahwa sebagai
makhluk sosial, manusia sama dihadapan Allah S.W.T dan sama dihadapan
hukum. Setiap orang berhak
diperlakukan secara adil dan berprikemanusiaan. Hal ini berlaku
dimasa damai maupun ketika terjadi peperangan. Manusia adalah manusia
sekalipun sudah menjadi jasad tidak bernyawa. Dalam peperangan ataupun
bencana alam, penguburan manusia tidak boleh dilakukan sebagaimana binatang
dikuburkan. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan
dikembangkan dari sekedar menjaga harga diri kepada pengakuan eksistensi
diri.
Epilog
Kelima hak yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah sebagaimana
disebutkan di atas adalah hak asasi manusia lintas negara. Berlaku umum
untuk seluruh manusia dimuka bumi ini. Terlepas dari ras, agama, status
sosial, warna kulit dan lain sebagainya. Jika kelima hak tersebut dapat
dijadikan landasan dalam menetapkan batasan hak-hak dasar bagi manusia maka
setiap individu di muka bumi ini akan dapat hidup layak dan terlindungi.
Dengan demikian tidak seorang manusiapun yang perlu mengangkat
senjata hanya untuk mendapatkan haknya.
Seorang muslim dalam kerangka "umat moderat" tidak
menggunakan maqashid syariah sekedar untuk penjagaan atau perlindungan yang
membuat mereka menjadi lemah, terbelakang dan tidak mampu menghadapi
realita, bukan pula menggunakannya sekedar untuk pencapaian
keinginan-keinginan dan kebutuhan hidup yang membuat mereka terlepas dari
ikatan dengan Khaliqnya, menafikan eksistensi wahyu dan menegasikan
syariat.
Sebaliknya, "umat moderat" menggunakan maqashid syariah
secara seimbang. Di suatu saat digunakan untuk penjagaan terhadap agama,
jiwa, akal, harta dan kehormatan, di saat lain digunakan untuk pengembangan dan
pencapaian, sekaligus untuk menemukan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi.
Dengan demikian, seorang Muslim dalam kerangka "umat
moderat", akan memandang hidup ini melalui realita yang ada dan mampu
berinteraksi dengannya untuk kemudian mengunggulinya. Bukan memandang sinis
kenyataan dan memusuhinya, bukan pula cair dan larut di dalamnya.
Dengan sikap proaktif, dinamis dan adaptif yang dibangun melalui
maqashid syari'ah, peran konsumen sebagai pelaksana kebijakan yang selama
ini dijalankan umat, dengan sendirinya akan beralih kepada peran produsen
sebagai pembuat kebijakan, atau setidaknya ikut berperan dalam membuat
kebijakan tersebut. Dari situ --dalam berinteraksi dengan dunia global--
umat diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam menentukan
arah bagi tatanan dunia baru yang damai, lebih adil dan lebih manusiawi. *
Penulis
adalah anggota International Union for Muslim Scholars
|