Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
Oleh
Jalaluddin Rakhmat
1. FIQH AL-KHULAFA'
AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA
Seorang laki-laki
datang menemui 'Umar
bin Khathab: "Saya dalam keadaan
junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya untuk menanyakan
apakah ia harus shalat atau tidak. 'Umar menjawab, "Jangan shalat sampai
engkau mendapatkan air." 'Ammar
bin Yasir berkata
pada 'Umar bin Khathab: "Tidakkah Anda ingat. Dulu
--engkau dan aku--
pernah berada dalam perjalanan. Kita
dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat, sedangkan aku
berguling-guling di atas tanah. Aku
sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata,
cukuplah bagi kamu berbuat demikian."
Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar:
"Ya Ammar, takutlah pada Allah", Kata
Ammar, "Ya Amir
al-Mu'minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini
selama engkau hidup." [1] "Yang dimaksud Ammar," kata Ibn
Hajar, [2] "Aku melihat memang lebih
baik tidak meriwayatkan hadits
ini ketimbang
meriwayatkannya Aku setuju denganmu,
dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak
bersalah."
Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umar tetap berpegang
teguh pada pendapatnya --
orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa hadza
madzab masyhur 'an 'Umar," kata
Ibn Hajar. Semua sahabat
menolak pendapat Umar, kecuali Abdullah
bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat perdebatan Abdullah
bin Mas'ud dengan
Abu Musa al-Asy'ari tentang kasus ini pada hadits No.
247. Abu Musa
menentang pendapat
Abdullah --sekaligus madzhab
Umar-- dengan mengutip ayat ("jika
kalian tak mendapatkan air
hendaklah tayamum dengan tanah
yang baik"). Menarik untuk
dicatat bahwa kelak dengan merujuk
ayat yang sama,
mazhab Hanafi melanjutkan mazhab 'Umar.
Lebih menarik lagi untuk kita catat
adalah beberapa pelajaran dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi
perbedaan paham di antara
sahabat dalam masalah
fiqhiyah Kedua, lewat kekuasaan, 'Umar menghendaki
pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat
yang berlainan. Ketiga,
terlihat ada sikap hiperkritis dalam
menerima atau menyampaikan riwayat
Dan keempat, perbedaan di
antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada
abad-abad berikutnya Karena itu
membicarakan fiqh para
sahabat menjadi sangat penting sebagai pijakan bagi
pembahasan masalah fiqh mutakhir.
Saya akan memulai makalah ini
dengan membahas urgensi
fiqh sahabat dalam keseluruhan pemikiran
fiqhiyah. Setelah itu, saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya
ikhtilaf fiqh di antara para sahabat, karakteristik fiqh
sahabat, dan contoh-contoh
fiqh al-khulafa al-rasyidin.
URGENSI FIQH SAHABAT
Fiqh shahabi memperoleh
kedudukan yang sangat penting
dalam khazanah pemikiran Islam.
Pertama, sahabat --sebagaimana didefinisikan ahli hadits--
adalah orang yang berjumpa dengan
Rasulullah saw dan
meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]
Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari mereka juga
kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim. Kedua, zaman
sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah
embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila
pada zaman tasyri' orang
memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan
pendapat dengan merujuk pada
Rasulullah, pada zaman
sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara itu, perluasan
kekuasaan Islam dan
interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain
menimbulkan masalah-masalah baru.
Dan para sahabat
merespon situasi ini
dengan mengembangkan
fiqh (pemahaman) mereka.
Ketika menceritaka ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis:
[4]
Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan
al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra'yu
bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang
berijtihad dengan qiyas seperti
Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila
tidak ada nash.
Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip
umum dalam mengambil
keputusan hukum (istinbath; al-hukm.); yang nanti diformulasikan
dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.
Ketiga, ijtihad para
sahabat menjadi rujukan
yang harus diamalkan, perilaku
mereka menjadi sunnah
yang diikuti. Al-Syathibi [5]
menulis, "Sunnah sahabat
r.a. adalah sunnah yang harus
diamalkan dan dijadikan rujukan." Dalam perkembangan ilmu fiqh, madzhab
sahabat --sebagai ucapan dan perilaku yang
keluar dari para
sahabat-- akhirnya menjadi salah satu sumber hukum Islam
di samping istihsan,
qiyas, mashalih mursalah dan
sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi hujjah. Tentang hal ini,
ulama berbeda pendapat.
Sebagian menganggaprlya
sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila
bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya
hanya menganggap hujjah pada
pendapat Abu Bakar
dan Umar saja, berdasarkan hadits ("berpeganglah pada dua
orang sesudahku, yakni Abu
Bakar dan Umar"); dan
sebagian yang lain, berpendapat bahwa yang menjadi
hujjah hanyalah kesepakatan khulafa' al-Rasyidin. [6]
Terakhir keempat, ini yang terpenting, ahl al-Sunnah
sepakat menetapkan bahwa seluruh
sallabat adalah baik
(al-shahabiy kulluhum
'udul). Mereka tak
boleh dikritik, dipersalahkan, atau dinilai sebagaimana perawi
hadits lain. Imam ahli
jarh dan ta'dil, Abu
Hatim al-Razi dalam
pengantar kitabnya menulis:
[7]
Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang yang
menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar ta'wil, yang dipilih
Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk menolongnya, menegakkan agamanya,
memenangkan ke benarannya... Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya
menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka dibersikkan dari keraguan, dusta,
kekeliruan, keraguan kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka
sebagai 'udul al-ummah (umat yang
paling bersih)... Merekalah 'udul
al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama, dan pembawa al-Qur'an
dan al-'Sunnah.
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan
bila mazhab sahabat menjadi rujukan
penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja,
menurut kesepakatan ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu
yang paling penting adalah khulafa
al-rasyidun. Bila mereka
sepakat, pendapat mereka dapat
membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka ikhtilaf,
mazhab sahabat menimbulkan
kemusykilan yang sulit diatasi. Lalu mengapa mereka
ikhtilaf?
PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT
Salah satu sebab utama
ikhtilaf di antara para sahabat
adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang
tidak terjadi pada zaman
Rasulullah saw. Sementara
itu, setelah Rasulullah wafat, putuslah masa
tasyi'. Menghadapi
masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]
Kelompok pertama memandang
bahwa otoritas untuk
menetapkan hukum-hukum
Tuhan dan menjelaskan makna
al-Qur'an setelah Rasulullah
wafat dipegang ahl
al-Bait. Hanya merekalah, menurut nash
dari Rasul, yang
harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan
menetapkan hukum-hukum
Allah. Kelompok ini
tidak mengalami kesulitan
dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka tahu
betul --tugas mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.
Kelompok kedua memandang
tidak ada orang
tertentu yang ditunjuk rasul
untuk menafsirkan dan
menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur'an dan
al-Sunnah adalah sumber untuk
menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang
timbul di masyarakat. Kelompok
ini --kelak disebut
Ahl al-Sunnah-- ternyata
tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak
terjawab oleh nash.
Mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtidah seperti
qiyas atau istihsan.
Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk
kelompok kedua, kecuali Ali bin
Abi Thalib. Kelompok kedua
lebih banyak menggunakan ra'yu,
dan kelompok pertama
lebih banyak merujuk
nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama
dalil naqli. Umar pernah melarang
hajji tamattu', padahal al-Qur'an dan
al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Utsman juga
melarangnya, Ali secara demonstratif
melakukannya di depan Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia
melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali
menjawab: Aku tak akan
meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena pendapat seseorang. [9]
Setelah perdebatan ini,
menurut riwayat lain dari
Abdullah bin Zubair,
Utsman berkata: Sesungguhnya
laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa
yang tak mau
boleh meninggalkannya. [10]
Contoh lainnya
adalah hukuman dera
bagi peminum khamr. Rasulullah saw. menderanya 40
kali. [11] Umar --atas saran Abd al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali.
Ali kembali menderanya 40 kali.
Rasulullah saw. menetapkan thalaq tiga dalam satu
majlis itu dihitung
satu. [12] Begitu
pula Ali. Umar menetapkan thalaq
tiga itu jatuh
tiga sekaligus. Umar memutuskan hukuman rajam bagi
orang gila yang
berzina. Ali membebaskan
hukum itu berdasarkan hadits. [13]
Bila contoh-contoh tadi
berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan
ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan perbedaan memahami
nash. Kata quru
dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru'
diartikan berbeda-beda.
Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh.
Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa
bersuci di antara haidh
dengan haidh lagi.
[14] Ibn Umar menafsirkan "al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat
min alladzina utu al-kitab sebagai
wanita Muslim, karena
itu Ibn Umar mengharamkan wanita ahli kitab
dinikahi laki-laki Muslim. Ibn
'Abbas menganggap ayat
itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu
al-musyrikat hatta yu'minna.
Utsman tampaknya sependapat dengan
Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita
Nashrani, dan Thalhah menikahi
wanita Yahudi dari Syam. [15]
Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena
perbedaan pengetahuan yang mereka
miiiki. Sebagian sahabat, misalnya, mengetahui nash
tertentu, sebagian lain
tidak mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca
QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian
dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda
tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca
ayat itu. Engkau sendiri berada
di pintu... Demi
Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda
tahu, ketika saya hadir Anda
tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16]
Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah
satu sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]
Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya,
berbeda-beda dalam kemampuan
pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Rasulullah saw. ditanya tentang suatu
masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Yang hadir waktu
itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak
mengetahuinya. Ketika Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di
negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada
di negeri mereka. Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat
yang tidak dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak
dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di tempat yang tidak dihadiri orang
Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah
hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini semua terjadi dalam hadits, dan pada saat
kita memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian
waktu tidak hadir di majelis
Rasulullah saw., sedangkan sebagian
lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang
tidak ia hadiri. Ini jelas menurut
akal. 'Amar dan yang lain mengetahui
tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak
mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub tidak tayamum, walau pun tidak menemukan
air selama dua bulan. Ali Hudzaifah
al-Yamani dan lain-lain mengetahui
hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah tidak mengetahuinya walaupun mereka
penduduk Madinah. Anak perempuan
dari anak beserta anak perempuan
mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak diketahui Abu Musa.
Marilah kita berikan
satu contoh lagi yang lebih ilustratif. Ketika orang
sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab, masuklah
seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin Tsabit berfatwa
di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan mandi
janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan Umar
berkata: "Hai musuh
dirinya sendiri!, aku dengar
kau berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri? Kata Zaid:
"Ya Amir
al-Mu'minin. Aku tidak
melakukan itu. Tetapi
aku mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan – dan
Abi Ayyub dari Ubbay bin
Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'.
Ia berkata: "Apakah kalian berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan
isteri kalian dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah:
"Kami melakukan
begitu pada zaman Rasulullah
saw. Tidak turun ayat yang mengharamkan. Tidak juga ada
larangan dari Rasulullah saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw.
mengetahuinya?" Kata Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin
dan Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu mandi,
kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata:
"Jika kedua khitan bertemu, wajib
mandi." Kata Umar:
"Kalian sahabat-sahabat
yang ikut Badr
sudah ikhtilaf, apalagi orang-orang setelah
kalian!" Kata Ali, Ya
Amir al-Mu'minin: "tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini
kecuali isteri Rasulullah saw.
Ia mengutus orang
bertanya pada Hafshah.
Hafshah tidak tahu. 'Aisyah
ditanya. Kata 'Aisyah:
"Bila khitan sudah bertemu
khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila ada lagi orang
berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau
tidak keluar, aku akan pukul dia." [18]
Dalam kasus yang baru kita
ceritakan, ikhtilaf di antara para sahabat dapat diselesaikan oleh
khalifah. Khalifah bahkan menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat
berbeda. Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para
sahabat itu dibiarkan dan
diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat orang-orang sektarian, ikhtilaf
para sahabat ini
menjadi sumber
perpecahan. Buat orang yang
berjiwa terbuka, ikhtilaf ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran.
'Umar bin Abd al-'Aziz, tokoh
ukhuwah Islamiyah yang
menghentikan kutukan pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak
senang kalau sahabat Nabi tidak
ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah manusia
dibuatnya. Mereka adalah
teladan yang diikuti. Jika
kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu sunnah.
Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia. Mereka
boleh ikhtilaf, karena
bila mereka tidak
membukanya, para mujtahid
berada dalam kesempitan. Allah memberikan keluasan pada umat
dengan adanya ikhtilaf furu'i di antara mereka. Dengan begitu, ia membuka
umat untuk memasuki Rahmat-Nya." [19]
Seperti telah disebutkan di muka, dari segi prosedur
penetapan hukum, ada dua
cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara ini melahirkan dua
mazhab besar di kalangan sahabat – Madzhab 'Alawi dan Madzhab 'Umari yang
akhirnya mewariskan kepada kita sekarang sebagai Syi'ah dan
ahli Sunnah. Para
sahabat seperti Miqdad,
Abu Dzar, 'Ammar
bin Yasir, Hudzaifah dan sebagian besar Bani Hasyim -- merujuk pada
ahl al-Bait dalam menghadapi masalah-masalah baru. Mereka berpendapat
bahwa ada dua nash yang dengan tegas menyuruh
kaum Muslim berpegang teguh pada
pimpinan ahl-al-Bait. Lagi
pula, menurut mereka, pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu ma'shum.
Ah al-Bait memiliki kema'shuman berdasarkan nash al-Qur'an dan al-Sunnah.
[30]
Pada bagian ini, saya tak akan membicarakan
kelompok sahabat ini, tapi
akan memutuskan perhatian
pada metode ijtihad kelompok sahabat
yang tak merujuk
ahl al-Bait. Menurut Muhammad al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya
terbatas pada qiyas. Menurut Muhammad
Salim Madkur, ijtihad
mereka menggunakan tiga
metode: a) menjelaskan dan menafsirkan nash; b) qiyas pada nash atau
pada ijma', dan ijtihad dengan ra'yu seperti al-Mashalih al-Mursalah dan
istihsan. Muhammad Ali al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad
sahabat itu meliputi qiyas, istihsan, al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara'i,
al-mashalih al-mursalah. [21]
Menurut pendapat saya, ada tiga
tahap dalam ijtihad
para sahabat: a) merujuk
pada nash al-Qur'an
dan al-Sunnah b) menggunakan metode-metode ijtihad seperti
qiyas, bila nash tidak ada
atau tidak diketahui; dan c)
mencapai kesepakatan lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.
Pada tahap pertama, para
Khulafa al-Rasyidin selain
Ali, tampaknya lebih
memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur'an (atau ruh
ajaran al-Qur'an) dengan
agak mengabaikan
(kadang-kadang menafikan hadits). Di bawah ini saya kutipkan
berbagai riwayat berkenaan dengan
sikap Khulafa al-Rasyidinpada Hadits (sunnah):
1.
Dari Ibn
Abbas: ketika Nabi
menjelang wafat, di rumah Rasulullah saw., berkumpul orang-orang, di
antaranya Umar bin Khathab. Nabi
berkata: "Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu tulisan yang
tidak akan menyesatkanmu selama-lamanya." Umar berkata: "Nabi sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada
Kitab Allah. Cukuplah bagimu Kitab
Allah." Terjadi ikhtilaf
di antara orang-orang di
rumah itu. Di antara mereka
ada yang mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran dan ikhtilaf, Nabi
saw. berkata: "Pergilah
kamu semua dari aku. Tidak layak di hadapanku bertengkar." [22]
2.
'Aisyah meriwayatkan:
Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits
Rasulullah saw. Pada suatu pagi ia
datang padaku dan berkata: "Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu. "Aku
membawanya. Ia membakar dan
berkata, "Aku takut jika aku mati aku masih meninggalkan
hadits-hadits ini bersamamu," [23]
al-Dzahabi meriwayatkan
bahwa Abu Bakar mengumpulkan
orang setelah Nabi wafat dan berkata; "Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah
saw. yang kalian pertengkarkan. Nanti orang-orang setelah kalian akan
lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan
satu Hadits pun dari
Rasulullah saw. Jika ada yang bertanya kepada kalian, jawablah --
Di antara Anda
dan kami ada
Kitab Allah,
halalkanlah apa yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa
yang diharamkannya" [24]
3.
Al-Zuhri meriwayatkan,
Umar ingin menuliskan sunnah-sunnah
Rasulullah saw. Ia
memikirkannya selama satu
bulan, mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini. Pada suatu
pagi, ia memutuskan dan
menyatakan: "Aku teringat
orang-orang sebelum kalian. Mereka
tenggelam dalam tulisan
mereka dan meninggalkan Kitab
Allah. [25] Umar
kemudian mengumpulkan hadits-hadits itu dan membakarnya. [26]
Ia juga menetapkan tahanan rumah
pada tiga sahabat
yang banyak meriwayatkan
hadits: Ibn Mas'ud, Abu Darda,
dan Abu Mas'ud
al-Anshari." [27]
Tradisi pelarangan hadits
ini dilanjutkan para
tabi'in, sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadits
terlambat sampai abad 8
M./2 H. Menurut
satu riwayat, Umar ibn Abd al-Aziz
(meninggal 719/101) adalah
orang yang pertama menginstruksikan penulisan
hadits. [28]
Karakteristik kedua dari ijtihad sahabat, bila tidak ada nash, menggunakan
qiyas atau pertimbangan
kepentingan umum. Dalam beberapa kasus,
bahkan pertimbangan kepentingan umum (maslahat) didahulukan dari
nash, walaupun ada
nash sharih (tegas) yang
bertentangan dengan itu.
Berikut ini
contoh-contohnya.
1.
Khalid Muhammad Khalid
menulis tentang ijtihad Umar dalam al-Dimuqrathiyyah: Umar
bin Khattab telah
meninggalkan nash-nash agama yang Suci dari al-Qur'an dan
al-Sunnah ketika dituntut kemaslahatan untuk
itu. Bila al-Qur'an
menetapkan bagian muallaf dari zakat,
serta Rasulullah dan
Abu Bakar melakukannya, Umar
datang dan berkata, "Kami tidak memberi kamu
sedikit pun karena Islam." Ketika
Rasul dan Abu
Bakar membolehkan penjualan Ummahat
al-Awlad, Umar melarangnya. Ketika talaq tiga dalam
satu majelis dihitung
satu menurut Sunnah dan
ijma, Umar meninggalkan
sunnah dan menyingkirkan ijma.
Dr. al-Dawalibi menulis
hal yang sama
dalam 'Ilm Ushul al-Fiqh: "Di
antara kreasi Umar r.a. yang menunjang kaidah hukum
berubah karena perubahan zaman ialah
jatuhnya thalaq tiga dengan
satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar dan permulaan
Khilafah Umar, thalaq tiga pada sekali
ucapan dijadikan satu seperti
hadits shahih dari Ibn
'Abbas. Kata Umar: "Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya hati-hati..." Kata
Ibn Qayyim, Amir
al-Mu'minin Umar bin Khathab
melihat orang telah melecehkan urusan
thalaq... Umar ingin menghukum
keteledoran ini, sehingga
sahabat menahan dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq. Umar
melihat ini untuk kemashlahatan umat
di zamannya... Ini adalah
prinsip taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman." [29]
2.
Ketika kelompok muallaf datang
menemui Abu Bakar
untuk menuntut surat, mereka
datang kepada Umar. Umar merobek surat itu dan berkata, "Kami
tidak memerlukan kalian
lagi. Allah sudah memenangkan Islam dan melepaskan dari
kalian. Jika kamu Islam (baiklah itu),
jika tidak pedanglah
yang memutuskan antara kamu
dan kami. "Mereka kembali
pada Abu Bakar dan berkata, "Adakah khalifah itu atau dia?
"Abu Bakar menjawab, "Ia, insya Allah. " Lalu berlalulah apa
yang diputuskan Umar. [30]
3.
Al-Fujaah pernah
menyatakan diri ingin berjihad dan meminta perbekalan pada
Abu Bakar. Abu
Bakar memberinya bekal. Al-Fujaah ternyata menggunakan
fasilitas Abu Bakar ini untuk merampok. Abu
Bakar menyuruh Tharifah
bin Hajiz untuk membawanya ke
Madinah. Abu Bakar
menghukumnya dengan
membakarnya hidup-hidup. [31]
4.
Abu Bakar
dan Umar tidak
memberikan hak khumus dari keluarga Rasulullah saw.,
tapi menyalurkan hak
itu fi sabilillah. Mereka
berpendapat, setelah Rasulullah saw. wafat, khalifah yang berhak mengatur
pembagian khumus. [32]
5.
Utsman bin Affan
membolehkan "menikahi"
dua orang wanita bersaudara dari
antara budak belian sekaligus. Ali bin Abi Thalib
mengharamkannya. [33] Utsman
juga melakukan banyak "pembaharuan" dalam
fiqh Islam: a) mengitmamkan shalat dalam keadaan safat di Mina; [34]
b) menambahkan adzan ketiga pada hari Jum'at
; [35] c)
melarang haji tamattu;
[36] d) membolehkan tidak
mandi bagi yang bercampur
dengan isterinya tanpa mengeluarkan mani;
[37] e) mengambil zakat dari kuda; [38] f) mendahulukan khotbah
sebelum shalat pada shalat 'id. [39]
Saya hentikan kutipan kasus-kasus ijtihad Khulafa' al-Rasyidin di sini.
Marilah kita lihat proses perkembangan pemikiran para sahabat sehubungan dengan sunnah. Menurut Fazlur
Rahman, [40] pada zaman para
sahabat, orang secara
bebas memberikan
tafsiran pada sunnah
Rasulullah saw. Berkembanglah berbagai penafsiran. Dalam
proses free market of
ideas, pendapat-pendapat
tertentu kemudian berkembang
menjadi opini generalis, lalu opini publik,
lalu konsesnsus. Karena
itu, waktu itu yang
disebut sunnah ialah apa yang disebut Imam Malik sebagai
al-amr al-mujtama' 'alaih.
Saya hampir sependapat dengan
Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa yang disepakati tidak
selalu berkembang dari hasil
persaingan pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma'
adalah konsensus yang "ditetapkan" oleh penguasa politik waktu
itu. Tidak
berlebih-lebihan kalau kita
simpulkan bahwa fiqih al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih
penguasa.
KESIMPULAN
Fiqh para
sahabat --khususnya seperti
diwakili oleh
al-Khulafa, al-Rasyidun-- adalah
fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman.
Fiqih shahabi memberikan dua macam
pola pendekatan terhadap
syari'ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda.
Ikhtilaf di antara para sahabat, selain
mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga --seperti kata
'Umar ibn Abdul
Aziz-- menyumbangkan khazanah yang
kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja, untuk
itu diperlukan penelaahan kritis
terhadapnya. Sayang
sekali, sikap kritis
ini telah "dimatikan" dengan vonnis zindiq oleh sebagian
ahli hadits. Ada
dua sikap ekstrim terhadap sahabat
yang harus dihindari: menghindari sikap kritis atau melakukan sikap
hiperkritis. Ketika banyak orang marah karena
'Umar dikritik, 'Umar sendiri
berkata, "Semoga Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku
sebagai suatu bingkisan." [41]
2. FIQH TABI'IN: FIQH USHUL
Sejak zaman sahabat
(dan ini diakui
para sahabat sendiri) telah terjadi perubahan-perubahan dalam
syari'at Islam. Suatu ketika seorang tabi'in, Al-Musayyab memuji Al-Barra
bin 'Azib: "Beruntunglah Anda.
Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda berbaiat kepadanya di bawah pohon." Al-Barra
menjawab, Hai anak saudaraku, engkau
tidak tahu hal-hal
baru yang kami adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma
ahdatsna (apa-apa yang kami
adakan) menunjukkan pada
perbuatan bid'ah yang
dilakukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa
pada hari kiamat ada
rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir dari al-haudh (telaga).
Nabi saw: "Ya Rabbi, mereka sahabatku. Dikatakan kepadanya: Engkau
tak tahu apa-apa
yang mereka ada-adakan sepeninggal kamu. [43]
Bid'ah-bid'ah ini telah
mengubah sunnah Rasulullah saw. Sebagian sahabat
mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini. Imam Malik meriwayatkan
dari pamannya Abu Suhail bin
Malik, dari bapaknya (seorang
sahabat). Ia berkata:
Aku tidak mengenal lagi
apa-apa yang aku lihat dilakukan "orang" kecuali panggilan shalat.
Al-Zarqani mengomentari hadits ini: Yang dimaksud
"orang" adalah sahabat.
Adzan tetap seperti
dulu.
Tidak berubah, tidak berganti. Ada
pun shalat, waktunya telah diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah
berubah. [44] Imam Syafi'i meriwayatkan dari
Wahab bin Kaysan. Ia melihat
Ibn Zubair memulai shalatnya sebelum
khutbah, kemudian berkata: Semua sunnah
Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun. [45] Kata Al-Zuhri:
Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia sedang menangis. "Mengapa
Anda menangis," tanya Al-Zuhri. Anas menjawab, "Aku sudah tidak
mengenal lagi apa yang aku lihat, kecuali shalat. Ini pun sudah
dilalaikan orang". [46] Al-Hasan al-Bashri menegaskan:
"Seandainya
sahabat-sahabat Rasulullah
saw lewat, mereka
tidak mengenal kamu (yang kamu amalkan) kecuali kiblat
kamu". [47] 'Umran bin al Husain pernah shalat di
belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan berkata:
Ia telah shalat seperti shalatnya
Muhammad saw. Ia mengingatkan aku pada Shalat Muhammad
saw. [48]
Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah
Nabi sudah banyak diubah. Salah
satu sebab utama
perubahan adalah campur
tangan penguasa. Karena pertimbangan politik,
Bani Umayyah telah mengubah
sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan
secara setia oleh Ali
dan para pengikutnya. Ibn
'Abbas berdoa: Ya Allah, laknatlah mereka.
Mereka meninggalkan sunnah
karena benci kepada Ali.
[49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai upaya menghapus jejak
Ali. [50] Contoh yang lain adalah
sujud di atas tanah,
yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para sahabat Nabi seperti
Abu Bakar, Ibn Mas'ud, Ibn
'Umar, Jabir ibn Abdullah
dan lain-lain. Dalam
perkembangannya, sujud di atas kain menjadi syi'ar Ahl al-Sunnah; sedangkan
sujud di atas tanah
dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan
zindiq". [51]
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana
campur tangan kekuasaan politik
membentuk fiqh. Karena fiqh lebih banyak didasarkan pada
al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan manipulasi hadits
dengan motif politik. Fiqh
Tab'in, selain mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad para sahabat.
Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan ijtihad sahabat.
Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi dua --yang
berpusat pada al-hadits dan al-ra'y-- kita akan
membicarakan juga tradisi fiqh al-atsar
dan fiqh al-ra'y. Secara keseluruhan, kita lebih
banyak menelaah ushul ketimbang fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah
sandaran para tabi'in; dan karenanya secara singkat ia
disebut Fiqh al-ushul.
Sebelum membahas itu semua, marilah kita lihat sedikit
latar belakang fiqh tabi'in.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN FIQH TABI'IN
Setelah Nabi Muhammad
saw meninggal dunia,
orang-orang Islam
bertanya pada sahabat
dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab
pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya pada
semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin
karena ketidaktahuan, kehatihatian, atau lagi-lagi
pertimbangan politis. Sebagian
lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan
mereka, atau karena posisinya
memungkinkan untuk itu.
Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para
khalifah sedikit sekali memberi fatwa
atau meriwayatkan
al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar
537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua
hadits mereka disatukan hanya
berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah (Abu
Huraiah meriwayatkan 5374 hadits).
Karena itu, para
tabi'in, yakni mereka
yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa
al-Rasyidin. Dalam pada itu,
ketika kekuasaan Islam
meluas, hanya sedikit para sahabat yang
meninggalkan Madinah. Dalam
kaitan ini, Abu Zahrah menulis: [52]
Kliping Artikel Pasted from
|