Demokrasi Dalam pendidikan
Oleh:
Joni Rahmat Pramudia
Pendahuluan
Di masa lampau, pendekatan yang sentralistik dan
cenderung kepada totaliterisme bukan merupakan sesuatu yang ditabukan, malah terkesan
dihalalkan. Berbagai bentuk penyelenggaraan sentralistik yang menghilangkan
inisiatif baik pribadi maupun masyarakat sangat akrab dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara kita. Pun demikian di dalam proses penyelenggaraan
pendidikan dan pengembangan kebudayaan. Kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan
serta manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan lulusan (out
put) pendidikan kita manusia “robot” tanpa inisiatif. Meskipun keadaan
ini merupakan corak pendidikan yang umum di Asia (Newsweek, September 6,
1999), namun demikian barangkali keadaan di Indonesia adalah yang terparah.
Pendidikan kita nyaris tanpa adanya perubahan metodologi dari bangku
sekolah dasar sampai perguruan tinggi akan berjalan secara indoktriner
(Tilaar, 2000:87). Kebebasan berfikir, kebebasan merumuskan, dan menyatakan
pendapat yang berbeda tidak mendapat tempat. Oleh karena itu, hasil dari
pendidikan kita di masa lalu (baca: Orde Baru) adalah manusia-manusia robot
dan sekadar menjadi pengikut-pengikut setia terhadap suatu struktur
kekuasaan. Gelombang demokratisasi mempunyai konsekuensi lebih lanjut dalam
desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Meskipun desentralisasi
pendidikan bukanlah merupakan suatu yang mudah dilaksanakan.
Namun demikian, sejalan dengan arus demokratisasi
dalam kehidupan manusia , maka desebtralisasi pendidikan akan memberikan
efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya
pendidikan, pemerataan. Meskipun pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa
desentralisasi pendidikan tidak dengan sendirinya meningkatkan mutu pendidikan
dalam arti peningkatan mutu pembelajaran.
Disadari atau tidak, sistem pendidikan kita
selama ini, lebih banyak diarahkan kepada suatu bentuk pendidikan yang intelektualistis
karena hanya mengembangkan beberapa aspek terbatas dari intelegensi
manusia. Padahal Howard Gardner telah menunjukkan bahwa intelegensi
bukan hanya intelegensi akademik saja tetapi bermacam-macam intelegensi
yang harus dikembangkan untuk menciptakan suatu kebudayaan yang kaya dan
dinamis. Ada kecerdasan bahasa, kecerdasan ilmu pasti, kecerdasan ilmu
alam, kecerdasan gerak, kecerdasan musik, kecerdasan manganalisis diri sendiri,
kecerdasan antar pribadi, kecerdasan ruang, kecerdasan naturalis,
kecerdasan spiritual, dan kecerdasan eksistensial/filsuf. Begitu pula salah
satu unsur kebudayaan yang sangat penting adalah
moralitas dan agama kurang mendapatkan perhatian
di dalam kurikulum pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi..
Demokratisasi pendidikan ternyata belum
sepenuhnya dilaksanakan. Pendidikan negeri menjadi favorit karena
seakan-akan tidak memerlukan biaya. Pendidikan swasta yang benar-benar dilaksanakan
oleh masyarakat ternyata harus berdiri sendiri. Dengan demikian kesempatan
yang sama untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara belum dapat
dilaksanakan. Sistem subsidi hendaknya diatur sehingga dapat dinikmati oleh
semua lapisan dan golongan ekonomi dalam masyarakat. Disamping itu
diperlukan kurikulum yang memiliki spektrum yang luas sehingga semua anak dengan
kemampuan intelegensi yang bermacam-macam dapat dikembangkan secara
optimal.
Demokratisasi proses pendidikan bermakna pula
menjamin dan mengembangkan kebebasan akademik. Terutama pendidikan tinggi merupakan
benteng pengembangan moral masyarakat dan menjadi sebagai lembaga
pengontrol dari pelaksanaan nilai-nilai kebenaran,keindahan, moral, dan
agama. Sejalan dengan itu, proses pendidikan bukanlah merupakan suatu
indoktrinasi tetapi proses pengembangan kesadaran akan kebenaran (meninjamn
istilah Paulo Freire). Demokrasi tidak dapat dikembangkan dengan membunuh pemikiran
kritis atau pemikiran alternatif, tetapi hanya dapat berkembang di dalam
kebebasan berpikir dan tanggungjawab atas
alternatif yang dipilih.
Demokratisasi dan
Desentralisasi Pendidikan
Momentum runtuhnya Orde Baru yang kemudian
tergantikan oleh bergulirnya proses reformasi, telah membawa perubahan
besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum
bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi dan demokratisasi.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah telah meletakkan
sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan bersama
sekktor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya, seperti
kehutanan, pertanian, koperasi, dan pariwisata. Otonomisasi sektor
pendidikan kemudian didorong pada sekolah, agar kepala sekolah dan guru
memiliki tanggungjawab yang besar dalam peningkatan kualitas proses
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Baik dan buruknya
kualitas hasil belajar siswa menjadi tanggungjawab guru dan kepala sekolah,
karena pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan,
baik sarana, prasarana, ketenagaan, maupun berbagai program pembelajaran
yang direncanakan sekolah.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga
mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
sebagai pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 1989.
Salah satu isu penting dalam undang-undang
tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana
ditegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Pasal
ini merupakan kelanjutan dari pernyataan pada pasal 4 ayat 1 bahwa
pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan.
Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari
dan sejalan dengan kebijakan pengelolaan sektor pendidikan pada daerah,
yang tingkat implementasinya di sekolah. Berbagai perencanaan pengembangan
sekolah, baik rencana pengembangan sarana dan alat, ketenagaan, kurikulum
serta berbagai program pembinaan siswa, semua diserahkan pada sekolah untuk
merancangnya serta mendiskusikannya dengan mitra horizontalnya dari komite
sekolah.
Gagasan demokratisasi ini didasari oleh
pertimbangan yang sederhana, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam
pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan,
tetapi justru dalam pembahasan dan kajian untuk mengidentifikasi berbagai
permintaan stakeholder dan user sekolah tentang kompetensi
siswa yang akan dihasilkannya. Kemudian gagasan demokratisasi juga
dikembangkan dengan sebuah paradigma baru tentang pelibatan siswa dalam
proses pembelajaran, yang tidak sekedar membuat mereka diberi kesempatan
dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan bersamasama dengan
guru mereka. Pembahasan tentang berbagai
permintaan stakeholder terhadap sekolah
memperkaya substansi kurikulum serta menuntut kreativitas dan dinamika
pengelolaan sekolah agar dapat melayani permintaan-permintaan tersebut, dengan
tetap berpijak pada perkembangan psikologis siswa serta kemampuan sekolah
dalam memberikan layanan kepada cilent-nya itu. Sementaraa pelibatan
siswa dalam membahas perencanaan operasional pengembangan proses
pembelajaran, akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis
dan penuh keceriaan, karena aspiratif dan sesuai dengan permintaan para pembelajar.
Terkait dengan demokratisasi penyelenggaraan
sekolah ini, setidaknya ada tiga aspek yang menjadi pusat perhatian dalam kajian
ini, yakni demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi
kurikulum di sekolah, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak
penyiapan program pembelajaran sampai implementasi proses pembelajaran
dalam kelas dengan memberi perhatian pada aspirasi siswa, tidak mengabaikan
meraka yang lamban dalam proses pemahaman, dan tidak merugikan mereka yang
cepat dalam pemahaman bahan ajar. Semua memperoleh pelayanan yang
proporsional, dan semua harus berakhir dengan batas minimal pencapaian
kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama dalam koridor matery
learning. Kemudian semua upaya demokratisasi tersebut juga tidak akan
efektif membawa berbagai perubahan tanpa didukung dengan pola pengelolaan
sekolah yang sesuai. Oleh sebab itulah, model manajemen yang harus dikembangkan
dalam konteks demokratisasi sekolah tersebut adalah manajemen yang
demokratis, yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses
pengambilan keputusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan
wewenang, serta perubahan
paradigma dalam menilai produktivitas kerja
setiap unsur dalam organisasi sekolah, dengan orientasi kepuasan pelanggan.
Proses penyusunan, evaluasi dan pengembangan kurikulum yang dilaksanakan
dalam prinsip-prinsip demokratisasi pendidikan dicoba untuk diurai secara
detail. Demikian pula penyusunan kurikulum operasional yang harus
dikembangkan oleh guru dengan mempertimbangkan stakeholder, user serta
perkembangan kemampuan siswa sendiri, semuanya dicoba dijelaskan tidak saja
konsep dan taorinya, tetapi juga instrumentasi praktisnya, sehingga ilmu
ini dapat diuji kebenaran implementatifnya dengan pengalamanpengalaman empirik
di lapangan. Demikian pula dengan proses pembelajaran yang mengusung
paradigma baru untuk pendidikan di Indonesia, yakni collaborative
learning, yakni guru dan siswa membahas apa yang akan mereka pelajari
pada hari tertentu, jam tertentu, sehingga proses pembelajaran menjadi
sangat aspiratif dan menyenangkan, dan siswa pun akan merasa puas, karena
mereka
dihargai.
Demokratisasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran
tidak akan berjalan dengan baik bila pola pengelolaan sekolahnya otokratis,
sentralistik dan kurang aspiratif serta kurang pelibatan mitra horizontal
sekolah. Usulan-usulan kreatif guru akan selalu tersandung oleh
aturan-aturan birokrasi dan kekuasaan vertikal. Oleh sebab itu, demokratisasi
kurikulum dan pembelajaran harus diimbangi dengan demokratisasi dalam
pengelolaan organisasi sekolah tersebut, bahkan
dalam batas-batas tertentu juga melibatkan client
dan user sekolah, khususnya evaluasi dan pengembangan kurikulum,
serta upaya-upaya mengimplementasikan berbagai program dan gagasan-gagasan cerdas
pengembangan sekolah. Praktek sekolah demokratis ini tentu memerlukan
pelibatan. Dalam konteks assesment kurikulum, pelibatan aspiratif
untuk
menjaring berbagai gagasan pengembangan, bisa
diajukan pada semua level sekolah. Akan tetapi dalam konteks pelibatan
siswadalam
pengembangan proses pembelajaran masih belum
secara totalitas dikembangkan secara demokratis, khususnya untuk level
sekolah dasar dan prasekolah.
Penutup
Tidak mudah memang, bila kita ingin mengubah
suatu paradigma sentralistik yang sudah cukup mengakar selama beberapa dekade.
Diperlukan waktu untuk mengubah kultur yang sudah bertahun-tahun bercokol
dalam setiap dimensi pikiran masyarakat.
Namun, apapun semua fakta itu, jadikan saja masa
lalu sebagai pelajaran sejarah yang amat berharga. Pendidikan kita sekarang
berada dalam genggaman era reformasi dengan pembaharuan yang radikal.
Landasan yuridis formal sudah sangat jelas mengatur tentang pendelegasian
otoritas pendidikan pada daerah dan mendorong otonomisasi di tingkat
sekolah. Kewenangan pemerintah saat ini adalah fasilitatif terhadap
berbagai usulan pengembangan yang digagas sekolah. Paradigma baru
pendidikan ini diharapkan dapat menjadi solusi awal dalam mengatasi
rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia yang berakibat
pada rendahnya rata-rata kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam
konteks persaingan regional dan global.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori, M. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Jakarta:
Kanisius.
Delors, J. 1998. Pendidikan Untuk Abad XX!:
Pokok Persoalan dan
Harapan. Unesco Publishing.
Ordonez, dkk. (1998). Pendidikan Dasar Untuk
Pemberdayaan Orang
Miskin. Unesco Publishing.
Postman, N. (2001). Matinya Pendidikan:
Redefinisi Nilai-nilai Sekolah.
Yogyakarta: Jendela.
Rosyada, D. 2004. Paradigma Pendidikan
Demokratis: Sebuah Model
Pelibatan Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan
Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
|