PENDAHULUAN
Selama tiga
dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah
berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak
53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah
meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004
guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu
sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu
perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan
pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan
yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di
tengah-tengah masyarakat, termasuk
yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output
pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan
kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar
pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga
muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem
pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pertama, pendidikan
cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem
persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the
dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish
sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun
aplikasinya.
Berbagai upaya
pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan
pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal
menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk
pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada
bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal
sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan
ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma
peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan
ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat
terhadap efikasi pendidikan.
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
Pembangunan
merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural,
dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara
keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah
strategis.
John C. Bock, dalam
Education and Development: A Conflict Meaning
(1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a)
memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b)
mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan
mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan
pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua
peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan
nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan
dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma
Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan
kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang
memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman
masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan
merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan
keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam
proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara
pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan.
Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang
menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki
economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan
dengan investasi dalam bidang fisik.
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi
melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan
kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan
untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan
kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang
memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini,
pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu
bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma
Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam
dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan
paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan
pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan
sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang
lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut
memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang
lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa
ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi
terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan,
program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu
sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan
tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan,
ijazah.
Paradigma
pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan
proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu
pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental
input. Jika raw-input dan instrumental input baik,
maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang
dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni
dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang
perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik.
Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah.
Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma
pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas.
Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan
sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian
dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para
pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of
growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka
pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan
inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka
pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem
persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain,
khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan
penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya
perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga
pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai
teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga
kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of
growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem
pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir
secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan
nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu
menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar
proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam
struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum
penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional
sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko
pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus
Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat
pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan:
kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk
melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai problem
pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan
nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin
disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).
Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan
menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran
pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan
paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para
penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun
metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang
pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan
bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk
memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam
kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan
formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya
perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang
disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri
memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah
tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma
fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai
penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang
pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi
di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya
pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan
ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi
sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain,
pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan
gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada
pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak
bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat,
sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma
fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu
mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga
kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak
pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan
kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of
return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak
tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma
sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran
mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana
pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk
meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu
bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun,
Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society:
An Historicaf Sosiology of Education and
Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak
mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih
tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak
keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil
menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat
bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.
Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik
Pembaharuan
pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan
pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas
masyarakat dan kultur bangsa sendiri.
Paradigma peranan
pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional,
sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas.
Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan
bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain.
Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine
of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga
pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja
pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan
sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang
diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan
kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan
perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran
pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif,
melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada
dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang
menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan
bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh.
Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan
totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian.
Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena
jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses
pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning)
dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu
struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai
individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan
merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan
bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu
proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya
pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti
bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka
lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga
ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat
pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks
menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus
melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan
dan pendidikan formal sistem persekolahan.
Dengan double
tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan
pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan
antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan
oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam
dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan
sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak
bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus
dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena
itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara
mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia
kerja.
Buku ini terdiri
atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai
dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika
Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan
"pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang
dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem
pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh
pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili
oleh sistem pendidikan Jepang.
Tulisan kedua,
membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang
yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya
akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan
harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis
dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah.
Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk
maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.
Sudah barang tentu,
desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan
akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar
mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan,
sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja
merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub
bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level
sekolah.
Pada Bab 2 dibahas
bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari
karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat
dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu
proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan
profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus
ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan
tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya
peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru
sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan
instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang
akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan
pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena
guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard
profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu
pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur.
Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri
dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan
terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin
menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan
langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.
Bab 3 menyajikan
bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari
pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di
masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk
menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan
penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang
berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat
ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena
itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula
memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler
dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus
dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar
adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya
dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan
yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan
kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal
yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan
menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok
guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru
adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan
paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya.
Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua
landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan
apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang
berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada
level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan
tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan
dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak
hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh
berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas
masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala
sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat
diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas
tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan
bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan
|