Telaah Problematika Hukum Islam di Zaman Modern
Oleh Nurcholish Madjid
Salah satu kesibukan para intelektual Muslim di seluruh dunia saat ini ialah memikirkan bagaimana menerjemahkan
nilai-nilai Islam ke dalam perangkat
nyata kehidupan modern.
Seorang Muslim yang serius
tentu menyadari, betapa ia dihadapkan pada tantangan hidup dalam suatu masyarakat modern,
yaitu suatu masyarakat yang notabene merupakan kelanjutan logis,
meskipun melalui proses transmutasi
yang amat besar,
dari berbagai unsur tatanan
dan nilai hidup yang telah pernah berkembang
sebelumnya, khusus di dunia Islam.
Ilmu pengetahuan modern, misalnya, dengan
mudah dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai kelanjutan dunia
keilmuan Islam yang pernah
berkembang dalam masanya jayanya
yang "liberal,"
ketika kaum Muslim terlatih menghargai suatu temuan pikiran dan keilmuan
baru, dan ketika wawasan mereka terbentuk karena semangat
kosmopolitanisme dan universalisme
sejati. Namun pada
saat yang sama,
karena tuntutan imannya, seorang Muslim "modern" harus
tetap berada dalam pangkuan agamanya dan dijiwai nilai-nilai asasinya.
Zaman modern, atau yang menurut Marshall Hodgson lebih
tepat dinamakan "Zaman
Teknik" (Technical Age) adalah jelas berbeda secara mendasar dari
zaman agraris sebelumnya.
Padahal agama Islam, sebagaimana halnya
dengan agama-agama besar
lain, dilahirkan dalam zaman agraris. Seperti baru saja
disebutkan di atas, ini tidaklah berarti zaman modern terputus
samasekali dari zaman sebelumnya Justru unsur kontinuitasnya dengan masa lalu sedemikian rupa
tidak mungkin diingkari, karena dasar-dasar zaman modern ini pun
diletakkan masa sebelumnya, yaitu di
zaman agraris. Suatu teori
kesejarahan dunia malah menyebutkan,
zaman agraris sebenarnya telah
mengalami perkembangan menuju ke arah kompleksitas yang tinggi pada
masa Axial Age ("Masa Aksial" atau
"Sumbu"),
yaitu masa yang terbentang selama
enam abad sejak abad kedelapan sampai abad kedua sebelum Nabi 'Isa
al-Masih as. Pada saat
itu terjadi perubahan asasi
di mana-mana, akibat
lepasnya monopoli pengetahuan
tulis baca dari tangan
kelas pendeta, menjadi tersebar di
antara berbagai kelompok
borjuis, dan karenanya watak serta kecepatan perkembangan tradisi
tulis-baca itu juga berubah.
Pada waktu yang sama,
keseluruhan tatanan geografis bagi kegiatan
bermakna kesejarahan manusia
juga mengalami
transformasi, sebab saat itu mulai menyebar, meliputi hampir
seluruh belahan bumi. [1]
Pada masa itu dengan nyata
budaya manusia mulai berkembang keluar dari inti kawasan
Nil-Amudarya (Mesir-Transoxiana)
yang menjadi inti
kawasan bumi yang berpenghuni dan
berperadaban (Arab:
al-Da'irat al-Ma'murah; Yunani: Oikoumene, "Daerah Berpenduduk").
Zaman Islam adalah zaman "Pasca-Sumbu" (Post-Axial), dan masa kejayaan Islam
merupakan puncak perkembangan
"Zaman Agraria Berkota" (Agrariante Citied Society), yaitu masyarakat
agraris dengan ciri kehidupan
perkotaan (urbanity) yang menonjol.
Adalah dalam urbanity itu
--suatu pola kehidupan sosial-ekonomi yang ditandai tingginya kegiatan ekonomi
urban dan penghargaan kepadanya,
khususnya perdagangan, dan
etos intelektual--
terletak benang merah
kontinuitas antara zaman modern dengan zaman Islam. Tapi sekali pun
zaman Islam masih sepenuhnya berada
dalam rangkaian zaman agraris
(jadi masih mempunyai kesinambungan dengan
zaman sebelumnya), perubahan yang dibawanya
sedemikian radikal dan eksplosif, sebanding dengan radikal
dan eksklusif pembebasan (futuhat) yang dilakukan kaum Muslim, pertama-tama
atas kawasan Nil-Amudarya, kemudian segera meliputi daerah yang lebih
luas, yang kurang lebih waktu itu merupakan daerah
paling maju di muka bumi.
Dengan flashback di atas, kiranya
menjadi jelas, sesungguhnya peralihan dari masa lalu yang
agraris-urban itu, ke
zaman modern sekarang, ini
tidaklah terlalu unik dalam
pandangan sejarah umat manusia. Dan disebabkan faktor peranan sejarahnya
sendiri sebagai puncak
zaman agraris urban,
maka Islam memiliki potensi
menjadi pewaris yang paling beruntung
dari zaman modern ini,
dan pelanjut serta
pengembangnya di masa depan, karena unsur-unsur asasi zaman modern itu tidak
asing bagi pandangan hidup
kaum Muslim. Jika kita ambil peristiwa Inkuisisi Kristen dalam
menghadapi ilmu pengetahuan, praktis tidak ada
hal serupa dalam Islam. Sejarah membuktikan betapa problematiknya hubungan
dogma Kristen dengan
unsur pokok modernitas, yaitu
ilmu pengetahuan, dan betapa
dalam Islam, situasi problematik itu dapat dikata tidak ada
sama sekali, bahkan sebaliknya sikap
positif terhadap ilmu pengatahuan adalah sui generis atau
tiada taranya dalam pandangan hubungan organiknya yang sejati dengan sistem
keimanan. Tapi sudah tentu
faktor kontinuitas prinsipil
bukanlah satu-satunya
perkara yang membentuk
dan menentukan sikap seseorang atau
komunitas dalam menghadapi perubahan zaman.
Berbagai pengalaman historis
yang lebih spesifik pada bangsa-bangsa Muslim
dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa Barat, khususnya
pengalaman permusuhan (antara
lain karena titik singgung keagamaan Islam-Kristen dan
ketetanggaan geografis Timur Tengah-Eropa) justru
nampak menjadi sumber problematik bangsa-bangsa Muslim
menghadapi perubahan ke zaman modern, karena adanya asosiasi (yang
tidak seluruhnya benar) antara modernisme dan westernisme.
Apalagi bangsa-bangsa Barat itu, ketika melakukan penjajahan atas
bangsa-bangsa Muslim,
jelas-jelas membawa kenangan pengalaman historis masa lampau
yang penuh permusuhan (antara lain dilambangkan dan dibuktikan dalam: bagaimana
para penjajah Spanyol menamakan kaum Muslim Mindanao sebagai
"orang-orang
Moro," sebagai kelanjutan semangat permusuhan antara orang Spanyol Kristen
dengan orang Spanyol Muslim yang
mereka sebut "orang Moro"). Adalah beberapa pengalaman historis
permusuhan ini, dan bukannya faktor kontinuitas kultural
di atas, yang
menyebabkan kebanyakan
kaum Muslim mengalami kesulitan dalam menghadapi
zaman modern. Maka,
misalnya, Turki yang
Muslim sampai sekarang masih
menunjukkan ciri dunia
ketiga yang
non-industrial, sementara Jepang
yang Buddhis justru memperlihatkan tanda-tanda Barat
dalam beberapa segi industrialnya. Kesulitan
kaum Muslim ini
di antaranya tercermin dalam
bagaimana menangani masalah reinterpretasi hukum Islam untuk
zaman modern.
MASALAH KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
Kontinuitas yang
mengisyaratkan pertahanan unsur-unsur masa lalu dan
perubahan yang mengandung makna
penggantian unsur-unsur masa lalu itu, dengan sesuatu
yang lain dengan sendirinya selalu
menimbulkan kesan pertentangan: Tapi, sebagaimana setiap
"kesan" atau "dugaan" (dhan)
tidak selamanya
mengandung kebenaran, pengamatan lebih jauh atas berbagai peristiwa besar
menyimpulkan tidak adanya kemestian pilihan hitam
putih antara kontinuitas dan perubahan. Betapa pun besarnya
suatu perubahan, sebagaimana sedikit
banyak ditunjukkan dalam pembicaraan di
atas tadi, tetap terdapat unsur-unsur persambungan tertentu dengan
masa lalu. Justru tidak jarang
esensi nilai baru dalam suatu masyarakat yang
berubah itu memperoleh pengukuhannya dan
penguatan efektifitasnya
karena mendapatkan tempat dalam sistem nilai lama yang lebih
luas, atau dapat diterangkan dalam
kerangka nilai lama yang
lebih luas itu. Inilah yang dalam jargon ilmu sosial mutakhir disebut
"modernitas tradisi".
Garis argumen itu lebih-lebih tepat, jika
dikenakan terhadap Islam dan
kaum Muslim dalam menghadapi zaman modern. Yaitu
bahwa mereka, sementara secara
imperatif mesti menerima kehidupan modern
(sebagaimana telah menjadi
kenyataan, betapapun ad hoc
dan eclectic-nya sikap
yang melatarbelakanginya)
tapi dapat bertahan dengan nilai-nilai keislamannya,
dan samasekali tidak perlu meninggalkannya. Jika hal ini
dengan sendirinya menjadi
keyakinan seorang Muslim, para pengamat luar pun mengakui adanya hal yang sama,
bahkan sering dengan nada
peneguhan dan apresiasi. Maka sosiolog terkenal Ernest
Gellner, misalnya, memiliki pandangan
tentang Islam dan kemodernan yang
mungkin membuat seorang Muslim menjadi lebih percaya
diri. Ia katakan:
Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang serius, yang
mengatasi baik tradisi kecil maupun Tradisi Besar. Tradisi Besarnya dapat
dipermodern (modernisable); dan
pelaksanaannya dapat disajikan,
tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan
dan penyempurnaan dialog lama dalam
Islam... Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam, purifikasi/modernisasi di
satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri lokal lama, dapat
dilakukan dalam bahasa dan perangkat
simbol yang satu dan sama. Versi kerakyatan lam (seperti praktek kesufian rakyat yang
tidak sah atau mu'tabarah, misalnya-NM), yang pernah menjadi alas dangkal
tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam yang dibuang, yang
dipersalahkan menyebabkan kemunduran
dan dominasi unsur asing. Karena itu meskipun tidak merupakan sumber
modernitas, Islam mungkin akan ternyata merupakan penerima manfaat
modernitas itu. Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni"
Islam bersemangat egaliter dan
keilmiahan --sementara hirarki dan ekstase (seperti dalam banyak praktek
kesufian rakyat-NM berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang bersifat
pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya ditampik- sangat membantu
adaptasi Islam ke dunia modern.
Dalam zaman cita-cita melek huruf universal, lapisan sarjana yang terbuka
(dalam Islam) dapat berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan
dengan begitu maka cita-cita "protestan" agar semua yang beriman mempunyai akses yang sama
(kepada kitab Suci-NM) akan terlaksana. Egalitarianisme modern terpenuhi.
Sementara Protestantisme Eropa hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme
melalui perluasan melek-huruf,
potensi Islam yang hangkit kembali untuk
skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu dengan nasionalisme, sehingga orang tidak
lagi mudah mengatakan mana salah
satu dari keduanya itu yang paling
bermanfaat bagi yang lain.[2]
Karena observasi dan kesimpulannya itu,
maka tidak heran menurut Ernest
Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat dengan modernitas
dibanding agama Yahudi dan Kristen.
Yaitu dipandang dari sudut
semangat Islam tentang
universalisme, skripturalisme,
egalitarianisme
spiritual, perluasan
partisipasi dalam masyarakat suci
yang meliputi semua anggotanya tanpa kecuali, dan
sistematisasi rasional kehidupan sosial.[3]
Pendapat tentang tidak
perlunya kaum Muslim
menanggalkan nilai-nilai dasar keislaman mereka untuk
dapat masuk zaman modern itu
juga dikemukakan Maxime
Rodinson, juga seorang sosiolog
(Perancis) kontemporer. Dalam
pembukaan sebuah bukunya, Rodinson mempertanyakan, "Sejauh
mana orang (Muslim) harus pergi dalam proses mencapai kemakmuran yang menggiurkan dari negara-negara industri?
Haruskah seseorang berjalan sedemikian jauhnya sehingga
mengorbankan berbagai nilai yang secara khusus
diyakini, yaitu yang
membentuk ciri tertentu, kepribadian
dan identitas kelompok
orang bersangkutan?"4.
Jawaban terhadap pertanyaan ini
diberikan pada akhir bukunya, yang oleh Leonard Binder diringkaskan, bahwa
tidaklah perlu
meninggalkan sesuatu apapun
yang secara esensial bersifat Islam, karena Islam
sesungguhnya tidak ada kaitannya
dengan lingkungan ekonomi negeri-negeri Muslim.
Karena itu Islam tidak dapat
dipandang sebagai bertanggung jawab
atas kemunduran kaum Muslim.
Dalam perkataan lain, seseorang dapat berjalan sejauh yang ia perlukan
untuk dapat mengejar
Barat tanpa mengorbankan apapun
yang esensial bagi Islam dan yang menjadi bagian integral dari
identitas kaum Muslim. [5]
MASALAH PESAN DASAR ISLAM
Ketika mengatakan Islam
tidak mempunyai sangkut paut
dengan milieu ekonomi negeri-negeri Muslim
sehingga tidak dapat dipandang, apalagi
dituduh, sebagai penyebab kemunduran negeri-negeri itu,
Rodinson menunjuk kepada kenyataan betapa masyarakat-masyarakat
Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan gejala menganut
pola ekonomi yang bermacam-macam dalam zaman yang berbeda atau
tempat yang berbeda,
maka jika kemajuan adalah suatu
"Kapitalisme"
(sebagaimana orang cenderung melihat buktinya
melalui runtuhnya sistem
sosialis atau komunis) maka
Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme itu, tanpa kehilangan sifatnya
yang paling mendasar.
Tesis Rodinson ini
terbuka untuk dipersoalkan, namun kesimpulannya yang
tegas bahwa kaum
Muslim tidak perlu meninggalkan hal-hal
yang secara esensial
bersifat Islam mendorong orang
bertanya: Lalu apa wujud dari hal-hal yang secara
esensial bersifat Islam itu? Jawabnya
adalah, hal-hal yang secara
esensial bersifat Islam
itu dengan sendirinya adalah "pesan dasar" (risalah
asasiyyah) Islam itu
sendiri. Tapi sementara frase
"pesan dasar" Islam terdengar familiar bagi setiap yang
pernah membahas masalah-masalah keislaman, namun wujud
nyatanya sendiri sering masih merupakan problem.
Meskipun problem di sini agaknya lebih banyak berurusan dengan soal kemampuan
ekspresif, bukan substantif
(orang tahu atau merasa tahu substansinya, tapi gagal
mengungkapkannya). Namun
realita menunjukkan adanya kesulitan
yang nyata. Karena suatu "pesan dasar" mengacu pada
suatu nilai yang
amat tinggi, karena itu
ada risiko abstraksi yang tinggi pula, maka dalam suatu masyarakat
yang diliputi paham
serba simbol (akibat pendidikan yang
rata-rata rendah dan
cara berpikir yang sederhana) "pesan dasar"
itu sering terkacaukan dengan hal-hal simbolik dan formal yang mewadahinya. Beragama
bagi seseorang tentu tidak akan bermakna, jika ia tidak mampu menangkap
pesan dasar itu, namun dalam kenyataan kita masih menemui diri kita, sering
tidak begitu jelas mengenai pesan dasar itu.
Tanpa berarti dukungan untuk salah satu dari Ahl
al-Dhawahir dan Ahl al-Bawathin yang
buah pikiran mereka sempat ikut mewarnai polemik-polemik dalam
khazanah literatur Islam klasik, tidak
bisa disangkal, kecenderungan banyak
orang menilai kadar keimanan orang
lain hanya dari
segi hal-hal simbolik dan
formal, merupakan indikasi
kesulitan menangkap pesan dasar agama seperti sering
dikuatirkan sementara Ahl al-Bawathin tentang orientasi
keagamaan Ahl al-Dhawahir.
Dalam Kitab Suci al-Qur'an banyak diungkapkan tentang
adanya perjanjian, persetujuan dan
kesepakatan antara Tuhan
dan manusia, yang dinyatakan dalam
kata-kata Arab sebagai abd, 'aqd
dan mitsaq. Sebuah
firman suci menyebutkan adanya perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia,
bahwa manusia tidak akan menyembah setan dan harus
hanya menyembah Allah semata.[6]. Artinya,
manusia harus menempuh hidup
bermoral, demi perkenan Tuhan (ridha
Allah), dan harus
menjauh dari penyembahan kepada
setan, dengan berbuat
hal-hal tidak bermoral
(fahsya', munkar). Perjanjian primordial itu
juga diungkapkan dalam bahasa
metaforik yang sangat
ilustratif, demikian:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil (menciptakan) dari anak cucu Adam,
yaitu dari tulang belakang mereka, keturunan mereka dan Dia minta kesaksian
mereka atau diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka mergawab: "Benar, kami bersaksi!" (Demikian itu supaya
kami tidak) berkata di hari Kiamat: "Sesungguhnya kami lupa akan hal
itu." [7]
Perjanjian itu pula
yang terjadi antara Tuhan dan Adam,
namun kemudian Adam
melupakannya dan tergoda setan, yang membuatnya diusir dari surga.[8]
Karena itu manusia diharapkan memenuhi perjanjiannya dengan
Tuhan, agar Tuhan
pun memenuhi perjanjian-Nya
dengan manusia.[9] Maka kaum
beriman sejati ialah mereka
yang memenuhi janjinya,
dengan Allah dan tidak membatalkan
kesepakatan antara dia
dan Allah itu.[l0] Sebaliknya orang
itu kafir, jika
menyalahi perjanjiannya
dengan Allah setelah perjanjian itu menjadi kesepakatan.[11]
Muhammad Asad, dengan
mengutip Zamakhsyari dalam
tafsir al-Kasysyaf,
menerangkan, perjanjian (Inggris:
covenant) antara Allah dan manusia itu, sebagaimana telah
disinggung, adalah suatu istilah
umum yang mencakup kewajiban-kewajiban moral dan sosial yang timbul
akibat iman itu, terhadap sesame
manusia. [12].
Asad juga memperjelas makna perjanjian dengan Allah (ahd
Allah), yang dalam
bahasa Inggris secara konvensional diterjemahkan dengan
God's covenant, sebagai merujuk pada kewajiban moral
manusia untuk menggunakan karunia bawaan
lahirnya --intelektual dan
fisik-- dalam suatu cara yang ditetapkan Ailah untuknya, yang antara
lain akan membawa manusia kepada
kesadaran akan dirinya berhadapan dengan Sang Maha
Pencipta.[13]. Kesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyah) yang
mendasari akhlaq mulia
itulah inti pesan dasar agama
lewat para Rasul,[l4] dan pokok perjanjian Tuhan dengan semua Nabi: "Ingatlah ketika
Kami (Tuhan) mengambil
dari para Nabi perjanjian mereka, juga dari engkau
(Muhammad) dan dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam,
dan telah Kami ambil dari mereka perjanjian yang berat." [16]
Pemenuhan perjanjian manusia dengan
Tuhannya itu melahirkan sikap hidup
bertaqwa, yaitu sikap
hidup yang penuh pertimbangan moral, atas
dasar keinsyafan mendalam,
bahwa Allah adalah Maha
Hadir, yang selamanya
menyertai dan mengawasi
tingkah laku setiap orang. [16] Maka
al-Qur'an pun disebutkan sebagai "petunjuk bagi orang-orang
yang bertaqwa." [l7]
Dengan al-Qur'an itu, Allah membimbing siapa
saja yang mengikuti
keridlaan-Nya ke berbagai jalan keselamatan.[18] Dan Nabi saw pun bersabda
bahwa "Tiada suatu apapun
yang dalam timbangannya lebih
berat daripada keluhuran
budi." [l9] Dan bahwa "Yang paling banyak
menyebabkan manusia masuk
surge ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [20]
Pesan dasar itu,
sebagai pesan Tuhan kepada
semua Nabi danRasul --dan melalui
mereka kepada seluruh
ummat manusia membentuk makna
"generik"
agama, yaitu makna
dasar dan universal sebelum
suatu agama terlembagakan menjadi bentuk-bentuk formal
dan parokial. Karena
itu, sepanjang
penjelasan al-Qur'an, agama
yang benar ialah
agama yang memiliki makna
generik itu, yang titik
tolaknya ialah sikap pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa
Arab disebut Islam).[21] Maka,
misalnya, al-Qur'an menolak
klaim kaum Yahudi atau
Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah
seorang Yahudi atau Nasrani,
sebab dalam pandangan
Kitab Suci al-Qur'an
keyahudian dan kenasranian
adalah bentuk-bentuk pelembagaan formal dan
bahkan parokial dari
suatu agama generik, yang sesungguhnya tidak
memerlukannya. Yang pertama
(Yahudi) merupakan
pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau
malah kesukuan, yaitu suku keturunan
Yehuda, anak pertama
Israil atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon
berdasarkan nama tempat (Nazaret).
Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan
formal dan parokial lainnya, ditolak
Kitab Suci, sebab agama yang benar secara asli haruslah
tidak bernama kecuali
dengan nama yang menggambarkan semangat
makna generik kebenaran itu
sendiri, yaitu, dalam bahasa Arab, Islam (Sikap Pasrah dan Damai kepada
Allah). Karena itu
al-Qur'an menegaskan, Ibrahim
adalah seorang hanif; yaitu seorang yang karena
bimbingan kesucian
dirinya sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan pemihakan yang
murni kepada yang
benar dan baik
secara generik, asli dan
sejati. Juga ditegaskan, Ibrahim adalah seorang Muslim (yang
pasrah dan damai
kepada Allah).[22]
Demikianlah Nabi Ibrahim, dan demikian pula dengan semua Nabi, termasuk
Musa dan Isa (Yesus, setelah lewat proses
pengalihan nama itu dalam
bahasa Yunani), semuanya
adalah tokoh-tokoh yang muslim
dan mengajarkan islam
[23]. (sekalipun tidak berarti para
Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan Arab
yang berbunyi m-u-s-l-i-m dan
i-s-l-a-m, karena justru kebanyakan para Nabi bukanlah
orang-orang Arab). Mereka adalah muslim dan mengajarkan islam dalam
arti, semuanya bersikap pasrah dan berdamai dengan Allah dan membawa
pesan dasar yang sama, yaitu agar manusia tunduk patuh kepada-Nya melalui
sikap pasrah dan berdamai, dan dengan jalan menempuh hidup bermoral.
PRINSIP KEADILAN (SOSIAL)
Pada pokoknya pesan
dasar ini, yang meliputi perjanjian dengan Allah ('ahd, aqd, mitsaq di atas),
sikap pasrah kepada-Nya (islam) dan
kesadaran akan kehadiran-Nya dalam hidup (taqwa, rabbaniyyah),
adalah universal, berlaku
untuk semua ummat manusia, dan
tidak terbatasi oleh
pelembagaan formal
agama-agama. Sebagai hukum dasar dari Tuhan, pesan dasar ini, bahkan meliputi
seluruh alam raya ciptaan-Nya ini, di mana manusia
hanyalah salah satu bagian saja.
Ketika pesan dasar itu menuntut terjemahannya dalam
tindakan sosial nyata, yang
menyangkut masalah pengaturan tata hidup manusia dalam hubungan
mereka satu sama lain dalam masyarakat, maka tidak
ada manifestasinya yang
lebih penting daripada nilai
keadilan. Karena itu
tindakan menegakkan keadilan ditegaskan sebagai nilai yang paling mendekati taqwa.[24]
Dan sebagai wujud terpenting pemenuhan perjanjian dengan Allah dan
pelaksanaan pesan dasar
agama, maka ditegaskan,
menegakkan keadilan dalam masyarakat adalah
amanat Allah kepada manusia.[25]
Keadilan yang dalam
bahasa Kitab Suci
dinyatakan dalam kata-kata
'adl, qisth, wasth (semuanya
memiliki makna dasar "tengah" atau
"jujur") adalah
wujud lain hukum keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan Allah untuk
seluruh jagad raya.
Sesungguhnya, dari sudut
pandangan kosmologi al-Qur'an, keadilan adalah hukum primer
seluruh jagad raya. Maka keadilan adalah
aturan kosmis (cosmic
order), yang pelanggaran terhadapnya dapat
dilukiskan secara metaforik sebagai mengganggu atau
"mengguncangkann tatanan jagad raya.
Inilah yang antara lain
dapat kita ambil pengertiannya dari firman Allah:
Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan (hukum) keseimbangan.
Hendaknya kamu tidak melanggar (hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah
olehmu semua akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak merugikan
(hukum) keseimbangan.[26]
Beberapa tafsir dan terjemah
konvensional
menerangkan, yang
dimaksud dengan mizan
dalam firman itu
ialah neraca yang dikenal. Tentu saja tidak terlalu salah. Tapi
dalam kaitannya dengan penciptaan
Allah akan jagad raya, yang dalam firman ini dilambangkan sebagai
penciptaan langit yang
"ditinggikan" oleh-Nya,
maka lebih tepat
memandang perkataan mizan
ini, dalam makna kosmologisnya, yaitu
seluruh jagad raya ini berjalan mengikuti hukum keseimbangan.
Bahkan neraca yang kita kenal dan tampak bekerja secara "sederhana" itu
pun adalah suatu gejala
kosmis, karena keseimbangan dalam sebuah neraca adalah kelanjutan
dari hukum keseimbangan yang
lebih luas (yang menguasai seluruh
alam), misalnya, melalui
hokum gravitasi.
Dari sudut pandangan inilah kita memahami mengapa banyak para 'ulama', dalam
hal ini khususnya Ibn Taymiyyah, sedemikian tegas
dan jauh berpegang pada prinsip keadilan
itu sebagai ideatum tatanan
sosial manusia yang akan
menjamin kekokohan dan kelangsungannya. Sedemikian rupa
jauhnya pandangan Ibn Taymiyyah, sehingga ia
menguatkan pandangan bahwa "Sesungguhnya Allah akan
menegakkan negeri yang adil meskipun
kafir, dan tidak
akan menegakkan negeri yang zalim meskipun Islam," dan
"Dunia akan bertahan
bersama keadilan dan kekafiran, dan tidak akan bertahan lama bersama
kezaliman dan Islamn" [27]
Dengan pernyataannya yang tidak biasa itu, Ibn Taymiyyah hanya
bermaksud agar ummat Islam tidak taken for granted dalam
hal keislaman. Keislaman yang formal
saja tidak akan
membawa keselamatan di dunia
ini, khususnya dalam arti sosial, jika tidak disertai keadilan.
Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat adalah kafir
namun menegakkan keadilan
di dunia ini, maka masyarakat itu akan tegak, didukung Allah. Sebab,
sama dengan yang telah dijelaskan di
atas, keadilan adalah "tatanan segala sesuatu" (nidham-u
kull-i syay) [28],
yakni, suatu cosmic order yang
menjadi hukum Tuhan, atau
Sunnatullah yang tidak tergantung kepada keinginan seseorang (obyektif) dan
berlaku universal, di segala
tempat dan masa, sehingga tidak akan berubah
(immutable).
BEBERAPA CONTOH PEMIKIRAN KONTEMPORER FIQH
Kita telah
pergi sejauh yang
diperlukan, untuk membahas masalah-masalah pokok
yang mendasari pemikiran kontemporer tentang fiqh.
Berbagai pemikiran mutakhir
tentang fiqh menegaskan perlunya
kesadaran akan pesan dasar Islam sebelum suatu hukum atau
hukuman dilaksanakan. Kesadaran
itu dapat disebut sebagai
karakteristik pemikiran fiqh dan hukum Islam di zaman modern. Di
sini akan dikemukakan contoh
pemikiran para
intelektual Islam mutakhir,
dari tiga tokoh
yang representatif, yaitu Fat'hi 'Utsman (pemimpin redaksi majalah Islam internasional Arabia
yang terbit di London), Muhammad Asad (salah seorang arsitek
dan pemikir konstitusi Negara Islam Pakistan), dan Ahmad Zaki Yamani (yang pernah
menjabat Menteri Perminyakan Saudi Arabia
dan tokoh OPEC
yang amat terkenal).
Fatthi 'Utsman menegaskan, suatu
hukum, termasuk yang ada dalam
al-Qur'an dapat dilaksanakan hanya setelah ditegakkannya keadilan sosial
dan tatanan kemasyarakatan yang
menjamin anggotanya untuk tidak melanggar ketentuan
yang ditetapkan.
Kami kutipkan dan
terjemahkan sepenuhnya pendapat
Fat'hi 'Utsman yang relevan, dari bukunya, al-Din li al-Waqi' (Agama untuk Realita):
Keadilan Sosial sebelum
hukuman. Allah menerangkan dalam Kitab-Nya berbagai hukuman
kejahatan (had) seperti, misalnya,
hukum bunuh (qishash)
untuk kejahatan pembunuhan, potong tangan untuk pencurian, dan
lain-lainnya. Wajar bahwa
Islam menempuh jalan penetapan hukum-hukum setelah ditempuhnya jalan
pengarahan pikiran melalui aqidah dan pendidikan tingkah laku melalui prinsip
tabadul. Tapi penetapan
hukum Islam tidak pernah disebut
kecuali mesti timbul
dalam pikiran orang, gambaran yang
mengerikan tentang tangan-tangan buntung dan jasad-jasad
berserakan. Sedangkan yang sebenarnya ialah
bahwa rahmat Allah untuk
sekalian alam tidaklah menetapkan hukuman, kecuali sesudah ditempuh jalan
proteksi, sama dengan
yang dikatakan Francis Aveling dalam bukunya ilmu Jiwa Klasik
dan Modern, "Kalau tujuan kita
ialah kebaikan masyarakat, maka tujuan hukuman
haruslah proteksi. Dan cara apapun yang dapat merealisasikan tujuan
ini harus dipandang sebagai wajar dari sudut pandangan sosial.
Jadi jika kita
dapat mencegah sebab-sebab
dan situasi yang mendorong
kejahatan, baik yang berasal dari
lingkungan atau pun dari
pribadi sendiri, maka itulah cara yang ideal yang kita wajib
menggunakannya."
Dalam praktek memang telah terjadi berbagai usaha ke arah ini melalui berbagai pengabdian
sosial. Tapi kalau seandainya seluruh situasi yang berkaitan dengan lingkungan telah tersedia dengan
sebaik-baiknya, maka tentulah yang tersisa bagi kita ialah memikirkan
sebab-sebab individual yang mendorong orang untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran.
Dari sini kita melihat, Islam ketika menetapkan pelaksanaan qishash dalam kejahatan
pembunuhan, ia bersama itu juga menetapkan langkah-langkah yang menjamin
hilangnya dorongan-dorongan permusuhan
golongan, kelompok atau perbedaan tingkat sosial.
Dan ketika menetapkan hukuman potong tangan pencuri, maka Islam
tidaklah melakukan hal itu sebelum tegaknya hak-hak hidup pribadi dan
mantapnya tanggung Negara untuk menjamin hak-hak pribadi itu. Dan ketika
Islam menetapkan hukum rajam atau cambuk atas pezina, maka sesungguhnya ia
juga menetapkan kemudahan jalan perkawinan dan melindungi bagian-bagian
privat dari tubuh dengan menutup aurat dan menjaga penglihatan mata, serta
melarang khalwat (kencan seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan
muhrim, namun tanpa muhrim perempuan itu). Jadi pengaturan sosial berjalan
seiring atau mendahului penetapan hukuman kejahatan.[29]
Lebih runtut lagi adalah jalan
pikiran dan garis
argument Muhammad Asad. Dalam
memberi penjelasan tentang makna
yang lebih mendasar di balik hukuman yang amat keras bagi
pencuri (potong tangan), Asad membuat uraian panjang lebar. (Di
sini kami kutipkan seluruh uraian
itu, namun maaf
tidak sempat menerjemahkan):
The extreme severity of this Qur'anic punishment can be understood only
if one bears in mind the fundamental
principle of Islamic Law that no duty (taklif) is ever imposed on man without his being granted
a coresponding right (haq); and the
term "duty" also comprises, in this context, liability to
punishment. Now, among the
inalienable rights of every member of the Islamic society --Muslim and non-Muslim alike--
is the right to protection (in
every sense of the word) by the
community as a whole. As is evedent from innumerable Qur'anic ordinances as well as the
Prophet's injuctions forthcoming
from authentic Traditions, every citizen is entitled to a share in the community's
economic resources and thus, to the
enjoyment of social security: in
other words, he or she must be assured of
an equitable standard of living commensurate with the resource at the disposal of the
community. For, although the Qur'an
makes it clear that human life
cannot be expressed in terms of physical existence alone --the ultimate values of life
being spiritual in nature-- the
believers are not entitled to look upon
spiritual truths and values as something that could be divorced from the physical and social
factors of human existence. In
short, Islam envisages and demands a
society that provides not only for the spiritual needs of man, but for his bodily and
intellectual needs as well. It
follows, threfore, that --in order to be truly Islamic-- a society (or a state) must be
so constituted that every
individual, man and woman, may enjoy that
minimum of material well-being and security without which there can be no human dignity, no
real freedom and, in the last
resort, no spiritual progress: for,
there can be no real happiness and strength in a society that permits some of its members
to suffer undeserved want while
others have more than the need.
If the whole society suffers
privations owing to circumstances
beyond its control (as happened, for
instance, to the Muslim community in the early days of Islam), such shared privations may
become a source of spiritual
strength and, through it, of future
greatness. But if the available resources of a community are so unevenly distributed
that certain groups within it live
in affluence while the majority of
the people are forced to use up all their energies in search of their daily bread, poverty
becomes the most dangerous enemy of
spiritual progress, an occasionally
drives whole communities away from
God-consciousness and into the arms of soul-destroying materialism. It was undoubtedly this
that the Prophet had in mind when
he uttered the warning woeds (quoted
by al-Suyuti in al-Jami al-Saghir), "Proverty may well turn into a denial of the truth
(kafr)." Consequently, the
social legislation of Islam aims at a state of affair in which every man, woman and
child has (a) enough to eat and
wear, (b) an adequate home, (c) equal
opportunities and facilities for education, and (d) free medical care in health and
sickness. A corollary of these
rights is the right to productive and
remunerative work while of working age and in good health, and a provision (by the community
or the state) of adequate
nourishment, shelter, etc. in cases of
disability resulting from illness, widowhood, enforeced enemployment, old age, or under-age. As
already mentioned, the communal
obligation to create such a
comprehensive social security scheme has been laid down in many Qur'anic verses, and has been
amplified and explained by a great
number of the Prophers commandments. It was the second Caliph,
Umar ibn al-Khattab, who began to
translate these ordinances into a
concrete administrative scheme (see Ibn Said, Tabagat, III/1. 213-217); but after his
premature death, his successors had
either the vision nor the
statemanship to continue his unfinished work.
It is against the background of this social security scheme envisaged by Islam that the
Qur'an imposes the severe sentence
of hand-cutting as a deterrent
punishment for robbery. Since, under the circumstances outlined above, "temptation"
cannot be admitted as a justifiable
excuse, and since, in the last resort, the
entire socioeconomic system of Islam is based on the faith of its adherents, its balance is
extremely delicate and in need of
constant, strictly enforced
protection. In a community in which everyone is assured of full security and social justice, any
attempt on the part of an
individual to achieve an easy, unjustified
gain at the expense of other members of the community must be considered an attack against the
system as a whole, and must be
punished as such: and, therefore,
the above ordinance which lays down that the hand of the thief shall be cut off. One must,
however, always hear in mind the
principle mentioned at the beginning
of this note: namely, the absolute interdependence between man's right and corresponding
duties (including liability to
punishment).
In a community or state which
neglects or is unable to provide complete social security for all its members, the
temptation to enrich onself by
illegal means often becomes irresistible
--and, consequently, theft cannot and should not be punished as severely as it should be
punished in a state in which social
security is a reality in the full
sense of the woed. If the society is unable to fulfil its duties with regard to everyone of
its memebers, it has not right to
invoke the full sanction of criminal
law (had) against the individual transgressor, but must confine itself to milder forms of
administrative punishment. (Its was
in correct appreciation of this
principle that the great Caliph Umar waived the had of handcutting in a period of famine which
afflicted Arabia during his reign.)
To sum up, one may safely conclude
that the cutting-off of a hand in punishment for theft is applicable only within the
context of an already existing
fully-functioning social security
scheme, and in no other circumstances.[30]
Fiqh sangat erat kaitan
dengan Syari'ah, jika bukannya malah identik (seperti
menurut pengertian kebanyakan orang). Ahmad Zaki Yamani,
dalam sebuah risalahnya yang
terkenal, memperjelas
persoalan Syari'ah itu
dalam kaitannya dengan hasil
karya para ulama terdahulu yang secara
keseluruhannya biasanya
dipandang sebagai korpus
Hukum Islam. Perhatikanlah bagaimana Yamani menegaskan, hasil
pemikiran
("fiqh" dalam
arti asalnya) para
ulama dalam kitab-kitab itu
baginya tidaklah mengikat,
karena pemikiran itu
tidak lepas dari tuntutan zaman
dan tempat yang
lebih spesifik, yang belum tentu cocok dengan tuntutan zaman kita
sekarang. Sama dengan yang di
atas, di sini kami kutipkan sepenuhnya uraian Yamani (namun, sekali
lagi, maaf tidak sempat menerjemahkannya):
The Islamic Shari'a as a phrase has two scope of meanings. Generally and
widely construed, it denotes everything that has been written by Moslem
jurist throughout the centuries,
whether it dealt with
contemporaneous issues of the time or in anticipation of future
ones. The jurists derived their principles
from the Qur'an and the Sunnah (way of action and the opinions of the Prophet), and from the
other sources of Shari'a such as
Ijma' (the consensus of the community
represented by its scholars and learned men), and public interest considerations. The
Shari'a, looked upon in this wide
scope, constitutes a huge Juristic
tradition the value of which depends on the individual jurist himself, his era, or even the
particular problem confronting him.
As such the system has a tremendous
scholastic value to the Moslem, however, it has no binding authority; since within it one
might find different, and sometimes
contradictory principles resolving
the same issues depending on the Juristic
school that propagated the principle. Furthermore, it cannot have a binding authority since
circumstances that brought about a
certain principle might not be in
existence any more, and surely we cannot maintain that previous Moslem Jurists have anticipated
all our existing contemporary
problems. Yet, as I said before in
this wide sense, one cannot deny the Shari'a scholastic value as an elaborate system
of deduction which should be relied
upon for future derivations of
principles.
Construed narrowly, the Shari'a is confined to the undoubted principles of
the Qur'an, to what is true and
valid of the Sunna, and the consensus of the community represented by its sholars and learned
men during a certain period and
regarding a particular problem,
provided such consensus was possible. Viewed as such, the Shari'a has a binding authority on
every Moslem, and he is obligated
to follow and employ it to solve his
affairs ...
The importance of differentiating between the wide and the narrow scope of
Shari'a is evident in countries that
fully implement the system, such as the Kingdom of Saudi Arabia. As I explained earlier, not
all the principles of Shari'a in its
wider sense are of a binding
authority, because of certain inherent
difficulties in attempting to harmonize some of them. Furthermore, one cannot choose one
juristic school for implementation
to the exclusion of all others, which
was done in the past, since as a logical consiquence on would have to maintain the princiles of
the other schools are not valid, or
at least, are not worthy of being
followed.
According to the well-known Shari'a principle "the validity of that on which there is a
difference can be questioned, but
not the validity of that on which there
is consensus," it becomes imperative ... to adopt the narrow meaning of Shari'a, confined to
the Qur'an, the Sunna, and
consensus, then, select principles from the various juristic schools with no
exceptions, the criterion being
what is more appropriate to the needs
of that particular country. Such countries could legislate new solutions for novel
problems, deriving such solutions
from the general principles of the
Shariia and considerations of public interest and communal welfare. [31]
Bagi Yamani prinsip public
interest atau kepentingan umum adalah sangat
fundamental. Berkaitan dengan
prinsip ini, dengan merujuk
kepada kitab Thabaqat al-Hanabilah oleh
Ibn Rajab, Yamani mengutip,
dengan implikasi sebuah dukungan, pendapat yang
ekstrim dari Imam
al-Tuff yang diduga
dari madzhab Hanbali (tapi
juga ada yang menduganya bermadzhab Syi'ah), yang
mengatakan bahwa kepentingan umum mengatasi
dan mendahului ketentuan tekstual,
sekalipun dari al-Qur'an dan Sunnah. Maka
jika terdapat pertentangan pertimbangan kepentingan umum
di satu pihak, dan ketentuan
tekstual atau nas di pihak lain, al-Tufi berpendapat bahwa kepentingan umum itu
harus dimenangkan, betapapun
absahnya sebuah nas. Ia berpandangan bahwa kepentingan umum
itulah yang menjadi maksud dan
tujuan Maha Hakim (Allah), sedangkan ketentuan
tekstual yang diwahyukan dan sumber-sumber lainnya hanyalah
perantara untuk mencapai
tujuan itu, dan tujuan harus selalu mendahului perantaraan atau cara.[32]
Lebih jauh, Yamani mengritik
sebagian kaum Orientalis yang tidak memahami Syari'ah dan
mencampuradukkan dua unsurnya yang berbeda
namun tidak terpisah,
yaitu hukum-hukum keagaman ('ibadat) dan
hukum-hukum kegiatan manusia
dalam hidup keduniaan (mu'amalat):
The religious essence and value of the Shari'a must never be
overestimated. Many Western Orientalists who wrote about Shari'a failed to distinguish
between what is purely religious and
the principles of secular
transactions. Though both are derived from the same source, the
latter principles have to be viewed as a
system of civil Iaw, based on public interest and utility, and therefore always evolving to
an ideal best... The Prophet
himself had set precedence for this
religious-secular relationship when he said "I am only human, if I order something pertaining to
your religion comply, if I order
something of my opinion consider it
in the light that I am only human." Or when he said, "You know better about your civil
non-religious matters." [33]
PENUTUP
Dari seluruh uraian di
atas dapatlah disimpulkan, fiqh
dan sistem hukum Islam
memiliki kesempatan besar untuk diterapkan dalam zaman modern. Tetapi prasyaratnya ialah,
kaum Muslim harus mampu
terlebih dahulu menangkap pesan
dasar agamanya, dan berdasarkan itu, mengembangkan pemikiran hukum yang
akan menjawab tuntutan zaman
dan tempat. Halangan terbesar
bagi kemungkinan itu datang
dari sikap-sikap dogmatic dan literalis, yang
kini masih banyak melanda kaum
Muslim. Tapi dengan bekal inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang
lebih baik tentu
dapat diciptakan, sehingga akan terbukti ramalan
Gellner: Kaum Muslim
adalah penarik manfaat
yang sebenarnya dari modernitas.
CATATAN
1.
Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The
University of Chicago Press, 1974), jil. 1, h. 108.
2. Only Islam survives as a serious
faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be
presented, not as an innovation or concession to oursiders, but rather as
the continuation and completion of and old dialogue within Islam... Thus in
Islam, and only in Islam,
purification modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local
identity on the other, can be done
in one and the same language and set
of symbols. The old folk version, once a shallow of the central tradition now
becomes a repidiated scapegoat, blamed for retardation and foreign domination. Hence, though not the source
of modernity, Islam may yet turn out
to be its beneficiary. The fact
that its central, official, "pure" variant was egalitarian and scholarly, whilst
hierarchy and ecstaasy pertained to
its expendable, eventually disavowed,
peripheral forms, greatly aids its
adaptation to the modern world. In an age of aspiration to universal literacy, the open class of
scholars can expand towards
embracing the entire community, and thus
the 'protestant' ideal of equal access for all believers can be implemented. Modern
egalitarianism is satisfied. Whilst
European Protestantism merely
prepared the ground for nationalism by furthering literacy, the reawakened Muslim
potential for egalitarian
scripturalism can actually fuse with
nationalism, so that one can hardly tell which one of the two is of most benefit to the other.
(Ernest Gallner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), h. 4-5).
3. By various obvious criteria
--universalism, scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension of full participation in the sacred
community not to one, or some, but to all, and the rational systematisation
of social life-- Islam is, of the three
great Western monotheisms, the one closest to modernity. (Gallner, h. 7).
4. Maxime Rodinson, Islam and
Capitalism., terjemahan dari Perancis oleh Brian Peace (Austin: University
of Texas Press, 1978), h. 1.
5. Leonard Binder, Islamic Liberalism
(Chicago: The University of Chicago Press, 1988), h. 211.
6. Lihat QS. Yasin/36:60
7. QS. al-A'raf/7:172.
8. Lihat QS. Thaha/20:115.
9. Lihat QS. al-Baqarah/2:40.
10. Lihat QS. al-Ra'd/13:20.
11. Lihat QS. al-Ra'd/13:25.
12. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (London:E.J.
Brill, 1980), h.363, catatan 42.
13. Ibid., h. 7-8, catatan 21.
14. Lihat QS. Ali Imran 3:79.
15. QS. al-Ahzab/433:7.
16. Lihat QS. al-Hadid/57:4.
17. Lihat QS. al-Baqarah/2:2.
18. Lihat QS. al-Ma'idah/5:16.
19. Bulugh al-Maram, hadits No. 1551.
20. Ibid., hadits No. 1561.
21. Lihat QS. Ali Imran 3:19 dan 85.
22. "Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani,
melainkan seorang hanif (lurus kepada kebenaran), dan seorang muslim
(pasrah kepada Tuhan), dan tidaklah dia termasuk mereka yang musyrik.
Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim ialah mereka yang
benar-benar mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) serta mereka yang beriman.
Allah adalah pembimbing kaum beriman
itu." (QS. Ali Imran/3:67-68).
23. Terdapat banyak penegasan, langsung dan tidak langsung,
berkenaan dengan keislaman para Nabi. Suatu penegasan bahwa semua penganut
agama (yang benar secara generik, hanif) menyembah Tuhan yang sama, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa, dan bersikap
pasrah kepada-Nya (Islam). Secara umum dapat disimpulkan dari firman Allah
tentang sikap anak turun Ya'qub
Israil): "Adakah kamu menjadi saksi ketika maut datang kepada Ya'qub,
ketika ia bertanya anak-anaknya: 'Apa yang kamu sembah sesudahku?' Mereka menjawab: 'Kami
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan
kami semua pasrah (muslimun) kepada-Nya.'" (QS. al-Baqarah 2:133).
Setiap orang yang dikaruniai Allah pangkat kenabian pasti menyeru manusia agar berkesadaran
Ketuhanan (Rabbaniyyun) dan tidak
akan menyimpang dari garis lurus itu
setelah para pengikutnya benar-benar menjadi kaum yang pasrah kepada-Nya
(muslimun): "Tidak pernah
terjadi pada seorang manusia yang kepadanya Allah mengaruniakan kitab suci,
ajaran kebenaran (hukum) dan
kenabian kemudian berkata kepada orang banyak: 'Jadilah kamu semua
hamba-hamba bagiku, bukan bagi
Allah!' Melainkan (ia tentu berkata): 'Jadilah kamu orang-orang yang
berkesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyun) berdasarkan kitab suci yang kamu ajarkan
dan berdasarkan yang kamu sendiri pelajari.' Dan ia (Nabi itu) tidak
menyuruh kamu agar kamu mengambil para malaikat dan para Nabi yang lain
sebagai tuhan-tuhan. Apakah patut ia
menyuruh kamu menjadi kafir sesudah kamu semua menjadi orang-orang yang pasrah
(muslimun)?" (QS. Ali Imran/3:79-80).
24. Lihat QS. al-Ma'idah/5:8.
25. Lihat QS. al-Nisa/4:58.
26. QS. al-Rahman/55:7-9.
27. Ibn Taymiyyah, dalam risalahnya, al-Amr bin al-Ma'ruf wa
al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab a-jadid, 1396 H/1976 M), h. 40.
28. Ibid.
29. Fat'hi Utsman, al-Din li al Waqi' (Kuwait: al-Dar
al-Kuwaytiyyah, tt.), h.91-92.
30. Muhammad Asad, h. 149-150, catatan 48.
31. Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary Issues
(Jeddah: The Saudi Publishing House 1388 H), h. 6-7).
32. Ibid., h. 10-11.
33. Ibid., h. 13-14.
Kliping Artikel Pasted From :
|