Berdasarkan berbagai
keterangan dalam Kitab Suci dan
Hadits Nabi, dapatlah dikatakan bahwa
shalat adalah kewajiban peribadatan (formal)
yang paling penting
dalam system keagamaan Islam.
Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan shalat
(iqamat al-shalah, yakni
menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa
kebahagiaan kaum beriman adalah
pertama-tama karena shalatnya yang dilakukan dengan
penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi saw. menegaskan, "Yang pertama
kali akan diperhitungkan tentang seorang
hamba pada hari
Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya;
dan jika rusak, maka rusak pulalah
seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi, "Pangkal
segala perkara ialah al-Islam
(sikap pasrah kepada Allah), tiang
penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan
di jalan Allah." [3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang pentingnya shalat
yang kita dapatkan
dalam sumber-sumber agama,
tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik mungkin. Berdasarkan berbagai
penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati
semua bahan ajaran
dan tujuan keagamaan. Dalam shalat itu kita mendapatkan
keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah)
kepada Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, dan melalui
shalat itu kita
memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada
nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai tujuan pada
dirinya sendiri dan makna
instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram) Kedua makna itu,
baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan dalam
keseluruhan shalat, baik
dalam unsur bacaannya maupun
tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih,
shalat dirumuskan
sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan
tindakan-tindakan
tertentu yang dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup
dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah),
dengan runtutan dan tertib
tertentu yang diterapkan oleh
agama Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala
tindakan dan tingkah
laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai
peristiwa menghadap Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan
suatu pernyataan formal seseorang membuka
hubungan diri dengan Tuhan
(habl-un min-a 'l-Lah), dan mengharamkan
atau memutuskan diri
dari semua bentuk hubungan
dengan sesama manusia
(habl-un min al-nas - "hablum minannas"). Maka makna
intrinsik shalat diisyaratkan dalam arti
simbolik takbir pembukaan
itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia
oleh Allah agar mereka menghamba
kepada-Nya, maka wujud
simbolik terpenting
penghambaan itu ialah
shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap menghadap Allah.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan dengan
membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah),
yaitu bacaan yang artinya,
"Sesungguhnya aku
menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh langit
dan bumi, secara hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan
kebenaran) lagi muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan
Benar itu), dan aku
tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan,
"Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh
alam raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku termasuk mereka yang pasrah
(muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat
itu seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan vertikal
dengan Allah, dan
tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah
ide dasar dalam
takbir pembukaan
sebagai takbirat al-ihram.
Karena itu, dalam literatur kesufian berbahasa
Jawa, shalat atau
sembahyang dipandang sebagai
"mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup), karena memang kematian
adalah panutan hubungan
horizontal sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan
"hari pembalasan"
tanpa hubungan horizotal seperti
pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang
sedang melakukan shalat
hendaknya menyadari
sedalam-dalamnya akan posisinya
sebagai seorang makhluk yang
sedang menghadap Khaliknya, dengan
penuh keharuan,
kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat
mungkin ia menghayati kehadirannya di
hadapan Sang Maha Pencipta itu sedemikian rupa
sehingga ia "seolah-olah
melihat Khaliknya"; dan
kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya
bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan makna ihsan
seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits. [8] Karena
merupakan peristiwa menghadap
Tuhan, shalat juga sering dilukiskan sebagai mi'raj
seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah
secara langsung di Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan
salah satu makna yang amat
penting ibaratnya, yaitu
penginsyafan diri akan adanya
Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan
dalam Kitab Suci, seperti, misalnya: "Dia (Allah)
itu beserta kamu
di manapun kamu berada, dan Allah Maha teliti akan segala sesuatu
yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia
senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan
sedalam-dalamnya akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam
perintah kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di
Sinai: "Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku.
Maka sembahlah olehmu akan
Daku, dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku!" [10] Dan
ingat kepada Allah yang dapat
berarti kelestarian hubungan yang
dekat dengan Allah
adalah juga berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir
hidup di dunia ini,
yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11]
Maka dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha
Esa adalah "Sangkan-Paraning
hurip" (Asal dan
Tujuan hidup), bahkan "Sangkan-Paraning dumadi"
(Asal dan Tujuan semua makhluk). Keinsyafan
terhadap Allah sebagai
tujuan akhir hidup tentu akan
mendorong seseorang untuk
bertindak dan berpekerti sedemikian rupa
sehingga ia kelak akan
kembali kepada Allah dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah
mardliyyah).
Oleh karena manusia
mengetahui, baik secara naluri maupun logika, bahwa Allah
tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu yang tidak
benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah
ialah yang benar dan baik
pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang asal-muasalnya ditunjukkan dan
diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan
menerangi), yang merupakan pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber
dorongan suci manusia menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah
makhluk yang sekalipun pada
dasarnya baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak
selalu mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan
nyatanya dengan hidup sehari-hari.
Sering kebenaran itu
tak Nampak padanya karena
terhalang oleh hawa
nafsu (hawa al-nafs, kecenderungan diri sendiri) yang
subyektif dan egois sebagai akibat dikte
dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena itu dalam usaha
mencari dan menemukan
kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan
hati dan keikhlasannya, yaitu sikap batin yang
murni, yang sanggup
melepaskan diri dari dikte kecenderungan diri
sendiri atau hawa
nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat
seseorang membaca surat al-Fatihah --yang
merupakan bacaan terpenting dalam ibadat itu-- kandungan
makna surat itu yang terutama
harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada
Allah agar ditunjukkan jalan yang
lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu setelah didahului
dengan pernyataan bahwa
seluruh perbuatan dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada
Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan
dan panjatan pujian
kepada-Nya sebagai pemelihara seluruh alam
raya (hamdalah), Yang
Maha Pengasih (tanpa pilih
kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha Penyayang (kepada kaum beriman
di akhirat kelak
-al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan
pengakuan terhadap Allah
sebagai Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang
akan berdiri mutlak sebagai
pribadi di hadapan-Nya selaku
Maha Hakim, dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan
menghamba kecuali kepada-Nya saja
semurni-murninya, dan juga
hanya kepada-Nya saja
kita memohon pertolongan karena
menyadari bahwa kita sendiri
tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati
bahwa kita tidak
menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta
dalam penegasan bahwa
hanya kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan oleh Ibn
'Atha' Allah al-Sakandari, kita
berusaha mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke
arah jalan yang benar.
Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa kita tidak dibenarkan
mengarahkan hidup ini
kepada sesuatu apapun selain
Tuhan, dan ketulusan
berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan
kemampuan diri menemukan
kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan
yang benar itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada
Allah bahwa Dia akan
mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat yang sama juga ada
kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat
kita tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita
terkalahkan oleh kelemahan kita yang
tidak dapat melepaskan diri dari kungkungan kecenderungan diri
sendiri."Harap-harap cemas" itu merupakan indikasi kerendahan
hati dan tawadlu', dan sikap itu merupakan pintu bagi masuknya karunia
rahmat llahi: "Berdoalah kamu kepada-Nya dengan kecemasan
dan harapan! Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat
kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan
Allah "nothing is
taken for granted," termasuk perasaan
kita tentang kebaikan dan
kebenaran dalam hidup nyata sehari-hari.
Artinya, apapun perasaan,
mungkin malah keyakinan kita
tentang kebaikan dan kebenaran yang kita miliki harus senantiasa terbuka
untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu
adalah "kecemasan."
Jika tidak begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan yang tanpa
kecemasan samasekali adalah
sikap kepastian diri yang mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut
sesat pada waktu ia yakin
berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya ia menempuh jalan yang
keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya" tidak akan
sampai kepada tujuan,
meskipun, menurut Ibn Taymiyyah, masih sedikit lebih baik
daripada orang yang memang tidak
peduli pada masalah moral dan
etika; orang inilah yang mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah ialah jalan hidup mereka terdahulu
yang telah mendapat karunia kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka
yang terkena murka, dan bukan
pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga mengisyaratkan adanya
kewajiban mempelajari dan belajar dari sejarah, guna menemukan jalan
hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat
merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum
beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu,
dimulai dari dini
hari (Subuh), diteruskan ke
siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar), lalu sesaat setelah
terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya di malam
hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah
agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja
(Dhuhur) dan, lebih-lebih lagi, saat kita
"santai"
sesudah bekerja (dari Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru
saat santai itulah biasanya dorongan dalam
diri kita untuk
mencari kebenaran menjadi lemah, mungkin malah kita
tergelincir pada gelimang kesenangan dan
kealpaan. Karena itulah
ada pesan Ilahi
agar kita menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah,
yaitu Ashar, [15] dan agar kita mengisi waktu luang
untuk bekerja keras mendekati Tuhan.[16
Sebagai kewajiban pada
hampir setiap saat,
shalat juga mengisyaratkan
bahwa usaha menemukan jalan
hidup yang benar juga harus dilakukan setiap saat, dan harus
dipandang sebagai proses tanpa berhenti.
Oleh karena itu
memang digunakan metafor "jalan," [17]
dan pengertian "jalan" itu
dengan sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam sistem ajaran
agama, manusia didorong untuk
selalu bergerak secara dinamis, sedemikian rupa
sehingga seseorang tidak diterima untuk menjadikan
keadaannya tertindas di suatu negeri atau tempat sehingga ia tidak mampu
berbuat baik, karena
ia toh sebenarnya dapat
pergi, pindah atau bergerak meninggalkan negeri atau tempat itu ke tempat
lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18]
Dengan kata
lain, dari shalat
yang harus kita kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita
diajari untuk tidak berhenti
mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi yang kebetulan tidak
mendukung. Sekali kita berhenti
karena merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia
mengandung makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan itu
berarti menemukan kebenaran
mutlak. Ini adalah suatu kesombongan, seperti telah
kita singgung di atas,
dan akan menyangkut suatu
kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya kita yang nisbi dapat
mencapai kebenaran final yang
mutlak.
Dan hal itu
pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu dari dua
kemungkinan: apakah kita
yang menjadi mutlak, sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh
kita! Dan manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi
jiwa paham Tauhid yang mengajarkan tentang
Tuhan, Kebenaran Final (al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding
dengan sesuatu apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu
apapun juga yang semisal dengan
Dia" [20].
Jadi, Tuhan tidak analog dengan sesuatu apa pun
juga. Karena itu Tuhan
juga tidak mungkin terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini
dilukiskan dalam Kitab Suci,
"Itulah Allah, Tuhanmu
sekalian, tiada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka
sembahlah akan Dia; Dia adalah Pelindung
atas segala sesuatu.
Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah, yang sebagai
bacaan inti dalam
shalat dengan sendirinya menjiwai makna shalat itu.
Adalah untuk doa kita
yang kita panjatkan dengan
harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan yang lurus itu maka pada
akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin,
yang artinya, "Semoga
Allah mengabulkan permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh
keinsyafan sebagai kondisi yang
sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah") kepada Tuhan
itulah yang menjadi inti makna
intrinsik shalat kita.
MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM
Shalat disebut
bermakna intrinsik (makna
dalam dirinya sendiri),
karena ia merupakan tujuan pada
dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai
peristiwa menghadap Allah
dan berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui tingkah laku
(khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut bermakna instrumental, karena
ia dapat dipandang
sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna
instrumental shalat itu
sangat logis, justru sebagai
konsekuensi makna intrinsiknya juga. Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan
dan keinsyafan menghayati kehadiran Tuhan
dalam hidup kesehariannya, maka tentu dapat diharap bahwa keinsyafan
itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan pekertinya, yang
tidak lain daripada dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan
kehadiran Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak
terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak
kurang pentingnya ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan
sehari-hari berupa perilaku berbudi pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla
Tuhan. Inilah makna
instrumental shalat, yang
jika shalat itu
tidak menghasilkan budi pekerti
luhur maka ia sebagai "instrumen" akan sia-sia belaka.
Berkenaan dengan ini, salah
satu firman Allah
yang banyak dikutip ialah,
"Bacalah apa yang
telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu
Kitab Suci, dan
tegakkanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh ingat
kepada Allah adalah
sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa
yang kamu sekalian kerjakan." [22]
Dengan jelas
firman itu menunjukkan bahwa salah satu
yang dituju oleh
adanya kewajiban shalat ialah bahwa pelakunya menjadi
tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan
perlindungannya dari kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil
pendidikan melalui shalat. Karena
itu jika shalat seseorang
tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan
kemuspraan yang justru terkutuk
dalam pandangan Allah. Inilah pengertian yang kita dapatkan dari firman
Allah, (terjemahnya, kurang lebih) "Sudahkah engkau
lihat orang yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak
yatim, dan tidak dengan tegas menganjurkan pemberian makan
kepada orang miskin!
Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa
akan shalat mereka sendiri.
Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23]
Jadi, ditegaskan bahwa
shalat seharusnya
menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial,
yang dalam firman itu dicontohkan
dalam sikap penuh santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam
memperjuangkan nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi luhur dan
perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya.
Ucapan salam tidak lain adalah doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan
kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang
tidak, dan diucapkan sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas
sosial. Dengan begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan
dengan Allah (takbir) dan
diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia (taslim, ucapan
salam). Dan jika shalat tidak menghasilkan ini,
maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya
kutukan Allah, karena
dapat bersifat palsu dan
menipu. Dari situ
kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad
Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat
demikian: Terdapat berbagai bentuk ibadat pada setiap agama, yang
diberlakukan untuk mengingatkan manusia
akan keinsyafan tentang
kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma
ibadat itu dan
menjadi hikmah rahasianya
sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia yang lain, tidak
berlaku sewenang-wenang dan tidak
yang satu menyerang yang
lain. Sebab semuanya
adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya
seseorang namun Allah
lebih hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap
makna-makna yang luhur
ini maka diadakanlah ibadat
untuk mengingatkan mereka.
Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak
dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi
hanyalah dari ruh
ibadat tersebut dan keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan
kesyahduan. Jika ibadat tidak
mengandung hal ini maka
tidaklah disebut ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama
dengan bentuk manusia dan
patungnya yang tidak disebut
manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung,
dan suatu kewajiban yang ditetapkan atas
setiap orang muslim.
Dan Allah memerintahkan untuk
menegakkannya, tidak sekedar
menjalaninya saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya
dengan tegak dan sempurna karena
kesadaran akan tujuannya, dengan menghasilkan berbagai
dampak nyata. Dampak shalat
dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang
diberitakan Allah kepada
kita dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat
mencegah dari yang kotor dan
keji", [24] dan
firman-Nya lagi, "Sesungguhnya manusia diciptakan gelisah:
jika keburukan menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan
jika kebaikan menimpanya, ia
banyak mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang
shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada
mereka yang menjalani shalat hanya
dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan tertentu namun
melupakan makna ibadat
itu dan hikmah rahasianya, yang semestinya
menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian, pendidikan
kejiwaan dan peningkatan budi. Allah
berfirman, "Maka celakalah
untuk mereka yang shalat,
yang lupa akan shalat mereka sendiri.
Yaitu mereka yang suka
pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan."
[26]
Mereka itu dinamakan
"orang yang shalat" karena
mereka mengerjakan
bentuk lahir shalat itu, dan
digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari
pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha
Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut
kepada-Nya, dan menginsyafkan hati
akan kebesaran kekuasaan-Nya dan keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih
menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika
perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan
pujian, penghargaan atau persetujuan mereka.
Kedua pamrih adat
kebiasaan, yaitu perbuatan
dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya
serta faedahnya, dan tanpa perhatian
kepada Siapa (Tuhan)
yang sebenarnya ia berbuat
untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya. Inilah yang paling banyak
dikerjakan orang sekarang. Sungguh amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang
diberikan oleh seorang ahli
agama dari Arab, al-Shawwaf, tentang
makna instrumental shalat. Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan
ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku
kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya Kecuali golongan
yang beruntung (kanan) Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya, tentang
nasib orang-orang yang berdosa: "Apa yang membawa kamu ke
neraka?" Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang
yang shalat, Dan tidak pula kami pernah memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena Dan kami dustakan
adanya hari pembalasan Sampai datang kepada kami saat keyakinan
(mati)." [28]
Maka, secara tegas,
yang membuat orang-orang itu
"masuk neraka" ialah
karena mereka tidak
pernah shalat yang menanamkan dalam diri mereka
kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk
menginsyafi tanggung jawab sosial
mereka. Maka mereka
pun tidak pernah
menunaikan tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh
hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah
menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun lupa, malah tidak percaya,
akan datangnya saat mereka
harus mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatan mereka
pada hari pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir
hidup kita ia juga mendidik dan mendorong kita untuk
mewujudkan sebuah ide atau
cita-cita yang ideal dan
luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan
Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk
seluruh warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak
terdapat penegasan tentang pentingnya shalat, sekaligus kita juga
paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada orang
yang melakukan shalat hanya
sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam
dan komitmen sosial yang meluas.
CATATAN
1.
"Sungguh
berbahagialah mereka yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalat
mereka..." (QS. al-Mu'minun 23:1-2).
2.
Hadits, dikutip a.l.
oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar
al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.
3.
Ibid.,hal. 13
4.
Ibid., hal. 24
5.
Doa pembukaan shalat ini
sesungguhnya kita warisi dari
kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan (yaitu tambahan
kata-kata musliman), yang dia ucapkan sebagai kesimpulan proses
pencariannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan
diri dari praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS. al-An'am/6:79 dan
penuturan di situ tentang bagaimana pengalaman pencarian Nabi Ibrahim
sehingga ia "menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6.
Seruan ini pun berasal
dari Kitab Suci, berupa perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan
seruan serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit
perubahan, yaitu dari "wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah
yang pertama dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min al-muslimin" (dan aku termasuk
mereka yang pasrah). (Lihat QS.
al-An'am/6:161-162).
7.
Lihat, a.l., QS.
al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8.
Ada sebuah hadits yang
amat terkenal, yang banyak dikutip para ulama kita, berkenaan dengan
penjelasan Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi saw
ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab, "Al-ihsan ialah bahwa engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau
melihatNya; dan kalau pun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihat engkau."
9.
QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita
temukan perintah Allah agar kita mempelajari sejarah dan mengambil
pelajaran daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali 'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath,"
metafor jalan juga dinyatakan dalam beberapa kata baku lain dalam
nomenklatur Islam, yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
'Uddat al-Muslimin (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
Kliping Artikel Pasted from
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/ShalatN2.html
|