Pertautan
Filsafat Yunani dalam Khazanah Pemikiran Islam dan Tokohnya
Oleh:
Muhajir Salam
“Following
the fall of the Roman Empire in 467 M, Greek philosophy was almost
forgotten in Western Europe, while it continued to flourish in
the Muslim Word”.
(Majid
Fakhry)
Awal Pemikiran Filsafat
Banyak pendapat yang
memaparkan tentang awal kemunculan pemikiran filsafat. Presfektif historis,
yang dijadikan pijakan dasar dalam pelacakan sejarah filsafat Barat,
menuntut bukti nyata atas kemunculan filsafat. Sejarahwan filsafat Barat
berpendapat seragam, bahwa filsafat dimulai di Yunani. Hal senada
dipaparkan oleh Bertrand Russel dalam karyanya Sejarah Filsafat Barat,
Russel menyatakan bahwa, “Filsafat
diawali oleh Thales yang, untungnya, bisa dilacak masa hidupnya berdasarkan
fakta bahwa ia pernah meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut
para astronom terjadi pada 585 SM. Filsafat dan ilmu pengetahuan – yang
semula tidak terpisah – dengan demikian lahir bersama di awal abad ke 6 SM.”
Meskipun dalam penjelasan berikutnya, Russel meyakini jika pemikiran
filsafat itu telah berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran
theologi, ilmu, teknologi, dan budaya pada pusat-pusat peradaban kuna
semenjak ribuan tahun lalu.
Hipotesa umum yang diyakini para sejarahwan filsafat Timur meyakini bahwa
filsafat itu sebenarnya lahir dari dunia Timur. Karena pemikiran keagamaan
terkuna dalam sejarah umat manusia lahir, tumbuh, dan berkembaang dari
dunia Timur. Mereka meyakini bahwa, “diantara corak pemikiran manusia
adalah pengetahuan tentang wujud, awal dan akhirnya, yang mula-mula
berjalin dan berkelindan dengan keyakinan agama.
Filosof muslim meyakini satu legenda yang menceritrakan bahwa para filosof
Yunani kuno mengambil kebijksanaan (wisdom: hikmah) mereka
dari timur dekat. Empedokles, umpamanya, telah belajar kepada Luqman yang
Bijak (Luqman al-Chakiim) di Syra-Palestina, pada masa Nabi Dawud;
Phytagoras dilaporkan pernah belajar fisika dan metafisika kepada
murid-murid Sulayman di Mesir, dan belajar Geometri dari orang-orang Mesir.
Para filosof tersebut membawa kebijaksanaan yang mereka serap dari Dunia
Timur ke Yunani.
Studi Filsafat Yunani kuno lebih merupakan sebuah renovasi ketimbang
inovasi. Memperkuat pendapat di
atas, Al-Farabi dalam karyanya Thashil al-Sa’adah berpendapat,
“Filsafat telah ada pada zaman kuno
di kalangan bangsa Kaldea di Irak. Setelah itu, filsafat dipelajari oleh
bangsa Mesir, yang dari masa itulah filsafat ditransfer ke Yunani, dan
berkembang di kalangan mereka yang
masih hidup sampai pada masa penyebarannya ke bangsa Suriah, dan kemudian
kepada bangsa Arab.”
Memperkuat pendapat di
atas, Kraemer berpendapat bahwa, ‘merujuk Irak sebagai tempat kelahiran
filsafat adalah hal yang sangat signifikan. Karena di Irak ini, Al-Farabi
dan filosof muslim lainnya tampaknya telah mengantisipasi suatu kelahiran
kembali filsafat. Jadi, siklusnya telah berjalan dengan benar. Al-Farabi
juga mengaskan bahwa Plato dan Aristoteles tidak hanya memberikan ajaran
dan cara-cara berfilsafat, tetapi juga memberikan cara-cara untuk
memperbaharuinya terutama ketika filsafat telah menjadi sesuatu yang
membingungkan atau mulai meredup’.
Pengaruh Dunia Timur atas perkembangan filsafat Yunani dipaparkan oleh
Hassan Hanafi dalam Karyanya Muqaddima fi ‘ilm al-Istighrab. Hassan
Hanafi menjelaskan, “Filsafat Yunani sendiri tidak terlepas dari pengaruh
Asia kecil yang secara geografis dan historis bersinggungan dengan
peradaban Mesopotamia dan agama Timur, utamanya dari Persia. Legenda Siris,
Osiris, dan Horus sangat populer dalam mitologi Yunani. Pengaruh
tasawuf Timur dan agama esoterik-illuminis dari Persia,
terutama Zarathustra, dan dari Babilonia, khususnya yang
berorientasi moral dan kehidupan akhirat serta mengakui perputaran hidup
dan mati, terlihat dalam sekte Orphici.”
Jelaslah, pendapat Hassan Hanafi di atas memperkuat argumentasi historis
yang menyatakan bahwa filsafat itu lahir dari Dunia Timur. Lebih lanjut
Hassan Hanafi memaparkan analisa historis radikal lainnya,.
Pengaruh Timur ini juga terjadi pada filsafat Yunani. Phitagoras, misalnya,
mengenal matematika Timur dan tasawufnya. Plato pernah belajar di Memphis
selama kurang lebih 15 tahun. Bahkan, barangkali teorinya yang terkenal
tentang idea juga diambil dari teori kesenian Mesir kuno. Hanya saja teori
kesenian Mesir kuno diterapkan dalam lukisan yang kasat mata, sedang teori
Plato berupa pemikiran yang abstrak. Para seniman Mesir kuno dulu hanya
melukis idea-idea di mana mereka menyatu di dalamnya, bukan melukis
bentuk-bentuk species, genus, dan benda. Seluruh aspek iluminis
tasawuf dalam filsafat Yunani, termasuk esoterisme Socrates, kontemplasi
Thales dan pakar fisika awal tentang kejadian alam dan kehidupan, merupakan
kelanjutan peradaban Timur. Astronomi, ilmu sihir, dan dunia para normal di
Yunani juga diboyong dari Babilonia. Di India juga ditemukan ilmu hitung,
meskipun seolah-olah ada kesan Phitagoras dan Thales tidak pernah
berinteraksi dengan sekte-sekte Timur. Dan Nyaya dengan logika
Budhanya telah menciptakan logika formal.
Demikianlah, awal mula pemikiran filsafat yang secara historis lahir dan
berkembang di Dunia Timur dan berkembang di Yunani.
Filsafat Yunani: Perkembangan dan Perambahannya ke Dunia Timur
Filsafat pada gilirannya mampu melahirkan sains-sains besar
seperti fisika, etika, matematika, dan metafisika yang menjadi batu bata
kebudayaan dunia. Dari Asia minor, filsafat menyebrangi Aegean, menuju
tanah Yunani. Untuk ribuan tahun lamanya, Athena menjadi tanah air
filsafat.
Socrates, pemikir yang paling mashur menentang dan menyanggah gagasan kaum
Sofis. Dia menamakan dirinya Philosophus, pecinta kebijaksanaan.
Istilah filsafat sendiri diambil sebagai lawan kata dari shopistry yang
berati ke-sofis-an atau kerancuan berfikir. Filsafat memuat seluruh ilmu
hakiki (real science) seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi,
matematika, dan teologi. Socrates memiliki murid Plato, yang memantapkan
prinsip-prinsip filsafat. Kemudian murid lainnya, Aristoteles, yang membawa
filsafat pada puncak perkembangannya dan memformalkan prinsip-prinsip
pemikiran dan penalaran.
Filsafat Yunani mulai merambah Dunia Timur, sejak
didirikannya Iskandariah di Mesir oleh Iskandar Agung pada 332 SM, meski
perkembangan filsafat meraih puncaknya pada tahun 529 M. Iskandar Agung datang dengan tidak
menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia
berusaha untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Iskandar Agung
menjadikan Iskandarian, Antioch, Bactra menjadi pusat ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani.
Seiring dengan perluasan Romawi Kristen, pada tahun 529 M,
Kaisar Bizantium, Justianus menutup sekolah-sekolah tinggi Filsafat di
Yunani karena dianggap bersimpati dengan kaum Pagan. Justianus menganggap
paganisme sebagai ancaman bagi eksistensi agama Kristen. Tujuh guru filsafat
paling terkemuka, dipimpin Damacius dan Simplicius, lari menyebrangi
perbatasan Bizantium menuju Persia. Para guru filsafat itu disambut oleh
Chosroes I yang mengagumi ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada Abd
555 M. Choroes I mendirikan Sekolah Jundishapur sebagai pusat studi
Hellenik dan riset kedokteran. Meski
transformasi filsafat secara radikal justeru terjadi di Iskandariah. Di
Iskandariah filsafat benar-benar menjadi mendunia, tidak hanya sekedar karya
kaum cerdik-pandai Yunani yang kampungan. Dimana, kecenderungan religius
dan mistisnya hampir tidak dikenal oleh orang Yunani terdahulu.
Sederet nama penting dalam pemikiran filsafat lahir dari Iskandariah,
diantara nama-nama itu adalah Plotinus, Porphyri dari Tyre, dan Jamblicus,
yang keseluruhannya hidup pada zaman Iskandar Agung. Para filosof ini telah
mengisi wajah baru filsafat Yunani. Diantara karya transformatif filosof
Iskandariah adalah, Neoplatonisme berhasil memadukan semua arus besar
filsafat Yunani klasik; selain memadukan Aristotelianisme, Pythagoreanisme,
dan Stoisisme dalam sistesis yang mempesona.
Fajar Islam: ekspansi dan keterbukaan
Peristiwa sejarah paling
besar terjadi: Jazirah arab menyaksikan kelahiran, perjuangan dan hijrah
Nabi Besar Islam. Muhammad saw. Mngumandangkan pesan petunjuk Illahi kepada
telinga kesadaran alam. Sebagai langkah awal, Muhammad menyeru manusia
untuk menuntut pengetahuan, menghargai budaya membaca, menulis, dan belajar
setinggi-tingginya. Beliau membangun peradaban dan kebudayaan paling agung
dan cerdas, ditengah-tengah masyarakat yang ummiy.
Sepeninggal Muhammad saw., mulailah penaklukan Islam terjadi. Penaklukan
ini berlangsung sangat cepat. Di Timur, menaklukan Syria, pada tahun 634
H., dalam dua tahun. Pada tahun 637 berhasil meyerbu Persia yang menyerah
tanpa syarat pada tahun 650. Ekspansi ke India tahun 664; ekspansi ke
Konstantinopel tahun 669. Gerakan ke Arah Barat pun secepat di Timur. Mesir
ditaklukan pada tahun 642, Charthage menyerah tahun 697, termasuk ekspansi
ke Sicilia.
Islam yang sangat terbuka dengan budaya dan ilmu pengetahuan,
telah menjadikan mudah diterima dan cepat berkembang. Seiring dengan
meluasnya wilayah pemerintahan Islam dan membesarnya kecenderungan terhadap
agama. Di wilayah-wilayah Islam tersbut, tumbuh subur pusat-pusat
pembelajaran dunia. Selain melahirkan banyak filosof besar yang dikemudian
hari menjadi rujukan ilmu pengetahuan dan faktor penting renaisans di
Eropa.
Takluknya Iskandariah pada tahun 641 memperluas kekuasan Islam atas Timur
Tengah. Sejak zaman Iskandar Yang Agung, kota Iskandariah sudah dikenal
sebagai taman peradaban Yunani. Iskandariah adalah pusat bergelutnya
pemikiran spekulatif Yunani dengan berbagai tradisi keagamaan dan mistisme
Mesir, Phonesia, Persia, Yahudi dan Kristen. Pada masa itu Iskandariah
telah menggantikan posisi Athena sebagai lumbung filsafat dan sains.
Kondisi tersebut memunculkan fenomena dialog yang dinamis antara pemikiran
Islam dengan peradaban Yunani, khususnya dalam bidang filsafat dan sains.
Gerakan terjemah: dialog kreatif budaya Islam dan Yunani
Gerakan terjemah adalah
proses yang mengawali dialog kreatif antara pemikiran Islam dan tradisi
filsafat Yunani. Gerakan penerjemahan ini didorong oleh keterbukaan budaya
Islam sebagai implikasi dari keterbukaan budaya Islam yang kosmopolitan.
Selain itu, gerakan ini didukung oleh para penguasa yang memiliki
ketertarikan dan kepedulian dengan perkembangan ilmu pengetahun dan sains.
Banyak tokoh menyatakan bahwa pengalihan bahasa, ke dalam bahasa Arab,
sekian banyak buku filosof Yunani dan Iskandariah dari pusat-pusat
pembelajaran yang memiliki reputasi, telah mempercepat laju perkembangan
filsafat, beragam sains dan kesenian.
Gerakan terjemah adalah wujud apresiasi agama terhadap kemampuan akal
sangat mendukung kerja ilmiah dan menjadikan suasana kondusif bagi
pengembangan olah pikir. Setelah masa al-Khulafa’ ar-Rasyidah,
kebebasan intelektual tidak dimonopoli oleh umat Islam saja. Penguasa Bani
Umayyah memberi kesempatan yang sama kepada lembaga-lembaga pendidikan non
Islam, sehingga berbagai pemikiran tumbuh dan berkembang dalam bingkai
kedaulatan Islam. Di Syria, misalnya, berkembang aliran yang bercorak
Hellenistik, sedangkan di Iskandariah, Beirut, Jundisapur, Nissib, dan
Antioch, berkembang aliran yang bercorak Sabean. Terdapat bukti kuat
toleransi penguasa Islam dalam kerja intelektual, dimana orang-orang non
muslim memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapat dan berlomba dalam
mengembangkan kerja pikir, dan mereka juga memiliki kesempatan yang sama
dalam berbagai lapangan pekerjaan.
Abu Hasyim Khalid ibn Yazid dari bani Umayyah merintis penerjemahan
karya-karya Yunani di Syria. Yazid menyelenggarakan penerjemahan
karya-karya kedokteran, kimia, dan astrologi ke dalam bahasa Arab. Pada
masa Khalifah al-Manshur dari dinasti Abassiyah, terjemahan karya filsafat
pertama yang patut dihargai berasal dari sastrawan terkemuka, ‘Abdullah ibn
Muqaffa’ atau putranya, Muhammad, yang mencakup Categories,
Hermeneutica, dan Analytica Apriora karya aristoteles. Demikian
pula, penerjemahan ringkasan Galen atas karya besar Plato (Dialogue)
yang berjudul Timaeus, hingga karya Aristoteles, seperti De
anima, Book of animal, dan Analyticca priora yang dikerjakan
oleh Yahya ibn al-Bithriq pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid.
Putra Harun ar-Rasyid, Al-Ma’mun, mendirikan bayt al-hikmah di
Bagdad tahun 830M sebagai perpustakaan dan institut penerjemahan. Ini
adalah institut terbesar sepanjang sejarah penerjamahan karya-karya
filsafat dan kedokteran Yunani. Sebagai Khalifah yang cerdas dan cemerlang,
al-Ma’mun menetapkan kebijakan resmi penerjemahan karya-karya filsafat,
sains, dan kedokteran Yunani.
Diantara penerjemahan karya filsafat penting yang dihasilkan di Bayt
al-Hikmah adalah analytica posteriora karya Aristoteles; Synopsis
of the ethics karya Galen; dan sejumlah intisari dari karya-karya
Plato, seperti Shopist, Permenides, Politicus, Republic, dan Laws.
Karya-karya tersebut diterjemahkan oleh tim yang terdiri dari Hunain,
Hubaisy, dan ‘Isa ibn Yahya. Dan, banyak lagi karya terjemahan penting yang
dihasilkan oleh cendekiawan muslim.
Karya-karya terjemahan telah memicu berkembangnya pemikiran filosofis dan
teologis dikalangan masyarakat Muslim. Pengaruhnya semakin menguat pada
abad ke 7 seiring dengan menajamnya perselisihan teologis dikalangan umat.
Hal tersebut, menjadi catatan betapa megahnya peradaban Islam dan dinamika
perkembangan pemikiran di kalangan muslim.
Gerakan penterjemahan ini berlangsung selama 150 tahun, mulai tahun 750
sampai 900 M. Berkembanglah ilmu pengetahuan dan filsafat dibawah pengaruh
khalifah-khalifah bani Abbas. Dalam perkembangan ilmu dan filsafat ini,
pengaruh terbesar yang diterima oleh ulama Islam adalah dari Yunani.
Pengaruh besar bagi kaum muslimin, terutama karena kontak dengan kebudayaan
Yunani bersamaan dengan penulisan ilmu-ilmu Islam dan masuklah unsur-unsur
kebudayaan Yunani, yang mewarnai corak dan isi. Pengaruh terbesar filsafat Yunani
terhadap pemikiran Islam adalah logika.
Al-Kindi : Filsafat Ketuhanan, creation ex nihilo
Abu Yusuf Ya’kub ibn
Ishaq al-Kindi, adalah filusuf
muslim pertama yang menguasi filsafat Yunani Al-Kindi berasal dari Kindah di Yaman
tetapi lahir di Kuffah (Iraq) tahun 796 M. Ibnu Nadim, seorang pustakawan,
menyebutkan bahwa al-Kindi memliki 242 karya dalam bidang logika,
metafisika, aritmetika, falak, musik, astrologi, deometri, kedokteran,
politik, dsb. Ibnu Nadim pun menyebutkan bahwa al-Kindi tidak hanya
berkenaan dengan kajian filsafat
Yunani, tetapi juga mencakup studi mengenai agama India, Chaldean, dan
Harran. Semua tulisan al-Kindi menunjukan komitemennya terhadap jalan
filsafat dan wacana rasional. Diantara karya al-Kindi yang menunjukan
komitmennya itu adalah al-Hatsts ‘ala Ta’allum al-Falasifah,
Anujuran Untuk Belajar Filsasat, yang terilhami oleh karya Aristoteles Protepticus,
atau karya Cicero Hamlichus dan Hosrtenicus.
Al-Kindi membagi pengetahuan ke dalam dua bagian; Pertama, ‘ilm Ilahiy (Pengetahuan
Ilahiyah), sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an: yaitu Wahy, pengetahuan
langsung yang diperoleh Nabi dari Allah. Dasar pengetahuan ini adalah
keyakinan; kedua, ‘ilm Insaniy, (pengetahuan manusiawi) atau
filsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Al-Kindi meyakini peran penting filsafat dalam mendampingi agama.
Menurutnya, kebenaran wahy (yang disampaikan nabi Muhammad yang
diterima dari Allah), bisa dibuktikan melalui pijakan-pijakan rasional.
Karena, untuk memahami tujuan Nabi Muhammad dalam al-Qur’an diperlukan
penafsiran atau penjajakan atas makna taksa (ambigous) yang
terkandung dalam beberapa ayat al-Qur’an dengan sikap seperti “orang-orang
yang beragama dan berakal-budi yang benar”. Dengan prinsip kesesuaian wahy
dan ‘aql ini al-Kindi mempelopori dikembangkannya penafsiran
hermeneutis (ta’wil) pada ayat-ayat taksa dalam al-Qur’an.
Tuhan Yang Maha Esa menjadi topik utama. Al-Kindi meyakini Tuhan Yang Maha
Esa, Abadi, Nirbatas (tak memiliki jenis atau spesies), Nirwikara (tak
mengalami perubahan yang mengurangi kesempurnaan). Tuhan itu wujud.
Wujud itu tidak terbatasi oleh dan tidak terkungkung dalam ruang dan waktu.
Keesaan Tuhan adalah mutlak, kemutlakannya adalah penyebab bagi semua yang
ada (mawjud). Semua yang mawjud bermula dari ke-satu-an
Yang Maha Esa. Tanpa kesatuan, takan ada satu apa pun. Akibat ke-satu-an
inilah segala sesuatu menjadi ada.
Tesis al-Kindi adalah, Sang Maha Esa adalah sumber dari segala sesuatu.
Al-Kindi mengikuti konsep emanasi seperti penulis Theologyi, Aritoteles
atau Plotonius. Al-Kindi mengikuti konsep penciptaan dari ketiadaan (creation
ex nihilo) sebagaimana dipahaminya dalam al-Qur’an. Al-Kindi
mengajukan serangkaian argumentasi yang logis dan matematis untuk
membuktikan bahwa waktu dan gerak bersifat terbatas, atau dikenal sebagai
argumen “kesementaraan alam”. Mengenai argumen ini al-Kindi berkomentar,
“mustahil ada benda-benda alam yang
abadi. Segenap benda niscaya bermula (muhdats). Dan yang bermula,
niscaya tercipta dalam waktu (muhdits)... Oleh karena itu, alam
niscaya memiliki pencipta, bermula dalam waktu, dan ex nihilo”.
Demikianlah, intisari dari pemikiran metafisika al-Kindi. Dimana, dibalik
orisinalitas pemikirannya, al-Kindi masih terpengaruhi oleh filsafat
Yunani.
Al-Farabi : Filsafat Emanasi
Muhammad ibn Muhammad
ibn Tarkhan Al-Farabi adalah Filosof Islam pertama yang sangat sistematis dalam
membangun dasar-dasar neoplatonisme Islam. Tiga bidang ilmu yang memikat
hati al-Farabi, adalah logika, filsafat, politik dan metafisika. Karya
al-Farabi yang paling orisinal adalah dibidang logika yang berjudul al-Faz
al-Musta’malah fi al-Manthiq (istilah-istilah logika), al-Fushul
al-Khamsah (lima pasal logika), dan Risalah fi Manthiq (pengantar
logika).
Substansi filsafat al-Farabi terlihat pada karyanya yang paling terkenal, Mabadi’
Aara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (dasar-dasar Pandangan Penduduk “Kota
Utama”). Filsafat al-Farabi mencoba mencoba menjelaskan bagaimana yang
banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah,
jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat
pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam
materi yang banyak ini dari yang Mahasatu?. Menurut al-Farabi alam terjadi
dengan cara emanasi (pancaran).
Dalam pandangan al-Farabi, Wujud Pertama mestilah bersifat; (1). Sempurna,
bebas dari segala kekurangan sehingga Dia tidak terdahuli dan terungguli;
(2). Abadi, tak mengalami kehampaan (privation), kebisaadaan (contongency),
dan potensialitas; (3). Buka gabungan dari materi dan bentuk; (4). Tak
bergantung atau swa-ada. Dia mustahil ada yang menyekutui-Nya. Sebagai Zat
yang sama sekali mujarad (immaterial). Dia adalah “‘aql yang
senantiasa beraksi”. Dia adalah apa yang ada dalam Pikiran-Nya.
Emanasi “menurun” terjadi sesuai dengan prinsip penyurutan (regresion)
dan penyusutan (devolusion). Tuhan sebagai akal, berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan
wujud pertama (al-Wujud al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul
wujud kedua (al-Wujud al-Tsaniy) yang juga mempunyai substansi. Ia
disebut Akal pertama (al-‘Aql al-Awwal),yang tak bersifat materi.
Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini
timbulah wujud ketiga (al-Wujud al-Tsalits).
Wujud kedua atau akal pertama berpikir tentang dirinya dari situ munculah
langit pertama. Wujud ketiga atau akal kedua munculah bintang-bintang.
Berlanjut, Akal ketiga (saturnus), akal keempat (jupiter), akal kelima
(Mars), akal keenam (matahari), akal ketujuh (venus), akal kedelapan
(mercury), akal kesembilan (bulan), dan para pemikiran wujud kesebelas/akal
kesepuluh berhentilah timbulnya aka-akal. Tetapi akal kesepuluh timbullah
bumi beserta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat
unsur; api, udara, air dan tanah.
Proses kejadian benda-benda fisik berbeda dengan emanasi intelektual. Benda-benda
fisik bermula dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi secara
menyempurna dan evolusioner. Dari materi primer, empat elemen kehidupan
menjelma. Kemudian empat elemen kehidupan itu mengendap sebagai mineral,
lantas meriap sebagai tumbuh-tumbuhan, dan meregang sebagai hewan sehingga
puncaknya terwujudlah manusia.
Penjabaran al-Farabi menyangkut emanasi (benda-benda) bumi (terrestrial)
dari (benda-benda) langit (calestial) melalui bukti adanya materi utama
atau materi umum pada segenap entitas bumi yang beremanasi dari elemen umum
yang terdapat pada benda-benda langit. Pemikiran ini mengacu pada konsep
aristoteles tentang adanya suatu ether atau elemen “kelima”.
Sebagai puncak proses kejadian fisik, manusia memadukan seluuh elemen
primer secara amat kompleks. Kemampuan manusia yang pertama muncul dari
panduan ini adalah kemampuan bertumbuh-kembang (nutritive-vegetative).
Lalu, dia diikuti kemampuan berindra (sensitive), berhasrat (desirative),
berkhayal (imaginative), dan terakhir bernalar (rational).
Ada tiga dimensi kemampuan manusia, yakni teoritis, praktis, dan produktif.
Ibnu Sina: Filsafat Kejiwaan
Abu ali Husein ibn
abdillah Ibn sina, lahir di Afsyana,
suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara di tahun 980 M. Pemikiran
terpenting dari Ibnu Sina adalah Filsafat kejiwaan. Sebagaimana al-Farabi,
Ibnu Sina juga penganut emanasi.
Ibnu Sina berpendapat, munculnya jiwa atau nyawa (vital principal)
sebagai “daya adijasmani” berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer
kehidupan di bawah pengaruh benda-benda langit. Yang pertama kali muncul
adalah jiwa nabati, kemudian jiwa hewani, diakhiri oleh jiwa manusiawi.
Bagian jiwa diterangkan oleh Ibnu Sina sebagai berikut; Pertama, Jiwa
Nabati, adalah sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; kedua, Jiwa
hewani, sebagai dasar gerak (kehendak) dan penangkapan (idrak)
terhadap rangsangan partikular; ketiga, Jiwa manusiawi, sebagai
dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal universal.
Ibnu Sina pun membagi jiwa berdasarkan dua daya; pertama, Praktis
(al-‘amilah) yang berhubungan dengan badan; dan kedua, Teoritis
(al-‘alimah) yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Jiwa teoritis
mempunyai beberapa tingkatan; (1).
Akal materiil (material intelect),
semata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit;
(2). Akal biasa-belajar, yang telah mulai dilatih untuk berpikir hal yang
abstrak. (3). Akal aktual (al-‘aql
bi al-fi’l) yang telah mampu berpikir hal yang bastrak; (4). Akal mustafad, yaitu akal yang telah
sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya;
akal yang terlatih, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya dalam akal yang
seperti ini; akal seperti inilah yang sanggup menrima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal aktif, dan saat itulah jiwa mencapai kesempurnaannya.
Ibn Sina berpendapat, jiwa adalah cermin alam pengetahuan (kawruhan) yang memantulkan alam
materil. Tahapan ini akan tercapai bila jiwa sudah ketakberhinggaan,
menjalin hubungan dengan akal aktif sehingga tak perlu lagi menjalani
proses silogistik untuk bisa menangkap hal-hal universal, tetapi cukup
dengan inyuisi (hads). Dia
mengibaratkan tahap ini sebagai tahap berfungsinya “nalar suci”.
Pancaindera selalu patuh pada kemampuan batin, kemampuan batin selalu patuh
pada kemapuan rasional. Sensus Communis yang bertuga merakit data
inderawi, tunduk pada daya citra (imaginative power), daya citra
tunduk pada daya cipta (productive power), daya cipta tunduk pada
daya waham, dan yang terakhir ini
tunduk pada daya tampung daya ingat. Pancaindera yang terangsang
oleh daya motif menunjukan bahwasanya marah dan hasrat manusia dapat dengan
mudah mengatur “sistem motorik” atau otot manusia.
Al-Farabi : Gagasan & Pemikirannya
Al-Farabi yang lahir
pada tahun 259 H./872 M. di Kota Farab yang sekarang dikenal dengan kota
Atrar Wilayah Khurasam Turki. Ia adalah sosok filsof muslim yang telah
memadukan dua pemikiran filsof Barat, yaitu Plato dan Aristoteles yang
dianggapnya sebagai guru pertama, yang kemudian sangat berpengaruh dalam
pemikiran selanjutnya. Pemikiran al-Farabi dalam filsafat antara lain :
Tentang Kesatuan Filsafat
Filsafat al-Farabi adalah filsafat “pemaduan” (al-Falasafah
al-Taufiqiyyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari filsafat Islam.
Pemikirannya merupakan pemaduan antara filsafat Aristoteles, Plato dan
New-Platonisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syi’ah
Imamiyyah. Perbedaan pemikiran antara filsof menurut al-Farabi hanya
terletak pada lahinya saja, sedangkan pada substansinya sama yaitu mencari
kebenaran, seperti halnya aliran-aliran politik yang bermacam coraknya,
tetapi tujuannya sama. Penjelasan ini seperti yang digambarkan oleg
al-Farabi dalam kitabnya Al-Jami’u al-Ilahi wa Aristhu-thales (pemaduan
antara pemikiran dua filsof: Plato dan Aristoteles). Perbedaan mereka
menurut al-Farabi hanya dalam segi lahirnya saja, dan itu kemungkinan hanya
dalam tiga kemungkinan, antara lain:
a. Definisi yang dibuat tentang
filsafat tidak benar
b. Pendapat
orang banyak tentang pikiran-pikiran falsafi dari kedua filosof tersebut
terlalu dangkal. Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang
menduga hanya antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasar-dasar
filsafat.
c.
Pengertian kita
tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar. Padahal definisi
filsafat menurut keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas
tentang yang ada secara mutlak.
Menurut al-Farabi, pada hakikatnya Aristoteles mengakui adanya citra-citra
yanga terdapat di luar alam ini. Perkataan Aristoteles yang berisi
pengingkaran alam idea itu masih bisa dita’wilkan. Dengan demikian kedua
filosof itu sama-sama mengakui adanya idea-idea pada Dzat Tuhan. Kalau
tidak ada idea-idea tersebut, Tuhan tidak memiliki contoh-contoh yang
merupakan arah dan tujuan dalam perbuatannya.
Tentang Metafisika
Masalah hubungan “Yang
Esa” dengan “alam yang pluralis” ini merupakan pembahasan yang menarik di
kalangan filosof dan mutakalimin. Pemikiran Al-Farabi tentang Dzat dan
Sifat Tuhan, juga tentang ala mini, cenderung seperti pemikiran Mu’tazilah.
Ia membagi semu yang ada pada dua bagian, yaitu yang mungkin ada dan yang
wajib ada. Yang wajib ada itu dzat Tuhan dan sifat Tuhan, karena kedua
tidak terpisah, dan yang mungkin ada adalah alam ini.
Tentang Fisika
Mengikuti pendapatnya
Mu’tazilah bahwa alam ini adalah kodim, karena ia telah ada sejak dulu
dalam bentuk tertentu sebelum terwujud dalam kenyataan ini. Al-Farabi
menjelaskan bahwa alam ini penciptaannya dengan cara emanasi (Faidh).
Teori ini diambil dari New-Platonisme yang menyatakan bahwa ala mini
terjadi karena limpahan dari yang Esa. Ia menyatakan bahwa alam ini
dijadikan secaramelimpah (al-faidh), sehingga keesaan Tuhan tidak
terganggu, apalagi wujud pertama yang melimpah itu adalah satu, yakni akal.
Jadi keanekaan alamiah itu tidak dimulai dari Tuhan, tetapi dari akal
pertama yang mulai melimpah dan yang mengandung dalam dirinya keanekaan
potensial yang merupakan sebab langsung bagi keanekaan actual dalam wujud
empiris ini. Dengan demikian Tuhan
terpelihara keutuhan dzat-Nya dan keanekaan karena Ia bukan sebab
langsung bagi alam empiris ini. Kemudian dari akal pertama melimpah tiga
wujud lain, karena ia memikirkan Allah yang di atasnya, maka melimpah
darinya akal kedua. Begitu selanjutnya sampai terwujud alam ini samapai
akal ke sepuluh.
Tentang Antrophologi
Manusia makhluk terakhir
sakaligus termulya,diri manusia terdiri dari dua unsure yaitu jasad dan
jiwa. Al-Farabi dalam pemikirannya lebih banyak membahas tentang jiwa
manusia yang dianggapnya sebagai hakikat manusia. Dalam hal ini, pemikiran
al-Farabi sangat dipengaruhi oleh pemikiran filosof Yunani. Setiap manusia
memiliki satu jiwa dan setiap jiwa itu mempunyai sejumlah daya yang umumnya
terdiri dari daya penggerak dan daya mengetahui. Daya penggerak memiliki daya
menumbuhkan dan daya kerinduan yang menibulkan keinginan pada manusia. Daya
mengetahui terbagi pada tiga daya; daya pengindera, daya khayal, daya
berpikir. Daya berpikir atau yang disebut akal ini bercabang, ada akal
teori dan ada akal amali. Akal teori ini bertingkat; ada akal material
(potensial), ada akal actual dan ada akal mustafad.
Tentang Etika
Masalah akhlak merupakan
sesuatu yang paling banyak ditulis oleh al-Farabi dalam berbagai kitabnya.
Dalam kitab yang berjudul “Risalah fit-Tanb ih ‘Ala Subuli ‘s-Sa’adah”
ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang
merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh setiap
manusia. Segala aktifitas manusia untuk memperoleh kebahagiaan adalah baik
dan sangat sempurna. Kebahagiaan adalah summon bonum yang merupakan
kebaikan pada dirinya yang dengannya usaha pencapaiannya dijadikan ukuran
bagi kebahagiaan.
Akhlak itu, baik yang terpuji maupun yang tercela, dapat diperoleh dengan
membiasakan (mumarasah). Jika seseorang tidak memiliki akhlak yang terpuji,
ia dapat memperolehnya dengan adat kebiasaan, yakni melakukan sesuatu kerja
berulang kali dalam waktu lama dan dalam masa yang berdekatan. Kerja yang
baik adalah yang terletak di tengah-tengah, yakni tidak berlebihan yang
dapat merusak jiwa dan jasad. Dan hal itu dapat ditentukan dengan melihat
kepada zaman, tempat dan orang yang melakukan hal itu, serta tujuan yang
dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi semua syarat tersebut.
Tentang Politik
Pemikiran politik
al-Farabi bermula dari pemikirannya tentang masyarakat sebagai ruang untuk
bekerjasama mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Masyarakat
dibaginya kepada dua bagian ada masyarakat sempurna atau masyarakat yang
cakupannya luas atau besar dan ada masyarakat tidak sempurna, yaitu
masyarakat kecil. Masyarakat yang berkumpul dan mempunyai tujuan yang sama,
yang dengannya diperoleh kabahagian yang hakiki, ia sebut dengan dengan
negara utama. Kepala negara utama memiliki criteria yang cukup kapebel dan kompetibel.
Al-Farabi membagi negara kepada lima bentuk negara, diantaranya; Negara
Utama (konsep ini berasal dari konsepnya plato), Negara Jahil, Negara
Fasik, Negara Sesat, Negara Berubah (Mutabaddilah).
Tentang Teori Kenabian
Al-Farabi merupakan filosof yang telah memadukan teori
filsafat dan agama. Al-Farabi juga menganggap bahwa seorang nabi adalah
utusan Tuhan yang ditugaskan untuk menyampaikan pesan-Nya melalui wahyu.
Dalam pemikiran al-Farabi, filosof, kepala negara, raja, pembuat
undang-undang dan imam adalah sama pengertiannya. Agar seseorang mencapai
martabat ini, disyaratkan kemampuannya mencapai tingkat “akal mustafad”,
sehingga ia dapat berhubungan dengan akal aktif, yakni akal kesepuluh yang
juga disebut Jibril. Lewat akal ini, Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada
orang tersebut. Artinya, akal aktif meneruskan wahyu itu kepada akal pasif
melalui akal mustafad dan selanjutnya kepada daya khayal. Wahyu yang
melimpah kepada akal pasif, maka orangnya disebut filosof. Sedangkan yang
melimpah kepada daya khayal. Ia disebut nabi. Namun demikian, filosof tidak
sejajar tingkatnya dengan nabi karena setiap nabi adalah filosof dan tidak
setiap filosof itu nabi. Setiap nabi memiliki keistimewaan yang melebihi
filosof.
Transformasi Pemikiran Filsafat Barat Pada Pemikiran Al-Farabi
Al-Farabi adalah sosok
filosof muslim yang banyak dipengaruhi oleh filodof Yunani. Bahkan ia telah
memadukan pemikiran Aristoteles dengan pemikiran Plato. Dan al-Farabi pula
filosof muslim yang berhasil mengkonfigurasikan pemikiran filsafat Barat
dengan agama Islam yang ia anutnya. Walaupun dalam perkembangannya, banyak
benturan pemikiran dengan para pemikir muslim lainnya. Pemikiran al-Farabi
merupakan tranformasi pemikiran filsafat Barat, hal ini dapat dilihat dari
pengaruh pemikiran filsafat Barat pada pemikirannya sebagai berikut :
1. Dalam
Ilmu logika dan fisika, ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles.
2. Dalam masalah akhlak dan politik, ia sangat dipengaruhi oleh
pemikirannya Palto. Lihat dalam konsep negara utama yang diusung oleh
al-Farabi, sangat didominasi oleh pemikiran atau konsep Palto.
3. Dalam masalah metafisika, ia
lebih banyak dipengaruhi oleh Plotinus. Pemikiran tentang kosmologi
al-Farabi yang sangat terkenal adalah konsep emanasi atau pancaran atau (al-Faidh). Teori ini diambil dari
New-Platonisme yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan dari
yang Esa (The One).
Al-Ghazali & Ibnu Rusyd:
dialektika pemikiran yang
mempengaruhi sejarah
Perdebatan al-Ghazali
dengan Ibnu Rusydi secara hakikatnya terletak pada perbedaan mengenai
hakikat kebenaran yang mereka pahami. Al-Ghazali sebagai teolog, sementara
Ibnu Rusydi sebagai filosof. Keduanya, memiliki dasar masing-masing dalam
menentukan kebenaran.
Metode Pengetahuan melalui Kebenaran Mistis al-Ghazali: Pada
awalnya, al-Ghazali meyakini kebenaran itu diperoleh melalui pengetahuan
indrawi melalui daya tangkap panca indra. Kemudian bagi dia, pancaindera
pun ternyata berdusta. Setelah itu, al-Ghazali meletakan kebenaran
berdasarkan pengetahuan pada akal. Namun al-Ghazali menilai akal pun
ternyata tak dapat dipercaya, sebab beliau menemukan kebenaran dari mimpi
yang timbul diluar kebenaran akal. Sampai pada akhirnya, tasyawuflah yang
menjadi obat penghilang rasa ragu dalam dirinya. Cahaya yang diturunkan
oleh Tuhan kepada dirinya yang telah menjadikan al-Ghazali menemukan
keyakinan kebenaran. Dengan demikian, bagi al-Ghazali, kebenaran adalah
pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui jalan tasawuf.
Selanjutnya, keyakinan epistemologis ini mempengaruhi al-Ghazali dalam
metodologi kebenaran.
Metode Pengetahuan melalui kebenaran Filosofis Ibn Rusydi: Pengetahuan ke dalam dua bagian; Pertama,
‘ilm Ilahiy (Pengetahuan Ilahiyah), sebagaimana tercantum dalam
al-Qur’an: yaitu Wahy, pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari
Allah. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan; kedua, ‘ilm Insaniy,
(pengetahuan manusiawi) atau filsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Ibnu Rusyd meyakini peran penting filsafat dalam mendampingi agama. Menurutnya,
kebenaran wahy (yang disampaikan nabi Muhammad yang diterima dari
Allah), bisa dibuktikan melalui pijakan-pijakan rasional. Karena, untuk
memahami tujuan Nabi Muhammad dalam al-Qur’an diperlukan penafsiran atau
penjajakan atas makna taksa (ambigous) yang terkandung dalam
beberapa ayat al-Qur’an dengan sikap seperti “orang-orang yang beragama dan
berakal-budi yang benar”.
Sumbu Api Perdebatan al-Ghazali dan Ibnu Rusydi: Bermula dari
al-Ghazali yang menuduh kafir kepada kaum filosof. Dalak kritiknya terhadap
filsafat, Tahaffutul Falasifah, al-Ghazali mengidentifikasi 10
problem kesesatan para filosof. Dari 10 persoalan tersebut, al-Ghazali
meringkas tiga titik sumbu api perdebatan:
Pertama: ihwal Alam kekal Tak bermula
Al-Ghazali, Alam itu
bermula: Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah
Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila
ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkanpaham: 1).
Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan
dosa besar yang tidak diampuniTuhan; 2). Atheisme; alam yang qadim tidak
perlu kepada pencipta.Bagi al-Ghazali dan kaum teolog, al-ihdats mengandung
arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex nihilo), sedang bagi
kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Alam itu mestilah bermula.
Pernyataan yang menyatakan alam itu adalah qadim adalah pemikiran
yang sesat bertentangan dengan teks Kitab suci al-Qur’an. Karena keberadaan
alam membutuhkan pencipta.Penciptaan dari tiadalah yang memastikan
adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dandiciptakandari“tiada”.
Ibnu Rusydi, Alam itu bersifat kekal: Bagi Ibnu Rusyd dankaum filosof
berarti menciptakan sesuatu itu dari “ada”.al-Ghazali dinilai “kacau” cara
berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Kata Ibnu
Rusyd, ‘adam(tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud
(ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk
lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun,
mesti qadim. Materi pertama yang qadim ini berasal dari
Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Dengan merujuk pada
al-Qur’an, Ibn Rusyd menjelaskan mengenai alam yang dicipta dari materi.
Menurut beliau, sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain.
Dalam sebagian ayat itu disebut air, dan dalam ayat yang lain itu disebut
uap. Maka bumi dan langit dijadikan dari air, bukan dari tiada. Maka, alam
dalam arti unsurnya, itu bersifat kekal dari zaman lampau, yaitu qadim.
Kedua: ihwal Tuhan tak mengetahui perincian dari apa yang terjadi di
alam
Ibnu Rusyd menyatakan
bahwa al-Ghazali telah salah faham. Menurutnya, kaum filosof tidak pernah
menyatakan Tuhan tidak mengetahu perincian dari apa yang terjadi di alam.
Yang dikatakan filosof adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian
yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang
perincian itu. Pengetahuan manusia tentang hal itu mengambil bentuk efek,
sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujud
perincian tersebut. Tuhan mengetahui segala sesuatu berikut hal
terkecilnya. dari pemahaman ini, Ibnu Rusyd memandang alam ini adalah
sebuah proses yang tunduk pada kausalitas, sementara Tuhan adalah poros
dalam hubungan kausalitas itu. Sementara al-Ghazali, memandang kausalitas
itu sebagai sesuatu hal yang biasa, dan semuanya berasal dari kehendak
Tuhan.
Ketiga: Ihwal Pembangkitan Jasamani tak ada
Bagi Ibnu Rusyd,
pembangkitan jasmani itu tidak ada, karena yang dibangkitkan kelak adalah
ruhani. Soal ini Ibn Rusyd mengkritik kembali kritikan al-Ghazali yang
tampak paradoks dengan pendapatnya sendiri yang mengatakan bahwa, “pembangkitan
kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk ruhani dan tidak dalam bentuk
jasmani”. Menurut Ibn Rusyd, tidak terdapat ijma’ ulama untuk soal itu.
sehingga bagi filosof yang berpendapat tidak adanya kebangkitan Jasmani,
tidak dapat dikafirkan.
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Program konsentrasi Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI) Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Kliping Pasted From
|