SEJARAH
AWAL PENYUSUNAN DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
Oleh Nurcholish Madjid
Dalam bidang fiqh seperti
juga dalam bidang-bidang yang lain masa
Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa
tampilnya imam-imam madzhab. Di
satu pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar
masa sahabat Nabi, di lain pihak pada
masa itu juga
mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan
di bidang keahlian yang lebih mengarah pada
spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan
para Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama
masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut
dari para pengikut" yakni,
kaum Muslim generasi
ketiga), dianggap sebagai masa-masa paling
otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu
sebagai kesatuan suasana
yang disebut salaf (Klasik).
Walaupun begitu tidaklah
berarti masa generasi kedua
ini bebas dari persoalan dan
kerumitan. Justru sifat transisional masa
ini ditandai berbagai gejala kekacauan pemahaman
keagamaan tertentu, yang bersumber dari
sisa dan kelanjutan berbagai
konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan
'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang
berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi
klaim-klaim mereka, seperti Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan
sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu
antara lain menjadi sebab
bagi berkecamuknya praktek
pemalsuan hadits atau penuturan dan cerita tentang Nabi
dan para sahabat. Melukiskan keadaan
yang ruwet itu
Musthafa al-Siba'I
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
Tahun empat puluh
Hijriah adalah batas
pemisah antara kemurnian Sunnah
dan kebebasannya dari
kebohongan dan pemalsuan di
satu pihak, dan ditambah-tambahnya
Sunnah itu serta digunakannya sebagai
alat melayani berbagai kepentingan politik dan
perpecahan internal Islam. Khususnya setelah perselisihan antara
'Ali dan Mu'awiyah
berubah menjadi peperangan dan yang
banyak menumpahkan darah
dan mengorbankan jiwa, serta
setelah orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai
kelompok. Sebagian besar orang-orang Muslim memihak 'Ali
dalam perselisihannya dengan Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij
menaruh dendam terhadap 'Ali dan
Mu'awiyah sekaligus setelah
mereka itu sendiri sebelumnya
merupakan pendukung 'Ali
yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a.
wafat dan Mu'awiyah habis
masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim
menuntut hak mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat pada Dinasti Umayyah.
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik
menjadi sebab terpecahnya
kaum Muslim dalam berbagai golongan dan
partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan,
yang kelak mempunyai pengaruh yang
lebih jauh bagi tumbuhnya
aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap partai berusaha
menguatkan posisinya dengan al-Qur'an
dan Sunnah, dan wajarlah
bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk setiap kelompok tidak selalu
mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan
interpretasi al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah
pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul hadits-hadits yang
menguatkan klaim mereka, setelah hal
itu tidak mungkin
mereka lakukan terhadap al-Qur'an karena ia
sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang
meriwayatkan dan membacanya.
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang sahih dengan
yang palsu. Sasaran pertama
yang dituju para pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh.
Maka mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang
mengatakan bahwa yang pertama melakukan hal
itu ialah kaum
Syi'ah dengan perbedaan berbagai
kelompok mereka- sebagaimana dituturkan Ibn Abi al-Hadid
dalam Syarh Nahj
al-Balaghah, "Ketahuilah
bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul
dari arah kaum Syi'ah..." Tapi
kemudian diimbangi
orang-orang bodoh dari kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan
juga.
Dihadapkan keruwetan itu, para
Tabi'in -dengan dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh
dengan penampilan kesarjanaan mencoba melakukan sesuatu yang amat
berat namun kemudian membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan
pembakuan Hukum Islam melalui
fiqh atau "proses pemahaman" yang sistimatis.
WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
Antara Islam sebagai
agama dan Hukum
terdapat kaitan langsung yang
tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap
di Madinah Nabi
saw. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang
bersifat kehukuman telah ada sejak
di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah
diletakkan dengan kokoh dalam periode
pertama itu. Dasar-dasar itu
memang tidak semuanya
langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab
selalu dikaitkan dengan ajaran moral
dan etika. Maka
sejak di Makkah
Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial
yang antara lain mendasari
konsep-konsep tentang harta
yang halal dan yang haram (semua harta yang
diperoleh melalui penindasan adalah haram),
keharusan menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban
mengurus harta anak
yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita
dan janda, dan seterusnya. Itu
semua tidak akan
tidak melahirkan sistem
hukum, sekalipun keadaan di
Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka
tindakan Nabi dan kebijaksanaannya di
Madinah adalah kelanjutan
yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang
kemudian disusul masa
para Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang
meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera
melebar dan meluas sehingga membentang
dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani
kuno dianggap sebagai heatland
Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da'irat al-Ma'murah) telah
mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat
mapan dan tinggi,
termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu
merupakan warisan
Yunani-Romawi, dan Indo-Iran
umumnya.
Karena itu mudah dipahami
jika timbul semacam
tuntutan intelektual
untuk berbagai segi kehidupan
masyarakat yang harus dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim
Arab itu.
Tuntutan intelektual itu
mendorong tumbuhnya suatu
genre kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab,
yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang telah terjadi
pada masa tabi'in
itu ialah semacam pendekatan
ad hoc dan
praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang
ada dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan
pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat lingkungan
mereka yang secara
ideal terdekat, khususnya
masyarakat Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum
Islam yang lapang dan luwes,
sehingga mampu menampung
setiap perkembangan
yang terjadi. Berkenaan dengan
hal ini al-Sayyid Sabiq
menjelaskan, ...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan zaman dan
tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara sepenuhnya terperinci, dengan
dijelaskan oleh
nash-nash yang bersangkutan; maka
tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi.
Tetapi yang berkembang menurut perkembangan zaman
dan tempat, seperti berbagai kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah), urusan politik dan
peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan
kepentingan manusia di semua zaman dan
agar dapat dipedomani oleh
para pemegang wewenang (ulu al-amr) dalam menegakkan keadilan dan
kebenaran.
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa letak
kekuatan Islam ialah sifatnya
yang akomodatif terhadap setiap
perkembangan zaman dan
peralihan tempat (shalih li
kull zaman wa makan- sesuai
untuk setiap zaman dan tempat).
Untuk mengerti masalah
ini sangat menarik mengutip lebih lanjut keterangan
al-Sayyid Sabiq, Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu
dari berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi
ilmiah dari tugas suci itu. Penetapan hukum keagamaan murni,
seperti hukum-hukum
ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari
wahyu Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau
dengan suatu ijtihad yang
disetujuinya. Dan tugas
Rasul tidak keluar dari lingkaran
tugas menyampaikan (tabligh)
dan menjelaskan
(tabyin). "Tidaklah ia
(Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu
yang diwahyukan kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi bersifat
kehakiman, politik dan perang,
maka Rasul saw. diperintahkan bermusyawarah mengenai
itu semua. Dan Nabi pernah
mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan menerima pendapat
para sahabat, sebagaimana terjadi pada waktu perang
Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu meruduk kepada
Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak mereka
ketahui, dan meminta tafsiran
tentang makna-makna berbagai nash
yang tidak jelas
bagi mereka. Mereka juga mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka
tentang nash-nash itu, sehingga
Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman mereka itu,
dan kadang-kadang beliau
menerangkan letak kesalahan
dalam pendapat mereka itu.
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum
Hukum Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman
Nabi sendiri, kemudian zaman
para Sahabat, dan diteruskan ke zaman para
Tabi'in. Tapi jika
pada zaman Nabi
tempat rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para sahabat Nabi
itu diwarisi banyak tokoh, yang kemudian bertindak sebagai tempat
rujukan. Tapi sejak pertikaian politik
pada paroh kedua
kekhalifahan 'Utsman,
tanda-tanda menyebarnya, dan
kemudian berselisihnya,
tempat rujukan itu
sudah mulai nampak. Seperti dilukiskan Siba'i
yang telah dikutip
di atas, penyebaran dan
perselisihan otoritas itu
memuncak pada sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan
mulai berusaha keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi tanpa peduli
dengan sambutan sebagian
besar umat Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau "Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab
"persatuan" dan "solidaritas" itu agaknya
hanya terbatas pada
kenyataan kembalinya
kesatuan politik (formal)
umat Islam di bawah Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK
Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang
masa kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum Muslim dapat dikatakan kembali pada
keadaan seperti zaman Abu Bakar dan
'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua
Tokoh") yang amat dirindukan orang
banyak, termasuk para "aktivis militan" yang
membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut]
mensponsori pengangkatan
'Ali namun akhirnya
berpisah dan menjadi golongan Khawarij). Apa pun
kualitas kekhalifahan Mu'awiyah
itu, namun dalam
hal masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin
berpegang dan meneruskan tradisi
para Khalifah di Madinah
dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena itu ada semacam "koalisi"
antara Damaskus dan Madinah (tapi
suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat
masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi
"koalisi" itu
mempunyai akibat cukup
penting dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi
kehukuman (Islam) kepada
Hadits atau Tradisi (dengan
"T" besar) yang
berpusat di Madinah dan Makkah serta mendapat dukungan langsung atau
tak langsung dari rezim
Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah
sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan
kota-kota Kufah dan Basrah
adalah kawasan yang
selalu potensial menentang Damaskus secara efektif.
Ini kemudian berdampak
tumbuhnya dua orientasi dengan
perbedaan yang cukup penting:
Hijaz (Makkah-Madinah) dengan orientasi
Haditsnya, dan Irak (Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra'y)-nya. Penjelasan
menarik tentang hal
ini diberikan oleh Syaykh
'Ali al-Khafif.
Pada zaman itu
(zaman Tabi'in), dalam
ifta' (pemberian fatwa)
ada dua aliran:
aliran yang cenderung pada kelonggaran dan
bersandar atas penalaran, kias, penelitian tentang tujuan-tujuan
hukum dan alasan-alasannya, sebagai dasar ijtihad.
Tempatnya ialah Irak.
Dan aliran yang cenderung tidak kepada kelonggaran
dalam hal tersebut, dan hanya
bersandar kepada bukti-bukti
atsar (peninggalan atau "petilasan," yakni, tradisi
atau Sunnah) dan
nash-nash.
Tempatnya ialah Hijaz.
Adanya dua aliran
itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan
Irak. Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian para
Sahabat beliau menyambut,
mendengarkan, memelihara sabda-sabda
beliau dan
menerapkannya. Dan (Hijaz)
tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka
(para Sahabat) yang
datang kemudian sampai beliau
wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada
penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum Tabi'in yang bersemangat untuk
tinggal di sana...
Sedangkan Irak telah mempunyai
peradabannya sendiri, system pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan
tidak mendapatkan bagian dari
Sunnah kecuali melalui para Sahabat dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan
yang dibawa pindah oleh mereka itu
pun masih lebih
sedikit daripada yang ada di Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum)
di Irak itu, disebabkan masa lampaunya, adalah
lebih banyak daripada yang ada
di Hijaz; begitu
pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka
itu kepada penalaran, adalah lebih luas dan lebih banyak. Karena
itulah keperluan mereka
kepada penalaran lebih kuat
terasa, dan penggunaannya juga lebih banyak. Penyandaran diri
kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah
pada mereka itu tidak memadai untuk semua tuntutan
mereka. Ini masih
ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi
dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran
mendalam dan pelaksanaan yang banyak.
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang
kepada penuturan masa lampau,
seperti Hadits, sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok Penalaran", dengan isyarat
tidak banyak mementingkan "riwayat"), sesungguhnya itu
hanya karakteristik gaya
intelektual masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat
individu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik umum
itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana
bernama Rabi'ah yang
tergolong "Kelompok
Penalaran," dan di
kalangan para sarjana Irak, kelak,
tampil seorang penganut
dan pembela "Kelompok Riwayat" yang
sangat tegar, yaitu
Ahmad ibn Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa
sesuatu kelompok hanya melakukan
satu metode penetapan hukum atau tasry', apakah itu
penalaran atau penuturan riwayat, adalah
tidak tepat. Terdapat persilangan antara
keduanya, meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua katagori tersebut.
Ini semakin memperkaya
pemikiran hokum zaman Tabi'in.
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang
anggota Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah (Badan
Riset Islam) Universitas al-Azhar, Kairo, Ijtihad yang terjadi di
zaman Tabi'in adalah ijtihad
mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan
pendapat seorang mujtahid yang terlebih
dahulu, dan yang
secara langsung
diarahkan membahas, meneliti
dan memahami yang benar. Ikatan
hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat seorang Sahabat
Nabi, yang diduga bersandar
kepada Sunnah yang karena beberapa
sebab Sunnah itu
tidak muncul
sebelumnya, kemudian pada
zaman Tabi'in itu,
lebih-lebih zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih
mengizinkan untuk
muncul. Misalnya, perubahan situasi
politik, dengan perpindahan
kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah membawa perubahan
penting dalam sikap
keagamaan. Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan
wawasan hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan dengan hukum,
banyak berorientasi kepada preseden-preseden para khalifah Madinah,
khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih banyak dan
lebih tulus perhatian mereka
kepada masalah-masalah keagamaan dari
pada kaum Umawi.
Sikap berpegang kepada syari'ah
ini bagi kaum 'Abbasi berarti pengukuhan legitimasi politik
dan kekuasaan mereka (dibandingkan dengan
kedudukan kaum Umawi, dan
dihadapkan kepada oposisi kaum Syi'ah
dan Khawarij). Tapi
disamping itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih
mendukung bagi perkembangan
kajian agama, dan
ini pada urutannya memberi peluang
lebih baik pada
para sarjana untuk menyatakan pendapatnya, termasuk
menuturkan riwayat dan Hadits. Usaha
secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian menjadi sejajar dengan Hadits)
telah mulai tumbuh
sejak jaman 'Umar ibn
'Abd-al'Aziz menjelang akhir
kekuasaan Umawi. Kini usaha
ini memperoleh dorongan
baru, dan merangsang tumbuhnya
berbagai aliran pemikiran
keagamaan, baik yang bersangkutan dengan bidang politik,
teologi dan hukum, maupun
yang lain.
Semua kegiatan itu
juga terpengaruh kenyataan sosial-politik, berupa semakin
beragamnya latar belakang etnis, kultural
dan geografis anggota
masyarakat Islam, disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab
(Syiria, Mesir, Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam. [6]
Maka zaman itu kita menyaksikan tampilnya
tokoh-tokoh kesarjanaan dengan bidang kajian
ilmu yang lebih
terspesialisasi, khususnya, bidang
kajian hukum Islam
atau fiqh. Merekalah para pendahulu imam-imam
madzhab, bahkan guru-guru para calon imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan suatu aliran
pikiran (yakni, madzhab, school of thought) dengan
tempat. Telah disebutkan adanya dua
aliran pokok: Irak dan
Hijaz. Namun diantara
keduanya, dan dalam diri masing-masing aliran besar itu, terdapat
nuansa yang cukup berarti, dan
cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu tercermin dalam
ketokohan sarjana atau
'ulama' yang
mendominasi suasana intelektual suatu
tempat, seperti dituturkan
al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya, Tarikh al-Tasyri'
al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1.
Sa'id ibn al Musayyib
al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari
para pembesar Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya.
Wafat pada 94 H.
2. 'Urwah
ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa kekhalifahan 'Utsman. Banyak
belajar dari bibinya, Aisyah, istri
Nabi saw. wafat pada 94 H.
3. Abu
Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi. Lahir di masa
kekhalifahan 'Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari "pendeta
Quraysy" (rahib Quraysy). Wafat pada 94 H.
4. 'Ali
ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi. Dia adalah imam keempat
kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari
ayahnya dan dari pamannya, al-Hasan
ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim
(terpelajar), tapi tidak banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
5. '.Ubayd-Allah
ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud. Belajar dari 'Aisyah, Abu Hurayrah,
Ibn 'Abbas, dan lain-lain. Selain kepemimpinannya dalam fiqh dan Hadits, ia
juga terkenal sebagai penyair, dia adalah guru Khalifah 'Umar ibn 'Abd
al-'Aziz. Wafat pada 98 H.
6. Salim
ibn 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari ayahnya sendiri, juga dari A'isyah, Abd Hurayrah,
Sa'id ibn al-Musyyaib, dan
lain-lain. Wafat pada 106 H.
7. Sulayman
ibn Yasar, klien Maymunah (istri Nabi saw.) Belajar dari patronnya sendiri,
dan dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Tsabit, dan
sebagainya. Wafat pada 107 H.
8. Qasim
ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Mendapat pendidikan dari 'A'isyah (bibinya sendiri), Ibn Abbas, Ibn
'Umar, dan sebagainya. Wafat pada
106 H.
9. Nafi',
klien 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari patronnya sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu Hurayrah,
dan lainnya.Diutus oleh 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz ke Mesir, mengajar Sunnah.
Berasal dari Daylam (daerah Iran). Wafat pada 117 H.
10. Muhammad ibn Muslim,
yang terkenal dengan Ibn Syihab al-Zuhri. Lahir 50 H., dan belajar dari
'Abd-Allah ibn 'Umar, Annas ibn Malik, Sa'id ibn al-Musayyaib, dan
sebagainya. Mendapat perintah dari 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz untuk mencatat
Sunnah penduduk Madinah sebagai rintisan
resmi pertama pembukuan Hadits.
11. Abu Ja'far ibn Muhammad
ibn 'Ali ibn al-Husayn, yang dikenal dengan sebutan al-Baqir. Dia adalah
imam kelima kaum Syi'ah. Belajar dari ayahandanya sendiri, juga dari Jabir
dan 'Abd-Allah Ibn 'Umar, dan sebagainya. Dikenal sebagai "Kepala Bani Hasyim" di
zamannya. Wafat pada 114 H.
Di Makkah beberapa sarjana terkenal juga tampil:
1.
'Abd-Allah ibn, 'Abbas
ibn 'Abd-Muthalib. Lahir dua tahun
sebelum Hijrah, dan pernah dibacakan do'a oleh Nabi agar mempunyai
pemahaman mendalam (tafaqquh) dalam agama. Beliau diajar tentang ta'wil. Dianggap Bapak
Ilmu tafsir al-Qur'an. Belajar banyak dari 'Umar, 'Ali dan Ubay ibn Ka'b.
Wafat di Thaif pada 68 H.
2.
Mujahid ibn Jabr, Klien
Bani Makhzum. Belajar dari Sa'd, 'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Wafat pada 103 H.
3.
'Ikrimah, klien Ibn
'Abbas. Belajar dari Ibn 'Abbas, 'A'isyah, Abu Hurayrah, dll. Pernah
menyatakan ia sependapat dengan kaum Khawarij. Wafat pada 107 H.
4.
'Atha ibn Rabbah.
Belajar dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan sebagainya. Disebutkan
berkulit hitam kelam, yang fasih dan luas pengetahuan. Sangat banyak
mendapat pujian dari para 'ulama' yang lain, termasuk mereka yang hidup
sezaman. Wafat pada 114 H.
Dari kalangan warga Kufah yang tampil antara lain ialah:
1.
'Alqamah ibn Qays al-Nakha'i. Lahir di masa Nabi masih hidup, dan belajar dari 'Umar, 'Utsman,
Ibn Mas'ud, 'Ali, dan lainnya. Murid
terkemuka Ibn Mas'ud. Wafat pada 62 H.
2.
Masruq ibn al-Ajda' al-Hamdani. Belajar dari 'Umar,
'Ali, Ibn Mas'ud, dan sebagainya.
Wafat pada 63 H.
3. Al-Aswab
ibn Yazid al-Nakha'i, dan Ibrahim ibn Yazid al-Nakha'i. Keduanya
bersaudara, dan sama-sama tampil sebagai sarjana terkemuka. Kedua-duanya
wafat pada 95 H.
4. 'Amir
ibn Syarahil al-Sya'bi. Lahir 17 H. Sarjana Tabi'in yang paling terkemuka.
Guru utama Imam Abu Hanifah. Belajar dari 'Ali, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas,
'A'isyah, Ibn 'Umar, dan sebagainya.
Cukup menarik bahwa al-Sya'bi tidak suka kepada metode qiyas (analogi) yang
menjadi ciri Ahl al-Ra'y yang
dikembangkan muridnya, Abu Hanifah.
Kemudian dari Basrah, tampil tokoh-tokoh, antara lain:
1.
Anas ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia Sahabat Nabi sejak Hijrah sampai wafat.
Karena penampilannya sebagai sarjana dan peranannya dalam mendidik para
Tabi'in maka ia termasukkan dalam daftar ini. Selain belajar dari Nabi juga banyak belajar dari Abu Bakr,
'Umar, 'Utsman, Ubbay, dll. Wafat
pada 90 H.
2. Abu
al-'Aliyah Rafi' ibn Mahran al-Riyahi. Belajar dari 'Umar, Ibn Mas'ud, 'Ali
dan 'A'isyah. Wafat pada 90 H.
3. Al-Hasan
ibn Abi al-Hasan Yassar, klien Zayd ibn Tsabit. Dibesarkan di Madinah dan
menghafal al-Qur'an di zaman
'Utsman. Seorang pejuang yang terkenal berani, di samping seorang sarjana terkemuka. Wafat pada 110
H.
4. Abu
al-Syaitsa', Jabir ibn Zayd, kawan Ibn 'Abbas. Banyak belajar dari kawannya
sendiri itu. Wafat pada 93 H.
5. Muhammad
ibn Sirin, klien Anas ibn Malik. Belajar dari patronnya, kemudian dari Abu Hurayrah,
Ibn 'Abbas dan Ibn 'Umar. Wafat pada 110 H.
6. Qatadah
ibn Da'aman al-Dusi. Selain ahli hukum Islam, ia juga ahli bahasa, sejarah
dan geneologi (al-nasab). Wafat pada 118 H.
Dari daerah Syam (Syria) beberapa tokoh ahli hukum
tampil, seperti
'Abd-al-rahman ibn Gahnim
al-Asy'ari, Abu Idris
al-Khulani, Qabishah ibn Dzu'ayb,
Makhul ibn Abi
Muslim, Raja ibn Hayah
al-Kindi, dan lain-lain. Namun yang paling penting dari para sarjana
Syam itu ialah Khalifah 'Umar ibn
'Abd-al-'Aziz, terkenal sebagai
'Umar II dan
banyak dipandang sebagai yang kelima dari al-Khulafa' al-Rasyidin, Dialah yang
mengukuhkan tarbi, (mengakui
empat Khalifah pertama: Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali) dan mensponsori secara resmi
(kenegaraan) usaha penulisan
Sunnah atau Hadits. Dia wafat
pada 101 H.
Mesir saat itu belum menjadi
tandingan tempat-tempat yang tersebut di atas. Kota Kairo belum ada (baru
didirikan oleh Dinasti
Fathimiyah kelak, bersama
Masjid-Universitas al-Azharnya),
dan ibukota Mesir
ialah Fusthath yang perkembangannya tidak
terlalu pesat seperti
lain-lain.
Walaupun begitu telah tampil pula di kalangan Mesir beberapa sarjana
terkemuka, seperti 'Abd-Allah ibn
al-'Ash (wafat pada 65
H.), 'Abd-al-Khayr ibn 'Abd-allah al-Yazani (wafat pada 90 H.),
Yazid ibn Abi Habib yang disebut-sebut
sebagai pelopor ilmu pengetahuan di Mesir dan ahli masalah halal dan
haram (wafat pada 128 H.).
Di Jazirah Arabia sebelah selatan, yaitu Yaman, juga banyak muncul sarjana-sarjana dengan
pengaruh yang jauh keluar dari batasan daerahnya sendiri. Mereka itu,
antara lain, Thawus ibn Kaysan
al-Jundi (wafat pada 106 H.)
yang belajar dari Zayd ibn Tsabit,
'A'isyah, Abu Hurayrah,
dan lainnya. Kemudian Wahb
ibn Munabbin al-Shan'ani,
yang belajar dari Ibn 'Umar, Ibn 'Abbas, Jabir, dan lainnya. Wafat pada 114
H. Selanjutnya ialah Yahya
ibn Abi Katsir
yang menurut sementara
'ulama' yang lain seperti Syu'bah
dianggap lebih ahli tentang
Hadits daripada al-Zuhri tersebut.
Para tokoh ahli
hukum itu dan
kegiatan ilmiah serta pengajarannya telah mendorong
tumbuhnya para spesialis hokum angkatan
berikutnya, seperti al-Awza'i, Sufyan al-Tsawri, al-Layts ibn
Sa'd, dan lainnya. Mereka ini, pada gilirannya, telah melapangkan jalan
bagi tampilnya para imam
madzhab yang sampai saat ini pengaruhnya masih amat
kukuh seperti Abu Hanifah,
Malik, al-Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal.
Kliping Artikel Pasted from :
|