BAB I
PENDAHULUAN
Mungkin ada yang belum mengetahui, bahwa Indonesia memiliki bunga
srikandi yang senantiasa bermekaran dari musim ke musim. Bahkan semerbaknya
yang dapat dicium tanpa lekang melewati masa, mampu menginspirasi bagian
dunia lain untuk memandang perspektif baru. Ya, dialah Rahmah el Yunusiah.
Karena Rahmah-lah, Universitas Al-Azhar, Kairo memulai tradisi baru,
memberi gelar Syaikhah (Perempuan Guru Besar) yang belum pernah ada
presedennya.
Rahmah el Yunusiah merupakan putri dari pasangan Rafi'ah dan Muhammad
Yunus bin Imanuddin yang lahir pada 1 Rajab 1318 atau 20 Desember 1900.
Ayahnya adalah seorang tokoh agama terkemuka, sementara garis leluhurnya
terhubung dengan Haji Miskin, salah seorang Harimau nan Salapan pada Perang
Paderi sekaligus tokoh pembaharu keagamaan.
Menurut Rahmah, seorang perempuan memiliki persoalan yang kompleks
dan rumit. Namun kaum perempuan pun enggan bertanya, hingga terus
terkungkung dalam jeratan kebodohan. Mereka bahkan menganggap bahwa
posisinya sebagai sosok lemah dan serba terbatas adalah kehidupan yang
memang harus dijalani.
Padahal perempuan memiliki perang yang penting dalam kehidupan.
Darinyalah ia akan mendidik dan mengendalikan jalur kehidupannya. Rumah
tangga adalah tiang masyarakat, sedangkan masyarakat adalah tiang negara,
demikian gambaran Rahmah tentang fungsi perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
Rahmah El-Yunusiah adalah Ia anak bungsu dari lima bersaudara, lahir
dari pasangan Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah, pada 29 Desember
1900/1 Rajab 1318 H, di Bukit Surungan, Padang Panjang. Ayah Rahmah
el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya.
Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M) menjabat sebagai seorang Qadli di negeri
Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Selain itu
Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut
ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Ulama yang masih ada darah
keturunan dengan pembaharu Islam yang juga seorang tokoh Paderi Tuanku Nan
Pulang di Rao. Ibunda Rahmah el-Yunusiyah yang biasa disebut Ummi Rafi’ah,
nenek moyangnya berasal dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan
pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi
Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada
hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi
Rafi’ah yang bersuku Sikumbang.
Sejak kecil ia hanya mendapat pendidikan formal sekolah dasar 3 tahun
di kota kelahirannya. Kemampuannya baca tulis Arab dan Latin diperoleh
melalui sekolah Diniyah School (1915) dan bimbingan kedua abangnya,
Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid. Sore hari ia mengaji kepada Haji Abdul
Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayahanda Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Tamat dari Diniyah School, ia mengaji pada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim,
Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Daud
Rasyidi. Sambil mengajar di Diniyah School Putri, ia mengikuti kursus
kebidanan di Rumah Sakit Kayu Taman dengan bimbingan Kudi Urai dan Sutan
Syahrir, kemudian mendapat izin praktik (1931-1935).
Pada 1 November 1923 dia mendirikan sekolah untuk kaum perempuan
dengan nama Madrasah Diniyah lil al-Banat yang dipimpin selama 46 tahun. Ia
juga mendirikan Diniyah School Putri di Kwitang dan Tanah Abang pada 2 dan
7 September 1935, di Jatinegara dan Rawasari, Jakarta, pada 1950. Tidak
saja untuk pendidikan dasar, tapi berlanjut sampai perguruan tinggi.
Selain berkiprah di dunia pendidikan, ia juga aktif berjuang untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada era kemerdekaan, ia bergabung
dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Kiprahnya dimulai dari
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 2 Oktober 1945, kemudian
mengayomi lasykar pejuang yang dibentuk oleh organisasi Islam seperti
Hizbullah dan Sabilillah, memimpin dapur umum untuk TNI dan lasykar pejuang
di Padang Panjang.
Pada 1952-1954 ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di Jakarta,
dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1955-1958).
Pada 1958 itu berseberangan dengan Presiden Soekarno yang kala itu lebih
condong kepada PKI. Itu sebabnya ia kembali ke dunia pendidikan dengan
meningkatkan kualitas Diniyah School Putri.
Kiprahnya dalam dunia pendidikan mendapat perhatian Rektor
Universitas Al-Azhar, Kairo, Dr. Syekh Abdurrahman Taj, yang sempat
berkunjung ke Diniyah School Putri pada 1955. Pada 1957, ia mendapat gelar
sebagai Syaihah oleh Universitas Al-Azhar, setara dengan Syekh Mahmoud
Salthout, mantan Rektor Al-Azhar. Ia bepulang ke Rahmatullah pada Rabu 26
Februari 1969 (9 Zulhijah 1388).
Core Vreede dan De Stuers menyatakan ketokohan Rahmah dari dua sisi
pertama seperti Ki Hajar Dewantara karena mendirikan sebuah lembaga
pendidikan atas inisiati sendiri. Kedua seperi Kartini karena berjuang
memperbaiki posisi perempuan melalui pendidikan.
B. RAHMAH EL-YUNUSIYAH DAN PENDIDIKAN PEREMPUAN
Rahmah memandang mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Perempuan
adalah pendidik pertama dan utam bagi anak-anak yang akan menjadi generasi
penerus bangsa. Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki
kedudukan perempuan diperlukan pendidikan khusus kaum perempuan yang
diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu adanya upaya
untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual,
kepribadian ataupun keterampilan.
Cita-cita pendidikan Rahmah diwujudkannya dengan mendirikan Diniyah
Putri pada 1923. Melalui lembaga pendidikan ini Rahmah el-Yunusiyah,
memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan bagi kaum
perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif dan
muslim yang baik. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau dan meletakkan
tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia.
Diniyah Putri adalah akademi agama pertama bagi putri yang didirikan di
Indonesia.
Anak–anak perempuan dan perempuan dewasa mungkin saja mendapat
dorongan untuk mengaji Al-Qur’an dan shalat; tetapi tidak seperti kaum
laki–laki, mereka memiliki sedikit peluang untuk dapat melek aksara Melayu
yang menjadi bahasa nasional Indonesia, atau Belanda, sebagai bahasa
pendidikan modern. Rahmah el-Yunusiyah percaya bahwa kaum perempuan
membutuhkan model pendidikan tersendiri yang terpisah dari laki–laki,
karena ajaran Islam memberikan perhatian khusus kepada watak dan peran kaum
perempuan dan mereka membutuhkan lingkungan pendidikan tersendiri di mana
topik–topik ini bisa dibicarakan secara bebas.
Rahmah merasa bahwa pendidikan bersama (campuran) membatasi kemampuan
kaum perempuan untuk menerima pendidikan yang cocok dengan kebutuhan
mereka. Rahmah ingin menawarkan kepada anak–anak perempuan pendidikan
sekuler dan agama yang setara dengan pendidikan yang tersedia bagi kaum
laki–laki, lengkap dengan program pelatihan dalam hal keterampilan yang
berguna sehingga kaum perempuan dapat menjadi anggota masyarakat yang
produktif. Hal inidapat disimak dari perkataannya sebagai berikut:
“Diniyah School putri akan selalu mengikhtiarkan penerangan agama dan
meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah
mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya dari kaum lelaki
lantaran perempuan segan bertanya kepadanya. Inilah yang menyebabkan
terjauhnya perempuan Islam dari penerangan agama sehingga menjadikan kaum
perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan. …Saya harus mulai, dan saya
yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya…Jika kakanda
bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa
perempuan tidak bisa.”
Tujuan pendidikan perempuan menurut Rahmah adalah meningkatkan kedudukan
kaum perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan modern yang berlandaskan
prinsip–prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum perempuan
dalam masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus
dilakukan oleh kaum perempuan sendiri. Melalui lembaga seperti itu, ia
berharap bahwa perempuan bisa maju, sehingga pandangan lama yang
mensubordinasikan peran perempuan lambat laun akan hilang dan akhirnya kaum
perempuan pun akan menemukan kepribadiannya secara utuh dan mandiri dalam mengemban
tugasnya sejalan dengan petunjuk agama. Rahmah selalu memohon petunjuk
kepada Allah perihal cita–citanya itu, sebagaimana tertuang dalam doanya
yang ditulis di buku catatannya:
Ya Allah Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku
ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang
masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya
Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita–citaku itu. Ya
Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.
Cita – citanya dalam bidang pendidikan perempuan adalah agar semua
perempuan Indonesia memperoleh kesempatan penuh menuntut ilmu pengetahuan
yang sesuai dengan fitrah wanita sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan
sehari–hari dan mendidik mereka sanggup berdiri sendiri di atas kekuatan
kaki sendiri, yaitu menjadi ibu pendidik yang cakap dan aktif serta
bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, dimana
kehidupan agama mendapat tempat yang layak Rahmah merumuskan cita-cita
pendidikanya menjadi tujuan Perguruan Diniyah Putri yang didirikannya,
yaitu: “Melaksanakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan ajaran Islam
dengan tujuan membentuk putri yang berjiwa Islam dan Ibu Pendidik yang
cakap, aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
tanah air dalam pengabdian kepada Allah subhanahu wa ta’ala”.
Melihat tekad dan kemauan keras Rahmah, kakaknya Zainuddin Labay
mendukung cita–citanya. Dalam menjalankan cita-citanya Rahmah sangat
meyakini Al-Qur’an surat Muhammad ayat 7 yang artinya: “Hai orang–orang
yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu
pula”. Begitu yakinnya ia akan janji Allah ini sehingga selalu dijadikannya
pegangan dalam berbuat kebajikan. Rahmah juga mendasarkan argumennya kepada
hadis yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi semua
muslim, laki–laki maupun perempuan. Bunyi hadis ini, kata Rahmah, sering
dikutip di hadapan saya oleh laki–laki maupun perempuan Minang sebagai
bukti bahwa kaum perempuan muslim diperintahkan oleh Tuhan untuk menuntut
ilmu, dan cara terbaik untuk melaksanakan ini adalah dengan masuk sekolah.
Cita–cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah tentang pentingnya
pendidikan bagi kaum perempuan mungkin dipengaruhi oleh pengalamannya dalam
menjalani pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat mengecap
pendidikan dasar di Padang Panjang, studinya yang mendalam terhadap agama
adalah sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad kedua
puluh di Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus
dengan beberapa ulama modernis yang terkemuka, dalam pola kaum muda di
zamannya. Selain itu, Rahmah belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi
maternal, dan mempelajari soal kesehatan dan pemberian pertolongan pertama
di bawah bimbingan enam orang dokter kelahiran India. Ia belajar senam
dengan seorang guru Belanda di Sekolah Menengah Putri di Padang Panjang.
Pada dasarnya Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada
saat pendidikan formal bagi kaum perempuan hanya tersedia bagi segelintir
orang.
Gagasan Rahmah untuk mendirikan pendidikan bagi kaum perempuan sempat
dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah
School (PMDS) yang ia pimpin, merekapun menyetujui dan mendukung gagasan
itu. Maka pada tanggal 1 November 1923, sekolah itu di buka dengan nama
Madrasah Diniyah lil al–Banat, dipimpin oleh Rangkayo Rahmah el–Yunusiyah,
yang oleh murid–muridnya dari angkatan tiga puluhan akrab dipanggil “ Kak
Amah”. Murid angkatan pertama terdiri dari kaum ibu muda berjumlah 71
orang, dengan menggunakan Mesjid Pasar Usang sebagai tempat belajar. Pada
waktu itu proses belajar berlangsung dengan sistem halaqah, dan hanya
mempelajari ilmu–ilmu agama dan gramatika bahasa Arab.
Dalam mendirikan gedung perguruan ini Rahmah sangat mandiri. Ketika
Rahmah mendirikan gedung perguruannya pada tahun 1927 dan mengalami
kekurangan biaya penyelesaian gedung tersebut, ia menolak bantuan yang
diulurkan kepadanya dengan halus dan bijaksana. Ia ingin memperlihatkan
kepada kaum laki-laki bahwa wanita yang selama ini dipandang lemah dan
rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki, bahkan bisa
melebihinya. Maka secara diplomatis Rahmah mengatakan:
“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya,
akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba
melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga
putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh
hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul
engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami
menyerahkan pengharapan kami itu”.
Tampaknya pikiran Rahmah el-Yunusiyah setengah abad yang lalu sejalan
dengan pendapat kaum wanita dewasa ini yaitu: “membangun masyarakat tanpa
mengikutsertakan kaum wanita adalah sebagai seekor burung yang ingin
terbang dengan satu sayap saja. Mendidik seorang wanita berarti mendidik
seluruh manusia ”.
C. PERKEMBANGAN MADRASAH DINIYAH PUTERI
Madrasah Diniyah lil Banat (sekolah agama untuk anak-anak wanita)
didirikan Rahmah el-Yunusiyah pada tanggal 1 November 1923. Rahmah mampu
memimpin dan mengembangkannya secara mandiri dengan semangat pembaharuan
pendidikan yang diletakkan Labay (kakaknya). Deliar Noer memandang Rahmah
sebagai penerus cita–cita Labay. Secara bertahap Rahmah membenahi sistem
pengajaran Diniyah School Putri, baik dari segi kurikulum maupun metode. Di
samping itu dengan segala kekuatan yang dimiliki ia mengupayakan pengadaan
sarana dan prasarana pendidikannya.
Di samping mendirikan Diniyah School Putri, Rahmah juga mendirikan
Menyesal School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu
rumah tangga. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama
tujuh tahun yaitu sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak
dilanjutkan. Untuk menyebarluaskan cita-cita pendidikannya, ia mengadakan
perjalanan berkeliling ke daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi
dan Seme-nanjung Malaya (tahun 1928 dan tahun 1934).
Pada tahun 1935 ia mendirikan tiga buah perguruan putri di Batavia
(Jakarta), yaitu di Kwitang, Jatinegara, dan di Tanah Abang. Pada masa
pendudukan Jepang, perguruan tersebut tidak dapat di teruskan. Menjelang
berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, Rahmah sempat pula mendirikan
empat buah lembaga pendidikan putri baru lainnya sebagai pengganti lembaga
pendidikan terdahulu. Pada tahun 1938 ia mendirikan Yunior Institut Putri,
sebuah sekolah umum setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan
Belanda atau Vervolgschool, Islamitisch Hollandse School (HIS) setingkat
dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa
pengantar bahasa Belanda, sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat
Indonesia) dan Kulliyatul Mu’allimin El Islamiyah (KMI), sekolah Guru Agama
Putra pada tahun 1940. KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan guru–guru agama putra yang banyak didirikan oleh masyarakat
di Sumatera Barat. Pada zaman Jepang keempat lembaga pendidikan putri
tersebut tidak dapat diteruskan.
Pada tahun 1947 Rahmah mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama
putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR) lama
pendidikannya tujuh tahun, setingkat dengan Sekolah Dasar enam tahun yang
didirikan oleh pemerintah, Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A
Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima
Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua
Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang disebut terakhir setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dengan bidang studi agama dan
bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.
Tahun 1964, Rahmah mendirikan Akademi Diniyah Putri yang lama
pendidikannya tiga tahun. Tanggal 22 November 1967, Akademi ini dijadikan
Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi
Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda dengan SK
Menteri Agama RI No. 117 tahun 1967.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Rahmah menganut sistem
pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidkan yang diperoleh dari rumah
tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari
masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori
ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing
murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah
asuhan guru–guru asrama.
Kurikulum di sekolah-sekolah Rahmah terdiri dari kelompok bidang
studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di
orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri. Dewasa
ini lembaga pendidikan yang dikelola oleh para penerusnya adalah Sekolah
Diniyah Menengah Pertama Bagian B dan C, Kulliyatul Mu’allimat el-
Islamiyah dan perguruan Diniyah Putri. Seperti sekolah–sekolah Islam
kontemporer lainnya di Sumatera Barat, Diniyah Putri menawarkan tiga
ijasah: satu miliknya sendiri, satu untuk pendidikan sekolah umum, dan satu
pendidikan Islam yang diakui oleh pemerintah. Sehingga siswa-siswa memenuhi
syarat untuk masuk ke universitas umum maupun universitas Islam.
Di lingkungan Diniyah Putri, corak saling melengkapi antara adat dan
Islam ditekankan. Dalam perspektif yang didukung oleh kaum modernis Minang,
tatanan sosial dan adat membentuk tatanan moral yang dilegitimasikan oleh
Islam. Dalam tatanan suci ini ,adat dan Islam dipandang menyatu bukan dari
segi yang spesifik, melainkan dari segi kandungan dan semangatnya. Rahmah
mengutamakan bidang pendidikan di atas kepentingan lainnya, meskipun di
kemudian hari ia juga berkiprah di dunia politik. Atas dasar ini ia
menempatkan sekolah secara independen, bebas dari afiliasi dengan ormas
atau orpol manapun. Setahun sebelum Muhammadiyah memasuki Minangkabau,
Diniyah School Putri diajak bergabung dengan organisasi sosial–keagamaan
dan disarankan agar namanya diganti dengan Asyiyah School atau Fatimiyah
School. Namun saran tersebut tidak di terima oleh para guru diniyah School
Putri.
Independensi sekolah ini juga ditunjukkan saat diselenggarakan
permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau yang ada di
bawah Permi di padang panjang pada tahun 1931. Wakil dari guru Diniyah
School Putra maupun Putri yang datang sebagai pendengar dan tidak memberi
respons; tidak ada seorang pun dari guru-guru sekolah ini yang duduk di
Dewan Pengajaran Permi yang bertugas untuk menyatukan pelajaran
sekolah-sekolah Islam. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan
hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini
terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi
urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran
politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung
jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya” .
Lebih jauh independensi sekolah ini juga ditunjukkan Rahmah ketika
dia menolak upaya penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh
Mahmud Yunus. Seperti diketahui, pada tahun 1930-an ini pembaharuan sekolah
agama berkembang pesat, namun tidak ada keseragaman program atau buku
standar yang digunakan. Melihat keadan ini Mahmud Yunus alumni Universitas
Cairo yang saat itu menjadi Direktur Normal School, ingin menerapkan konsep
pembaharuan pendidikannya dan memprakarsai pembentukan Panitia Islah
al-Madaris al- Islamiyah Sumatera Barat. Namun Rahmah tetap teguh pada
pendirian independensi sekolahnya, maka ia menolak keras ide itu.
Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada
bergabung tapi porak poranda. Diniyah School pun tidak akan terikat dengan
keputusan permusyawa-ratan itu. Kondisi sekolah-sekolah agama tersebut
masih seperti semula hingga 1936, yakni setelah konferensi seluruh
organisasi berhasil dalam standarisasi sekolah-sekolah agama kaum muda.
Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda, Rahmah memilih
sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan sekolah yang
dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, ia menolak bekerja sama dengan Belanda
termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan. Subsidi
pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan
keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan
Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah
School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.
Dengan tegas dan bijaksana Rahmah menyatakan bahwa perguruannya akan
berusaha dengan kekuatan sendiri menanggulangi berbagai kesulitan yang
dihadapi. Independensi sekolah ini sangat dikhawatirkan oleh pemerintah
kalau di kemudian hari akan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang militan,
sebagaimana yang pernah dilakukan surau-surau dalam mencetak tokoh-tokoh
pembaharu dan pejuang perang paderi. Sikap independen dan nonkooperatif
tersebut, di samping menggambarkan ciri khas kepriba-diannya yang gigih,
juga merupakan respons terhadap situasi politik saat itu demi kelangsungan
visi sekolahnya. Begitu pula organisasi kependidikan dan gerakan yang
diprakarsainya, praktis visi yang sama : seperti “Perikatan Guru-Guru Agama
Putri Islam” (PGAPI) yang didirikan pada tahun 1933 untuk menghimpun
guru-guru yang tidak bergabung dengan Dewan Pengajaran Permi. Kemudian
“Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar” (1933) didirikan untuk menentang
kebijaksanaan pemerintah kolonial yang memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar
(1932) di Sumatera Barat.
Pada mulanya Diniyah Putri muncul sebagai tantangan terhadap adat,
dalam hal ini kaum perempuan ingin melangkah melampaui urusan rumah tangga.
Dengan menggapai peran-peran diluar rumah yang dapat didukung oleh
penafsiran kaum modernis terhadap Islam, oleh karena itu kaum perempuan
memperluas cakrawala, jaringan, dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi
di dalam wacana muslim dan nasionalis yang lebih luas. Kaum perempuan
Minang memiliki strategi alternatif, selain yang disuarakan oleh Diniyah
Putri menyangkut soal bagaimana menjadi Seorang Muslim dan seorang Minang.
Namun demikian Diniyah terus memperlihatkan keinginan untuk menghadapi
isu-isu kontemporer yang relevan bagi kaum perempuan dan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia sikap apriori terhadap perempuan
yang bersekolah masih merupakan domain utama kehidupan sehari-hari. Lihat
saja, bagaimana istilah dapur- sumur-kasur begitu populer di kalangan
masyarakat. Ungkapan ini ingin menegaskan bahwa sehebat dan secerdas apapun
seorang perempuan, pada akhirnya “kodrat” dan “takdir” perempuan akan
kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan memasak,
mencuci dan seks.
Anggapan demikian sudah berlangsung sejak ratusan tahun dan bukan
merupakan hal baru. Dalam masyarakat matrilinial sekalipun, seperti
Sumatera Barat tempat kelahiran dan perjuangan Rahmah, asumsi bahwa
perempuan tidak layak belajar kerap diperbincangkan.
Rahmah merupakan satu dari sedikit perempuan yang menolak stereotype demikian. Baginya, perempuan
memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan,
dibanding laki-laki, perempuan juga mampu memiliki kecerdasan yang tak
kalah hebat. Persoalan terletak pada akses pendidikan. Saat itu, jauh
sebelum Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Nusantara masih sangat jauh
dari yang diharapkan dan perempuan belum memiliki akses pendidikan yang
sama dengan laki-laki.
Baginya, seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah
tangga, tetap memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat,
agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu dapat diberikan melalui
pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah
(publik). Barangkali, seandainya Rahmah masih hidup ia akan sepakat dengan
gagasan masa kini yang menyebutkan bahwa membangun masyarakat tanpa
melibatkan perempuan bagaikan seekor burung yang terbang dengan satu sayap.
Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua manusia. Karena,
sebagaimana diyakini oleh banyak orang, pendidikan dapat memberikan
sumbangan yang besar bagi upaya memodernisasi suatu masyarakat. Dan
nampaknya Rahmah telah bekerja untuk itu.
Daftar Pustaka
Buku Peringatan 15 Tahun Diniyah School Putri, Padang Panjang, 1962
Cora Vreede dan De Steurs, The Indonesian Women, Strugles and
Achievement, Mouton dan Co.s Graven Hague, 1960
Hasbullah., 1999 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintas Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hurgronje, C. Snouck 1992 Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje,
Terjemahan Sudarso Soekarno. Jakarta: INIS.
Munawaroh, Junaidatul, 2000 Rahmah El Yunusiyah Pelopor Pendidikan
Perempuan, dalam Ulama perempuan Indonesia; editor Jajat Burhanuddin,
(Jakarta : PT.Gramedia Pustaka utama bekerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta.
Noer, Deliar. 1996 Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942.
Jakarta: LP3ES.
Nuraida. 1990 Rahmah El-Yunusiyah Dalam Perspektif Sejarah Perjuangan
Wanita di Indonesia. Skripsi Sarjana Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Yogyakarta: t.p.
Rasyad, Aminuddin. 1978 Rahmah El Yunusiyah, Kartini dari Perguruan
Islam, dalam “Manusia dalam Kemelut Sejarah.” Lembaga Penelitian Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
__________.1982 Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang 1923-1978:
Suatu Studi Mengenai Perkembangan Sistem Pendidikan Agama. Disertasi PPS
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: t.p
Pasted From :
|