MAKALAH



TRANSFORMASI ISLAM
DALAM BUDAYA JAWA





     Menelusuri sejarah masuknya Islam di Indonesia merupakan hal yang penting untuk mengetahui faktor-faktor yang turut membentuk pertumbuhan budayanya.

     Ada beberapa teori yang berbeda-beda mengenai masuknya Islam di Indonesia yang berkaitan dengan asal muasalnya, pembawaannya serta waktu kedatangannya. Terdapatnya perbedaan itu mendorong diselenggarakannya seminar tentang Masuknya Islam Di Indonesia di Medan pada tahun 1963, di Aceh tahun 1973 dan 1980. Diantara hasil kepuusan seminar menyebutkan bahwa mulai abad 7 dan 8 M, secara berangsur angsur Islam masuk di Indonesia, langsung dari Arab dan dibawa oleh para saudagar ( Hasymi : 1989 : 7 ).

     Setelah melakukan kajian tentang berbagai hal yang berkaitan dengan masuknya Islam di Indonesia tersebut, Dr. Azyumardi Azza menggaris bawahi pendapat yang menyebutkan bahwa Islam telah diperkenalkan di Nusantara pada abad VII M / 1 H. Namun pengaruhnya nampak stlah aba k-12 M. Walaupun tah trjai intraksi antara pagang muslim dengan penduduk setempat sejak abad ke 7 dan 8 M, namun proses Islamisasi ini berjalan lancar antara abad ke-12 dan 16 M. Terutama setelah datangnya para suf pengembara pada abad ke-13 M, mereka inilah yang banyak berperan dalam Islamisasi di Nusantara ( Anthony H. Kones, 1961 : 143 ).

     Terjadinya interaksi antara para penyebar Islam dengan penduduk setempat menimbulkan crak budaya yang memuat perpaduan unsur Islam dengan budaya setempat. Hal ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia termasuk di tanah Jawa.

Masuknya Islam di Jawa

    Beberapa pendapat telah dikemukakan berkaitan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada yang mengemukakan bahwa sejak abad ke-11 M telah terdapat pemeluk Islam di Jawa. Hal ini didasarkan pada penemuan batu nisan yang bertuliskan huruf Arab di Leran Gresik Jawa Timur. Dari tulisan itu diketahui bahwa yang dimakamkan di tempat tersebut adalah wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun, yang meninggal pada tahun 475 H / 1082 M. ( Abu Bakar Aceh : 1972 : 30 ).

     Jika pada abad 7 / 8 M Islam tlah masuk ke Nusantara ( Aceh sebagai tempat pertama yang disinggahi pedagang muslim yang sekaligus penyebar Islam), maka dimungkinkan abad 11 M telah terdapat pemeluk Islam di Jawa. Pada waktu itu pedagang-pedagang Arab atau Persia diperkirakan sudaj memiliki jalur perdagangan sampai ke Jawa. Dari batu nisan yang bertuliskan Arab di Leran tersebut, dapat diketahui bahwa pemeluk Islam yang dimakamkan, bukan penduduk pribumi ( mungkin dari tanah seberang seperti Arab atau Persia ). Ini menunjukkan bahwa pada abad ke 11 M, pemeluk Islam di Tanah Jawa, sebagian besar adalah orang asing. Hal ini dikuatkan berita Tionghoa yang menyebutkan bahwa pada tahun 1416 M di Jawa sudah banyak orang Islam, tetapi orang asing ( Solichin Salem : 1960 : 5 ).

     Sebagian penulis sejarah, memang ada yang berpendapat bahwa Islam tersebar di Jawa pada abad ke-15 M. Hal ini dikaitkan dengan penyebaran Islam secara intensif dan terbuka, yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim ( w. 822 H / 1419 M ). Namun tidak menuup kemungkinan bahwa pada abad sebelumnya sudah ada pemeluk Islam di Jawa, dan dimungkinkan telah terjadi penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang, walaupun belum intensif. Menurut berita Ma Huan pada tahun 1416 M, di pusat Kerajaan Majapahit maupun di daerah-daerah pesisir,terutama di kota-kota pelabuhan, telah trbentuk masyarakat muslim ( Uka Tjandrasasmita : 1981 : 5 ). Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya batu nisan, dari makam pemeluk Islam di Troloyo, Trowulan dan Gresik.

     Penyebaran Islam di Jawa bertambah pesat di bawah pimpinan dan koordinasi Walisongo. Beberapa pos penyiaran Islam, dibentuk di beberapa daerah seperti di Jawa Timur, pos enyiaran Islam di pimpin oleh Sunan Ampel. Sedangkan di Jawa bagian selatan dpimpin oleh Sunan Kaljaga, bagian utara di bawah pimpinan Sunan Kudus dan Sunan Muria. Adapun di Jawa Barat, pos penyiaran Islam dipimpin oleh Sunan Gunung Jati.

     Selain pribadi luur dan pengetahuan luas, para Walisongo memiliki strategi dakwah yang tinggi, seperti kegiatan-kegiatannya dilakukan atas al-huluj balaghah ( alasan yang jitu dan rasional ), al-asalibul hakimah ( susunan kata yang bijaksana dan penuh hikmah ), al-adabus samiyah ( sopan santun yang mulia ) dan as-siyasatul hakimah ( siasat yang bijak ).( Wiji Saksono : 1995 : 104 ).

     Selain faktor interen yang bermuara pada pribadi wali, maka terdapat pula faktor eksteren yang menunjang keberhasilan dakwah pada masa itu. Diantaranya situasi sosial politik dan ekonomi yang kacau pada akhir pemerintahan Majapahit. Hal ini membuat masyarakat merindukan adanya perubahan dan pembaharuan yang membawa pada kondisi yang lebih baik. Dan ini mereka dapatkan pada tatanan Islam yang disampikan oleh para wali ( Admodarminto : 1995 : 46 ).

Sikap Orang Jawa Dalam Menerima Islam

     Menurut Karkono Kamajaya, yang disebut manusia Jawa adalah pendukung dan pengkhayat kebudayaan Jawa ( Karkono kamajaya : 1995 : 158 ), maka sikap hidup orang Jawa pada dasarnya berpangkal pada kebudayaan orang Jawa. Sedangkan yang disebut kebudayaan Jawa adalah pancaran budi manusia yang meliputi kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir batin. Sikap hidup orang Jawa itu menurut Karkono kamajaya dapat dirumuskan sebagai berikut :

1.
Orang Jawa percaya dan berlindung kepada Sang Pencipta, t yang Maha Tinggi,penyebab dari segala kehidupan, dunia serta seluruh alam semesta.
2.
Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia harus sanggup melawan kodrat, untuk dapat mewujudkan kehendak dan cita-citanya agar selamat sejahtera dan bahagia lahir dan batin. Hasil perjuangan melawan kodrat berarti kemajuan bagi lingkungan dan masyarakatnya, maka terjalinlah kebersamaan yang disebut gotong royong, saling menghormat, tenggang rasa ( tepa salira ), budi luhur, rukun damai dan mawas diri.
3.
Orang Jawa menjunjung tinggi semboyan “ memayu hayuning bawana “ ( memelihara kesejahteraan dunia ). Semboyan ini merupakan kunci dalam pergaulan dengan sesama manusia, guna menciptakan kerukunan dan kedamaian lahir batin. ( Karkono kamajaya : 1995 : 158 ).

     Disamping memiliki sikap dasar suka mengutamakan keselamatan diri, maka orang Jawa juga selalu berusaha menjaga kesejahteraan dunia. Karena sikap tepa salira ( tenggangrasa ) nampak menonjol dalam menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Dan sikap ini muncul sikap toleran terhadap orang lain ( termasuk dalam kepercayaannya ). Maka sewaktu bangsa Hindu masuk ke Jawa dengan membawa kebudayaannya, diterima oleh masyarakat Jawa dengan penuh toleran. Sehingga mereka yang sebelumnya telah mengambil Animisme / Dinamisme, dapat menerima ajaran Hindu. Namun yang tetap bertahan pada kepercayaan lamanya memilih untuk menyingkir di daerah-daerah pedalaman. Dari hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa tidak suka berkonfrontasi, walaupun menyangkut hal yang paling mendasar ( kepercayaannya ). Di sisi lain sikap toleran tersebut dapat menimbulkan terjadinya sinkretisme, seperti sewaktu Islam masuk ke tanah Jawa, sebagian orang Jawa yang telah memeluk Islam, ada yang masih memakai tradisi maupun budaya keercayaannya yang lamanya. Dari beberapa hal di atas dapat kita temukan dua corak keislaman orang Jawa.

1.
Pemeluk Islam yang sinkretik. Mereka ini berusaha memadukan unsur-unsur kepercayaan pra Hindu. Hindu Jawa dan ajaran Islam.
2.
Pemeluk Islam yang puritan, mereka mengikuti ajaran Islam secara taat. (  Karkono kamajaya : 1995 : 263 ).

     Timbulnya Islam yang sinkretis, menurut Prof. Dr. Simuh, disebabkan antara lain karena para mubaligh menggunakan pendekatan dakwah kompromis atau akomodatif. Pendekatan seperti itu dikembangkan oleh para sufi, dengan memadukan Islam mistik. Sedangkan Islam puritan, merupakan hasil dari dakwah yang menggunakan metode non kompromis. Cara ini menekankah keutuhan dan kemurnian Islam, dan hanya menerima unsur-unsur lain yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam ( Simuh : 6-13 ).

     Jejak penyebaran Islam yang komprmis maupun yang non kompromis, terlihat dalam dua warisan budaya masyarakat. Yaiu kebudayaan priyayi yang berpusat di istana-istana kerajaan dan budaya rakyat yang berpusat di pesantren. Pndukung dari dua corak budaya ini, menampakkan respon yang berbeda, ketika terjadi Islamisasi di Jawa. Masyarakat awam, yang menjadi pendukung budaya rakyat ( pada mulanya sebagian besar dari mereka penganut Animisme, Dinamisme ) setelah mengenal Islam, mereka menerimanya sebagai ajaran yang membawatatanan hidup yang lebih sempurna. Dari kelompok ini lahir masyarakat pesantren yang menciptakan budaya santri( Simuh : 1988 : 2 ). Adapun kalangan priyayi, merupakan pendukung budaya Jawa Hindu. Dalam menerima Islam, mereka terbagi dalam dua kelompok. Sebagian menerima Islam dengan penuh kesadaran, dan mengakui ajarannya dengan taat. Sedangkan sebagian lainnya menerima Islam, tetapi masih mempertahankan tradisi Hindu Jawanya. Golongan ini disebut Kejawen atau kebatinan atau Islam Kejawen. ( Simuh : 1986 : 4 ).

Unsur-Unsur Islam Dalam Budaya Jawa

     Sewaktu Islam masuk Jawa, budaya Islam menjadi lentur, karena terjadi penyampaian ajaran Islam dalam kerangka berfikir dan sistem pengetahuan orang Jawa ( Kuntowidjojo : 1990 : 368 ).

     Maka dalam proses Islamisasi di Jawa, sedikit banyak Islam menghilangkan kekakuan ajarannya, terutama di tempat tradisi Hindu masih punya pengaruh. Kelonggaran-kelonggaran pada adat lama, memang salah satu faktor yang membantu kelancaran proses Islamisasi ( Cc. Berg : 1932 : 368 )

     Usaha memadukan unsur-unsur Islam dengan budaya Jawa, diantaranya pernah dilakukan para Walisongo dan Sultan Agung. Beberapa bidang kebudayaan, seperti kesenian maupun ilmu pengetahuan, dimasuki unsur-unsur Islam. Sebagai contoh dalam Serat Widya Praddana, gubahan Ronggo Warsito, memuat karya Sunan Giri II yang berkaitan dengan penanggalan atau almanak yang berlaku bagi orang Jawa. Di dalamnya mengandung nama-nama hari, tanggal, bulan dan tahun yang semula memakai nama istilah Hindu Budha, kemudian diganti dengan istilah Islam ( Widji Saksono : 1995 : 144 ). Selain itu juga para Wali berhasil menciptakan cerita-cerita wayang, tembang-tembang dolanan, seni bangunan, kaligrafi dan sebagainya yang memuat unsur-unsur Islam. Semua itu dilakukan para wali untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan budaya Jawa, dalam rangka menyampaikan Islam ke tengah masyarakat, sehingga tidak menimbulkan gejolak, maupun bentuk konfrontatif lainnya, yang disebabkan adanya perbedaan antara tradisi budaya setempat dengan budaya santri yang puritan.

     Contoh lain dari upaya memadukan unsur Islam dengan budaya Jawa, adalah keberhasilannya Sultan Agung (  Raja Mataram, 1613-1645 ) yang mengubah tahun saka menjadi tahun Jawa. Kalender Saka merupakan perpaduan Jawa asli dengan Hindu, yang dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 M. Kalender Saka yang mengikuti sistem Syamsiyah ( perjalanan Matahari ), dirubah oleh Sultan Agung menjadi sistem Qomariyah ( Perjalanan Bulan ) seperti halnya kalender Hijriyah. Perubahan kalender Jawa itu dimulai tanggal 1 Sura tahun Alif 1555 / 1 Muharram 1043 H / 8 Juli 1933 M (  Karkono kamajaya : 1995 : 223 ).

     Dari beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa sebagian budaya Jawa, ada yang mengandung unsur-unsur Islam. Untuk memperkuat Ketahanan Budaya nasional, yang terancam erosi dengan masuknya budaya asing yang berdampak negatif dalam era globalisasi ini, maka budaya lokal yang bernilai positif perlu dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan yang mengandung nilai negatif perlu ditinggalkan. Untuk itu perlu kiranya umat Islam, menggali dan melestarikan budaya Jawa yang memuat unsur-unsur Islam, dengan memperhatikan selektifitas.

Wa al-Allahu a’lam bi al-Aswab




Arsip Tugas Akademik
Sumber Dari Buku Kenangan Wisuda XXXI
Makalah By. Sri Suhandjati
IAIN Walisongo Semarang


0 Comments:

Post a Comment