KODIFIKASI HADIS



SEKILAS TENTANG KODIFIKASI HADIS





     Dari kalangan para pengkaji ajaran Islam banyak yang berpendapat bahwa hadis Nabi dan Ilmu Hadis termasuk pengetahuan yang sangat sulit. Pernyataan tersebut cukup beralasan, setidak-tidaknya bagi mereka yang belum memahami dengan baik sejarah penghimpunan hadis Nabi, berbagai istilah dan kaidah yang dikenal dalam lmu hadis, serta metode penelitian kualitas hadis.

     Kesulitan memahami pengetahuan hadis dan ilmu hadis tersebut tidak jarang lalu mengkaji ajaran Islam brsikap “ enggan “ dan bahkan mengenyampingkan hadis Nabi. Sikap yang demikian itu sudah barang tentu sangat berbahaya, karena dapat menjerumuskan  yang bersangkutan meninggalkan atau mengingkari sunnah / hadis Nabi, baik secara terang-terangan maupun terselubung, padahal hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al Qur’an.

     Sebab lainnya lagi mengapa pengetahuan hadis menjadi sulit, karena hadis Nabi tidak termuat hanya dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat hadis Nabi cukup banyak dan beragam, baik dlihat dari segi nama penghimpunnya, maupun bobot kualitasnya. Jadi kitab himpunan hadis Nabi berbeda dengan kitab himpunan ayat-ayat al Qur’an.

     Kitab yang menghimpun seluruh ayat al Qur’an yang dikenal dengan Mushhaf al Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian, seseorang yang ingin membaca seluruh teks ayat al Qur’an tersebut telah terhimpun seluruhnya dalam sebuah kitab. Berbeda halnya dengan hadis Nai, yang untuk membaca seluruh teks hadis Nabi, seseorang memerlukan lebih dari satu kitab hadis.

     Mengapa seluruh teks ayat-ayat al Qur’an termuat dalam sat kitab, sedangkan seluruh teks hadis Nabi termuat dalam banyak kitab ?. diantara faktor penting yang menyebabkan terjadinya banyak perbedaan itu terletakpada sejarah pencatatan dan penghimpunan kedua sumber ajaran Islam tersebut.

     Sebagaimana diketahui, pencatatan seluruh ayat al Qur’an telah dilakukan oleh para Sahabat Nabi pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Setiap Nabi menerima wahyu al Qur’an, segea susudah itu beliau menyampaikan wahyu yang baru beliau terima itu kepada para sahabat beliau. Wahyu itu kemudian dicatat oleh para sahabat dihadapan Nabi.

     Para sahabat yang mencatat wahyu itu ada yang memang ditunjuk secara resmi oleh Nabi sebagai pencatat wahyu al Qur’an dan ada yang mencatat atas inisiatif mereka sendiri.

     Dalam pada itu wahyu al Qur’an tersebut selain dicatat juga dihafal oleh para sahabat. Secara berkala, nabi memeriksa hafalan sahabat, dengan demikian pada zaman Nabi, kegiatan pencatatan dan penghafalan wahyu Allah berupa ayat-ayat al Qur’an tersebut berjalan seiring dan dalam pengawasan langsung Nai Muhammad SAW.

     Pada zaman Khalifah Abu Bakar ra. ( w. 13 H / 634. M ) catatan-catatan seluruh ayat al Qur’an itu dihimpun dalam satu himpunan oelh sahabat tim yang diangkat oleh khalifah. Tim itu diketuai oleh Zaid bin Sabit ( w. 45 H / 665. M ), salah seorang sahabat kepercayaan Nabi yang pada zaman Nabi diangkat juga sebagai salah seorang penulis wahyu. Kegiatan penghimpunan catatan-catatan yang dibuatyang dibuat oleh para penulis wahyu dihadapan Nabi masih utuh, disamping itu para sahabat yang hafal seluruh ayat al Qur’an tidak sedikit jumlahnya.

     Selanjutnya pada zaman Khalifah Usman bin Affan ( w. 35 H / 656. H ), himpunan catatan al Qur’an itu digandakan oleh sebuah tim yang diangkat oleh Khalifah. Tim itu tetap diketuai Zaid bin sabit. Hasil gandaan ayat-ayat al Qur’an tersebut dikenal dengan nama Mushhaf al Imam dan dikirim ke berbagai daerah Islam sebagai pedoman ummat Islam.

     Dalam perjalanan sejarah berikutnya, mushhaf yang dikenal  dengan sebutan Mushhaf al Usmany itu dijadikan pedoman dalam penulisan Mushhaf berikutnya. Dengan demikian pemeliharaan al Qur’an, baik melalui penulisan maupun hafalan berjalan dengan baik, sehingga kesalahan satu huruf pun dapat dikontrol dengan cermat, sehingga tidak mengherankan bila seluruh teks ayat al Qur’an teap terhimpun dalam satu kitab saja.

     Dari kalangan orientalis yang telah melakukan penelitian dengan sungguh-sungguh tentang sejarah pencatatan dan penghimpunan al Qur’an ada yang dengan jujur menyimpulkan, bahwa al Qur’an adalah satu-satunya kitab wahyu yang paling orisinil yang dapat disaksikan oleh dunia sampai saat ini.

     Ada pun sejarah pencatatan dan penghimpunan hadis Nabi tidaklah sama dengan sejarah pencatatan dan penghimpunan al Qur’an tersebut. Pada zaman Nabi, tidaklah semua hadis Nabi dicatat oleh para sahabat. Pencatatan seluruh hadis Nabi pada zaman Nabi sulit dilakukan. Salah satu sebab kesulitan itu adalah karena tidak setiap hadis Nabi sempat disaksikan oleh banyak sahabat Nabi, khususnya mereka yang pandai menulis. Hadis Nabi terkadang disampaikan dihadapan orang banyak dan terkadang disampaikan orang seorang. Dalam pada itu Nabi sendiri pernah secara langsung melarang para sahabat menulis hadis beliau. Hanya dari kalangan orang-orang tertentu saja yang ditunjuk dan diizinkan oleh Nabi melakukan pencatatan hadis beliau.

     Pada zaman Khalifah Abu Bakar ra dan Khalifah Umar bin Khatab ra ( w. 23 H / 644 ), periwayatan hadis Nabi berjalan dengan sangat hati-hati. Kalangan sahabat Nabi yang menyampaikan riwayat hadis ada yang diminta menghadirkan saksi atau melakukan sumpah. Dengan demikian, kegiatan periwayatan hadis menjadi terbatas. Namun begitu tidaklah berarti kegiatan pencatatan dan penghafalan riwayat hadis yang dilakukan atas inisiatif sendiri dari kalangan para periwayat hadis tetap ada.

     Khalifah Umar bin Khatab sempat merencanakan untuk meghimpun semua hadis Nabi. Para sahabat yang mendengar rencana tersebut menyetujuinya. Namun Khalifah Umar setelah melakukan shalat istikharoh selama satu bulan, akhirnya dia mengurungkan rencana itu. Khalifah Umar bin Khatab khawatir ummat Islam akan terganggu konsentrasinya dalam mempelajari dan mendalami al Qur’an. Kekhawatiran Umar bin Khatab cukup beralasan, karena pada zaman pemerintahannya perluasan daerah Islam sangat pesat dan orang-orang yang baru memeluk Islam tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikian pertimbangan Khalifah Umar membatalkan rencana penghimpunan hadis Nabi, melainkan karena kondisi umat Islam pada waktu itu menurut pandangan khalifah belum cukup siap untuk menerima himpunan sumber ajaran Islam selain dari al Qur’an.

     Penghimpunan hadis secara resmi, yakni atas dasar kebijakan pemerintah, barulah terjadi zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( w. 101 HH / 720. M ) Khalfah melihat melihat, penghimpunan hadis perlu segera dilakukan, karena ulama ahli hadis banyak yang telah meninggal dunia. Apabila penghimpunan hadis tidak segera dilakukan, niscaya umat Islam masa yang akan datang akan banyak menjumpai kesulitan untuk mengenal dan mempelajari hadis Nabi. Karenanya Khalifah lalu menginstruksikan kepada para gubernur dan ulama hadis untuk segera menghimpun hadis Nabi.

     Dalam perjalanan waktu berhasil juga ulama hadis menghimpunkan seluruh hadis Nabi tersebut. Dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut tidak dibentuk tim. Kegiatan penghimpunan hadis dilakukan secara sendiri-sendiri / mandiri oleh masing-masing ulama hadis. Sekiranya penghimpunan hadis harus dilakukan oleh sebuahtim, niscaya tim itu akan banyak menjumpai kesulitan, karena jumlah periwayat hadis sangat banyak dan tempat tinggal mereka cukup tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup berjauhan, sedangkan arus komunikasi belum secanggih seperti sekarang ini.

      Dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut, ulama hadis mengadakan perlawatan ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat hadis. Masa hidup para penghimpun hadis itu ada yang sezaman dan ada yang tidak sezaman. Bentuk susunan dan metode penelitian yang dilakukan untuk menghimpun hadis berdasarkan hasil ijtihad masing-masing. Dengan demikian tidaklah seluruh hadis Nabi terhimpun dalam satu kitab tertentu ialah mungkin karena adasuatu riwayat hadis yang tidak sampai kepada seseorang penghimpun tertentu, atau mungkin riwayat hadis itu sampai juga kepadanya namun menurut hasil penelitiannya riwayat dimaksud tidaklah memenuhi kriteria yang telah ditetapkannya. Jadi memang cukup beralasan, mengapa kitab himpunan hadis Nabi tidak satu macam saja.

     Jumlah ulama yang telah berjasa besar dalam kegiatan penghimpunan hadis Nabi cukup banyak. Karya tulis yang ada yang diakui oleh mayoritas ulama hadis pada masa berikutnya sebagai kitab-kitab hadis yang berstatus standar dan ada yang tidak masuk standar.

     Berbagai kitab hadis yang disusun leh ulama pada masa penghimpunan hadis Nabi itu memuat riwayat hadis secara lengkap, yakni matan dan sanadnya. Dengan demikian setiap pembaca kitab hadis tersebut tidak hanya memperoleh informasi tentang lafal matan hadis tersebut semata, tetapi juga dapat memperoleh penjelasan tentang susunan sanadnya. Bagi ulama hadis, matan dan sanad hadis sma-sama mempunyai kedudukan penting, karena kriteria kesahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh kualitas matan-nya saja, tetapi ditentukan oleh kualitas sanadnya juga.

     Seiring dengan perkembangan priwayatan hadis, telah muncul pula pemalsuan-pemalsuan hadis. Pemalsuan hadis mulai nampak berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ( w. 40. H / 661. M ). Pertentangan politik yang cukup tajam yang terjadi pada zaman Khalifah Ali telah ikut menumbuhkan pesatnya berbagai pemalsuan hadis. Disamping itu, kepentingan  materi ( ekonomi ), kekeliruan seseorang dalam berdakwah dan kepentingan-kepentingan seserang dari berbagai kalangan telah ikut pula menambah banyaknya pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang memusuhi Islam saja, tetapi dilakukan oleh kalangan pemeluk Islam sendiri.

     Berbagai pemalsuan hadis yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab itu telah menambah dorongan kepada ulama hadis untuk lebih berhati-hati dalam melakukan periwayatan hadis. Kehati-hatian ulama hadis itu dapat dilihat, misalnya pada kegiatan ulama hadis menciptakan berbagai kaedah dan ilmu hadis, baik berkenaan dengan matan maupun sanadnya. Dengan berbagai kaedah dan ilmu itu, suatu riwayat dapat diteliti dan diketahui apakah riwayat itu hadis Nabi ataukah bukan hadis Nabi SAW.

     Keadaan matan hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis ternyata bermacam-macam. Misalnya ada sejumlah matan hadis yang lafalnya brbeda-beda, namun maknanya sama, ada juga yang maknanya tampak bertentangan. Dalam hal sanad, ada yang rangkaian nama periayatnya bersambung dan ada yang tidak bersambung. Disamping itu ada nama-nama periwayat yang tidak dapat dipercaya beritanya dan ada periwayat yang dapat dipercaya beritanya.

     Keadaan matan, sanad dan periwayat yang berbeda-beda itu oleh ulama ahli hadis diberi nama dengan istilah-istilah tertentu. Dengan demikian, banyak istilah yang telah diciptakan oleh ulama ahli hadis. Istilah-istilah itu disatu sisi dapat mempermudah dan memperjelas keadaan suatu hadis, namun di sisi yang lain istilah-istilah itu menimbulkan kesulitan bagi mereka yang belum memahami dengan baik tentang arti dari berbagai istlah itu.  Bagi ulama hadis, berbagai istilah berkenaan dengan hadis tersebut, disamping juga berbagai kaidah dan ilmu hadis, sangat besar manfaatnya untk penelitian kualitas hadis.

      Para periwayat hadis yang nama mereka tercantum dalam berbagai sanad hadis, ada yang dapat dipercaya beritanya dan ada yang tidak dapat dipercaya beritanya. Perbedaan kualitas para periwayat hadis itu dapat diketahui, karena ulama hadis ada yang secara khusus telah melakukan penelitian secara mendalam trhadap masing-masing pribadi para periwayat hadis. Hasil penelitian mereka dihimpun dalam berbagai kitab. Dengan demikian, seseorang yang akan meneliti kualitas sanad hadis memerlukan bantuan dari berbagai kitab yang berisi tentang kualitas para periwayat hadis.

     Dengan uraian di atas kiranya telah tergambar bahwa untuk dapat mengkaji hadis Nabi dengan baik, seseorang tidak hanya dituntut mampu memahmi dan mendalami hadis Nabi dari segi matannya saja, tetapi dituntut juga mampu memahmi dengan baik keadaan sanadnya dan para periwayat dari hadis yang dikajinya. Dalam kaitan ini pengetahuan, istilah, kaedah, metode perlu pula dipahami dengan baik. Karena cukup banyak dan rumit pengetahuan yang berkaitan erat dengan hadis tersebut, maka dapat dimaklumi bila ulama dan sarjana Islam yang memilki keahlian tentang hadis tidak banyak dari zaman ke zaman.

Wa al-Allahu a’lam bi al-Aswab


ARSIP MATERI KULIAH



0 Comments:

Post a Comment