Seorang yang
dijuluki kiai adalah orang yang oleh masyarakatnya dianggap atau diakui
sebagai orang ‘alim. Menurut ilmu
nahwu, bentuk jamaknya bisa ‘ali-mun
dan bisa ‘ulama.
Apabila kita
merujuk qur’an, ‘alim yang berjamak ‘a-limun ialah orang yang mempunyai
kelebihan berupa ilmu dankadar kecerdasan yang dengan itu dia mampu
mengeluarkan ayat-ayat Allah dan lebih menonjolkan penampilan keilmuan
sebagai orang berilmu. Adapun yang berjamak ulama ialah ialah orang yang dengan keyakinannya merasa malu
berbuat yang membias dari rasa kehambaan. Orang itu cenderung menonjolkan
sikap dan kadar “keseganan” yang indah,dari seseorang berilmu, kepada
Allah. Belum lagi kiai dari terjemahan “alladzina u-tul-‘ilmi” dan “ arrasikhuna fil ‘ilmi.”
Belakangan ini,
merebak sebutan kiai yang disertai sub-sebutan. Ada kiai pesantren, kiai
mimbar, kiai layar kaca, kiai politik, kiai koran, kiai suwuk, kiai MUI,
kiai ICHMI, kiai danyang, dan kiai-kiai lain yang kedengarannya di telinga
“enak-enak saja”. Artinya, kiai pesantren tak merasa tersinggung dengan
danyang yang juga disebut kiai; Kiai Mimbar tak merasa tersinggung dengan
adanya kerbau yang disebut kiai Slamet; dan sebagainya.
Kiai, menurut
istilah umum sekarang ini, adalah orang yang “mempunyai kelebihan”
dibandingkan yang lain. Ada sebuah cerita yang dapat dijadikan ilustrasi
dan gambaran mentah bagi siapa saja yang ingin lebih jauh melihat sosok
kiai.
Sampai mashduqi
berusia 40 tahun, belum ada yang menjulukinya kiai, sebab ayahnya masih
hidup dan mengasuh Pesantren Mlangi. Pekerjaannya sehari-hari adalah njanggol andong (mengaisi bendi) nya sendiri. Dan itu masih dilakukan,
meski kemudian ia telah menyandang title Kiai dan mengasuh Pesantren
Mlangi, menggantikan posisi ayahnya yang telah wafat. Hanya saja jadwal njanggol-nya berubah. Tidak lagi
sehari suntuk, tetapi mulai dari pukul. 07.30 ( seusai mengaji tafsir
Qur’an ) sampai pukul 09.00. Setelah itu, beliau harus mengaji lagi di
hadapan para santri sampai menjelang lohor.
Beliau sama sekali
tak merasa kalau banyak orang ang menjulukinya kiai. Peanmpilan dan tutur
katanya, perangai dan hubungan sosialnya, tak berubah. Kegiatan rutinnya
yang biasa dilihat orang banyak adalah njanggol, mengaji, dan menghormati
tamu. Kata orang sekampung Mlangi, Kiai Masduqi makin runduk saja,
kerundukan yang disertai dengan tawadlu.
Kerundukan sebagian ( kecil ) kiai ada
yang ditransparankan dengan ketetapan “tak perlu memberi nama” kepada
pesantren yang diasuhnya, supaya tidak dianggap besar dan “diperbesar”.
Karena yang besar atau yang kelihatan besar atau diperbesar risikonya
berat.
Maka tidak perlu malu mengeluh seperti
Sayyidina Abu Bakar Siddiq yang selalu menggumam “Laita li kuntu turoba” (
andaikata aku ini tanah, alangkah bahagianya aku ). Atau meniru do’a
Sayyidina Umar bin Khatab : “Allahumaj ‘alni qalila” ( Tuhanku, berikanlah
kepadaku yang sedikit ).
Apa yang menjadi sikap sebagian kiai
itu adalah upaya menangkal dan memeperisai diri dari kemungkinan terkena “
penyakit hati “, terutama yang bernama penyakit ‘ain. Itu adalah penyakit yang diakibatkan oleh kesilauan hati
karena tersorot banyak sinar mata ( kagum ) publik.
Sorot mata tak bisa dihindari karena
kiai itu pemimpin. Sebagaimana kita ketahui, pemimpin itu muara dari segala
urusan. Pemimpin itu berkewajiban ( moral ) untuk menampung dan memuat segala
macam problem, jauh lebih sarat ketimbang orang awam. Bahkan sekian banyak
problem saling berbenturan. Saking sarat dan seringnya menghadapi beturan
problem, ketegangan demi ketegangan hars mereka lalui, ketegangan yang
menghajatkan “pengendoran”.
Bagi pemimpin yang berjudul kiai,
pengendoran ketegangan (mestinya) bukan maslah berat dan tidak perlu harus
“dibayar terlalu mahal” dengan mempertukarkan muru’ah dan harga dirinya. Bukankah kiai itu alladzina ulul ‘ilma, yang dihatinya
ada ayatun bayyinat, yang
senantiasa meletakkan jidatnya di tanah, bersujud dan berkata, “Alangkah
kotornya aku. Yang Maha Bersih adalah Tuhanku, yang janjinya pasti
dipenuhi, yang ketidakberdayaannya membuatnya tersungkur menangis
sesenggukan karena “ketakutannya” kepada azab Allah atas keteledoran yang
dilakukannya, lalu Allah pun menambah kekhusyuan di hatinya ( QS.
17:170-109 ). Apalagi kiai pasti tahu yang shalat tanpa sahun itu bisa
menangkal ketidaksenonohan dan menolak yang tidak dimaui ( oleh Allah dan
orang-orang sehat).
Semua itu adalah pengendoran dari
ketegangan. Kalau pemimpin yang bernama kiai itu mencari pengendoran
seperti halnya pemimpin yang bukan kiai, mislanya dengan memanjakan
syahwat, maka aib pun melumuri namanya, dirinya dan sejarhanya. Berarti dia
sudah tidak memiliki sikap dan sifat khasy-yah,
takut bercampur segan yang indah kepada Allah SWT. Dia hanya takut “kemanungsan”. Dia kehilangan
kehati-hatian. Lalu kehilangan segalanya. Menara menjulang yang ditata,
disusun, runtuh berkeping-keping.
Yang tinggal hanyalah : apakah fawadlih yang melumurinya itu akan
dibuka Allah ketika dia masih berkibar atau dibeber kelak di Pengadilan Agung
pada Hari Kiamat yang akbar. Sebuah hadis memperingatkan kita : Fawadlih
yang dibuka ketika pelakunya masih hidup di dunia lebih terasa sangat sakit
ketimbang dibeberkan di akhirat.
Na’udzubillahi
min dzalik
Wa al-Allahu a’lam bi al-Aswab
|