Jika kita melihat zaman
sekarang ini dari sudut agama dan mazhab khususnya yang terjadi di kalangan
anak muda - kita melihatnya sebagai
sebuah keguncangan, kebimbangan dan perubahan. Zaman kini telah melemparkan
rangkaian masalah dan keraguan untuk dibahas, dan telah menghidupkan
kembali masalah-masalah lama yang terlupakan, dan menjadikannya pokok
pembicaraan. Apakah kita harus menghadapi dengan keraguan dan pertanyaan
ini – yang terkadang mencapai tingkat yang ekstrem – dengan perasaan putus
asa, sesak napas dan pesismisme ?. Tidak .. keraguan tidak akan membawa
kepada kesedihan, sebab ragu membimbing manusia kepada keyakinan.
Pertanyaan membimbing orang untuk mencapai hasil, dan keguncangan adalah
pendahulu ketetapan. Keraguan adalah jembatan yang meakjubkan, disamping
tempat tinggal yang buruk. Ketika Islam membahas tafakur dan keyakinan
sedemikian sering dan dalam, Islam memahami betul bahwa keadaan pertama
manusia adalah keraguan dan kebimbangan. Dengan pemikiran yang jernih kita
sampai kepada keyakinan dan ketentraman.
Berkata salah seorang pemikir, faedh
pembicrn kmi adalah membawa anda kepada keraguan dan kebimbangan, supaya
anda sampai kepada keyakinan dengan pembahasan dan penelitian. Memang
benar, dalam keraguan tidak ada ketetapan dan ketenangan. Tapi benar juga,
bahwa ketetapan dan ketenangan yang lain tidak lebih baik daripada “
ketaktetapan “ dan “ Ketaktenangan “. Ada dua ketetapan ( istiqrar ), ketetapan yang lebih ringan
dan yang lebih tinggi daripada keraguan. Ketika kita mengatakan binatang
menikmati ketenangan, ketenangan ini adalah ketenangan yang lebih rendah
daripada keraguan, karena ketenangan tersebut tidak akan membawa kepada
keyakinan. Tetapi kaum Mukminin yang termasuk ahli yaqin, menimati jenis
keyakinan yang kedua, yang lebih tinggi daripada keraguan, kaena sudah
melintasi syak dan menuju keyakinan.
Dengan
mengecualikan orang-orang yang langsung diberi petunjuk oleh Allah,
ahli-ahli yaqin lainnya telah melewati posisi ragu dan bimbang, kemudian
berkhir pada taraf keyakinan dan keimanan. Karena itu, tidaklah bagi kita
menuduh zaman ini dipenuhi keraguan dan kebimbangan. Karena keraguan ini
bukanlah hal yang lebih rendah daripada istiqrar yang naif. Sebenarnya yang
harus disesali adalah bila orang meragukan sesuatu tetapi tidak menelaah
keraguan itu. Atau telah terjadi kebimbangan sosial,tetapipara pemikir
tidak berusaha mengatasi kemusykilan sosial ini, yaitu mengatasi keraguan
pada bidang tertentu.
Murtadha Mutahhari
memulai buku filsafatnya, al-“adl
al-Illahi, dengan pargraf di atas. Banyak orang takut meragukan
sesuatu, dan melaknat orang yang mempersoalkan. Penerimaan tanpa bertanya
dianggap sebagai kebajikan. Menyorot konvensi-konvensi yang baku dengan sejumlah
pertanyaan dituduh sebagai kekufuran. Yang sering dilupakan orang adalah
kenyataan bahwa keyakinan yang tidak didahului keraguan, adalah keyakinan
yang akan berakhir dengan keraguan,yaitu suatu keyakinan yang sangat rapuh.
Berbicara tentang pengembangan
filsafat Islam harus dimulai dengan kesediaan untuk mempersoalkan keyakinan
kita, meragukan asumsi-asumsi kita, dan dengan sabar membedah
pikiran-pikiran kita dengan pisau kebimbangan. Agama memang menuntut
komitmen, tetapi di sinilah diperlukan filsafat. Ketika berbagai
kepercayaan saling bertenangan, dan kita harus memutuskan kepercayaan mana
yang berhak memperoleh komitmen kita,pada saat itu kita memerlukan
filsafat. Kebenaran kata Trueblood, tidak dapat dipastikan dengan saling
membunuh, sebab yang timbul dengan cara itu bukanlah siapa yang benar,
tetapi siapayang kuat. Bila kekerasan bukan penyelesaian, maka begitu pula
pengambilan suara. Karena mayoritas boleh jadi salah, dan seringkali salah.
Satu-satunya pemecahan yang memuaskan adalah tenggelam dalam perenungan,
baik secara sendiri maupun bersama-sama, sampai dicapai suatu pandangan
yang secara intelektual memuaskan.
Filsafat
menawarkan kepada kita metode untuk meragukan hal ini, suatu metode yang
dapat dilacak kepada pemikir-pemikir besar filsafat, terutama Plato dan
Kant. Orang meneyebutnya metode kritik, atau dialektik. Trueblood
mendifinisikan bahwa Dialektik adalah upaya yang berlaku adil terhadap
pandangan yang berlawanan, bukan dengan menilainya dalam sistem yang kaku
atau diterima, tetapi dengan mempertanyakan, dalam setiap hal,
implikasi-implikasinya. Dengan dialektika, kita uji paham-paham yang
bertentangan. Implikasi setiap paham diteliti sampai tampak
kontradiksi-kontradiksi di dalamnya (
self-contradictions ) atau sampai lolos darinya. Pemikiran
komprehensif, ujar Plato selalu bersifat dialektis.
Banyak orang mungkin mempertanyakan apakah masyarakat kita
sekarang siap untuk diajak berfilsafat, atau apakah kondisi sosial kita
sudah sampai di satu titik ketika dilsafat menjadi sangat urgen. Dengan
kata lain, apakah gerakan tasykik akan menimbulkan upaya tahkiq ?.
Tantangan Modernisasi
Menurut Maghnis
Suseno merupakan ciri masyarakat modern adalah industrialisasi dan penemuan
subyektivitas dan rasionalisme. Disinilah sebetulnya letak tantangan yang
dihadapi masyarakat Islam sekarang. Implikasi pertama rasionalisme adalah
anti tradisionalisme. Tradisi adalah sesuatu yang mengikat kita secara
emosional, taken for granted.
Banyak pemikir Islam yang semula bersifat spekulatif ( zhnni ), dalam
perkembangan berikutnya difosilkan menjadi tradisi. Paham-paham pembaruan,
yang semula merupakan reaksi terhadap kebekuan, berangsur-angsur membeku
juga sebagai tradisi. Modernisasi akan mendrong orang untuk mepertanyakan
keabsahan tradisi-tradisi ini. Industrialisasi mendorng komunikasi yang
lebih luas secara geografikal dan sosial. Berbagai paham dan norma tumpang
tindih. Media massa mempertemukan manusia bukan secara fisik, tetapi juga
secara ruhani. Hal ini berarti bahwa sejumlah alternatif teredia bagi semua
orang. Menunjukkan sebuah alternatif dengan argumentasi bahwa ini telah
menjadi tradisi kita, atau karena ditopang oleh pemilik otoritas,tidak akan
bertahan dalam melawan rasionalisme.
Misal, penolakan
terhadap westernisasi. Islam dinyatakan sebagai antitesis peradaban Barat.
Segala yang berasal dari Barat ditolak. Atau filsafat Barat diharamkan.
Tetapi seperti kata Sayyed Hussain Nasser, kita tidak dapat menolak
dilsafat Barat hanya dengan mengafirkannya. “ Hal ini tidak dapat
dilakukan, sebab gagasan-gagasan filsafat Barat akan masuk melalui pintu
belakang dengan berbagai macam cara, dan para peneliti akan sangat kurang
siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan asing. Jika mereka tidak
dipersiapkan secara memadai untuk melawan mereka melalui telaah mendalam
dan penolakan terhadap premis-premis palsu “, ujar Nasser.
Berbeda dengan
saudara-saudara kita yang beragama Nasrani, oara ulama Islam seringkali
tidak siap menghadapi penyekundup-penyelundup yang lewat jalan pintu
belakang ini. Pendekatan formalitas dan normatif boleh jadi menimbulkan
ketentraman pada para pengikutnya, tetapi sekali lagi, itu merupakan
ketentraman yang sangat rapuh. Paham Asy’ariah, ditambah sikap
antirasionalisme Ibn Taimiyah ( yang banyak dijadikan guru oleh kelompok
pembaharu ), sangat menghambat studi-studi falsafi. Sudah saatnya kita
sekarang membenturkan pandangan-pandangan keagamaan kita dngan filsafat
Barat, dan menelaahnya dengan kesungguhan, seperti yang kita lakukan untuk
menarik menyimpulkan fikih, sering para ulama Islam menghabiskan waktu dan
energi membahas hal-hal yang berkenaan dengan makanan dan pakain, tetapi
melupkan hal-hal yang mempengaruhi jiwa dan pikiran kita.
Implikasi kedua
rasionalisme adalah sekularisme. Tanpa bermaksud untuk terlibat dalam
perdebatan tentang makna istilah ini, kita dapat menunjukkan dengan
meminjam penjelasan Larry Shiner, profesor agama di Sabgamon University,
bahwa sekularisasi, paling tidak, menunjukkan lima hal : mundurnya pengaruh
agama, sekadar kompromi dengan dunia, demistiikasi atau desakralisasi
dunia, ketidakterikatan ( disengagement ) kepada masyarakat, dan pemindahan
kepercayaan / iman dan pola-pola perilaku dari suasana keagamaan ke suasana
sekuler. Yang paling tampak dalam dunia Islam adalah definisi terakir.
Masyarakat modern cenderung mengatur perilaku dan menerima keyakinannya
tidak lagi melalui doktrin-doktrin agama, tetapi lewat
pertimbangan-pertimbangan rasionalis dan
praktis. Pragmatisme telah menyempitkan peranan agama sebagai
pengatur perilaku. Seprti yang telah terjadi pada umat Nasrani, di kalangan
masyarkat Isam pun telah timbul pemikiran bahwa agama Islam hanyalah ajaran
moral. Al Qur’an hanyalah kumpulan kaidah moral. Di luar itu Islam harus
menyerahkan pengaturan perilaku kepada lembaga sosial masyarakat modern. Di
sini pun sekularisasi tidak bisa ditanggapi hanya dengan pendekatan
emosional. Kritik terhadap paradigma sekuler harus dikembangkan secara
serius, dengan membongkar implikasi-implikasi kontradiktif di dalamnya. (
kalau ada ). Di Barat sekularsasi telah banyak di kritik. Di Inggris David
Martin membongkar premis-premis sekularisasi. Begitu pula Andrew Greely
dalam Unsecular Man, dan Harvey Cox dalam The Feast of Fools. Belakangan,
kita juga boleh menunjuk orang-orang seperti Theodore Roszak, Martin Buber,
Carl Rogers, Erich Fromm, Victor Frankl, Abraham Maslow, Teilhard de
Chardin, dan lain-lain, yang dikenal sebaga konspirasi Aquarian. Di
Indonesia, sekularisasi hanya sering menjadi isu temporer dan insidental,
lebih bersifat politis daripada pembangkit wawasan.
Implikasi terakhir
rasionalisme yang patut disebut dalam filsafat ilmu adalah positivisme.
Berbagai usaha telah dilakukan umat Islam untuk menolaknya, melalui
proyek-proyek pengkajian yang disebut secara sloganistis sebagai islamisasi
ilmu pengetahuan. Sayang sekali kebanyakan proyek ini dilaksanakan oleh
orang-orang yang kurang memiliki pengetahuan filsafat, dan tidak begitu
menguasai imu-ilmu keislaman. Walaupun begitu pada taraf rintisan, upaya-upaya
mereka memberikan kontribusi yang berharga bagi pengembangan filsafat ilmu
dalam perspektif Islam.
Dengan latar
belakang tantangan modern di atas, masalah-masalah apakah yang kini harus
menjadi sorotan kita.kita dapat membuat daftar yang panjang. Mengingat
beberapa urgennya hal itu, seperya yang akan dipaparkan yaitu, tauhid dan
syirik, keadilan illahi, kritik filsafat barat lewat Barat dan ilsafat
hukum Islam.
Masalah Tauhid dan Syirik
Tauhid adalah inti
ajaran Islam. Kaum muslimin tidak lagi dapat disebut sebagai kau muslimin
kalau menolak tauhid atau meragukannya. Yang menjadi persoalan adalah
dapatkah konsepsi kita tentang tauhidselama ini dibenarkan secara rasional.
Tauhid telah dikonseptualisasikan dalam bermacam-macam paham. Aliran-aliran
dalam ilmu kalam seak Mu’tazilah, Asy’ariyah, Zahiriyah, Syi’ah, Khawarij,
menunjukkan perbedaan konseptualisasi Tauhid ini. Belakangan Wahabisme yang
dapat dilacak sampai Ibnu Taimiyah dan IbnuQayyim, dan dilanjutkan
pemikiran dalam pemikiran-pemikiran orang-orang seperti Abul A’la al
Maududi mengemukakan paham tauhid yang berbeda dengan paham tauhid pemikir-pemikir Syi’ah, seperti
Mutahhari, Ja’far Subhani dan Sayyid Baqir Shadr. Bila secara intelektual
kita mau jujur, kita harus mempertemukan kedua paham ini dalam panggung
dialektika. Dengan kecermatan falsafi, kita hars mengujinya dengan mencoba
menemukan kontrdiksi diri di dalamnya.
Pembicaraan mengenai tauhid menjadi penting karena beberapa
hal :
1.
|
Tauhid mendasari seluruh pemikiran kita tentang dunia,
tauhid adalah weltanschaung
kita.
|
2.
|
Secara otomatis, konseptualisasi tauhid mensyiratkan
konseptualisasi syirik yang mempunyai implikasi-implikasi sosial,
|
3.
|
Tauhid adalah konsepsi Islam yang dapat dipertentangkan
dengan sekularisme, humanisme atau eksistensialisme.
|
Keadilan Illahi
Persoalan apakah
Allah bersifat adil atau tidak, bukan melibatkan pembicaraan metafisis.
Pertanyaan ini juga menggelitik, karena mempunyai implikasi sosial yang
luas. Masalah keburukan di dunia ini ( problems of evil ) adalah masalah
keadilan illahi. Mengapa sekian juta menderita kemiskinan dan sebagian
kecil lainnya hidup bergelimang dengan kemewahan ? Adilkah Allah kalau Ia
menakdirkan si A dengan mudah memperoleh kekayaannya secara halal, dan si B
terus menerus mengalami kegagalan, padahal ia berusaha secara halal juga ?
Problems of evil, bertalian dengan masalah qadha dan qadar, dan hal ini
bertalian dengan sikap kita di dalam masyarakat. Bila kita berpendapat
bahwa kejelekan sudah direncanakan Allah, atau hanya ilusi dalam persepsi
kita, masih perlukah kita menolong orang yang menderita, masih perlukah
kita memperjuangkan keadilan sosial dan sebagainya.
Termasuk masalah
keadilan illahi ialah ketentuan tentang siapa saja yang mendapatkan
ganjaran dari sisi Allah karena amal shalehnya ; apakah kriteria amal
shaleh, apakah diterimanya amal shaleh karena pertimbangan akidah, atau
karena pertimbangan lain ; manakah yang lebih dapat diterima akal, mazhab
i’tiqadi atau mazhab ‘amali.
Contoh-contoh dari diskusi tentang persoalan ini diatas dapat
dikaji pada buku Al-‘Adl al-Illahi.
Kritik Filsafat Barat lewat Barat
Harus diakui bahwa
dilsafat barat amat dominan dalam pemikiran manusia modern. Sebagaimana
kita memerlukan racun untuk menolak racun, kita perlu mengkaji kritik Barat
sendiri terhadap Barat. Ini tentu memerlukan penguasaan akar-akar pemikiran
Barat. The Aquarian Conspiracy,
walaupun ditulis secara populer dapat dijadikan entry points untuk telaah
lebih lanjut. Begitu juga tulisan-tulisan Roszak, De Bono, Laing, capra,
Maslow dan yang sebangsanya, dapat dijadikan rujukan yang berharga. Tentu
saja yang paling indah adalah kalau kritik-kritik itu kemudian dilengkapi
dengan alternatif yang pandang Islami.
Filsafat Hukum Islam
Ushul Fiqih – seperti
kata Nasser merupakan bagian dari filsafat Islam yang cukup produktif.
Ushul fiqih telah membimbing para ulama dalam ijtihad mereka. Tetapi sayang
sekali, upaya-upaya pimpinan mazhab, seperti Imam Syafi’i, telah dibekukan
menjadi konvensi yang tidak boleh dibantah lagi. Selain itu, banyak
kaidahushul yang masih mengandung penafsiran yang berlainan. Setiap
penafsiran biasanya diterima bila penafsiran itu paling cocok dengan selera
kita, dan tidak pernah mempertentangkannya dengan penafsiran-penafsiran
yang lain. Apakah implikasi kaidah menolak mafsadat harus lebih di
dahulukan daripada mendatangkan maslahat ? Apakah implikasi al-jarh
muqaddamun ‘ala ta’dil itu ? Mengapa jarh dan ta’dil hanya boleh sampai
tabi’in dan tidak sampai sahabat ? dan seterusnya.
Masalah ushul
diqih hanyalah sebagian dari filsafat hukum Islam yang memerlukan perhatian
kita. Di samping itu, masih terbuka persoalan yang lebih rumit, seperti
tujuan hukum Islam, antinomi-antinomi dalam hukum Islam, as-siyasah
syar’iyah dan hal-hal lain ...
Wa al-Allahu a’lam bi
al-Aswab
|