Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer
(1/4)
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
SEJARAH pemikiran adalah sejarah para pemikir,
sejarah kaum elit yang dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan
fenomena sosial dan gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah.
Para pemikir atau kaum cendekia dianggap elit karena keterasingan mereka
dari dunia umum. Istilah "pemikir" itu sendiri agak kabur, bisa
diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa
diterapkan sebagai panggilan lain untuk "intelektual" dan scholar
(sarjana), atau pada konteks yang lebih keren kepada filsuf. Dalam bahasa
Inggris, kata-kata seperti philosopher, thinker, scholar dan intellectual
merujuk kepada figur terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak
mempunyai batasan yang jelas satu dengan yang lainnya. Hanya agaknya
disepakati bahwa philosopher --karena faktor sejarahnya-- adalah istilah
yang paling signifikan untuk mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang.
Karenanya, filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum
terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina misalnya,
derajat keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada cara mempersepsikan
kebenaran. Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini, kebenaran yang dicapai
oleh para filsuf berbeda dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau
orang biasa, karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh kedua
kelompok tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara
kelompok elit dengan massa.
"Filsuf" adalah istilah klasik untuk
menunjukkan kelompok pemikir yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat
dengan massa dan hanya berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah
filosofis secara terbatas. Dalam bahasa modernnya, setelah mengalami
reduksi tentunya, filsuf adalah scholar (sarjana) yang bergelut dalam
bidang pemikiran tertentu dengan tidak melibatkan massa didalamnya. Seorang
sarjana yang telah mencapai jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D.
(Doctor of Philosophy), tidak peduli apakah ia menekuni kajian filsafat,
sosiologi, politik, ekonomi, sains atau lainnya.
Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh
'Ali Syari'ati, pemikir asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili
dan memiliki massa adalah bukan pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan
bukan pula saintis, tapi ia adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi,
Syari'ati menyebutnya rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai
padanan yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin bisa diterjemahkan
secara sederhana sebagai "intelektual", karena istilah tersebut
biasa merujuk kepada para pemikir atau tokoh terpelajar yang memiliki dan
berafiliasi kepada massa. Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia
Muslim se-Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan para
cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu karena cendekia dalam
bahasa Inggris disebut intellectual. Seorang intelektual biasanya tidak
hanya berpikir untuk bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat dan
berinteraksi dengan mereka. Dalam kerangka ini, bisa kita katakan bahwa
figur seperti 'Ali Syari'ati adalah intelektual, begitu juga Muththahhari,
Mawdudi dan al-Afghani. Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman
Badawi dan Majid Fakhri lebih sarjana ketimbang intelektual. Di Barat,
Bertrand Russel selalu dianggap sebagai "thinker",
"philosopher" dan "reformer", padahal ia adalah
intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan Heidegger lebih
filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti
Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars)
yang hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai
filsuf, tidak juga intelektual.
Pembedaan seperti di atas mungkin tidak selalu
akurat, karena, seperti telah saya katakan, istilah "pemikir" itu
sendiri ambigious, bisa diterapkan di mana-mana, tentu dengan intensitas
keintelektualan yang berbeda-beda.
Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa
ada dikotomi yang jelas antara "pemikir elit" (mufakkir nukhbah)
dengan "pemikir massa" (mufakkir jamahir). Menurutnya, mufakkir
nukhbah adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang terasing
dari massa dan hidup dalam dunia intelektual yang eksklusif, dan mereka
adalah para pemikir elit. Sementara mufakkir jamahir adalah para pemikir
(filsuf, intelektual, sarjana) yang berinteraksi dan terlibat dengan
masyarakat, dan mereka adalah milik massa.26 Dalam tulisannya yang lain,27
walau ia mengakui sulitnya membuat perbedaan antara "pemikir"
(mufakkir) dengan "intelektual" (mutsaqqaf), tak pelak, ia juga
membuat perbedaan tersebut. Tak jauh berbeda dengan batasan-batasan seperti
yang saya untuk di atas, Hanafi menganggap pemikir sebagai genus, sedangkan
intelektual sebagai species. Karena itu, "seluruh pemikir adalah
intelektual, tetapi tidak seluruh intelektual adalah pemikir.28
Ilustrasi singkat tentang pemikir dan segala
cognate-nya yang saya berikan di atas, dimaksudkan untuk memberikan acuan
dan batasan tentang pemikir dan pemikiran serta aplikasinya dalam tulisan
ini. Dalam galeri pemikiran Arab kontemporer seperti yang akan
diperlihatkan dalam tulisan ini, ada sekelompok pemikir yang berpengaruh
hanya karena tulisan-tulisannya, ada yang namanya lebih terkenal dari
pemikirannya, dan ada pemikir yang hanya terkenal sebatas dunia akademis.
Pemikiran Arab pasca kebangkitan ('ashr
al-nahdlah) biasanya selalu dibedakan antara "modern" dan
"kontemporer". Istilah modern-kontemporer merujuk kepada dua era
yang tidak mempunyai penggalan pasti. Kontemporer, seperti yang pernah
dikatakan oleh Qunstantine Zurayq --tokoh modernis Arab ternama-- adalah
lahir dari modernitas (al-'ashriyah walladat al-hadatsah).29
"Kontemporer" adalah kekinian atau kini, sementara modern adalah
"kini" yang sudah lewat tapi masih mempunyai citra modern. Karena
tidak ada kepermanenan dalam kekontemporeran, modern yang telah lewat dari
kekinian tidak lagi disebut kontemporer. Dalam hubungannya dengan pemikiran
Arab, istilah modern-kontemporer merujuk kepada pemikiran Arab modern sejak
masa kebangkitan, dimulai dengan invasi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun
1798, kemudian dalam berdirinya negeri-negeri independen dengan
mengatasnamakan nasionalisme, dan sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah
di Istanbul, sampai sekarang. Perbedaan paling jelas antara yang modern
dengan yang kontemporer adalah bahwa yang pertama merujuk kepada era
modernisasi secara umum, sedangkan kontemporer merujuk kepada era sekarang
atau yang berlaku kini. Oleh karenanya, kontemporer adalah kelanjutan
modernitas dan pada saat yang sama adalah modernitas itu sendiri. Batasan
sejarah pemikiran Arab modern adalah dari tahun 1798 hingga sekarang.
Sedangkan batasan pemikiran Arab kontemporer, tidak diketahui secara pasti.
Hanya kebanyakan para pemikir Arab sendiri menganggap waktu kontemporer
(mu'ashirah) bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967, karena
kekalahan tersebut merupakan titik yang menentukan (watershed) dalam
sejarah politik dan pemikiran Arab modern,30 di mana sejak saat itulah
--seperti yang dikatakan Issa J. Boullata-- orang Arab sadar akan dirinya
dan kemudian kritik-diri (naqd dzati) mulai bermunculan di sana-sini.31
A. Tiga Tipologi Dominan
Tahun 1967 dianggap sebagai
"penggalan" (qathi'ah) dari keseluruhan wacana Arab modern,
karena masa itulah yang mengubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa
problem sosial-budaya yang dihadapinya. Pukulan telak Israel membuat mereka
bertanya-tanya what's wrong dengan sekumpulan negara besar yang mempunyai
jumlah tentara dan peralatan yang cukup memadai dipaksa kalah oleh Israel
--negara kecil dengan tidak lebih dari tiga juta penduduknya? Inilah awal
mula apa yang dinamakan kritik-diri yang kemudian direfleksikan dalam
wacana-wacana keilmiahan, baik dalam fora akademis maupun
literatur-literatur ilmiah lainnya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh para
intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan (tafsir al-azmah)
tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara
pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian modernitas.
Karena itu, pertanyaan yang mereka ajukan adalah; bagaimana seharusnya
sikap bangsa Arab dalam menghadapi tantangan modernitas dan tuntutan
tradisi?
Telah lebih dari dua dekade, masalah tersebut
terus dibicarakan dan didiskusikan dalam seminar-seminar, dalam bentuk
buku, artikel dan publikasi lainnya. Dan masalah tersebut kemudian menjadi
common denominator untuk setiap intelektual Arab yang peduli terhadap
masalah kearaban dan keislaman. Persoalan itu sebenarnya bukan tidak pernah
dibahas oleh pemikir-pemikir Arab sebelumnya (era modern). Secara implisit,
topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad 'Abduh dan 'Abd
al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana epistemik32 masalah tersebut
baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir. Lebih dari itu semua,
masalah tradisi dan modernitas telah menjadi agenda penting untuk proyek
peradaban pemikiran Arab kontemporer.
Istilah "tradisi dan modernitas" yang
digunakan dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada terma
idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al-turats wa al-hadatsah,33
al-turats wa al-hadatsah,34 al-Ashlah wa al-hadatsah,35 al-turats wa
al-mu'ashirah,36 dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga
al-qadim wa al jadid.37 Seluruh istilah tersebut berarti tradisi dan
modernitas dengan seluas-luas maknanya. Akan tetapi istilah turats paling
sering digunakan dan paling sering disebut, bahkan istilah itu kini menjadi
kata kunci untuk memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara
literal, turats berarti warisan atau peninggalan (heritage, legacy), yaitu
berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan/diwariskan oleh orang-orang
terdahulu (al-qudama). Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab
kontemporer, dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab
klasik untuk mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah seperti al-'adah
(kebiasaan), 'urf (adat) dan sunnah (etos Rasul) meskipun mengandung makna
tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turats.
Begitu juga dalam literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel yang
tepat. Menurut Jabiri, kata legacy dan heritage dalam bahasa Inggris, atau
patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakill apa yang
dipikirkan oleh orang Arab tentang turats.38
Al-hadatsah, sebagai istilah yang paling umum
digunakan untuk mewakili kata "modernitas" merujuk kepada era
modern yang dilewati bangsa Arab sejak masa kebangkitan dua abad yang lalu.
Tidak seperti turats, hadatsah merupakan konsep pinjaman yang diambil dan
ditransliterasikan dari bahasa Barat. Muatan dan ciri-cirinya pun olahan Barat.
Qustantine Zurayq melihat modernitas sebagai satu konsep yang memiliki dua
aspek utama; pertama kontinuitas dan perubahan, dan kedua revolusi dan aksi
sosial.39 Modernitas oleh bangsa Arab lebih dilihat sebagai tantangan
identitas kultural daripada sebuah konsep budaya yang harus diterima dengan
senang. Ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Hassan Hanafi, karena bangsa Arab
lebih merasa at home dengan turats ketimbang hadatsah, karena turats telah
menyatu dalam kesadaran bangsa Arab (wa'y al-'Arabi) sejak empat belas abad
lalu, sementara hadatsah baru datang tidak lebih dari dua ratus tahun
lalu.40
Sejauh yang menyangkut pandangan-pandangan para
pemikir Arab kontemporer (pasca'67) tentang tradisi dan modernitas, secara
umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab
kontemporer.
Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini
mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses
transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal
kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama
dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta
menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan
tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan. Kelompok ini diwakili
pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen, seperti
Shibli Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini, kelompok itu diteruskan
oleh pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi pada Marxisme seperti
Thayyib Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, disamping pemikir-pemikir
liberal lainnya seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib Mahmud, Adil
Daher dan Qunstantine Zurayq.
Yang kedua adalah tipologi reformistik. Jika
pada kelompok pertama metode yang diajukan adalah transformasi sosial, pada
kelompok ini, proyek yang hendak digarap adalah reformasi dengan
penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan
zaman. Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan.
Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu,
melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar
tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka
ia harus dibangun kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan
kerangka modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan
kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan metode "pernyataan
ulang" (restatement,41 reiteration42) atas tradisi masa lalu. Menurut
yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah
dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang
hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu
mereka.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal
abad kedua puluh, kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh para
reformer seperti al-Afghani, 'Abduh dan Kawakibi. Pada era sekarang,
kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti
Hassan Hanafi, Muhammad Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan
Muhammad Nuwayhi.
Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran
reformistik adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi
merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir
dekonstruktif terdiri dari para pemikir Arab yang dipengaruhi oleh gerakan
(post) strukturalis Perancis dan beberapa tokoh post-modernisme lainnya,
seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Derrida dan Gadamer.
Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri.
Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan Jabiri adalah M. Bennis, Abdul
Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hashim Shaleh. Kedua
kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai tujuan dan cita-cita
yang sama, hanya saja metode penyampaian dan pendekatan masalah mereka yang
berbeda. Tidak seperti kelompok transformatik yang sangat radikal, para
pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan penuh
kepada turats. Tradisi atau turats menurut mereka tetap relevan untuk era
modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami dengan standar
modernitas.
Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran
ideal-totalistik. Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan
idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat
committed dengan aspek religius budaya Islam. Proyek peradaban yang hendak
mereka garap adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan
peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat, karena
Islam sendiri sudah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi.
Menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada
metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka menyeru kepada keaslian
Islam (al-ashlah), yaitu Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan
keempat Khalifahnya. Para pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik
ini, tidak percaya baik kepada metode transformasi maupun reformasi, karena
yang dituntut oleh Islam --menurut mereka--adalah kembali kepada sumber
asal (al-awdah ila al-manba) yaitu al-Qur'an dan Hadits. Dalam banyak hal,
metode pendekatan mereka kepada turats dapat disamakan dengan kaum
tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak pencapaian
modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh modernitas (sains dan
teknologi) tidak lebih dari apa yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada
era kejayaan dulu. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir
ideal-totalistik adalah para pemikir-ulama seperti M. Ghazali, Sayyid
Quthb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim
yang berorientasi pada gerakan Islam politik.
Ketiga tipologi ini telah meramaikan wacana
pemikiran Arab kontemporer. Meskipun kategori tipologi semacam ini tidak
sepenuhnya mempunyai batasan yang clear-cut, tapi secara umum substansi
setiap ide para pemikir Arab dapat dijelaskan melalui salah satu tipologi
tersebut. Berikut ini, dengan singkat, akan digambarkan beberapa pandangan
penting para pemikir dari ketiga kelompok tersebut.
1. Transformatik
Para pemikir Arab yang mempunyai kecenderungan
transformatik kebanyakan berorientasi kepada Marxisme. Afiliasi mereka
kepada Marxisme bukan pada dimensi ideologi politik, tetapi lebih pada
aspek intelektualnya. Dan berikut ini akan kita simak pandangan-pandangan
dua pemikir Marxis Arab, Thayyib Tayzini dan Abdullah Laroui43 tentang
problem dunia Arab kontemporer. Agar kelihatan adil, seorang pemikir yang
non-Marxis juga akan kita soroti, yaitu seorang filsuf dan budayawan serba
bisa -Adonis.
Thayyib Tayzini adalah seorang profesor ternama
di universitas Damaskus, Syria. Gelar doktor filsafat diraihnya dari
universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman. Ia dikenal dengan proyek
peradabannya, Masyru Ru'yah Jadidah li al-Fikr al-Arabi min al-'Ashr
al-Jahili hatta al-Marhalah al-Mu'ashirah (Proyek Visi Baru Pemikiran Arab
dari Era Jahiliyyah Hingga Modern). Proyek ini akan ditulisnya dalam dua
belas jilid buku, dua di antaranya telah diterbitkan, yaitu Min al-Turats
ila al-Tsawrah: Hawla Nazhariyyat al-Muqtarahah fi Qadiyah al-Turats
al-Arabi,44 dan Al-Fikr al-Arabi fi Bawakirih wa Afaqih al-Ula.45 Proyek
besar Tayzini ini mungkin hanya bisa disejajarkan dengan proyek Hassan
Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid) dan Mohammed Abid Jabiri (Naqd al-'Aql
al-'Arabi).
Tampaknya tidak perlu susah-susah menunggu
sepuluh jilid yang lain dalam membaca karya Tayzini ini. Teori, metode dan
aplikasi telah dengan sistematis dan sangat jelas dielaborasi Tayzini dalam
Jilid pertamanya. Buku tersebut direncanakan sebagai pengantar untuk kajian
metodis atas warisan budaya Arab yang biasa disebut turats. Judul yang
diberikan oleh Tayzini untuk bukunya yang pertama tersebut merefleksikan
pandangan-pandangan Marxismenya, sekaligus memberi pesan transformatif dari
turats kepada revolusi. Revolusi yang dimaksudkan di sini tentulah revolusi
ala Marx. Ia mengkritik para pemikir Arab lain yang membaca turats secara
tidak proporsional, menurut istilahnya, tidak historis (ahistoris/la
tarikhi) dan tidak turatsi (aheritagial/la turdatsi).46 Turats, menurut
Tayzini, harus didekati secara historis dan harus dilihat dalam konteks
hubungan dialektis antara masalah sosio-ekonomi dengan kondisi politik
dalam sebuah masyarakat. Unsur seperti ini, terutama yang disebutkan
terakhir sangat berperan dalam membentuk turats manusia, yang kemudian
--disadari atau tidak-mendapat justifikasi ontologis. Karenanya, untuk
membebaskan turats dari penafsiran-penafsiran subjektif, ia harus
diletakkan dalam kerangka historisisme, "karena sebenarnya, turats itu
sendiri adalah sejarah".47
Warna Marxisme Tayzini terasa sangat kental
ketika ia menghubungkan turats dengan revolusi buruh. Tanpa ragu-ragu ia
namakan teorinya al-jadaliyah al-tarikhiyah al-turatsiyah (dialektiko
histo-turatsi,-sic.), yang bertujuan menciptakan revolusi turats dalam bentuk
sosialisme ilmiah. Teori ini menegaskan bahwa revolusi budaya tidak mungkin
terjadi dalam kekosongan relasi sosial (a vacuum of social relations),
seperti yang kini melanda bangsa Arab. Seperti diketahui, bangsa Arab
dikuasai oleh kelas borjuis-feodalis yang secara ekonomi tidak mampu
berdiri sendiri. Mereka sangat bergantung kepada kekuatan kapitalis Barat.
Secara ideologis, hal tersebut menjadikan para borjuis itu malas atau
enggan untuk menciptakan revolusi sosial. Inilah kekosongan relasi itu, bukan
hanya antara kelas, tetapi juga antara pemilik modal dengan peninggalan
turats. Sementara kaum buruh (baca: massa) mempunyai keterkaitan emosional
yang erat dengan turats mereka.48
Masih dalam paradigma Marxisme tetapi berbeda
sudut pandang, Abdullah Laroui membuat sintesa yang hampir mirip dengan
Tayzini. Pemikir Maroko ini yang di dunia Arab dikenal sebagai 'Abdullah
al-Arwi (dalam bahasa Perancis "al" menjadi "la"),
percaya penuh dengan metode historisisme. Dua buah bukunya la crise des
intellectuels arabes: traditionalisme ou historicisme,49 dan L'ideologie
arabe contemporaine50 adalah kritik historis atas tradisi dan diskursus
intelektual Arab tentang turats. Berbeda dengan Tayzini yang tidak
membedakan antara turats dengan sejarah, Laroui melihat turats sebagai satu
bentuk tradisionalisme yang harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak akan
berubah selama golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah cara
pandang mereka terhadap turats. Mereka tidak akan maju selama cara berpikir
dan orientasi mereka ke masa lalu.51
Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik
oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya,
kelompok tradisionalis melihat turats secara ahistoris (la tarikhi).
Kesalahan mereka adalah menganggap turats sesuatu yang suci, yang cocok
untuk setiap zaman dan segala kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi
kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga kaum modernis, dalam pandangan
Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang memilih-milih elemen dan
unsur tertentu dari budaya Barat --budaya orang lain. Sikap seperti ini
tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan bangsa
itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok tersebut, menurut Laroui,
tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah
dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu
sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang
lain (Barat) sebagai model yang lain. Kedua-duanya --mengambil masa lalu
atau mengambil orang lain-- adalah tindakan yang tidak kreatif.
Persoalan tersebut, menurut Laroui, hanya dapat
diatasi dengan memperkaya diri berpikir kritis dan historis. Ia melihat,
metode berpikir historis (historisisme) hanya dapat dijumpai pada Marxisme
dengan teori dialektika historisnya. Karena itu, mempelajari Marxisme demi
mencapai level berpikir kritis dan historis harus diberi prioritas. Bukan
hanya itu, Marxisme telah dengan rapi menghubungkan masalah-masalah
tersebut dengan persoalan ekonomi, sosial dan politik. Ini sangat cocok dan
sejalan dengan dunia Arab kontemporer.52
Kritik Tayzini dan Laroui dalam beberapa hal
adalah juga kritik para intelektual Arab lainnya. Masalahnya bagaimana
memberikan metode dan pendekatan yang baik dalam menyampaikan kritik tersebut.
Alternatif Marxisme yang diajukan keduanya bukan tidak mendapat kritik dari
kalangan pemikir lain. Di samping polanya yang sudah usang, metode
Marxisme, dipandang oleh para kritikus Tayzini dan Laroui, sebagai contoh
sederhana kegagalan sebuah metode. Apalagi dengan melihat kasus Uni Soviet
dan negara-negara yang mempraktekkan sistem itu. Teori Tayzini dan Laroui
tampak tidak mempunyai tempat di banyak hati intelektual Arab.
Pemikir lainnya dari kecenderungan berpikir
transformatik adalah Adonis Akra. Ia seorang pemikir serba bisa yang
"nyentrik"; menulis puisi, main teater, menulis buku filsafat,
seminar ilmiah dan sejumlah kegiatan yang digelutinya. Nama sebenarnya
adalah Ali Ahmad Sa'id, tetapi nama Adonis --nama salah seorang tokoh legendaris
Yunani-- yang dipujanya, lebih melekat pada dirinya. Di antara kegiatannya
yang segudang, ia memimpin dua jurnal terkenal Syi'r dan Mawaqif. Karya
pentingnya adalah Al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittiba wa
al-Ibda' 'inda al-'Arab (Yang Tetap dan Yang Berubah: Kajian Tentang
Imitasi dan Kreatifitas Bangsa Arab). Ditulis dalam tiga jilid, yang
menurut Boullata "the most daring indictments of Arab culture in
modern times."53 Buku tersebut direncanakan oleh Adonis sebagai bacaan
ulang atas sejarah Arab-Islam, khususnya dalam pencarian makna keotentikan
(al-ashlah). Dengan kritis ia menulis;
Apakah
keotentikan itu? Bagaimana kita mendefinisikan sesuatu yang otentik?
Bagaimana hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, bagaimana
menafsirkannya? Mengapa bangsa Arab harus mengalami kemunduran dan stagnasi
yang begitu pahit? Apakah masalahnya cuma disintegrasi politik atau
pengaruh asing? Bagaimana kita menafsirkan dan memahami hubungan antara
bangsa, agama dan politik. Lalu, apakah signifikansi modernitas ditengah
semuanya ini?"54
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang dicoba
jawab oleh Adonis. Dalam eksplorasinya itu, ia menyimpulkan ada empat
karakteristik mentalitas bangsa Arab. Pertama, pada level ontologis, bangsa
Arab berorientasi pada teologisme (lahutaniyah), yaitu satu kecenderungan
yang berlebihan dalam melihat Tuhan sebagai pusat dari segalanya --sebagai
inspirasi ontologis untuk setiap wujud. Sikap dalam memandang Tuhan ini
kemudian direfleksikan dalam kehidupan realitas bangsa Arab --hubungan
masyarakat dengan negara dan negara dengan setiap individu adalah hubungan
teologis. "Sebagaimana manusia tidak bisa hidup kecuali lewat Tuhan,
di dunia nyata ia pun tidak hidup kecuali oleh agama, komunitas, negara,
keluarga, dan seterusnya. Ia tidak bisa hidup sendiri, karena ia tidak
mempunyai kebebasan untuk itu." Kedua, pada level psikologis, bangsa
Arab berorientasi pada masa lalu (madlawiyah). Maksudnya, bangsa Arab
selalu melihat masa lalu sebagai simbol kemajuan, dan berkeyakinan bahwa
jika ingin maju harus beremulasi dengan masa lalu itu. Bagi mereka hal-hal
baru yang tidak jelas adalah spekulatif, maka tidak perlu dikejar. Ketiga,
pada level ekspresi bahasa, nalar bangsa Arab selalu membedakan antara yang
bersifat "ide" dengan "ucapan". Pemisahan semacam ini,
menurut Adonis, hanya akan memasung kreatifitas jiwa, karena ide selalu
dianggap sebagai sesuatu yang permanen sebelum adanya ucapan. Dengan kata
lain, ucapan hanyalah pembungkus simbolis dari sesuatu yang sudah ada.
Keempat, pada level peradaban, bangsa Arab hidup dalam keadaan terasing
(ightirab) dan penuh dengan kontradiksi, terutama dalam menghadapi
modernitas. Itu, karena mereka selalu berpikir dalam paradigma masa lalu
dan hidup dalam bayang-bayang turats.55
Kesimpulan yang diberikan oleh Adonis memang
cukup radikal. Dalam pandangannya, bangsa Arab tidak realistis, karena apa
yang dipikirkan dan apa yang dihadapi berlainan. Begitu juga bangsa Arab
tidak akan bisa maju karena mereka berpikir dalam kungkungan logosentris
yang dilapisi sekat-sekat ideologi. Kondisi bangsa Arab, menurut Adonis,
tidak akan berubah selama sekat itu belum disingkirkan. Bagi Adonis, yang
dibutuhkan bukan hanya perombakan (dekonstruksi) nalar Arab. Tapi, lebih
dari itu, adalah penghancuran (destruksi), sehingga transformasi yang
diharapkan akan tercapai.56
2. Reformistik
Secara umum, tipologi reformistik adalah
kecenderungan yang meyakini bahwa antara turats dan modernitas kedua-duanya
adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan
bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain,
karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan milik kita; turats milik orang
lampau dan modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain
adalah gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan
bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi
akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.
Gerakan reformistik dalam dunia Arab modern
telah dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis
semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad
'Abduh. 'Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini.
Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi "kiri" atau
"kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin intens. Kelompok kiri
penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok
kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari
kerangka ajaran sang imam --menjadi fundamentalis.
Gerakan reformistik adalah proses evolusi
madrasah 'Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian
Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd al-Raziq, kemudian Imarah dan terakhir
Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan semakin jauh dari kerangka
berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari
semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari 'Abduh, kemudian
Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).
Untuk lebih jelas lagi kita akan lihat berikut
ini, bagaimana sisa-sisa spirit 'Abduh masih kelihatan dalam
pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan para reformis kontemporer.
Tentu, dibandingkan dengan aspek keseluruhan dari identitas mereka, spirit
ini bukanlah apa-apa. Pada kelompok pertama kita akan melihat dua pemikir
kontemporer yang berorientasi kepada pembangunan kembali (rekonstruksi)
budaya dan warisan peradaban Arab-Islam; pertama, Dr. M. Imarah, sisa-sisa
pengikut setia 'Abduh yang pernah berguru pada 'Ali 'Abd al-Raziq, dan
kedua, Dr. Hassan Hanafi, mantan anggota Ikhwan yang pernah teriak-teriak
bersama Sayyid Quthb dan kemudian hengkang ke Sorbonne untuk belajar
filsafat.
M. Imarah atau kadang diucapkan M. Amarah adalah
pemikir Mesir ternama yang mengkonsentrasikan dirinya dalam kajian historis
ajaran dan doktrin Islam, terutama yang berhubungan dengan ketatanegaraan
dan politik. Bukunya Al-Islam wa al-Wahdah al-Qawmiyah (Islam dan Persatuan
Nasional) yang dicetak 11.000 eksemplar habis terjual hanya dalam masa
sepuluh hari. Bukunya yang kedua, Al-Islam wa al-Sulthah al-Diniyah (Islam
dan Otoritas Agama) sempat menggoncangkan dan meresahkan masyarakat karena
membahas isu sensitif tentang Islam dan permasalahan politik. Meski ia
kritis terhadap 'Ali 'Abd al-Raziq, gurunya, sebenarnya, ide-ide Muhammad
Imarah, khususnya tentang konsep kenegaraan, adalah perpanjangan dari
pandangan gurunya tersebut. Ia --juga seperti 'Abd al-Raziq-- menganggap
isu negara Islam dan usaha pencarian sistem Islam melalui teks-teks agama
adalah masalah ijtihadi.
Dalam Islam sendiri, menurut Imarah, tidak ada
satu kelompok pun --kecuali Syi'ah mungkin-- yang mengklaim dirinya sebagai
orang suci, utusan Tuhan dan ma'shum dari kesalahan. Padahal, Imarah
berargumen, Nabi saja dalam masalah-masalah keduniaan bisa salah, dengan
kata lain, ia tidak ma'shum. Karena itu, selama masalah kenegaraan adalah
masalah ijtihadi (penafsiran manusia) dan urusan duniawi, boleh-boleh saja
konsep tersebut dipersalahkan.
Jika sekelompok Muslim masa lalu memilih
khilafah sebagai satu alternatif sistem politik yang kemudian menjadi
mapan, menurut Imarah, bukanlah pilihan teologis. Dengan kata lain, masalah
itu hanyalah didorong unsur-unsur kebutuhan mendesak kaum Muslim masa itu
yang basis teologisnya --paling kuat-- cuma penafsiran. Islam tidak pernah
menganjurkan teokrasi. Kalaupun bentuk teokrasi itu kemudian terwujud,
sebagaimana klaim sebagian orang, itu hanyalah pengada-adaan sejarah.57 Ini
bukan berarti Imarah berpendapat adanya pemisahan dalam Islam antara yang
ukhrawi (masalah akhirat) dan yang duniawi (masalah keduniaan). Tetapi,
masalah keduanya itu sangat kompleks, sementara Islam hanya memberikan
panduan-panduan dan garis besar-garis besarnya saja.58
Dengan penjelasan itu, sebenarnya Imarah ingin
menegaskan bahwa persoalan politik dalam Islam harus ditangani secara
serius. Keinginan-keinginan sementara kelompok Muslim untuk mendirikan
negara Islam bersumber dari tekanan psikologis "orang-orang
kalah". Jika tekanan psikologis itu hilang, dengan sendirinya,
tuntutan untuk mendirikan negara Islam semacam itu, nantinya akan turut
menghilang. Sisi reformistik dari pandangan Imarah ini adalah keinginan
untuk menafsirkan kembali soal-soal yang bersangkutan dengan sistem
kenegaraan Islam, tanpa harus membuang otoritas tradisi yang ada.
Hassan Hanafi adalah figur dari kecenderungan
yang sama dengan Muhammad Imarah, bedanya pada penekanan. Kalau kepedulian
Imarah adalah masalah Islam dan politik, Hanafi mempunyai persoalan yang
sangat luas. Dengan idiom populer ia menamakan proyeknya, al-Turats wa
al-Tajdid (masalah tradisi dan pembaharuan). Dalam soal pamor, Hanafi lebih
dikenal dan lebih banyak disimak pemikirannya ketimbang Imarah, bahkan di
antara pemikir-pemikir Arab kontemporer, barangkali hanya Hanafi yang
paling luas dikaji pemikirannya secara ilmiah, kecuali Arkoun mungkin.
Ide-ide pemikiran intelektual kelahiran Mesir ini sudah banyak dikaji
kalangan akademis. Sekurangnya ada dua tesis master yang mengkaji pemikiran
dan pandangan-pandangan teoretisnya,59 di samping buku-buku dan artikel
dalam bahasa nonArab lainnya.60
Hassan Hanafi sangat sistematis dalam membahas
dan mendiskusikan proyek yang dibinanya, dengan tidak ragu-ragu ia
mengklaim proyeknya sebagai proyek peradaban (masyru 'nahdlawi) umat Islam.
Seperti yang dielaborasi dalam sebuah tulisannya, Mawqifuna al-Hadlari, ia
membagi tiga sikap seorang (Arab Muslim) modern; pertama, sikap terhadap
masa lalu, yaitu kepedulian diri terhadap tradisi dan warisan lama. Kedua,
sikap terhadap Barat, dan ketiga, sikap terhadap realitas dan kondisi
Muslim kontemporer. Setiap dari ketiga sikap itu dielaborasi oleh Hanafi
dalam masing-masing tulisan dan buku yang berbeda. Untuk pengantar umum
proyeknya, ia menulis Al-Turats wa al-Tajdid;61 untuk sikap yang pertama ia
menulis Min al-Aqidah ila al-Tsawrah;62 untuk sikap terhadap Barat, ia
menulis karya tebal Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrab;63 dan untuk sikap
terhadap realitas, tesis dan disertasi doktoralnya telah ia jadikan sebagai
referensi utama, l'exegese de la phenomenologie, l'etat actuel de la
methode phenomenologique et son application au phenomene religieux,64 dan
la phenomenologie de l'exegese, essei d'une hermeneutique existentielle a
partir du nouveau Testament.65
Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide
rekonstruksi Muhammad Iqbal --filsuf asal Pakistan, model reformasi 'Abduh,
dan konsep revolusi al-Afghani dan Syari'ati. Bagi Hanafi, rekonstruksi
adalah pembangunan kembali (i'adah buniyat min jadid) warisan Arab-Islam
dengan melihat kepada spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer.
Teologi yang dianggap Hanafi sebagai ilmu yang paling fundamental dalam
tradisi Islam harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar
modernitas. Untuk itu, ia mengajukan ide neo-kalam (ilmu kalam baru). Apa
yang dimaksudnya dengan ilmu tersebut bukan hanya ideologi doktrinal
sebagaimana yang pernah dipahami oleh al-Asy'ari, Baqillani dan al-Ghazali.
Tetapi ilmu itu lebih merupakan ideologi revolusi atau revolusi ideologis
yang dapat memotivasi kaum Muslim Modern untuk beraksi melawan despotisme
dan penguasa otoriter.66 Dalam bentuk yang beragam, Hanafi selalu
mengaitkan teologi ini dengan teologi tanah, teologi kaum tertindas, dan
teologi pembebasan ala Amerika Latin. Pandangan rekonstruktif Hanafi
lainnya adalah tentang Sufisme atau tasawuf. Dalam banyak tulisannya, ia
mengajak kita untuk melihat kembali konsep tasawuf yang ada. Menurutnya,
pengertian tasawuf yang ada sudah tidak relevan lagi untuk konteks
sekarang. Tasawuf klasik penuh dengan nilai-nilai negatif-pasif dan
atribusi kelemahan, karena ia dibentuk dari reaksi oleh sebagian orang yang
tidak puas kepada penguasa Muslim saat itu. Para Sufi dahulu adalah orang
yang melarikan dan menghindar diri dari keramaian dan kemewahan hidup,
singkatnya, mereka menjadi zuhud. Karena itulah kemudian tasawuf melahirkan
nilai-nilai negatif (pasif) dalam beberapa praktek dan sikap hidupnya,
seperti berpuas diri (ridla), penyerahan diri (tawakkal), penahanan diri
(shabr) dan rendah hati (wara'). Atribut-atribut pasif ini, menurut Hanafi
harus diubah dan harus disesuaikan dengan kondisi Muslim sekarang. Kaum
Muslim kontemporer terus tertekan oleh penguasa dan hegemoni model
kapitalisme. Karenanya, nilai-nilai pasif itu harus diganti dengan spirit
yang lebih positif, seperti revolusi (tsawrah), penolakan (rafdl),
kemarahan (ghadlab) dan oposisi (mu'aradlah).
Untuk sikap terhadap Barat, Hanafi telah
menciptakan ilmu baru: oksidentalisme. Dengan oksidentalisme, ia ingin
menciptakan pendekatan baru terhadap kajian dan studi Barat dan kebaratan.
Seperti yang ditulisnya, oksidentalisme bertujuan:
...membunuh
Eurosentrisme dan mengembalikan budaya Barat kepada batasannya yang normal.
Sejak era kolonialisme dan kemudian dilanjutkan oleh kekuatan dan
penguasaan agen-agen berita di dunia internasional, budaya Barat telah
merebak ke setiap pelosok negeri-negeri non-Barat. jadi, signifikansi
oksidentalisme, sekali lagi, adalah untuk menghapuskan mitos budaya
universal yang dicetuskan Barat.67
Oksidentalisme untuk Hanafi adalah alternatif
untuk kaum Muslim modern dalam memandang Barat dengan perspektif baru.
Kalau selama ini, umat Islam telah menjadi obyek kajian lewat wacana
orientalisme yang diciptakan Barat, sudah seharusnya kini umat Islam
membangun ilmu dengan berlandaskan epistemologi baru lewat diskursus
oksidentalisme.
Kelompok kedua yang berafiliasi kepada tipologi
reformistik adalah para intelektual yang cenderung memakai metode
pendekatan dekonstruktif. Para pemikir dekonstruksionis Arab kebanyakan
datang dari daerah Maghribi (Maroko, al-Jazair, Tunis dan Libia). Tampaknya
unsur bahasa Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri
tersebut menyebabkan kalangan akademisnya lebih menyerap literatur
berbahasa Perancis, ketimbang bahasa-bahasa Eropa lainnya. Keterikatan
intelektual para pemikir Arab Maghribi dengan Perancis bukan hanya sebatas
bahasanya, mereka juga terpengaruh oleh gerakan-gerakan pemikiran dan
filsafat Perancis kontemporer, khususnya gerakan (post) strukturalisme.
Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa hampir seluruh pemikir
Muslim Maghribi yang concern terhadap keislaman dan kearaban adalah
penganut paham strukturalisme; itu karena problem yang mereka hadapi
kebetulan sama, yaitu masalah bacaan atas tradisi, baik yang berbentuk teks
maupun realitas. Dan menurut mereka, metode yang paling modern dan paling
ampuh untuk membaca tradisi (turats) adalah dekonstruksi.
Berikut, kita akan melihat dua figur utama dalam
kelompok ini; pertama, Mohammed Arkoun, pemikir kelahiran al-Jazair yang
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Perancis. Kedua, Mohammed Abid
Jabiri, pemikir dari Maroko yang cukup produktif dalam menuliskan
masalah-masalah yang menyangkut pemikiran Arab-Islam.
Ada titik kesamaan antara Mohammed Arkoun dan
Mohammed Abid Jabiri, bukan hanya karena keduanya berasal dari daerah Arab
Maghribi. Lebih dari itu, Arkoun dan Jabiri memiliki kecenderungan
intelektualisme yang sama, yaitu, kedua-duanya melihat perlunya metode
kritik untuk membaca sejarah-sejarah pemikiran Arab-Islam. Pada tahun 1984,
dengan tidak disengaja dan di luar perencanaan, kedua-duanya menerbitkan
buku kritis: Arkoun menerbitkan Pour une critique de la reason Islamique
(Kritik nalar Islam) dalam bahasa Perancis, dan Jabiri menerbitkan Naqd
al-Aql al-Arabi (Kritik nalar Arab) dalam bahasa Arab. Kedua-duanya
memfokuskan pada problem yang sama; bacaan terhadap tradisi Arab-Islam.
Tesis Mohammed Arkoun --seperti juga tesis Jabiri yang akan kita lihat
kemudian-- berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme
dan masalah interpretasi (hermeneutis). Karena pertimbangan inilah mungkin
judul buku Mohammed Arkoun tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
menjadi Tarikhiyah al-Fikr al-Arabi al-Islami (Historisisme pemikiran
Arab-Islam). Dengan historisisme, Arkoun bermaksud hendak melihat seluruh
fenomena sosial-budaya lewat perspektif historis, bahwa masa lalu harus
dilihat menurut strata historikalnya. Carian historis harus dibatasi
menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Ini artinya,
historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan
relevansi antara teks dengan konteks. Jika metode ini diaplikasikan ke atas
teks-teks agama, apa yang dibutuhkan, menurut Arkoun, adalah makna-makna
baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.68
Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah
salah satu formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh
pemikir-pemikir (post) strukturalis Perancis. Referensi utamanya adalah De
Saussure (linguistic), Levi Strauss (antropologi), Lacan (psikologi),
Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi) dan Derrida (grammatologi).
Semua unsur tersebut diramunya sedemikian rupa menjadi "kritik nalar
Islam". Studinya atas teks-teks klasik adalah untuk mencari makna lain
yang tersembunyi di sana. Dengan kata lain, untuk menuju rekonstruksi
(konteks), harus ada dekonstruksi (teks). Arkoun tidak hanya berhenti pada
teks-teks klasik peninggalan ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Muslim.
Lebih dari itu, teks-teks suci juga tidak lepas dari bacaannya.
Bagaimana Arkoun melihat tradisi atau turats?
Secara umum, Arkoun membedakan antara dua bentuk tradisi. Dalam karya-karya
yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, ia secara bersamaan menggunakan dua
kata "tradition" dan turats, dan membagi keduanya kepada dua
jenis: pertama, Tradisi atau Turats dengan T besar, yaitu tradisi yang
transenden yang selalu dipahami dan dipersepsi sebagai tradisi ideal, yang
datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian historis.
Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut.69 Tradisi Jenis kedua ditulis
dengan T kecil (tradition/turats). Tradisi ini dibentuk oleh sejarah dan
budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah
kehidupan, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab
suci.70 Antara dua jenis tradisi ini, Arkoun mengesampingkan jenis yang
pertama, karena menurutnya, tradisi tersebut berada di luar pengetahuan dan
kapasitas akal manusia. Dengan begitu, target dan objek kajian yang akan
dilakukannya adalah turats jenis yang kedua; turats yang dibentuk oleh
kondisi sejarah (kondisi ruang-waktu).
Membaca turats adalah membaca teks, seluruh
jenis teks. Karena turats tersebut dibentuk dan dibakukan dalam sejarah, ia
pun harus dibaca lewat kerangka sejarah, inilah historisisme itu. Menurut
Arkoun, salah satu tujuan membaca teks, teks suci khususnya, adalah untuk
mengapresiasi teks tersebut di tengah-tengah perubahan yang terus terjadi.
Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks suci tersebut
harus selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan segala keadaan, inilah
salah satu inti pesan ajaran Islam itu; al-Islam yashluh li kulli zaman wa
makan. Dari sini, apa yang sedang diusahakan Arkoun, seperti para reformer
lainnya, adalah pengharmonisasian tradisi dengan modernitas lewat metode
terbaru.
Sejalan dengan M. Arkoun, Mohammed Abid Jabiri
menganggap penting kajian historisisrne, dan lebih jauh lagi menekankan
keharusan menghadirkan tradisi atau turats dalam kemasan yang lebih cocok
untuk modernitas. Usaha pengemasannya ini telah diformulasikan dalam tiga
jilid karya monumentalnya, yang ia namakan "Proyek Kritik Akal
Arab" (Masyru 'Naqd Aql al-'Arabi). Proyek ilmiah tersebut banyak
mendapat sambutan dari kalangan akademis Arab kontemporer. Jurnal ilmiah
berbahasa Arab Al-Mustaqbal al-'Arabi menganggap karya Jabiri tersebut sebagai
Perestroika dan Glasnost-nya Arab, karena keberaniannya dalam membongkar
struktur epistemologi Arab (juga Islam) yang sudah mapan. Jabiri berangkat
dari pertanyaan metodologis "Bagaimana Berinteraksi dengan
Turats?"71 Untuk menjawab pertanyaannya itu, Jabiri merasa perlu
mendefinisikan kembali makna turats. Menurutnya, turats adalah warisan masa
lalu dalam sejarah satu bangsa berupa tingkah laku, etos kerja, pencapaian
budaya dan karya-karya ilmiah. Di antara peninggalan klasik yang dirangkum
dalam turats ini, menurut Jabiri, peninggalan ilmiahlah yang paling penting
dan paling berpengaruh dalam menentukan budaya dan peradaban suatu bangsa.
Selama warisan ilmiah menjadi unsur yang terpenting, dan warisan tersebut
tertulis dalam bentuk teks, pertanyaan yang diajukan oleh Jabiri adalah,
"bagaimana membaca teks-teks tersebut?" Menurut Jabiri, masalah
tersebut pada akhirnya terbentur pada persoalan otoritas (sulthah), yaitu
siapakah yang memiliki otoritas dalam menentukan bacaan; pembaca atau bacaan,
kita atau turats? Di sini, jelas Jabiri, turats harus dilihat sebagai satu
struktur mapan, yaitu "sebagai sistem dari hubungan-hubungan tetap
dalam kerangka seluruh perubahan dan transformasi"72 Karenanya, tambah
Jabiri, dalam dialektika pembaca dan bacaan dan soal siapa pemegang
otoritas, ada tiga model bagaimana turats itu harus disikapi; pertama
membaca turats dengan kerangka modernitas, kedua membaca turats dengan
kerangka turats dan ketiga membaca modernitas dengan kerangka turats. Di
antara tiga pillhan ini, Jabiri mengambil yang pertama, dengan alasan bahwa
jika ini tidak cepat dipilihnya, maka otoritas akan berpindah kepada kedua
dan ketiga, dan itu --terutama yang ketiga-- sangat berbahaya. Dengan kata
lain, masalah otoritas ini bukan hanya sebatas turats membaca turats,
tetapi yang lebih berbahaya, mengukur segala sesuatu termasuk modernitas
dengan kerangka turats.73
Jabiri, lebih jauh lagi, memandang bahwa tawaran
"tradisi" dengan "modernitas" bukan soal pilihan, bahwa
dalam menghadapi keduanya kita harus mengambil sikap tegas. Dengan tegas ia
mengkritik adanya pengklasifikasian intelektual sehubungan dengan masalah
dikotomis "tradisi dan modernitas", yaitu klasifikasi kaum
modernis, kaum tradisionalis dan kaum selektifis. Menurutnya, yang pertama,
cenderung menafikan turats dan menerima bulat-bulat modernitas, yang kedua
sebaliknya, dan ketiga mengklaim menyatukan keduanya dengan bersikap, lebih
adil kepada turats dan modernitas. Bagi Jabiri, tradisi dan modernitas
datang begitu saja di hadapan kita, tanpa ada kuasa kita untuk memilihnya.
Keduanya datang dengan kekuatan diskursusnya masing-masing, sebagai tawaran
ideals yang otoriter. Turats datang dari masa lalu lewat pewarisan turun
temurun, tak seorang pun yang mampu menolak warisan dan masa lalu yang
tumbuh bersama dalam dirinya. Begitu juga modernitas, ia datang dipaksakan
tanpa bisa kita menolaknya. Kita tidak pernah diberi kebebasan untuk
memilih salah satu keduanya atau meninggalkannya.74 Lalu bagaimana sikap
kita? Menurut Jabiri, selama kita tidak pernah disuruh memilih (salah satu
dari) keduanya, atau juga menolak keduanya, maka, yang diperlukan adalah
bersikap kritis terhadap keduanya; kepada turats dan modernitas dengan
seluruh makna kritik.
Di tengah-tengah kritisisme inilah Jabiri
menerapkan metode dekonstruksinya. Buatnya, yang pertama sekali adalah
dekonstruksi turats, selama turats tersebut dianggap yang paling lama
melekat dan menyatu dalam akal Arab. Metode dekonstruksi yang dipakai
Jabiri --sebagaimana diakuinya-- pada mulanya adalah penganalisaan.
Maksudnya, tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang intelektual Arab
adalah menganalisa struktur bangunan yang mapan dengan cara mempelajari
hubungan antara elemen-clemen yang membuat dan menyatukan bangunan
tersebut. Setelah analisa struktural ini baru diadakan perombakan atau
pembongkaran atas struktur tersebut. Dari sini, usaha dekonstruksi
dimaksudkan untuk mengubah yang tetap kepada perubahan, yang absolut kepada
yang relatif, dan yang a-historis kepada historis.75
Baik Arkoun maupun Jabiri sama-sama berangkat
dan memandang dari kerangka epistemologis yang sama. Keduanya menggunakan
metode pendekatan dekonstruksi. Dan nalar Arab-Islam merupakan tema sentral
pendekatan tersebut. Sayangnya, seperti yang banyak dikritik orang, proses dekonstruksi
yang mereka tawarkan tidak memberikan alternatif apa-apa. Baik Arkoun
maupun Jabiri berhenti pada perombakan struktur nalar, tanpa dilanjuti
konstruksi baru sebagai tawaran perubahan.
Tampaknya, memang itulah tujuan akhir yang
hendak dicapai Arkoun, Jabiri dan pemikir-pemikir lain dari kecenderungan
dekonstruksionis. "Jangan memberikan sebuah struktur tertentu jika
tidak ingin generasi selanjutnya merombak struktur yang Anda untuk
itu". Demikian kira-kira ungkapan metode dekonstruksi itu. Tetapi
Arkoun dan Jabiri tetap seperti Derrida dan penglkutpengikutnya di Perancis
yang berhasil keluar dari tradisi strukturalisme tapi tidak pernah selamat
dari)aring-jaring dekonstruksi yang dirajutnya. Dan mereka pun mati di
sana.
IV. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer (3/4)
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
3. Ideal-Totalistik
Tipologi ideal-totalistik diwakili oleh
mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai
doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada
doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali
sejarah kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus
kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Usaha
penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam
(bid'ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda
utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah).
Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka
dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim
menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu
maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh
mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak
dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam yang panjang
terlalu suram untuk dijadikan model emulasi. Pemimpin dan khalifah pada
zaman yang disebut era kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik
yang identik dengan wanita, minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun
ada jasa mereka, tidak lebih dari memasukkan unsur kebid'ahan Yunani lewat
apa yang dinamakan falsafah. Dan kaum Muslim semakin menjauh saja dari
ajaran asli Islam.
Begitulah kira-kira gambaran umum pandangan
kelompok ideal-totalistik dalam melihat kondisi kaum Muslim dan sejarah
mereka. Tidak ada batasan yang jelas mana yang historis dan mana yang cuma
sebagai doktrin. Kebanyakan dari kelompok pemikiran ini menafikan Islam
sebagai peradaban dan akumulasi sejarah kaum Muslim. Kalaupun ada, masanya
singkat sekali, yaitu zaman Rasul, atau jika mau diperluas sedikit, zaman Khalifah
yang empat dengan sikap yang ketat pada era dua Khalifah yang terakhir.
Islam adalah doktrin aqidah sebelum sebagai doktrin peradaban. Nabi adalah
sebagai figur terakhir untuk panutan seluruh kerja yang dilakukan kaum
Muslim, termasuk di zaman modern ini. Dengan kata lain, sunnah-sunnah Rasul
harus dihidupkan untuk era modern. Inilah inti dari kebangkitan Islam.
Figur-figur yang mewakili kelompok ini untuk
masa sekarang banyak datang dari Islam Gerakan (Islam haraki) atau para
pemikir keagamaan yang memiliki dan berafiliasi kepada massa Muslim.
Berikut ini, kita akan melihat tiga orang figur ternama yang semuanya
secara kebetulan datang dari latar belakang yang sama; pertama Muhammad
Quthb, adik kandung Sayyid Quthb yang banyak menulis karya-karya dengan
model Islam haraki. Kedua, Anwar Jundi, seorang aktifis yang banyak
menuliskan masalah-masalah keislaman dalam jurnal-jurnal berbahasa Arab,
dan ketiga, Shaykh Muhammad Ghazali, seorang 'alim al-Azhar yang
akhir-akhir ini berusaha mencoba menjembatani antara
"fundamentalisme" dengan "intelektualisme".
Muhammad Quthb banyak memiliki kesamaan dengan
kakak kandungnya Sayyid Quthb. Bukan hanya karena hubungan darah. Lebih
dari itu, dari soal model tulisan hingga cara dan sikap intelektualnya,
tidak berbeda dengan Sayyid. Pendeknya, M. Quthb adalah perpanjangan dari
figur S. Quthb. Dari karya awal-awalnya al-Insan bayna al-Maddiyyah wa
al-Islam, hingga Jahiliyah al-Qarn al-'Isyrin, M. Quthb --seperti juga S.
Quthb-- menyatakan perang terhadap ideologi-ideologi dan
pandangan-pandangan asing. Dalam kamus intelektualnya, hanya ada dua entry:
pertama, Islam (jund Allah, ahbab al-Rasul, al-Muslimun) dan kedua,
Jahiliyyah (kuffar, thaghut, al-'ilmaniyyah wa al-maddiyyah). Dua terma
dialektis tersebut mengisi hampir seluruh karya-karya Quthb. Dan dua terma
tersebut --menurutnya-- ada dalam sepanjang sejarah manusia. Pada masa
lampau, Jahiliyyah diwakili oleh kaum Musyrik Makkah dan Yahudi Madinah.
Pada era sekarang, ada Jahiliyah al-Qarn al-'Isyrin (Jahiliyyah abad
20/modern).76 Konsep jahiliyyah yang dipakai M. Quthb adalah terma Qur'ani
yang juga sering dipakai oleh Sayyid Quthb dan Abu al-A'la al-Mawdudi'.
Muhammad Quthb mendefinisikan jahiliyyah sebagai "kondisi psikologis
di mana jiwa menolak petunjuk Tuhan".77 Penolakan jiwa atas kebenaran
selalu ada di mana-mana dan kapan saja, karena itu jahiliyyah selalu ada
sepanjang sejarah. Dalam bentuknya yang paling jelas, Jahiliyyah modern
adalah Barat dan para pemimpin thaghut negeri-negeri Muslim yang mengadopsi
sistem Barat.78
Sejalan dengan Muhammad Quthb, Anwar Jundi
meyakini pentingnya dikotomi istilah Islam dan non-Islam. Tekanan yang
diberikan Jundi lebih pada aspek intelektual, berbeda dengan Quthb yang
lebih menekankan perbedaan Islam-Barat (non-Islam) pada aspek ideologis.
Jundi selalu menggunakan istilah pemikiran Islam (al-fikr al-Islami) vis a
vis pemikiran Barat (al-fikr al-Gharbi). Pemikiran dan budaya Islam adalah
pencapaian Muslim yang digali dari al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Ia disebut
Islami karena seluruhnya berlandaskan Islam, dari sinilah istilah budaya
dan peradaban Islam kemudian digunakan. Pandangan Jundi ini, khususnya
sikap kepada pemikiran Islam, jauh berbeda dengan Quthb yang berusaha
mereduksi segala jenis pemikiran Islam kepada "Islam". Untuk yang
terakhir ini, Islam adalah alternatif par excellent, sementara pemikiran
Islam hanyalah pelengkap yang terkadang banyak membuat distorsi kepada
makna Islam. Dalam kumpulan artikelnya, Ithar al Islam li al-Fikr
al-Mu'ashir,79 Jundi meyakini adanya pluralitas budaya dan juga peradaban.
Setiap budaya sebuah bangsa berbeda dengan budaya bangsa lainnya, karena
itu tidak ada yang namanya budaya universal (al-tsaqafah al-alamiyyah).80
Sedikit agak berbeda dengan Quthb dan Jundi,
Muhammad Ghazali adalah intellektual-'alim Arab kontemporer yang mampu
berinteraksi dan berantisipasi dengan gerakan-gerakan pemikiran modern
dengan pendekatan da'wah bi al-hal fikran wa manhajan (pemikiran dan
metode). Ia banyak menulis buku-buku bersifat da'wah dengan tujuan pokok
menjembatani kaum salafi yang "tertutup" dengan kaum modernis
yang "terbuka". Karya pentingnya yang mendapat sambutan luar
biasa adalah al-Sunnah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits,81 di mana, ia
mendemonstrasikan keluwesannya dalam memahami warisan hukum Islam. Untuk
Ghazali, pemahaman hukum Islam haruslah dilihat secara kontekstual lewat
pemahaman universal. Menurutnya, teks-teks agama, Hadits khususnya, bukan
hanya milik pakar Hadis yang mempunyai 1001 macam persyaratan penyeleksian
satu riwayat, yang juga terlampau tekstual dan terikat pada makna literal
sebuah teks. Di lain pihak, para fuqaha telah terperangkap ke dalam
terma-terma fiqh yang hanya berkonotasi kepada masalah legalitas hukum
saja, padahal istilah fiqh itu sendiri berarti pemahaman, dengan
seluas-luas maknanya.
Dalam bersikap, Ghazali tampak lebih moderat dan
sedikit banyak lebih akomodatif dengan perkembangan pemikiran kontemporer
dibanding dengan pemikir-pemikir sealiran dengannya. Kendati demikian, pada
skala besar, program yang dicanangkan Ghazali dalam proyek peradabannya
adalah juga program yang direalisasi oleh kelompok pemiikir yang
berkecenderungan ideal-totalistik.
Demikianlah ketiga trend atau kecenderungan
pemikiran Arab yang mewarnai wacana ilmiah Arab kontemporer. Kesemuanya
berperan dalam menentukan harapan dan obsesi bangsa Arab di masa mendatang.
Ketiga tipologi tersebut, secara kasar, bisa dilihat dalam perspektif
paradigmatis, dimana antara masing-masing kelompok mempunyai bahasa khusus
yang berbeda-beda, yang tidak dipahami satu sama lain. Kalaupun bisa
dikomunikasikan, dialog antara mereka sulit untuk saling dimengerti. Itu
terjadi misalnya bagaimana usaha kaum liberal dari kalangan transformatik
menyatukan kelompok-kelompok yang sekular dengan kelompok religius, atau antara
kelompok modernis dengan kelompok tradisionalis. Tak pelak, mereka pun
menciptakan paradigma ketiga yang juga memiliki kosa kata tersendiri.
Begitu juga dengan kelompok-kelompok lain, meski mereka mengklaim dengan
proyek peradabannya, bahwa merekalah yang paling compatable dengan kondisi
duniaArab kontemporer, sebenarnya mereka telah terperangkap ke dalam
kerangka epistemik yang pada akhirnya mengarah pada dogmatisme (untuk
menghindari istilah sektarianisme).
Tipologi pemikiran Arab kontemporer seperti yang
diilustrasikan di atas, adalah refleksi dari interaksi dan sikap para
intelektual Arab terhadap isu di sekitar tradisi dan modernitas. Sikap
tersebut kemudian memunculkan --di samping discourse baru menyangkut isu
tradisi dan modernitas-- idiom-idiom dan istilah baru dalam kamus pemikiran
Arab yang sebelumnya tidak begitu menyita perhatian. Isu seperti feminisme
meskipun secara khusus telah dibicarakan oleh Qasim Amin --pemikir di era
modern-- mendapat porsi perhatian yang cukup banyak dalam diskursus
kontemporer. Begitu juga isu-isu rekonstruksi disiplin Islam --seperti
filsafat-- menjadi agenda penting dalam diskursus tersebut.
B. Gerakan Feminisme Arab
Dalam salah satu tulisannya tentang trend
pemikiran Arab kontemporer, Issa J. Boullata mengatakan, "Mengkaji
pemikiran Arab kontemporer tanpa memasukkan penukiran-pemikiran para
wanitanya adalah pekerjaan yang tidak lengkap."82 Pendapat itu
sepenuhnya benar, karena peran wanita dalam membentuk diskursus baru
pemikiran Arab kontemporer tidak sedikit. Bukan hanya melulu soal perempuan
dan keperempuanan yang diangkat para pemikir Arab, meskipun penekanan
ekstra yang diberikan oleh para feminis tersebut adalah kedua masalah tadi.
Tidak sedikit para feminis Arab yang mencoba mengaitkan persoalan perempuan
dengan persoalan utama yang dihadapi bangsa Arab. Pada era-era awal
kebangkitan Arab, persoalan perempuan dan statusnya di dunia Arab pernah
dilakukan oleh Qasim Amin, "feminis" pertama. Bagaimanapun, dalam
banyak hal, Amin berbeda dengan para feminis yang akan kita diskusikan
berikut ini, sekurangnya dalam hal perspektif. Jika Amin melihat masalah
wanita adalah juga bagian yang tak terpisah, dari doktrin agama, para
feminis kontemporer melihat problem wanita lebih dari perspektif sosial
budaya: wanita sebagai objek diskriminasi gender yang dibentuk oleh
masyarakat dan tradisi.
Kaum feminis kontemporer, meskipun mereka kerap
mencari-cari justifikasi teologis dalam menyokong beberapa pernyataan
interpretisnya terhadap masalah perempuan dan peran sosialnya, secara umum
mereka "bukanlah ahli" soal agama, katakanlah seperti Qasim Amin
yang pengetahuan agamanya tidak disangsikan lagi. Kaum feminis kontemporer
melihat faktor agama hanya sebagai elemen kecil dari seluruh permasalahan
wanita yang dihadapi bangsa Arab.
Berikut ini, kita akan menyoroti tiga figur
utama dalam gerakan feminis Arab kontemporer. Ketiga feminis ini datang
dari latar belakang akademis yang berbeda; pertama Dr. Nawal Sa'dawi
berasal dari Mesir yang menggeluti dunia psikologi klinik, kedua, Fatima
Mernissi, ahli sosiologi dari Maroko, dan ketiga Khalida Sa'id, budayawati
yang banyak menuliskan ide-ide kritisnya dalain jurnal-jurnal ilmiah
berbahasa Arab.
Nawal Sa'dawi melihat problem diskriminasi
wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara.
Dalam buku terkenalnya al-Mar'ah wa al-Jins (Perempuan dan Masalah Sex),83
Sa'dawi memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang
negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex. Dalam bukunya yang lain Woman
at Point Zero, dengan bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya
tentang nasib wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan. Dengan tanpa
ragu-ragu, ia menyamakan status para istri di dunia Arab dengan para
pelacur, bahkan lebih buruk: "Karena, pelacur mempunyai kebebasan
untuk memilih 'suami'."84
Masalah diskriminasi wanita, menurut Sa'dawi
tidak bisa diselesaikan lewat persamaan sex atau --apa lagi-- lewat agama.
Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global
ekonomi dan politik sebuah negara. Wanita tertindas karena struktur
patriarkal sosial Arab yang terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung
merendahkan wanita. Dalam tradisi agama, wanita dihargai setengah, dan yang
setengah itupun selalu dihalang-halangi untuk berperan dalam masyarakat
secara bebas.85 Dalam artikel khusus yang disiapkan untuk pembaca berbahasa
Inggris, Women and Islam, Sa'dawi menyamakan persoalan wanita dengan
masalah keterbelakangan. Menurut Sa'dawi: "Keduanya bukan masalah
agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi
masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik
negara."86
Sedikit berbeda dengan Sa'dawi, Fatima Mernissi
tidak menafikan pentingnya faktor ekonomi dan politik dalam sebuah negara
--untuk menentukan nasib kaum wanita khususnya. Tetapi, ada masalah yang
lebih penting lagi, yaitu "discourse tentang wanita" yang telah
diciptakan oleh sosio-budaya Arab. Menurut Mernissi, diskursus wanita yang
berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya
dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan
dipandang negatif --dari perspektif apa saja.87 Mernissi tidak meletakkan
seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah
menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial,
menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi
penting sebuah masyarakat. Mernissi tidak sepenuhnya percaya dengan
sekelompok elit pemikir (kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan
persoalan perempuan. Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats
sebagai omong kosong. Menurutnya, "perdebatan di sekitar turats tidak
lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas
wanita".88
Mernissi memandang turats secara negatif. Ia
percaya bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk konteks
modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat
Arab sekarang sangat kompleks.89 Kendati demikian, bukan berarti Mernissi
sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas. Dalam banyak tulisannya,
dengan keras ia mengecam Barat. Model feminisme yang dikembangkan Barat,
menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk
lain.90
Berbeda dengan Sa'dawi yang lebih menekankan
pada peran dan faktor ekonomi-politik, atau Mernissi yang lebih melihat
permasalahan pada level ideologi sosial, Khalida Sa'id menganjurkan
komitmen kebersamaan mutlak (total societal commitment). Yang dimaksud
Khalida dengan jargon ini adalah pembebasan wanita lewat kebersamaan
sosial, termasuk lewat jalur radikal --revolusi atau oposisi. Tesis Khalida
ini berangkat dari premis fenomenologis komunitas Arab yang menurutnya,
sedang mengalami alienasi ganda, yaitu, di satu pihak kepada kelas sosial dan
di lain pihak kepada keluarga. Pada alienasi jenis kedua, menurut Khafida,
wanita Arab tidak akan pernah bisa independen, karena mereka selalu
mengaitkan atau dikaitkan oleh kaum lelaki. Ia memberikan contoh
sehari-hari bagaimana perempuan selalu dikaitkan kepada lelaki agar
eksistensinya ada, seperti mengidentifikasikan istri dengan suami (istrinya
si A), mengidentifikasikan anak gadis dengan ayahnya (puterinya si A),
seorang ibu dengan anak lelakinya (ibunya si A) dan lain-lain.91 Menurut
Khalida, identifikasi semacam ini bersumber dari fermentasi sosial yang
sudah berlaku sejak berabad-abad. Solusinya, ya itu tadi: perlawanan
bersama terhadap sistem yang berlaku.92
Ketiga feminis kontemporer Arab tersebut
tampaknya mempunyai kesamaan beban psikologis tentang asumsi berlebihan
atas permasalahan dominasi dan otoritas gender. Ketiga-tiganya sama-sama
ingin berontak dari sebuah sistem patriarkal mapan, meski dengan cara dan
metode yang berbeda. Yang menarik, dan merisihkan mungkin, adanya
personalitas ganda dalam memandang kaum lelaki. Pada satu segi, lelaki
dilihat dan digambarkan sebagai penguasa dan penyebab diskriminasi seksual,
di sini, pemberontakan wanita dilihat sebagai pemberontakan terhadap kuasa
pria. Pada sisi lain, lelaki dilihat juga sebagai korban "imaginasi
social", yang selanjutnya, dalam hal ini, ia menjadi rekan senasib
wanita; adanya eksploitasi kelas (Sa'dawi) dan diskursus distortif tentang
wanita (Mernissi dan Khalida). Lelaki, dalam wacana feminisme Arab tidak
ubahnya dengan otoritas agama, pada satu pihak sebagai justifikasi untuk
perlawanan terhadap sebuah sistem, dan pada pihak lain sebagai penghalang
untuk kebebasan wanita.
C. Peran dan Posisi Filsafat
Tampaknya gerakan kebangkitan filsafat dalam
diskursus intelektual Arab kontemporer (dan juga modern) berada pada margin
pembahasan. Padahal topik yang satu ini begitu penting porsinya dalam
mengilhami isu-isu intelektual dan ilmiah dalam keseluruhan wacana Arab
kontemporer. Bisa dipastikan hampir seluruh pemikir modern Arab yang
mempunyai ide-ide cemerlang berlatar belakang akademis filsafat yang kuat,
lihatlah Rifa'ah Tahtawi dan Mushthafa 'Abd al-Raziq di masa awal
kebangkitan Arab, dan pada era sekarang Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun dan
Mohammed Abid Jabiri, semuanya jebolan fakultas filsafat. Kalau kemudian
filsafat begitu dianaktirikan atau tidak menjadi mainstream seperti pada
masa kejayaan bangsa Arab dulu itu disebabkan banyak faktor. Di antaranya,
tradisi filsafat dalam dunia Islam --setelah mengalami pertarungan panjang
dengan otoritas agama-- mengalami stagnasi yang serius. Sudah lumrah
diketahui bahwa dalam masa yang lumayan panjang, tradisi filsafat tidak
lagi diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Bahkan di banyak
tempat, filsafat diharamkan untuk dipelajari. Implikasi dari pengharaman
itu, menjadikan berkurangnya konsumen filsafat. Tidaklah heran kalau
kemudian mereka yang kembali dari belajar filsafat di Barat lebih senang
untuk memprioritaskan pembahasan-pembahasan yang lebih empiris yang
berhubungan dengan sosial kemasyarakatan.
Bagaimanapun, itu tidak berarti tradisi filsafat
dalam diskursus intelektual Arab kontemporer menjadi tidak penting.
Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat telah dilakukan sejak
kurang dari satu abad setelah kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh
Mushthafa 'Abd al-Raziq (1885-1946) --kakak kandung 'Ali 'Abd al-Raziq--
dengan usaha gigihnya menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, kemudian
Yusuf Karam (w.1955) yang seluruh hidupnya dicurahkan untuk mengenalkan
filsafat Barat modern ke dalam masyarakat Arab. Lewat kedua tokoh ini
tradisi filsafat kemudian berkembang dan hidup kembali meski tidak
secemerlang era kejayaan Arab dulu. Munculnya sikap positif dan akomodatif
terhadap tradisi filsafat (filsafat Islam khususnya), baik dari individu
masyarakat atau penguasa-penguasa Arab, didorong oleh beberapa faktor,
diantaranya, adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan kembali tradisi
dan nilai-nilai budaya Arab klasik, di mana pencapaian filsafat merupakan
elemen penting dalam budaya tersebut. Disamping itu, sejalan dengan spirit
modernisme yang sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek
rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari
contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat
dijumpai dalam tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh
al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya
kontak baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat modern.
Orang-orang Arab sekarang selalu menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan
mereka dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian
Yunani. Terlebih kini, ketika mereka --sadar atau tidak--dikejutkan oleh
banyaknya studi tentang filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal
ini, untuk selanjutnya menjadi cambuk untuk mereka untuk mengkaji sendiri
tradisi dan warisan intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang
lebih mengetahui tradisi sendiri.
Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi
filsafat dalam masyarakat Arab modern dilakukan dengan berbagai cara. Dr.
Syukri Najjar memberikan tiga jenis model yang ditempuh oleh para penulis
dan sarjana Arab modern dalam usaha mereka menghidupkan kembali tradisi
filsafat di dunia Arab:93 pertama, usaha menghidupkan filsafat Islam klasik
lewat penyuntingan (tahqiq) buku-buku filsafat yang ditulis oleh para
filsuf Muslim klasik. Kemudian memberikan kajian singkat dan mendalam
tentang karya-karya tersebut. Jika diperlukan, menterjemahkannya kedalam
bahasa-bahasa asing --bahasa Inggris terutama. Kedua, memperkenalkan
filsafat Barat modern lewat penterjemahan karya-karya filsuf Barat ke dalam
bahasa Arab, serta mengusahakan kajian dan studi-studi detail atas
karya-karya tersebut. Ketiga, menulis dan menciptakan sendiri isyu-isyu
filsafat yang berhubungan dengan realitas kontemporer ataupun sebagai
reaksi dari isyu-isyu filsafat yang sudah ada.
Lewat ketiga model tersebut, tradisi filsafat
dalam dunia Arab modern terus berkembang. Model pertama misalnya, banyak
dilakukan oleh para mahasiswa Arab yang sedang merampungkan program
pasca-sarjana mereka, baik sebagai persyaratan untuk merampungkan program
MA (sebagai tesis) atau Ph.D. (sebagai disertasi). Beberapa institusi
ilmiah baik swasta maupun milik pemerintah juga turut ambil bagian dalam
menghidupkan warisan filsafat Islam. Al-Amiriyah contohnya, sebuah
penerbitan di Cairo-Mesir yang bekerjasama dengan kementerian kebudayaan,
di bawah pengawasan Dr. Ibrahim Madkour, telah mengerjakan karya besar Ibn
Sina, al-Syifa. Secara perorangan, usaha-usaha menghidupkan tradisi intelektual
Islam dengan gairah terus dilakukan, contohnya Abu al-A'la Afifi telah
mengkhususkan dirinya dalam bidang kajian pemikiran Ibn'Arabi, Musthafa
Hilmi dan 'Abd al-Halim Mahmud dalam bidang kajian tasawuf, Muhammad
al-Bahi dan Abu Riddah mendalami tradisi ilmu kalam, dan Albert Nadir
secara khusus mendalami teologi spekulatif Mu'tazilah. Jamil Shaliba, F.
Anawati dan Fuad al-Ahwani adalah para eksponen dalam studi tentang Ibn
Sina. Farid Jabr dan Sulayman Dunya adalah ahli-ahli dalam Abu Hamid al-Ghazali.
M.Yusuf Musa, Amirah Mathar dan Mahmud Qasim ahli tentang Ibn Rusyd, dan
Abd Rahman Badawi ahli tentang pengaruh Yunani terhadap filsafat Islam.
Yang menyangkut usaha pengenalan filsafat Barat
modern, telah dilakukan oleh sarjana-sarjana seperti Usman Amin
(Descartes), Najib Baladi (Berkeley), Fuad Zakariya (Spinoza), Zaki Najib
Mahmud (Russel), Abd Rahman Badawi (Eksistensialisme), dan Adel Daher
(filsafat Anglo-Saxon). Buku-buku tematis tentang isyu-isyu filsafat tidak
kalah banyaknya, seperti studi tentang problem "kebebasan"
(freedom), "manusia" (man), "penciptaan" (creation) dan
sejenisnya telah ditulis secara serius oleh Zakariya Ibrahim dan problem
tentang moral dan etika secara luas dibahas oleh Dr. Adel Daher.
Dari penulisan secara deskriptif, para filsuf
Arab modern berusaha menciptakan madzhab-madzhab dan kelompok pemikiran
sendiri. Tidak hanya kritis terhadap pencapaian filsafat baik Islam maupun
Barat, mereka mulai membangun aliran filsafat baru, meski basis
metafisisnya masih belum bisa dipisahkan dari kedua sistem tersebut.
Kelompok pertama yang muncul di panggung intelektualisme Arab modern adalah
pemikiran filsafat yang beraliran materialisme (ittijah maddi). Dimotori
oleh dua filsuf Kristen Arab; Shibli Shumayl dan Farah Antun. Shibli
Shumayl dikenal dengan usahanya mengembangkan teori evolusi Darwin, karena
itu ia kondang dengan sebutan Darwinnya Arab. Teori filsafatnya berangkat
dari pandangan dunianya tentang alam. Menurutnya, alam adalah gabungan dari
materi (maddah) dan energi (quwwah), sedangkan materi sendiri merupakan
satu tahapan kondisi energi. Materialisme kosmik membawa kepada prinsip
penyatuan alam yang pada gilirannya, prinsip ini mengubah materi dan
energinya kepada satu kesatuan; benda, tumbuhan, hewan, manusia, atau apa
saja. Semuanya adalah satu substansi yang berbeda fenomenanya.94 Keyakinan
Shumayl akan materi mendorongnya untuk mengesampingkan agama. Sebagai
gantinya, ia percaya seratus persen akan keabsolutan sains, dan ia menulis;
Agama manusia yang agung adalah sains.
Kelebihannya dari agama-agama lain adalah bahwa sains mengajarkan manusia
apa yang diajarkan agama, tetapi lebih dari itu, sains tidak pernah memberi
larangan pada manusia atau aturan-aturan yang membelenggu kebebasan
manusia. Agama yang benar adalah sains yang benar.95
Kelompok kedua adalah aliran rasionalisme
(ittijah 'aqli), biasa dikaitkan kepada Muhammad 'Abduh dan Farid Wajdi.
Kedua tokoh reformer itu menyeru akan kebebasan akal. Meskipun keduanya
selalu dikaitkan dengan madzhab neo-rasionalisme dalam filsafat Arab
modern, mereka lebih akrab dikenal sebagai pemikir sosial atau
"reformer" ketimbang "filsuf". 'Abduh tidak mempunyai
karya tulis khusus tentang filsafat rasionalismenya, tetapi secara
keseluruhan, 'Abduh adalah seorang rasionalis.
Rasionalis Arab dengan artian filosofis yang
sesungguhnya adalah Yusuf Karam. Ia banyak menulis tentang terra-terra
rasionalisme filsafat seperti al-Aql wa al-Wujud (Akal dan Wujud) dan
al-Thabi'ah wa ma ba'da Thabi'ah (Fisika dan Metafisika). Dalam dua karyanya
ini, Karam mencoba membuktikan bahwa manusia mempunyai daya rasional yang
dapat menangkap makna-makna abstrak, dan dari makna-makna itu tersusun
hukum-hukum dan aturan-aturan yang dengannya persoalan-persoalan metafisis
dapat dipahami secara sistematis. Lewat metode rasionalisme,
masalah-masalah supra-natural didiskusikan, seperti tentang problem esensi,
substansi, eksistensi Tuhan, dan lain-lain.96 Di sini, tampak Yusuf Karam
ingin menghidupkan rasionalisme Ibn Sina, Ibn Rusyd dan para filsuf Muslim Aristotelian
lainnya. Tentu, dengan begini tidak ada yang baru dari madzhab
neo-rasionalisme. Yang baru adalah justru sikap untuk kembali kepada spirit
filsafat klasik dan penolakan terhadap filsafat materialisme modern.
Kelompok ketiga adalah aliran filsafat
spiritualisme (ittijah ruhi). Dalam dunia intelektualisme Muslim klasik,
kelompok ini sejajar dengan kaum Sufi dan "pemabuk-pemabuk
Tuhan". Dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para mistikus Muslim
seperti al-Ghazali, Ibn 'Arabi dan Rumi dengan pengaruh yang cukup intens
dari Plato, Kant dan Bergson. Aliran filsafat ini telah membangun madzhab
filsafat baru dengan nama baru; Akkad mendirikan Wijdaniyah, Rene Habsyi
membangun Syahsyaniyah, Usman Amin menciptakan Jawwaniyah dan Zaki
al-Arsuazi memprakarsai al-Rahmaniyyah. Akkad dengan Wijdaniyah-nya
berpendapat bahwa hakekat alam semesta tidak mungkin dapat dipersepsi
kecuali dengan intuisi (wijdan). Intuisi menurut Akkad adalah kesadaran
kosmik (wa'y al-kawni) yang serupa dengan ilham, ia lebih tinggi dari
persepsi indera dan akal.97 Syahsyaniyah Habsyi lebih diilhami oleh mistik
Barat modern. Seperti diakuinya, ia dipengaruhi oleh Bergson, Rafson,
Heidegger, Kierkegaard dan Gabriel Marcel. Syahsyaniyah, menurut Habsyi,
adalah madzhab filsafat yang hendak menyatukan filsafat klasik dengan
filsafat modern, yaitu dengan cara mengembalikan modernitas kepada masa
lalu melewati filsafat abad tengah hingga filsafat Yunani. Usman Amin
menamakan madzhab filsafatnya "Jawwaniyah". Istilah Jawwaniyah
diambil dari bahasa Arab klasik yang kini banyak digunakan dalam bahasa
amiyah, yaitu kata "jawwa" (di dalam) sebagai lawan kata
"barra" (di luar). Jawwaniyah dalam konsepsi Amin artinya
esoterisme, yaitu aliran yang memandang kekuatan alam yang sebenarnya
adalah kekuatan spirit (al-ruh). Amin ingin mentransendensikan seluruh
materi lewat kontemplasi spiritual demi mencapai kebebasan jiwa-karena
kebebasan yang sebenarnya adalah kebebasan spirit. Dalam membangun
filsafatnya ini, Amin banyak dipengaruhi oleh Descartes dan Bergson,
terutama yang menyangkut perbedaan ruh dan badan.98 Al-Rahmaniyah Zaki
al-Arsuazi diilhami oleh ide korelasi antara hamba dengan Tuhannya. Istilah
"al-Rahmaniyah" berasal dari akar kata R-H-M yang merujuk kepada
dua makna; pertama, Rahman sebagai pencipta, dan yang kedua rahim, di mana
janin ciptaan pertama kali ditempatkan. Hubungan antara Rahman dan rahim
adalah hubungan kesinambungan dan saling melengkapi dan menyem-purnakan.
Hamba tanpa Tuhan adalah mustahil, dan Tuhan tanpa hamba tidak akan diketahui
wujud-Nya.
Di samping madzhab-madzhab dan aliran-aliran
filsafat yang disebutkan di atas, ada banyak lagi kelompok lain yang
kebanyakan berafiliasi kepada sistem filsafat Barat modern. Yusuf Murad
misalnya, mencoba membangun sistem filsafat yang berlandaskan penggabungan
psikologi (psychology) dengan fisikologi (physicology) seperti yang
dikembangkan di Barat. Ia menamakan filsafatnya dengan aliran al-takammuli
(perfectionism). 'Abd al-Rahman Badawi dikenal sebagai eksistensialis Arab
nomor wahid, tulisan-tulisannya berkisar sekitar etika eksistensialisme
seperti yang dikembangkan oleh Gabriel Marcel dan Sartre. Nama-nama lain
yang turut memberikan kontribusi dalam menghidupkan tradisi filsafat di
dunia Arab modern adalah Ya'qub Sharruf, Majid Fakhri, Zaki Najib Mahmud,
Ma'an Ziyadeh, Sulayman Dunya, Muhsin Mahdi dan seorang wanita, Dr. Amirah
Mathar.
D. Penutup
Wacana pemikiran Arab kontemporer telah berjalan
lebih dari dua dekade, dengan berbagai corak aliran pemikiran yang
mewarnainya. jika melihat perkembangan dan pasang-surutnya, ada beberapa
nuktah dan kesimpulan yang dapat ditarik: Pertama, tipologi pemikiran
seperti yang dikategorikan dalam tulisan ini, sedikit banyak telah
mengalami pergeseran. Hal tersebut diakibatkan adanya dialog dan interaksi
antara pemikir yang mewakili setiap tipologi tersebut. Kendati demikian,
tipologi itu masih relevan untuk mengukur sikap intelektual setiap pemikir
Arab, terutama yang berhubungan dengan isyu tradisi dan modernitas
(al-turats wa al-hadatsah). Tipologi tersebut berdasarkan kategorisasi ide
(idea based categorization) dan bukan berdasarkan kategorisasi peran
sosial-politik (social political based categorization). Itu artinya, tidak
semua pemikir atau intelektual Arab yang dimasukkan dalam satu tipologi adalah
secara ketat tidak bisa keluar dari kerangka tipologis berpikimya.
Kedua, persoalan besar yang dihadapi intelektual
Arab masih berkisar soal penentuan sikap budaya kepada dua isyu besar:
tradisi dan modernitas. Dan perbedaan pengambilan sikap terhadap dua isyu
tersebut yang menyebabkan terjadinya fragmentasi isyu dan juga tipe
pemikiran di kalangan pemikir Arab. Latar belakang pendidikan tetap
merupakan faktor penting dalam membentuk para pemikir tersebut
mengartikulasikan gagasan-gagasan pembaharuan mereka.
Ketiga, seiring dengan semakin banyaknya kaum
terpelajar lulusan luar negeri (Barat), model artikulatif yang diterapkan
oleh para pemikir itu pun mengalami perkembangan, seperti yang dapat kita
lihat pada pemikir asal Maghribi yang menggunakan metode yang dikembangkan
oleh gerakan strukturalis di Eropa. Usaha untuk memahami sosio-budaya Arab
pun bukan hanya ditempuh lewat perspektif subjektif (al-ana), tapi juga
lewat perspektif orang lain (al-akhar). Menurut para pemikir itu,
perspektif seperti ini penting, bukan hanya untuk perbandingan, tapi juga
untuk mencari solusi yang terbaik untuk komunitas bangsa Arab.
Keempat, di luar kategorisasi tipologis yang
hanya peduli dengan tema-tema tradisi dan modernitas, ada beberapa pemikir
atau sarjana yang kepeduliannya lebih pada persoalan-persoalan yang
bersifat murni akademis (filsafat). Para pemikir jenis ini menganggap letak
kegemilangan peradaban bangsa Arab adalah pada pencapaian ilmiahnya, dan
filsafat merupakan inti dari itu semua. Karena itu, concern terhadap
warisan filsafat merupakan kunci utama untuk memasuki kegemilangan
tersebut.
|